BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tabel 1.1 Kasus ISPA pada Balita yang ditemukan di wilayah kerja Puskesmas
Mamboro tahun dari 2015-2019. (Puskesmas Mamboro, 2019).
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mamboro?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
perilaku merokok didalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Mamboro.
2. Tujuan Khusus
Mamboro.
D. Manfaat Penelitian
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini kiranya menambah wawasan masyarakat tentang bahaya
merokok bagi tubuh manusia dan kesehatan.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini kiranya dapat menambah pengalaman dan pengetahuan
dalam bidang penelitian.
E. Keaslian Penelitian
Bima; (3) Ada hubungan Kepadatan Hunian dengan kejadian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah pesisir Desa Kore Kecamatan
Sanggar Kabupaten Bima; (4) Tidak ada hubungan Perilaku merokok dengan
kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah Pesisir
Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima.
Hasil penelitian sebagian besar keluarga di tempat penelitian memiliki
perilaku merokok berat dari 72 responden terdapat 49 balita menderita ISPA dan
23 balita tidak menderita ISPA. Hasil uji statistik menunjukan adanya hubungan
yang signifikan antara kejadian penyakit ISPA pada balita dengan perilaku perokok
anggota keluarga (p = 0,039 ; p < 0,05).
Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Asri Pangumpia dan Ferry Fadzul
(2017) dengan judul Hubungan Perilaku Merokok Di Dalam Rumah Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas
Sempaja Kota Samarinda. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional.
Sampel penelitian adalah balita di puskesmas sempaja yang berjumlah 128 balita.
Tehnik pengambilan sampel menggunakan non random sampling. Hasil pada
penelitian ini dengan menggunakan uji chi square di dapatkan nilai p-value sebesar
0,00 lebih kecil dari taraf signifikan yaitu 0,05 dengan demikian terdapat hubungan
yang signifikan terhadap perilaku merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di puskesmas sempaja kota samarinda. Adapun hubungan tersebut yaitu
kebiasaan merokok 64,8% dan ISPA pada balita 57,8%.
Ketiga penelitian diatas sama-sama meneliti tentang penyebab kejadian
ISPA pada balita, hanya saja pada penelitian kali ini peneliti meneliti pada tempat
yang berbeda yaitu pada Puskesmas Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu,
Sulawesi Tengah. Selain tempat penelitian, waktu penelitian juga berbeda yaitu
bulan Januari-Februari 2020. Populasi dan sampel penelitian yaitu jumlah orang tua
yang memiliki balita dengan tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah
non random sampling dengan cara accidental sampling.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Tinjauan Tentang ISPA
a. Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sering disebut juga
dengan Infeksi Respiratori Akut (IRA). Infeksi respiratori akut terdiri
dari Infeksi Respiratori Atas Akut (IRAA) dan Infeksi Respiratori
Bawah Akut (IRBA). Disebut akut, jika infeksi berlangsung hingga 14
hari (Tanto, 2016). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah
radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan
oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau
disertai dengan radang parenkim paru (Wijayaningsih, 2013).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran
pernapasan yang bersifat akut dengan berbagai macam gejala
(sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai sebab (multi
faktorial). Meskipun organ saluran pernapasan yang terlibat adalah
hidung, laring, tenggorok, bronkus, trakea, dan paru-paru tetapi yang
menjadi fokus adalah paru-paru. Titik perhatian ini disepakati karena
tingginya tingkat mortalitas radang paru-paru (Widoyono, 2011).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan suatu infeksi
yang bersifat akut yang menyerang salah satu atau lebih saluran
pernafasan mulai dari hidung sampai alveolus termasuk adneksanya
(sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Kemenkes RI, 2012).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut mempunyai pengertian sebagai
berikut (Rahmayatul, 2013):
7
a. Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah bukaan yang dibuat pada bidang dinding,
dan atau atap rumah, dengan maksud agar dimungkinkan
masuknya cahaya dan udara alami yang dibutuhkan untuk
kesehatan dan kenyamanan penghuni rumah, melalui penggantian
udara yang mengandung carbon (CO2) yang dikeluarkan oleh
manusia, dengan udara segar yang baru dan mengandung oksigen
(O2) untuk dihisap oleh manusia secara berkesinambungan.
(Sabaruddin et al, 2011)
Bukaan ventilasi paling baik adalah searah dengan tiupan
angin. Pada ruang luar tempat udara bersih dialirkan ke dalam
bangunan harus diupayakan dalam kondisi tidak tercemar oleh
gangguan/polusi udara seperti debu dan bau. (Sabaruddin et al,
2011)
Ventilasi berfungsi sebagai pengatur udara di dalam ruang
rumah. Lubang ventilasi minimal 1/9 luas lantai ruangan, yang
berfungsi untuk memasukan udara bersih yang mengandung
oksigen (O2) dari ruang luar dan mengeluarkan udara kotor yang
mengandung karbon (CO2) dari ruang dalam, untuk itu posisi
ventilasi harus dibuat bersilangan. Bentuk ventilasi bias berupa
pintu, jendela, dan lubang angin. (Sabaruddin et al, 2011)
Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan dan
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan resiko
kejadian ISPA. Ventilasi merupakan determinan dari kejadian
ISPA pada anak balita. Adapun besarnya risiko untuk terjadinya
9
d. Kebiasaan merokok
Menurut Center of Desease Control (CDC) dalam Octafrida
(2011) merokok membahayakan setiap organ di dalam tubuh.
Merokok menyebabkan penyakit dan memperburuk kesehatan,
seperti :
a) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) PPOK sudah terjadi
pada 15% perokok. Individu yang merokok mengalami
penurunan pada Forced Expiratory Volume in second (FEV1),
dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita
PPOK.
b) Pengaruh Rokok terhadap Gigi Hubungan antara merokok
dengan kejadian karies, berkaitan dengan penurunan fungsi
saliva yang berperan dalam proteksi gigi. Risiko terjadinya
kehilangan gigi pada perokok, tiga kali lebih tinggi disbanding
pada bukan perokok.
c) Pegaruh Rokok Terhadap Mata Rokok merupakan penyebab
penyakit katarak nuklear, yang terjadi di bagian tengah lensa.
Meskipun mekanisme penyebab tidak diketahui, banyak
logam dan bahan kimia lainnya yang terdapat dalam asap
rokok dapat merusak protein lensa.
d) Pengaruh Terhadap Sistem Reproduksi Merokok akan
mengurangi terjadinya konsepsi, fertilitas pria maupun wanita.
Pada wanita hamil yang merokok, anak yang dikandung akan
mengalami penuruan berat badan, lahir prematur, bahkan
kematian janin.
e. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian
akibat ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia
berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada
pneumonia di perkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis
menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada
11
bayi yang berusia di bawah 6 bulan, dan 2,9 pada bayi berusia 6-
11 bulan (Wijaya, 2014).
f. Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat
meningkatkan resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu
sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat di cegah. Di india, anak yang
baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat
mengalami ISPA enam kali lebih sering dari pada anak yang tidak
terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri bersama-sama dapat
menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan
dengan ISPA. Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah
kematian hingga 25% usaha global dalam meningkatkan cakupan
imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian
ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin Pneomokokus dan H.
Influenzae type B saat ini sudah di berikan pada anak-anak dengan
efektivitas yang cukup baik (Wijaya, 2014).
g. Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya
pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya
ISPA pada anak. Hal ini di karenakan adanya gangguan respon
imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi.
Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang
ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang
tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain
perbaikan gizi dan perbaikan ASI, harus dilakukan pula perbaikan
terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA (Wijaya,
2014).
d. Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakt
eri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Staphylococcus,
Pneumococcus, Haemophillus, Bordetella, dan Corynebacterium. Viru
12
g. Pengobatan
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua
tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada
tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung
vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang
terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke
dokter. Pengobatan pada ISPA dapat dibagi menjadi: (Djojodibroto,
2014).
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
melalui jalur infus, diberi oksigen dan sebagainya.
b. Pneumonia: diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya
Kotrimoksasol, jika terjadi alergi/tidak cocok dapat diberikan
Amoksilin, Penisilin, Ampisilin.
c. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan.
d. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah disertai pembesaran
kelenjar getah bening di leher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman Streptococcuss dan harus diberi antibiotik
selama 10 hari (Djojodibroto, 2014).
a. Berjalan
b. Belajar memakan makanan yang keras
c. Belajar berbicara
d. Belajar untuk mengatur dan mengurangi gerak-gerik tubuh yang
tidak perlu
e. Belajar mengenal perbedaan-perbedaan jenis kelamin
f. Belajar untuk melibatkan diri secara emosional dengan orangtua,
saudara-saudara dan orang lain.
Frankenburg (1981) melalui DDST (Denver Developmental
Screening Test) mengemukakan 4 parameter perkembangan yang
dipakai dalam menilai perkembangan anak balita yaitu
(Soetjiningsih,2016):
a. Personal Social (Kepribadian/tingkah laku sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
b. Fine Motor Adaptive (Gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh
tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan
koordinasi yang cermat. Misalnya kemampuan untuk mengambar,
memegang sesuatu benda, dan lain-lain.
c. Language (Bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
d. Gross Motor (Perkembangan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
Ada juga yang membagi perkembangan balita ini menjadi 7 aspek
perkembangan, seperti pada buku petunjuk program BKB (Bina
Keluarga dan Balita) yaitu perkembangan: (Soetjiningsih,2016)
a. Tingkah laku sosial
b. Menolong diri sendiri
17
c. Intelektual
d. Gerakan motorik halus
e. Komunikasi pasif
f. Komunikasi aktif
g. Gerakan motorik kasar
Pada prinsipnya cara membagi aspek perkembangan anak tersebut
di atas sama saja, hanya penjabarannya berbeda. Frankenburg membagi
lebih sederhana, sedangkan yang pada program BKB tersebut lebih
dijabarkan lagi (Soetjiningsih,2016).
3. Perkembangan Anak Balita
k. Tipe Perokok
B. Kerangka Teori
Faktor Lingkungan :
1. Tingkat pendidikan
2. orang tua orang tua
Pendapatan
C. Kerangka Konsep
Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan
balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius
serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak.
Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama
memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-
paru pada saat dewasa. Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep tersebut dibuat
dalam skema sebagaimana gambar di bawah ini:
Keterangan : Diteliti
Mencari Hubungan
D. Landasan Teori
dapat menyebabkan terjadinya kanker paru-paru. Tar juga dapat merangsang jalan
nafas dan akan tertimbun di saluran nafas yang akan mengakibatkan batuk-batuk,
sesak nafas, kanker jalan nafas, lidah atau bibir (Cahyaningtias, 2015).
ISPA dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor individu anak, faktor
perilaku dan faktor lingkungan. Faktor individu anak meliputi: umur anak, berat
badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi
perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif
keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA. Faktor lingkungan meliputi:
pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan
bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah dan
kepadatan hunian (Milo et al., 2015).
E. Hipotesis
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2014). Populasi dalam penelitian ini adalah semua orang
tua yang memiliki balita di Puskesmas Mamboro berjumlah 989 orang.
2. Sampel
sebagian orang tua yang memiliki balita di Puskesmas Mamboro yang telah
memenuhi kriteria inklusi.
Besar sampel dihitung menggunakan rumus Slovin yaitu sebagai berikut
(Setiawan, 2011):
N
n=
1 + N (d2)
Keterangan :
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kesalahan absolute yang dikehendaki 10%
Dimana : N = 989
d = 10% (0,1)
989
n =
1 + 989 (0,1)2
989
n =
1 + 989 (0,01)
989
n =
1 + 9,89
989
n = 10,89 n = 90,81 sampel
Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 91 responden
1. Kriteria Inklusi
E. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek yang
mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan (Nursalam, 2014).
Klasifikasi Variabel:
1. Variabel Bebas (independent variable)
Adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependent (variabel terikat). Dalam
penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah perilaku merokok orang tua
dan anggota keluarga yang tinggal serumah.
2. Variabel Terikat (dependent variable)
G. Instrumen Penelitian
serumah dan 5 pertanyaan tentang kejadian ISPA yang telah divalidasi dan diuji
reliabilitasnya.
H. Tehnik Pengumpulan Data
1. Jenis data yang dikumpulkan
a. Data Primer
I. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisa data yang dilakukan dengan cara analisis univariat, yang
dilakukan terhadap tiap variabel penelitian. Dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel. Analisa data
dilakukan dengan formulasi distribusi frekuensi dengan rumus sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010):
P = x 100%
Keterangan : P = Presentase
f = Frekuensi
n = Sampel
2. Analisis Bivariat
Dilakukan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square (X2)
mengunakan fasilitas pengolahan data program SPSS dengan derajat
kemaknaan 95%. Bila nilai p ≤ 0,05, berarti hasil perhitungan statistik
bermakna (signifikan) (Ho ditolak) dan nilai > 0,05, berarti hasil perhitungan
statistik tidak bermakna (signifikan) (Ho diterima) (Notoatmodjo, 2010).
J. Etika Penelitian
1. Informed Consent (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan yang diberikan kepada responden oleh peneliti
dengan menyertakan judul penelitian agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghargai atau menghormati hak-hak yang dimiliki responden (subjek).
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden tetapi lembar tersebut diberikan kode.
35
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan sebagai hasil penelitian (Nursalam, 2014).
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN
B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian tentang hubungan perilaku merokok dengan terjadinya
penyakit ISPA pada balita dari 91 responden yang dilakukan di Puskesmas
Mamboro pada bulan Januari tahun 2020 dianalisis secara univariat dan analisis
bivariat yaitu sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
Pada penelitian ini, hasil analisis univariat akan menggambarkan variabel
independen perilaku merokok serta variabel dependen yaitu kejadian ISPA
pada balita.
a. Perilaku Merokok
Gambaran distribusi responden menurut perilaku merokok dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok di
Puskesmas Mamboro
No. Perilaku Merokok Frekuensi (f) Persen (%)
Jumlah 91 100
(Sumber: Data Primer Tahun 2020)
38
Jumlah 91 100
(Sumber: Data Primer Tahun 2020)
Pada tabel 4.2 terlihat bahwa dari 91 responden, balita yang pernah
menderita ISPA lebih besar jumlahnya yaitu 82 responden (90,1%),
sedangkan balita yang tidak pernah menderita ISPA yaitu 9 responden
(9,9%).
2. Analisis Bivariat
Dalam penelitian ini, hasil analisis bivariat dilakukan untuk memberi
gambaran hubungan antara variabel indepenen dan variabel dependen. Pada
penelitian ini digunakan uji statiatik Chi-square dengan tingkat kemaknaan
95%. Pada analisis bivariat ini dilakukan pengujian untuk melihat hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
kejadian ISPA pada balita yang dapat diuraikan sebagai berikut:
39
Perokok
81 95,3 4 4,7 85
Pasif 5,718
0,000 (0.955-
Tidak
34.239)
terpapar asap 1 16,7 5 83,3 6
rokok
BAB V
PEMBAHASAN
A. Analisis Univariat
1. Perilaku Merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91 responden, balita yang menjadi
perokok pasif lebih besar jumlahnya dari pada balita yang tidak terpapar asap
rokok. Artinya sebagian besar balita menjadi perokok pasif. Hal ini terjadi
karena balita besar di lingkungan orang yang merokok dan hal ini sangat
berbahaya bagi kesehatan anak.
Menurut asumsi peneliti anak yang tinggal serumah dengan orang yang
merokok sangat berbahaya karena asap rokok dari orang tua atau penghuni
rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang
tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan
toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan
gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran
pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak
rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap
kejadian ISPA.
Sejalan dengan analisis WHO (Tawbariah et al., 2014) yang menunjukkan
bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan
perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya,
asap yang diisap oleh perokok disebut asap utama (mainstream), dan asap yang
keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke
atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil
pembakaran tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandung karbon
monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat,
nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50
kali lebih besar pada asap sampingan dibanding dengan kadar asap utama.
41
B. Analisis Bivariat
1. Hubungan Perokok Pasif Dengan Terjadinya Penyakit ISPA Pada Bayi
Berdasarkan hasil dari uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000
(p Value <0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok
didalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. ISPA pada balita lebih
banyak terjadi pada balita yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan
balita yang tidak terpapar asap rokok. Menurut asumsi peneliti hal ini terjadi
karena kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai
perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya
mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA.
Faktor perilaku keluarga yang bisa menyebabkan kejadian ISPA pada balita.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan atau kuisioner yang telah diberikan ke
91 responden, ada beberapa faktor yang menyebabkan balita yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Mamboro menjadi perokok pasif atau terpapar asap
42
rokok. Faktor tertinggi yang menyebabkan balita terpapar asap rokok yaitu
orang tua atau keluarga balita merokok dalam rumah (61,5%), orang tua atau
keluarga balita menghabiskan ≥ 20 batang perhari (60,4%) dan rumah yang
terpapar asap rokok lebih dari 30 menit setiap hari (60,4%). Dari ketiga faktor
tersebut, sangat memungkinkan balita-balita yang berada diwilayah kerja
Puskesmas Mamboro terpapar asap rokok dan pernah mengalami ISPA. Ketika
orang tua balita merokok didalam rumah, asap yang dihasilkan dari rokok tidak
langsung keluar rumah, asap dapat melekat di bagian rumah seperti dinding,
langit-langit, tirai penghalang jendela, baju orang tua balita, baju-baju atau
kain-kain yang digantung dirumah pasien dan sebagainya. Konsumsi rokok
yang lebih dari 20 batang perhari dari orang tua atau keluarga balita
menyebabkan sangat mudahnya balita terpapar asap rokok dikarenakan
semakin banyak rokok yang dikonsumsi maka akan semakin banyak pula
polusi asap rokok yang dihasilkan. Semakin banyak polusi asap rokok yang
dihasilkan maka akan menyebabkan asap rokok berada didalam rumah lebih
dari 30 menit, hal ini juga yang dapat menyebabkan balita lebih sering terpapar
asap rokok, hal ni dapat dikurangi dengan membuka pintu dan jendela rumah
agar asap rokok yang terkurung dalam rumah bisa keluar dari rumah.
Didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningtias
(2015), menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok orang tua
terhadap kejadian ISPA pada balita. Hal ini menunjukan dengan semakin berat
perilaku merokok orangtua maka semakin besar potensi anak balitanya
menderita ISPA. Adapun menurut Kemenkes RI (2012) balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko untuk
terjadinya ISPA sebesar 2,7 kali dibandingkan dengan balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Milo et al. (2015) bahwa kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah
menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok.
Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok berpeluang
meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah
balita yang orang tuanya tidak merokok di dalam rumah.
43
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terdapat bahwa dari 91 responden, balita yang menjadi perokok pasif lebih
besar jumlahnya yaitu 85 responden (93,4%), sedangkan balita yang tidak
terpapar asap rokok yaitu 6 responden (6,6%).
2. Terdapat bahwa dari 91 responden, balita yang pernah menderita ISPA lebih
besar jumlahnya yaitu 82 responden (90,1%), sedangkan balita yang tidak
pernah menderita ISPA yaitu 9 responden (9,9%).
3. Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p Value
<0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan
terjadinya penyakit ISPA pada balita (H0 ditolak). Dengan nilai Odd Ratio
(OR) 5,718. Berarti ISPA pada balita berpeluang 5,718 kali terjadi pada balita
yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan balita yang tidak terpapar
asap rokok.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas Mamboro
Perlu ditingkatkan mengenai program penanggulangan penyakit ISPA
yang dapat bekerja sama dengan beberapa lintas program agar dapat
melakukan promosi kesehatan mengenai bahaya rokok terhadap balita agar
dapat mencegah kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Mamboro.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani M & Defita AP, 2015. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukit
Tinggi Tahun 2014, STIKES Yarsi, Bukit Tinggi. Diakses 28 November 2019
dari:(http://ejournal.stikesyarsi.ac.id/index.php/JAV1N1/article/download/29/
120)
Anggraini, FD, 2013, Hubungan Larangan Merokok di Tempat Kerja dan Tahapan
Smoking Cessation Terhadap Intensitas Merokok pada Kepala Keluarga di
Kelurahan Labuhan Ratu Raya Kota Bandar Lampung Tahun 2013,
Universitas Lampung, Bandar Lampung. Diakses 28 November 2019 dari:
(http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/63)
Hidayat, A. A., 2011, Metode Penelitian Kesehatan dan Tehnik Analisis Data,
Salemba Medika, Jakarta.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011, Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
(http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24284/1/RAHMA
YATUL%20FILLACANO-fkik.pdf)
Setiati, S. 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Interna Publishing,
Jakarta.