A DENGAN
APPENDISITIS DILAKUKAN TINDAKAN OPERASI APPENDICTOMY DENGAN
REGIONAL ANESTESI DI RUANG OPERASI RSUD SIMO BOYOLALI
DISUSUN OLEH :
Nama : Muhammad Irfan
NIM : 2019040029
A. DEFINISI
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi
dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian
cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi
hancur. (Aru W, Sudoyo, dkk. 2017).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pemanahan. Bila infeksi bertambah parah,
usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan
menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar
kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus
Iainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan
lendir. (Suratun. 2015).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2016)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2018).
B. ETIOLOGI
Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi menghasilkan lender
1-2 ml per hari yang normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir
kesekum. Hambatan aliran lendir dimuara apendiks tampaknya berperan di dalam
pathogenesis dalam pathogenesis apendiks (Wim de jong at ala.2016)
3. Tumor appendiks.
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis yang dapat menyebabkan sumbatan..
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada darah
lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam
setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum
protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94%
dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan
hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium
enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma
colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus
atau batu ureter kanan.
E. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna
untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka
dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi
intra-abdomen.
BAB II
PERTIMBANGAN ANESTESI
A. DEFINISI
Anestesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia, relaksasi dan hilangnya reflek
(Smeltzer, S C, 2002). Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis
kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian
tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
B. JENIS ANESTESI
Menurut Potter & Perry tahun 2006, pasien yang mengalami pembedahan akan menerima
anestesi dengan salah satu dari tiga cara sebagai berikut:
1. Anestesi Umum Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluruh
sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh.
Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor, yang
membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.
2. Anestesi Regional Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi pada
daerah tubuh tertentu. Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi, epidural anestesi,
kaudal anestesi. Metode induksi mempengaruhi bagian alur sensorik yang diberi
anestesi. Ahli anestesi memberi regional secara infiltrasi dan lokal. Pada bedah
mayor, seperti perbaikan hernia, histerektomi vagina, atau perbaikan pembuluh
darah kaki, anestesi regional atau spinal anestesi hanya dilakukan dengan induksi
infiltrasi. Blok anestesi pada saraf vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan
motoric menimbulkan vasodilatasi yang luas sehingga klien dapat mengalami
penurunan tekanan darah yang tiba – tiba
3. Anestesi Lokal Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat terdifusi ke
dalam
sirkulasi. Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur minor pada tempat
bedah sehari.
C. TEKNIK ANESTESI
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan 3
teknik, yaitu:
1. General Anestesi Intravena Teknik general anestesi yang dilakukan dengan
jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah
vena.
2. General Anestesi Inhalasi Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
3. Anestesi Imbang Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi
teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara
optimal dan berimbang, yaitu:
(a) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat
anestesi umum yang lain.
(b) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau
obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
(c) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.
Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah
general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi,
berikut obat-obat yang dapat digunakan pada kedua teknik tersebut.
Anestesi Intravena:
1. Atropine sulfat
2. Pethidin
3. Atrakurium
4. Ketamine hcl
5. Midazolam
6. Fentanyl
7. Rokuronium bromide
8. Prostigmin
Anestesi Inhalasi:
1. Nitrous Oxide
2. Halotan
3. Enfluren
4. Isofluran
5. Sevofluran
2. Sirkulasi Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak cukup diganti.
Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika
tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.
3. Regurgitasi danMuntah Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia
selama anastesi. Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
4. Hipotermi Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain itu juga
karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga memengaruhi ketiga elemen
termoregulasi yang terdiri atas elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat
dan juga respons eferen, selain itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta
mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas
ambang untuk respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan juga
berkeringat.
5. Gangguan Faal Lain Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan
oleh kerja anestesi yang memanjang karena 14 dosis berlebih relatif karena penderita
syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi lambat
dikeluarkan dari dalam darah.
BAB III
WOC
BAB IV
C. RENCANA INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh
inflamasi)
Setelah dilakukan asuhan kepenataan, diharapkan nyeri klien berkurang dengan
kriteria hasil:
a) Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c) Tanda vital dalam rentang
normal Rencana Intervensi:
a) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
b) Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri
c) Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam
C. EVALUASI
Evaluasi Keperawatan Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan
keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan
cara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Terdapa dua jenis evaluasi:
1. Evaluasi Formatif (Proses) Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini
meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP :
a) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien yang
afasia.
b) (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh perawat.
c) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis atau dikaji
dari data subjektif dan data objektif.
d) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan
memperbaiki keadaan kesehatan klien.
2. Evaluasi Sumatif (Hasil) Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah
semua aktivitas proses keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3
kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan (Setiadi,
2012), yaitu:
a) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan perubahan sesuai
dengan standar yang telah ditentukan.
b) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien masih dalam
proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian
kriteria yang telah ditetapkan.
c) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya menunjukkan
sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.5 Jilid 2. Jakarta :
InternalPublishing
Brunner, Suddarth. 2006. Keperawatan Medikal Bedah volume 2. Jakarta : EGC
Corwin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Gallo, Hudak. 2010. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta :
EGC
Kidd, Pamela. 2011. Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC.
Krisanty, Paulina. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC.
Suratun. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal cet.1. Jakarta :
Trans Info Media.
Wilson, Iorraine dan Sylvia A. Prince. 2006. Patpfisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC