Anda di halaman 1dari 25

TUGAS ILMIAH

KEPANITERAAN KLINIK FK UMS


CASE REPORT
HALAMAN JUDUL

GENERAL ANESTESI PADA KASUS APENDISITIS DENGAN


LAPAROTOMI

PENYUSUN
Ady Siswanto
J510215162

PEMBIMBING
dr. Damai Suri, Sp. An

PRODI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik FK UMS
CASE REPORT
Prodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Judul : General Anestesi pada Kasus Apendisitis dengan Laparotomi


Penyusun : Ady Siswanto, S.Ked (J510215162)
Pembimbing : dr. Damai Suri, Sp. An

Karanganyar, Desember 2021


Penyusun

Ady Siswanto, S.Ked


Menyetujui,
Pembimbing

dr. Damai Suri, Sp. An


Mengetahui,
Kepala Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran UMS

dr. Iin Novita N.M.,M.Sc.,Sp.PD

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya
appendiks vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan
panjang 6-9 cm dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar bernama
sekum yang terletak pada perut kanan bawah. (Handaya et al., 2017).
Di Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan pertama sebagai angka
kejadian Appendisitis akut tertinggi dengan prevalensi 0.05%. Prevalensi
appendisitis akut di Indonesia berkisar 24,9 kasus per 10.000 populasi.
Appendisitis ini bisa menimpa pada laki-laki maupun perempuan dengan risiko
menderita appendisitis selama hidupnya mencapai 7-8%. Prevalensi tertinggi
terjadi pada usia 20-30 tahun. Appendisitis perforasi memiliki prevalensi antara
20-30% dan meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun dari semua kasus
apendisitis (Wahyu et al., 2018).
Pasien appendicitis biasanya dilakukan tindakan laparotomi dengan general
anestesi. Jika menggunakan teknik regional anestesi akan menimbulkan rasa tidak
nyaman pada pasien karena iritasi peritoneal langsung yang menimbulkan rasa
sakit selama laparoskopi, karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak
dengan permukaan peritoneum sehingga menyebabkan rasa sakit pada
pundak.Pada tindakan laparoskopi diperlukan relaksasi otot (agar organ abdomen
tidak keluar dan terjadi relaksasi) sehingga diperlukan muscle relaxant, muscle
relaxant ini bekerja pada otot lurik kemudian terjadi kelumpuhan otot pernafasan,
otot interostalis, abdominalis, dan relaksasi otot-otot ekstremitas, pasien tidak
dapat bernafas spontan, karena otot pernafasan lumpuh, perlu control nafas, perlu
teknik anestesi yang menjamin zat anestesi inhalasi serta N2O dan O2 masuk ke
trakea 100% dan dianestesi dengan GTA (Morgan, 2015)
Dalam setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang
tepat dan benar, termasuk dalam tindakan operasi pada kasus ini. Bedasarkan latar
belakang diatas maka tatalaksana anestesi pada kasus ini penting untuk dibahas
dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Apendisitis
1. Definisi
Apendisitis perforasi adalah proses peradangan usus buntu atau
umbai cacing akibat pecahnya apendiks yang sudah gangren dimana
terjadi pembusukan yang menghasilkan cairan nanah yang tidak
tertangani. Penyumbatan akan menyebabkan lumen usus buntu
terhambat, sehingga bakteri menumpuk di usus buntu dan menyebabkan
peradangan akut dengan perforasi dan pembentukan abses sampai
adanya jaringan nekrotik disekitar daerah perforasi (Ferris et al., 2018).
2. Etiologi
Massa apendiks terbentuk diawali oleh adanya apendisitis akut yang
merupakan infeksi bakteri. Beberapa hal berperan sebagai faktor
pencetusnya, sumbatan apendiks merupakan faktor risiko tertinggi,
dilankut hyperplasia jaringan limfoidm fekalit, tumor apendiks dan cacing
askaris. Kebiasan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang
berakibat adanya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon (Khan et al., 2018).
3. Manifestasi klinis
Apendisitis perforasi didahului oleh keluhan apendisitis akut yang
kemudian disertai adanya perforasi pada caecum. Gejalanya biasanya
bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang
berhubungan dengan muntah. Dalam beberapa jam nyeri beralih ke
kuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila mengubah posisi
atau tidak sengaja tertekan. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise,
mual muntah hingga syok (Keith et al., 2019).
4. Diagnosis
Anamnesis dengan keluhan utama nyeri samar-samar dan tumpul
yang bermula di epigastrium atau umbilical yang diikuti dengan anoreksia
dan mual. Nyeri kemudian berpindah ke perut kanan bawah.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam ringan, jika demam tinggi
mungkin terjadi perforasi. Apendisitis perforasi terlihat dengan adanya
penonjolan di perut kanan bawah. Adanya nyeri tekan yang terbatas di
regio kanan bawah dan adanya rovsing sign saat penekanan regio kiri
bawah.
Pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan leukosit dengan
netrofil > 75% adanya gambaran perforasi appendiks di USG (Awayshih
et al., 2019).
5. Terapi
Bila diagnosis klinis sudah jelas, terapi yang sesuai dan tepat adalah
laparotomi atau appendektomi (Keith et al., 2019).
B. Laparotomi
1. Definisi
Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu
insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat
dan Jong, 2016). Laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan
pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan
obgyn. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan
tenik insisi laparatomi ini adalah herniotomi, gasterektomi,
kolesistoduodenostomi, hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi,
kolostomi, hemoroidektomi dan fistuloktomi. Sedangkan tindakan bedah
obgyn yang sering dilakukan dengan tindakan laparatomi adalah berbagai
jenis operasi pada uterus, operasi pada tuba fallopi, dan operasi ovarium,
yang meliputi hissterektomi, baik histerektomi total, radikal, eksenterasi
pelvic, salpingooferektomi bilateral (Smeltzer, 2014).
2. Indikasi
- Trauma Abdomen

4
- Peritonitis
- Obtruksi Usus
3. Tujuan
Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami
nyeri abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang
mengalami trauma abdomen. Laparatomy eksplorasi digunakan untuk
mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan perbaikan bila
diindikasikan (Smeltzer, 2014).
C. General Anastesi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa nyeri secara
sentral yang bekerja di susunan saraf yang bekerja di susunan saraf pusat
dan disertai disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Secara
umum komponen yang ada dalam general anestesi adalah hipnosis
(hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia
(hilangnya reflex kesadaran), relaksasi otot (memudahkan prosedur
pembedahan) (Sirait et al., 2020).
1. Pembagian Anestesi Umum/General Anestesi
a. General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam intravena
b. General Anestesi inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan
atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi.
c. General Anestesi kombinasi
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang (American
Society of Anesthesiologist., 2015).

5
2. Mekanisme kerja general anestesi
Secara umum, mekanisme kerja anestesi umum ini berdasarkan
dibawah pengaruh protein sistem saraf pusat (SSP) yang dapat
membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil. Hidrat gas ini yang
kemudian dapat merintangi transmisi rangsangan di sinaps dan dengan
demikian mengakibatkan anestesia. Anestesi ini akan bekerja bila
dimasukkan ke dalam akson saraf dan melakukan penetrasi ke dalam
akson dalam bentuk basa larut lemak.Hal ini juga ditentukan oleh
konsentrasi anestetik di dalam susunan saraf pusat. Kecepatan
daripada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi anestesi)
sangat bergantung pada banyaknyafarmakokinetika yang
mempengaruhi ambilan dan penyebaran anestetik.
Absorbsi sistemik anestesi dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya dosis. Keadaan ini nyata terhadap obat yang massa
kerjanya singkat atau menengah seperti lidokain, ambilan obat oleh
saraf diduga diperkuat oleh kadar obat yang tinggi, dan efek dari
toksik sistemik obat yang akan berkurang karena kadar obat yang
masuk dalam darah hanya sepertiganya saja. Distribusi anestesi
disebar luas dalam tubuh setelah pemberian dan dapat menunjukkan
bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi dalam jaringan lemak.
Metabolisme dan eksresi anestesi diubah dalam hati dan plasma
menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian
dieksresikan ke dalam urin. Karena anestesi yang bentuknya tak
bermuatan dapat mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau
tidak sama sekali bentuk netralnya yangdieksresikan karena bentuk ini
tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal. Farmakokinetik
ditentukan oleh 3 hal, yaitu lipid atau water solubility ratiodan protein
menentukan onsetof action, pKa menentukan keseimbagan antara
bentuk kation dan basa. Kecepatan onset anestesi ditentukan oleh
salah satunya kecepatan metabolisme.

6
Kerja obat anestesi yaitu apabila obat anestesi inhalasi, dihirup
bersama-sama udara inspirasi lalu masuk ke dalam saluran pernafasan,
di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah.
Demikian juga yang disuntikkan secara intravena, obat tersebut akan
diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam
sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar ke dalam jaringan. Secara
otomatis jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ
vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang
pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak.
Kerja obat anestesi juga tergantung jenis obatnya, dimana di
dalam jaringan sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang
terjadi di hepar, ginjal, atau jaringan lain. Ekskresi bisa melalui ginjal,
hepar, kulit, atau paru-paru. Ekskresi bisa dalam bentuk asli atau hasil
metabolismenya. (Bunga dkk, 2017). Pada pasien yang gemuk, proses
absorbsi dan eksresi juga dapat menghambat apabila pada pasien post
operasi mengalami gangguan metabolik maka pasien dapat mengalami
keterlambatan pulih sadar.(de Carli et al., 2020)
3. Indikasi general anestesi
a. Infant dan anak usia muda (tidak kooperatif)
b. Dewasa yang memilih anestesi umum
c. Pembedahan luas
d. Penderita sakit mental
e. Pembedahan lama
f. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak
memuaskan
g. Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
h. Penderita dengan pengobatan antikoagulan
i. Ekstraksi gigi pada tahap awal infeksi supuratif
4. Kontraindikasi general anestesi
a. Hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110)
b. Diabetes Mellitus tak terkontrol

7
c. Infeksi akut
d. Sepsis
e. GNA
Selain itu, tergantung pada efek farmakologi pada organ yang
mengalami kelainan.
a. Jantung : hindarkan pemakaian obat-obat yang mendespresi
miokard atau menurunkan aliran darah coroner
b. Hepar : hindarkan obat hepatotoksik, obat yang toksis terhadap
hepar ataudosis obat diturunkan
c. Ginjal: hindarkan atau seminim mungkin pemakaian obat yang
diekskresi melalui ginjal
d. Paru : hindarkan obat-obat yang menaikkan sekresi dalam paru
e. Endokrin : hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan
saraf simpatis pada diabetes penyakit basedow, karena bisa
menyebabkan peninggian gula darah
5. Komplikasi general anestesi
Komplikasi kadang–kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik–baiknya. Komplikasi dapat
dicetuskan oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri.
Komplikasi dapat timbul pada waktu pembedahan ataupun setelah
pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi dimana
tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari
sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada
periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat
membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena jantung
bekerja keras dengan kebutuhan–kebutuhan miokard yang meningkat
yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi
kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak
sadar, hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.

8
D. Teknik dan Obat-Obatan pada Anestesi Umum
Obat-obat anestesi umum dikelompokan menjadi hipnotik, sedatif dan
analgesik .
1) Hipnotik
Golongan obat ini akan menimbulkan efek tidak sadarkan diri.
Golongan hipnotik dapat berupa gas dan cairan. Untuk jenis gas, misalnya
halotan, sevofluran, isofluran dan ethrane, cara dihirup melalui sungkup
muka. Pada dosis tertentu, obat hipnotik cair yang diberikan secara
intravena yaitu propofol , ketamin dan thiopental
2) Sedatif
Obat sedatif dapat menyebabkan pasien merasa tenang, tujuan
pemberian obat ini adalah untuk memberikan suasana nyaman bagi pasien
prabedah , bebas dari rasa cemas dan takut. Contoh obat sedatif adalah
midazolam dan diazepam.
3) Analgetik narkotik / opioid
Golongan opioid digunakan untuk menghilangkan nyeri selama
tindakan operasi. Obat golongan opioid yaitu morfin, petidin, fentanyl dan
sufentanyl. Dari keempat obat tersebut, sufenta adalah obat analgetik yang
paling kuat.

Tabel 1.Obat Anestesi Intravena


Obat Anestesi Intravena Kegunaan
1. Ketamin Hipnotik & Analgetik
2. Thiopental Hipnotik
3. Propofol Hipnotik
4. Diazepam Sedatif dan menurunkan tonus otot
5. Midazolam Sedatif
6. Pethidine Analgetik & Sedatif
7. Morphine Analgetik & Sedatif
8. Fentanyl Analgetik & Sedatif

9
Tabel 2. Obat Anestesi Inhalasi
Obat ANestesi Inhalasi Kegunaan
N20 Analgetik
Halotan Hipnotik Kuat, Analgetik & Relaks
Otot
Enfluran Hipnotik Kuat, Analgetik & Relaks
Otot
Isof;luran Hipnotik Kuat, Analgetik & Relaks
Otot
Sevofluran Hipnotik Kuat, Analgetik & Relaks
Otot
Desfluran Hipnotik Kuat, Analgetik & Relaks
Otot

1. Premedikasi
a. Midazolam
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk
premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan
dengan diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi
metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang
tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung
dan pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat
timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan.
Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan
dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada
orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB.
Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri,
denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.
2. Induksi
a. Propofol
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat
dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan
mual-mual. Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang
berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1%
(1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol menghambat

10
transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah
obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai
dalam waktu 30 detik.
3. Maintainance
a. N2O
N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat
sampai 240°C (NH4 NO3 ? 2H2O + N2O)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis,
tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.
Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang operasi. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi
dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebagainya. Pada
akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat
keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan
terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia
difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk
mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan
20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% :
30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada pasien
pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan
timpanoplasti.
E. Intubasi
Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya
anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intravena,
intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya

11
disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan.
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS :
S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope
T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring
(nasofaring) yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
agar lidah tidak menymbat jalan napas
T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C = Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction Penyedot lendir dan ludah
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi
dan oksigenasi bagi pasien operasi.
Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
(Permana., 2018) (American Society of Anesthesiologist., 2015).

12
13

BAB III
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : Bp. W
No.RM : 437106
Jenis Kelamin : Laki-laki
Masuk Tgl : 06/12/2021
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Agama : Islam
Alamat : Perum Puri Kahuripan Blok C8 Jati, Jaten, Karanganyar
Dokter Anestesi : dr. Damai Suri, Sp.An
Dokter Operator : dr. Haryono Sp.B

II. Anamnesa :
a. A (Alergy)
Pasien tidak memiliki alergi.
b. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan
c. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), hipertensi (-).
d. L (Last Meal)
Pasien puasa 8 jam dimulai tengah malam
e. E (Enviroment)
Pasien seorang laki-laki usia 37 diagnosa apendisitis.

III. Keluhan Utama


Nyeri di perut kanan bawah, mual muntah (+), demam (+)
IV. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien laki-laki usia 37 tahun datang dengan keluhan nyeri di
regio kanan bawah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit disertai mual
muntah dan demam (+) , BAK dan BAB lancar.

V. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat Alergi : disangkal
c. Riwayat Asma : disangkal
d. Riwayat Hipertensi : disangkal
e. Riwayat Diabetes : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal

VI. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat Asma : disangkal
c. Riwayat Alergi : disangkal
d. Riwayat Hipertensi : disangkal
e. Riwayat Diabetes : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal

VII. Riwayat Operasi dan Anastesi


Tidak ada.

VIII. Anamnesis Sistemik


a. Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
b. Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
c. Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
d. Abdomen : Diare (-), konstipasi (+) dan BAB (-),
e. Urologi : Nyeri BAK (-) dan panas (-)
f. Muskolo : Nyeri (-) ekstremitas dextra (femur)
g. THT : Telinga berdenging(-), hidung tersumbat(-), nyeri telan (-)
h. Mata : Anemis (-), ikterik (-)

14
IX. PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Vital Sign :
1) Tekanan darah : 120/80 mmHg
2) Frekuensi Nafas : 22x/ menit
3) Frekuensi Nadi : 60x/ menit
4) Suhu : 36,8o C
5) SpO2 : 98 %
d. Kepala
Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-), pernapasan cuping hidung
(-)
e. Leher
Retraksi supra sternal (-), peningkatan JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-)
f. Thorak
1) Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus dinding dada simetris, krepitasi (–)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/+)
2) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Redup
Auskultasi: Bunyi jantung I & II murni reguler, Murmur (-)
g. Ekstremitas
Akral hangat, kering, oedem (-), nyeri (-)

2. Status Lokalis

15
Regio Abdomen
Inspeksi : Tampak flat, tidak distended
Auskultasi : Peristaltik usus normal
Palpasi : Nyeri (+) regio kanan bawah, pembesaran organ (-)
Perkusi : Pekak (hepar), timpani, nyeri (-)

X. Pemeriksaan penunjang
A. Laboratorium
Darah Rutin Nilai Nilai normal Satuan
Hb 16.4(H) 12.3 – 15.3 g/dL
Ht 43.8 35 – 47 Vol%
Leukosit 16.58(H) 4.4 – 11.3 10^3/uL
Trombosit 197 154 – 386 mm3
Eritrosit 4.99 4.1 – 5.1 10^6/uL
MCV 87.7 82.0 – 92.0 fL
MCH 32.9 28 – 33 Pg
MCHC 37.5(H) 32.0 – 37.0 g/dL
Neutrofil 84.3(H) 50.0-70.0 %
Limfosit 11.4 25.0 – 40.0 %
Monosit 3.2 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 1.0 0,5 – 5,0 %
Basofil 0.1 0,0 – 1,0 %
NLR 7.39 < 3.13 %
GDS 133 70 – 150 mg/dL
Masa pembekuan (CT) 05.30 2-8 menit
Masa perdarahan (BT) 02.30 1-3 menit

Lainnya Nilai Nilai Normal Satuan


Protein Negative Negative
Golongan Darah O
Rapid Test Covid 19 Non Reaktif Non Reaktif
HbsAg (Rapid) Non Reaktif Non Reaktif

16
B. EKG (5 Desember 2021)
Normal Sinus Ritme (NSR)
C. Radiologi (5 Desember 2021)
1. Thorax: Pulmo ada kesan bronchitis dan Cor dalam batas normal
2. USG Abdomen: adanya gambaran appendicitis.
XI. Diagnosis
Appendisitis perforasi.

XII. TERAPI
Program Operasi Appendisitis Laparotomy dengan GA ET oral ASA II
Obat Anestesi yang diresepkan : Dexamethason 2ml, Sedacum (Midazolam)
0.1 mg/kgBB, fentanyl 1mcg/kgBB, Recofol (propofol) 2mg/kgBB, Ecron,
Sevofluran, N2O, dan O2.

XIII. KONSUL ANESTESI


Seorang pasien laki-laki usia 37 tahun yang akan dilakukan tindakan
laparotomy pada tanggal 8 Desember 2021.
Hasil Laboratorium : Hb 16.4, Hct 43.8, AL 16, CBC 197,
dan GDS 133
Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg, Frekuensi
Nafas : 12x/ menit, Frekuensi
Nadi : 86x/menit, Suhu : 36,8o C,
SpO2 : 98 %
Derajat ASA : II
Rencana tindakan anastesi : General Anestesi dengan Midazolam

XIV. LAPORAN ANESTESI


Nama : Bp. W
No.RM : 437106
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 37 tahun

17
Diagnosa pra bedah : Apendisitis pro laparotomi dengan GA ET oral ASA 2
A. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa ≥ 8 jam
2. Jenis Anestesi : General Anestesi
3. Premedikasi : Sedacum (Midazolam) 5ml dan fentanyl 1ml.
4. Cairan : Ringer Laktat 300ml, Tutofusin 500 ml.
5. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman anestesi, cairan, dan perdarahan.
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar (recovery room).
7. Transfusi sebelumnya : tidak pernah transfusi darah.

B. Tindakan Pra Anestesi


1. Cek identitas penderita, alergi dan persetujuan operasi
2. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
3. Pemeriksaan tanda-tanda vital
4. Lama puasa ≥ 8 jam
5. Cek kelengkapan obat dan alat anestesi
6. Posisi pasien terlentang

C. Teknik Anestesi
1. Pasien disiapkan sesuai dengan pedoman evaluasi oral anastesia
2. Pasang alat bantu yang dibutuhkan (monitor)
3. Premedikasi dilakukan dengan memberikan Midazolam dan
fhentanyl.
4. Induksi dapat dilakukan dengan obat anestesi :
a. Intravena: Propofol
b. Inhalasi: Sevofluran dan (N2O+O2).
5. Pengelolaan jalan nafas dengan intubasi dan pasang pipa
endotrakeal.

18
6. Pernafasan pasien dikendalikan secara mekanik atau manual, berikan
bantalan untuk ekstensi kepala dan suplemen oksigen sesuai
kebutuhan
7. Pastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal
8. Selesai operasi, pemberian obat-obatan anestesi dihentikan perlahan
(Sevofluran)
9. Setelah itu lakukan ekstubasi pipa endotrakeal
10. Pindahkan pasien ke Recovery Room dalam posisi kepala terekstensi
11. Pemantauan pra dan intra anestesia dicatat didokumentasikan dalam
rekam medik pasien.

D. POST-OPERASI
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan atau
recovery room. Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pantau
tanda-tanda vital pasien per 5 menit. Pasien diperbolehkan pindah ruang
(keluar dari recovery room) bila Aderet Score > 8.
Instruksi Pasca Anestesi
Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Setelah
pemulihan pasca anestesi pasien dirawat di bangsal sesuai dengan bagian
operator. Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan Teratai 1.
 Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat.
 Bila muntah diberikan ondansetron 4 mg dan bila kesakitan diberikan
analgesik seperti sub ketoprofen 200 mg. Bila nyeri bertambah,
konsultasi ke bagian anestesi.
 Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), dan lebih dari 2
jam boleh diberi minum secara bertahap.
 Infus RL 20 tpm

19
E. Aldrete Score
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete >
8 (delapan).

No. Kriteria Nilai


Aktivitas Motorik
a. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas sendiri 2
1. atau atas perintah
b. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas 1
c. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
Respirasi
2. a. Mampu nafas dalam dan tidak batuk 2
b. Dispnea, pernafasan dangkal dan terbatas 1
c. Henti nafas atau apnea 0
Tekanan darah
a. Berubah +20 mmHg dari tekanan darah 2
3. pra anestesi
b. Berubah +20-50 mmHg dari tekanan pra 1
anestesi
c. Berubah +50 mmHg dari tekanan pra anestesi 0
Kesadaran
4. a. Sadar penuh dan orientasi baik 2
b. Sadar setelah dipanggil 1
c. Tidak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
Saturasi Oksigen
a. SpO2 >92% pada udara ruangan 2
5. b. Memerlukan tambahan O2 untuk 1
mempertahankan SpO2 >92%
c. SpO2 <92% dengan tambahan O2 0

Score aldrete pasien didapatkan skor akhir 9, pasien dapat


dipindahkan dari ruang recovery ke ruang Wijaya sebelum dapat pulang
ke rumah. Pasien keluar ruang recovery dengan keadaan umum baik dan
sadar, tanpa menggunakan alat bantu pernapasan, dan vital sign dalam
keadaan normal.

20
21

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis dari pasien ini bisa ditegakan dengan anamnesis dan hasil
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui keadaan umum pasien dan memastikan
apakah operasi tersebut dapat dilakukan. Status fisik pada pasien ini dimasukkan
ke dalam ASA II (pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang)
dan pada pasien ini dilakukan general anestesi.
Pasien ini diberikan obat premedikasi berupa N20, 02, Fentanyl dan
Sevfluran. Dalam teknik general anestesi pasien diberikan obat secara intravena
obat yang diberikan kepada pasien adalah propofol. Kemudian di cek untuk vital
sign setiap 5 menit, jika tensi meningkat bisa diberikan clonidine dengan merk
dagang catapres dan tensi rendah diberikan efedrin.
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan atau recovery
room. Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pantau tanda-tanda vital
pasien per 5 menit. Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar dari recovery
room) bila Alderet score 8 / >
22

BAB V
KESIMPULAN

Seorang pasien laki - laki usia 37 tahun datang ke IGD RSUD Karanganyar
dengan keluhan nyeri perut pada seluruh lapang abdomen kemudian menjalar ke
bagian kanan bawah sudah 3 hari yang lalu dan didiagnosa appendicitis. Operasi
dilakukan pada tanggal 8 Desember 2021 dan tindakan anestesi yang dilakukan
adalah general anestesi .
Evaluasi pre operasi pada pasien tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi
kontraindikasi dilakukannya general anestesi
Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut American
Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA II. Di ruang
pemulihan (recovery room) vital sign pasien dalam batas normal dan nilai skor
aldrete yang didapat adalah 9 sehingga pasien dapat dipindahkan dari ruang
pemulihan (RR) ke bangsal kembali.
23

DAFTAR PUSTAKA

Amalina A. (2018). Hubungan Leukosit Pre Operasi Dengan Kejadian


Komplikasi Pasca Operasi Apendiktomi Pada Pasien Apendisitis Perforasi
Di RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(4): 491-497.
American Society of Anesthesiologist, (2015). 10. American Society
of Anesthesiologists. Statement on Documentation of Anesthesia Care.
http://www.asahq.org/~/media/Sites/ASAHQ/Files/Public/Resources/stand
ards-guidelines/statement-on-documentation-of-anesthesia-care.pdf. Di akses
pada 9 Desember 2021.
Armstrong, R.A. & Mouton, R. 2018. Definitions of anaesthetic technique and the
implications for clinical research. Anaesthesia, 73(8): 935–940.
Awayshih, M.M. Al, Nofal, M.N. & Yousef, A.J. 2019. Evaluation of alvarado
score in diagnosing acute appendicitis. Pan African Medical Journal, 34: 1–
4.
de Carli, D., Amaral Meletti, J.F., Urnau Neto, N.E., Martinez, G., Corrêa Kim,
A.L. & Soares de Camargo, R.P. 2020. General anesthesia technique and
perception of quality of postoperative recovery in women undergoing
cholecystectomy: A randomized, double-blinded clinical trial. PLoS ONE,
15(2): 1–12.
Di Saverio, S., Podda, M., De Simone, B., et al. 2020. Diagnosis and treatment of
acute appendicitis: 2020 update of the WSES Jerusalem guidelines. World
Journal of Emergency Surgery, 15(1): 1–42.
Handaya, Adeodatus Yuda. (2017). Deteksi Dini & Atasi 31 Penyakit
Bedah Saluran Cerna (Degrstif). Jogjakarta : Rapha Publishing.
Keith A. Hanson et al., 2021. In Hospital Perforatrion Risk in Acute Appendicitis
Age Matters. Volume 219, issue 1, p65-70 januari 01 2020.
Khan, M.S., Chaudhry, M.B.H., Shahzad, N., Tariq, M., Memon, W.A. & Alvi,
A.R. 2018. Risk of appendicitis in patients with incidentally discovered
appendicoliths. Journal of Surgical Research, 221: 84–87.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jss.2017.08.021.
Lewar, E.I. 2018. Efek Pemberian Obat Anestesi Inhalasi Sevofluran Terhadap
Perubahan Frekuensi Nadi Intra Anestesi Di Kamar Operasi Rumah Sakit
Umum Daerah Umbu Rara Meha Waigapu. Jurnal Info Kesehatan, 14(2):
1019–1028. https://media.neliti.com/media/publications/259687-effect-of-an-
infrastructure-an-infrastru-5d72afd5.pdf
%0Ahttps://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/72f10650a82cb9367ddc5f
f5a193878f.pdf.
Permana, S.S., Pradian, E. & Yadi, D.F. 2018. Perbandingan Keberhasilan dan
Waktu Intubasi Endotrakeal pada Manekin antara Bantal Intubasi Standar
dan Bantal Intubasi Modifikasi. Jurnal Anestesi Perioperatif, 6(3): 193–199.
Ridjman Kidwai dan Sharma, A. 2018. Acute perforated appendicitis : clinical
profile and analysis of risk factors. Journal nepalgunj medical college.
Vol.16 no. 2 Desember 2018:1-3.
Sirait, R.H., Faculty, M. & Indonesia, U.K. 2020. The Comparison of the Use of
Spinal Anesthesia with General Anesthesia in Appendectomy Patients at
Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia from January 2016 -
August 2018. , 63(5).
Wijaya Wahyu., Mizar Eranto., Ringgo A., 2021. Perbandingan Jumlah Leukosit
Darah pada Pasien Appendisitisi Akut dengan Appendisitis Perforasi. Vol 11,
No, 1, Juni 2020, pp;341-346 p-ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN: 2654-4563.

24

Anda mungkin juga menyukai