Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PERIOPERATIF PADA PASIEN STRUMA


MULTI NODUSA NON TOKSIK DEXTRA ET SINISTRA
SUSPEK GANAS
KEMUNGKINAN SULIT INTUBASI

Disusun Oleh:
Adelia Cynthia

22010114220009

Pembimbing:
dr. Erdi Effendi
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN
i

Nama mahasiswa

: Adelia Cynthia

NIM

: 22010114220009

Bagian

: Anestesiologi Dan Terapi Intensif /FK Undip

Judul kasus

: Manajemen Perioperatif Pada Pasien Struma Multi Nodusa Non


Toksik Dextra et Sinistra Suspek Ganas Kemungkinan Sulit
Intubasi

Pembimbing

: dr. Erdi Efendi

Semarang, 6 Oktober 2016


Pembimbing

dr. Erdi Effendi

BAB I
PENDAHULUAN
Management jalan napas adalah tugas terpenting dari anestesiologi maupun
dokter umum yang bekerja di IGD. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang
menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya
beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan
intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah
dipublikasikan menunjukkan di mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan
kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi
pasien tersebut. (1)
Secara epidemiologi dari 359 intubasi sulit dihasilkan dari data yang
dikumpulkan secara retrospektif dari 4,742 catatan kasus anestesi pasien dewasa (2.392
laki-laki, 2.350 perempuan) yang menjalani anestesi umum untuk operasi rutin.
Penilaian preoperatif napas setiap pasien dilakukan dengan menggunakan pedoman
standar. Panjang mandibula, berat badan dan mobilitas rahang, kepala dan leher
dievaluasi dengan pengukuran sederhana. Kehadiran menonjol rahang atau gigi atas,
tumor atau kista lidah, mulut panjang dan sempit, otot leher pendek dan penyimpangan
laring atau trakea didasarkan pada pemeriksaan klinis dan / atau radiologis.(2)
Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur
anestesiologi. Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara
akan lebih sering di UGD daripada di ruang operasi, mengingat kebutuhan mendesak
untuk prosedur dan kurangnya persiapan pasien. Ketika menilai seorang pasien
membutuhkan dukungan saluran napas, dokter spesialis emergensi pertama-tama harus
berusaha untuk mengidentifikasi petunjuk klinis yang menunjukkan adanya kesulitan
jalan nafas. (1)
Faktor risiko yang telah berkorelasi dengan ukuran relatif lidah ternyata
memiliki probabilitas rendah dan tingkat kesulitan intubasi. Faktor risiko yang paling
penting adalah gerakan rahang. Gondok endemik Besar dan thalassemia merupakan
RFS berkontribusi sesekali untuk jalan nafas sulit dengan Nilai prediktif positif adalah
masing-masing 61,5% dan 40,9%. Kombinasi faktor risiko memiliki dampak kumulatif
berkontribusi terhadap tingkat kesulitan yang tinggi.(2)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Secara makro anatomi, sistem respirasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian
yaitu: pars konduktoria (saluran respirasi) dan pars respiratorius (alveolus). Pars
konduktoria tersusun atas: hidung rongga hidung pharynx larynx trachea
bronchus bronchiolus. Pars konduktoria berfungsi sebagai saluran udara respirasi
dari atmosfer ke dalam alveoli. Epitel respirasi tersusun atas epitel kolumner (toraks)
bertingkat bersilia, dan diantaranya banyak terdapat sel goblet. (3)
2.1.1

Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi.
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial.
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih
kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka
suprema biasanya rudimenter.
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

2.1.2

Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
terus menyambung ke esophagus .setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari

dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring)
(Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa
blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). (4)

Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring,
orofaring, dan hipofaring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses
intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot
internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan
otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan
masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari
endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien
yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus
Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus
Kranial V.
Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat
timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut
terjadi pada daerah Palatum Molle (Soft Palate) yang kemudian menepel pada dinding
nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan
nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada
pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan
terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien
yang bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan
meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar

dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan penyumbatan
yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah yang
kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.
2.1.3. Laring

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :


a.

Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :

Kartilago Tiroidea, 1 buah

Kartilago Krikoidea, 1 buah

Kartilago Aritenoidea, 2 buah

b.

Kartilago minor, terdiri dari :

Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah

Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah

Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993) (5)

2.1.4. Trakea
Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago. Trakea
berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior
pada esofagus, turun ke dalam thoraks di mana ia membelah menjadi dua bronkus
utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea di
sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas
trakea di sebelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah anterior, biasanya
setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak pada sulkus
trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan
adalah otot-otot supra sternal yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoid.(6)

2.1.5

Bronkus
Bronkus merupakan struktur dalam mediastinum, yang merupakan percabangan

dari trakea. Bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap
bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus primer
bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin
mengecil dan menyempit, batang atau lempeng kartilago menggannti cincin kartilago.
Bronkus kanan kemudian menadi lobus superior, lobus medius dan inferior(6)

2.2 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea.(7)
2.2.1 indikasi intubasi trakea
a) menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun misalnya kelainan anatomi,
bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas dan lainlainnya,
b) mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
c) pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
2.2.2 Prinsip Intubasi
a.
b.
c.
d.

Jalur intravena yang adekuat


Obatobatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan blade

yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet
e. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi
f. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit
anestesi yang berfungsi

g. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan


darah noninvasive
h. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada
kontraindikasi
i. Alatalat untuk ventilasi
j. Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi yang
tepat.

Gambar 1 Proyeksi Saluran Napas1


Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi
pada pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah
dan ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai
Sniffing Position dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga
bagian sudut utama pada jalan nafas. Pada jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang

dari mulut terletak horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut
panjang dari faring terletak hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak
vertical dari arah posterior ke anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan
pita suara dapat terlihat dari mulut. Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical
akan menyebabkan intubasi sulit karena adanya keterbatasan posisi anterior dari
laring.(8)
Difucult airway terdiri dari dificut ventilasi dan difficult intubasi dimana Difficult
Ventilation adalah Ketidakmampuan menjaga SO2 >90% saat ventilasi dengan
menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat
saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam batas normal. Sedangkan Difficult
Intubation adalah suatu keadaan intubasi yang Dibutuhkannya > 3 kali usaha intubasi
atau usaha intubasi yang terakhir > 10 menit.
2.3 Penatalaksanaan Intubasi Jalan Napas Sulit (9)
Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit
membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang
dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk
penatalaksanaan semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA
sudah menetukan beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan
nafas sulit. Algoritma tersebut adalah:
2.3.1 Algoritma ASA
1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya :
a. Kesulitan dengan kerjasama dan persetujuan pasien
b. Ventilasi masker sulit
c. Kesulitan menempatkan SGA
d. Laringoskopi sulit
e. Akses jalan nafas pembedahan sulit
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan
jalan nafas sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai
pilihan penatalaksanaan :
A. Intubasi sadar versus intubasi setelah induksi pada GA.
B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif versus pendekatan tehnik intubasi invasif.
C. Laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan awal intubasi
C. Pemeliharaan ventilasi spontan versus ablasi ventilasi spontan.

4. Membuat strategi utama dan alternatifnya.


Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan jalan nafas
bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah sakit, juga ahli
anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang algoritme. Kesulitan jalan
nafas mewakili interaksi yang kompleks antara factor pasien, keadaan klinis dan
ketrampilan personel.
Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun terdapat
beberapa pertentangan seperti metode dan indeks nilai yang dievaluasi, klinisi harus
menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri untuk mencapai
penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal laringoskopi dan
intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau toleransi apnu.
Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA pada satu
dari dua poin dasar : A-awake intubation, atau B- usaha intubasi setelah induksi
anestesi umum. Hal ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya untuk kesulitan
jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan nafas ditangani. Kotak
B menggambarkan pendekatan yang diambil pada kebanyakan intubasi trakea ( dan
dapat diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-pasien).

Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan suatu


premanajemen. Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak
B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan ini dapat

disaring pada penekanan perkembangan SGA. Takenaka, mempertanyakan kebutuhan


untuk memasuki kotak ASA DAA saat SGA dipertimbangkan berguna walaupun
kesulitan jalan nafas pada intubasi laringoskopi trakea sudah diantisipasi. Ini sudah
lebih jauh digambarkan ke dalam jalur keputusan reoperatif oleh Rosenblatt. Pilihan
yang ditekankan dari panduan praktis ASA, sangat tergantung pada ketrampilan dan
pengalaman klinisi. Rincian ASA dapat disimpulkan di sini:
1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa rutin
sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien apnu,
sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya harus
dipertimbangkan.
2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana
laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat),
klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi, laringoskopi
langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari kotak B ASA-DAA.
3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat suatu
alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat yang lain)
akan sulit, suatu titik tidak dapat diintubasi/tidak dapat diventilasi)
(CNI/CNV) telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme preoperative, kotak A
ASA-DAA dipilih
4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien dengan
resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif. Suatu titik waktu
tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi telah dicapai dan kotak
ASA-DAA dipilih.
5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar ini
sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman
klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate, kemampuan pasien
untuk mempertahankan saturasi oksigen akan ditentukan kemampuannya untuk
mentoleransi periode apnu. Faktor seperti usia, obesitas, status pulmo, komsumsi
oksigen abnormal ( mis, demam), dan pilihan obat induksi akan mempengaruhi
ini.
Pengecualian nya yaitu pasien yang tidak dapat bekerjasama karena retardasi
mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini
mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin membutuhkan
modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth, induksi inhalasi)

Pada kebanyakan keadaan, intubasi awake berhasil jika pendekatan dengan


perhatian dan kesabaran. Jika intubasi awake gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan.
Pertama, dapat dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini. Peralatan
atau personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang operasi. Jika
pembatalan tidak dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi regional, atau, jika
situasi membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi) dapat diilih.
Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas telah
dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal resiko dan
benefit. ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas sulit yang tidak diantisipasi
(kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi langsung setelah induksi anestesi).
Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas otot) telah diberikan dan jalan nafas tidak
dapat dikendalikan, keputusan manajemen vital harus dibuat secara cepat. Secara
tipikal, klinisi telah mencoba laringoskopi langsung dan intubasi setelah anestesi
ventilasi mask yang berhasil atau gagal (kecuali induksi cepat sedang dilakukan).
Bahkan jika saturasi oksigen pasien tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha
laringoskopi sebaiknya dibatasi hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal, trauma
jaringan lunak dapat terjadi akibat laringoskopi multipel, yang memperburuk keadaan.
Pertama, ventilasi mask sebaiknya dilakukan. Jika facemask adekuat, jalur
nonemergensi ASA-DAA dimasuki. Klinisi kemudian dapat berubah teknik ke yang
paling nyaman dan/atau cocok untuk melakukan intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat
termasuk, tapi tidak dibatasi, oral blind atau intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi
dengan bronkoskop fiberoptik, LMA, LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau
retrograde wire; atau jalan nafas bedah. (Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga
teknik baru, didiskusikan di skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini). Jika
ventilasi masker gagal, algoritma menyarankan ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika
berhasil, jalur nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik alternative
intubasi trakea dapat digunakan, jika dibutuhkan (mis, mungkin ventilasi LMA adekuat
untuk situasi klinis).
Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi dimasuki.
ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid
bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.

Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya


dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko
memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.
Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003) berdasar
pada lebih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari 20 tahun
pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA dalam menghadapi
situasiCNI/CNV telah dilaporkan. Tiga kategori berperan pada kegagalan ini: sudut
oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal.
Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan LMA pada jala nafas gagal telah
dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer mencatat bahwa seluruh kasus
CNI/CNV (dengan pengecualian sumbatan subglotis iatrogenic) terjadi pada periode 2
tahun pada satu rumah sakit diselamatkan dengan LMA.
2.3.2. P Prediksi, Preparasi. Dan Practice.
Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat
diatasi dengan tiga P yaitu :
Prediksi.
Preparasi.
Practice.
A. Prediksi
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat
dokter dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas
beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik
yang dilakukan akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan
beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat
dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi
adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah
mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.
Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini
mengevaluasi apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula
dan faring posterior tampak. Ada beberapa cara dalam melaksanakan tes malampati
yaitu dengan duduk atau terlentang dan dengan atau tanpa fonasi. Pada jurnal-jurnal
akhir-akhir ini tes malampati akan lebih sensitif jika dilakukan tanpa fonasi baik

terlentang atau duduk. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit
dilakukan intubasi.

Gambar 2 Diagram Tes Malampati


Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak
dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan
bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi.
Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau
tidaknya penglihatan dari laringoskop.

Gambar 3 Diagram Laryngoskop


Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.
Derajat I : Pita suara terlihat.
Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.
Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.
Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.
Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk
memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor
yang harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi
endotracheal.
Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi
sebelumnya jika pada pasien tersebut saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak
memiliki kesulitan intubasi. Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat

intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan
mengalami intubasi sulit terus.
Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah:

Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins,

Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll.


Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi

atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular.


Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses,

Infeksi Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan.


Trauma pada wajah dan leher, luka bakar, perubahan-perubahan post operasi

termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi.


Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat
laring selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang

memiliki gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah laringoskop.


Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari bukaan mulut yang
kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan untuk
prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar

laringoskop.
Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan
evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4

adalah merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 15).
Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki

anatomi jalan nafas yang sulit.


Jarak thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan
puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan semakin

terlihat.
Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama
intubasi lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke
ruang mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang
mandibula yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan

mempersulit untuk terlihatnya laring selama intubasi.


Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal
dan luas serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi
terbatas seperti tumpukan lemak diantara scapula.

Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya.


Pergerakan kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang
terbatas pada sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior.
Penilaian tes-tes tersebut telah dilakukan di semua literatur. Semakin banyak

faktor yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan pasien
dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari pemeriksaan
tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin tinggi.
Jika semua faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan
untuk intubasi akan semakin rendah.
B. Preparasi
Untuk menghadapi pasien intubasi jalan napas yang sulit harus mempersiapkan
beberapa alat untuk menunjang keberhasilan dari intubasi. Alat yang disiapkan hampir
sama dengan intubasi normal dengan tambahan beberapa alat sebagai berikut.
a. Specialized forcep

Gambar 4 Specialized Forcep untuk Intubasi


Merupakan forcep yang khusus digunakan untuk membantu pemasangan retrograde
intubation. Bisa juga dipakai untuk meretraksi lidah pada saat pemasangan intubasi
fiberoptic.

b. Airway Exchange Catheter

Gambar 5 Airway Exchange Catheter


Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon
dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan Jet
Ventilation untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotrache (al tube.
c. Fiberoptic Laryngoscope
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible
untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan
bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic
bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk: Endotracheal tube masuk ke trakea
dengan penglihatan langsung melalui scope, Tidak terbatas pada ukuran besar pasien
karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran, Untuk kepentingan terapi seperti
penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube, Selain itu dapat
digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.

Gambar 6 Fiberoptik Laryngoscope dengan Macintosh Blade dan Fiberoptik


untuk bronchoskopi

d. Laryngeal Mask Airway

Gambar 7 Bagian-bagian LMA


LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi
menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas
alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi
sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan
aman. The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan
untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan
endotracheal tube dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat
ini, bahkan pada percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus
dipertimbangkan pada penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang
tidak diduga karena dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA
tidak tersedia, maka LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien,
sebagai blind intubasi atau dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic
bronchoscopes.7
e. Cook Retrograde Intubation Kit

Gambar 8 Isi dari Cook Retrograde Intubation Kit

Merupakan paket alat untuk melaksanakan intubasi retrograde. Diesdiakan mulai dari
jarum, guide wire, sampai stylet khusus untuk mencegah jarum tertinggal pada
trachea.
C. Praktek
Teknik-teknik Intubasi Jalan Napas Sulit
a. Pemasangan Fiber Optic Intubation

Gambar 9 Skema Fiberoptic Intubation


Teropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari
teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring
diusahakan agar posisinya tetap di garis tengah. Struktur pada jalan nafas atas harus
dikenali; maju 8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan
untuk melihat laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah
didepan pita suara. Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi
semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa
menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukan
endotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina.
Jangan memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat
menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.
b. Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain

Gambar 10 Skema Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain


1. Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang. Pengempisan
harus bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi lingkar kaf.
2. Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga
agar ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli
pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu tidak
dianjurkan.
3. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan air sniffing dengan cara
menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak dominan.
Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari ketiga
tangan yang dominan.
4. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa dan
kaf.
5. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan dengan
bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri palatum.
6. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan akan
terasa bila sudah sampai hipofaring.
7. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk mempertahankan
posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut penderita. Bila sudah
berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA dapat langsung menempati
posisinya.
8. Kaf dikembangkan sesuai posisinya.
9. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan bantu. Bila
ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.
10. Pasang bite block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu lakukan
fiksasi
c. Intubasi Retrograde

Gambar 11 Skema Tata Cara Retrograde Intubation


Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui insisi
membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat
dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak
perlengkapan yang tersedia (Cook Retrograde Kit). Dengan latihan, tehnik ini dapat
dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama.
Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi
penarikan antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat atau
kateter yang sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan melalui
membran cricothyroid atau membran cricotracheal dan secara buta dimasukkan
retrograde ke dalam Larynx, hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau
hidung. Intubasi retrograde pertama kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo,
dengan penempatan kateter uretra berwarna merah melalui trakeostomi sebelumnya,
naik melalui laring dan keluar melalui mulut.
Intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi duduk
dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalu cricothyroid
menggunakan larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang
berhubungan dengan jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi
pada kulit diatas membrane). Jarumnya diposisikan diatas membran mid-cricothyroid
dengan sudur 45odari dada. Setelah dilakukan aspirasi udara bebas, lapisan Teflon dari
kateter dimasukkan kedalam trachea. Kawat pembimbing radiology dengan diameter

0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan melalui kateter sampai ujung
proksimalnya muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada kawat dan dibimbing
ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke lubang kecil
perkutan dan menariknya dariujung proksimal saluran trachea. Auskultasi suara
nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi
bantuan.
d. Ventilasi Transtracheal Jet
Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk
kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan
memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk
dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang
tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup
sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat
menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk
melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap
tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.

Gambar 12 Skema Trans Tracheal Jet


Kateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong
atau terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki
jalan napas. Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi
terhadap leher dan thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah
persiapan aseptik, anestesi lokal disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien
sadar dan waktu memungkinkan). Tangan kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien,
menghadap kearah kepala. Klinisi dapat menggunakan tangan non dominan untuk

menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di kauda ketiga
membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan. Aspirasi yang bebas
dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus dilepaskan,
dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah
dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan
dengan asesori port telah ada.
e. Trakeostomi

Gambar 13 Skema Tracheostomi


Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif,
kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini
merupakan salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.
2. Struma
1

Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher
oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Setelah bertahun-tahun, sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan
membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler. Struma nodosanon
toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul
satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.

Anatomi

Kelenjar tiroid merupakan salah satu bagian dari sistem endokrin.


Kelenjar tiroid terletak di leher depan, terdiri atas dua lobus, yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin rakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar tiroid
ke arah kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid.
Setiap lobus tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan
tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan
masukan iodium. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20 gram.

Gambar 1. Kelenjar tiroid


Kelenjar tiroid merupakan organ yang kaya akan vaskularisasi, berasal dari a.
Tiroidea superior kanan dan kiri merupakan cabang dari a. Carotis eksterna, dan a.
Tiroidea inferior kanan dan kiri dari a. Subklavia, dan a. Tiroidea ima yang berasal dari
a. Brakiosefalik salah satu cabang dari arkus aorta. Sistem vena berasal dari pleksus
perifolikular yang menyatu dipermukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan
inferior. Aliran darah ke kelenjar tiroid diperkirakan 5ml/gram. Pembuluh getah bening
kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakealis. Selanjutnya dari
pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada diatas ismus menuju ke kelenjar

getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus.
Persarafan kelenjar tiroid berasal dari ganglion cervivalis superior, media dan inferior.
Saraf-saraf ini mencapai glandula tiroid melalui n. Cardiacus, n. Laryngeus superior dan
n. Laryngeus inferior. Terdapat dua saraf yang mempersarafi laring dengan pita suara
yaitu n. Rekurens dan cabang dari n. Laryngeus superior.

Gambar 2. Anatomi kelenjar tiroid tampak depan dan potongan melintang


2.2 Klasifikasi
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut :
1

Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma

nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak

diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara
klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk
tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi
darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasil
pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah
pembentuknya. Apabila gejala-gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam
jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir
yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan
dapat meninggal.
2

Struma Non Toksik


Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi

struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan
oleh kekurangan iodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma
endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumnya kurang
sekali mengandung iodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat
kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid
sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat
dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala
mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya
tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.

Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi iodium urin. Dalam keadaan seimbang
maka iodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat
urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan
prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik
berat di atas 30 %.
Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Nontoxic diffuse goiter


Endemic
Iodine deficiency
Iodine excess
Dietary goitrogenic
Sporadic
Congenital defect in thyroid hormone biosynthesis
Chemical agents, e.g lithium, thiocyanate, p-aminosalicylic acid
Compensatory following thyroidectomy
Nontoxic nodular goiter due to causes listed above
Uninodular or multinodular
Functional, nonfunctional, or both
Pada struma endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi:

1
2
3
4

Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan


Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
Derajat III: terlihat pada jarak jauh
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:

a
b

Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba, tidak lebih besar dari ukuran normal
Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala
ditegakkan

Gambaran Klinis
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tiroid membesar dengan lambat.

Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup
besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi
dan juga esophagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Pasien tidak
mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Benjolan di leher,
peningkatan metabolisme, peningkatan simpatis seperti: palpitasi, gelisah, berkeringat,
tidak tahan cuaca dingin, diare, tremor dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal:

1
2
3
4
5

Jumlah nodul: satu (soliter) atau lebih dari satu (multiple)


Konsistensi: lunak, kistik, keras atau sangat keras
Nyeri pada penekanan: ada/tidak ada
Perlekatan dengan sekitarnya: ada/tidak ada
Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada/tidak ada

Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid:

1
2
3
4
5
6

Terapi supresi dengan hormone levotirosin


Pembedahan
Iodium radioaktif
Suntikan etanol
US Guided Laser Therapy
Observasi, bila yakin nodul tidak ganas
Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering

dibandingkan dengan iodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien
hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat
diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan
untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil
atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar
hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang
terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat
diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3
hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin
tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan
laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan
pembedahan.
Indikasi operasi pada struma adalah:
a
b
c
d

Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa


Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
Struma dengan gangguan tekanan
Kosmetik
Kontraindikasi operasi pada struma:

a
b

Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya


Struma dengan dekompresi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang belum

terkontrol
Struma besar yang melekat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea maupun laring dapat
sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan

jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase yang luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering
hasilnya tidak radikal.

Jenis prosedur pembedahan:


a
b
c
d
e

Lobektomi subtotal
Lobektomi total
Tiroidektomi subtotal
Tiroidektomi near total
Tiroidektomi total

Gambar . Jenis prosedur pembedahan


Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah nodul
tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek maligna

dibedakan atas apakah kasus tersebut operable atau inoperable. Bila kasus yang
dihadapi inoperable maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan
histopatologi secara blok paraffin. Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi
eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul timbul suspek maligna yang operable,
dilakukan tindakan isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku (VC).
Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat:
1

Lesi jinak

Maka tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi


2

Karsinoma papilare

Dibedakan atas resiko tinggi dan resiko rendah berdasarkan klasifikasi AMES.

a Bila resiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi


b Bila resiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total
Karsinoma folikulare

Dilakukan tindakan tiroidektomi total


4

Karsinoma medulare

Dilakukan tindakan tiroidektomi total


5

Karsinoma anaplastik
a Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total
b Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan tindakan debulking dilanjutkan
dengan radiasi eksterna atau kemoradioterapi
Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan FNAB. Ada 2

kelompok hasil yang mungkin didapat yaitu:


1

Hasil FNAB suspek maligna, folliculare pattern dan Hurthle cell

Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti di atas.


2

Hasil FNAB benigna

Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6 bulan kemudian dievaluasi. Bila
nodul tersebut tidak ada perubahan atau bertambah besar sebai
knya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti di atas.
Iodium Radioaktif
Iodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar
tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka
pemberian iodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50%. Iodium radioaktif

tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap


jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau
kelainan genetic. Iodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang
harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah
operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.
Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk
menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan
untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU)
dan metimasol/karbimasol

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1

Identitas Pasien
Nama

: Ny.P

Usia

: 59 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Grobogan

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Status Pernikahan

: Menikah

Tinggi Badan

: 158 cm

Berat Badan

: 43 kg

No. CM

: C596237

Tanggal MRS : 7 September 2016


Tanggal Anestesi

: 23 September 2016

Lama Anestesi: 07.30 10.30


Diagnosa Pra Bedah: Struma Multi Nodusa Non Toxic Dextra Sinistra suspek ganas
Jenis Pembedahan
Jenis Anestesi
3.3

: Total Tyroidectomy

: General anesthesia intubasi oral sleep non apneu ETT diameter 7

Persiapan Pre Operasi


3.3.1

Anamnesis Pre Operasi (22 September 2016) Autoanamnesa


A : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan dan obat-obatan
M:P : DM (-) HT (-)
L : 6 jam sebelum operasi
E : Pasien mengeluh benjolan di leher kanan dan kiri sejak 2 tahun sebelum
masuk rumah sakit. Benjolan ikut bergerak saat menelan.
Nyeri pada leher hilang timbul. Sesak (-). Berdebar-debar (-). Perubahan
suara (-). Lebih mudah berkeringat berlebihan (+). BB menurun tanpa sebab
yg jelas (+).

3.3.2 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi (22 September 2016)


B1 : Airway paten, nafas spontan, regular, simetris, RR 18x/mnt, saturasi
oksigen 98% tanpa bantuan oksigen, struma (+), Stiffness (-), pernafasan
cuping hidung (-), snoring (-), stidor (-), gargling (-), gigi palsu (-), buka
mulut 3 jari, Mallampati Score Class II, gerak leher flexi/ekstensi, nyeri
telan hilang timbul, Massa padat di coli dextra diameter 4 cm, berbatas
tegas dan ikut bergerak saat menelan.
Auskultasi : suara dasar vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
B2 : Akral hangat, TD: 130/70, RR : 14x/ menit, T : 35,8 C, Nadi : 82x/ menit
B3 : Compos mentis, GCS 15, reflek cahaya +/+
B4 : BAK (+) spontan
B5 : Flat, supel, BU(+)N, meteorismus
B6 : nyeri (-), krepitasi (-), mobilitas (+), anemis (+); ekstremitas lain
deformitas (-), krepitasi (-), anemis (-), cyanosis (-), ikterik (-)
3.4

Pemeriksaan Penunjang

3.4.1

Pemeriksaan Lab

Darah Lengkap (21 September 2016)


Hb
: 10,50 gr/dl (L)
Eritrosit
: 3,7 106/l (L)
Leukosit
: 8.7 103/l
Trombosit
: 146.000/l
Hematokrit
: 40,6 %
Pemeriksaan Klinik (22 September 2016)
Natrium
: 140 mmol/L
Kalium
: 4,7 mmol/L
Chlorida
: 112 mmol/L (H)

3.4.2 FOTO : X-FOTO CERVICAL AP LATERAL

(N : 12 - 15)
(N : 4,4 5,9)
(N : 3,6 11)
(N : 150.000 - 400.000)
(N : 38,0 - 42,0)

(N : 136 145)
(N : 3,5 5,0)
(N : 98 106)

Kesan:
Gambaran soft tissue mass region colli kanan kiri setinggi corpus vertebra
cervical 2-5
Tak tampak lesi itik, sklerotik dan destruksi pada corpus vertebra cervicalis
Spondilosis cervical
Airway space baik

3.5

Laporan Anestesi Pre-Operatif


Assessment: ASA 2, Strume Euthyroid, deviasi trakea ke kanan,
kemungkinan sulit intubasi
Diagnosa prabedah : Struma Multi Nodusa Non Toxic Dextra Sinistra
suspek Ganas
Keadaan prabedah:
o BB: 43 kg, TB: 158 cm
o N: 88x/menit, RR: 12 x/menit, TD: 120/70 mmHg, Tax: 36,5 oC
o Hb: 13,8 g/dl, leukosit: 13,9 103/l
o Terakhir makan nasi dan minum tanggal 22 September 2016
o IV line : 1 (tangan kanan kristaloid)
o Jenis tindakan : Total Thyroidectomy

3.6

Persiapan Pre Operatif

3.6.1

Di Ruangan
KIE (+), Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi

(+), site mark (+)


Puasa: (+) 6 jam preop
Persiapan PRC 2 labu (diambil jika perlu)
IVFD NaCL 0,9 % 20 tpm selama puasa
Persiapan propanolol dan PTU ke OK
Back up tracheostomy
Back up ICU
Premedikasi (21 September 2016 diberikan 1,5 jam preoperatif) :

1. Antibiotik profilaksis Cefazolin 2 gram IV


2. Inj. Ranitidin 2x150 mg IV
3. Metoclopramid 10 mg
3.6.2

Di Kamar Operasi
Persiapan dasar Intubasi Sulit

Laringoskop berbagai ukuran


ETT berbagai ukuran
Introducer (stylet, elastic bougie)
Oral dan nasal airway berbagai ukuran
Set krikotiroidectomi
Suction
Assistant yang terlatih
LMA berbagai ukuran
Glide scope
Laringoskop Mc Coy

Scope stetoskop, laringoskop


Tubes ETT (cuffed) Non King size 7
Airway orotracheal airway
Tape plester untuk fiksasi
Introducer untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector penyambung antara pipa dan ventilator
Suction memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut, dan EKG.
Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : sulfas atropin, lidokain,
adrenalin, efedrin.

3.7

Durante Operatif

3.7.1

Laporan Anestesi Durante Operatif

Jenis anestesi : General Anestesi Intubasi oral sleep non apneu ETT

diameter 7
Lama anestesi : 07.30 10.30 (3 jam)
Lama operasi : 08.00 10.15 (2 jam 15 menit)
Posisi : Supine
Infus : 2 line di tangan kanan kiri
Obat-obatan yang diberikan :
Obat induksi :
1. Inj. Propofol
2. Inj. Ketamine
Obat Relaksasi dengan Atracurium diberikan setelah intubasi
Obat maintenance anestesi :

1. Inh. O2
2. Inh. Isofluran

3.7.2

Obat analgetik durante operatif :


1. Inj. Tramadol 50 mg IV/ 12 jam

Pemberian Cairan
Cairan masuk :
Pre operatif

Durante operatif

: kristaloid 500 cc
Koloid 500 cc
: kristaloid 1000 cc
koloid 1000 cc
Gelafusin
PRC 2 labu

Cairan keluar :
Pre operatif
Durante operatif

: urin (50 cc)


: urin 300 cc

perdarahan 1000 cc
EBV = 65 x 43 kg = 2795 c
ABL = 13,8 10 x 2795 = 1349 cc
13,8
M = (4x10)+(2x10)+(1x23) = 83 cc/jam
3.8

Post Operatif

3.8.1

Laporan Anestesi Post Operatif di Ruang Pulih Sadar


Pasien masuk RR jam 10.40

Melakukan lick test (extubasi) oedem laring


nafas spontan dl ketika masih dan pengecheckan nervus Laryngeus

reccurent
Total : cedera nervus, paratiroid,
hematom daerah op daerah operasi pada
Pengecheckan Kalsium 6-8 jam
Keluhan pasien : mual (-), muntah (-), pusing (+)
Pemeriksaan fisik :
B1 : Paten, benda asing negatif, suara tambahan negatif, BM > 3 Jari,
Mallampati II, luka operasi bersih, nyeri leher (-),Stiffness (-),
pernafasan cuping hidung (-), snoring (-), stidor (-), gargling (-),leher
pendek(-, gigi palsu (-)
Spontan 14 x/m reguler simetris, retraksi (-), suara dasar vesikuler,
ronki(-/-), wheezing (-/-), SaO2 100% dengan udara ruangan
B2 : Akral hangat , TD: 130/70, RR : 14x/ menit, T : 35,8 C, Nadi : 82x/
menit IV line lancar (transfusi PRC labu ke II, sisa dari OK),
conjunctiva anemis (+),
B3 : compos mentis, GCS 15, reflek cahaya +/+
B4 : produksi urine (+), terpasang kateter ukuran 16 Fr, urin 100 cc (PU =
2,5cc/kgBB/jam)
B5 : Flat, Supel
B6 : nyeri (-), krepitasi (-), mobilitas (+), anemis (-); ekstremitas lain
deformitas (-), krepitasi (-), anemis (-), cyanosis (-), ikterik (-)

3.8.2

Monitoring

Awasi tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, pernafasan, dan suhu setiap 15

menit.
Muntah, nyeri, inisiasi makan/minum ditangani sesuai instruksi pasca

anestesi
Cairan kristaloid 100 cc/jam
Cek DL post operasi
ACC pindah ruangan jika Aldrete score 8 & tidak ada nilai 0

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus, didapatkan pasien mengeluh benjolan di leher kanan dan kiri sejak 4
tahun sebelum masuk rumah sakit. Benjolan ikut bergerak saat menelan. Sesak (-).
Berdebar-debar (-). Perubahan suara (-). BB menurun tanpa sebab yg jelas (+),
Keringat berlebihan (+). Sedangkan pada pemeriksaan PA di daapatkan struma dextra
curiga keganasan.
Pada teori, indikasi melakukan operasi antara lain Struma difus toksik yang gagal
dengan terapi medikamentosa, Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan
keganasan, Struma dengan gangguan tekanan dan kosmetik. Jadi pada kasus struma
uninodosa bilateral pada pasien memenuhi indikasi operasi karena pada pemeriksaan
PA didapatkan struma tersebut merupakan neoplasma.
Pada teori, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat diatasi
dengan tiga P yaitu : prediksi, preparasi dan praktis. Mengetahui kondisi pasien
dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat dokter dapat
mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan
persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan
akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan beberapa pasien
bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat dilakukan
induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya
intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah
mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.
Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini
mengevaluasi apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula
dan faring posterior tampak. Ada beberapa cara dalam melaksanakan tes malampati
yaitu dengan duduk atau terlentang dan dengan atau tanpa fonasi. Pada jurnal-jurnal
akhir-akhir ini tes malampati akan lebih sensitif jika dilakukan tanpa fonasi baik
terlentang atau duduk. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit
dilakukan intubasi. Sedangkan pada pasien didapatkan malampati score adalah 3.

Gambar 14 Diagram Tes Malampati


Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak
dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan
bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi.
Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau
tidaknya penglihatan dari laringoskop.

Gambar 15 Diagram Laryngoskop


Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.
Sedangkan pada kasus didapatkan laryngoskop grade III.
Derajat I : Pita suara terlihat.
Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.
Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.
Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat sam asekali.
Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk
memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor
yang harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi
endotracheal.
Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi
sebelumnya jika pada pasien tersebut saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak
memiliki kesulitan intubasi. Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat

intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan
mengalami intubasi sulit terus.
Sedangkan, pada kasus pemeriksaan radiologi foto polos cervical AP/lateral
didapatkan struma klasifikasi dengan deviasi trachea ke kanan dan anterior, dan pada
skala LEMON didapatkan sebagai berikut :

Sehingga berdasarkan skala Lemon pasien memenuhi kriteria kemungkinan sulit


intubasi.

Difficult airway didefinisikan sebagai situasi dimana anaestesiologis terlatih


konvensional mengalami kesulitan saat melakukan intubasi, melakukan ventilasi
masker atau keduanya. Difficult airway merupakan interaksi yang kompleks antara
faktor pasien, kondisi klinis, dan kemampuan dari dokter. Analisa pada interaksi ini
membutuhkan pengumpulan dan pengambilan kesimpulan data yang tepat.
Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur anestesiologi.
Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara akan lebih
sering di UGD daripada di ruang operasi, mengingat kebutuhan mendesak untuk
prosedur dan kurangnya persiapan pasien. Ketika menilai seorang pasien
membutuhkan dukungan saluran napas, dokter spesialis emergensi pertama-tama harus
berusaha untuk mengidentifikasi petunjuk klinis yang menunjukkan adanya kesulitan
jalan nafas dan, bila perlu, pilih perangkat alternatif. ini
Strategi dapat mencegah kerusakan pasien atau kematian yang disebabkan oleh
beberapa mencoba menggunakan metode standar. Perangkat alternatif dan teknik
termasuk yang laring mask airway, perangkat dual-lumen, introducers trakea, intubasi
transiluminasi, lingkup serat optik fleksibel, dan gaya semi-rigit.
Informasi penting dapat dikumpulkan oleh penilaian pra-operasi hati-hati melalui
sejarah, fisik
Pemeriksaan Fisik dan penyelidikan. Sebuah pertanyaan penting untuk bertanya
pada diri sendiri adalah apakah ventilasi oleh facemask mungkin akan sulit.
Difucult airway terdiri dari 2 kesulitan yakni difficult intubation dan difficult
ventilasi sehingga ASA mengeluarkan alogaritma yang sudah ditampilkan pada bab
teori yang dapat menjadi panduan praktis apabila terjadi kesulitan intubasi yang terjadi
meski masih ada beberapa pertentangan.
Dibutuhkan prediksi yang tepat, preparasi atau persiapan yang baik dalam hal alat ,
teknik dan pengetahuan agar dapat menangani kesulitan intubasi yang mungkin
terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buttler KH et al. Management of the difficult airway: alternative airway techniques


and adjuncts. Emergency Medicine Clinic of North America 259 289. 2003.
2. American Society of Anesthesiologists. Practice Guidelines for Management of the
Difficult Airway.2013. An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway. Anesthesiology
251-270. 2013
3.Saliwarati Das. Sistem Respirasi. 2016. Dikutip dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Bb2-Respirasi.pdf
4.Rosana Dadan. Anatomi Laring. 2016 Dikutip dari
www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/.../bab%20II.pdf
5. Rohmawati Dinni. Fisiologi Laring.2016. Dikutip dari
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40128/4/Chapter%20II.pdf
6. Dobson M.B . Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran .121134 2004
7. Latief Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan M R. Petunjuk Praktis Anastesiologi edisi ke
II. Jakarta . Bagian Anastesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 42-43.2001
8. Yoyagi GS et al. Evaluating the difficult airway. An epidemiological study. PubMed
Dec;61(12):483-9.2010
9. Mary, Mancini. Prosedur Pemasangan Alat- Alat Intubasi. 2013. Dikutip dari
gadarku.blogspot.intubasiendotracheal.html.

Anda mungkin juga menyukai