Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI, 2019


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

HERPES ZOSTER

OLEH :

Sahar Maulana

PEMBIMBING:

dr. Helena Kendengan, Sp.KK

Dibawakan Dalam Rangka Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin

FAKULTAS KEDOKTERANU NIVERSITAS MUHAMMADIYAH

MAKASSAR

2019

BAB I
PENDAHULUAN

Herpes zoster disebabkan oleh virus herpes yang sama dengan virus penyebab varisela.
Setelah infeksi varisela primer, virus akan bertahan pada ganglia radiks dorsalis. Herpes zoster
(shingles) biasanya menyerang pasien yang berusia lanjut. Virus varisela yang dorman diaktifkan
dan timbul vesikel-vesikel meradang unilateral di sepanjang satu dermatom.1

Herpes zoster (shingles) adalah infeksi varisela-zoster laten yang timbul lagi. Setelah
masa gatal singkat atau rasa sakit di sepanjang salah satu atau kadang-kadang pada beberapa
dermatom di tubuh, muncul bercak merah yang cepat sekali berubah menjadi papul dan vesikel.
Yang lebih sering terkena adalah dermatom torakal dan servikal. Apabila mengenai cabang
optalmik dari saraf trigeminal, bisa menyebabkan radang kornea dan dapat berakibat kebutaan.
Setelah 1-2 minggu, krusta akan mulai lepas. Lebih dari 10% pasien mengalami neuralgia
pascaherpetik (rasa panas terbakar berkelanjutan atau sakit di area yang telah sembuh). Ini bisa
berlangsung dari hanya beberapa bulan sampai tahun.2

Herpes zoster sebaliknya bisa juga menyerang orang yang sehat, terutama lansia, namun
lebih sering menimpa orang yang menderita penyakit parah dan infeksi HIV. Ini merupakan
indikator awal atas terjangkitnya infeksi HIV di kalangan orang-orang usia muda.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Herpes Zoster (Shingles) adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi vesikular
berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular unilateral yang umumnya
terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan manifestasi reaktivasi infeksi laten
endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion
saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit
dengan segmen yang sama.3

B. ETIOLOGI
Herpes zoster disebabkan oleh Varicella zoster virus (VZV). VZV mempunyai kapsid
yang tersusun dari 162 submid protein dan berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter
100 nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung
yang bersifat infeksius.4
Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik, detergen,
enzim proteolitik, panas, dan lingkungan pH yang tinggi.4

C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit herpes zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal musim.
Insidensnya 2-3 kasus per-1000 orang/tahun. Insiden dan keparahan penyakitnya meningkat
dengan bertambahnya usia. Lebih dari setengah jumlah keseluruhan kasus dilaporkan terjadi
pada usia lebih dari 60 tahun dan komplikasi terjadi hampir 50% di usia tua. Jarang dijumpai
pada usia dini (anak dan dewasa muda); bila terjadi, kemungkinan dihubungkan dengan
varisela maternal saat kehamilan. Risiko penyakit meningkat dengan adanya keganasan, atau
dengan translpantasi sumsum tulang/ginjal atau infeksi HIV. Tidak terdapat predileksi
gender. Penyakit ini bersifat menular namun daya tularnya kecil bila dibandingkan dengan
varisela.3

D. PATOFISIOLOGI
Masa inkubasi varicella 10 - 21 hari pada anak imunokompeten (rata - rata 14 - 17 hari)
dan pada anak yang imunokompromais biasanya lebih singkat yaitu kurang dari 14 hari.
VZV masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernafasan (droplet
infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet infection dapat terjadi 2 hari
sebelum hingga 5 hari setelah timbul lesi dikulit.5
VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian atas,
orofaring ataupun conjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2 - 4 yang
berlokasi pada lymph nodes regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah
sedikit melalui darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer
(biasanya terjadi pada hari ke 4 - 6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita
yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh
yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus ke dua yang terjadi
di hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel
virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang
mengakibatkan timbulnya lesi dikulit yang khas.5
Seorang anak yang menderita varicella akan dapat menularkan kepada yang lain yaitu 2
hari sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit.5
Pada herpes zoster, patogenesisnya belum seluruhnya diketahui. Selama terjadinya
varicella, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung syaraf
centripetal melalui serabut syaraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut
terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak
bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius
apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh keadaan yang
menurunkan imunitas seluler seperti pada penderita karsinoma, penderita yang mendapat
pengobatan immunosuppressive termasuk kortikosteroid dan pada orang penerima organ
transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi sehingga terjadi
reaksi radang dan merusak ganglion sensoris. Kemudian virus akan menyebar ke sumsum
tulang serta batang otak dan melalui syaraf sensoris akan sampai kekulit dan kemudian
akan timbul gejala klinis.5

E. GEJALA KLINIK
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa sensasi abnormal
atau nyeri otot lokal, nyeri tulang pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar
dari ringan sampai berat. Nyeri dapat menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark jantung, nyeri
duodenum, kolesistitis, kolik ginjal atau empedu, apendisitis. Dapat juga dijumpai gejala
konstitusi misalnya nyeri kepala, malaise dan demam. Gejala prodromal dapat berlangsung
beberapa hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari).3
Setelah awitan gejala prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri
terlokalisata (terbatas di satu dermatom) berupa macula kemerahan. Kemudian berkembang
menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel menjadi
keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7-10 hari). Erupsi kulit
mengalami involusi setelah 2-4 minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster, erupsi kulitnya
menyembuh secara spontan tanpa gejala sisa.3
Pada sejumlah kecil pasien dapat terjadi komplikasi berupa kelainan mata (10-20%
penderita) bila menyerang di daerah mata, infeksi sekunder dan neuropatik motorik. Kadang-
kadang dapat terjadi meningitis, ensefalitis atau mielitis.3
Komplikasi yang sering terjadi adalah neuralgia pasca herpes (NPH), yaitu nyeri yang
masih menetap di area yang terkena walaupun kelainan kulitnya sudah mengalami resolusi.3
Perjalanan penyakit herpes zoster pada penderita imunokompromais sering rekuren,
cenderung kronik persisten, lesi kulitnya lebih berat (terjadi bula hemoragik, nekrotik dan
sangat nyeri), tersebar diseminata, dan dapat disertai dengan keterlibatan organ dalam. Proses
penyembuhannya juga berlangsung lebih lama.3
Dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster antara lain zoster sine herpete bila terjadi
nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit. Herpes zoster abortif bila erupsi kulit
hanya berupa eritema dengan atau tanpa vesikel yang langsung mengalami resolusi sehingga
perjalanan penyakitnya berlangsung singkat. Disebut herpes zoster aberans bila erupsi
kulitnya melalui garis tengah.3
Bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius terjadi sindrom Ramsay-
Hunt yaitu erupsi kulit timbul di liang telinga luar atau membrane timpani disertai paresis
fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo dan
tuli.3
Terjadi herpes zoster oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama nervus trigeminus.
Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel di puncak hidung yang dikenal
sebagai tanda Hutchinson) kemungkinan besar terjadi kelainan mata. Walaupun jarang dapat
terjadi keterlibatan organ dalam.3
Meskipun setiap saraf dapat terkena, tetapi saraf torakal, lumbal atau kranial paling sering
terserang. Herpes zoster yang menyebar ke seluruh tubuh, paru-paru dan otak dapat menjadi
fatal. Penyebaran seperti ini biasanya tampak pada pasien limfoma atau leukemia. Dengan
demikian setiap pasien yang mengalami herpes zoster diseminata harus dievaluasi ulang
untuk mencari kemungkinan adanya faktor keganasan.1

F. DIAGNOSIS BANDING
Herpes zoster awal dapat didiagnosa banding dengan dermatitis venenata atau dermatitis
kontak.3

(Dermatitis Venenata) (Dermatitis Kontak)


Herpes zoster yang timbul di daerah genitalia mirip dengan herpes simpleks, sedangkan
herpes zoster diseminata dapat mirip dengan varisela.3
(Herpes Simpleks)

(Varisela)
G. KOMPLIKASI HERPES ZOSTER
Infeksi HZ (Herpes zoster) merupakan infeksi virus yang bersifat self limiting disease,
namun dapat menimbulkan komplikasi terutama pada pasien lanjut usia dan pasien dengan
keadaan immunocompromised.6 Terdapat sejumlah penyakit yag mungkin menyertai atau
mengikuti serangan HZ seperti kerusakan mata, keterlibatan motorik dapat menyebabkan
kelumpuhan bola mata , kelumpuhan saraf facial dan kesulitan berkemih dan buang air
besar, jaringan parut di bagian yang terkena, kerusakan saraf disertai disestesia(Neuralgia)
hal ini sering terjadi pada keterlibatan saraf trigeminus yang dapat menyebabkan sindrom
Trofik trigeminus.7 Komplikasi lain diantaranya adalahneuralgia paska herpetik, komplikasi
mata berupa keratitis, komplikasi telinga-hidung-tenggorokan (THT) berupa sindroma
Ramsay Hunt, komplikasi organ viseral berupa miokarditis, arthritis dan infeksi sekunder
oleh bakteri.Neuralgia paska herpeticmerupakan komplikasi yang paling sering muncul pada
pasien HZsebesar 10-40% kasus, dan risiko meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Pada penulisan ini akan lebih di bahas tentanng komplikasi yg paling sering terjadiyaitu
NHP.6
NHPSeperti yang telah diketahui bahwa sebagian besar infeksi virus bersifat ringan dan
dapat sembuh sendiri, namun infeksi HZ dapat berdampak pada turunnya kualitas hidup yang
disebabkan oleh rasa nyeri yang timbul.Hampir 90% penderita HZakan mengalami nyeri
yang dapat bertahan hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun atau yang
disebutneuralgia paska herpetik (NPH). NPH atau nyeri yang menetap setelah 3 bulan erupsi
HZmenghilang merupakan salah satu komplikasi HZyang sering terjadi.6
Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi yang sering membuat Pasien mengeluh nyeri
seperti terbakar atau nyeri tumpul yang terus menerus dengan atau tanpa nyeri tajam (seperti
disayat) paroksismal. Keduanya dapat munculspontan dan dapat diperberat hanya dengan
sentuhan ringan seperti kontak kulit dengan pakaian atau seprai atau karena terkena
hembusan angin. Aktivitas fisik, perubahan suhu dan emosi dapat mengeksaserbasi nyeri.8
Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang disebabkan oleh
kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf. Pada nyeri neuropatik terjadi kerusakan
saraf perifer dan perubahan sinyal sistem sarafpusat, sehingga terjadi letupan potensial aksi
spontan, ambang aktivasi saraf yang menurun, dan peningkatan respon terhadap stimulus.8
Neuralgia pascaherpetika dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya
serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut
saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas
membran sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas
baru. Tunas-tunas baru ini ada yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai
organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion,
terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga
pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal,
sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan
menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada
neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area
tersebut.8
Pada autopsi pasien dengan neuralgia pascaherpetika, terdapat atrofi kornu dorsalis
medula spinalis ipsilateral, sedangkan pada pasien pernah menderita herpes zoster yang tidak
mengalami neuralgia pascaherpetika tidak didapatkan atrofi tersebut. Pada biopsi kulit,
ditempat yang mengalami neuralgia pascaherpetika terdapat penurunan densitas persarafan
sensorium epidermal dibandingkan dengan sisi kontralateralnya yang tidak mengalami
neuralgia pascaherpetika.8
NPH dapat menimbulkan terjadinya depresi, kelelahan, insomnia,menurunnya
produktivitas, dan kualitas hidup sosial serta individu dengan NPH dapat mengalami gejala
anorexia, keterbatasan dalam beraktivitas, dankesulitan berkonsentrasi.Faktor risiko utama
dari NPH pada infeksi HZ adalah usia dan kondisi immunocompromised. Risiko NPH
diketahui meningkat seiring dengan peningkatan usia, dimana risiko meningkat pada usia
>50 tahun.Pasien HZ yang berusia 60-65 tahun berisiko terkena NPH sebesar 20%, dan pada
usia di atas 80 tahun risiko meningkat lebih dari 34%.6
Dalam sebuah penelitian dikatakan, dampak gangguan kualitas hidup terlihat dari
gangguan menikmati hidup (31%), aktivitas sehari-hari (29%), mood (25%), tidur (8%), dan
kemampuan berjalan (8%). Weinke, dkk. menyatakan bahwa neuralgia pascaherpetika tidak
hanya berdampak terhadap kualitas hidup pasien, tetapi juga pada keluarga pasien. Sekitar
50% pasien neuralgia pascaherpetika dirawat oleh pasangan hidup, sekitar 30% oleh anak,
disusul oleh tetangga atau teman, hanya sedikit yang dirawat oleh tenaga profesional. Hal ini
memberikan dampak penurunan kualitas hidup yang signifikan terhadap anggota keluarga,
yaitu 69% pada anak dan 80% pada pasangan hidup. Dampaknya meliputi lelah, stres,
insomnia, dan distres emosional. Sekitar 42% pasangan hidup dan 20% anak pasien neuralgia
pascaherpetika berhenti bekerja dan sekitar 40% mengalami tekanan mental tinggi baik saat
bekerja maupun saat tidak sedang bekerja. Selain terhadap kualitas hidup, penyakit ini juga
menimbulkan beban ekonomi yang besar, terutama untuk biaya konsultasi, pengobatan
penyakit dan komplikasi, dan rawat inap, baik di negara berkembang maupun di negara
maju.9

H. PENCEGAHAN
Mengingat insidens HZ dan dampak yang signifikan tehadap kualitas kehidupan, baik
pasien maupun keluarganya dan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan HZ dan
komplikasinya maka di diperlukannya pencegahan yakni vaksinasi.9
Vaksin, Beberapa lembaga kesehatan di dunia telah mengeluarkan rekomendasi
pemberian vaksin herpes zoster dan target populasi. Advisory Committee for Immunization
Practices (ACIP) bekerja sama dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
pada tahun 2014 merekomendasikan pemberian vaksin herpes zoster secara rutin pada setiap
pasien berumur ≥60 tahun, meskipun U.S. Food and Drug Administration (FDA)
memberikan vaksin tersebut untuk setiap pasien berumur >50 tahun. Di Indonesia, satgas
imunisasi dewasa Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) pada
tahun 2013 merekomendasikan pemberian vaksin herpes zoster untuk semua individu berusia
60 tahun ke atas. Pada tahun 2014, rekomendasi tersebut diperbaharui, vaksin herpes zoster
sekarang diindikasikan untuk semua individu berusia 50 tahun ke atas dengan atau tanpa
riwayat herpes zoster.9
Vaksin herpes zoster yang tersedia di Indonesia mengandung Virus Varicella-Zoster
(VZV) strain Oka/Merck hidup yang telah dilemahkan. Dosis pemberian adalah sebanyak
satu vial (0,65 mL) mengandung 19,400 plaque forming units [PFU] VZV, secara subkutan
di regio deltoid. Vaksin ini tidak boleh diberikan secara intramuskuler ataupun intravena.
Vaksin herpes zoster tidak diindikasikan untuk pengobatan herpes zoster ataupun neuralgia
pascaherpetika.9
Efektivitas dan Keamanan Vaksin menurut beberapa penelitian, Beberapa studi uji klinis
dengan jumlah sampel besar oleh Oxman, dkk. melibatkan 38.546 individu berumur lebih
dari 60 tahun, menunjukkan bahwa pemberian vaksin dapat menurunkan angka kejadian
herpes zoster sebesar 51,3% dan angka komplikasi neuralgia pascaherpetika sebesar 66,5%.
Selain untuk pencegahan, vaksin juga bermanfaat menurunkan lama nyeri apabila individu
tersebut terkena herpes zoster. Dalam studi ini efek samping yang sering ditemukan bersifat
lokal pada lokasi penyuntikan, yaitu berupa eritema, nyeri, bengkak, dan gatal. Schamader,
dkk. melakukan uji klinis mengenai efektivitas vaksin herpes zoster pada lebih dari 20.000
subjek berumur 50-59 tahun di Amerika Utara dan Eropa pada tahun 2012. Pada kelompok
penerima vaksin, terjadi penurunan insidens herpes zoster selama pengamatan, yaitu 30 kasus
berbanding dengan 99 kasus pada kelompok plasebo, efektivitas vaksin herpes zoster pada
kelompok pasien ini 69%. Efek samping yang umum terjadi pada studi ini bersifat lokal dan
sistemik seperti nyeri kepala. Kejadian efek samping serius sangat rendah dan tidak berbeda
dari kelompok plasebo. Studi cohort pada tahun 2013 melibatkan 760.000 individu berusia di
atas 65 tahun, memperlihatkan bahwa efektivitas vaksin herpes zoster sebesar 48% dalam
menurunkan insidens herpes zoster serta sebesar 59% dalam mencegah terjadinya neuralgia
pascaherpetika. Vaksin herpes zoster juga terbukti dapat menurunkan angka kejadian herpes
zoster oftalmikus dan angka rawat inap.9
Hingga saat ini, vaksin herpes zoster hanya direkomendasikan untuk diberikan satu kali.
Beberapa studi menunjukkan bahwa efektivitas vaksin terhadap pencegahan insidens herpes
zoster dan neuralgia pascaherpetika akan menurun seiring waktu. Penurunan efektivitas
terjadi setelah satu tahun pertama pemberian, namun tetap efektif hingga 5 tahun pertama.9
Vaksin herpes zoster di kontra indikasikan pada pasien dengan riwayat anafilaksis
terhadap komponen vaksin, seperti gelatin dan neomycin, gangguan imun baik primer
maupun di dapat (leukemia, limfoma, keganasan lain yang mempengaruhi system limfatik
dan sumsum tulang, AIDS, serta pasien yang mendapatkan terapi imunosupresan. Vaksin
herpes zoster juga di kontra indikasikan pada ibu hamil dan sebaiknya kehamilan di hindari
minimal selama 3 bulan setelah pemberian vaksin.9

I. PENATALAKSANAAN
Menurut velda dkk dalam tulisannya Manajemen kasus Herpes zoster yang beresiko
tinggi NPH menyebutkan bahawa Penatalaksanaan HZ didasarkan pada strategi 6A yaitu :6
 Attract patient early berarti mendiagnosis secara dini berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal.
 Asses patient fully berarti memperhatikan kondisi pasien secara keseluruhan
terutama kondisi khusus seperti pada usia lanjut.
 Antiviral therapy berarti memberikan terapi agen antiviral yang
direkomendasikan seperti acyclovir 5x800 mg/hari selama 7-10 hari,
valacyclovir3x1 gr/hari selama 7 hari, famcyclovir 3x500mg/hari selama 7 hari
yang bertujuan untuk menghambat replikasi VZV.
 Analgetic berarti mengatasi nyeri, dengan pemberian analgetika seperti
parasetamol, NSAIDs, atau opioid ringan.
 Antidepressant/anticonvulsant dapat diberikan dengan tujuan menurunkan
terjadinya NPH, contoh; amitriptilin 10mg/hari selama 3 bulan atau gabapentin
300mg/hari selama 4-6 minggu atau pregabalin 50-75mg/hari selama 2-4
minggu.
 Allay anxiety-counseling berarti memberikan edukasi mengenai penyakit HZ
untuk mengurangi kecemasan pasien.

Pemberian agen antiviral pada pasien HZ dalam 72 jam setelah lesi muncul dapat
mempercepat penyembuhan lesi dan menurunkan risiko NPH. Pemberian agen antiviral
diatas 72 jam tidak efektif lagi, namun agen antiviral dapat diberikan tanpa melihat waktu
timbulnya lesi pada beberapa keadaan seperti: usia >50 tahun, risiko tinggi NPH, HZ
oftalmikus/sindrom ramsay hunt/HZ servikal atau sakral, dan anak-anak, wanita hamil, atau
usia <50 tahun dengan komplikasi atau keadaan imunosupresif.6
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatis untuk nyeri diberi analgetik, jika disertai
infeksi skunder diberikan antibiotik, pemberian kortikosteroid adalah untuk sindrom Ramsay
hunt yang dilakukan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis, pengobatan topikal
bergantung pada stadiumnya, jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan
protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder.10
Prinsip dasar pengobatan HZ adalah menghilangkan nyeri secepat mungkin denga cara
membatasi replikasi virus sehingga mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut, pengobatan
yang di berikan dapat berupa sistemik dan topical.3
 Sistemik
a. Agen antiviral seperti acyclovir, valacyclovir, dan famcyclovir dapat menghambat
replikasi VZVdengan menginhibisi enzim thymidinekinasesehingga durasi replikasi
virus, pembentukan lesi HZ, durasi nyeri akut, dan progresi kerusakan saraf yang
memicu terjadinya NPH dapat dihambat. Ketiga agen antiviral tersebut memiliki efek
samping seperti nausea,vomitus, diare, nyeri abdomen, dan nyeri kepala. Sebuah studi
meta-analisis yang membandingkan pemberian acyclovir, valacyclovir, dan
famcyclovir pada kasus HZ akut memberikan hasil bahwa;
o acyclovir dengan dosis 5x800 mg/hari selama 7-10 hari, efektif mempercepat
penyembuhan HZ, mengurangi nyeri terkait HZ, dan menurunkan prevalensi
NPH sebesar 50% pada 1-3 bulan setelah lesi muncul.
o valacyclovir 3x1 gr/hari selama 7 hari dan famcyclovir 3x500mg/hari selama
7 hari, lebih efektif mempercepat penyembuhan HZ, mengurangi nyeri terkait
HZ pada setidaknya 6 bulan setelah lesi muncul meskipun tidak terbukti
menurunkan prevalensi NPH secara signifikan.6
b. Untuk mengurangi rasa nyeri akut pada HZ, dapat diberikan:
o paracetamol atau NSAIDs (Analgesik non opioid) dapat diberikan pada nyeri
ringan hingga sedang. Seperti parasetamol 3x 500mg/hari, untuk mengatasi
keluhan nyerinya
o Analgesik opioid seperti oxycodone diberikan pada nyeri yang berat.
Pemberian opioid harus diperhatikan pada pasien lanjut usia terkait efek
samping dan interaksinya dengan obat golongan benzodiazepine,
antidepresan, atau anti-psikotik.
o Alternatif lain untuk mengatasi nyeri akut HZ yaitu dengan pemberian
kortikosteroid oral seperti prednisolon 50 mg/hari selama 7 hari dan 2 minggu
diturunkan secara bertahap.Pemberian kortikosteroid terbukti dapat
meredakan nyeri akut pada HZ bila dikombinasikan dengan agen antiviral,
namun tidak terbukti dapat menurunkan kejadian NPH. Penggunaan
kortikosteroid tanpa kombinasi dengan agen antiviral tidak direkomendasikan.
Kortikosteroid harus dihindari pada pasien dengan hipertensi, diabetes
mellitus, ulkus peptikum, osteoporosis, lanjut usia yang berisiko tinggi
mengalami efek samping yang lebih berat. Prednison biasanya digunakan
pada HZ dengan komplikasi pada system saraf seperti Bell’s palsy.6
c. Pemberian antidepresan atau antikonvulsan pada pasien HZ bertujuan untuk
mengatasi nyeri neuropati. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan
gabapentin, agen antikonvulsan, dapat menurunkan kejadian NPH dengan efek
samping yang banyak terjadi yaitu pusing dan somnolen.
o Gabapentin sebagai analgetik berperan menghambat pengeluaran
neurotransmiter eksitatori, dan menstimulasi pengeluaran anti hipersensitivitas
setelah kerusakan saraf perifer.
o Pregabalin juga bermanfaat untuk menurunkan kejadian NPH dimana
pregabalin juga berperan menghambat neurotransmiter eksitatori seperti
gabapentin.Sebuah studi menunjukkan bahwa pregabalin lebih efektif
dibandingkan gabapentin dimana pasien yang mendapat terapi pregabalin
lebih sedikit membutuhkan opioid daripada pasien yang mendapat terapi
gabapentin.
o Pemberian antidepresan juga berperan dalam menurunkan nyeri pada NPH
setelah 3-6 minggu dibandingkan dengan tanpa pemberian antidepresan. 6

 Topikal
a. Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio calamin dapat digunakan pada
lesi akut untuk mengurangi nyeri dan pruritus, kompres dengan solusio Burowi
(aluminium asetat 5%) dilakukan 4-6 kali sehari selama 30-60 menit.3
b. Antiinflamasi nonsteroid (AINS) topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau
etil eter, krim endometasin dan diklofenak banyak di pakai.3

Menurut Prof Dr R.S Siregar Sp KK (K) dalam bukunya Saripati penyakit kulit
mengatakan penatalaksanaan untuk Herpes Zoster yakni (a) Istirahat (b) untuk menurangi
Neuralgia dapat diberikan analgetik (c) Usahakan supaya vesikel tidak pecah dengan
pemberian bedak salisil 2% dan untuk menhindari infeksi skunder dapat diberikan antibiotik
lokal seperti salep Kloramfenikol 2% (d) Pengobatan spesifik belum ada, beberapa penulis
menganjurkan vitaminB1, suntikan Hipofisis 0,5-11cc/hari.11

Pengobatan dengan Imunomodulator seperti isiprinosin dan antivirus seperti interferon


dapat pula dipertimbangkan.4

J. EDUKASI
Mengedukasi untuk mempertahankan lesi kulit bersih dan kering agar tidak terjadi infeksi
sekunder, menyarankan memakai pakaian longgar, istirahat, makan dan minum yang cukup,
dan menghindari memanipulasi lesi seperti menggaruk dan mengoleskan sesuatu pada lesi
karena akan menyebabkan lesi sulit sembuh atau terbentuknya jaringa parut, serta berisiko
terjadinya infeksi sekunder.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed. 6 Jakarta: EGC.
2012. Hal 1447
2. Sjamsoe, Emmy, Menaldi, et al. Penyakit Kulit Yang Umum di Indonesia. Jakarta: PT
Medical Multimedia Indonesia. 2007. Hal 68
3. Menaldi SLSW. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed. 7 Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2016. Hal 121-123
4. Harahap Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Badan penerbit Hipokrates; 2000. Hal 92,
94.
5. Lubis, Ramona D. Varicella Dan Herpes Zoster. USU e-Repository. 2009. Hal 3-4
6. Belda Evina, Nisa khaerun, Ibrahim Aryanti.. Manajemen Kasus Herpes zoster yang beresiko
tinggi Neuralgia paska herpetik.Fakultas kedokteran Universitas lampung, Bagian kulit dan
kelamin Rumah Sakit Abdoel Moeloek Lampung. Volume 6 Nomor 1, Desember 2016. Hal
9,11,12,13.
7. Brown Graham Robin, Johny Bourke, Tim Cunliffe. Dermatologi Dasar Untuk Praktik
Klinik. Jakarta: Badan Penerbit EGC;2010. Hal 223.
8. Regina dan Wijaya Lorettha, Neuralgia Pascaherpetika. Dapertemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas kedokteran RS Atma Jaya, Jakarta, Indonesia. Volume 39 no 6. 2012.
Hal 416,417,418.
9. Adwinata Randy dan Suseno Endy. Peran Vaksinasi dalam pencegahan Herpes Zoster.
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Indonesia. CDK-241
vol.43 no 6 th 2016. Hal 433.
10. Sinaga Dameria. Pengobatan Herpes Zoster (HZ) Opthalmica Dextra dalam jangka pendek
serta Pencegahan Postherpetic Neuralgia (PHN). FK Uki. Volume 2 nomor 3. 2014. Hal 25.
11. Siregar. Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit EGC; 2004. Hal 85.
Seorang laki laki 42 tahun datang ke Balai Kesehatan Kulit , Kelamin dan

Kosmetika dengan mengeluhkan timbul gelembung – gelembung pada bagian perut

kanan keluhan disertai nyeri pada perut bagian kanan, nyeri biasa dirasakan ketika siang

hari dengan durasi sekitar 1-2 jam seperti di tusuk – tusuk. Pasien juga mengeluhkan

panas badan. Panas terus dirasakan pasien. Panas turun ketika pasien sudah

mengkonsumsi obat penurun panas. Riwayat penyakit keluarga dengan gejala yang sama

disangkal. Pasien mengaku tidak sedang mengonsumsi obat – obatan tertentu atau pernah

berobat sebelumnya. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi.


erpes zoster adalah manifestasi klinis karena reaktivasi virus varisela zoster

(VZV).

Karakteristik penyakit ini ditandai dengan adanya ruam vesikular unilateral yang

berkelompok dengan nyeri yang radikular sekitar dermatom. Dilaporkan kasus seorang

laki-laki 45 tahun, diagnosis herpes zoster kruris dextra, gambaran klinis berupa vesikel

bergerombol multipel, berbentuk bulat, dengan ukuran 0,3-0,5 cm diatas kulit

eritematosus, unilateral, tidak menyilang garis tengah, umur vesikel dalam satu

gerombolan sama, tetapi dengan gerombolan yang lain tidak sama, kulit diantara

gerombolan normal. Pemeriksaan penunjang tes Tzank, hasilnya negatif dengan tidak

ditemukannya sel giant multinukleat. Pengobatan diberikan asiklovir 5x800 mg per hari

diminum secara oral selama 7 hari, bedak salisil 1% dan mentol 0,5 % dioleskan dua

kali sehari pada lesi kering. Prognosis pasien baik.

Kata kunci : Herpes zoster, VZV, Cruris dextra, RSUP Sanglah

HERPES ZOSTER CRURIS DEXTRA: A CASE REPORT

ABSTRACT

Shingles is a diseases caused by varicella zoster virus reactivation (VZV). The

characteristic of this disease a vesicular rash unilaterally clusters with radicular pain

about dermatome. Here is a case report of a 45-year-old man, who was diagnosed with

shingles cruris dextra. Clinical manifestation of skin disorders are vesicles packs

multiple, spherical, with a size of 0.3-0.5 cm above the skin erythematosus, unilateral,

not crossing the midline, the age of vesicles same in one group, but neither same with

other group, the skin between areas was normal. Tzank test was negative; there were no

multinucleated giant cells. The patient was given acyclovir 5x800 mg daily orally for 7
days. Salicylic powder 1% and menthol 0,5% were applied twice a day on the dry

lesions. Patient's prognosis is good.

Keywords : Herpes zoster, VZV, Cruris dextra, RSUP Sanglah

PENDAHULUAN
erpes zoster adalah manifestasi klinis karena reaktivasi virus varisela zoster (VZV).

Karakteristik penyakit ini ditandai dengan adanya ruam vesikular unilateral yang

berkelompok dengan nyeri yang radikular sekitar dermatom. Dilaporkan kasus seorang

laki-laki 45 tahun, diagnosis herpes zoster kruris dextra, gambaran klinis berupa vesikel

bergerombol multipel, berbentuk bulat, dengan ukuran 0,3-0,5 cm diatas kulit

eritematosus, unilateral, tidak menyilang garis tengah, umur vesikel dalam satu

gerombolan sama, tetapi dengan gerombolan yang lain tidak sama, kulit diantara

gerombolan normal. Pemeriksaan penunjang tes Tzank, hasilnya negatif dengan tidak

ditemukannya sel giant multinukleat. Pengobatan diberikan asiklovir 5x800 mg per hari

diminum secara oral selama 7 hari, bedak salisil 1% dan mentol 0,5 % dioleskan dua

kali sehari pada lesi kering. Prognosis pasien baik.

Kata kunci : Herpes zoster, VZV, Cruris dextra, RSUP Sanglah

HERPES ZOSTER CRURIS DEXTRA: A CASE REPORT

ABSTRACT

Shingles is a diseases caused by varicella zoster virus reactivation (VZV). The

characteristic of this disease a vesicular rash unilaterally clusters with radicular pain

about dermatome. Here is a case report of a 45-year-old man, who was diagnosed with

shingles cruris dextra. Clinical manifestation of skin disorders are vesicles packs

multiple, spherical, with a size of 0.3-0.5 cm above the skin erythematosus, unilateral,

not crossing the midline, the age of vesicles same in one group, but neither same with

other group, the skin between areas was normal. Tzank test was negative; there were no

multinucleated giant cells. The patient was given acyclovir 5x800 mg daily orally for 7

days. Salicylic powder 1% and menthol 0,5% were applied twice a day on the dry

lesions. Patient's prognosis is good.


Keywords : Herpes zoster, VZV, Cruris dextra, RSUP Sanglah2

PENDAHULUAN

Herpes zoster atau shingles

merupakan manifestasi klinis karena

reaktivasi virus varisela zoster (VZV).

Selama terjadi infeksi varisela, VZV

meninggalkan lesi di kulit dan

permukaan mukosa menuju ujung saraf

sensorik. Kemudian menuju ganglion

dorsalis. Dalam ganglion, virus

memasuki masa laten dan tidak

mengadakan multiplikasi lagi.

Reaktivasi terjadi jika sistem imun

tubuh menurun. Karakteristik penyakit

ini ditandai dengan adanya ruam

vesikular unilateral yang berkelompok

dengan nyeri yang radikular sekitar

dermatom.1 Virus varicella zoster dapat

menyebabkan infeksi klinis utama pada

manusia yaitu varisela dan herpes

zoster. Varisela merupakan infeksi

primer yang terjadi pertama kali pada

individu yang berkontak dengan virus

varicella zoster. Varisela zoster

mengalami reaktivasi, menyebabkan

infeksi rekuren yang dikenal dengan

nama herpes zoster.2,3

Insiden terjadinya herpes zoster

meningkat sesuai dengan pertambahan

umur dan biasanya jarang mengenai

anak-anak.4 Di Amerika Serikat lebih


dari 1 juta kasus herpes zoster setiap

tahun dan lebih dari 90 persen orang

dewasa memiliki bukti serologi infeksi

virus varicella zoster dan beresiko

menjadi herpes zoster. Insiden herpes

zoster sekitar 3 - 4 kasus per 1000

orang. Orang yang berusia diatas 85

tahun dan tidak mendapatkan vaksinasi

beresiko 50% menderita herpes zoster

dan 3 % pasien memerlukan perawatan

di rumah sakit. Frekuensi untuk

terjadinya herpes zoster akan meningkat

jika seseorang terinfeksi human

immunodeficiency virus (HIV),

mengalami keganasan hematologi,

melakukan transplantasi organ atau

tulang belakang, menderita lupus

eritematosus dan sedang melakukan

terapi immunosupresif. Herpes zoster

terjadi dengan frekuensi yang lebih

tinggi pada orang yang seropositif HIV

daripada mereka yang seronegatif. Pada

orang yang seropositif HIV terjadi

insiden kasus 29,4% herpes zoster per

1000 orang setahun dibandingkan

dengan 2,0% kasus per 1000 orang

setahun dengan HIV seronegatif.2,3,5

Faktor risiko utama untuk herpes

zoster adalah bertambahnya usia.

Dengan meningkatnya waktu setelah

infeksi virus varicella, ada penurunan


tingkat kekebalan sel T terhadap virus

varisella zoster. Orang dengan riwayat

keluarga menderita herpes zoster akan3

lebih besar terkena herpes zoster

daripada orang yang tidak ada riwayat

keluarga herpes zoster. Varisela yang

terjadi saat dalam masa kandungan atau

awal masa kanak-kanak, dimana ketika

sistem kekebalan selular tidak

sepenuhnya matang, berhubungan

dengan herpes zoster di masa kanakkanak.2 Risiko terjadinya herpes zoster

sama untuk perempuan dan laki-laki.5

Komplikasi herpes zoster yaitu

neuralgia postherpetik (PHN) dan

masalah oftalmik. Neuralgia

postherpetik biasanya didefinisikan

sebagai rasa sakit pada dermatom yang

masih ada selama satu bulan setelah

onset ruam, kadang-kadang bisa terjadi

selama tiga bulan. Meskipun PHN dapat

hilang setelah beberapa bulan, juga

dapat berkembang menjadi sindrom

sakit terus-menerus. Komplikasi yang

lain pneumonitis dan ensefalitis.6,9

Laporan kasus ini membahas

herpes zoster, yang merupakan kasus

dermatofitosis yang sangat sering terjadi

pada masyarakat di Indonesia.

Penentuan diagnosis yang tepat serta

edukasi terhadap masyarakat sangatlah

penting untuk mencegah penyebaran


penyakit ini.

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki, Kt. A, sudah

menikah, berusia 45 tahun datang ke

poliklinik kulit dan kelamin RSUP

Sanglah pada tanggal 10 Februari 2014

dengan nomor RM 13015547. Pasien

datang dengan keluhan utama gatalgatal dan bintil-bintil berair di kaki.

Berdasarkan anamnesis didapatkan

keluhan bintil-bintil berair di kaki

kanan sejak lima hari sebelum ke RS,

tidak ada rasa gatal, terasa nyeri dan

panas. Bintil-bintil awalnya sedikit dan

berukuran kecil, lama kelamaan

semakin banyak dan membesar.

Sebelumnya muncul keluhan yaitu

pasien mengeluh pusing dan panas

badan. Riwayat pengobatan sebelumnya

pasien berobat ke Pukesmas dan

mendapatkan salep, bedak salisil

dipakai selama 2 hari tetapi tidak ada

perbaikan.

Pasien memiliki riwayat alergi

obat yaitu obat neviral dengan tipe

reaksi gatal-gatal. Pasien merasakan

nyeri akut pada kaki kanan. Tidak

ditemukannya riwayat penyakit

penyerta. Riwayat operasi dan transfusi

tidak ditemukan. Riwayat keluarga

tidak ada yang menderita keluhan yang

sama. Pada stigmata atopik, ptiriasis


alba negatif, mukosa hiperemia negatif.

Pada rambut tidak terjadi kerontokan.4

Tidak ada kelainan pada kuku. Pada

penilaian fungsi kelenjar keringat tidak

ditemukan hiperhidrosis. Pembesaran

kelenjar limfe dan penebalan saraf

negatif. Tekanan darah 100/70 mmHg,

suhu 36oC. Status internus pasien dalam

batas normal.

Pada status dermatologi terdapat

lokasi pada region kruris dextra dengan

bentuk kelainan kulit vesikel

bergerombol multipel, berbentuk bulat,

dengan ukuran 0,3 - 0,5 cm di atas kulit

eritematosus, unilateral, tidak

menyilang garis tengah, umur vesikel

dalam satu gerombolan sama, tetapi

dengan gerombolan yang lain tidak

sama, kulit diantara gerombolan normal.

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu tes

Tzank, hasilnya negatif dengan tidak

ditemukannya sel giant multinukleat.

Diagnosis kerja adalah herpes zoster

kruris dextra. Pengobatan diberikan

asiklovir 5x800 mg per hari diminum

secara oral selama 7 hari, pemberian

secara topikal bedak salisil 1% dan

mentol 0,5 % dioleskan dua kali sehari

pada lesi kering. Prognosis pasien baik.

DISKUSI

Virus varisella zoster merupakan


satu virus yang dapat menyebabkan dua

penyakit. Infeksi VZV primer juga

dikenal dengan cacar, biasanya terjadi

pada masa kanak-kanak, namun infeksi

VZV berlanjut menginfeksi individu

seumur hidup, virus kemudian

berkembang di sepanjang sumsum

tulang di ganglia dorsalis. Biasanya

virus varisela zoster mengalami

reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren

yang dikenal dengan nama herpes zoster

atau shingles. Cara utama penularan

herpes zoster yaitu ditularkan melalui

orang ke orang yang kontak langsung

cairan dari kulit yang lesi atau terinfeksi

dari sekresi pernapasan.7,10

Herpes zoster adalah akibat dari

infeksi VZV yang mengalami reaktivasi

setelah masa dorman di ganglion

dorsalis. Mula-mula penderita

mengalami demam atau panas, sakit

kepala, lemas dan fotofobia akut disertai

nyeri yang terbatas pada satu sisi tubuh

saja. Pada fase akut selanjutnya muncul

makula kecil eritematosa di bagian

tubuh yang nyeri, dalam 1-2 hari akan

berubah cepat menjadi papul dan

kemudian berkembang menjadi vesikel,

semakin hari menyebar dan membesar,

dapat disertai dengan rasa gatal dan

nyeri yang tak tertahankan.


Kemunculan vesikel baru lebih dari satu

minggu hal tersebut berhubungan

dengan sindrom imunodefisiensi. Cairan5

vesikel akan menjadi keruh disebabkan

masuknya sel radang sehingga akan

menjadi pustula. Lesi kemudian akan

mengering yang diawali pada bagian

tengah sehingga terbentuk umbilikasi

dan akhirnya akan menjadi krusta dalam

waktu yang bervariasi antara 2-12 hari,

krusta akan lepas dalam waktu 1-3

minggu, dan sembuh dalam waktu 3-4

minggu.4,7,8,10

Pada kasus, lokasi herpes zoster

kruris dextra, ditemukan vesikel

bergerombol multipel, berbentuk bulat,

dengan ukuran 0,3 – 0,5 cm diatas kulit

eritematosus bersifat unilateral, tidak

menyilang garis tengah, umur vesikel

dalam satu gerombolan sama, tetapi

dengan gerombolan yang lain tidak

sama, kulit diantara gerombolan normal.

Hal ini sesuai dengan herpes zoster

kruris dextra.

Diagnosis banding yaitu herpes

simpleks, biasanya didahului gejala

sistemik seperti demam, anoreksia dan

malaise dengan gejala klinis ditemukan

vesikel yang berkelompok diatas kulit

yang eritematosa, terdapat cairan yang

jernih kemudian bisa menjadi


seropurulen. Bisa ditemukan krusta dan

ulserasi yang dangkal. Lokasi pada bibir

atau genitalia. Dermatitis venenata,

dengan gejala klinis ditemukan eritema,

edema, vesikel, bula, dan rasa panas di

daerah kontak.11

Untuk menegakkan diagnosis

secara pasti dapat dilakukan

pemeriksaan laboratorium polymerase

chain reaction (PCR) merupakan tes

yang paling sensitif dan spesifik dengan

sensitifitas berkisar 97-100%,

membutuhkan setidaknya satu hari

untuk mendapatkan hasilnya. Dengan

metode ini dapat digunakan berbagai

jenis preparat seperti scraping dasar

vesikel dan apabila sudah berbentuk

krusta dapat juga digunakan sebagai

preparat. Tes ini dapat menemukan

asam nukleat dari virus varicella

zoster.4,7,10 Dapat juga dilakukan

pemeriksaan direct fluorescent assay

(DFA) hasil dari pemeriksan ini cepat

untuk mendiagnosis herpes zoster.

Preparat diambil dari scraping dasar

vesikel. Tes ini dapat menemukan

antigen virus varicella zoster dan dapat

membedakan antara virus herpes zoster

dan virus herpes simpleks dengan

sensitivitas 90%.4,5,7 Dapat dilakukan

pemeriksan tes Tzank, preparat diambil


dari discraping dasar vesikel yang

masih baru kemudian diwarnai dengan

Hematoxylin Eosin, Giemsa, Wright

toluidine blue. Preparat diperiksa

dengan menggunakan mikroskop6

cahaya. Hasil positif akan menunjukkan

sel giant multinuleat. Tes ini tidak dapat

membedakan antara virus varicella

zoster dengan herpes simpleks virus.

Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar

84%.4 Pemeriksaan kultur virus

merupakan pemeriksaan yang sangat

spesifik tetapi hasilnya ditunggu 1-2

minggu dan VZV hanya terdeteksi

60%-70% dari spesimen.10

Pada kasus dilakukan

pemeriksaan penunjang tes Tzank

dengan hasil tidak ditemukannya sel

giant multinukleat.

Tujuan utama terapi pada pasien

herpes zoster yaitu untuk mempercepat

penyembuhan, mencegah kearah yang

lebih parah, mengurangi rasa nyeri akut

dan kronis dan mengurangi komplikasi.3

Terapi antiviral yang dapat diberikan

asiklovir, famciclovir, valacyclovir,

obat ini dapat menghambat polimerase

VZV. Secara umum obat ini aman dan

ditoleransi aman pemberian pada orang

tua. Efek samping biasanya mual,

muntah, diare, sakit kepala pada 8%-


17% pasien.12 Asiklovir diberikan 5 kali

800 mg sehari selama 7 – 10 hari atau

famciclovir diberikan 250-500 mg 3

kali sehari selama 7 hari. Obat ini

diekresikan di ginjal sehingga dosisnya

harus disesuaikan karena

memungkinkan terjadinya insufisiensi

ginjal atau alternatif obat lain yaitu

valacyclovir diberikan sebanyak 1000

mg 3 kali sehari. Dosis harus

disesuaikan pada pasien dengan

insufisiensi ginjal, trombotik

trombositopeni purpura atau hemolitik

uremik sindrom dan dosis 8000 mg

sehari pada pasien dengan defisiensi

sistem imun.2,3,10,12 Antibiotik diberikan

bila ada infeksi sekunder misalnya kulit

menjadi bernanah dan terkelupas.8

Untuk pengobatan secara topikal

diberikan tergantung stadium herpes

zoster. Pemberian bedak dapat

diberikan jika masih dalam stadium

vesikel tujuannya supaya vesikel tidak

pecah sehingga tidak terjadi infeksi

sekunder. Dilakukan kompres terbuka

bila terjadi erosif dan dapat diberikan

salep antibiotik bila terjadi ulserasi.11

Pada kasus diberikan asiklovir

5x800 mg per hari diminum secara oral

selama 7 hari, pemberian secara topikal

bedak salisil 1% dan mentol 0,5 %


dioleskan dua kali sehari pada lesi

kering. KIE (komunikasi, informasi,

edukasi) diberikan untuk mencegah

penularan, menjaga lesi tetap kering,

dan menjaga kebersihan lesi untuk

mengurangi resiko superinfeksi bakteri.7

Prognosis pasien baik jika mendapatkan

pengobatan secara dini.7,10,11

SIMPULAN

Seorang laki-laki berusia 45

tahun menderita herpes zoster kruris

dextra. Pada pasien ditemukan vesikel

bergerombol multipel, berbentuk bulat,

dengan ukuran 0,3-0,5 cm diatas kulit

eritematosus, unilateral, tidak

menyilang garis tengah, umur vesikel

dalam satu gerombolan sama, tetapi

dengan gerombolan yang lain tidak

sama, kulit diantara gerombolan normal.

Diberi pengobatan asiklovir 5x800 mg

per hari diminum secara oral selama 7

hari, pemberian secara topikal bedak

salisil 1% dan mentol 0,5 % dioleskan

dua kali sehari pada lesi kering.

Prognosis pasien baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Shyang JJ, Yi-Ju C, Ming-Wei

L, Yu-Chun C, Tzeng-Ji C, YuLin H, dkk. Epidemiological

Features and Cost of Herpes

Zoster in Taiwan : a national

study 2000-2006. Acta Derm


Venereol 2009 ; 89: 612-616.

2. Cohen J. Herpes Zoster. N Engl

J Med 2013; 369: 255-63.

3. Gnann J, Richard J W. Herpes

Zoster. N Engl J Med 2002, vol.

347, no 5.

4. Dumasari R. Varicella dan

Herpes Zoster. Departemen Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Sumatera Utara. 2008.

5. Schmader K, John W G, C Peter

W. The Epidemiological,

Clinical, and Pathological

Rationale for Herpes Zoster

Vaccine. JID 2008: 197.

6. Opstelted W, Just E, Arie K,

Theo V. Treatment of Herpes

Zoster. Can Fam Physician

2008; 54:573-7.

7. Weaver B. Herpes Zoster

Overview Natural History and

Incidence. J Am Osteopath

Assoc. 2009;109 (2); s2-s6.

8. Hanindyoputro DF, Abdullah A,

Jenry W, Rusmiyati, Toni W,

Sukmawati, dkk. Pedemon

Pengobatan Dasar di Pukesmas.

Departemen Kesehatan RI.

2007.

9. Roxas M. Herpes Zoster and

Postherpetic Neuralgia:
Diagnosis and Therapeutic

Consideration. Alternative

Medicine Review 2006 vol 11

no 2.8

10. Dworkin R, Robert WJ, Judith

B, John WG, Myron JL,

Miroslav B, dkk.

Recommendation for the

Management of Herpes Zoster.

Clinical Infectious Diseases

2007; 44: S1-26.

11. Handoko RP. Penyakit Virus.

Dalam: Djuanda A, Mochtar H,

Siti A, penyunting. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi-6. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta.

2009; h. 110-112.

12. Schmader K. Herpes Zoster in

Older Adults. Clinical Infectious

Diseases 2001; 32: 1481-6.

Anda mungkin juga menyukai