Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN ILMU KESEHATAN JURNAL

KULIT DAN KELAMIN Agustus 2020


FAKLUTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

TERAPI KONDILOMA AKUMINATA MENGGUNAKAN


ASAM TRIKLOROASETAT 80% DAN KALIUM
HIDROKSIDA 10% PADA SEORANG LELAKI YANG
BERHUBUNGAN SEKSUAL DENGAN LELAKI

Oleh:
SUTRISNO
K1A1 11 040

Pembimbing:
dr. SHINTA N BARNAS, M.Kes., Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI 2020

HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : SUTRISNO S.Ked
NIM : K1A1 11 040
Judul : Terapi Kondiloma Akuminata Menggunakan Asam
Trikloroasetat 80% Dan Kalium Hidroksida 10% Pada
Seorang Lelaki Yang Berhubungan Seksual Dengan
Lelaki
Bagian : Imu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, AGUSTUS 2020


Pembimbing

dr. SHINTA N BARNAS, M.Kes., Sp. KK

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Definisi

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela

zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus

yang terjadi setelah infeksi primer. Herpes zoster disebut juga dampa atau cacar

ular. (1)

B. Epidemiologi

Suatu tinjauan sistemik yang diterbitkan pada tahun 2004 menemukan

keseluruhan insiden zoster di antara subyek imunokompeten berkisar antara 1,2-

4,8 per 1000 orang; studi terbaru dari United Studies dan Perancis juga

melaporkan insiden penyakit dalam kisaran ini. Perkiraan kejadian tahunan HZ di

Cebrián-Cuenca et al. (2010) penelitian adalah 4,1 per 1.000 orang> 14 tahun.

Peningkatan risiko zoster di antara individu yang lebih tua mungkin disebabkan

oleh berkurangnya spesifik imunitas dengan meningkatnya waktu sejak infeksi

primer (varisela), atau dapat terjadi sebagai bagian dari pembusukan umum pada

imunitas yang diperantarai sel yang terjadi seiring bertambahnya usia

(immunosenescence), suatu faktor penting dalam peningkatan kerentanan

terhadap infeksi, keganasan, dan gangguan autoimun pada lansia. Hanya sedikit

yang diketahui tentang faktor-faktor penentu dari pembusukan imun spesifik

umum .

Pada studi tahun 2000, insiden herpes zoster pada semua umur adalah 1,2-

4,8 kasus dalam 1000 populasi/tahun, insiden herpes zoster pada usia > 60 tahun

adalah 7,2-11,8 kasus dalam 1000 populasi/tahun. Insiden herpes zoster


tergantung pada faktor yang yang mempengaruhi hubungan antara host dan virus,

yaitu usia, penyakit dan obat yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh. (2)

C. Etiologi

Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella zoster, yaitu virus yang

termasuk famili Herpeviridae. Virus ini memiliki envelope dan DNA

untaian ganda. Virus varicella zoster ini dormant di ganglion dorsalis dan nervus

kranialis. Virus ini akan tereaktivasi apabila terjadi kondisi-kondisi berikut:

- infeksi berat atau keganasan

- penggunaan obat-obat tertentu yang bersifat imunosupresan

- stres emosional.(3)

Gambar 1 Virus varisela zoster


D. Patogenesis

Infeksi primer dari virus varicella zoster pertama kali terjadi di daerah

nasofaring. Virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi

viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keaadaan ini diikuti

masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelil System (RES) yang kemudian

mengadakan replikasi kedua yang bersifat viremianya lebih luas dan simptomatik

dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagaian virus juga menjalar
melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam diri

atau laten di dalam neuron. Selama antibodi yang beredar di dalam darah masih

tinggi, reaktivasi dari virus yang laten dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu

dimana antibody turun maka akan terjadi reaktivasi dari virus sehingga terjadi

herpes zoster.(4)

Selama perjalanan dari varicella, virus varisella zoster lewat melalui lesi di

kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara

sentripetal sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus

membentuk infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling

sering pada dermatom dimana ruam varicella terbanyak yang diinervasi oleh saraf

oftalmikus dari ganglia sensoris trigeminal dari T1 ke L2.(4)

Walaupun virus laten di ganglia mempertahankan potensi untuk

infektivitas penuh, reaktivasi bisa sewaktu-waktu dan jarang, infeksi virus tidak

sampai fase laten. Mekanisme yang telibat dalam reaktivasi virus varisella zoster

laten tidak jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan immunosupresi, stress

emosional, radiasi dari sumsum tulang belakang, keterlibatan tumor, serabut

ganglion dorsalis, atau struktur yang berdekatan, trauma local, manipulasi bedah

tulang belakang, dan sinusitis frontalis (sebagai endapan zoster oftalmica), yang

paling penting adalah penurunan kekebalan seluler virus varisella zoster spesifik

yang terjadi dengan bertambahnya usia.(4)


Gambar 2Patogenesis herpes zoster

Virus varisella zoster juga dapat diaktifkan kembali tanpa menghasilkan

penyakit yang jelas. Jumlah kecil yang dilepaskan antigen virus selama reaktivasi

tersebut, diharapakan dapat merangsang dan mempertahankan system kekebalan

tubuh virus varisella zoster.(4)

Ketika kekebalan seluler virus varisella zoster spesifik berada pada titik

yang paling rendah, reaktivasi virus tidak terbendung lagi. Virus berkembang biak

dan menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan

peradangan, sebuah proses yang sering disertai dengan neuralgia. Infeksi virus

varisella zoster kemudian menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik,

menyebabkan neuritis, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir di kulit,

dimana ia menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran infeksi

ganglionik proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan hasil serabut

di leptomeningitis local, pleocyosis cairan serevrospinal, dan myelitis segmental.

Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akut akar saraf anterior untuk

palsi local yang mungkin menyertai erosi kulit, dan infeksi berkelanjutan dalam

system saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan komplikasi herpes zoster

(meningoenchepalitis, myelitis melintang).(4)

Cedera saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di daerah

ganglion aferen. Peradangan di kulit dapat memicu sinyal nosiseptif yang lebih

terasa nyeri di kulit. Release asam amino yang berelebihan dan neuropeptida yang

disebabkan impuls afferent selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster

kemungkinan dapat menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan

interneuron di sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang


belakang, ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam pathogenesis PHN.

Kerusakan saraf afferent primer dapat menjadi aktif secara spontan dan peka

terhadap rangsangan perifer dan simpatis, aktivasi nosiseptor yang berlebihan dan

impuls ektopik mungkin menurunkan sensitivitas SSP. Penambahan dan

perpanjangan rangsangan pada pusat itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan

allodynia yaitu nyeri dan atau sensasi yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan

oleh rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan (sentuhan ringan) dengan

rangsang sensori sedikit atau tidak sama sekali.(4)

Gambar 3 Patofisiologi PHN

Perubahan anatomi dan fisiologi bertanggung jawab terhadap manifestasi

PHN yang dibentuk di awal perjalanan dari herpes zoster. Hal ini akan

menjelaskan korelasi antara keparahan nyeri awal dan adanya nyeri prodormal

dengan perkemabnagn selanjutnya dari PHN, dan kegagalan terapi antivirus untuk

mencegah PHN.(4)

E. Gambaran Klinis

Herpes zoster terjadi unilateral dalam distribusi saraf kranial atau saraf

spinal sensorik, sering diikuti dengan penyebaran dermatom di bagian atas atau
bawah. Dermatom tubuh yang biasanya menjadi tempat predileksi, antara lain

thorakal (55%), kranial (20% dengan nervus trigeminal sebagai nervus yang

sering diserang), lumbal (15%), dan sakral (5%).(5)

Gambar 4 Dermatom

Gejala klinis yang muncul dibagi menjadi tiga stadium, yaitu:(6)

a. Stadium prodromal :
Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena

disertai dengan panas, malaise dan nyeri kepala.

b. Stadium erupsi :

Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari

akan timbul gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan

kulit diantara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain

adalah sama sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama.

Lokasi lesi sesuai dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis

tengah dari tubuh.

c. Stadium krustasi :

Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2

minggu. Sering terjadi neuralgi pasca herpetika terutama pada orang tua

yang dapat berlangsung berbulan-bulan parestesi yang bersifat sementara.

Gambar 5 Gambaran Klinis Herpes Zoster

a. Klasifikasi

Menurut lokasi, herpes zoster dibagi menjadi(4) :


a. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus varicella zoster

yang mengenai bagian ganglion gisseri yang menerima serabut saraf dari

cabang oftalmikus saraf trigeminus (N.V), Fotofobia, epifora, edema

palpebra dan kesulitan membuka mata. Perhatikan adanya “Hutchinson’s

sign” yaitu adanya vesikel pada sisi ujung hidung sebagi prediktor lesi

okular.

Gambar 6 Herpes zoster oftalmikus

b. Herpes zoster fasialis

Infeksi varicella zoster mengenai ganglion gisseri yang menerima serabut

saraf fasialis (N.VII).


Gambar 7 Herpes zoster fasialis

c. Herpes zoster servikalis

Infeksi varicella zoster mengenai pleksus servikalis

Gambar 8 Herpes zoster servikalis

d. Herpes zoster thorakalis

Infeksi varicella zoster mengenai pleksus thorakalis.

Gambar 9 Herpes zoster thorakalis

e. Herpes zoster lumbalis

Infeksi varicella zoster mengenai pleksus lumbalis.


Gambar 10 Herpes zoster lumbalis

f. Herpes zoster sakralis

Infeksi varicella zoster mengenai pleksus sakralis.

Gambar 11 Herpes zoster sakralis

g. Herpes Zoster Diseminata

Herpes zoster diseminata atau disebut juga generalisata

didefinisikan sebagai herpes zoster yang mengenai lebih dari 20 segmen

diluar dermatom yang terkena. Sering terjadi pada pasien berusia tua atau

individu dengan status imun rendah, khususnya pasien dengan limfoma

maligna atau AIDS. Level serum VZV antibodi merupakan faktor resiko
signifikan untuk memprediksi penyebaran penyakit. Lesi dermatom dapat

berdarah atau membentuk gangren.

Gambar 12 Herpes zoster diseminata

F. Diagnosis

Diagnosis herpes zoster ditegakkan secara(7) :

A. Anamnesa dan pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda klinis seperti

yang telah disebutkan di atas.

B. Pemeriksaan penunjang :

a. Sitologi : Tzanc-smear ; ditemukan adanya sel-sel berinti besar dengan

perubahan nukleus (multinucleated giant cells).


Gambar 13 Multinucleated giant cells.

b. Histopatologi kulit : ditemukan adanya vesikel intraepidermal, akantolisis,

degenerasi retikular, dan dermis dibawahnya nampak edema, lymphositic

infiltration dan vaskulitis

c. Kultur virus : kultur virus dimungkinkan, tetapi virus varicella-zoster itu

labil dan relatif sulit untuk pulih dari penyeka lesi kulit.

d. Direct imunofluorescence Assay (DFA): lebih sensitif dibandingkan kultur

virus dan memiliki tambahan keuntungan dari biaya yang lebih murah dan

waktu yang lebih cepat. Seperti kultur virus, direct imunofluorescence

assay dapat membedakan infeksi virus herpes simplex dengan infeksi

virus varisela-zoster.

e. Polymerase-chain-reaction techniques yang berguna untuk mendeteksi

DNA virus varicella-zoster di cairan dan jaringan

G. Diagnosis Banding

Herpes Simpleks Definisi : Penyakit akut yang ditandai dengan


timbulnya vesikula yang berkelompok diatas dasar
eritema, berulang, mengenai permukaan
mukokutaneus.
Etiologi : Disebabkan oleh virus herpes simplex.
Gejala klinis :Lesi primer didahului gejala
prodromal berupa rasa panas ( terbakar ) dan gatal.
Setelah timbul lesi dapat terjadi demam, malaise dan
nyeri otot.
Predileksi : mukosa
Status dermatologi : berupa vesikel yang mudah
pecah, erosi, ulcus dangkal bergerombol di atas dasar
eritema dan disertai rasa nyeri. Predileksi pada
wanita antara lain labium mayor, labium minor,
klitoris, vagina, serviks dan anus. Pada laki-laki
antara lain di batang penis, glans penis dan anus.
Ekstragenital yaitu hidung, bibir, lidah, palatum dan
faring.(1)
Varisella Definisi :vesikula yang tersebar, terutama
menyerang anak-anak, bersifat mudah menular
Etiologi :virus Varisela zoster.
Predileksi : Paling banyak di badan, kemudian
muka, kepala dan ekstremitas.
Gejala Klinis :Pada stadium prodomal timbul
banyak makula atau papula yang cepat berubah
menjadi vesikula, yang umur dari lesi tersebut tidak
sama. Kulit sekitar lesi eritematus. Pada anamnesa
ada kontak dengan penderita varisela atau herpes
zoster. Khas pada infeksi virus pada vesikula ada
bentukan umbilikasi (delle) yaitu vesikula yang
ditengah nya cekung kedalam. Distribusinya bersifat
sentripetal.(7)
Dermatitis Definisi : Dermatitis yang disebabkan terpaparnya
Kontak
kulit dengan bahan yang bersifat sebagai alergen.
Alergika
Disini ada riwayat alergi dan merupakan paparan
ulang.
Predileksi : Seluruh tubuh
Status dermatologis :Dapat akut, subakut dan
kronis. Lesi akut berupa lesi polimorf yaitu tampak
makula yang eritematus, batas tidak jelas pada
efloresensi dan diatas makula yang eritematus
terdapat papul, vesikel, bula yang bila pecah menjadi
lesi yang eksudatif.(1)
Dermatitis Definisi : Dermatitis yang bersifat kronis dan rasa
herpetiformis
gatal yang sangat dengan kekambuhan yang tinggi.
Status dermatologi :berupa berupa lesi polimorf
yang bergerombol pada dasar yang eritematus.
Predileksi :pada kepala, kuduk, lipatan ketiak
bagian belakang, sakrum, bokong dan lengan bawah.
Distribusinya simetris, akut dan polimorf.(1)
Dermatitis Definisi : Dermatitis venenata adalah kelainan akibat
Venenata
gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan
reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan
arthropoda penyerang
Predileksi : Seluruh tubuh
Status Dermatologis : Berupa eritema, edema,
panas, nyeri, bisa berbentuk papula, pustule, maupun
krusta. (1)
Terdapat 2 macam lesi yang diakibatkan oleh gigitan
serangga, yaitu : (1)
a. Nodul eritematus, akibat serangga memasukkan
(menyuntikkan) bahan – bahan berbahaya ke dalam
kulit yang menyebabkan keradangan.
b. Dermatitis kontak iritan, akibat
cairan yang dikeluarkan serangga waktu
berbenturan / bersentuhan dengan kulit.

H. Tatalaksana

Tujuan dari terapi herpes zoster adalah mencegah penyebaran lebih lanjut,

durasi, derajat keparahan, mencegah terjadinya infeksi sekunder, dan post

herpetic neuralgia (PHN). Obat antiviral yang dapat digunakan yaitu acyclovir

( 800 mg sebanyak 5 kali sehari selama 7 hari), famciclovir (500 mg sebanyak 3

kali sehari selama 7 hari), atau dapat juga digunakan valacyclovir (1 gr sebanyak

3 kali sehari selama 7 hari). Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat

diberikan analgetik golongan NSAID seperti asam mefenamat 3x500 mg per hari,
indometasin 3x25 mg per hari, atau ibuprofen 3x400 mg per hari. Untuk

pengobatan topikal, pada lesi dapat diberikan bedak kalamin atau phenol-zinc

maupun kompres dingin.(1)

I. Prognosis

Lesi biasanya menghilang pada 10-15 hari. Prognosis untuk pasien usia

muda dan tanpa immunosupresi sangat baik.Wanita hamil dan pasien

imunosupresi memiliki risiko tertinggi gejala sisa yang serius.Orang tua memiliki

peningkatan risiko yang signifikan dari komplikasi, termasuk PHN, infeksi

bakteri,dan jaringan parut.(3)


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Penyakit Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.
5, cetakan kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p.110-118

2. Zhang J, Xie F, et al. Association Between Vaccination for Herpes Zoster and
Risk of Herpes Zoster Infection Among Older Patients With Selected
Immune-Mediated Diseases. American Medical Association. Vol 308 no 1.

3. eMedicine Dermatology. Herpes Zoster.

4. Wolff, Klaus et al. Varicella and Herpes Zoster. In: Fitzpatrick’s


Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill Medical.
2012. p 2383-2401.

5. James, William D et al. Zoster (Shingles, herpes zoster). In: Andrew’s Disease
of the Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Philadephia: W.B. Saunder
Company. 2011. p. 371-376

6. Murtiastutik D, Ervianti E, Sawitri.Herpes Zoster. Pedoman Diagnosis dan


Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3th. Surabaya : Fakultas
Kedokteran, Universitas Airlangga, 2005, pp. 56-58.
7. Burns, Tony et al. Varicella Zoster Virus. In: Rook’s Textbook of
Dermatology. 8th ed. UK: Blackwell Publishing. 2010. Vol II, 42. p. 33.22-
33.28

Anda mungkin juga menyukai