2. Etiologi Apendisitis
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang bisanya di
sebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan
limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada
dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan ulserasi mukosa
akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya
apendisitis pada lebih dari separoh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan
lumen (Sjamsuhidajat, 2005).
4. Patofisiologi Apendisitis
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium (Price, 2006).Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan
terus meningkat, hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di
daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitissupuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitisgangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi (Mansjoer, 2010).
5. KlasifikasiApendisitis
Klasifikasi apendisitis di bagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidajat, 2005).
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang di dasari oleh
radang mendadak umbai cacaing yang memberikan tanda setempat,di sertai
maupun tidak disertai rangsangan peritonium lokal. Gejala apendisitis akut
adalah nyeri samar- samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di
daerah epigastrium di sekitar umblikus. Keluhan ini sering di sertai mual dan
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ketitik mc Burney
b. Apendisitis kronik
Diagnosisapendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika di temukan
adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa, dan adanya sel inflamasi kronik.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
2) Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat
sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi
akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi, Hb (hemoglobin)
nampak normal, Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat, Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat
infeksi pada ginjal (Norton,2001 dalam Nurarif. A 2016).
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras
BaS04serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara
peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam
untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram
dibaca oleh dokter spesialis radiologi.
2) Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses
subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal,
atau efusi pleura (Penfold, 2008).
7. Penatalaksanaan Apendisitis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita
apendisitismeliputi penanggulangan konservatif dan operatif.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita
yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian
cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik(Oswari, 2000).
b. Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitismaka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks
(Apendiktomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik
dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan
drainase (Oswari, 2000).
Menurut brunner & suddart (2002) Pembedahan diindikasi bila
diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV di berikan
sampai pembedahan di lakukan. Analgesic bisa di berikan setelah diagnosa
di tegakkan. Apendiktomi dapat di lakukan di bawah anastesi spinalsi atau
anastesi umumdengan insisi abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang
merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
2. Intra Operasi
a. Pengkajian
fokus keperawatan intra operasi Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya
operasi bagi pasien yang diberi anestesi total adalah yang bersifat fisik saja,
sedangkan pada pasien yang diberi anaestesi lokal ditambah dengan
pengkajian psikososial.Secara garis besar yang perlu dikaji adalah:
1) Pengkajian mental, bila pasien diberi anaestesi lokal dan pasien masih
sadar/terjaga maka sebaiknya perawat menjelaskan prosedur yang
sedang dilakukan terhadapnya dan memberi dukungan agar pasien tidak
cemas/takut menghadapi prosedur tersebut.
2) Pengkajian fisik, tanda-tanda vital (bila terjadi ketidaknormalan maka
perawat harus memberitahukan ketidaknormalan tersebut kepada ahli
bedah).
3) Transfusi dan infuse, monitor flabot sudah habis apa belum.
4) Pengeluaran urin, normalnya pasien akan mengeluarkan urin sebanyak
1 cc/kg BB/jam.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan intraoperatif bedah apendisitis yang lazim menurut
standar diagnosis keperawatan Indonesia (SDKI) (Tim Pokja DPP PPNI,
2018) adalah sebagai berikut:
1) Risiko aspirasi berhubungan dengan terpasang endotracheal tube
Definisi: Beresiko mengalami masuknya sekresi gastrointestinal,
sekresi orofaring, benda cair atau padat ke dalam saluran
trakeobronkhial akibat disfungsi mekanisme protektif saluran napas.
Faktor resiko:
a) Penurunan tingkat kesadaran
b) Penuruna reflex muntah dan/atau batuk
c) Gangguan menelan
d) Disfagia
e) Kerusakan mobilitas fisik
f) Peningkatan residu lambung
g) Peningkatan tekanan intragastrik
h) Penurunan motilitas gastrointestinal
i) Sfingter esophagus bawah inkompeten
j) Perlambatan pengosongan lambung
k) Terpasang selang nasogastrik
l) Terpasang trakeostomi atau endotrachealtube
m) Trauma/pembedahan leher, mulut, dan/atau wajah
n) Efek agen farmakologis
o) Ketidakmatangan koordinasi menghisap, menelan, dan bernapas
Kondisi klinis terkait:
a) Tindakan pembedahan
c. Rencana intervensi
Menurut standar diagnosis keperawatan Indonesia (SDKI) (Tim Pokja DPP
PPNI, 2018) intervensi keperawatan yang dilakukan berdasarkan diagnosa
diatas adalah:
1) Risiko aspirasi berhubungan dengan terpasang endotracheal tube
Intervensi:
Observasi:
a) Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah, dan kemampuan
menelan.
b) Monitor status pernapasan.
c) Monitor bunyi napas.
d) Monitor posisi selang endotrakeal (ETT), terutama setelah
mengubah posisi.
Teraupetik:
a) Pasang oropharingeal airway (OPA) untuk mencegah ETT tergigit.
b) Cegah ETT terlipat (kinking).
c) Berikan pre-oksigenasi 100% selama 30 detik (3-6 kali ventilasi)
sebelum dan setelah penghisapan.
d) Berikan volume pre-oksigenasi (bagging atau ventilasi mekanik)
1,5 kali volume tidal.
e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik jika diperlukan
(bukan secara berkala/rutin).
Kolaborasi:
a) Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk mocous plug yang tidak
dapat dilakukan penghisapan.
3. Post Operasi
a. Pengkajian fokus keperawatan post operasi
Pengkajian post operasi dilakukan secara sitematis mulai dari pengkajian
awal saat menerima pasien, pengkajian status respirasi, status sirkulasi, status
neurologis dan respon nyeri, status integritas kulit dan status genitourinarius.
1) Status respirasi, meliputi: kebersihan jalan nafas, kedalaman pernafasaan,
kecepatan dan sifat pernafasan dan bunyi nafas.
2) Status sirkulasi, meliputi: nadi, tekanan darah, suhu dan warna kulit.
3) Status neurologis, meliputi tingkat kesadaran.
4) Balutan, meliputi: keadaan drain dan terdapat pipa yang harus disambung
dengan sistem drainage.
5) Kenyamanan, meliputi: terdapat nyeri, mual dan muntah
6) Keselamatan, meliputi: diperlukan penghalang samping tempat tidur,
kabel panggil yang mudah dijangkau dan alat pemantau dipasang dan
dapat berfungsi.
7) Perawatan, meliputi: cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran
cairan. Sistem drainage : bentuk kelancaran pipa, hubungan dengan alat
penampung, sifat dan jumlah drainage.
8) Nyeri, meliputi: waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan faktor yang
memperberat /memperingan.
b. Diagnosis Keperawatan Post Operasi
Diagnosa yang sering muncul pada post operasi sesuai dengan standar
diagnosis keperawatan Indonesia (SDKI) (Tim Pokja DPP PPNI, 2018)
adalah:
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
pembedahan)
Definisi: Pengalaman sensori atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan beritensitas ringan hingga berat dan konstan, yang
berlangsung lebih dari 3 bulan.
Penyebab:
a) Agen pencedera fisiologis, misal: inflamasi, iskemia, neoplasma
b) Agen pencedera kimiawi, misal: terbakar, bahan kimia iritan
c) Agen pencedera fisik, misal: abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan
Gejala dan tanda mayor:
a) Subjektif
Mengeluh nyeri
b) Objektif
Tampak meringis
Bersikap protektif, misal: waspada posisi menghindari
nyeri Gelisah
Frekuensi nadi meningkat
Sulit tidur
Gejala dan tanda minor:
a) Subjektif (-)
b) Objektif
Bersikap protektif, misal: posisi menghindari nyeri
Waspada
Pola tidur berubah
Anoreksia
Fokus menyempit
Berfokus pada diri sendiri
Kondisi terkait:
a) Kondisi pembedahan
b) Cedera traumatis
c) Infeksi
d) Sindrom koroner akut
e) Glaukoma
Agung Prabowo. 2018. Tingkat kelelahan Kerja Perawat Kamar Bedah RSUP Dr
Kariadi Semarang. Di publikasikan http://repository.unimus.ac.id/id/eprint/1904
di akses pada 19 April 2020
Mutaqqin, Arif, & Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Perioperatif: Konsep,
Proses, dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal (Aplikasi asuhan
keperawatan medikal bedah). Jakarta: Salemba medika
Lemone Priscilla dkk. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol.2 Edisi 5,
Jakarta: EGC Lusianah & Suratun. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Gastrointestnal. Jakarta: Trans Info Media
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses &
Praktik, (Ed). Jakarta: EGC
Smeltzer and Bare. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta:
EGC.
Tim Pokja DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta.
Tim Pokja DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta.
Tim Pokja DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1 Cetakan II. Dewan Pengurus Pusat PPNI:
Jakarta.