Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome


(HIV/AIDS) adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara
di seluruh dunia. Berdasarkan data estimasi World Health Organization (WHO),
jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2012 sebesar 35,3 juta orang
dengan mortalitas akibat AIDS mencapai 1,6 juta orang.1

Sejak ditemukan pertama kali, infeksi Human Immunodeficiency Virus


(HIV) masih merupakan suatu masalah epidemiologi yang serius dan mengancam
banyak negara di seluruh dunia. Infeksi HIV menyerang pusat kontrol dari sistem
imun yang mengakibatkan infeksi oportunistik, keganasan dan kematian.2

Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak pertama kali dilaporkan pada


tahun 1987 terus mengalami peningkatan. Berdasarkan estimasi the Joint United
Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) pada tahun 2012, jumlah kasus HIV
di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di Asia Pasifik setelah India dan
Cina. Hingga tahun 2013 dilaporkan jumlah kumulatif kasus HIV mencapai
127.416 orang dan AIDS 52.348 orang dengan angka mortalitas mencapai 9.585
orang. Jumlah kasus AIDS pada laki-laki (28.846) lebih banyak dari perempuan
(15.565) dengan mayoritas pada usia produktif. Risiko penularan HIV-AIDS di
Indonesia paling tinggi berasal dari hubungan seksual (62,5%) dikuti dengan
narkoba suntik (16,1%), perinatal (2,7%) dan homoseksual (2,4%).1,3

Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi terbaik bagi


pasien terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) hingga saat ini. Tujuan
utama pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus (viral load), sehingga
akan meningkatkan status imun pasien HIV dan mengurangi kematian akibat
infeksi oportunistik. Pada tahun 2015, menurut World Health Organization (WHO)
antiretroviral sudah digunakan pada 46% pasien HIV di berbagai negara.
Penggunaan ARV tersebut telah berhasil menurunkan angka kematian terkait

1
HIV/AIDS dari 1,5 juta pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta pada tahun 2015.
Antiretroviral selain sebagai antivirus juga berguna untuk mencegah penularan HIV
kepada pasangan seksual, maupun penularan HIV dari ibu ke anaknya. Hingga pada
akhirnya diharapkan mengurangi jumlah kasus orang terinfeksi HIV baru di
berbagai negara.4

Pada referat ini akan dibahas mengenai B20 dimana lebihhh memfokuskan
pada patofisiologi perjalanan penyakitnya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah
Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS
adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang
disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang.5

2.2 Patogenesis dan Patofisiologi

Gambar 1. Virus masuk di mukosa membran/kulit dalam 24 jam post exposure,virus


masuk atau ditangkap oleh dendritic cells di mukosa membran/kulit, terjadi dalam 2 hari
pertama infeksi

3
Gambar 2. Infeksi menjalar ke seluruh jaringan dalam 3 hari, infeksi menyebar ke
macrofag jaringan mengaktifkan CD4 sel dalam lymph node, masuk dalam peredaran
darah.

Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini
berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat
mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu hiv
akan menimbulkan penurunkan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya
homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini
akan menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas. Gejala
penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas
seluler, disamping imunitas humoral karena ganggual sel T helper untuk
mengaktifasi sel limfosit B. HIV menimbulkan patologi penyakit melalui
beberapa mekanisme, antara lain terjadi defisiensi imun yang menimbulkan

4
infeksi oportunistik, terjadinya reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas dan
kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.6
Infeksi hiv terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi
melalui mukosa genital, transmisi langsung keperedaran darah melalui jarum
suntik dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV
memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada
permukaan sel penjamu. Namun ternyata reseptor CD4 saja ternyata tidak cukup.

Gambabr 3. Entri dan Replikasi HIV ke dalam limfosit CD4+.7

Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi dapat
terinfeksi oleh HIV. Disamping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin
yang mempunyai peran sangat penting dalam proses masuknya HIV kedalam sel
yaitu CCR5 dan CXCR4.6
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. 7

5
6
7
8
9
Kejadian infeksi HIV primer dapat di pelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+
dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke
kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual pada
di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan
hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV
dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan
SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV.
Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun
secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun
spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel
limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel
limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi
HIV berada pada keadaan ‘steady-state’ beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi
ini bertahan relatif selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi.
Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian
juga dengan perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas kapasitas
replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.6
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,
namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai ke level ‘steasy-state’. Walaupun antibodi ini umumnya
memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata
tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh
antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya
mengatasi situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah
sehingga netralisasi yang di perantarai antibodi tidak dapat terjadi.6,7
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup dia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk
pada tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi
10
HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit
tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan
sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.6

Gambar 4. Fase-fase infeksi HIV. Periode waktu antara serokonversi HIV dan munculnya
gejala dapat sekitar 10 tahun atau kurang. 7

Infeksi HIV tidak akan berlangsung memperlihatkan tanda atau gejala


tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6
minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
perjalanannya lambat (non-progressor).6
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkolosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lain.6
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak
menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang terinfeksi
HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang

11
makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik
(tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV.
Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekbalan tubuh adalah kerusakan
mikro arsitektur folikel kelenjar getah beningdan infeksi HIV yang luas di
jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ.
Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi.6
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini di sertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.6,7
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari
80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung
juga adalah penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya
tidak di temukan pada yang tidak tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan
jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis.
Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin mudah ia
terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan
menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya
dengan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivitas virus di
dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif.6
Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini
tercermin dari hasil penelitian di RS dr. Cipto Mangunkusomo pada 57 pasien
HIV asimptomatik yang berasal dari pengguna narkotika, dengan kadar CD4
lebih dari 200 sel/mm3. Ternyata 56,14% mempunyai jumlah virus dalam darah
(viral load) yang melebihi 55.000 kopi/ml, artinya penyakit infeksi HIV nya
progresif, walaupun kadar CD4 relatif masih cukup baik.6

12
2.3 Tanda dan gejala HIV6

Pembesaran kelenjar getah bening Persistent generalized


lymphadenopathy
Penurunan berat badan yang tidak Wasting syndrome
bisa dijelaskan
Infeksi saluran napas atas berulang Tonsilitis, sinusitis, otitis media,
faringitis
Kelanan kulit Herpes zoster, papular preritic
eruptions, dermatitis seboroik
Keluhan dirongga mulut dan Angular cheilitis, sariawan, candidiasis
saluran makan atas ulserative stomatitis, ginggivitis atau
periodontitis
Infeksi jamur dikuku
Diare kronik lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan
Nafsu makan menurun
Gejala tuberkulosis paru dan ekstra
paru
Infeksi berat Pneumonia, emfisema, meningitis,
pelvic inflammatory dosease
Kelainan darah Anemia yang tidak jelas sebabnya,
trombositopenia kronik
Jamur paru Pneumonia jirovecii
Infeksi menular seksual Herpes simpleks, sifilis
Infeksi jamur sistemik Histoplasmosis
Gangguan penglihatan Infeksi sitomegalivirus
Kebas atau kesemutan pada tangan
dan kaki
Kelemahan otot

13
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan
serologic untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan
untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh
dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus , deteksi antigen, dan deteksi
materi genetik dalam darah pasien.6
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap
antibodi HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-
linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunbinding assay.
Metode yang biasanya digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA.6
Hal yang perlu diperhatiksn dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV
ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi
HIV sampai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan.
Antibodimulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa
ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat
memeberikan hasil yang negative. Untuk itu, jika kecurigaan akan adanya resiko
terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan
kemudian.6

PEMERIKSAAN ANTIGEN
Salah satu cara pemeriksaan langsung terhadap virus HIV untuk
mendiagnosis HIV adalah pemeriksaan antigen p24 yang ditemukan pada serum,
plasma, dan cairan serebrospinal. Kadarnya meningkat saat awal infeksi dan
beberapa saat sebelum penderita memasuki stadium AIDS. Oleh karena itu
pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai alat monitoring terapi ARV.
Sensitivitas pemeriksaan ini mencapai 99% dan spesifitasnya lebih tinggi hingga
99.9%. pada penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat positif hingga 45
hari setelah infeksi, sehingga pemeriksaan antigen p24 hanya dianjurkan sebagai
pemeriksaan tambahan pada penderita risiko tinggi tertular HIV dengan hasil
pemeriksaan serologis negatif, dan tidak dilanjutkan sebagai pemeriksaan awal

14
yang berdiri sendiri. Pemeriksaan antigen p24 juga dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis HIV pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif.
Sensitifitas-nya bervariasi sesuai umur dan stabil pada bayi berumur lebih 1
bulan.6
KULTUR HIV

HIV dapat di kultur dari cairan plasma, serum, peripheral blood


mononuclear cells (PBMCs), cairan serebrospinal, saliva, semen, lendir serviks,
serta ASI. Kultur HIV biasanya tumbuh dalam 21 hari. Pada saat ini kultur hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian, karena nilai diagnostiknya telah
digantikan oleh pemeriksaan HIV-RNA yang lebih mudah, murah dan lebih
sensitif.6

HIV-RNA
Jumlah HIV-RNA atau sering disebut juga ‘viral load’ adalah pemeriksaan
yang menggunakan teknologi PCR untuk mengetahui jumlah HIV dalam darah.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang penting untuk mengetahui
dinamika HIV dalam tubuh. Pemeriksaan HIV-RNA saat berguna untuk
mendiagnosis HIV pada keadaan pemeriksaan serologis belum bisa memberikan
hasil (misalnya window period atau bayi yang lahir dari ibu HIV positif) atau
pemeriksaan serologis memberikan hasil indeterminate. HIV-RNA dapat positif
pada 11 hari setelah terinfeksi HIV sehingga menurunkan masa jendela pada
skrining donor darah. Selain untuk diagnosis HIV-RNA juga merupakan
merupakan alat paling penting dalam monitoring pengobatan ARV saat ini. Hasil
negatif semu dapat ditemukan karena penggunaan plasma heparin, variasi
genomik HIV, kegagalan primer/probe atau jumlah virus yang kurang dari batas
minimal deteksi alat pemeriksaan. Sedangkan hasil positif semu dapat juga
terjadi terutama akibat kontaminasi bahan pemeriksaan. Hasil positif semu ini
dapat dicegah dengan mengsyaratkan PCR positif bila ditemukan 2 atau lebih
produk gen.6

15
PEMERIKSAAN ANTIBODI
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV secara
umum diklarifikasikan sebagai pemeriksaan skrining dan pemeriksaan
konfirmasi. Metode yang paling banyak digunakan untuk pemeriksaan skrining
adalah Enzemy linked immunosurbent assay (ELISA), karena metode ini
dianggap merupakan metode yang paling cocok digunakan untuk skrining
spesimen dalam jumlah besar seperti donor darah. Metode ELISA mengalami
perkembangan dengan menggunakan antigen yang dilabel sebagai konjugat
sehingga hasil pemeriksaan sangat sensitif dan dapat mengurangi masa jendela.
Untuk lebih mempersingkat masa jendela, pada ELISA untuk generasi 4 dibuat
pemeriksaan yang dapat mendeteksi baik antibodi dan antigen HIV.6
Selain ELISA, metode lain untuk pemeriksaan serologi lain yang dapat di
gunakan adalah pemeriksaan sederhana yang tidak membutuhkan alat seperti
aglutinasi, imunifiltrasi (flow through tests), imunokromatografi (lateral flow
tests), dan uji celup (dipstick). Hasil yang positif pada metode ini di indikasikan
dengan timbulnya bintik atau garis yang berwarna atau ditemukan pola
aglunitasi. Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dikerjakan kurang dari 20 menit,
sehingga seringkali disebut uji cepat dan sederhana (simple/rapid,S/R).
Pemeriksaan dengan metode yang sederhana ini sangat sesuai digunakan pada
pelayanan pemeriksaan dan konseling serta pada laboratorium dengan fasilitas
yang terbatas dengan jumlah spesimen perhari yang tidak terlalu banyak.6
Sampai saat ini, pemeriksaan konfirmasi yang paling penting sering
digunakan adalah pemeriksaan Western Blot (WB). Sayangnya, pemeriksaan ini
membutuhkan biaya yang besar dan seringkali memberikan hasil yang
meragukan. Berbagai penelitian menemukan bahwa kombinasi metode ELISA
dan uji cepat dapat memberikan hasil yang setara dengan metode Western Blot
dengan biaya yang lebih rendah. WHO dan UNAIDS merekomendasikan
penggunaan kombinasi ELISA dan atau uji cepat untuk pemeriksaan antibodi
terhadap HIV dibandingkan dengan kombinasi ELISA dengan WB. Hasil
pengujian bebrapa uji cepat dibandingkan ELISA dan WB, menemukan bahwa
banyak uji cepat sudah memeliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik.6
16
2.5 Klasifikasi stadium HIV 5,6

Definisi Kasus HIV berdasarkan Stadium WHO untuk Dewasa dan Anak

17
2.6 Penatalaksanaan

HIV AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti
retrovirsl, disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan mordibitas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV AIDS menjadi lebih sehat,
dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dapat dicapai melalui
pulihnya system kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap
infeksi oportunistik.6
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberaoa jenis yaitu: a).
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV), b). pengobatan untuk mengatasi brbagai penyakit infeki dan kanker yang
menyertai infeksi HIV AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma,
sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks, c). pengobatan suportif, yaitu
makanan yang mempunyai nlai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung
lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang
cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut,
angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.6

TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)

Manfaat pemberian ARV, yaitu:6

1. Menuruntunkan angka kematian. Sejak dilaksanakan terapi ARV dengan


subsidi penuh di Indonesia tahun 2004 terjadi penurunan angka kematian di
masyarakat secara nyata yaitu tahun 2006 sebesar 48%dan tahun 2008
sebesar 17%
2. Menurunkan resiko perawatan rumah sakit. Biaya untuk perawatan di
rumah sakit amat besar karena obat-obat untuk infeksi oportunistik sebagian
mahal dan penderita umumnya memerlukan waktu perawatan yang lama.

18
3. Menekan viral load. Dalam waktu sekitar 6 bulan terdapat 80% ODHA
yang berobat di RSCM hasil pemeriksaan viral loadnya tidak terdeteksi.
4. Memulihkan kekebalan. Pemberian ARV akan meningkatkan CD4
sehingga tubuh ODHA pulih kekebalannya.
5. Menurunkan resiko penularan. Berbagai penelitian menunjukan bahwa
pemberian ARV secara dini pada pasien di Scotlandia (pasien yang salah
satunya terinfeksi HIV) mampu menurunkan resiko penularan sebesar 96%
maka dari itu timbul pemahaman bahwa pengobatan ARV merupakan
pencegahan juga (treatment as prevention).
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kondisi kesehatan odha
menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar
diobati, menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit yain yang berat, seperti
infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan.
Pneumonia pneumocystis carinii pada odha yang hilang timbul, biasanya
mengharuskan odha minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang
dengan minum obat ARV teratur, banyak odha tidak memerlukan minum obat
profilaksis terhadap pneumonia.6
Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seprti Sarkoma
Kaposi dan limfoma dikarenakan pemberian obat-obat antiretroviral tersebut.
Kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus.penekanan terhadap
replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sikotin dan protein virus yang
dapat menstimulasi pertumbuhan Sarkoma Kaposi. Selain itu pulihnya
kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat membentuk respon imun yang
efektif terhadap human hervesvirus 8 (HHV-8) yang dihubungkan dengan
kejadian Sarkoma Kaposi.6
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan sperti nucleoside reverse
trnscriptase inhibitor, nucleotidereverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Tidak semua ARV yang
ada telah tersedia di Indonesia.5,6

19
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama
karena obat ARV akan di berikan dalam jangka panjang. Obat ARV
direkomendasikan pada pasien yang memiliki HIV +, telah menunjukan gejala
yang termaksuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukan gejala yang
sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga
direkomendasikan pada pasien dengan limfosit CD4 kurang dari 350 sel/mm³.
pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm³ dan viral load
lebih dari 100.000kopi/mm terapi ARV dapt dimulai, namun dapat pula ditunda.
Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih
dari 350 sel/mm³ dan viral load kurang dari 100.000kopi/mm.6
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah
kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa rigmen yang dapat di
pergunakan, dengan ke unggulan dan kekurangannya masing-masing.
Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan di
Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/lamivudine(3TC),nevirapin
(NVP), stavudin (D4T), dan efavirenz (EFV). Penggunaan d4T (stavudin) dalam
waktu tidak terlalu lama karena efek samping dalam jangka panjang yaitu
lipodisatropi dan efak metabolik. Pada pengguna ARV ini 2 digunakan

20
Tenofovir, lopi/ritonavir, efek samping Tenofovir yaitu gangguan fungsi ginjal,
osteoforosis, sedangkan efek samping PI adalah gangguan metabolik.6

Tabel kombinasi obat ARV untuk Terapi Inisial


Kolom A Kolom B
Lamivudine + zidovudin Evafirenz*
Lamivudine + dianosin
Lamivudine + stavudin
Lamivudine + zidovudin Nevirapin
Lamivudine + stavudin
Lamivudine + dianosin
Lamivudine + zidovudin stavudin
Lamivudine + stavudin
Lamivudine + dianosin
*Tidak pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi untuk hamil
Catatan: kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah zidovudin + stavudin.5,6

Selain interaksi ARV dengan OAT terdapat juga interaksi ARV dengan obat
lain yaitu, Tenovofir denga ddl (videx), dan PI dengan statin.

EVALUASI PENGOBATAN

Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan indicator yang dapat
dipercaya untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan
memudahkan kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan ARV,
jika tidak terdapat saranapemeriksaan CD4, maka jumlah CD4 dapat
diperkirakan dari jumlah limfosit total yang sudah dapat di kerjakan di banyak
laboratorium pada umumnya.6
Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosis dan
menduga staging pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah
limfosit CD4. Sekarang ini sudah ada tambahan para meter baru yaitu hitung
virus HIV dalam darah (viral load) sehingga upaya tersebut menjadi lebih tepat.
21
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral
load, kita dapat memperkirakan resiko kecepatan perjalanan penyakit dan
kematian akibat HIV. Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau
efektiftas obat ARV. Sejak awal pengobatan ARV, masalah kegagalan terapi
ARV lini pertama menjadi hal yang banyak diteliti.6
Obat-obat golongan protease inhibitor (pls) seperti lopinavir/ritonavir,
atazanavir, squanavir, fosamprenavir dan darunavir memiliki barrier genetic
yang tinggi terhadap risistensi. Obat golongan lain memiliki barrier yang rendah.
Walau demikian, kebanyakan pasien yang mendapatkan Pls- terkait HAART
(highly active anti-retroviral therapy) yang mengalami kegagalan virologis
biasanya memiliki strain virus HIV yang masih sensitive. Kecuali bila digunakan
dalam jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi golongan risisten
dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologis.6
Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresis
penyakit secara klinis mulai setelah > 6 bulan memakai ARV.. Pada WHO
stadium 3: penurunan BB 10% diare atau demam > 1 bulan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya, oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bacterial yang berat
atau “bedridden” lebih dari 50% dari satu bulan terakhir.6
Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau dalam 4 minggu
penghentian regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes risistensi merupakan
hal yang kompleks, bahkan terkadang lebih baik di kerjakan oleh ahlinya.6

22
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Ruangan : Dahlia

Nama : Tn. Markus Duma

Umur : 39 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Pertambangan

Alamat : Pasangkayu

Status : Menikah

Tanggal Masuk RS : 14 November 2018

CATATAN RIWAYAT PENYAKIT

Anamnesis : Autoanamnesis

Keluhan Utama : Sesak

Anamnesis Terpimpin :

Pasien masuk dengan keluhan sesak yang dirasakan sejak ± 5 hari SMRS.
Batuk (+) tidak berdahak sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga mengeluhkan demam
(+) 5 hari SMRS, sakit kepala (+) sejak 2 hari SMRS, pusing (-), mual (-), muntah
(+), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar, nafsu makan menurun (+), berat badan turun
dari 60 kg menjadi 57 kg dalam 1 minggu. Pasien juga mengeluhkan rasa gatal dan
perih pada perut kiri dan paha kiri dialami sejak 2 hari. Pasien tidak mengonsumsi
obat-obatan terlarang, tidak memiliki tattoo. Pasien mengaku pernah berganti-ganti
pasangan berhubungan 4 tahun yang lalu sebelum menikah.

23
Riwayat penyakit sebelumnya:

- Riwayat hipertensi (-)


- Riwayat penyakit jantung (-).
- Riwayat DM (-)

Pemeriksaan fisik:

- SS/GK/CM
- BB = 57 kg; TB: 180 cm; IMT:17,59 kg/m2
- Tanda vital:
TD: 120/80 mmHg N: 110x/menit P: 28x/menit S:37,20C

- Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, bibir tidak


sianosis.

- Leher : tidak terdapat pembesaran kelejar getah bening

- Thorax
Inspeksi : simetris kiri dan kanan, ikut gerak napas, bentuk
normochest, retraksi (-)
Palpasi : tidak ditemukan massa tumor dan nyeri tekan, vokal
fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : bunyi pernapasan vesikuler, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)

- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, gallop (-), murmur (-)

24
- Abdomen :
Inspeksi : datar, lemas, terdapat vesikel-vesikel (+) pada regio
lumbalis sinistra
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : NTE (+), massa (-), Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba
Perkusi : Timpani

- Ekstremitas :
Terdapat vesikel-vesikel (+) pada regio femur sinistra

Edema (-)

Akral hangat (+)

Diagnosis Sementara:

- B20

Penatalaksanaan:

- IVFD RL 18tpm
- Kotrimoksazol 480mg 1x2 tablet
- Pemberian ARV
Kombinasi 3 dosis tetap : Tenofovir 300mg + Lamivudin 150mg +
Efavirenz 600mg

Rencana Pemeriksaan:

- Rapid Test
- GDS
- Elektrolit
- DR
- SGOT, SGPT
- Ureum, Creatinin

25
Pemeriksaan Laboratorium:

HIV (+) reaktif


WBC 9.2 103/ul
RBC 3.40 106/ul
HGB 11.6 g/dl
HCT 32.7%
MCV 83 fL
MCH 27.3 ps
MCHC 32,7 g/dl
PLT 303 103/ul
LYM% 14,8%
MXD% 12.4%
NEUT% 76,6%
LYM# 1,60 103/ul
MXD# 0.8x103/ul
NEUT# 8,29x103/ul
RDW 15.3%
PDW 12,5 fL
MPV 7,9 fL
P-LCR 14.8%

 SGOT : 30,9
 SGPT : 42,5
 Ureum : 22,8
 Creatinin : 0,50
 Elektrolit : Na 129 nmol/L
K 4,2 nmol/L
Cl 96 nmol/L

26
RESUME

Pada kasus, pasien laki-laki, usia 39 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
sesak yang dirasakan sejak ± 5 hari SMRS. Batuk (+) berdahak sejak 2 minggu
SMRS. Pasien juga mengeluhkan demam (+) 5 hari SMRS, sakit kepala (+) sejak 2
hari SMRS, pusing (-), mual (-), muntah (+), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar. Pasien
juga mengeluhkan adanya nyeri pada mulut, nafsu makan menurun (+), berat badan
turun 3 kg dalam 1 minggu. Pasien juga mengeluhkan rasa gatal dan perih pada
perut kiri dan paha kiri dialami sejak 2 hari. Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan
terlarang, tidak memiliki tattoo. Pasien mengaku pernah berganti-ganti pasangan
berhubungan 4 tahun yang lalu sebelum menikah.

Pada pemeriksaan fisik, berdasarkan perhitungan index massa tubuh (IMT)


pasien digolongkan gizi kurang, terdapat Rhonki + pada kedua paru. Terdapat
vesikel-vesikel pada perut dan paha sebelah kiri. Berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium pasien didiagnosis B20.

27
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus, pasien laki-laki, usia 39 tahun masuk rumah sakit dengan
keluhan sesak yang dirasakan sejak ± 5 hari SMRS. Batuk (+) berdahak sejak 2
minggu SMRS. Pasien juga mengeluhkan demam (+) 5 hari SMRS, sakit kepala
(+) sejak 2 hari SMRS, pusing (-), mual (-), muntah (+), BAB (+) biasa, BAK
(+) lancar. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada mulut, nafsu makan
menurun (+), berat badan turun 3 kg dalam 1 minggu. Pasien juga mengeluhkan
rasa gatal dan perih pada perut kiri dan paha kiri dialami sejak 2 hari. Pasien
tidak mengonsumsi obat-obatan terlarang, tidak memiliki tattoo. Pasien
mengaku pernah berganti-ganti pasangan berhubungan 4 tahun yang lalu
sebelum menikah.

Infeksi HIV dapat terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi
melalui mukosa genital, transmisi langsung keperedaran darah melalui jarum
suntik dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Pada kasus, transmisi infeksi HIV
melalui mukosa genital dimana pasien memiliki riwayat sering berganti-ganti
pasangan berhubungan seksusal 4 tahun yang lalu.6
HIV akan menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang
memiliki moleul reseptor membran CD4, yang mana adalah limfossit CD4+.
Gp120 HIV berikatan dengan kuat pada limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat
memerantai fusi membrane virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma limfosit CD4+.
Kemudian nukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripsi terbalik (reverse
transcription) dari satu untai-tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-
ganda virus. Integrase HIV membantu insersi cDNA virus ke dalam inti sel
pejamu. Apabila sudah terintegrasi ke dalam kromosom sel pejamu, maka dua
untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan RNA messenger
(mRNA), yang meninggalkan inti sel dan masuk ke sitoplasma. Protein-protein
virus yang dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan yang telah mengalami
28
splicing (penggabungan) setelah RNA genom dibebaskan ke dalam sitoplasma.
HIV yang baru terbentuk dapat menyerang sel-sel rentan lainnya di seluruh
tubuh.7
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis. Sebagian data
menunjukkan bahwa replikasi dalam jumlah sangat besar dan pertukaran sel yag
sangat cepat, dengan waktu paruh virus dan sel penghasil virus didalam plasma
sekitar 2 hari.7 Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah
infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan
setelah pajanan.7
Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai
4 minggu setelah pajanan. Infeksi akut terjadi pada tahap serokonversi dari status
antibodi negatif menjadi positif. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare,
limfadenopati, dan ruam makulopapular. Dalam beberapa minggu setelah fase
infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Kemudian akan masuk pada fase
simtomatik dari perjalanan penyakit, periode waktu antara serokonversi HIV dan
munculnya gejala dapat sekitar 10 tahun atau kurang, dijumpai gejala-gejala
yang menunjukkan imunosupresi.7
Pada kasus, pasien menujukkan gejala-gejala imunosupresi setelah 4 tahun
memiliki riwayat berganti-ganti pasangan berhubungan seksual. Gejala yang
dialami seperti sesak napas ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit yang didahului
dengan batuk berdahak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk dapat
terjadi karena adanya infeksi pada sistem respiratori pasien yang menyebabkan
terjadinya proses inflamasi sehingga menghasilkan mucus dan terjadi
penumpukkan sekret di jalan napas menyebabkan obstruksi jalan napas →
peningkatan ventilasi → pasien mengalami sesak napas.7
Pasien juga mengeluhkan demam yang dirasakan sejak 5 hari, demam
dapat terjadi akibat reaksi antigen dan antibodi, yang menyebabkan pelepasan
mediator kimiawi pirogen → hipotalamus → peningkatan suhu thermostat →
demam.7
Pasien mengeluhkan nyeri pada mulut yang merupakan gejala
imunosupresi lainnya yaitu infeksi jamur pada membran mukosa oral pasien →
29
lesi pada mulut → penurunan nafsu makan → penurunan intake nutrisi →
penurunan berat badan dan penurunan massa otot dan energi.7
Penurunan nafsu makan bisa terjadi karena perubahan rasa kecap yang
menyebabkan pasien menolak makanan tertentu, stress psikologis maupun
terjadi karena peran sitokin dalam regulasi makan di hipotalamus melalu jaras
anoreksigenik dan oroksegenik yang melibatkan leptin dan neuropeptida. Leptin
adalah hormon yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang berrperan
menstimulasi respon starvasi. Jika kadar leptin di otak rendah, maka akan
meningkatkan aktivitas sinyal oroksigenik di hipotalamus yang akan
menstimulasi keinginan untuk makan dan mensupresi energy ekspenditure serrta
menurunkan sinyal anoreksigenik. Sedangkan neuropeptida Y adalah peptida
yang paling poten dalam menstimulasi keinginan makan dan terkait dengan jaras
oroksigenik lainnya. Peran sitokin dapat menstimulasi jaras anoreksigenik dalam
jangka panjang. Interleukin-1, IL-6, TNF-α dapat menstimulasi pelepasan leptin
sehingga meningkatkan aktivitas jaras anoreksigenik. Selain itu sitokin dapat
menembus blood brain barrier dan menginhhibisi neuropeptida Y yang akan
menginhibisi pula jaras oroksigenik, sehingga pasien mengalami penurunan
nafsu makan.6
Sitokin juga berperan sebagai perantara dan secara langsung menginduksi
manifestasi klinik penyakit yang berhubungan dengan inflamasi termasuk
penurunan berat badan. Sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α
berperan pada berkurangnya lean body mass, jaringan lemak, dan massa tulang.
Sitokin proinflamasi menimbulkan suatu kondisi katabolisme otot dengan cara
menekan sintesis protein otot dan/atau mempercepat kerusakan protein otot yang
berasal dari makanan. Sitokin juga merangsang pelepasan kortisol yang
mengakibatkan percepatan katabolisme otot.6
Pasien diberikan obat kotrimoksazol 960mg 1x1 tablet sebagai profilaksis
untuk mencegah infeksi yang belum pernah didapatkan atau mencegah
terjadinya infeksi yang sama pada pasien.5 Untuk pengobatan ARV, diberikan
kombinasi 3 obat dosis tetap yaitu Tenofovir 300mg + Lamivudin 150mg +
Efavirenz 600mg. Tenofovir merupakan nucleotide reverse transcriptase
30
inhibitor (NtRTI) untuk terapi infeksi HIV-1 yang bekerja menghentikan
pembentukan rantai DNA virus. Efavirenz merupakan non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI) kelas obat yang menghambat aktivitas enzim
reverse transcriptase dengan cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat
aktif enzim. Lamivudin merupakan nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI), dimana reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA
provirus sebelum bergabun dengan kromosom hospes, sehingga antivirus
golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, menghambat terjadinya
infeksi akut sel yang rentan, hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi
HIV.8

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Puspitasari E, dkk. 2016. Prediktor Mortalitas Pasien HIV/AIDS Rawat Inap.


Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol. 3, No. 1
2. Tesiman, J dkk. 2016. Prevalensi dan Faktor Prediktor Atopi pada Pasien
HIV/AIDS . Jurnal Penyakit Dalam Indonesia .Vol. 3, No. 2.
3. Yogani I, dkk. 2015.Fakto- Faktor yang Berhubungan dengan Kenaikan CD4
pada Pasien HIV yang mendapat Highly Active Antiretroviral Therapy dalam
6 Bulan Pertama. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol. 2, No. 4.
4. Karyadi T. 2017. Keberhasilan Pengobatan Antiretroviral (ARV) . Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia.Vol. 4, No. 1
5. Permenkes RI Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan
Antiretroviral
6. Setiati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 edisi IV. Jakarta
: Interna Publishing
7. Price, S.A, Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta : EGC
8. FKUI, 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

32

Anda mungkin juga menyukai