Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus Kepaniteraan Klinik

Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif

Disusun oleh:
Citra Tanoto
01073180054

Penguji:
dr. Irma Lusian, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN


PERAWATAN INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JUNI – JULI 2018
TANGERANG

1
Daftar Isi

BAB I
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK .............................................................. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 35
2.1 Anatomi Pleksus Brakialis ............................................................................ 35
2.2 Konsiderasi Pemilihan Pasien ....................................................................... 36
2.3 Resiko dan Kontraindikasi ............................................................................ 36
2.4 Modalitas Blok Saraf Perifer ......................................................................... 37
2.4.1 Nerve Stimulation................................................................................... 37
2.4.2 Ultrasound Guided................................................................................. 38
2.5 Teknik Blok Pleksus Brakialis ...................................................................... 39
2.5.1 Interscalene Block .................................................................................. 39
2.5.2 Supraclavicular Block ............................................................................ 41
2.5.3 Infraclavicular Block ............................................................................. 44
2.5.4 Axillary Block......................................................................................... 44
2.6 Teknik Blok Saraf Terminal .......................................................................... 46
2.6.1 Median Nerve Block ............................................................................... 46
2.6.2 Ulnar Nerve Block ................................................................................. 49
2.6.3 Radial Nerve Block ................................................................................ 50
2.7 Pembahasan Kasus ........................................................................................ 52
2.7.1 Konsiderasi General Anesthesia ............................................................ 52
2.7.2 Konsiderasi Anestesi Spinal .................................................................. 55
2.7.3 Konsiderasi Brachial Plexus Block ........................................................ 56
BAB III
REFERENSI ................................................................................................................ 59

2
BAB I

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

1) Identitas Pasien:
 Nama : Tries Sutrisna
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 66 tahun
 Alamat : Kampung Nagreg RT002/RW04, Kel. Bojong Kamal
 Pekerjaan : Karyawan pensiun
 No. Rekam medis : 00-63-97-51
 Tanggal kunjungan: 29 Juni 2018
 Tanggal anamnesis dan pemeriksaan fisik: 2 Juli 2018
 Anamnesis: autoanamnesis
2) Keluhan Utama:
Bengkak pada buah zakar yang semakin parah
3) Keluhan Tambahan:
 Bengkak pada seluruh tubuh
 Nyeri pada telapak tangan kiri
 Sesak napas pada malam hari
 Perut kembung, begah, dan keras
4) Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien bernama Bapak Tries datang ke instalasi gawat darurat pada hari Kamis
tanggal 28 Juni 2018 pukul 23.55 WIB dengan keluhan utama berupa bengkak
pada buah zakar sejak satu minggu yang lalu. Bengkak pertama kali disadari ketika
pasien sedang mandi dan sejak saat itu bengkak dirasakan semakin besar. Bengkak
disertai dengan rasa nyeri pada daerah kemaluan. Nyeri dirasakan sepanjang
waktu, berdenyut, tidak menjalar, dan diberikan nilai 4/10 dalam skala nyeri.
Pasien tidak memiliki keluhan dalam berkemih atau buang air besar. Bengkak pada
buah zakar didahului oleh bengkak pada kedua kaki dan tangan serta pada bagian
perut sejak sekitar satu bulan yang lalu. Bengkak muncul secara perlahan-lahan
dan disadari oleh istri pasien pada saat itu. Bengkak tidak disertai dengan nyeri,
dan semakin besar selama satu bulan. Pasien tidak mengeluhkan riwayat sakit
3
perut, muntah darah, perubahan warna kulit menjadi kuning, ataupun kencing
berbusa. Pasien tidak memiliki keluhan anggota gerak tubuh.
Pasien juga memiliki keluhan tambahan berupa bengkak dan nyeri yang hebat
pada telapak tangan kiri. Awalnya bengkak muncul sebagai sebuah benjolan
berwarna merah pudar berukuran sebesar buah zaitun, dan pasien memutuskan
hanya untuk memijat benjolan tersebut. Setelah dua minggu, benjolan membesar
dan warna benjolan berubah menjadi merah terang. Pada saat ini, pasien mulai
merasakan nyeri yang cukup mengganggu pada telapak tangan yang dirasakan
secara hilang timbul, tidak menjalar, berdenyut, dan diberikan nilai 3/10 dalam
skala nyeri. Walaupun demikian, pasien masih mampu menggerakkan jari-jari dan
pergelangan tangan, dan memutuskan untuk mengkompres tangan kiri dengan air
hangat. Sekitar dua minggu kemudian, benjolan tersebut semakin besar dan
membengkak. Pada saat ini pasien merasakan nyeri yang cukup hebat yang
dirasakan hilang timbul, tidak menjalar, berdenyut, dan diberikan nilai 7/10 dalam
skala nyeri. Pada saat ini pasien tidak mampu lagi untuk menggerakkan
pergelangan tangan dan jari-jari oleh karena rasa nyeri dan keterbatasan ruang
gerak oleh karena bengkak. Pasien tidak pernah memiliki riwayat trauma ataupun
riwayat menyerupai keluhan ini sebelumnya.
Pasien juga mengeluhkan adanya sesak napas yang dialami sejak kurang lebih
satu bulan. Sesak muncul pada malam hari ketika pasien akan tidur malam dan
membuat pasien tidak bisa tidur. Sesak dirasakan sebagai sensasi “tertindih” dan
dilanjutkan dengan batuk-batuk berdahak. Dahak diakui pasien berwarna putih,
kental, dan tidak terdapat darah. Pasien kemudian meningkatkan jumlah bantal
yang digunakan untuk tidur, dari dua bantal menjadi tiga bantal namun hal ini
kurang membantu dan sesak yang dirasakan semakin mengganggu. Sesak tidak
didahului dengan periode nyeri dada, nyeri yang menjalar ke daerah bahu,
kesemutan yang menjalar ke daerah tangan, ataupun nyeri pada daerah ulu hati.
Pasien juga menolak riwayat batuk lama, demam, ataupun sesak napas sebelum
periode satu bulan ini.
Terakhir, pasien juga mengeluhkan adanya perut kembung dan begah disertai
dengan perut yang teraba keras selama kurang lebih satu bulan ini. Kembung dan
begah dirasakan semakin parah seiring berjalannya waktu, dan dirasakan
sepanjang waktu tanpa adanya nyeri pada ulu hati. Nafsu makan pasien menurun,
namun tidak disertai dengan muntah. Pasien menolak riwayat alkoholisme,

4
transfusi darah, ataupun seks bebas. Pasien juga menolak adanya riwayat nyeri
hebat pada perut, gangguan BAB, BAB berdarah, ataupun perubahan warna kulit
menjadi kuning sebelum mengalami keluhan ini.
5) Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit dahulu yang signifikan.
6) Riwayat Rawat di Rumah Sakit:
Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit.
7) Riwayat Penyakit Keturunan:
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit keluarga yang dapat diturunkan.
8) Riwayat Alergi:
Tidak ada
9) Riwayat Kebiasaan:
 Merokok:-
 Alkohol:-
 Kopi: -
 Olahraga: pasien tidak melakukan olahraga secara teratur.
 Narkoba: pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi narkoba dalam
bentuk apapun.
10) Riwayat Penggunaan Obat:
Sebelum masuk ke rumah sakit, pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan
untuk penyakit tertentu.
11) Pemeriksaan Fisik (dilakukan pada tanggal 2 Juli 2018)
Pemeriksaan General dan Tanda-Tanda Vital:
 Berat Badan: 78 Kg
 Tinggi Badan: 160cm
 IMT: 30.46
 Tekanan Darah: 130 mmHg (Sistol) /80 mmHg (Diastol)
 Suhu tubuh: 36.9oC
 Denyut jantung: 70 bpm
 Laju napas: 18 bpm
 GCS: E4 M6 V5
 Kesadaran: Compos mentis

5
Pemeriksaan Sistem (Head to Toe):
Kulit keseluruhan  Tidak ada sianosis/kebiruan
 Tidak ada ikteris/jaundice/kekuningan
 Tidak ada kemerahan
 Terdapat edema non-pitting pada seluruh bagian tubuh
 Elastisitas dan turgor normal
Kepala dan wajah Rambut  Rambut tersebar secara merata
 Rambut berwarna hitam keputihan,
kuat, tidak mudah rontok
Kulit kepala  Tidak ada ruam
 Tidak terdapat bekas luka
 Tidak ada massa
 Tidak ada deformitas
 Tidak ada sianosis/kebiruan
 Tidak ada
ikteris/jaundice/kekuningan
 Tidak ada kemerahan
 Terdapat edema
Fungsi  Pergerakan kepala normal
 Tidak ada keterbatasan gerak (range
of motion)
Mata  Mata normal
 Konjungtiva pucat
 Tidak ada sklera ikteris
 Tidak ada ptosis (drooping eyelids)
 Tidak ada bekas luka
 Pupil bulat, sama besar dan bentuk (isokor), diameter
3mm/3mm
 Refleks pupil langsung dan tidak langsung normal (+/+)
 Jarak antar mata simetris
 Pergerakan bola mata normal
 Tidak ada keterbatasan lapang pandang

6
 Air mata normal
 Tidak ada strabismus
Hidung  Penampakan hidung normal
 Tidak terdapat abnormalitas pigmentasi kulit
 Septum nasal normal, berada di tengah, tidak ada deviasi
 Tidak ada bekas luka
 Mukosa tidak hiperemis
 Tidak ada polip/masa lain dalam lubang hidung
 Tidak ada pendarahan
 Tidak ada discharge
 Tidak ada deformitas
Telinga  Tidak terdapat abnormalitas pigmentasi kulit
 Penampakan telinga kanan dan kiri normal
 Bentuk dan ukuran normal, simetris  normotia
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada deformitas
 Tidak ada pus
 Tidak ada pendarahan
 Rongga telinga normal
 Tidak ada nyeri tekan pada mastoid
Sinus  Tidak ada nyeri tekan
Gigi dan mulut  Bibir normal, simetris, agak pucat, kering, tidak ada
sianosis/kebiruan
 Gigi utuh, tidak ada karies, tidak ada kavitas, ada sedikit
plak
 Mukosa mulut normal, kering, tidak ada ulkus/luka,
tidak ada nodul/masa
 Lidah normal, merah muda, bersih, gerakan normal,
indra perasa normal, tidak ada deviasi maupun atrofi
 Palatum normal, celah langit-langit tidak terlihat.
 Faring normal.
 Uvula intak di tengah

7
 Tonsil normal.
Leher  Penampakan leher normal
 Tidak terdapat abnormalitas pigmentasi warna kulit
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada ruam
 Trakea intak di tengah, tidak ada deviasi
 Tidak ada pembesaran tiroid
 Tidak ada pembesaran kelenjar parotis
Thorax
Jantung Inspeksi  Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi  Iktus kordis teraba di ICS V linea
midclavicular sinistra
Perkusi  Batas jantung melebar, terdapat
perbesaran jantung
Auskultasi  Suara jantung normal:
- S1 normal
- S2 normal
- Tidak ada murmur
- Tidak ada gallop
Paru-paru Inspeksi  Tidak terdapat abnormalitas
pigmentasi kulit
 Kembang paru simetris, tidak ada
yang tertinggal
 Tidak ada barrel chest
 Tidak ada pectus excavatum maupun
pectus carinatum
 Tidak ada masa
 Tidak ada lesi
 Tidak ada ruam
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada retraksi intercostal
 Tidak ada retraksi supraclavicular

8
 Tidak ada penggunaan otot
pernapasan abdomen
Palpasi  Taktil vremitus tidak dapat dilakukan
Perkusi  Perkusi paru normal, sonor dan
simetris di kedua lapang paru
 Batas paru hepar normal
Auskultasi  Tidak ada wheezing
 Terdengar rhonchi +/+
Abdomen Inspeksi  Tidak terdapat abnormalitas
pigmentasi kulit
 Ada distensi abdomen
 Tidak ada ruam
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada striae
 Tidak ada caput medusa
 Tidak ada spider navy
 Tidak ada masa
Auskultasi  Bising usus normal (5x 4x
4x 6x)
 Tidak ada bruit aorta abdominalis
maupun bruit arteri renalis
 Tidak ada clicking sound maupun
metallic sound
Perkusi  Perkusi normal, timpani di seluruh
bagian abdomen
 Shifting dullness test +
Palpasi  Palpasi normal
 Tidak terdapat nyeri tekan
 Tidak ada hepatomegali
 Tidak ada splenomegali
 Ballotement test (-/-)

9
 Pemeriksaan nyeri ketok CVA
negatif pada kedua sisi (-/-)
Ekstremitas atas Look  Tidak terdapat abnormalitas
(kanan) pigmentasi kulit
 Ekstremitas simetris secara
orientasi anatomis
 Jari-jari tidak ada tanda
deformitas
 Tidak ada pucat
 Tidak sianosis/kebiruan
 Tidak
ikteris/jaundice/kekuningan
 Kuku normal, tidak ada clubbing
finger
 Terdapat edema nonpitting pada
kedua ekstremitas atas
 Tangan kiri tertutup elastic
verband dan kassa
Feel  Ekstremitas dingin
 Capillary Refill Time normal (+-2
detik)
 Tidak terdapat krepitasi ataupun nyeri
tekan
Move  Pergerakan sendi glenohumeral
dalam batas normal
 Pergerakan sendi radioulnohumeral
dalam batas normal
 Pergerakan sendi carpal, metacarpal¸
dan interphalangeal dalam batas
normal
Ekstremitas Look  Tidak terdapat abnormalitas
bawah pigmentasi kulit

10
 Ekstremitas simetris secara orientasi
anatomis
 Jari-jari tidak ada tanda deformitas
 Tidak ada pucat
 Tidak sianosis/kebiruan
 Tidak ikteris/jaundice/kekuningan
 Kuku normal
 Terdapat edema nonpitting pada
kedua ekstremitas bawah
Feel  Ekstremitas dingin
 Capillary Refill Time normal (+-2
detik)
 Tidak terdapat krepitasi ataupun nyeri
tekan
Move  Pergerakan sendi asetabular dalam
batas normal
 Pergerakan sendi femoropatelar
dalam batas normal
 Pergerakan sendi tarsal, metatarsal¸
dan interphalangeal dalam batas
normal

Status Lokalis:
Ekstremitas atas Look  Permukaan kulit pada aspek
(kiri) palmar dan dorsum manus
tampak hiperemis
 Ekstremitas simetris secara
orientasi anatomis
 Jari-jari tampak membengkak
 Tidak ada pucat
 Tidak sianosis/kebiruan

11
 Tidak
ikteris/jaundice/kekuningan
 Kuku normal, tidak ada clubbing
finger
 Terdapat edema nonpitting pada
kedua ekstremitas atas
Feel  Tangan teraba hangat
 Capillary Refill Time normal (+-2
detik)
 Terdapat nyeri yang hebat pada
palpasi palmar, dorsum manus, digiti
IV dan V
Move  Pergerakan sendi glenohumeral
dalam batas normal
 Pergerakan sendi radioulnohumeral
dalam batas normal
 Pergerakan sendi carpal, metacarpal¸
dan interphalangeal terbatas

Foto klinis

12
12) Diagnosis kerja: Edema anasarca ec. congestive heart failure dengan selulitis
manus sinistra
13) Diagnosis banding:
a) Ischemic cardiomyopathy
b) Sindrom nefrotik
c) Sindrom nefritik
d) Sirosis hepar
e) Edema paru
f) Pneumonia
g) Gagal ginjal kronis
h) Deep vein thrombosis
i) Filariasis
j) Osteomyelitis manus sinistra
k) Selulitis manus sinistra
14) Saran pemeriksaan penunjang:
a) Laboratorium (FBC)
b) X-ray manus sinistra
c) X-ray AP/PA thorax
d) ECG
e) Ekokardiografi

13
15) Pemeriksaan Penunjang:
a) 29/Juni/2018 (admisi IGD)
Dilakukan pemeriksaan x-ray thorax AP/PA:

Ekspertise:
Jantung CTR 64%
Sinus kostofrenikus kanan tumpul
Perselubungan pada lapangan tengah dan bawah paru kanan
Kesan:
Kardiomegali
Efusi pleura kanan
Suspek pneumonia

Dilakukan pemeriksaan darah sebagai berikut:


Full Blood Count:
Haemoglobin: 17.20 13.2-17.3
Hematocrit: 48.70 40.0-52.0
Erythrocyte: 5.41 x 106/µL 4.4-5.9
White Blood Cell: 18.55 x 103/ µL 3.8-10.6
Differential Count:
Basophil 0% 0-1
Eosinophil 1% 1-3
Band Neutrophil 3% 2-6
Segment Neutrophil 83% 50-70
Lymphocyte 5% 25-40

14
Monocyte 8% 2-8
Platelet Count: 301 x 103/µL 150-440
ESR: 2mm/h 0-15
MCV, MCH, MCHC
MCV 90.00 fL 80-100
MCH 31.80 pg 26-34
MCHC 35.30 g/L 32-36

Biochemistry:
SGOT-SGPT
SGOT 20 U/L 0-40
SGPT 21 U/L 0-41
Albumin 3.16 g/dL 3.5-5.2
Ureum 38.0 mg/dL <71.00
Creatinine 1.05 mg/dL 0.5-1.3
eGFR 72.1 mL/min/1.73m2
RBG 314.0 mg/dL <200

Electrolyte:
Sodium 132mmol/L 137-145
Potassium 4.0mmol/L 3.6-5.0
Chloride 92mmol/L 98-107

EKG:

Impression:
Poor R wave progression V1-V4
Pathological Q in leads V1-V4, lead III, and avF

15
Inverted T wave in V5-V6, lead I dan aVL

Interpretasi:
Old anterior myocardial infarction
Left ventricular dilation
Old inferior myocardial infarction
Ischemia of anterolateral portion of heart

Dilakukan pemeriksaan ekokardiografi sebagai berikut:

Interpretation summary:

Poor window
- Dimensi ruang jantung: dilatasi atrium dan ventrikel kiri

16
- LVH (-)
- Kontraktilitas LV menurun, EF 15%, disfungsi diastolik
pseudonormal
- Kontraktilitas RV menurun, TAPSE 1.4cm
- Analisa segmental: akinetik apikal luas, inferior, mid anteroseptal,
segmen lain hipokinetik
- Katup aorta 3 kuspis: kalsifikasi (+), AR (-)
- Katup mitral: MR mild tenting AML PML
- Katup trikuspid: TR mild
- Katup pulmonal: struktur dan fungsi normal
- IVC dilatasi, kolaps < 50%
- Trombus apikal sulit dievaluasi

Kesimpulan:
- Iskemik kardiomiopati
- Disfungsi LV dan RV, EF 15%
- Volume overload

b) 30/Juni/2018
Hematologi:
PT-APTT
Prothrombin Time:
Control 11.20 seconds 9.1-12.3
Patient 14.20 seconds 9.4-11.3
INR 1.36
APTT
Control 32.00 seconds 27.7-37.5
Patient 49.10 seconds 27.7-40.2

16) Diagnosis akhir: Edema anasarca ec. congestive heart failure ec. ischemic
cardiomyopathy dengan efusi pleura dekstra, abses manus sinistra, diabetes
mellitus tipe 2

17
17) Resume:
Pasien bernama Bapak Tries datang ke instalasi gawat darurat pada hari Kamis
tanggal 28 Juni 2018 pukul 23.55 WIB dengan keluhan utama berupa bengkak
pada buah zakar sejak satu minggu yang lalu. Bengkak pertama kali disadari ketika
pasien sedang mandi dan sejak saat itu bengkak dirasakan semakin besar. Bengkak
disertai dengan rasa nyeri pada daerah kemaluan. Nyeri dirasakan sepanjang
waktu, berdenyut, tidak menjalar, dan diberikan nilai 4/10 dalam skala nyeri.
Pasien tidak memiliki keluhan dalam berkemih atau buang air besar. Bengkak pada
buah zakar didahului oleh bengkak pada kedua kaki dan tangan serta pada bagian
perut sejak sekitar satu bulan yang lalu. Bengkak muncul secara perlahan-lahan
dan disadari oleh istri pasien pada saat itu. Bengkak tidak disertai dengan nyeri,
dan semakin besar selama satu bulan. Pasien tidak mengeluhkan riwayat sakit
perut, muntah darah, perubahan warna kulit menjadi kuning, ataupun kencing
berbusa. Pasien tidak memiliki keluhan anggota gerak tubuh.
Pasien juga memiliki keluhan tambahan berupa bengkak dan nyeri yang hebat
pada telapak tangan kiri. Awalnya bengkak muncul sebagai sebuah benjolan
berwarna merah pudar berukuran sebesar buah zaitun, dan pasien memutuskan
hanya untuk memijat benjolan tersebut. Setelah dua minggu, benjolan membesar
dan warna benjolan berubah menjadi merah terang. Pada saat ini, pasien mulai
merasakan nyeri yang cukup mengganggu pada telapak tangan yang dirasakan
secara hilang timbul, tidak menjalar, berdenyut, dan diberikan nilai 3/10 dalam
skala nyeri. Walaupun demikian, pasien masih mampu menggerakkan jari-jari dan
pergelangan tangan, dan memutuskan untuk mengkompres tangan kiri dengan air
hangat. Sekitar dua minggu kemudian, benjolan tersebut semakin besar dan
membengkak. Pada saat ini pasien merasakan nyeri yang cukup hebat yang
dirasakan hilang timbul, tidak menjalar, berdenyut, dan diberikan nilai 7/10 dalam
skala nyeri. Pada saat ini pasien tidak mampu lagi untuk menggerakkan
pergelangan tangan dan jari-jari oleh karena rasa nyeri dan keterbatasan ruang
gerak oleh karena bengkak. Pasien tidak pernah memiliki riwayat trauma ataupun
riwayat menyerupai keluhan ini sebelumnya.
Pasien juga mengeluhkan adanya sesak napas yang dialami sejak kurang lebih
satu bulan. Sesak muncul pada malam hari ketika pasien akan tidur malam dan
membuat pasien tidak bisa tidur. Sesak dirasakan sebagai sensasi “tertindih” dan
dilanjutkan dengan batuk-batuk berdahak. Dahak diakui pasien berwarna putih,

18
kental, dan tidak terdapat darah. Pasien kemudian meningkatkan jumlah bantal
yang digunakan untuk tidur, dari dua bantal menjadi tiga bantal namun hal ini
kurang membantu dan sesak yang dirasakan semakin mengganggu. Sesak tidak
didahului dengan periode nyeri dada, nyeri yang menjalar ke daerah bahu,
kesemutan yang menjalar ke daerah tangan, ataupun nyeri pada daerah ulu hati.
Pasien juga menolak riwayat batuk lama, demam, ataupun sesak napas sebelum
periode satu bulan ini.
Terakhir, pasien juga mengeluhkan adanya perut kembung dan begah disertai
dengan perut yang teraba keras selama kurang lebih satu bulan ini. Kembung dan
begah dirasakan semakin parah seiring berjalannya waktu, dan dirasakan
sepanjang waktu tanpa adanya nyeri pada ulu hati. Nafsu makan pasien menurun,
namun tidak disertai dengan muntah. Pasien menolak riwayat alkoholisme,
transfusi darah, ataupun seks bebas. Pasien juga menolak adanya riwayat nyeri
hebat pada perut, gangguan BAB, BAB berdarah, ataupun perubahan warna kulit
menjadi kuning sebelum mengalami keluhan ini.
Pada pemeriksaan fisik status generalis ditemukan adanya edema non-pitting
pada seluruh bagian kulit tubuh, konjungtiva yang terlihat pucat, mukosa mulut
yang terlihat sedikit pucat dan kering, batas jantung yang melebar dan terdapat
perbesaran jantung pada perkusi jantung, rhonchi pada seluruh lapang kedua paru
pada auskultasi paru, distensi abdomen pada inspeksi abdomen dan shifting
dullness test yang positif pada perkusi abdomen, edema non-pitting pada kedua
ekstremitas atas dan bawah dingin pada perabaan. Pada pemeriksaan status lokalis
(manus sinistra) ditemukan permukaan kulit aspek palmar dan dorsum berwarna
kemerahan yang tertutup elastic verband serta jari-jari yang tampak membengkak.
Pada pemeriksaan pergerakan sendi, ditemukan range of joint movement sendi
carpal, metacarpal, dan interphalangeal terbatas.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium pada tanggal 29 Juni ditemukan
pasien menderita hipoalbuminemia (3.16g/dL), hiponatremia (132mmol/L), dan
hipokloremia (92mmol/L). Pada pemeriksaan x-ray thorax ditemukan bahwa
jantung pasien membesar (CTR 64%), sinus kostofrenikus kanan tumpul, dan
terdapat perselubungan pada lapangan tengah dan bawah paru kanan dengan kesan
kardiomegali, efusi pleura kanan, dan suspek pneumonia. Pada hari itu juga
dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dengan interpretasi signifikan untuk
ejection fraction 15%, disfungsi ventrikel kiri dan kanan, kardiomiopati iskemik,

19
serta volume overload. Pada tanggal 30 Juni 2018 dilakukan pemeriksaan
hematologi dan ditemukan bahwa PT (14.20s dengan kontrol 11.2) dan APTT
(49.10s dengan kontrol 32.00s) pasien memanjang.
18) Tatalaksana:
29 Juli 2018 (IGD)
1) O2 3lpm
2) IV furosemide 40mg
3) IV Omeprazole 40mg
4) SC Lantus 15U
5) Inj. Novorapid 3x1 AC
6) IV Ceftriaxone 2gr 2x1
7) IV Metronidazole 500mg 3x1

29 Juni 2018 (bangsal)


1) Aspilet PO 80mg OM
2) Clopidogrel PO 75mg OM
3) Atorvastatin PO 40mg ON
4) Ramipril PO 5mg BD
5) Lasix IV 1amp OD
6) Lovenox SC 0.4mg OD
7) Lantus SC 15U ON
8) Novorapid SC 20U
9) Ceftriaxone IV 2gr BD
10) Metronidazole IV 500mg TDS

30 Juni 2018
1) Aspilet PO 80mg OM
2) Clopidogrel PO 75mg OM
3) Atorvastatin PO 40mg ON
4) Ramipril PO 5mg BD
5) Lasix IV 1amp OD
6) Lovenox SC 0.4mg OD
7) Lantus SC 15U ON
8) Novorapid SC 5U

20
9) Ceftriaxone IV 2gr BD
10) Metronidazole IV 500mg TDS

1 Juli 2018
1) IV Lasix 1amp
2) Lovenox SC 0.4mg OD
3) Lantus SC 15U ON
4) Ceftriaxone IV 2gr BD
5) Metronidazole IV 500mg TDS
6) Ramipril PO 5mg BD
7) Aspilet PO 80mg OM
8) Clopidogrel PO 75mg OM

2 Juli 2018
1) IV Lasix 1amp
2) Lovenox SC 0.4mg OD
3) Lantus SC 15U ON
4) Ceftriaxone IV 2gr BD
5) Metronidazole IV 500mg TDS
6) Ramipril PO 5mg BD
7) Aspilet PO 80mg OM
8) Clopidogrel PO 75mg OM

Pengkajian dan laporan anestesi:


Evaluasi pre-anestesi:
1) Prosedur yang akan dilakukan: Insisi dan drainase abses manus
sinistra
2) Umur: 66 tahun
3) Jenis kelamin: Laki-laki
4) Golongan darah: -
5) Berat badan / tinggi badan: 78kg / 160cm
6) TD / nadi / respirasi / suhu / VAS: 160/90 mmHg / 90x/min /
26x/min / afebris / 6/10

21
7) Obat-obatan yang dikonsumsi: Clopidogrel, lasix, atorvastatin,
lantus, novorapid
8) Riwayat alergi: tidak ada
9) Riwayat sedasi / anestesi / operasi: tidak ada
10) Komplikasi sedasi / anestesi sebelumnya: tidak ada
11) Riwayat komplikasi sedasi / anestesi pada keluarga: tidak ada
12) Pemeriksaan jalan napas:
a. Obstruksi jalan napas (-)
b. Thoraks dan abdomen dalam batas normal
c. Wajah terdapat edema anasarca
d. Buka mulut (jarak tiga jari) dan jarak thyro-mental (tiga
jari) (+)
e. Skor Mallampati III
f. Pergerakan leher dalam batas normal dan tidak
menggunakan penyangga leher
13) Sistem:
a. Pernapasan: dalam batas normal
b. Kardiovaskular: congestive heart failure onset hari
keempat
c. Neuromuskular: dalam batas normal
d. Renal/endokrin: Diabetes mellitus tipe 2
e. Hepato/gastrointestinal: dalam batas normal
f. Lain-lain: dalam batas normal
14) Daftar masalah dan diagnosis: sepsis, CHF onset hari keempat,
DM
15) Penilaian PS ASA: 4E

Plan of care anestesi


1) Teknik sedasi / anestesi yang direncanakan: anestesi regional
periferal
2) Kontrol nyeri yang telah direncanakan: intravena
3) Resiko yang mungkin terjadi: henti jantung

22
Sedasi / anestesi
1) Pengkajian pra-induksi (pk. 21.20)
a. Pasien sudah diidentifikasi
b. Informed consent sudah ditandatangani
c. Rekam medis sudah dibaca ulang
d. Puasa 10 jam
e. Mallampati III
f. Kondisi pasien: tenang dan sadar
g. TD: 164/114mmHg, HR: 102bpm, respirasi: 20bpm,
SpO2: 100%, alergi: -

2) Evaluasi keselamatan pasien:


a. Pengecekan mesin anestesi
b. Tali pengaman terpasang
c. Penyangga lengan terpasang
d. Tangan terlindungi
3) Alat monitoring:
a. NIBP pada lengan kanan
b. ECG lead II
c. Pulse oxymeter
d. Akses intravena
4) Teknik sedasi / anestesi: Regional anesthesia dengan:
a. USG guided radial and ulnar nerve block axillary
approach dengan maracin isobaric 0.5% 10mL
b. USG guided median nerve block wrist approach
dengan lidocain 2% 5mL
5) Manajemen jalan napas: nasal O2
6) Cairan, transfusi, kehilangan darah intraoperatif: Intake cairan
dengan crystalloid 500mL
7) Monitoring durante sedasi / anestesi
Jam 21.20 21.30 21.45 22.00
SpO2 100% 100% 100% 100%
EKG Normal sinus Normal sinus Normal sinus Normal sinus
rhythm rhythm rhythm rhythm

23
HR 101 100 98 95
RR 20 23 22 19
BP 164/114mmHg 162/100mmHg 175/115mmHg 170/110mmHg

Perawatan pasca sedasi / anestesi


1) Skor Aldrete

2 2

2 2

2 2

2 2

2 2

10 10

2) Skor Bromage: tidak dinilai


3) Discharge:
a. Discharge ke: bangsal
b. Instruksi anestesi:
i. O2 nasal canule 3lpm sampai sadar penuh
ii. Analgetik sesuai IMR

Laporan intraoperasi:
1) Pasien tidur terlentang dengan regional anestesi
2) Asepsis dan antisepsis lapangan operasi
3) Dibuat insisi pada palmar manus sinistra, ditemukan: pus sebanyak
5cc, dilakukam pemeriksaan kultur
4) Dibuat insisi pada dorsum manus sinistra
5) Cuci luka dengan H2O2 dan betadine dan NaCl 0.9% berulang
6) Kontrol perdarahan

24
7) Pasang penrose drain
8) Operasi selesai
19) Follow up:
3 Juli 2018
S: Nyeri luka post-op
O:
 Keadaan umum: sakit sedang
 Kesadaran: compos mentis
 TTV:
 BP: 130/80mmHg
 HR: 88 bpm
 RR: 12 bpm
 Temp: 36.9
 Pemeriksaan status generalis:
 Kulit keseluruhan dan ekstremitas: edema non-pitting
(+), akral dingin, jari-jari membengkak
 Sistem kardiovaskular: penemuan konsisten dengan
penemuan pada hari sebelumnya.
 Sistem pernapasan: pernapasan simetris, suara perkusi
sonor seluruh lapangan paru, TV normoresonan, suara
pernapasan rhonchi -/+
 Sistem gastrointestinal: abdomen mengalami distensi,
bising usus (+), nyeri tekan (-), massa (-), shifting
dullness (+)
 Pemeriksaan status lokalis: manus sinistra
 Look: luka operasi ditutup elastic verband dan kasa
dengan rembesan berwarna merah kecokelatan
 Feel: nyeri pada palpasi, CRT <2s, akral dingin, pulsasi
arteri radialis teraba kuat dan penuh
 Move: ROJM terbatas
A: Edema anasarca ec congestive heart failure ec ischemic
cardiomyopathy dengan abses manus sinistra pasca operasi hari

25
pertama, diabetes mellitus tipe 2, efusi pleura kanan, suspek pneumonia
dekstra
P:
1) Atorvastatin PO 40mg ON
2) Lasix IV 1amp OD
3) Clopidogrel PO 75mg OM
4) Ceftriaxone IV 2gr BD
5) Metronidazole IV 500mg TDS
6) Paracetamol PO 500mg TDS
7) Ketorolac IV 30mg TDS
4 Juli 2018
S: Nyeri luka post-op
O:
 Keadaan umum: sakit sedang
 Kesadaran: compos mentis
 TTV:
 BP: 130/80mmHg
 HR: 88 bpm
 RR: 12 bpm
 Temp: 36.9
 Pemeriksaan status generalis:
 Kulit keseluruhan dan ekstremitas: edema non-pitting
(+), akral dingin, jari-jari membengkak
 Sistem kardiovaskular: penemuan konsisten dengan
penemuan pada hari sebelumnya.
 Sistem pernapasan: pernapasan simetris, suara perkusi
sonor seluruh lapangan paru, TV normoresonan, suara
pernapasan rhonchi -/+
 Sistem gastrointestinal: abdomen mengalami distensi,
bising usus (+), nyeri tekan (-), massa (-), shifting
dullness (+)
 Pemeriksaan status lokalis: manus sinistra

26
 Look: luka operasi ditutup elastic verband dan kasa
dengan rembesan berwarna merah kecokelatan
 Feel: nyeri pada palpasi, CRT <2s, akral dingin, pulsasi
arteri radialis teraba kuat dan penuh
 Move: ROJM terbatas
A: Edema anasarca ec congestive heart failure ec ischemic
cardiomyopathy dengan abses manus sinistra pasca operasi hari kedua,
diabetes mellitus tipe 2, efusi pleura kanan, suspek pneumonia dekstra
P:
1) Atorvastatin PO 40mg ON
2) Lasix IV 1amp OD
3) Clopidogrel PO 75mg OM
4) Ceftriaxone IV 2gr BD
5) Metronidazole IV 500mg TDS
6) Paracetamol PO 500mg TDS
7) Ketorolac IV 30mg TDS
8) Ramipril PO 5mg BD
9) Novorapid SC 12U TDS

5 Juli 2018
S: Perut kembung
O:
 Keadaan umum: sakit sedang
 Kesadaran: compos mentis
 TTV:
 BP: 140/90mmHg
 HR: 80 bpm
 RR: 18 bpm
 Temp: 36.9
 Pemeriksaan status generalis:
 Kulit keseluruhan dan ekstremitas: edema non-pitting
(+), akral dingin, jari-jari membengkak

27
 Sistem kardiovaskular: penemuan konsisten dengan
penemuan pada hari sebelumnya.
 Sistem pernapasan: pernapasan simetris, suara perkusi
sonor seluruh lapangan paru, TV normoresonan, suara
pernapasan rhonchi -/+
 Sistem gastrointestinal: abdomen mengalami distensi,
bising usus (+), nyeri tekan (-), massa (-), shifting
dullness (+)
 Pemeriksaan status lokalis: manus sinistra
 Look: luka operasi ditutup elastic verband dan kasa
dengan rembesan berwarna merah kecokelatan
 Feel: nyeri pada palpasi, CRT <2s, akral dingin, pulsasi
arteri radialis teraba kuat dan penuh
 Move: ROJM terbatas
A: Edema anasarca ec congestive heart failure ec ischemic
cardiomyopathy dengan abses manus sinistra pasca operasi hari ketiga,
diabetes mellitus tipe 2, efusi pleura kanan, suspek pneumonia dekstra
P:
1) Atorvastatin PO 40mg ON
2) Lasix IV 1amp OD
3) Clopidogrel PO 75mg OM
4) Ceftriaxone IV 2gr BD
5) Metronidazole IV 500mg TDS
6) Paracetamol PO 500mg TDS
7) Ketorolac IV 30mg TDS
8) Ramipril PO 5mg BD
9) Novorapid SC 12U TDS

6 Juli 2018
S: sesak napas, nyeri pada tangan, tangan membengkak
O:
 Keadaan umum: sakit sedang
 Kesadaran: compos mentis

28
 TTV:
 BP: 140/80mmHg
 HR: 82 bpm
 RR: 36 bpm
 Temp: 36.4
 Pemeriksaan status generalis:
 Kulit keseluruhan dan ekstremitas: edema non-pitting
(+), akral dingin, jari-jari membengkak
 Sistem kardiovaskular: penemuan konsisten dengan
penemuan pada hari sebelumnya.
 Sistem pernapasan: pernapasan simetris, suara perkusi
sonor seluruh lapangan paru, TV normoresonan, suara
pernapasan vesikuler +/+
 Sistem gastrointestinal: distensi abdomen berkurang,
bising usus (+), nyeri tekan (-), massa (-), shifting
dullness (+)
 Pemeriksaan status lokalis: manus sinistra
 Look: luka operasi ditutup elastic verband dan kasa
dengan rembesan berwarna merah kecokelatan, daerah
disekitar luka operasi tampak kemerahan dan
membengkak
 Feel: nyeri pada palpasi, CRT <2s, akral dingin, pulsasi
arteri radialis teraba kuat dan penuh
 Move: ROJM terbatas
Dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil sebagai berikut:
Haemoglobin: 18.00 13.2-17.3
Hematocrit: 51.30 40.0-52.0
Erythrocyte: 5.63 x 106/µL 4.4-5.9
White Blood Cell: 18.16 x 103/ µL 3.8-10.6
Platelet Count: 416 x 103/µL 150-440
MCV, MCH, MCHC
MCV 91.10 fL 80-100
MCH 32.00 pg 26-34

29
MCHC 35.10 g/L 32-36

Biochemistry:
Ureum 73.0 mg/dL <71.00
Creatinine 1.46 mg/dL 0.5-1.3
eGFR 48.4 mL/min/1.73m2

Electrolyte:
Sodium 135mmol/L 137-145
Potassium 5.2mmol/L 3.6-5.0
Chloride 95mmol/L 98-107

Dilakukan pemeriksaan x-ray thorax AP/PA dengan hasil sebagai


berikut:

Ekspertise:
Jantung CTR 64%
Corakan bronkovaskular meningkat ke kranial
Kesan:
Kardiomegali
Bendungan paru

Pemeriksaan kultur pus: ditemukan bakteri S.aureus dengan


resistensi terhadap antibiotik: benzylpenicillin, amoxicillin,
A: Edema anasarca ec congestive heart failure ec ischemic
cardiomyopathy dengan abses manus sinistra pasca operasi hari
keempat, diabetes mellitus tipe 2, hipertensi pulmoner

30
P:
1) Atorvastatin PO 40mg ON
2) Lasix IV 1amp OD
3) Clopidogrel PO 75mg OM
4) Ceftriaxone IV 2gr BD
5) Metronidazole IV 500mg TDS
6) Paracetamol PO 500mg TDS
7) Ketorolac IV 30mg TDS
8) Ramipril PO 5mg BD
9) Novorapid SC 12U TDS
10) Lantus SC 20U TDS

7 Juli 2018
S: buah zakar membengkak dan merembes cairan
O:
 Keadaan umum: sakit sedang
 Kesadaran: compos mentis
 TTV:
 BP: 130/70mmHg
 HR: 84 bpm
 RR: 22 bpm
 Temp: 36.9
 Pemeriksaan status generalis:
 Kulit keseluruhan dan ekstremitas: edema non-pitting
(+), akral dingin, jari-jari membengkak
 Sistem kardiovaskular: penemuan konsisten dengan
penemuan pada hari sebelumnya.
 Sistem pernapasan: pernapasan simetris, suara perkusi
sonor seluruh lapangan paru, TV normoresonan, suara
pernapasan vesikuler +/+
 Sistem gastrointestinal: abdomen mengalami distensi,
bising usus (+), nyeri tekan (-), massa (-), shifting
dullness (+)

31
 Pemeriksaan status lokalis: manus sinistra
 Look: luka operasi ditutup elastic verband dan kasa
dengan rembesan berwarna merah kecokelatan, bengkak
sudah berkurang
 Feel: nyeri pada palpasi, CRT <2s, akral dingin, pulsasi
arteri radialis teraba kuat dan penuh
 Move: ROJM terbatas
 Pemeriksaan status lokalis: skrotum
 Look: skrotum membengkak kanan dan kiri, tidak
tampak diskolorasi warna kulit skrotum, tampak
rembesan cairan berwarna putih encer pada lipatan-
lipatan skrotum
 Feel: nyeri tekan penis dan skrotum (-),edema pitting (+)
Dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi dengan hasil sebagai berikut:

Impression:
Poor R wave progression V1-V4
Pathological Q in leads V1-V4, lead III, and avF
Inverted T wave in V5-V6, lead I dan aVL

Interpretasi:
Old anterior myocardial infarction

32
Left ventricular dilation
Old inferior myocardial infarction
Ischemia of anterolateral portion of heart
A: Edema anasarca ec congestive heart failure ec ischemic
cardiomyopathy dengan abses manus sinistra pasca operasi hari ketiga,
diabetes mellitus tipe 2, efusi pleura kanan, suspek pneumonia dekstra,
edema skrotalis pitting bilateral
P:
1) Atorvastatin PO 40mg ON
2) Lasix IV 1amp OD
3) Clopidogrel PO 75mg OM
4) Ceftriaxone IV 2gr BD
5) Metronidazole IV 500mg TDS
6) Paracetamol PO 500mg TDS
7) Ketorolac IV 30mg TDS
8) Ramipril PO 5mg BD
9) Novorapid SC 12U TDS
10) Lantus SC 10U TDS
20) Saranan edukasi:
1) Edukasi mengenai penyakit serta komplikasinya dan perubahan gaya hidup
Pasien perlu mengetahui bahwa gagal jantung kongestif (congestive
heart failure) merupakan sebuah kondisi yang debilitatif dan dapat berakibat
fatal. Maka dari itu, edukasi kepada pasien mengenai perubahan gaya hidup dan
untuk mengkonsumsi obat-obatan secara rutin dan teratur untuk mencegah
perburukan penyakit dan komorbiditas lebih lanjut, termasuk untuk hipertensi
yang diderita oleh pasien. Selain itu, pasien juga perlu mengetahui bahwa
diabetes mellitus merupakan salah satu penyebab terjadinya infeksi pada
jaringan tubuh. Infeksi yang dialami pasien dapat dikontribusikan melalui
penurunan fungsi imun tubuh dan lingkungan in vivo yang lebih mendukung
pertumbuhan bakteri seperti pada orang yang menderita diabetes mellitus pada
umumnya. Dengan mengetahui penyakit yang diderita serta komplikasi dan
komorbiditas yang dapat terjadi, tentunya akan meningkatkan peluang hidup
pasien dan kualitas hidup pasien.

33
2) Mengenai asupan nutrisi yang sesuai, pengobatan, dan rehabilitasi
Dapat dilihat bahwa nilai gula darah pasien cukup tinggi dan keluarga
pasien sendiri mengaku bahwa pasien tidak diberikan medikasi sebelumnya.
Hal ini dapat mengakibatkan kadar gula darah yang tidak terkendali, dan
tentunya membuat pasien menjadi rentan terhadap komorbiditas penyakit
diabetes mellitus serta komplikasinya. Hal ini diperparah dengan gagal jantung
kongestif dan hipertensi yang diderita oleh pasien. Maka dari itu, sangat penting
bagi pasien dan keluarga pasien untuk memiliki pengetahuan yang cukup baik
mengenai nutrisi yang baik untuk penderita diabetes mellitus, gagal jantung
kongestif, dan hipertensi, serta pengobatan secara rutin yang sesuai. Selain itu,
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, gagal jantung kongestif merupakan
sebuah penyakit yang bersifat debilitatif. Maka dari itu pasien perlu menjalani
rehabilitasi untuk melakukan olahraga yang sesuai dengan kapabilitas jantung
yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada umumnya.
3) Mengenali tanda-tanda bahaya
Sistem kardiovaskular dan endokrin tentunya bersifat dinamis dan
sangat tergantung dari fungsi organ yang bersangkutan. Pasien perlu diberikan
edukasi mengenai tanda-tanda bahaya jika salah satu dari sistem organ tersebut
mengalami gagal fungsi dan tanda-tanda dekompensasi salah satu sistem
tersebut. Selain mengenali tanda-tanda bahaya, pasien juga perlu diedukasi
mengenai kapan harus membawa diri ke rumah sakit untuk mendapatkan terapi
yang empiris.
21) Prognosis:
Ad Vitam: dubia at bonam
Ad Sanationam: dubia at bonam
Ad Fungsionam: dubia at bonam

34
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pleksus Brakialis


Pleksus brakialis dibentuk oleh gabungan cabang anterior primer
(ventral rami) dari saraf C5 hingga T1, di mana kontribusi dari cabang C4
ataupun T2 bersifat minor atau bahkan tidak ada pada populasi umum. Ketika
saraf keluar dari foramina intervertebralis, saraf-saraf ini bergabung
membentuk trunks, division, cords, branches, hingga akhirnya membentuk
saraf-saraf perifer. Terdapat tiga trunks yang berbeda pada tingkat otot-otot
leher atau otot-otot scalene anterior dan media yang disebut juga sebagai
superior trunk, middle trunk, dan inferior trunk berdasarkan orientasi vertikal.
Ketika trunks melewati batas lateral dari iga pertama dan tepat di bawah
klavikula, maka masing-masing dari trunk terbagi menjadi anterior dan
posterior divisions yang kemudian akan bergabung lagi setelah melewati
klavikula membentuk cords yang dinamakan sesuai dengan lokasi anatomis
dengan pembuluh darah arteri aksilaris sebagai acuan yaitu lateral cord, medial
cord, dan posterior cord. Pada batas lateral dari otot pektoralis minor, masing-
masing cord bercabang menjadi saraf terminal utama yaitu1:
1) Lateral cord menjadi cabang lateral dari nervus medianus dan berakhir
sebagai nervus muskulokutaneus
2) Medial cord menjadi cabang medial dari nervus medianus dan berakhir
sebagai nervus ulnaris
3) Posterior cord menjadi nervus aksilaris dan berakhir sebagai nervus radialis.
Anestesi lokal dapat diberikan di sepanjang pleksus brakialis sesuai
dengan efek anestesi yang diinginkan, seperti blok interscalene untuk
prosedur operasi bahu dan humerus bagian proksimal; dan blok
supraklavikular, infraklavikular, dan aksilari untuk tindakan operasi pada
bagian distal hingga bagian tengah dari humerus.1

35
Gambar 1.1
Anatomi pleksus brakialis
2.2
Konsiderasi Pemilihan Pasien
Pasien yang menjadi kandidat untuk dilakukan tindakan anestesi
regional adalah pasien yang tidak dapat menoleransi resiko anestesi umum
(general anesthesia) akibat komorbiditas yang dideritanya. Selain itu, pasien
yang tidak dapat menoleransi analgetik sistemik (pasien penderita obstructive
sleep apnea atau pasien dengan resiko tinggi mengalami mual), nyeri kronis,
dan intoleransi terhadap obat golongan opioid dapat menjadi kandidat untuk
dilakukan anestesi regional.1

2.3 Resiko dan Kontraindikasi


Tindakan ini membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari pasien,
sehingga pasien-pasien pediatrik, gangguan pertumbuhan mental, dan pasien
dengan dementia dan gangguan motorik merupakan pasien yang memiliki
resiko tinggi terhadap prosedur ini. Gangguan pembekuan darah dan konsumsi
antikoagulan farmakologik meningkatkan resiko terbentuknya hematoma lokal
dan perdarahan sehingga harus dijadikan konsiderasi sebelum dilakukan
prosedur ini. Lokasi blok saraf perifer yang membutuhkan perhatian khusus
adalah pleksus lumbal posterior dan paravertebral oleh karena lokasi yang
berdekatan dengan rongga peritoneum dan neuraksis secara berurutan.1

36
Penusukan jarum melalui lokasi yang terinfeksi secara teori dapat
membawa material infektif ke dalam tubuh dan meningkatkan resiko infeksi
terhadap jaringan saraf dan struktur disekitarnya. Maka dari itu, adanya infeksi
lokal merupakan kontraindikasi relatif untuk dilakukan tindakan blok saraf
perifer.1
Walaupun prosedur ini memiliki resiko terhadap kerusakan saraf,
beberapa pasien dengan kondisi khusus seperti neuropati perifer atau kerusakan
saraf yang pernah dialami memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadi
komplikasi seperti blok sensorimotor yang memanjang atau bahkan permanen.
Mekanisme terjadinya komplikasi ini masih tidak jelas, namun melibatkan
iskemia lokal akibat tekanan injeksi yang tinggi atau vasokonstriktor, efek
neurotoksik zat anestetik lokal, atau trauma secara langsung terhadap jaringan
saraf.1
Resiko lain dari anestesi regional adalah toksisitas anestesi lokal yang
disebabkan oleh injeksi intravaskular atau absorpsi perivaskular yang dapat
menyebabkan kejang bahkan kolaps sistem kardiovaskuler. Apabila hal ini
terjadi, perlu dilakukan inisiasi code blue, resusitasi jantung dan paru-paru,
administrasi agen emulsifikasi lemak untuk menangkal efek anestesi lokal, dan
persiapan untuk dilakukan cardiopulmonary bypass.1

2.4 Modalitas Blok Saraf Perifer


2.4.1 Nerve Stimulation

Untuk teknik ini, sebuah jarum memfokuskan arus listrik ke


ujungnya sedangkan pada pangkalnya terdapat kabel yang
menghubungkannya dengan alat yang menghasilkan arus listrik dalam
jumlah kecil (0-5mA) dengan interval biasanya 1 atau 2 Hz. Elektroda
untuk grounding dilekatkan pada pasien untuk melengkapi sirkuit arus.
Apabila jarum tersebut dimasukkan dan lokasinya berdekatan dengan
saraf motorik, maka terjadi kontraksi otot dan anestesi lokal dapat
diinjeksi biasanya apabila arus dengan kekuatan 0.2-0.5mA dapat
mengakibatkan respon otot. Untuk blok saraf yang menggunakan teknik
ini, sekitar 30-40mL zat anestetik biasanya diinjeksi dengan aspirasi
secara halus diantara masing-masing dosis.1

37
2.4.2 Ultrasound Guided

Teknik ultrasound untuk lokalisasi saraf perifer dapat digunakan


dengan independen atau dapat dilakukan dengan modalitas lainnya
seperti stimulasi saraf. Ultrasound sendiri menggunakan gelombang
suara frekuensi tinggi (1-20MHz) yang melewati jaringan dalam
kecepatan yang berbeda-beda (tergantung dari densitas jaringan
tersebut) dan kembali ke transducer.1
Transducer yang optimal sangat tergantung dari kedalaman saraf
yang menjadi target dan sudut inisiasi dari jarum terhadap transducer.
Transducer dengan frekuensi tinggi memberikan gambaran dengan
resolusi tinggi dan gambar yang relatif lebih jelas namun kurang baik
dalam aspek penetrasi jaringan, sehingga lebih sering digunakan untuk
saraf yang lebih superfisial. Transducer dengan frekuensi rendah
memberikan gambar dengan kualitas yang lebih standar namun
memiliki sifat penetrasi jaringan yang cukup baik.1
Selain itu, transducer dengan array yang linear memberikan
gambar yang tidak terdistorsi dan seringkali menjadi pilihan utama.
Untuk penetrasi yang lebih dalam, diperlukan sudut yang lebih tajam
antara jarum dan aksis panjang dari transducer. Maka dari itu,
transducer dengan array yang melengkung (curvilinear) dapat
digunakan untuk maksimalisasi pantulan balik gelombang ultrasound.
Saraf paling baik divisualisasikan secara cross-sectional oleh karena
serabut saraf memberikan karakteristik gambaran honeycomb (dengan
menggunakan short axis). Insersi jarum dapat dilakukan secara paralel
(in plane) atau tidak paralel (out of plane) terhadap gelombang
ultrasound.1
Tidak seperti stimulasi saraf secara sendirinya, bantuan
ultrasound dapat memampukan diberikannya anestetik lokal dalam
jumlah yang bervariasi, di mana jumlah akhirnyab dapat dipantau secara
visualisasi langsung. Teknik ini menyebabkan sedikitnya volume zat
anestetik lokal yang diinjeksi (10-30mL).1

38
2.5 Teknik Blok Pleksus Brakialis
2.5.1 Interscalene Block

Teknik ini diindikasikan untuk pasien yang akan menjalani


prosedur yang melibatkan bahu dan lengan atas, di mana percabangan
dari segmen C5-C7 merupakan cabang-cabang yang menerima efek
paling banyak, dan saraf ulnaris yang berasal dari cabang C8-T1 dapat
tidak terpengaruhi. Oleh karena itulah teknik ini tidak dianjurkan untuk
prosedur yang melibatkan sikut atau distal terhadapnya. Untuk
mencapai anestesia yang komplit dari bahu, perlu dilakukan superficial
cervical plexus block atau infiltrasi lokal terhadap cabang kutaneus dari
segmen C3 dan C4.1

Gambar 1.2
Lokasi anestetik interscalene block
Kontraindikasi terhadap tindakan ini adalah infeksi lokal,
koagulopati yang parah, alergi anestesi lokal, dan penolakan oleh
pasien. Selain itu, apabila dilakukan dengan benar, teknik ini akan
memengaruhi saraf phrenic ipsilateral, sehingga perlu diberikan
konsiderasi yang khusus terhadap pasien dengan penyakit paru yang
berat atau riwayat contralateral phrenic nerve palsy. Apabila terjadi, hal
ini dapat mengakibatkan paresis hemidiafragma yang mengakibatkan
dispnea, hiperkapnea, dan hipoksemia. Lokasi spesifik yang menjadi
resiko lainnya adalah injeksi arteri vertebralis (harus selalu dicurigai jika
terjadi kejang langsung setelah injeksi), injeksi spinal atau epidural, dan
pneumotoraks.1

39
(a) (b)
Gambar 1.3
Ilustrasi kerja anestetik interscalene block
berdasarkan dermatom (a)
Lokasi kerja anestetik interscalene block (b)

Salah satu komplikasi yang dapat terjadi karena prosedur ini


adalah Horner’s syndrome (miosis, ptosis, anhidrosis) yang dapat terjadi
karena efek zat anestesi lokal yang menjalar ke arah proksimal dan
blokade dari serabut simpatetik dari thoracic ganglion. Selain itu, dapat
juga terjadi keterlibatan dari nervus laryngeus reccurens di mana pasien
biasanya mengeluhkan adanya serak. Pada pasien dengan paralisis pita
suara kontralateral, dapat terjadi gawat napas.1
Pada teknik dengan bantuan ultrasound, jarum yang terhubung
dengan stimulator saraf dapat digunakan untuk mengkonfirmasi struktur
yang menjadi target. Setelah otot sternokleidomastoideus dan alur
interscalene telah diidentifikasi pada level C6, sebuah transducer linier
dengan frekuensi tinggi diletakkan tegak lurus terhadap jalannya otot
interscalene. Pleksus brakialis dan otot scalene anterior dan media dapat
divisualisasikan secara cross-section, di mana terlihat seperti 3-5
lingkaran hipoekoik. Pembuluh arteri karotis dan vena jugularis interna
dapat terlihat anterior terhadap otot scalene.1
Untuk teknik out-of-plane, jarum dimasukkan tepat cephalad
terhadap transducer dan digerakkan ke arah kaudal dan diaspirasi untuk

40
melihat apakah terjadi infiltrasi pembuluh darah. Setelah itu, anestetik
lokal dapat diinjeksi di sekitar pleksus yang tervisualisasi. Untuk teknik
in-plane, jarum dimasukkan tepat posterior terhadap transducer
berlawanan dengan arah gelombang ultrasound. Maka dari itu,
dibutuhkan jarum yang lebih panjang (biasanya 8cm) dan koordinasi
dari pasien untuk dapat memanipulasi lokasi jarum. Jarum kemudian
digerakkan melewati otot scalene media sampai melewati fascia
anterior terhadap arus interscalene. Pada teknik ini, ujung dan badan
jarum harus dapat tervisualisasi dalam ultrasound dan dilakukan injeksi
zat anestetik sebanyak 10mL untuk analgesia pasca-operasi dan 20-
30mL untuk anastesia pembedahan.1

(a) (b)
Gambar 1.4
Teknik interscalene block in-plane(a)
Penampangan cross-section dari pleksus
brakialis pada teknik interscalene block.
ASM = anterior scalene muscle, MSM=
middle scalene muscle, N= saraf pleksus
brakialis (b)

2.5.2 Supraclavicular Block

Teknik ini memberikan efek anestesi yang hebat terhadap


pleksus brakialis untuk tindakan operasi yang melibatkan sikut dan
distal terhadapnya. Pada teknik ini, saraf aksilaris dan supraskapularis
tidak mengalami blok, sehingga tidak dianjurkan untuk operasi yang
melibatkan bahu. Selain itu, saraf ulnaris juga dapat tidak terpengaruhi

41
oleh zat anestetik lokal yang digunakan dalam metode ini. Teknik ini
sempat tidak dianjurkan oleh karena insidensi yang tinggi terhadap
komplikasi seperti pneumotoraks sebelum teknik menggunakan
ultrasound menjadi terkenal dan sering digunakan.1

Gambar 1.5
Lokasi anestetik supraclavicular block

Hal-hal yang harus diperhatikan pada tindakan ini adalah kurang


lebih sama dengan teknik blok sebelumnya, di mana kurang lebih
setengah dari pasien yang menjalani prosedur ini mengalami ipsilateral
phrenic nerve palsy walaupun insidensi kejadiannya sudah berkurang
sejak digunakan ultrasound sehingga memungkinkan penggunaan zat
anestetik yang lebih sedikit. Sindrom Horner’s dan reccurent laryngeal
nerve palsy juga dapat terjadi, serta pneumotoraks dan pungsi arteri
subklavian juga dapat terjadi dan tetap merupakan resiko.1
Pada teknik dengan menggunakan bantuan alat ultrasound,
pasien diposisikan dalam posisi supine dengan kepala diputar sebanyak
kurang lebih 30 derajat ke sisi kontralateral. Transducer linier dengan
frekuensi tinggi diletakkan pada fossa supraklavikularis superior
terhadap klavikula dan dimiringkan sedikit ke arah thorax. Dari sini,
identifikasi dari pembuluh darah arteri subklavius dapat dilakukan dan
pleksus brakialis tampak sebagai lempengan hipoekoik yang terletak
superfisial dan lateral terhadap pembuluh darah arteri subklavius. Iga
pertama diidentifikasikan sebagai struktur hiperekoik yang terletak lebih

42
dalam dari pembuluh darah arteri dan pleura dapat dilihat sebagai
struktur yang bergerak ketika respirasi.1

(a) (b)
Gambar 1.6
Ilustrasi kerja anestetik supraclavicular block berdasarkan
dermatom (a)
Lokasi kerja anestetik supraclavicular block (b)

Untuk pendekatan out-of-plane, jarum berukuran 22G dengan


ujung tumpul digunakan setelah diberikan anestesi lokal pada kulit.
Jarum kemudian dimasukkan menghadap cephalad dari transducer
dengan arah posterior dan kaudal dan diaspirasi secara perlahan untuk
memastikan tidak ada darah sebelum diinjeksi zat anestetik sebanyak
30-40mL perlahan-lahan (setiap 5mL). Untuk pendekatan in-plane,
jarum yang lebih panjang dapat digunakan dan dimasukkan lateral
terhadap transducer dengan arah yang tegak lurus terhadap gelombang
ultrasound. Jarum kemudian digerakkan secara medial menuju
pembuluh darah arteri subklavius sampai ujungnya terlihat pada pleksus
brakialis, lateral dan superfisial terhadap arteri. Setelah diaspirasi untuk
memastikan tidak ada darah, zat anestetik lokal dapat diberikan pada
pleksus brakialis secara perlahan-lahan (setiap 5mL) sebanyak 20-
30mL.1

43
(a) (b)
Gambar 1.7
Teknik supraclavicular block in-plane(a)
Penampangan cross-section dari pleksus brakialis pada teknik
supraclavicular block. SA = subclavian artery, R= ribcage,
N= saraf pleksus brakialis(b)

2.5.3 Infraclavicular Block

Blok pleksus brakialis pada level cords memberikan efek


anestetik yang baik untuk tindakan yang melibatkan sikut dan distal
terhadapnya, di mana lengan atas dan bahu serta saraf interkostobrakial
tidak mengalami efek anestetik pada tindakan ini. Resiko spesifik
berdasarkan lokasi anatomis dari tindakan ini adalah pungsi vaskular
dan pneumotoraks.1

2.5.4 Axillary Block

Pada batas lateral dari otot pectoralis minor, serabut-serabut


saraf dari pleksus brakialis membentuk cabang-cabang terminal yang
besar. Saraf aksilaris, muskulokutaneus, dan cabang medial dari saraf
brakialis kutaneus terletak proksimal terhadap lokasi injeksi anestesi
sehingga tidak terkena efek anestetik. Pada tingkat ini, serabut-serabut
saraf terselubungi oleh fascia otot sehingga diperlukan injeksi zat
anestetik yang lebih banyak (masing-masing sebanyak 10mL) untuk
dapat memberikan efek anestetik yang diinginkan.1

44
Gambar 1.8
Lokasi anestetik axillary block

Terdapat beberapa kontraindikasi terhadap dilakukannya teknik


ini seperti infeksi lokal, neuropati, dan resiko perdarahan. Selain itu,
oleh karena daerah aksila merupakan daerah yang tervaskularisasi oleh
banyak pembuluh darah, maka dari itu perlu diperhatikan injeksi agen
anestetik ke dalam vena yang terdapat pada aksila.1

Gambar 1.9
Posisi pasien dalam teknik axillary block (a)
Ilustrasi infiltrasi sistem fascia pada teknik
axillary block (b)

Pada teknik ini, pasien harus terbaring dalam posisi supine


dengan lengan terabduksi sebanyak 90 derajat dan kepala diputar ke
arah kontralateral. Selain itu, pembuluh arteri aksilaris juga harus diraba
dan lokasinya dijadikan posisi acuan.1

45
Pada teknik dengan bantuan ultrasound, digunakan transducer
yang linier dan dengan frekuensi yang tinggi sehingga pembuluh darah
arteri dan vena aksilaris dapat tervisualisasi secara cross-sectional dan
pleksus brakialis dapat terlihat mengelilingi pembuluh darah arteri.
Jarum dimasukkan secara superior (lateral) terhadap transducer dan
digerakkan ke arah inferior (medial) menuju pleksus. Setelah
ditemukan, diinjeksi sekitar 10mL zat anestetik lokal di sekeliling
masing-masing saraf.1

(a) (b)

Gambar 1.10
Variasi lokasi saraf relatif terhadap arteri aksilaris(a)
Penampangan cross-section dari pleksus brakialis pada teknik
axillary block. AA = axillary artery, AV= axillary vein, R=
nervus radialis, MC= nervus muskulokutaneus, M= nervus
medianus, U= nervus ulnaris, CB= otot korakobrakialis, BM=
otot biseps brachii, TM= otot triseps brachii(b)

2.6 Teknik Blok Saraf Terminal


2.6.1 Median Nerve Block

Saraf median berasal dari cord lateral dan medial dari pleksus
brakialis dan berjalan pada aspek medial dari arteri brakialis, dan pada
fossa antekubital terletak dekat dengan insersi dari tendon otot biseps
brachii. Distal dari titik ini, saraf ini memberikan cabang motorik
terhadap otot-otot fleksor lengan bawah dan mengikuti membran
interosseous menuju pergelangan tangan, di mana pada level lipatan
proksimal pada saat fleksi pergelangan tangan saraf ini terletak tepat
dibalik tendon otot palmaris longus pada carpal tunnel.1

46
Gambar 1.11
Perjalanan saraf medianus pada lengan

Untuk melakukan blok saraf medianus pada tingkat sikut, arteri


brakialis diidentifikasi terlebih dahulu pada lipatan antekubital tepat
medial terhadap insersi tendon biseps brachii. Apabila menggunakan
bantuan ultrasound, saraf medianus dapat diidentifikasi secara cross-
section tepat medial terhadap arteri brakialis. Jarum berukuran 22G
dimasukkan tepat medial terhadap arteri brakialis dan diarahkan menuju
medial epicondyle hingga terjadi gerakan fleksi pergelangan tangan atau
oposisi ibu jari. Setelah itu, 3-5mL zat anestetik lokal diinjeksi.1

47
Untuk melakukan blok saraf medianus pada level pergelangan
tangan, tendon otot palmaris longus harus diidentifikasi dengan cara
meminta pasien untuk melakukan fleksi pergelangan tangan melawan
tahanan. Apabila menggunakan bantuan ultrasound, saraf medianus
dapat diidentifikasi pada level di tengah pergelangan tangan antara otot
flexor digitorum profundus, flexor digitorum superficialis, dan flexor
pollicis longus. Kemudian dimasukkan jarum berukuran 22G medial
dan lebih dalam terhadap tendon otot palmaris longus dan diinjeksi zat
anestetik lokal sebanyak 3-5mL.1

Gambar 1.13
Lokasi anestetik saraf medianus pada pergelangan tangan

48
2.6.2 Ulnar Nerve Block

Saraf ulnaris merupakan perpanjangan dari cord medial dari


pleksus brakialis dan terletak secara medial dari arteri aksilaris dan
brakialis pada lengan atas. Pada 1/3 distal dari humerus, saraf ini
berjalan secara medial dan melewati ligamen arcuate dari medial
epicondyle. Pada pertengahan lengan bawah, saraf ini berada antara otot
flexor digitorum profundus dan flexor carpi ulnaris. Pada pergelangan
tangan, saraf ini terletak lateral terhadap tendon flexor carpi ulnaris dan
medial terhadap arteri ulnaris.1

Gambar 1.14
Perjalanan saraf ulnaris pada lengan
Untuk melakukan blok saraf ulnaris pada level sikut, dapat
digunakan jarum berukuran 22G dimasukkan berjarak kurang lebih satu
buku jari proksimal terhadap ligamen arcuate dan ditelusuri hingga
fleksi jari keempat atau kelima, atau aduksi ibu jari sudah terlihat.
Setelah itu dapat diinjeksi zat anestetik lokal sebanyak 3-5mL.1

49
Gambar 1.15
Lokasi injeksi saraf ulnaris pada tingkat sikut dan efek
anestetik berdasarkan dermatom
Untuk melakukan blok saraf ulnaris pada level pergelangan
tangan, yang pertama harus dilakukan adalah palpasi arteri ulnaris yang
terletak lateral terhadap tendon otot flexor carpi ulnaris. Apabila
menggunakan modalitas ultrasound, maka saraf ulnaris dapat terlihat
medial terhadap arteri ulnaris. Jarum kemudian dimasukkan tepat
medial terhadap arteri ulnaris dan diinjeksikan zat anestetik lokal
sebanyak 3-5mL.1

2.6.3 Radial Nerve Block

Saraf ini merupakan cabang terminal dari cord posterior dari


pleksus brakialis dan mempersarafi otot triseps brachii sebelum
mengikuti arus spiral dari humerus dan akhirnya berjalan ke arah lateral
pada sikut. Pada lokasi inilah saraf radialis memecah menjadi cabang
superfisial dan cabang profunda. Cabang profunda terletak dekat dengan
periosteum dan mempersarafi kelompok ekstensor post-aksial dari
lengan bawah. Cabang superfisial mengikuti arteri radialis untuk
mempersarafi aspek dorsal dari pergelangan tangan dan aspek dorsal
dari tiga jari pertama dan setengah dari jari keempat.1

50
Gambar 1.16
Lokasi anatomis saraf radialis pada lengan

Untuk melakukan blok dari saraf radialis pada level sikut, tendon
otot biseps brachii diidentifikasi pada fossa antekubital. Apabila
menggunakan modalitas ultrasound, maka saraf radialis dapat
diidentifikasi secara cross-section tepat proksimal dari fossa antekubital
antara otot biseps brachii dan otot brachioradialis. Kemudian
dimasukkan jarum berukuran 22G tepat lateral terhadap tendon dan
diarahkan menuju lateral epicondyle hingga terjadi pergerakan ekstensi
jari. Setelah itu, diinjeksikan zat anestetik lokal sebanyak 5mL.1

Gambar 1.17
Lokasi injeksi saraf radialis pada tingkat sikut dan efek
anestetik berdasarkan dermatom

51
Pada pergelangan tangan, cabang superfisial dari saraf radialis
berada tepat lateral dari arteri radialis yang dapat dipalpasi lateral
terhadap tendon otot flexor carpi radialis. Apabila menggunakan
modalitas ultrasound, penampangan cross-sectional dari saraf ini
terletak tepat lateral terhadap arteri radialis. Zat anestetik lokal sejumlah
3-5mL dapat diinjeksi melalui jarum berukuran 22G.1

Gambar 1.18
Lokasi anestetik saraf ulnaris pada pergelangan tangan
2.7 Pembahasan Kasus
2.7.1 Konsiderasi General Anesthesia

Pada pasien ini, tidak dilakukan general anesthesia untuk


tindakan oeprasi karena pasien ini memiliki ketidakseimbangan sistem
kardiovaskuler. Apabila mengacu kembali kepada hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang terhadap pasien ini, ditemukan bahwa pasien ini
memiliki tanda-tanda kelebihan cairan (edema anasarca, dyspnea setiap
malam), tanda-tanda kelainan kardiovaskuler (tekanan darah yang
relatif lebih tinggi dan pembesaran jantung pada pemeriksaan fisik),
ukuran jantung yang membesar pada pemeriksaan x-ray (CTR 64%),
dan kelainan pada ekokardiografi yang signifikan untuk ejection
fraction yang menurun (15%); yang mengarah kepada diagnosis edema
anasarca et causa gagal jantung kongestif et causa kardiomiopati
iskemik. Pada pasien dengan kondisi seperti ini, terdapat beberapa

52
resiko yang harus diperhatikan sebelum dilakukan pemberikan general
anesthesia.

Yang pertama, perlu diingat bahwa obat-obat anestesi inhalasi


dapat memengaruhi sistem kardiovaskuler. Pada orang sehat umumnya,
hipotensi biasanya tidak ditemukan oleh karena mekanisme kompensasi
yang masih berfungsi dengan baik melalui vasokonstriksi pembuluh
darah namun efek ini sering terlihat pada pasien dengan penyakit
jantung. Dalam stadium anestesi, terjadi vasodilatasi sistemik dan
depresi miokardial. Vasodilatasi seringkali dijumpai pada kulit dan
otot-otot ekstremitas. Akibatnya, aliran darah kepada otot-otot skeletal
pada ekstremitas meningkat sebanyak empat kali dan efeknya
menyerupai seperti yang didapat pada tindakan simpatektomi kimiawi
ataupun surgikal. Walaupun terdapat metode kompensasi seperti
vasokonstriksi pembuluh darah arteri pada bagian tubuh yang kaya akan
aliran darah lainnya seperti liver dan ginjal, namun perlu diingat jika
proses ini berlangsung pada pasien dengan instabilitas hemodinamik
maka akibatnya dapat berujung fatal.2 Selain itu, depresi miokardial juga
dijumpai pada pasien yang diberikan agen volatile. Walaupun demikian,
ditemukan bahwa pemberian agen sevoflurane memiliki efek depresi
miokardial yang lebih ringan jika dibandingkan dengan halothane
meskipun keduanya memiliki efek terhadap jantung.3 Tidak hanya itu,
masalah ini dapat semakin diperparah dengan operasi itu sendiri.
Walaupun tindakan yang dilakukan hanya insisi dan drainase abses, di
mana perdarahan dalam jumlah banyak biasanya tidak dijumpai, namun
perlu ditekankan betapa seriusnya beban apabila pasien ini dilakukan
general anesthesia dan operasi yang keduanya memberikan efek secara
langsung dan tidak langsung kepada sistem kardiovaskuler pasien yang
sudah tidak sehat. Resiko lainnya yang perlu dikonsiderasi adalah
hipotermia, kehilangan darah dan volume shifts, pelepasan zat-zat akibat
stres jaringan, dan perubahan pada pre-load dan after-load jantung
membuat general anesthesia menjadi pilihan yang memiliki terlalu
banyak resiko.4

53
Kedua, pasien ini telah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
mengganggu kerja zat anestetik. Dapat dilihat bahwa pasien telah
mengkonsumsi obat antihipertensi (ramipril) sebelum menjalani
tindakan operasi dan anestesi. Hal ini dapat meningkatkan resiko pasien
menderita aritmia dan memperparah hipotensi akibat zat anestetik pada
general anesthesia, sehingga semakin membuat pilihan ini semakin
beresiko. Tidak hanya itu, pasien ini juga menjalani diuresis yang
ekstensif dengan menggunakan lasix (furosemide) sejak admisi ke IGD.
Hal ini membuat volume intravaskular pasien berkurang dan
meletakkan pasien dalam posisi yang rentan untuk menderita imbalans
elektrolit dan semakin memperparah ketidakseimbangan hemodinamika
pasien. Pasien ini juga memiliki imbalans elektrolit bahkan sebelum
inisiasi lasix, hal ini dapat dilihat dari pemeriksaan hasil lab pasien pada
tanggal 29 Juni 2018 di mana pasien menderita hiponatremia dan
hipokloremia ringan. Apabila faktor ini digabung dan pada pasien ini
dilakukan tindakan general anesthesia, maka besar sekali resiko pasien
ini akan menderita komplikasi kardiovaskuler.

Yang ketiga, pasien ini memiliki komorbiditas lainnya yang


dapat membuat intubasi dan ventilasi menjadi sulit yaitu obesitas dan
penyakit paru (pneumonia atau suspek tuberkulosis paru dengan efusi
pleura pada x-ray). Hal ini tentunya memengaruhi functional residual
capacity (FRC) pasien, terutama dengan posisi operasi pada pasien ini
yaitu supine. Pada posisi supine, FRC seseorang menurun rata-rata
sejumlah 0-8-1.0L. Hal ini semakin diperparah karena pasien menderita
efusi pleura dan pneumonia atau tuberkulosis yang tentunya
mengganggu fungsi pernapasan pasien dan kemampuan repirasi.
Penyakit paru yang diderita pasien juga tentunya mengurangi kapasitas
paru yang seharusnya mampu menampung oksigen untuk respirasi.
Apabila seluruh faktor ini ditambah dengan instabilitas hemodinamik
yang dialami pasien, maka tentunya resiko untuk dilakukan general
anesthesia dan intubasi merupakan langkah yang cukup memiliki
resiko.5

54
Pasien ini juga memiliki komorbiditas lainnya yaitu diabetes
mellitus. Pada pasien dengan diabetes mellitus, cukup sering dijumpai
diabetic autonomic neuropathy yang terdapat pada sekitar 50% pasien
diabetes dengan hipertensi. Apabila pasien ini menderita diabetic
autonomic neuropathy, maka pasien ini akan memiliki keterbatasan
dalam mengkompensasi perubahan volume cairan intravaskular dan
dapat meningkatkan resiko terjadinya instabilitas hemodinamik (perlu
diingat bahwa pasien sudah menderita penyakit jantung kongestif) dan
bahkan kematian jantung mendadak. Insidensi dari instabilitas
kardiovaskuler pada lingkungan perioperatif meningkat oleh karena
penggunaan angiotensin-converting enzyme inhibitors (yang tentunya
dikonsumsi pasien dalam bentuk ramipril) atau angiotensin receptor
blockers. Hal ini semakin meningkatkan resiko instabilitas
hemodinamik apabila dilakukan general anesthesia.6

2.7.2 Konsiderasi Anestesi Spinal

Pada pasien ini tidak dilakukan subarachnoid block ataupun


epidural block karena pasien ini memenuhi salah satu kriteria absolut
dari blokade neuraksial yaitu gangguan perdarahan. Pada pasien
ditemukan PT dan APTT yang memanjang. Walaupun angka tersebut
tidak meningkat secara signifikan dari batas normal, tetap perlu
dijadikan pertimbangan resiko terhadap prosedur ini. Selain itu, pasien
sudah mengkonsumsi obat pengencer darah berupa clopidogrel kurang
dari tujuh hari sebelum dilakukan tindakan anestesi spinal. Hal ini
menyebabkan dua akibat yaitu pasien tentunya mengalami gangguan
pembekuan darah akibat obat yang tentunya memperkuat argumentasi
tidak dilakukan anestesi spinal, dan penggunaan clopidogrel sendiri
merupakan kontraindikasi untuk dilakukan anestesi spinal apabila
diberikan kurang dari tujuh hari sebelum dilakukan tindakan.7,8
Selain itu, pasien ini juga memenuhi kriteria kontraindikasi
relatif yaitu sepsis (pasien memenuhi setidaknya 2/4 kriteria dengan
fokus infeksi yaitu abses pada manus sinistra). Pada pasien dengan
septisemia, bakteri atau patogen dapat masuk ke sirkulasi cairan

55
serebrospinal atau rongga epidural.8 Hal ini tentunya dapat berakibat
fatal sehingga tidak dilakukan pada pasien ini.
Yang terakhir, perlu diingat bahwa terdapat komplikasi kepada
sistem kardiovaskuler akibat dari anestesi spinal dan epidural. Salah satu
komplikasi yang paling sering dari anestesi spinal subaraknoid adalah
henti jantung akibat refleks vagal dan berkurangnya preload dengan
manifestasi awal berupa bradikardia. Perlu diketahui bahwa pasien ini
menderita congestive heart failure dengan ejection fraction 15%.
Mengacu kepada mekanisme Frank-Starling, peningkatan volume
darah end-diastolic diperlukan untuk meningkatkan performa jantung.
Pada pasien dengan gagal jantung kongestif, peningkatan volume darah
end-diastolic terjadi karena kontraktilitas yang menurun. Penurunan
kontraktilitas otot jantung terjadi karena kerusakan pada otot jantung
dan peningkatan volume end-diastolic dalam kasus ini akibat serat-serat
otot jantung yang melebar (dilatasi jantung). Afterload pada pasien ini
juga meningkat yang dapat dilihat dari manifestasi hipertensi dan
kelainan katup berupa kalsifikasi. Bisa dibayangkan jika terjadi
perubahan volume pre-load akibat anestesi spinal terhadap balans
hemodinamika pasien ini yang pada sendirinya sudah tidak seimbang,
maka resiko yang diberikan terlalu besar.8,9

2.7.3 Konsiderasi Brachial Plexus Block

Pada pasien ini dilakukan anestesi brachial plexus nerve block


karena merupakan metode pemberian zat anestetik yang paling aman
untuk pasien ini. Pada pasien ini dilakukan nerve block terhadap saraf
radialis, ulnaris, dan medianus yang dilakukan dengan metode axillary
block untuk saraf radialis dan ulnaris, dan wrist block untuk saraf
medianus.
Alasan untuk dilakukan nerve block di level interscalene block
adalah lokasi tindakan. Tindakan yang akan dilakukan berlokasi di
bawah sikut, sehingga blok saraf setinggi level interscalene akan
menjadi sia-sia. Tidak hanya itu saja, blok pada level ini juga akan
menyebabkan unilateral phrenic nerve palsy. Pada pasien ini tidak dapat
dipastikan apakah pernah mengalami contralateral phrenic nerve palsy,

56
dan mengingat komorbiditas pasien maka prosedur ini juga berbahaya
bagi kelangsungan hidup pasien. Pasien ini juga memenuhi salah satu
kriteria tidak dilakukan blok interscalene yaitu koagulopati akibat obat-
obatan dan akibat sepsis. Hal ini dapat meningkatkan resiko perdarahan
dan tentunya tidak ideal untuk pasien ini.
Yang kedua, pada pasien ini tidak dilakukan nerve block pada
level supraclavicula karena alasan yang sama dengan blok interscalene,
yaitu lokasi yang tidak relevan untuk pemblokiran saraf (lokasi
pembedahan terletak di telapak tangan). Selain itu, pada blok
supraclavicula, saraf ulnaris tidak terkena efek zat anestetik sehingga
tentunya tidak ideal untuk tindakan yang berlangsung di telapak tangan
(telapak tangan mendapatkan persarafan dari saraf radialis, ulnaris, dan
medianus). Tindakan ini juga meletakkan pasien dalam resiko menderita
pneumotoraks dengan kondisi fungsi pernapasan pasien yang sudah
menurun akibat komorbiditas dan penyakit yang dideritanya, walaupun
resiko ini berkurang dengan modalitas ultrasound.
Yang ketiga, nerve block pada level infraclavicula tidak feasible
pada pasien ini oleh karena komplikasi yang dapat terjadi akibat pungsi
vaskuler ataupun pneumotoraks.
Pada pasien ini dilakukan axillary level brachial plexus block
karena merupakan lokasi yang ideal untuk menemukan percabangan
saraf-saraf yang relevan untuk tindakan ini (saraf radialis, ulnaris, dan
medianus), resiko komplikasi yang lebih rendah dibandingkan tindakan-
tindakan sebelumnya, tidak adanya fokus infeksi pada pasien ini di level
ini, dan merupakan prosedur yang lebih mudah dilakukan. Walaupun
demikian, terdapat kendala pada saat prosedur di mana saraf medianus
pasien tidak terlihat pada saat visualisasi ultrasound di level ini.
Maka dari itu, dicoba dilakukan blok saraf medianus pada
tingkat forearm, namun pada percobaan ini gagal dilakukan visualisasi
saraf. Hal ini dapat terjadi karena saraf medianus berjalan mengikuti
membran interosseous dan memberikan percabangan kepada otot-otot
fleksor lengan bawah sehingga menyebabkan kesulitan dalam
visualisasi langsung dari perjalaran utama dari saraf ini. Oleh karena itu,
dilakukan blok saraf medianus pada level pergelangan tangan yang

57
letaknya dekat dengan otot palmaris longus. Pada percobaan kali ini,
berhasil dilakukan blok saraf medianus.

58
BAB III
REFERENSI
1. Madison SJ, Ilfield BM. Peripheral Nerve Blocks. Butterworth JF, Mackey
DC, Wasnick JD (eds). Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology, 5th ed.
United States of America: McGraw-Hill Education; 2013. pp. 975-1000.
2. Vandam LD, Burnap TK. Anesthesia in Patients with Heart
Disease. Circulation 1958; 17(1): 292-298. http://circ.ahajournals.org/
(accessed 5 July 2018).
3. Holzman RS, Velde ME, Kaus SJ, Body SC, Colan SD. Sevoflurane
Depresses Myocardial Contractility Less than Halothane during Induction of
Anesthesia in Children. The Journal of American Society of Anesthesiology
Inc. 1996; 85(1): 1260-1267. http://anesthesiology.pubs.asahq.org/ (accessed 5
July 2018).
4. Baker SJ, Gamel DM, Tremper KK. Cardiovascular effects of anesthesia and
operation. Critical Care Clinics 1987; 3(2): 251-268.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 5 July 2018).
5. Cowles CE (eds). Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology, 5th ed. United
States of America: McGraw-Hill Education; 2013. pp. 487-527.
6. Ramsay M (eds). Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology, 5th ed. United
States of America: McGraw-Hill Education; 2013. pp. 730.
7. The Association of Anaesthetists of Great Britain & Ireland, The Obstetric
Anaesthetists’ Association, Regional Anaesthesia UK . Regional Anaesthesia
and Patients with Abnormalities of Coagulation. Anaesthesia 2013; 1-11.
https://www.aagbi.org/ (accessed 6 July 2018)
8. Frölich MA (eds). Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology, 5th ed.
United States of America: McGraw-Hill Education; 2013. pp. 948
9. Fukuta H, Little WC. The Cardiac Cycle and the Physiological Basis of Left
Ventricular Contraction, Ejection, Relaxation, and Filling. Heart Failure
Clinics 2008; 4(1): 1-11. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 6 July
2018).

59

Anda mungkin juga menyukai