Disusun Oleh:
Adelia Cynthia
22010114220009
Pembimbing:
dr. Erdi Effendi
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN
i
Nama mahasiswa
: Adelia Cynthia
NIM
: 22010114220009
Bagian
Judul kasus
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
Management jalan napas adalah tugas terpenting dari anestesiologi maupun
dokter umum yang bekerja di IGD. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang
menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya
beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan
intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah
dipublikasikan menunjukkan di mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan
kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi
pasien tersebut. (1)
Secara epidemiologi dari 359 intubasi sulit dihasilkan dari data yang
dikumpulkan secara retrospektif dari 4,742 catatan kasus anestesi pasien dewasa (2.392
laki-laki, 2.350 perempuan) yang menjalani anestesi umum untuk operasi rutin.
Penilaian preoperatif napas setiap pasien dilakukan dengan menggunakan pedoman
standar. Panjang mandibula, berat badan dan mobilitas rahang, kepala dan leher
dievaluasi dengan pengukuran sederhana. Kehadiran menonjol rahang atau gigi atas,
tumor atau kista lidah, mulut panjang dan sempit, otot leher pendek dan penyimpangan
laring atau trakea didasarkan pada pemeriksaan klinis dan / atau radiologis.(2)
Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur
anestesiologi. Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara
akan lebih sering di UGD daripada di ruang operasi, mengingat kebutuhan mendesak
untuk prosedur dan kurangnya persiapan pasien. Ketika menilai seorang pasien
membutuhkan dukungan saluran napas, dokter spesialis emergensi pertama-tama harus
berusaha untuk mengidentifikasi petunjuk klinis yang menunjukkan adanya kesulitan
jalan nafas. (1)
Faktor risiko yang telah berkorelasi dengan ukuran relatif lidah ternyata
memiliki probabilitas rendah dan tingkat kesulitan intubasi. Faktor risiko yang paling
penting adalah gerakan rahang. Gondok endemik Besar dan thalassemia merupakan
RFS berkontribusi sesekali untuk jalan nafas sulit dengan Nilai prediktif positif adalah
masing-masing 61,5% dan 40,9%. Kombinasi faktor risiko memiliki dampak kumulatif
berkontribusi terhadap tingkat kesulitan yang tinggi.(2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Secara makro anatomi, sistem respirasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian
yaitu: pars konduktoria (saluran respirasi) dan pars respiratorius (alveolus). Pars
konduktoria tersusun atas: hidung rongga hidung pharynx larynx trachea
bronchus bronchiolus. Pars konduktoria berfungsi sebagai saluran udara respirasi
dari atmosfer ke dalam alveoli. Epitel respirasi tersusun atas epitel kolumner (toraks)
bertingkat bersilia, dan diantaranya banyak terdapat sel goblet. (3)
2.1.1
Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi.
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial.
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih
kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka
suprema biasanya rudimenter.
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
2.1.2
Faring
dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring)
(Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa
blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). (4)
Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring,
orofaring, dan hipofaring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses
intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot
internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan
otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan
masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari
endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien
yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus
Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus
Kranial V.
Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat
timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut
terjadi pada daerah Palatum Molle (Soft Palate) yang kemudian menepel pada dinding
nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan
nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada
pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan
terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien
yang bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan
meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar
dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan penyumbatan
yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah yang
kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.
2.1.3. Laring
b.
2.1.4. Trakea
Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago. Trakea
berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior
pada esofagus, turun ke dalam thoraks di mana ia membelah menjadi dua bronkus
utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea di
sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas
trakea di sebelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah anterior, biasanya
setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak pada sulkus
trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan
adalah otot-otot supra sternal yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoid.(6)
2.1.5
Bronkus
Bronkus merupakan struktur dalam mediastinum, yang merupakan percabangan
dari trakea. Bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap
bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus primer
bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin
mengecil dan menyempit, batang atau lempeng kartilago menggannti cincin kartilago.
Bronkus kanan kemudian menadi lobus superior, lobus medius dan inferior(6)
2.2 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea.(7)
2.2.1 indikasi intubasi trakea
a) menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun misalnya kelainan anatomi,
bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas dan lainlainnya,
b) mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
c) pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
2.2.2 Prinsip Intubasi
a.
b.
c.
d.
yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet
e. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi
f. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit
anestesi yang berfungsi
dari mulut terletak horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut
panjang dari faring terletak hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak
vertical dari arah posterior ke anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan
pita suara dapat terlihat dari mulut. Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical
akan menyebabkan intubasi sulit karena adanya keterbatasan posisi anterior dari
laring.(8)
Difucult airway terdiri dari dificut ventilasi dan difficult intubasi dimana Difficult
Ventilation adalah Ketidakmampuan menjaga SO2 >90% saat ventilasi dengan
menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat
saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam batas normal. Sedangkan Difficult
Intubation adalah suatu keadaan intubasi yang Dibutuhkannya > 3 kali usaha intubasi
atau usaha intubasi yang terakhir > 10 menit.
2.3 Penatalaksanaan Intubasi Jalan Napas Sulit (9)
Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit
membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang
dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk
penatalaksanaan semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA
sudah menetukan beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan
nafas sulit. Algoritma tersebut adalah:
2.3.1 Algoritma ASA
1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya :
a. Kesulitan dengan kerjasama dan persetujuan pasien
b. Ventilasi masker sulit
c. Kesulitan menempatkan SGA
d. Laringoskopi sulit
e. Akses jalan nafas pembedahan sulit
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan
jalan nafas sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai
pilihan penatalaksanaan :
A. Intubasi sadar versus intubasi setelah induksi pada GA.
B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif versus pendekatan tehnik intubasi invasif.
C. Laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan awal intubasi
C. Pemeliharaan ventilasi spontan versus ablasi ventilasi spontan.
terlentang atau duduk. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit
dilakukan intubasi.
intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan
mengalami intubasi sulit terus.
Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah:
laringoskop.
Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan
evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4
adalah merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 15).
Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki
terlihat.
Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama
intubasi lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke
ruang mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang
mandibula yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan
faktor yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan pasien
dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari pemeriksaan
tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin tinggi.
Jika semua faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan
untuk intubasi akan semakin rendah.
B. Preparasi
Untuk menghadapi pasien intubasi jalan napas yang sulit harus mempersiapkan
beberapa alat untuk menunjang keberhasilan dari intubasi. Alat yang disiapkan hampir
sama dengan intubasi normal dengan tambahan beberapa alat sebagai berikut.
a. Specialized forcep
Merupakan paket alat untuk melaksanakan intubasi retrograde. Diesdiakan mulai dari
jarum, guide wire, sampai stylet khusus untuk mencegah jarum tertinggal pada
trachea.
C. Praktek
Teknik-teknik Intubasi Jalan Napas Sulit
a. Pemasangan Fiber Optic Intubation
0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan melalui kateter sampai ujung
proksimalnya muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada kawat dan dibimbing
ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke lubang kecil
perkutan dan menariknya dariujung proksimal saluran trachea. Auskultasi suara
nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi
bantuan.
d. Ventilasi Transtracheal Jet
Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk
kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan
memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk
dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang
tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup
sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat
menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk
melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap
tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.
menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di kauda ketiga
membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan. Aspirasi yang bebas
dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus dilepaskan,
dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah
dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan
dengan asesori port telah ada.
e. Trakeostomi
Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher
oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Setelah bertahun-tahun, sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan
membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler. Struma nodosanon
toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul
satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.
Anatomi
getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus.
Persarafan kelenjar tiroid berasal dari ganglion cervivalis superior, media dan inferior.
Saraf-saraf ini mencapai glandula tiroid melalui n. Cardiacus, n. Laryngeus superior dan
n. Laryngeus inferior. Terdapat dua saraf yang mempersarafi laring dengan pita suara
yaitu n. Rekurens dan cabang dari n. Laryngeus superior.
Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak
diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara
klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk
tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi
darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasil
pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah
pembentuknya. Apabila gejala-gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam
jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir
yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan
dapat meninggal.
2
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan
oleh kekurangan iodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma
endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumnya kurang
sekali mengandung iodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat
kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid
sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat
dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala
mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya
tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi iodium urin. Dalam keadaan seimbang
maka iodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat
urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan
prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik
berat di atas 30 %.
Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
a
b
Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba, tidak lebih besar dari ukuran normal
Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala
ditegakkan
Gambaran Klinis
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tiroid membesar dengan lambat.
Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup
besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi
dan juga esophagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Pasien tidak
mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Benjolan di leher,
peningkatan metabolisme, peningkatan simpatis seperti: palpitasi, gelisah, berkeringat,
tidak tahan cuaca dingin, diare, tremor dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal:
1
2
3
4
5
Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid:
1
2
3
4
5
6
dibandingkan dengan iodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien
hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat
diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan
untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil
atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar
hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang
terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat
diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3
hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin
tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan
laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan
pembedahan.
Indikasi operasi pada struma adalah:
a
b
c
d
a
b
terkontrol
Struma besar yang melekat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea maupun laring dapat
sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan
jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase yang luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering
hasilnya tidak radikal.
Lobektomi subtotal
Lobektomi total
Tiroidektomi subtotal
Tiroidektomi near total
Tiroidektomi total
dibedakan atas apakah kasus tersebut operable atau inoperable. Bila kasus yang
dihadapi inoperable maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan
histopatologi secara blok paraffin. Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi
eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul timbul suspek maligna yang operable,
dilakukan tindakan isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku (VC).
Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat:
1
Lesi jinak
Karsinoma papilare
Dibedakan atas resiko tinggi dan resiko rendah berdasarkan klasifikasi AMES.
Karsinoma medulare
Karsinoma anaplastik
a Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total
b Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan tindakan debulking dilanjutkan
dengan radiasi eksterna atau kemoradioterapi
Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan FNAB. Ada 2
Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6 bulan kemudian dievaluasi. Bila
nodul tersebut tidak ada perubahan atau bertambah besar sebai
knya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti di atas.
Iodium Radioaktif
Iodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar
tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka
pemberian iodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50%. Iodium radioaktif
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1
Identitas Pasien
Nama
: Ny.P
Usia
: 59 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Grobogan
Pekerjaan
Status Pernikahan
: Menikah
Tinggi Badan
: 158 cm
Berat Badan
: 43 kg
No. CM
: C596237
: 23 September 2016
: Total Tyroidectomy
Pemeriksaan Penunjang
3.4.1
Pemeriksaan Lab
(N : 12 - 15)
(N : 4,4 5,9)
(N : 3,6 11)
(N : 150.000 - 400.000)
(N : 38,0 - 42,0)
(N : 136 145)
(N : 3,5 5,0)
(N : 98 106)
Kesan:
Gambaran soft tissue mass region colli kanan kiri setinggi corpus vertebra
cervical 2-5
Tak tampak lesi itik, sklerotik dan destruksi pada corpus vertebra cervicalis
Spondilosis cervical
Airway space baik
3.5
3.6
3.6.1
Di Ruangan
KIE (+), Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi
Di Kamar Operasi
Persiapan dasar Intubasi Sulit
3.7
Durante Operatif
3.7.1
Jenis anestesi : General Anestesi Intubasi oral sleep non apneu ETT
diameter 7
Lama anestesi : 07.30 10.30 (3 jam)
Lama operasi : 08.00 10.15 (2 jam 15 menit)
Posisi : Supine
Infus : 2 line di tangan kanan kiri
Obat-obatan yang diberikan :
Obat induksi :
1. Inj. Propofol
2. Inj. Ketamine
Obat Relaksasi dengan Atracurium diberikan setelah intubasi
Obat maintenance anestesi :
1. Inh. O2
2. Inh. Isofluran
3.7.2
Pemberian Cairan
Cairan masuk :
Pre operatif
Durante operatif
: kristaloid 500 cc
Koloid 500 cc
: kristaloid 1000 cc
koloid 1000 cc
Gelafusin
PRC 2 labu
Cairan keluar :
Pre operatif
Durante operatif
perdarahan 1000 cc
EBV = 65 x 43 kg = 2795 c
ABL = 13,8 10 x 2795 = 1349 cc
13,8
M = (4x10)+(2x10)+(1x23) = 83 cc/jam
3.8
Post Operatif
3.8.1
reccurent
Total : cedera nervus, paratiroid,
hematom daerah op daerah operasi pada
Pengecheckan Kalsium 6-8 jam
Keluhan pasien : mual (-), muntah (-), pusing (+)
Pemeriksaan fisik :
B1 : Paten, benda asing negatif, suara tambahan negatif, BM > 3 Jari,
Mallampati II, luka operasi bersih, nyeri leher (-),Stiffness (-),
pernafasan cuping hidung (-), snoring (-), stidor (-), gargling (-),leher
pendek(-, gigi palsu (-)
Spontan 14 x/m reguler simetris, retraksi (-), suara dasar vesikuler,
ronki(-/-), wheezing (-/-), SaO2 100% dengan udara ruangan
B2 : Akral hangat , TD: 130/70, RR : 14x/ menit, T : 35,8 C, Nadi : 82x/
menit IV line lancar (transfusi PRC labu ke II, sisa dari OK),
conjunctiva anemis (+),
B3 : compos mentis, GCS 15, reflek cahaya +/+
B4 : produksi urine (+), terpasang kateter ukuran 16 Fr, urin 100 cc (PU =
2,5cc/kgBB/jam)
B5 : Flat, Supel
B6 : nyeri (-), krepitasi (-), mobilitas (+), anemis (-); ekstremitas lain
deformitas (-), krepitasi (-), anemis (-), cyanosis (-), ikterik (-)
3.8.2
Monitoring
Awasi tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, pernafasan, dan suhu setiap 15
menit.
Muntah, nyeri, inisiasi makan/minum ditangani sesuai instruksi pasca
anestesi
Cairan kristaloid 100 cc/jam
Cek DL post operasi
ACC pindah ruangan jika Aldrete score 8 & tidak ada nilai 0
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus, didapatkan pasien mengeluh benjolan di leher kanan dan kiri sejak 4
tahun sebelum masuk rumah sakit. Benjolan ikut bergerak saat menelan. Sesak (-).
Berdebar-debar (-). Perubahan suara (-). BB menurun tanpa sebab yg jelas (+),
Keringat berlebihan (+). Sedangkan pada pemeriksaan PA di daapatkan struma dextra
curiga keganasan.
Pada teori, indikasi melakukan operasi antara lain Struma difus toksik yang gagal
dengan terapi medikamentosa, Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan
keganasan, Struma dengan gangguan tekanan dan kosmetik. Jadi pada kasus struma
uninodosa bilateral pada pasien memenuhi indikasi operasi karena pada pemeriksaan
PA didapatkan struma tersebut merupakan neoplasma.
Pada teori, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat diatasi
dengan tiga P yaitu : prediksi, preparasi dan praktis. Mengetahui kondisi pasien
dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat dokter dapat
mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan
persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan
akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan beberapa pasien
bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat dilakukan
induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya
intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah
mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.
Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini
mengevaluasi apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula
dan faring posterior tampak. Ada beberapa cara dalam melaksanakan tes malampati
yaitu dengan duduk atau terlentang dan dengan atau tanpa fonasi. Pada jurnal-jurnal
akhir-akhir ini tes malampati akan lebih sensitif jika dilakukan tanpa fonasi baik
terlentang atau duduk. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit
dilakukan intubasi. Sedangkan pada pasien didapatkan malampati score adalah 3.
intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan
mengalami intubasi sulit terus.
Sedangkan, pada kasus pemeriksaan radiologi foto polos cervical AP/lateral
didapatkan struma klasifikasi dengan deviasi trachea ke kanan dan anterior, dan pada
skala LEMON didapatkan sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA