Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Mei 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

EPISTAKSIS POSTERIOR

Oleh:
Risky Sesa Rini, S.Ked/ K1A1 14 040
Muhammad Alfian Rahman, S.Ked/ K1A1 15 087

Pembimbing:
dr. Nur Hilaliyah, M.Kes, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA & LEHER
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Risky Sesa Rini, S.Ked
NIM : K1A1 14 040
Judul : Epistaksis Posterior
Bagian : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Mei 2020


Pembimbing

dr. Nur Hilaliyah, M.Kes., Sp. THT-KL


HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Muhammad Alfian Rahman, S.Ked
NIM : K1A1 15 087
Judul : Epistaksis Posterior
Bagian : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Mei 2020


Pembimbing

dr. Nur Hilaliyah, M.Kes., Sp. THT-KL


A. PENDAHULUAN
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh
darah,berjalan superfisial sehingga mudah mengalami kerusakan dan relatif tidak
terlindungi. Pembuluh darah submukosa hidung mendapat darah dari kedua arteri karotis
interna dan eksterna yang membentuk anyaman di depan sekat rongga hidung 1.
Mimisan atau dalam bahasa medis disebut dengan epistaksis merupakan
pendarahan yang terjadi di bagian hidung. Epistaksis ini merupakan gejala dari berbagai
penyakit yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Sebanyak 60 % manusia pernah
mengalami epistaksis di dalam hidupnya dan hanya 10% diantaranya yang membutuhkan
tindakan medis, hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya. Epistaksis dapat terjadi
pada siapa saja, baik anak- anak, orang dewasa maupun lansia. Umumnya kondisi ini
sering terjadi pada anak- anak pada umur 2 sampai 10 tahun dan lansia umur 50 sampai
80 tahun. Epistaksis yang terjadi pada anak- anak ini biasanya tidak berlangsung lama
dan berhenti spontan sehingga tidak membutuhkan tindakan medis ataupun perawatan di
rumah sakit. Epistaksis cenderung lebih sering terjadi pada laki – laki yaitu sebesar 58 %
dibandingkan dengan perempuan sebesar 42%2.
Epistaksis ini terbagi menjadi dua kategori berdasarkan sumber pendarahannya,
yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior merupakan
pendarahan di bagian hidung depan yang disebabkan oleh kumpulan arteri yang
membentuk sebuah anyaman yang dikenal sebagai pleksus kiesselbach ( Little’s area )
atau dari ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior merupakan pendarahan di
bagian belakang hidung yang disebabkan oleh arteri ethmoidalis posterior2.
Epistaksis anterior sering terjadi pada anak anak, pendarahan biasanya tidak
begitu hebat atau massif, sering berhenti spontan atau dengan penekanan pada cuping
hidung. Di lain sisi, epistaksis posterior merupakan pendarahan massif yang dapat
mengancam nyawa pasien sehingga dibutuhkan penanganan medis khusus. Epistaksis
posterior ini sering terjadi pada pasien lanjut usia dan biasanya disertai dengan mual dan
anemia2.
B. ANATOMI
1. Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung bagian luar menonjol
pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga
bagian mulai dari atas ke bawah: kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar berbentuk seperti piramid
dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang
hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang
hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3)
tepi anterior kartilago septum.3

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar4

2. Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.5

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam4


a. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista
sfenoid6
b. Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari : 5
 Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.

 Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang
dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan
kranial konka superior.
 Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan
lamina pterigoideus medial.
 Konka
Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas
konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka
keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan
konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan
palatum.
c. Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.5
d. Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media
yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan
sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah
satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai
ostium tersendiri di depan infundibulum.5
e. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.5
f. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares
posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam
oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh
lamina pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus
yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang
irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke
arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga
di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak
hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung
hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut
terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.5
g. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksilaris akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret
akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media.5
3. Vaskularisasi Rongga Hidung
Epistaksis dapat dibagi menjadi dua menurut asal pendarahannya, epistaksis
anterior dan epistaksis posterior. Hidung kaya akan sumber vaskularisasi, yaitu Arteri
Karotis Interna dan Arteri Karotis Eksterna. Sistem arteri karotis eksterna
memperdarahi hidung via arteri fasialis dan arteri maksila interna. Arteri labial superior
adalah salah satu cabang terminal dari arteri fasial. Arteri tersebut memperdarahi dasar
kavum nasi anterior dan septum anterior via cabang septal5.
Arteri maksila interna masuk kedalam fossa pterigomaksila dan bercabang
menjadi a. alveola superior, a. palatina descendens, a. infraorbita, a. sfenopalatina, a.
Kanalis pterigoideus5.
Arteri karotis interna memberikan pendarahan ke hidung via arteri oftalmika.
Arteri ini memasuki daerah mata via fisura orbita superior dan terbagi menjadi dua
cabang yaitu arteri etmoid posterior yang keluar dari mata menuju foramen etmoid
posterior dan arteri etmoid anterior yang lebih besar meninggalkan mata menuju
foramen etmoid anterior. Keduanya terbagi menjadi cabang septal dan cabang lateral
untuk memperdarahi septum nasi dan dinding nasi lateral5.

Septum nasi mendapat suplai darah dari :


a. Ramus Sphenopalatinus yang dipercabangkan oleh arteri maksilaris
b. Ramus Ethmoidalis anterior dan ramus ethmoidalis posterior yang dipercabangkan
oleh arteri frontalis
c. Ramus Ascendens, cabang dari arteri palatine mayor.
d. Ramus labialis superior, yang dipercabangkan oleh arteri facialis6

Gambar 3. Vaskularisasi hidung


(Dikutip dari kepustakaan 4)

Pembuluh-pembuluh vena membentuk pleksus venosus (Kiessel-Bach) yang


terdiri dari anastomosis dari :
a. cabang-cabang a.Spenopalatina
b. a. Ethmoidalis anterior
c. Cabang-cabang a. Labialis
d. Cabang-cabang a.palatina mayor
Daerah vaskularisasi dinding lateral dibagi menjadi empat kuadran yaitu:
a. Kuadran antero-superior, mendapat suplai darah dari ramus ethmoidalis anterior
yang dipercabangkan oleh arteri ophtalmica.
b. Kuadran antero-inferior, mendapat aliran darah dari arteri infraorbitalis, ramus
labialis superior, cabang dari arteri facialis, dan dari ramus palatinus mayor, suatu
cabang dari arteri maksilaris.
c. Kuadran postero-superior, mendapat suplai darah dari ramus nasalis posterior
lateralis (cabang dari arteri maksilaris).
d. Kuadran postero-inferior, mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteri palatine
mayor dan arteri sphenopalatina (cabang dari arteri maksilaris)6.
Hampir lebih dari 90% kasus terjadi pada daerah anterior dari Pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach adalah daerah anastomosis dari pembuluh darah yang
terletak pada daerah septum anterior bagian kartilagenus. Mendapatkan pendarahan dari
arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Pleksus Woodruff, merupakan pleksus
pembuluh darah besar yang terletak pada bagian posterior dari meatus inferior.
Epistaksis posterior terjadi pada daerah belakang kavum nasi, biasanya lebih profus.
Perdarahan posterior memiliki kemungkinan komplikasi jalan napas yang lebih tinggi,
aspirasi darah, dan lebih sulit ditangani5.

Gambar 4. Vaskularisasi Cavum Nasi


(Dikutip dari Kepustakaan 5)
Gambar 5. Pembulu Darah dari Septum
dan Lateral Hidung
(Dikutip dari Kepustakaan 5)

4. Innervasi Rongga Hidung


Permukaan
luar hidung dipersarafi
oleh n. nasociliaris dan n. infraorbitalis.
Septum nasi mendapat
persarafan dari cabang n.ethmoidalis anterior di
bagian antero-superior dan dari n.sphenopalatinus yang dipercabangkan oleh ganglion
sphenopalatino di bagian postero-inferior. Dinding lateral di bagi menjadi 4 kuadran
sesuai dengan vaskularisasi yaitu:
a. Kuadran antero-superior dipersarafi oleh n. ethmoidalis anterior
b. Kuadran antero-inferior dipersarafi oleh n. dentalis superior-anterior
c. Kuadran postero-superior dipersarafi oleh ramus nasalis posterior lateralis cabang
dari ganglion sphenopalatinum
d. Kuadran postero-inferior dipersarafi oleh ramus nasalis posterior inferior yang
dipercabangkan oleh n. palatinus mayor6.
Gambar 6. Innervasi hidung
(dikutip dari kepustakaan no. 4)

C. FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi hidung dan
sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengukur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme immunologic
local.
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfactorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu.
3. Fungsi fonetik yang dapat berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran sendiri melalui konduksi tulang.
4. Fungsi static dan mekanik untuk meningkatkan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas.
5. Reflex nasal.
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas menuju konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas udara hampir penuh dengan uap air,
sehingga sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya3
Pada suhu udara yang melalui hidung diatur agar mencapai suhu berkisar 37 oC.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur
yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, sillia, dan palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin3.

D. EPISTAKSIS POSTERIOR
1. Definisi
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah.
Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman
Hipokrates7.
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak di jumpai sehari-hari. Epistaksis
seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan
sering berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat,
walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani segera8.
Epistaksis posterior merupakan pendarahan di bagian belakang hidung yang
disebabkan oleh arteri ethmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina10.
2. Etiologi 7
Etiologi epistaksis dapat dari banyak faktor. Secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
a. Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain:
1) Trauma nasal.
2) Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan obat semprot hidung secara terus
menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis
intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah
berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6
bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa.
3) Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.
4) Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis
yang berulang.
5) Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan
kokain.
6) Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).
7) Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s
granulomatosis (kelainan yang didapat).
b. Faktor Sistemik
Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain:
1) Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia) merupakan
kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan pada
mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang hebat. Hal ini disebabkan
oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh darah serta terdapatnya fistula
arteriovenous.
2) Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan
antiplatelets (aspirin, clopidogrel).
3) Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis.
4) Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.
5) Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau hormon
mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau hypothyroidism,
kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism
3. Epidemiologi
Prevalensi epistaksis pada pria dan wanita umumnya adalah sama, dan distribusi
umur penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia < 20 tahun dan > 40 tahun.
Epistaksis anterior lebih sering terjadi daripada epistaksis posterior, yaitu sekitar 80%
kasus epistaksis10.
Pada Januari 2002 sampai Agustus 2007 berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals, Faculty of Medicine in Brazill tercatat 40 pasien
yang terdiagnosis dengna epistaksis dimana 27 pasien (67,5%) adalah perempuan dan 13
pasien (32,5%) laki-laki. Usia berkisar antara 4 sampai 78 tahun, tetapi rata-rata terjadi
pada usia 20-40 tahun, dan usia anak SD. Faktor predisposisi dimana 15 pasien (37,5%)
epistaksis muncul sebagai komplikasi paska operasi dalam prosedur bedah THT
(septoplasty dikombinasikan atau tidak dengan turbinectomy, adenotonsilectomy,
rhinoplasty, atau bedah sinus paranasal endoskopi), 24 pasien (53%) mengalami
perdarahan paska operasi segera10.
4. Patomekanisme
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler. 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.12
5. Diagnosis
Pada sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila tidak dijumpai kehilangan darah yang berat, tidak
ada kecurigaan faktor sistemik dan lokasi perdarahan anterior telah dapat ditentukan,
tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Perlu diingat bahwa seringkali penyebab
perdarahan ringan berulang merupakan idiopatik. Namun, pada pasien yang sumber
perdarahan atau kelainan lokal tidak jelas dapat dinyatakan idiopatik hanya jika
pendekatan untuk mencari kelainan primer telah dilakukan dan tidak didapati kelainan11.
Pada anamnesis harus ditanyakan tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat
perdarahan sebelumnya, penyakit penyerta, pemakaian obat-obatan seperti aspirin atau
warfarin, serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam keluarga. Kebanyakan
perdarahan dari hidung diakibatkan oleh trauma ringan pada septum nasal anterior, oleh
karena itu anamnesis harus mencakup kemungkinan tersebut. Riwayat perdarahan hidung
berulang yang sering, disertai mudah memar, atau perdarahan lainnya memberikan
kecurigaan terhadap penyebab sistemik dan dianjurkan penjajakan hematologis11.
Pada pemeriksaan fisis, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan memastikan
tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Hidung harus diperiksa dengan teliti
untuk menentukan lokasi dan penyebab perdarahan. Lampu kepala atau cermin kepala,
dan spekulum nasal sebaiknya digunakan untuk visualisasi yang optimal. Jika pasien
mengalami trauma nasal, perhatikan adanya septal hematoma, yang tampak berupa masa
hitam kebiruan pada septum anterior memenuhi kavum nasal. Terkadang dapat dilihat
hemangioma mukosa atau teleangiektasi. Jika tidak dijumpai sumber perdarahan namun
dijumpai darah yang mengalir di tenggorokan, kemungkinan asal perdarahan dari daerah
posterior11.
Perhatikan apakah terdapat hemangioma atau teleangiektasia pada kulit, yang
dapat juga dijumpai dalam kavum nasal. Jaundice, petekie, purpura, limfadenopati, dan
hepatosplenomegali dapat mengarahkan pada gangguan perdarahan. Pucat, takikardi,
irama gallop, atau perubahan ortostatik tanda vital dapat menunjukkan kehilangan darah
yang signifikan.Tekanan darah yang tinggi, meskipun jarang, dapat menyebabkan
epistaksis11.
Pada sebagian besar kasus, perdarahan hidung pertama kali ataupun yang tidak
sering berulang, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium jika disertai dengan adanya
riwayat trauma. Jika dicurigai kehilangan darah yang bermakna, leukemia ataupun
keganasan, perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Jika dicurigai adanya
koagulopati, dilakukan pemeriksaan darah lengkap, prothrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT), dan waktu perdarahan11.
Pemeriksaan radiografi dapat memperlihatkan sinusitis akut, fraktur, atau
keganasan pada sinus paranasal. Endoskopi memungkinkan visualisasi dan tata laksana
(dengan suction cautery) perdarahan posterior. Pemeriksaan CT scan dan biopsi
diperlukan jika terdapat kecurigaan tumor intranasal, misalnya nasopharyngeal
carcinoma. Angiofibroma nasofaring dapat menyebabkan epistaksis berulang, hal ini
sering dijumpai pada remaja laki-laki. Dalam hal ini pemeriksaan CT scan kavum nasal
merupakan sarana diagnostik yang perlu dilakukan11.

6. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan umum, mencari
sumber pendarahan, menghentikan pendarahan, mencari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya pendarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan
keadaan umumnya, nadi, pernapasan, dan tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi
terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah
atau bekuan darah, perlu dibersihkan.3
Pasien dengan epistaksis diperiksan dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar hidung sehingga dapat dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah
duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah
mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan
dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak. 3
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan
darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas
yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2%
dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan pendarahan dan mengurangi
rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon dibiarkan selama 10-15
menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah pendarahan berasal
dari bagian anterior atau posterior hidung. 3
1. Tampon posterior
Pendarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumbernya dengan rhinoscopy anterior. Untuk menanggulangi
perrdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari
kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3
utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan. 3
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan
kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu tarik
keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi,
kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik.
Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati pallatum
molle masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah dengan
tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada
sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak
dinasofaring tetap di tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara
longgar pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.2
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan 2 kateter masing-masing melalui cavum nasi kanan dan kiri, dan
tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. 3
2. Tampon balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol
epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon
yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal
perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor.
Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di
nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley
ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan
terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan
pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan
mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini
gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.12
3. Ligasi arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan
meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan
segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat
pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang
mensuplai darah ke mukosa hidung. 12
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi
suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini
dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari
dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.
sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m.
Sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah
bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a.
karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal
asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen. 12
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi
Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila,
secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil,
kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma
orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada
periostium posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan
observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan
lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan
hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan
nervehook. Setelah a. Maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan
menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral
window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam. 12
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan
pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang
berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5
cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada
hanya 4 - 7 mm. Sebelah anterior n. optikus.
Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita
digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi
dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.
Dua klem arteri diletakkan pada a. Etmoidalis anterior, dan rongga hidung
dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu
untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis
posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari
trauma. 12
d. Angiografi dan Embolisasi
Teknik embolisasi perkutan pada a. maksilaris interna dengan menggunakan
absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang persisten. Beberapa laporan
terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan sumber perdarahan.
Penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter,
epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan
penyakit pendarahan. Dijumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis
tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila
interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi
embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan
trismus juga sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi
tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan.
Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada
penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada
kontraindikasi untuk operasi. 12

7. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
pernapasan bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya
tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia cerebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini, pemberian infus atau transfusi darah harus dikerjakan secepatnya.3
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media,
septikemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik
pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila
perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.3
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui
tuba Eustachius, dan bloody tears, akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui
ductus nasolakrimalis.3
Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan laserasi palatum mole, sudut
bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon
atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis
mukosa hidung atau septum.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Marbun,Erna M.2017.Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis.Fakultas


Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.Jakarta.
2. Stasya,D.2019. Pemahaman Mahasiswa Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Angkatan 2018 terhadap Penanganan Epistaksis Anterior.Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret.Surakarta.
3. Soetjipto, D. Mangunkusomo, E. Wardani, RS. Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 7.Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2015. Hal 96-100.
4. Netter, Frank H. 2014. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC
5. Punagi, Abdul Qadar. 2017. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Dini.DiGi
Pustaka. Makassar.
6. Hendra, FN. 2017. Struktur, Morfologi, Lokalisasi, Vaskularisasi Dan Innervasi Sistem
Respirasi. Universitas Hasanuddin : Makassar.
7. Budiman, BJ. Hafiz,A. 2012. Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya?. Jurnal
Kesehatan Andalas ;1(2).
8. Mangunkusomo, E. Wardani, RS. Epistaksis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 7.Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2015. Hal 131.
9. Zulfiani,V. Imanto,M. Atina,R.2017. Pria Usia 66 Tahun Dengan Epistaksis Posterior
Et causa Hipertensi Derajat II. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
10. Limen,MP. Palandeng,Ora. Tumbel,R. 2012. Epistaksis Di Poliklinik Tht-Kl Blu Rsup
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2010-Desember 2012. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado.
11. Lubis,B. Saragih,RAC. 2007. Tata Laksana Epistaksis Berulang pada Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK-USU. Medan.
12. Munir,D. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara. 2006 : p276-278.

Anda mungkin juga menyukai