Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA NY.

N DENGAN
APENDISITIS KRONIS DILAKUKAN TINDAKAN ANESTESI
REGIONAL SUB ARACHNOID BLOK (SAB) DI IBS
RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Anestesi II

Disusun Oleh:
Alfika Dewi Wijayanti (P07120213001)
Eka Sulistyowati (P07120213015)
Nur’aini Maghfuroh (P07120213028)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA


PRODI DIV KEPERAWATAN ANESTESI
YOGYAKARTA
2017

LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA NY. N DENGAN


APENDISITIS KRONIS DILAKUKAN TINDAKAN ANESTESI
REGIONAL SUB ARACHNOID BLOK (SAB) DI IBS
RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO

Disusun oleh :
Alfika Dewi Wijayanti (P07120213001)
Eka Sulistyowati (P07120213015)
Nur’aini Maghfuroh (P07120213028)

Telah diperiksa dan disetujui pada : April 2017

Mengetahui,

Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

( ) ( )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan &
Rahayuningsih, 2010). Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan
resiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi
dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu
memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis.
Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan
memberikan manifestasi nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian
juga akan memberikan respons peritonitis (Tzanakis, 2005).
Tindakan medis yang dilakukan untuk apendisitis salah satunya yaitu
apendiktomi. Apendiktomi ini memakai 2 jenis anestesi salah satunya
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada
operasi bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau
abdomen bawah. Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian appendiksitis
di sebagian besar wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di
Indonesia, jumlah pasien yang menderita penyakit apendiksitis berjumlah
sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang.
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis
akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa
indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens
apendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus
kegawatan abdomen lainya (Depkes, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, maka kami tertarik untuk memberikan
asuhan keperawatan anestesi pada pasien apendisitis kronis dengan teknik
anestesi regional subarachnoid blok dengan pendekatan proses keperawatan
di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Prof. Dr Margono Soekarjo.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan asuhan keperawatan anestesi pada pasien apendisitis kronis
dengan teknik anestesi regional subarachnoid blok.
2. Tujuan Khusus
a.Mampu menguasai konsep dasar subarachnoid blok dan
apendisitis.
b. Mampu melakukan pengkajian, menganalisa,
menentukan diagnosa keperawatan, dan membuat intervensi
keperawatan anestesi.
c. Mampu memberikan tindakan keperawatan yang
diharapkan dapat mengatasi masalah keperawatan pada kasus
perioperatif dengan diagnosa apendisitis kronis.
d. Mampu mengungkapkan faktor-faktor yang
menghambat dan mendukung serta permasalahan yang muncul
dari asuhan keperawatan yang diberikan.
C. Waktu
Asuhan keperawatan anestesi dilakukan pada tanggal 6 April 2017.

D. Tempat Praktek
Asuhan keperawatan anestesi ini dilakukan pada tanggal 6 April 2017 di
Instalasi Bedah Sentral RSUD Prof. Dr Margono Soekarjo.

E. Strategi Pelaksanaan
1. Wawancara
2. Pemeriksaan Fisik
3. Observasi
4. Studi dokumentasi

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Apendisitis
1. Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih
sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2007). Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi
tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau
akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya (Corwin, 2009)

2. Anatomi dan Fisiologi Apendisitis


Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung, panjang organ
kira-kira 10 cm (kisaran 3-15cm) dan organ ini berpangkal di sekum.
Dibagian proksimal dari lumennya sempit, sedangkan dibagian distal
melebar. Namun pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada bagian
pangkal dan mengecil pada arah ujungnya. Pada 65% kasus, apendiks
terletak di intraperitoneal dan pada kasus selebihnya apendiks terletak di
retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, di belakang kolon asendens, atau
di tepi lateral kolon asendens (Sjamsuhidajat, 2005).
Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Sehingga,
nyeri yang dirasakan pasien bermula di sekitar umbilikus. Peredaran darah
apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral (Sjamsuhidajat, 2005).

Apendiks dapat menghasilkan lendir sekitar 1-2 ml per hari. Lendir


tersebut normalnya dihantarkan kedalam lumen dan selanjutnya akan
mengalir kedalam sekum. IgA (Imunoglobulin A) yang sangat efektif
dalam perlindungan terhadap infeksi ditemukan juga di apendiks. Namun,
seandainya pengangkatan apendiks dilakukan, sistem imun tubuh tidak
terpengaruh, hal ini dikarenakan jumlah jaringan limfe di organ ini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
(Sjamsuhidajat, 2005).

3. Klasifikasi Apendisitis
Sjamsuhidajat (2005) mengklasifikasi apendisitis menjadi dua, yaitu:
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal.
Gejala apendisitis akut adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah, nafsu makan
menurun dan dalam beberapa jam nyeri akan berpindahke titik
mcBurney.
b. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika
ditemukan adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2
minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan
adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut
apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah
adanya pembentukan jaringan ikat.

4. Etiologi Apendisitis
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada
faktor prediposisi yaitu:
a. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya
obstruksi ini terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid
2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan
sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-
30 tahun (remaja dewasa), ini disebabkan oleh karena peningkatan
jaringan limpoid pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendik yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)

5. Patofisiologi Apendisitis
Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi
mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis. Obstruksi
intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan
menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada dinding
appendiks akan terganggu.
Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada
dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang
ada di usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut,
kemudian terjadi proses irreversibel meskipun faktor obstruksi telah
dihilangkan.
Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub
mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti
disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya
menjadi kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada
perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif
disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut supuratif. Edema dinding
appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi
ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur.
Pada semua dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding
menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini
menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut
kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan
kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

6. Gejala Apendisitis
Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:
a. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh
abdomen atau di kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala
pertama. Rasa sakit ini samar-samar, ringan sampai moderat, dan
kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri
itu sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran
bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat
apabila pasien bergerak.
b. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan
merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
c. Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan
konstipasi.
d. Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk,
dan terdapat nyeri lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada
wanita hamil rasa nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen
dibandingkan dengan biasanya.
e. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin
ditemukan juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks
terletak retrocaecal. Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada
pemeriksaan rektum apabila posisi appendiks di pelvic. Letak
appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri

7. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang
tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan
penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks
(appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). 1. Anestesi
spinal dan tindakan pembedahan. Apendiktomi adalah suatu tindakan
pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan sesegera mungkin
untuk menurunkan risiko perforasi. Apendiktomi dapat di lakukan
dengan anestesi general maupun anestesi spinal karena tindakan
pembedahan dilakukan pada abdomen bawah. (Smeltzer, 2002).
Rojas (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa orang dewasa
yang lebih tua juga dapat mengambil manfaat dari RA dengan
menghindari peningkatan risiko disfungsi kognitif pasca operasi dan
risiko teoritis demensia setelah paparan GA.

8. Komplikasi Apendisitis
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang
dapatberkembang menjadi peritonitis atau abses.Insidens perforasi adalah
10%sampai 32%.Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi
secaraumum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam
dengansuhu37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau
nyeri tekan abdomenyang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002). Adapun
jenis komplikasi diantaranya :
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut.Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam
pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,5°C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.

c. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan
oligouria.Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat,
muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive
protein (CRP).Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah
leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas
75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan
meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat
melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi
USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan
92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan
kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut
bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu
mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
dan Colonoscopy pemeriksaan karsinoma colon.
f. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan

B. Anestesi Spinal (Subarachnoid Blok/ SAB)


1. Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal (subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid
(Majid, 2011). Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam
ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal
anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal
antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang
cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi (Dunn, Jean, & Carl, 2011).
Anestesi spinal adalah salah satu teknik anestesi regional yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom
tertentu dan relaksasi otot rangka (Gwinnutt, 2011).
2. Indikasi Anestesi spinal (Yuswana, 2005)
a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh
darah dan tulang.
b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan
dindingnya atau pembedahan saluran kemih.
c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi
peritoneal.
d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e. Diagnosa dan terapi

3. Kontra indikasi Spinal Anestesi


Mutlak (Latief, 2009):
a. Pasien menolak
b. Infeksi tempat suntikan
c. Hipovolemik berat, hipotensi
d. Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intracranial yang meninggi
f. Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
Relatif (Latief, 2009):
a. Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
b. Kelainan neurologis (kelumpuhan, kesemutan, nyeri punggung)
c. Kelainan psikis, anak-anak
d. Pembedahan dengan waktu lama
e. Penyakit jantung

4. Obat-obat Anestesi spinal


Menurut (Salinas, Michael, Christhoper & Susan, 2009) jenis
obat anestesi yang sering digunakan yaitu:
a. Bupivakain
Bupivacaine adalah prototipe dan paling banyak digunakan
sebagai agen anestesi lokal jangka panjang amino amide. Tingkat dan
durasi yang dosis terkait. Dalam rentang dosis klinis yang relevan
yaitu dari 3,75 mg - 11,25 mg merupakan bupivakain hiperbarik
0,75%, untuk setiap tambahan tiap miligramnya ada peningkatan rata-
rata durasi anestesi bedah selama 10 menit dan peningkatan selesai
sampai pemulihan setelah 21 menit.
b. Marcaine
Anestesi lokal memblokir konduksi impuls saraf, dengan
meningkatkan ambang batas eksitasi listrik di saraf, dengan
memperlambat penyebaran impuls saraf, dan mengurangi laju
kenaikan dari potensial aksi. Penyerapan sistemik anestesi lokal
menghasilkan efek pada kardiovaskular dan sistem saraf pusat (CNS),
yang dapat menyebabkan atrioventrikular blok, aritmia ventrikel, dan
serangan jantung. Selain itu, kontraktilitas miokard tertekan dan
vasodilatasi perifer terjadi yang menyebabkan penurunan curah
jantung dan tekanan darah arteri.
Durasi anestesi secara signifikan lebih lama dengan Marcaine
dibandingkan dengan anestesi lokal yang lain. Penelitian
farmakokinetik pada profil plasma dari Marcaine setelah injeksi
intravena langsung menyarankan tiga kompartemen model terbuka.
Kompartemen pertama diwakili oleh intravaskular cepat distribusi
obat. Kompartemen kedua merupakan equilibrium obat di seluruh
organ yang sangat perfusi seperti otak, miokardium, paru-paru, ginjal,
dan hati. Ketiga kompartemen merupakan equilibrium obat dengan
perfusi jaringan yang buruk, seperti otot dan lemak. Setelah suntikan
Marcaine, tingkat puncak dalam darah tercapai dalam 30 hingga 45
menit, diikuti penurunan ke tingkat signifikan selama 3 sampai 6 jam.
Dalam studi klinis, pasien usia lanjut mencapai penyebaran
maksimal analgesia dan maksimal blokade motorik lebih cepat
daripada pasien yang lebih muda. pasien usia lanjut juga dipamerkan
puncak konsentrasi plasma yang lebih tinggi setelah pemberian produk
ini. Ginjal adalah organ ekskresi utama untuk kebanyakan anestetik
lokal dan metabolitnya. Marcaine mengiritasi atau merusak jaringan
dan tidak menyebabkan methemoglobinemia
c. Lidokain
Lidokain dianggap pendek untuk durasi menengah agen
anestesi lokal dan secara historis anestesi lokal yang paling banyak
digunakan untuk anestesi spinal. Lidokain polos dosis 50 mg akan
menghasilkan blok puncak T6 dengan timbulnya 2 dermatom regresi
50 pada 120-140 menit. Penggunaan lidocaine telah jatuh secara
dramatis karena kekhawatiran regrading TNS (Transient Neurological
Syndrom).
5. Komplikasi anestesi spinal
Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi 2 kategori, yaitu mayor
dan minor. Komplikasi mayor adalah alergi obat anestesi lokal, transient
neurologic syndrome, cedera saraf, perdarahan subarakhnoid, hematom
subarakhnoid, infeksi, anestesi spinal total, gagal napas, sindrom kauda
equina, dan disfungsi neurologis lain. Komplikasi minor berupa hipotensi,
post operative nausea and vomiting (PONV), nyeri kepala pasca pungsi,
penurunan pendengaran, kecemasan, menggigil, nyeri punggung, dan
retensi urin (Javed dalam Hayati, 2014).

BAB III
PROSES KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

A. PENGKAJIAN
1. Pre Anestesi
a. Identitas Pasien
1) Nama : Ny. N
2) Jenis Kelamin : Perempuan
3) Umur : 48 tahun
4) BB/TB : 45 kg / 155 cm
5) Status Pernikahan : Menikah
6) Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
7) Agama : Islam
8) Pendidikan : SMP
9) Alamat : Banteran RT 04/06 Sumbang
10) Tanggal MRS : 3 April 2017
11) Tanggal Pengkajian : 6 April 2017
12) Diagnosa Medis : Apendisitis Kronis
13) Rencana Operasi : Apendiktomi
14) Nomer Medis : 002706xx
15) Dokter Bedah : dr Fridayati Dewi M, SpB
16) Dokter Anestesi : dr Shila Suryani, M.Sc., Sp.An
17) Rencana Anestesi : RA (Subarachnoid Block/ SAB)
b. Keluhan Utama
Pasien mengatakan perut bagian kanan bawah sangat nyeri
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan sakit dibagian kanan bawah ± 6 bulan yang
lalu. Sering diperiksa ke dokter tetapi sering kambuh.
Kemudian ± 10 hari yang lalu pasien mengeluhan nyeri perut
kanan bawah yang sangat, pasien datang ke IGD RS Margono
Soekardjo dengan semakin hari semakin nyeri. Nyeri
bertambah apabila bergerak. Skala nyeri 6. Pasien juga
mengeluhkan mual, muntah dan demam.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal menderita penyakit jantung, hipertensi,
diabetes melitus, maupun alergi obat dan asma bronkial.
3) Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengatakan anggota keluarganya tidak memiliki
riwayat hipertensi, penyakit jantung, gangguan ginjal, asma,
maupun diabetes mellitus.
d. Kelengkapan Rekam Medis
Persetujuan bedah, persetujuan anestesi, hasil laboratorium, hasil
rontgen
e. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran Umum
Keadaan pasien lemah dengan kesadaran compos mentis.

Suhu = 36,5 oC BB = 45 kg
Nadi = 96 x / menit TB = 155 cm
TD = 150/85 mmHg IMT = 20,4 kg/m2
RR = 20 x/menit
2) Pemeriksaan Kepala
Tidak ada jejas pada kepala maupun wajah, tidak ada
perdarahan yang keluar pada mata, mulut maupun hidung.
Status malampati 1, pasien tidak menggunakan gigi palsu,
lipstik maupun bulu mata palsu.
3) Pemeriksaan dada (paru dan jantung)
Pemeriksaan paru
a) Inspeksi
Dada simetris, perbandingan anterior-posterior dan
transversal 1:2, tidak ada lesi, klavikula simetris,
penarikan nafas seimbang antara dada kiri dan kanan.
b) Palpasi
Tidak ada krepitasi, ekspansi dada kedepan dan
kesamping seimbang.
c) Perkusi
Interkosta 1-3 paru kiri terdengar suara resonan,
interkosta 4-6 paru kiri terdengar suara redup, interkosta
1-6 paru kanan terdengar suararesonan, interkosta 6 paru
kanan terdengar suara redup.
d) Auskultasi
Pada trakhea terdengar suara trakheal, bronkus
terdengar suara bronkheal, bronkeolus terdengar suara
bronkovesikuler.
4) Pemeriksaan jantung
a) Inspeksi
Tidak terlihat denyut pada intercosta 2 kanan (area
katup aorta), intercosta 2 kiri (area katup pulmonalis)
maupun intercosta 5 (ictus cordis).
b) Palpasi
Tidak teraba denyut pada intercosta 2 kanan (area
katup aorta), intercosta 2 kiri (area katup pulmonalis)
tetapi teraba denyut pada intercosta 5 (ictus cordis).
c) Perkusi
Suara redup dibagian intercosta kiri 2-5.
d) Auskultasi
Bunyi jantung reguler (BJ 1 dan BJ 2 tunggal), tidak
ada suara tambahan. Denyut jantung 96x/ menit.
5) Pemeriksaan Tulang Belakang
Bentuk tulang belakang normal, tidak ada luka maupun
benjolan
6) Abdomen
Lama puasa : pasien mulai puasa pukul 24.00 WIB, rencana
operasi pada pukul 10.30 WIB akan tetapi operasi dilakukan
pukul 13.30 sehingga terjadi perpanjangan puasa pasien
menjadi 13 jam
a) Inspeksi
Bentuk simetris, tidak terdapat bekas luka dan tidak ada
benjolan.
b) Auskultasi
Terdengar bunyi peristaltic lemah ± 12 kali/ menit
c) Palpasi
Terdapat nyeri tekan pada abdomen kanan, tidak terdapat
massa dan tidak acites.
d) Perkusi
Terdengar suara timpani pada kuadran kiri atas
7) Ekstremitas
a) Atas
Tangan simetris, tidak terlihat adanya lesi dan odem.
kapillary refill < 3 detik, turgor kulit elastis, nadi radialis
teraba kuat, teratur, terpasang infus RL pada tangan
sebelah kanan dengan kecepatan 20 tpm.
b) Bawah
Kaki simetris, tidak ada lesi kaki, turgor kulit elastis,
kapillary refill < 3 detik.
8) Neurologis
a) Status mental dan emosi :
Ekspresi wajah pasien tampak cemas, tidak tenang.
b) Kekuatan otot

kanan 5 5 kiri
5 5

Keterangan:

0. : Otot sama sekali tidak mampu bergerak, tampak


berkontraksi
1. : Tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada
tahanan sewaktu jatuh.
2. : Mampu menahan tegak/ gaya gravitasi (saja), tapi jatuh
dengan sentuhan
3. : Tidak mampu melawan tekan/ dorongan dari pemeriksa
4. : Kekuatan kurang dibandingkan sisi lain.
5. : Kekuatan utuh
9) Status ASA
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun
gangguan organik lainnya dan tidak didapati adanya
komplikasi pada keluhan yang dirasakan sehingga dapat
dikategorikan pasien memiliki status fisik ASA II.

f. Pemeriksaan Penunjang
1) Hasil Hematologi 3 April 2017
Nama Hasil Normal
Hematologi
Eritrosit 4,3 10ᴧ6/µL 3,3 – 5,2 10ᴧ6/µL
Leukosit 7050 mm3 3.600 – 11.000 mm3
Hemoglobin 12,9 g/dl 11,7 – 165,5
Hematokrit 37 % 35 – 47 %
Trombosit 303.000/ µL 150.000 – 440.000 mm3
MCV 85,5 fL 80 – 100
MCH 28,8 Pg/cell 26 – 34 PG
MCHC 33,7 % 32 – 36 g/DL
RDW 12,9% 11,5 – 14,5
MPV 9,5 fL 9,4-12,4
Hitung Jenis
Basofil 0,1 % 0-1
Eusinofil 1,6 % 2-4
Batang 0,4 % 3-5
Segmen 71,1 % 50-70
Limfosit 20,7 % 25-40
Monosit 6,1 % 2-6
PTT 8,9 detik 9,9 – 11,4 detik
APTT 22,7 detik 29,0-40,2 detik
Kimia Klinik
Ureum darah 9,1 Mg/dL 14,98-38,52
Kreatinin Darah 0,52 mg/dL 0,70-1,30
Glukosa Sewaktu 106 mg/dL ≤ 200

2) Pemeriksaan USG Abdomen


Tanggal 4 April 2017
Hasil:
 Pre peritoneal fat line kanan kiri baik
 Psoas line kanan kiri dan kontur kedua ginjal baik
 Tak tampak opasitas patologis pada cavum abdomen
 Jumlah dan distribusi udara usus meningkat
 Tak tampak dilatasi maupun distensi usus
 Tak tampak gambaran herring bone maupun coiled spring
 Tampak banyak fecal material pada hernia abdomen kanan/kiri
 Pada proyeksi LLD, tak tampak multipel air fluid level
 Tak tampak free air
Kesan :
Gambaran meteorismus
Tak tampak gambaran ileus maupun pneumoperitoneum

3) EKG
Tgl Jenis Diagnosa
pemeriksaan
4 April 2017 EKG a. HR 96 x/menit
b. Sinus Rhytme

4) Rontgen Thoraks
Tanggal 4 April 2017
Hasil :
a. Cor : bentuk dan letak jantung normal
b. Pulmo: corakan vaskuler tampak meningkat dan kasar, tak
tampak bercak pada kepua lapang paru
c. Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
d. Sinus costofrimus kanan kiri lancip
Kesan:
Cor tak membesar

g. Evaluasi Pra Anestesi


1) Kesiapan Perawat
a) Perawat sudah menyiapkan alat anestesi regional
subarachnoid (jarum spinal (spinocain) no 27 G, spuit 5 cc,
obat Bupivacain Marcain 15 mg, kassa, iodine, alkohol,
sarung tangan) maupun anestesi umum (mesin anestesi,
stetoscope, laringoscope, tube (ET/LMA), Airway (Mayo,
nasal canule), plester, stilet, conector, suction), obat
emergency
2) Kesiapan Pasien
a) Pasien telah melakukan puasa
b) Pasien telah mengosongkan kandung kemih, BAK
terakhir pukul 06.00 WIB
c) Pencukuran area operasi
d) Pasien telah memakai baju dan topi operasi
e) Sign in dilakukan untuk mempersiapkan dan
memastikan kondisi pasien, data yang didapat diantaranya:
status pasien ASA 1, pasien telah terpasang IV line
terpasang dengan infus RL 500 cc di tangan kanan,
mengalir lancar, tidak ada persediaan darah, pasien tidak
memiliki riwayat penyakit hipertensi, jantung maupun
diabetes melitus, pasien tidak memiliki riwayat alergi pada
obat maupun makanan, tekanan darah pasien 150/85 mmHg
f) Pasien diajarkan nafas dalam
g) Pasien diberikan pendidikan kesehatan untuk makan
makanan TKTP karena tidak ada riwayat alergi, tekstur
jenis makanan bertahap dari makanan lunak menuju
makanan biasa, setelah 24 jam dianjurkan untuk tirah
baring.

3) Kesiapan Obat
a) Obat premedikasi berupa ondansetron telah
diberikan dengan dosis 4 mg
b) Obat anestesi marcaine dengan dosis 15 mg telah
disiapkan

2. Intra Anestesi
a. Prosedur Intra anestesi
1) Pasien dipindahkan ke meja operasi
2) Pasien dipasang tensimeter, pulse oksimeter, nasal kanule
dengan kecepatan 2 lpm
3) Hidupkan bed side monitor dan atur pengukuran tekanan
darah tiap 5 menit
4) Pasien dibantu duduk dengan kepala dan bahu ditekuk ke
bawah
5) Prosedur anestesi spinal dilakukan dokter spesialis anestesi
meliputi:
a) Desinfeksi area spinal dengan kasa betadin, alkohol dan
bersihkan dengan kasa kering
b) Menentukan lokasi penusukan L3-L4 dengan identifikasi
SIAS dekstra-sinistra
c) Penusukan jarum spinal dengan teknik penusukan meliputi
teknik midle, teknik paramedian dan teknik lumbosacral
sampai kedalaman ruang SAB
d) Waktu tepat untuk injeksi obat anestesi yaitu saat ujung
jarum spinal berada pada ruang SAB ditandai dengan cairan
CSS keluar jernih/tanpa darah maka jarum spuit dihubungkan
dengan jarum spinal: aspirasi CSS 0,1 ml, kecepatan injeksi 1
ml/3-5 detik dan masukan obat sesuai dosis kemudian jarum
spinal dicabut, tutup tempat suntikan dengan plester luka/kasa
kering steril
6) Posisikan pasien supinasi
7) Monitor tanda-tanda vital serta saturasi oksigen
8) Menanyakan keluhan pasien setelah penyuntikan spinal
meliputi sesak nafas (-), mual muntah (-), kesemutan pada kedua
kaki (+), kedinginan (-)
9) Monitor kebutuhan cairan selama intra operatif
a) Kebutuhan cairan pasien selama operasi:
Rumus Maintenance : 2 cc/kgBB/jam x BB
: 2 x 45 : 90 cc
Rumus Pengganti Puasa : lama puasa x maintenance
: 13 x 90 : 1170 cc
Rumus Stress operasi : jenis operasi x BB
: 6 x 45 : 270 cc
b) Pemberian cairan intra operasi
Jam I : ½ PP + M + SO
: 585 + 90 + 270
: 1530 cc
Jam II : ¼ PP + M + SO
: 292,5 + 90 + 270
: 652,5 cc = 653 cc
Jam III : ¼ PP + M + SO
: 292,5 + 90 + 270
: 652,5 cc = 653 cc
Jam IV : M + SO
: 90 + 270
: 360 cc
c) Pengganti perdarahan
 Perdarahan < 20% dari EBV maka dapat diberikan
kristalod : koloid ( 3:1)
 Perdarahan > 20% dari EBV maka cairan digantikan
dengan tranfusi darah
 EBV Ny.N : BB x 65 : 45 x 65 : 2925 cc
Perdarahan intra operatif : 100 cc ( perdarahan 3,4 %)
10) Perawat anestesi mengobservasi keadaan pasien dan terus
memastikan apakah pasien sudah bernafas spontan atau belum

b. Rekam Monitor Pasien Intra Anestesi


Jam Tindakan Tensi Nadi Sa O2
13.20  Pasien masuk ke kamar 150/85 96 100
operasi, dan dipindahkan ke
meja operasi
 Pemasangan monitoring
tekanan darah dan saturasi
oksigen
 Infus RL terpasang pada
tangan kanan
13.30 Dilakukan spinal anestesi 145/87 90 100
 Spinocan No 27
 Marcain 15 mg
Kemudian pasien di baringkan
dan dipasang canule O2 dengan
kecepatan 2 liter/menit
13.35 Menanyakan pasien rasa kebas 136/88 93 100
atau kesemutan pada area
ekstremitas.
13.40 Operasi dimulai, sayatan 139/84 86 100
paramedial di bagian kanan
sepanjang ± 15 cm
13.55 Terjadi penurunan tekanan 92/54 86 100
darah (efek obat anestesi
marcain)
13.56 Diberikan efedrin 1 cc dengan 92/54 88 99
dosis 10 mg rute IV
14.00 Terjadi kenaikan tekanan darah 100/60 70 99
14.10 Pasien mengeluh mual, ingin 100/65 89 100
muntah
14.11 Diberikan ondansetron 4 mg 96/75 86 100
rute IV bolus
14.20 Terjadi peningkatan tekanan 140/80 87 99
darah akibat nyeri lokasi
sayatan
14.21 Diberikan Isofluran 2 vol %, 122/80 78 100
N2O 2 lpm dan O2 3 lpm pasien
dianjurkan menghirup zat
volatil sampai operasi selesai
14.27 Gas Isofluran dikurangi menjadi 120/82 78 100
1,5 vol %
14.28 Gas Isofluran dihentikan 122/84 81 100
14.30  Operasi selesai 120/80 66 100
 Gas O2 dan N2O
dihentikan
 Pelepasan alat
monitoring
 Pasien dipindahkan ke
ruang recovery room
14.40 Dilakukan pemasangan alat 118/80 70 99
monitoring pada recovery room

3. Post Anestesi
a. Pasien dipindahkan ke ruang PACU
b. Di ruang PACU pasien dipasang monitor oksigen nasal kanul 2
lpm, tensimeter dan saturasi oksigen
c. Pasien terpasang IVFD RL 500 ml dengan kecepatan 20 tpm
d. Pasien diberikan ketorolac 30 mg (1 ampul) rute IV
e. Melakukan observasi keadaan pasien hingga kesadaran penuh atau
bromage score > 2
f. Observasi hemodinamik pasien setiap 5 menit selama 15 menit
ANALISA DATA
NO. DATA ETIOLOGI MASALAH
1. Pre Anestesi Kurang Cemas
DS:
pengetahuan
- Pasien mengatakan cemas
masalah
akan dibius
pembiusan /
- Pasien cemas jika setelah
operasi
dibius masih terasa sakit saat
di operasi
DO:
- Wajah tampak gelisah
- Data TTV:
TD: 150/85 mmHg
N : 96 x/menit

DS: Persiapan Risiko


- Pasien mengatakan sudah anestesi dan gangguan
puasa sejak pukul 24.00 WIB operasi (puasa) keseimbangan
DO: cairan dan
- Bibir kering elektrolit
- Nadi 96x/menit

2. Intra Anestesi Vasodilatasi Risiko


DS: -
pembuluh darah gangguan
DO:
dampak obat keseimbangan
- Pada menit ke 13.55 terjadi
anestesi cairan dan
penurunan tekanan darah
elektrolit
menjadi 92/54 mmHg
- Perdarahan 100 cc
DS: Efek sekunder Gangguan rasa
- Pasien mengatakan mual dan obat anestesi nyaman mual
ingin muntah muntah
DO:
- TD pasien 96/75 mmHg pada
pukul 14.11 WIB

DS: Manipulasi Nyeri akut


- Pasien mengatakan sangat saluran cerna
sakit dibagian perut yang di
operasi
- Pasien sering beristighfar
DO:
- Wajah pasien meringis
kesakitan
- TD : 150/85 mmHg
- Nadi: 96 x/menit
3. - Anestesi
Post Pengaruh Hambatan
DS:
sekunder obat mobilitas
- Pasien mengatakan kakinya
anestesi (RA) ekstremitas
masih sulit, terasa berat
bawah
digerakkan
DO:
- Setelah pindah ke PACU,
ketika diminta menggerakkan
kaki, kaki pasien belum bisa
digerakkan

DS: Agen cidera fisik Nyeri akut


- Pasien mengatakan luka (tindakan operasi)
operasi sudah terasa nyeri
DO:
- Wajah pasien tampak
kesakitan
- TD : 150/85 mmHg
- Nadi: 96 x/menit
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pre Anestesi
a. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah
pembiusan ditandai dengan pasien mengatakan cemas akan
dibius, pasien cemas jika setelah dibius masih terasa sakit
saat di operasi, wajah tampak gelisah, Data TTV: TD: 150/85
mmHg, N : 96 x/menit
b. Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan persiapan anestesi dan operasi (puasa)
ditandai dengan Pasien mengatakan sudah puasa sejak pukul
24.00 WIB, bibir kering, nadi 96x/menit, pasien tampak
lemas.

2. Intra Anestesi
a. Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah dampak
obat anestesi ditandai dengan pada menit ke 13.55 terjadi
penurunan tekanan darah menjadi 92/54 mmHg, perdarahan
100 cc
b. Gangguan rasa nyaman mual muntah berhubungan
dengan efek sekunder obat anestesi ditandai dengan pasien
mengatakan mual dan ingin muntah, TD pasien 96/75
mmHg pada pukul 14.11 WIB
c.Nyeri akut berhubungan dengan manipulasi saluran cerna
ditandai dengan pasien mengatakan sangat sakit dibagian
perut yang di operasi, pasien sering beristighfar, wajah
pasien meringis kesakitan, TD : 150/85 mmHg, nadi: 96
x/menit
3. Pasca Anestesi
a. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
berhubungan dengan pengaruh sekunder obat anestesi (RA)
ditandai dengan setelah pindah ke PACU, ketika diminta
menggerakkan kaki, kaki pasien belum bisa digerakkan
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
(tindakan operasi) ditandai dengan pasien mengatakan luka
operasi sudah terasa nyeri, wajah pasien tampak kesakitan,
TD : 148/92 mmHg, nadi: 94 x/menit

C. PRIORITAS DIAGNOSIS KEPERAWATAN


1. Pre Anestesi
a. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah
pembiusan
b. Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan persiapan anestesi dan operasi (puasa)
2. Intra Anestesi
a. Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah dampak obat
anestesi
b. Gangguan rasa nyaman mual muntah berhubungan dengan
efek sekunder obat anestesi
c. Nyeri akut berhubungan dengan manipulasi saluran cerna
3. Pasca Anestesi
a. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah berhubungan
dengan pengaruh sekunder obat anestesi (RA)
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (tindakan
operasi)
D. PERENCANAAN, PELAKSANAAN DAN EVALUASI
Nama : Ny. N Dx Medis : Apendisitis Kronis Anestesi : RA SAB
Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Rasional Implementasi Evaluasi
1. Keperawatan
Hari, tanggal : Hari, tanggal : Kamis. Kaji tingkat kecemasan Memberikan gambaran Hari, tanggal : Kamis. 6 Hari, tanggal : Kamis.
Kamis. 6 April 6 April 2017, pukul: kecemasan yang April 2017, pukul: 10.40 6 April 2017, pukul:
2017, pukul: 10.30 WIB dirasakan pasien dan WIB 13.10 WIB
10.30 WIB Setelah dilakukan alternatif cara - Mengkaji tngkat S:
Pre Operasi Dorong pasien untuk Memberikan informasi - Pasien mengatakan
tindakan keperawatan kecemasan
Cemas mengungkapkan untuk membantu dalam - Mendorong pasien cemas sedikit berkurang
selama menit, cemas
berhubungan perasaan menentukan untuk setelah diberitahu
pasien dapat berkurang
dengan kurang cemas,ketakutan, pilihan/keefektifan mengungkapkan rasa prosedur
dengan kriteria hasil:
pengetahuan - Pasien mengatakan
- Menyatakan tahu persepsi intervensi cemas
masalah - Memberi informasi lebih nyaman setelah
tentang proses Dampingi pasien dan Menurunkan kecemasan
pembiusan tentang prosedur nafas dalam
pembiusan ajak komunikasi pasien terhadap O:
- Menyatakan siap anestesi sesuai
terapeutik lingkungan baru - Wajah pasien sedikit
untuk dibius kewenangan perawat
- Pasien tampak Berikan informasi Menurunkan ketegangan anestesi tenang setelah melatih
- Menganjurkan pasien
tenang tentang prosedur otot, memberikan nafas dalam
- Pasien mengatakan untuk nafas dalam - TD: 130/85 mmHg
anestesi sesuai gambaran operasi dan
- Mengukur tanda- N: 88 x/menit
cemas sudah hilang
kewenangan perawat memberikan gambaran RR: 20 x/menit
tanda vital pasien
atau berkurang
anestesi tentang tindakan yang A: Cemas teratasi
- Tanda-tanda vital
akan dilakukan. P: Hentikan intervensi
pasien normal (TD:
Sistole 130-100/ Anjurkan pasien Teknik relaksai
melakukan teknik membantu dalam Fika
Diastole 90-70, N
60-100 x/menit, RR relaksai nafas dalam mengatasi kecemasan

20x/menit) yang terjadi


Monitor Tanda-tanda Perubahan tanda-tanda
vital vital dapat diakibatkan
oleh respon tubuh
terhadap ansietas

Dengan memberikan
Kolaborasi pemberian
terapi sesuai dengan
obat sedatif dengan
prosedur diharapkan rasa
dokter anestesi
cemas klien
berkurangklieberkurang/h
3. Hari, tanggal : Hari, tanggal : Kamis. 6 Kaji tingkat kekurangan Memberikan informasi Hari, tanggal : Kamis. 6 Hari, tanggal : Kamis.
Kamis. 6 April April 2017, pukul: 10.30 volume cairan untuk membantu dalam April 2017, pukul: 10.50 6 April 2017, pukul:
2017, pukul: WIB menentukan intervensi WIB 13.10 WIB
10.30 WIB Setelah dilakukan - Menanyakan lama S:
Risiko tindakan keperawatan puasa pasien - Pasien mengatakan
- Mengobservasi
gangguan selama 30 menit risiko sudah puasa sejak
kelancaran tetesan
keseimbangan gangguan keseimbangan Monitor masukan dan Memantau pukul 24.00 WIB
infus - Pasien mengatakan
cairan dan cairan dapat dihindari keluaran cairan keseimbangan cairan - Memonitor cairan pre
haus
elektrolit dengan kriteria hasil:
anestesi yang sudah - Pasien mengatakan
- Pasien menyatakan
berhubungan
masuk infus diganti tadi
tidak haus dan lemas
dengan - Mengukur tanda-
- Akral kulit hangat pagi
persiapan - Input dan Output tanda vital O:
- Memonitor - Bibir tampak kering
anestesi dan seimbang Monitor tanda-tanda Perubahan tanda-tanda - Pasien puasa selama
keadekuatan
operasi (puasa) vital vital dapat diakibatkan 13 jam
pemberian cairan
oleh respon tubuh - Infus RL 500 ml
infus RL 500 ml
terhadap dehidrasi. terpasang lancar
Kekurangan cairan A: Risiko gangguan
menyebabkan terlepasnya keseimbangan elektrolit
hormon renin yang teratasi sebagian
menimbulkan kenaikan P: Lanjutkan intervensi.
tekanan darah, nadi - Kelola pemberian
cairan infus sesuai
penghitungan
Kolaborasi pemberian Rehidrasi akan kebutuhan cairan
cairan infus dengan mengembalikan cairan
dokter yang hilang Iin

4. Hari, tanggal : Hari, tanggal : Kamis. Kaji tingkat kekurangan Memberikan informasi Hari, tanggal : Kamis. 6 Hari, tanggal : Kamis.
Kamis. 6 April 6 April 2017, pukul: volume cairan untuk membantu dalam April 2017, pukul: 14.10 6 April 2017, pukul:
2017, pukul: 13.45 WIB menentukan intervensi WIB 14.30 WIB
13.45 WIB Setelah dilakukan - Memonitor cairan pre S:
Intra Anestesi tindakan keperawatan anestesi yang sudah - Pasien mengatakan
selama 40 menit risiko masuk haus dan terasa
Risiko - Mengukur tanda-
gangguan keseimbangan dingin
gangguan tanda vital O:
cairan dapat dihindari
keseimbangan - Memonitor tetesan - Pasien puasa selama
dengan kriteria hasil:
cairan dan cairan infus RL 500 13 jam
- Pasien menyatakan
- Infus RL 500 ml
elektrolit tidak lemas Monitor masukan dan Memantau ml terpasang lancar
- Akral kulit hangat - Perdarahan 100 cc
berhubungan keluaran cairan keseimbangan cairan
- Input dan Output
A: Risiko gangguan
dengan
seimbang
Monitor tanda-tanda Perubahan tanda-tanda keseimbangan elektrolit
persiapan
vital vital dapat diakibatkan teratasi sebagian
anestesi dan
oleh respon tubuh P: Lanjutkan intervensi.
operasi (puasa)
terhadap dehidrasi. - Kelola pemberian
Kekurangan cairan cairan infus sesuai
menyebabkan terlepasnya penghitungan
hormon renin yang kebutuhan cairan
menimbulkan kenaikan
tekanan darah, nadi
Kolaborasi pemberian Rehidrasi akan Iin
cairan infus dengan mengembalikan cairan
dokter yang hilang

8. Hari, tanggal : Hari, tanggal : Kamis. Kaji rasa mual pasien Mengetahui masukan dan Hari, tanggal : Kamis. 6 Hari, tanggal : Kamis.
Kamis. 6 April 6 April 2017, pukul: keluaran cairan selama April 2017, pukul: 14.40 6 April 2017, pukul:
2017, pukul: 14.20 WIB intra anestesi WIB 14.40 WIB
14.20 WIB Setelah dilakukan - Menanyakan pasien S:
Gangguan rasa asuhan keperawatan Atur posisi kepala Posisi kepala lateral dapat keluhan mual dan - Pasien mengatakan
nyaman mual selama 10 menit, rasa pasien lateral mencegah terjadinya monitor tanda mual mual berkurang
- Mengatur posisi kepala - Pasien mengatakan
muntah mual muntah pasien aspirasi
miring masih pusing
berhubungan berkurang dengan
- Memonitor tanda-tanda
O:
dengan efek kriteria hasil:
vital
- Obat ondansetron dosis
sekunder obat - Pasien menyatakan Mengelola pemberian
Mual dapat terjadi karena 40 mg rute IV
anestesi mual berkurang obat antiemetik
Monitor gejala mual - TTD : 100/65 mmHg
- Pasien tidak muntah tekanan darah yang turun
ondansetron 4mg rute N: 89 x/mnt
Tanda-tanda vital stabil dan tekanan darah
- Posisi kepala pasien
IV
dalam batas normal
miring
(TD: Sistole 130-100/
A: Gangguan rasa nyaman
Diastole 90-70, N 60-
mual muntah teratasi
100 x/menit, RR
sebagian
20x/menit)
P: Lanjutkan intervensi.
 Monitor tanda-tanda
Mengetahui dan vital
Kolaborasi pemberian  Monitor gejala mual
mencegah terjadinya
obat analgetik dengan dan tekanan darah
kejadian hipotensi yang  Kaji keluhan mual
dokter muntah di PACU
dapat menimbulkan mual
dan muntah
Eka

9. Hari, tanggal : Hari, tanggal : Kamis. Kaji karakteristik nyeri Memberikan informasi Hari, tanggal : Kamis. 6 Hari, tanggal : Kamis.
Kamis. 6 April 6 April 2017, pukul: (P,Q,R,S,T) untuk membantu dalam April 2017, pukul: 14.20 6 April 2017, pukul:
2017, pukul: 14.40 WIB menentukan WIB 14.40 WIB
14.40 WIB Setelah dilakukan pilihan/keefektifan - Mengkaji karakteristik S: -
Nyeri akut
tindakan keperawatan intervensi nyeri O:
berhubungan Ajarkan teknik relaksasi Menurunkan tegangan - Mengajarkan teknik
selama 10 menit, nyeri - Pasien diberikan
dengan nafas dalam otot, memfokuskan nafas dalam
pasien dapat berkurang isoflurant
- Memberikan posisi
manipulasi kembali perhatian dan
dengan kriteria hasil: menggunakan face
nyaman
saluran cerna - Menyatakan nyeri dapat meningkatkan
mask 2 vol %
hilang kemampuan koping. - Pasien tampak nyaman
- Pasien tampak Monitor tanda-tanda Dengan posisi nyaman tidak kesakitan
tenang vital dapat menghilangkan A: Nyeri akut teratasi
Tanda-tanda vital
tegangan otot P: Hentikan intervensi
pasien normal (TD:
Sistole 130-100/ Kelola pemberian obat Dengan memberikan

Diastole 90-70, N analgesik ketorolak 30 terapi sesuai dengan

60-100 x/menit, RR mg rute IV prosedur diharapkan rasa


Eka
20x/menit nyeri klien
berkurang/hilang
Kolaborasi dengan Dengan memberikan
dokter pemberian anti terapi sesuai dengan
emetik prosedur diharapkan rasa
mual pasien berkurang
10. Hari, tanggal : Hari, tanggal : Kaji karakteristik nyeri Memberikan informasi Hari, tanggal : Kamis. 6 Hari, tanggal : Kamis.
Kamis. 6 April Kamis. 6 April 2017, (P,Q,R,S,T) untuk membantu dalam April 2017, pukul: 14.28 6 April 2017, pukul:
2017, pukul: pukul: 14.28 WIB menentukan WIB 14.28 WIB
14.28 WIB pilihan/keefektifan - Mengkaji karakteristik S:
Setelah dilakukan
Post Anestesi
intervensi nyeri - Pasien mengatakan
Nyeri akut tindakan keperawatan
berhubungan selama 20 menit, nyeri Ajarkan teknik relaksasi Menurunkan tegangan - Menganjurkan nafas nyeri di perut bagian
dengan pasien dapat berkurang nafas dalam otot, memfokuskan dalam kanan bawah, nyeri
- Mengelola pemberian
manipulasi dengan kriteria hasil: kembali perhatian dan bertambah jika
- Menyatakan tahu obat analgetik berupa
saluran cerna dapat meningkatkan bergerak, nyeri seprti
tentang proses ketorolak 30 mg rute IV
kemampuan koping. ditusuk-tusuk, nyeri
pembiusan Berikan posisi nyaman Dengan posisi nyaman
hilang timbul tetapi
- Menyatakan siap
pada pasien dapat menghilangkan
sering
untuk dibius
tegangan otot - Pasien mengatkan
- Pasien tampak
setelah nafas dlama
tenang
- Pasien mengatakan nyeri sedikit
cemas sudah hilang berkurang
Dengan memberikan
atau berkurang Kolaborasi pemberian O:
- Tanda-tanda vital terapi sesuai dengan
obat analgetik dengan - Pasien terlihat lebih
pasien normal (TD: prosedur diharapkan rasa
dokter rileks
Sistole 130-100/ nyeri klien
A; Nyeri akut teratasi
Diastole 90-70, N berkurang/hilang
sebagian
60-100 x/menit, RR
P: Lanjutkan intervensi
20x/menit)
- Kaji nyeri
- Kolaborasi pemberian
ketorolak 30 mg rute
IV

Fika
11. Hari, Hari, tanggal : Kamis. Atur posisi pasien Dengan posisi nyaman Hari, tanggal : Kamis. 6 Hari, tanggal : Kamis.
tanggal : 6 April 2017, pukul: dapat menghilangkan April 2017, pukul: 14.40 6 April 2017, pukul:
Kamis. 6 April 14.40 WIB tegangan otot WIB 14.40 WIB
2017, pukul: Setelah dilakukan asuhan - Mengatur posisi pasien S:
Kaji kemampuan Menentukan pemulihan - Menggerakkan
14.40 WIB keperawatan selama 20 - Pasien mengatakan
ekstremitas pasien motorik pasien akibat dari ekstremitas bagian
Hambatan menit pasien mampu sudah nyaman dengan
setiap 5 menit di PACU spinal anestesi bawah
mobilitas menggerakkan ekstremitas posisinya
- Mengukur bromage score
(bromage score) - Pasien mengatakan
ekstremitas bawah bawah
berhubungan , dengan kriteria hasil: Gerakkan dan ajarkan Memperlancar sirkulasi sudah bisa menekuk
dengan pengaruh - Tidak ada neurophati pergerakan ekstremitas pasien kakinya
- Skore Bromage > 2
sekunder obat bawah O:
anestesi (RA) - Posisi pasien semi
fowler
- Score Bromage yaitu 0
A: Hambatan mobilitas
ekstremitas bawah teratasi
P: Hentikan intervensi

Fika
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Pada kasus pasien Ny. N dengan diagnosa Apendisitis Kronis


menggunakan anestesi regional subarachnoid blok dengan tindakan
apendiktomi. Alasan pemilihan anestesi spinal dikarenakan anestesi
spinal mampu membverikan relaksasi dinding abdominal anterior
yang optimal serta tidak menyebabkan iritasi pada peritoneal sepoerti
pada penggunaan general anestesi karena peningkatan tekanan intra
abdomen yang disebabkan CO2 serta pemakaian GA harus disertai
ventilasi yang adekuat. Sedangkan pada saat ini kasus apendisitis lebih
disarankan menggunakan tindakan laparoskopi, hal ini dikarenakan
pasien terdiagnosa apendisitis kronis dan umbai cacing menempel atau
lengket sehingga diprediksi tindakan laparatomi.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI.2008.Profil kesehatan Indonesia. Jakarta

Dermawan, D., & Rahayuningsih, T. (2010). Keperawatan Medikal Bedah Sistem


Pencernaan. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Dunn, P. F., Jean, K., dan Carl, E. R. (2011). Clinical Anesthesia Procedures of
the Massachusetts General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins.

Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya


Media

Gwinnutt, Carl. L. (2011). Catatan Kuliah Anestesi Klinis 3rd ed. Jakarta: EGC

Hayati, Kenangan M S, Ahmad Husairi. (2014). Gambaran Angka Komplikasi


Pasca Anestesi Spinal Pada Pasien Seksio Sesaria (skripsi).

Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, MR. (2009). Petunjuk praktis anestesiologi
ed 2. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

Majid, A dkk. (2011). Keperawatan Perioperatif. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Mansjoer, A., dkk. (2007).Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Rojas, J. O. D., Peter, S., dan William, C. W. (2014). Regional anesthesia versus
general anesthesia for surgery on the lumbar spine: A review of the
modern literature. Clinical Neurology and Neurosurgery

Salinas, F.V., Michael, F.M., Christhoper M.B., Susan B.M. (2009). Spinal
Anesthesia In A Practical Approach To Regional Anesthesia 4th Edition,
New York: lippincontt Wiliams & Wilkins

Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. (2005).Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, B. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &Suddart


Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC

Tzanakis NE et al, (2005). A New Approach to Accurate Diagnosis of Acute


Appendicitis: world journal of surgery
Yuswana. (2005). Tehnik Anestesi Farmakologi Obat-Obat Anestesi dan Obat-
Obat Bantuan Dalam Anestesi dan Emergencies. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai