Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering


terjadi pada anak. Infeksi Saluran Pernapasan Akut juga merupakan salah satu
penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%-50%
kunjungan berobat di puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat
jalan dan inap di rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Salah satu penyakit ISPA yang
menjadi target program pengendalian ISPA adalah pneumonia (Setyati, 2014).
Upaya pengendalian ISPA yaitu meningkatkan kualitas pelayanan melalui
peningkatan kemampuan sumber daya, penemuan kasus dilakukan secara aktif,
peningkatan peran serta masyarakat deteksi dini pneumonia balita, adanya
pencatatan dan pelaporan, dan monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala
(Kemenkes RI, 2012).
Rokok, sebagai salah satu resiko timbulnya pneumonia merupakan masalah
yang sangat sulit untuk di minimalisir. Sementara itu berdasarkan data Depkes RI,
jumlah perokok dalam suatu keluarga cukup tinggi, dan orang yang berada di
sekitar seorang perokok atau perokok pasif justru mempunyai resiko kesehatan
yang lebih tinggi dibandingkan perokok aktif. Berdasarkan Survei Indikator
Kesehatan Nasional (SIRKESNAS) tahun 2016, prevalensi merokok secara
nasional adalah 28,5%. Prevalensi merokok menurut jenis kelamin prevalensi pada
laki-laki 59% dan perempuan 1,6%. Menurut tempat tinggal, prevalensi merokok
di pedesaan dan perkotaan tidak terlalu jauh berbeda namun demikian di pedesaan
sedikit lebih tinggi (29,1%) dibandingkan dengan perkotaan (27,9%). Menurut
kelompok umur, prevalensi tertinggi pada usia 40-49 tahun sebesar 39,5%
sedangkan pada usia muda/perokok pemula (≤ 18 tahun) sebesar 8,8%. (Kemenkes
RI, 2018).
Kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai
perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya
2

mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar


7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di
dalam rumah. Sementara itu jumlah perokok dalam suatu keluarga cukup tinggi
(Rahmayatul, 2013).
Faktor perilaku keluarga yang bisa menyebabkan kejadian ISPA pada balita
diantaranya adalah asap di dalam rumah, ada anggota keluarga yang menderita
ISPA di rumah yang mempunyai kebiasaan kurang baik (tidak menutup mulut pada
saat batuk atau bersin dekat balita), kebersihan rumah yang kurang, menggunakan
obat nyamuk bakar, membawa anak pada saat memasak. Tidak adanya kemampuan
menyediakan lingkungan perumahan yang sehat pada golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah akan meningkatkan kerentanan balita terhadap serangan
berbagai penyakit menular, termasuk ISPA (Andriani, 2014).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA di
negara berkembang 0,29% (151 juta jiwa) dan negara industri 0,05% (5 juta jiwa)
(WHO, 2013). Jumlah kasus keseluruhan ISPA di Indonesia menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan bahwa jumlah ISPA
yang terjadi di Sulawesi Tengah adalah sebesar 9,4% (Kemenkes RI, 2013).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah
tentang kejadian ISPA yaitu pada tahun 2015 berjumlah 115.185 kasus dan pada
tahun 2016 meningkat menjadi 120.177 kasus. Berdasarkan hasil studi pendahuluan
yang dilakukan di Puskesmas Mamboro jumlah kasus ISPA yang ditemukan di
wilayah kerja Puskesmas Mamboro tahun dari 2015-2019, yaitu:

Tabel 1.1 Kasus ISPA pada Balita yang ditemukan di wilayah kerja Puskesmas
Mamboro tahun dari 2015-2019. (Puskesmas Mamboro, 2019).

Tahun 2015 2016 2017 2018 2019

Jumlah kasus ISPA 1.024 757 876 960 1.005

Dengan demikian cukup banyak kejadian ISPA di Puskesmas Mamboro, baik


pada bayi, pada anak balita maupun semua umur. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dan
3

Anggota Keluarga Yang Tinggal Serumah Dengan Kejadian ISPA Pada


Balita Di Puskesmas Mamboro”.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mamboro?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
perilaku merokok didalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Mamboro.
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui perilaku merokok didalam rumah di Puskesmas

Mamboro.

b. Untuk mengetahui kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mamboro.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas Mamboro

Penelitian kiranya dapat digunakan sabagai bahan pertimbangan dalam


rangka meningkatkan program penyuluhan kesehatan terutama tentang
hubungan perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal
serumah dengan kejadian ISPA pada balita.
2. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan


merupakan salah satu bacaan bagi peneliti berikutnya terutama tentang ISPA
pada balita.
4

3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini kiranya menambah wawasan masyarakat tentang bahaya
merokok bagi tubuh manusia dan kesehatan.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini kiranya dapat menambah pengalaman dan pengetahuan
dalam bidang penelitian.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan hubungan merokok dengan kejadian ISPA


pada balita yang telah dilakukan oleh Salma Milo, A. Yudi Ismanto, dan Vandri D.
Kallo (2015) dengan judul penelitian yaitu Hubungan Kebiasaan Merokok Di
Dalam Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Umur 1-5 tahun Di Puskesmas
Sario Kota Manado. Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross
sectional, pada penelitian ini berjumlah 51 responden yang didapat menggunakan
teknik consecutive sampling, hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa ada
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada orang tua perokok
berat ada 12 dari 22 (54,5%) anak yang menderita ISPA sedang, pada orang tua
perokok sedang ada 5 dari 14 (35,7%) anak yang menderita ISPA sedang,
sedangkan pada orang tua perokok ringan tidak ada yang menderita ISPA sedang.
Penelitian yang lain yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh
Cahyaningtias (2015) dengan judul Hubungan Perilaku Merokok Anggota
Keluarga Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita
Wilayah Pesisir Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima. Penelitian ini
menggunakan metode cross sectional, populasi pada penelitian ini adalah para ibu
yang memiliki balita, jumlah populasi yaitu 70 orang. Uji statistik yang digunakan
yaitu uji Chi-Square. Berdasarkan analisis chi-square didapatkan bahwa (1) Ada
hubungan penggunaan jenis bahan bakar biomassa dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah pesisir Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima; (2) Ada
hubungan Luas ventilasi dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
pada balita balita di wilayah pesisir Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten
5

Bima; (3) Ada hubungan Kepadatan Hunian dengan kejadian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah pesisir Desa Kore Kecamatan
Sanggar Kabupaten Bima; (4) Tidak ada hubungan Perilaku merokok dengan
kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah Pesisir
Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima.
Hasil penelitian sebagian besar keluarga di tempat penelitian memiliki
perilaku merokok berat dari 72 responden terdapat 49 balita menderita ISPA dan
23 balita tidak menderita ISPA. Hasil uji statistik menunjukan adanya hubungan
yang signifikan antara kejadian penyakit ISPA pada balita dengan perilaku perokok
anggota keluarga (p = 0,039 ; p < 0,05).
Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Asri Pangumpia dan Ferry Fadzul
(2017) dengan judul Hubungan Perilaku Merokok Di Dalam Rumah Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas
Sempaja Kota Samarinda. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional.
Sampel penelitian adalah balita di puskesmas sempaja yang berjumlah 128 balita.
Tehnik pengambilan sampel menggunakan non random sampling. Hasil pada
penelitian ini dengan menggunakan uji chi square di dapatkan nilai p-value sebesar
0,00 lebih kecil dari taraf signifikan yaitu 0,05 dengan demikian terdapat hubungan
yang signifikan terhadap perilaku merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di puskesmas sempaja kota samarinda. Adapun hubungan tersebut yaitu
kebiasaan merokok 64,8% dan ISPA pada balita 57,8%.
Ketiga penelitian diatas sama-sama meneliti tentang penyebab kejadian
ISPA pada balita, hanya saja pada penelitian kali ini peneliti meneliti pada tempat
yang berbeda yaitu pada Puskesmas Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu,
Sulawesi Tengah. Selain tempat penelitian, waktu penelitian juga berbeda yaitu
bulan Januari-Februari 2020. Populasi dan sampel penelitian yaitu jumlah orang tua
yang memiliki balita dengan tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah
non random sampling dengan cara accidental sampling.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Tinjauan Tentang ISPA
a. Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sering disebut juga
dengan Infeksi Respiratori Akut (IRA). Infeksi respiratori akut terdiri
dari Infeksi Respiratori Atas Akut (IRAA) dan Infeksi Respiratori
Bawah Akut (IRBA). Disebut akut, jika infeksi berlangsung hingga 14
hari (Tanto, 2016). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah
radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan
oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau
disertai dengan radang parenkim paru (Wijayaningsih, 2013).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran
pernapasan yang bersifat akut dengan berbagai macam gejala
(sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai sebab (multi
faktorial). Meskipun organ saluran pernapasan yang terlibat adalah
hidung, laring, tenggorok, bronkus, trakea, dan paru-paru tetapi yang
menjadi fokus adalah paru-paru. Titik perhatian ini disepakati karena
tingginya tingkat mortalitas radang paru-paru (Widoyono, 2011).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan suatu infeksi
yang bersifat akut yang menyerang salah satu atau lebih saluran
pernafasan mulai dari hidung sampai alveolus termasuk adneksanya
(sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Kemenkes RI, 2012).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut mempunyai pengertian sebagai
berikut (Rahmayatul, 2013):
7

a. Infeksi adalah proses masuknya kuman atau mikroorganisme


lainnya ke dalam tubuh manusia dan akan berkembang biak
sehingga akan menimbulkan gejala suatu penyakit.
b. Saluran pernafasan adalah suatu saluran yang berfungsi dalam
proses respirasi mulai dari hidung hingga alveolus beserta
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.
c. Infeksi akut merupakan suatu proses infeksi yang berlangsung
sampai 14 hari. Batas 14 hari menunjukkan suatu proses akut
meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA
ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
b. Klasifikasi penyakit ISPA menurut (Widoyono, 2011) :
a. Bukan Pneumonia, mencakup kelompok pasien balita dengan
batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekwensi napas
dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah
ke arah dalam. Contohnya adalah common cold, faringitis,
tonsilitis, dan otitis.
b. Pneumonia, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernapas. Diagnosis gejala ini berdasarkan usia. Batas frekwensi
napas cepat pada anak berusia dua bulan sampai <1 tahun adalah
50 kali per menit dan untuk anak usia 1 sampai <5 tahun adalah 40
kali per menit.
c. Pneumonia berat, didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai sesak napas atau tarikan dinding dada
bagian bawah ke arah dalam (chest indrawing) pada anak berusia
2 bulan sampai <5 tahun. Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis
pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat yaitu
frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau
adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah
dalam (severe chest indrawing).
8

c. Faktor Risiko Penyakit ISPA


Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA
pada anak. Hal ini berhubungan dengan host, agent penyakit dan
environment (Kemenkes RI, 2012). Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kejadian risiko penyakit ISPA antara lain:

a. Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah bukaan yang dibuat pada bidang dinding,
dan atau atap rumah, dengan maksud agar dimungkinkan
masuknya cahaya dan udara alami yang dibutuhkan untuk
kesehatan dan kenyamanan penghuni rumah, melalui penggantian
udara yang mengandung carbon (CO2) yang dikeluarkan oleh
manusia, dengan udara segar yang baru dan mengandung oksigen
(O2) untuk dihisap oleh manusia secara berkesinambungan.
(Sabaruddin et al, 2011)
Bukaan ventilasi paling baik adalah searah dengan tiupan
angin. Pada ruang luar tempat udara bersih dialirkan ke dalam
bangunan harus diupayakan dalam kondisi tidak tercemar oleh
gangguan/polusi udara seperti debu dan bau. (Sabaruddin et al,
2011)
Ventilasi berfungsi sebagai pengatur udara di dalam ruang
rumah. Lubang ventilasi minimal 1/9 luas lantai ruangan, yang
berfungsi untuk memasukan udara bersih yang mengandung
oksigen (O2) dari ruang luar dan mengeluarkan udara kotor yang
mengandung karbon (CO2) dari ruang dalam, untuk itu posisi
ventilasi harus dibuat bersilangan. Bentuk ventilasi bias berupa
pintu, jendela, dan lubang angin. (Sabaruddin et al, 2011)
Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan dan
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan resiko
kejadian ISPA. Ventilasi merupakan determinan dari kejadian
ISPA pada anak balita. Adapun besarnya risiko untuk terjadinya
9

ISPA pada anak balita yang menempati rumah dengan ventilasi


yang tidak memenuhi syarat sebesar 2,7 kali lebih besar dari pada
anak balita yang menempati rumah dengan ventilasi yang
memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2012).
b. Kepadatan Hunian
Menurut Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah kebutuhan luas ruang/jiwa minimum adalah 9 m2/jiwa.
Luas kapling yang dibutuhkan (menggunakan Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) = 60%) adalah: 100/60 x 36 m2= 60 m2
(minimum) dan maksimum 200 m2, dengan luas ideal antara 72 –
90 m2. (Sabaruddin et al, 2011)
Standar Nasional Indonesia tentang Tata Cara perencanaan
lingkungan perumahan di perkotaan menentukan kebutuhan luas
ruang yang didasarkan atas kebutuhan udara segar orang
dewasa/jam yaitu antara 16-24 m3, dan untuk anak 8–12 m3,
melalui pergantian udara sebanyak-banyaknya 2 kali/jam, serta
tinggi langit-langit ruang 2,5 m. (Sabaruddin et al, 2011)
c. Pencahayaan
Posisi rumah yang ideal adalah sesuai dengan orientasi
peredaran matahari, dan sesuai dengan arah angin, dimana
distribusi matahari harus merata, sepanjang jam penyinaran yaitu
antara jam 8.00 – 16.00. Usahakan menempatkan ruang tidur pada
posisi menghadap matahari pagi, dan jendela sebaiknya tembus
pandang agar sinar matahari pagi dapat masuk kedalam ruangan
sampai dengan jam 10.00. Bila ruang berada pada posisi
menghadap arah matahari sore, sebaiknya di depan ruang ditanami
pohon pelindung agar radiasi panas dari cahaya matahari secara
langsung dapat dihindari. Jadi cahaya yang masuk kedalam
ruangan hanya cahaya langit saja. (Sabaruddin et al, 2011)
10

d. Kebiasaan merokok
Menurut Center of Desease Control (CDC) dalam Octafrida
(2011) merokok membahayakan setiap organ di dalam tubuh.
Merokok menyebabkan penyakit dan memperburuk kesehatan,
seperti :
a) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) PPOK sudah terjadi
pada 15% perokok. Individu yang merokok mengalami
penurunan pada Forced Expiratory Volume in second (FEV1),
dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita
PPOK.
b) Pengaruh Rokok terhadap Gigi Hubungan antara merokok
dengan kejadian karies, berkaitan dengan penurunan fungsi
saliva yang berperan dalam proteksi gigi. Risiko terjadinya
kehilangan gigi pada perokok, tiga kali lebih tinggi disbanding
pada bukan perokok.
c) Pegaruh Rokok Terhadap Mata Rokok merupakan penyebab
penyakit katarak nuklear, yang terjadi di bagian tengah lensa.
Meskipun mekanisme penyebab tidak diketahui, banyak
logam dan bahan kimia lainnya yang terdapat dalam asap
rokok dapat merusak protein lensa.
d) Pengaruh Terhadap Sistem Reproduksi Merokok akan
mengurangi terjadinya konsepsi, fertilitas pria maupun wanita.
Pada wanita hamil yang merokok, anak yang dikandung akan
mengalami penuruan berat badan, lahir prematur, bahkan
kematian janin.
e. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian
akibat ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia
berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada
pneumonia di perkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis
menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada
11

bayi yang berusia di bawah 6 bulan, dan 2,9 pada bayi berusia 6-
11 bulan (Wijaya, 2014).
f. Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat
meningkatkan resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu
sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat di cegah. Di india, anak yang
baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat
mengalami ISPA enam kali lebih sering dari pada anak yang tidak
terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri bersama-sama dapat
menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan
dengan ISPA. Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah
kematian hingga 25% usaha global dalam meningkatkan cakupan
imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian
ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin Pneomokokus dan H.
Influenzae type B saat ini sudah di berikan pada anak-anak dengan
efektivitas yang cukup baik (Wijaya, 2014).
g. Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya
pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya
ISPA pada anak. Hal ini di karenakan adanya gangguan respon
imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi.
Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang
ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang
tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain
perbaikan gizi dan perbaikan ASI, harus dilakukan pula perbaikan
terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA (Wijaya,
2014).
d. Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakt
eri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Staphylococcus,
Pneumococcus, Haemophillus, Bordetella, dan Corynebacterium. Viru
12

s penyebabnya antara lain golongan Mikovirus, Adenovirus, Koronavir


us, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpes virus (Wijayaningsih, 2013).
Etiologi ISPA terdiri dari agen infeksius dan agen non-infeksius.
Agen infeksius yang paling umum dapat menyebabkan infeksi saluran
pernafasan akut adalah virus, seperti Respiratory Syncytial Virus (RSV
), Nonpolio enterovirus (coxsackieviruses A dan B), Adenovirus, Parai
nfluenza, dan Human metapneumoviruses. Agen infeksius selain virus
juga dapat menyebabkan ISPA, seperti β-hemolytic streptococci, Staph
ylococcus, Haemophilus influenza, Chlamydia trachomatis, Mycoplas
ma, dan Pneumococcus (IDAI, 2011).
e. Tanda dan Gejala
Djojodibroto (2014) mengatakan bahwa derajat keparahan ISPA
dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
a. ISPA ringan bukan pneumonia
b. ISPA sedang, pneumonia
c. ISPA berat, pneumonia berat
Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA
berat dan ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat
untuk bayi kurang dari dua bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat
(60 kali per menit atau lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang
kuat. Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA
sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien
kurang mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien sangat
kurang. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang
awam sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa
pengamatan sederhana (Djojodibroto, 2014).
a. Gejala ISPA ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika
ditemukan gejala sebagai berikut :
a. Batuk
13

b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan


suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis)
c. Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37oC atau jika dahi
anak diraba dengan punggung tangan terasa panas
e. Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup
dilakukan di rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau
Puskesmas. Di rumah dapat diberi obat penurun panas yang
dijual bebas di toko-toko atau Apotek tetapi jika dalam dua
hari gejala belum hilang, anak harus segera di bawa ke dokter
atau Puskesmas terdekat (Djojodibroto, 2014).
2) Gejala ISPA sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika
dijumpai gejala ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai
berikut :
a. Pernapasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang
dari satu tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu
tahun atau lebih
b. Suhu lebih dari 390C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernafasan berbunyi seperti mendengkur
g. Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit
h. Dari gejala ISPA sedang ini, orang tua perlu hati-hati karena
jika anak menderita ISPA ringan, sedangkan anak badan
panas lebih dari 390C, gizinya kurang, umurnya empat bulan
atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA sedang dan
harus mendapat pertolongan petugas kesehatan
(Djojodibroto, 2014).
14

3) Gejala ISPA berat


Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada
gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala
sebagai berikut:
a. Bibir atau kulit membiru
b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada
waktu bernapas
c. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
d. Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah
e. Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah
f. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas
g. Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba
h. Tenggorokan berwarna merah (Djojodibroto, 2014).
Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau
Puskesmas karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan
khusus seperti oksigen dan infus (Djojodibroto, 2014).
f. Pencegahan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyakit ISPA menurut (Wijayaningsih, 2013):
a. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya
dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung
cukup gizi.
b. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan
tubuh terhadap penyakit baik.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
d. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara
adalah memakai penutup hidung dan mulut bila kontak langsung
dengan anggota atau orang yang sedang menderita penyakit ISPA
(Wijayaningsih, 2013).
15

g. Pengobatan
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua
tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada
tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung
vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang
terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke
dokter. Pengobatan pada ISPA dapat dibagi menjadi: (Djojodibroto,
2014).
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
melalui jalur infus, diberi oksigen dan sebagainya.
b. Pneumonia: diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya
Kotrimoksasol, jika terjadi alergi/tidak cocok dapat diberikan
Amoksilin, Penisilin, Ampisilin.
c. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan.
d. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah disertai pembesaran
kelenjar getah bening di leher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman Streptococcuss dan harus diberi antibiotik
selama 10 hari (Djojodibroto, 2014).

2. Tinjauan Tentang Anak Balita


1. Pengertian anak balita
Anak balita yaitu mereka yang mencapai umur 0-59 bulan (infant
dan pra school). Pada usia ini sebaiknya sudah di mulai dengan
pembangunan sumber daya manusia (Soetjiningsih,2016).
2. Tugas perkembangan anak balita (Soetjiningsih,2016)
16

a. Berjalan
b. Belajar memakan makanan yang keras
c. Belajar berbicara
d. Belajar untuk mengatur dan mengurangi gerak-gerik tubuh yang
tidak perlu
e. Belajar mengenal perbedaan-perbedaan jenis kelamin
f. Belajar untuk melibatkan diri secara emosional dengan orangtua,
saudara-saudara dan orang lain.
Frankenburg (1981) melalui DDST (Denver Developmental
Screening Test) mengemukakan 4 parameter perkembangan yang
dipakai dalam menilai perkembangan anak balita yaitu
(Soetjiningsih,2016):
a. Personal Social (Kepribadian/tingkah laku sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
b. Fine Motor Adaptive (Gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh
tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan
koordinasi yang cermat. Misalnya kemampuan untuk mengambar,
memegang sesuatu benda, dan lain-lain.
c. Language (Bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
d. Gross Motor (Perkembangan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
Ada juga yang membagi perkembangan balita ini menjadi 7 aspek
perkembangan, seperti pada buku petunjuk program BKB (Bina
Keluarga dan Balita) yaitu perkembangan: (Soetjiningsih,2016)
a. Tingkah laku sosial
b. Menolong diri sendiri
17

c. Intelektual
d. Gerakan motorik halus
e. Komunikasi pasif
f. Komunikasi aktif
g. Gerakan motorik kasar
Pada prinsipnya cara membagi aspek perkembangan anak tersebut
di atas sama saja, hanya penjabarannya berbeda. Frankenburg membagi
lebih sederhana, sedangkan yang pada program BKB tersebut lebih
dijabarkan lagi (Soetjiningsih,2016).
3. Perkembangan Anak Balita

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur


dan fungsi tubuh yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut
adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-
organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya, termasuk juga
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2016).
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita.
Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini
perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan
landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-
dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini (Soetjiningsih,2016).
Sehingga setiap kelainan/penyimpangan sekecil apapun apabila
tidak terdeteksi apalagi tidak ditangani dengan baik akan mengurangi
kualitas sumber daya manusia kelak kemudian hari. Dalam
perkembangan anak terdapat masa kritis, dimana diperlukan
rangsangan/stimulus yang berguna agar potensi anak berkembang,
18

sehingga perlu mendapat perhatian. Perkembangan psiko-sosial sangat


dipengaruhi lingkungan dan interaksi antara anak dengan orang
tuanya/orang dewasa lainnya. Perkembangan anak akan optimal bila
interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada
berbagai tahap perkembangannya, bahkan sejak bayi masih di dalam
kandungan. Sedangkan lingkungan yang tidak mendukung akan
menghambat perkembangan anak (Soetjiningsih,2016).

3. Tinjauan Tentang Perilaku Merokok


1. Konsep Perilaku
Perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau
aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada
hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Oleh
karena itu perilaku manusia mempunyai rentang yang sangat luas,
mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain
sebagainya. Bahkan kegiatan internal sendiri seperti berpikir, persepsi
dan emosi juga merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).
2. Perilaku Merokok
h. Definisi Rokok
Rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus,
dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica
dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin
dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Merokok adalah
membakar tembakau yang kemudian dihisap isinya, baik
menggunakan rokok maupun menggunakan pipa (Tawbariah et
al., 2014).
i. Bahan Baku Rokok
Bahan baku yang digunakan untuk membuat rokok adalah
sebagai berikut Tawbariah et al. (2014):
1. Tembakau
19

Jenis tembakau yang dibudidayakan dan berkembang di


Indonesia termasuk dalam spesies Nicotiana tabacum.
2. Cengkeh
Bagian yang biasa digunakan adalah bunga yang belum
mekar. Bunga cengkeh dipetik dengan tangan oleh para
pekerja, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari,
kemudian cengkeh ditimbang dan dirajang dengan mesin
sebelum ditambahkan ke dalam campuran tembakau untuk
membuat rokok kretek.
3. Saus Rahasia
Saus ini terbuat dari beraneka rempah dan ekstrak buah-
buahan untuk menciptakan aroma serta cita rasa tertentu.
Saus ini yang menjadi pembeda antara setiap merek dan
varian kretek.
j. Kandungan Rokok
Menurut Tawbariah et al. (2014) racun rokok yang paling
utama adalah sebagai berikut:
1. Nikotin
Nikotin dapat meningkatkan adrenalin yang membuat
jantung berdebar lebih cepat dan bekerja lebih keras,
frekuensi jantung meningkat dan kontraksi jantung
meningkat sehingga menimbulkan tekanan darah meningkat.
2. Tar
Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket
dan menempel pada paru-paru, mengandung bahan-bahan
karsinogen.
3. Karbon monoksida (CO)
Merupakan gas berbahaya yang terkandung dalam asap
pembuangan kendaraan. CO menggantikan 15% oksigen
yang seharusnya dibawa oleh sel-sel darah merah. CO juga
dapat merusak lapisan dalam pembuluh darah dan
20

meninggikan endapan lemak pada dinding pembuluh darah,


menyebabkan pembuluh darah tersumbat.

k. Tipe Perokok

Menurut Silvan Tomkins ada 4 tipe perilaku merokok


berdasarkan Management of affect theory, keempat tipe tersebut
adalah (Tawbariah et al., 2014) :

1. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif


Dengan merokok seseorang merasakan penambahan
rasa yang positif. Green menambahkan 3 sub tipe ini:

a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk


menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah
didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau
makan.
b. Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya
dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
c. Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang
diperoleh dengan memegang rokok, misalnya merokok
dengan pipa.
2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif
Banyak orang menggunakan rokok untuk mengurangi
perasaan negatif, misalnya bila marah, cemas ataupun
gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat.
3. Perilaku merokok yang adiktif
Oleh Green disebut sebagai psychological addiction.
Bagi yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang
digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang
dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar
rumah membeli rokok, walau tengah malam sekalipun.
21

4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan


Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan
karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi
karena benar-benar sudah kebiasaan rutin. Pada tipe orang
seperti ini merokok merupakan suatu perilaku yang bersifat
otomatis (Tawbariah et al., 2014).
l. Faktor Penyebab Perilaku Merokok
Faktor yang menyebabkan seseorang merokok
diantaranya sebagai berikut (Tawbariah et al., 2014) :
1. Gemerlap mengenai perokok
Sebagai hasil dari kampanye besar-besaran dari rokok di
media iklan dan media cetak, maka semakin banyak pria,
wanita, tua dan muda yang menjadi perokok.
2. Kemudahan mendapatkan rokok, harganya yang relatif
murah, dan distribusinya yang merata.
3. Kurangnya pengetahuan tentang bahaya merokok bagi
kesehatan.
4. Adanya anggapan bahwa merokok dapat mengatasi
kesepian, kesedihan, kemarahan dan frustasi.
5. Faktor sosio-kultural seperti pengaruh orang tua, teman dan
kelompoknya (Tawbariah et al., 2014).
m. Alasan Merokok
Menurut Tawbariah et al. (2014) alasan seseorang
merokok ialah sebagai berikut:
1. Khawatir tidak diterima di lingkungannya jika tidak
merokok.
2. Ingin tahu, alasan ini banyak dikemukakan oleh kalangan
muda, terutama perokok wanita.
3. Untuk kesenangan, alasan ini lebih banyak diutarakan oleh
perokok pria.
22

4. Mengatasi ketegangan, merupakan alasan yang paling


sering dikemukakan, baik pria maupun wanita.
5. Pergaulan, karena ingin menyenangkan teman atau
membuat suasana menyenangkan, misalnya dalam
pertemuan bisnis.
6. Tradisi, alasan ini hanya berlaku untuk etnis tertentu
(Tawbariah et al., 2014).
n. Dampak Rokok Bagi Kesehatan
Menurut Center of Disease Control (CDC) dalam
Tawbariah et al. (2014) merokok membahayakan setiap organ
di dalam tubuh. Merokok menyebabkan penyakit dan
memperburuk kesehatan,seperti :
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK sudah terjadi pada 15% perokok. Individu yang
merokok mengalami penurunan pada Forced Expiratory
Volume in second (FEV1), dimana kira-kira hampir 90%
perokok berisiko menderita PPOK (Tawbariah et al., 2014).
Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang
satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran
dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan
menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-
anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan
gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya
infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru
pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh
keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap
kejadian ISPA (Tawbariah et al., 2014).
Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap
rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok
aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan
menghisapnya, asap yang diisap oleh perokok disebut asap
23

utama (mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok


(bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau
asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih
banyak hasil pembakaran tembakau dibanding asap utama.
Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar,
tar dan nikotin 3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat, nikel 3
kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker kadarnya
mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan
dibanding dengan kadar asap utama (Tawbariah et al.,
2014).
Asap rokok dapat mengganggu saluran pernafasan
bahkan meningkatkan penyakit infeksi pernafasan
termasuk ISPA, terutama pada kelompok umur balita yang
memiliki daya tahan tubuh masih lemah, sehingga bila ada
paparan asap, maka balita lebih cepat terganggu sistem
pernafasannya seperti ISPA (Wijaya, 2014).
2. Pengaruh Rokok terhadap Gigi
Hubungan antara merokok dengan kejadian karies,
berkaitan dengan penurunan fungsi saliva yang berperan
dalam proteksi gigi. Risiko terjadinya kehilangan gigi pada
perokok, tiga kali lebih tinggi dibanding pada bukan
perokok (Muhibah, 2011).
3. Pengaruh Rokok Terhadap Mata
Rokok merupakan penyebab penyakit katarak
nuklear, yang terjadi dibagian tengah lensa. Meskipun
mekanisme penyebab tidak diketahui, banyak logam dan
bahan kimia lainnya yang terdapat dalam asap rokok dapat
merusak protein lensa (Muhibah, 2011).
4. Pengaruh Terhadap Sistem Reproduksi
Merokok akan mengurangi terjadinya konsepsi,
fertilitas pria maupun wanita. Pada wanita hamil yang
24

merokok, anak yang dikandung akan mengalami penuruan


berat badan, lahir prematur, bahkan kematian janin
(Anggraini, 2013).
o. Pengertian Perokok Pasif
Perokok pasif adalah orang yang ikut menghirup asap
rokok yang dikeluarkan oleh perokok aktif pada saat merokok.
Menghirup asap rokok orang lain lebih berbahaya dibandingkan
menghisap rokok sendiri. Bahkan bahaya yang harus
ditanggung perokok pasif tiga kali lipat dari perokok aktif.
Penyakit yang dapat diderita perokok pasif ini tidak lebih baik
dari perokok aktif (Wijaya, 2014).
Perokok pasif adalah asap rokok yang di hirup oleh
seseorang yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok
merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya.
Asap rokok lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada
perokok aktif. Asap rokok yang dihembuskan oleh perokok aktif
dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak
mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak
mengandung tar dan nikotin (Wijaya, 2014)
Perokok pasif adalah mereka yang tidak merokok tetapi
menghisap ETS (Environmental Tobacco Smoke). ETS adalah
asap rokok utama dan asap rokok sampingan yang dihembuskan
kembali oleh perokok. Bagi orang yang tidak merokok, asap
rokok selalu tidak menyenangkan, berbau, mengiritasi hidung
dan mata. Risiko menghirup asap rokok orang lain tidak sebesar
menghirup asap rokok sendiri, tetapi risikonya tetap bermakna.
Berdasarkan 34 penelitian mengenai kanker paru menunjukkan
suatu kombinasi peningkatan risiko 24% lebih tinggi kejadian
kanker paru pada mereka yang terpajan asap rokok dalam
rumah. Karena adanya risiko ini, berbagai upaya dilakukan oleh
banyak Negara untuk melindungi mereka yang bukan perokok
25

dari asap rokok. Melalui perundangan dan persuasi, makin


banyak alat transportasi, tempat-tempat umum, tempat kerja,
dan rumah menjadi kawasan tanpa asap rokok (Milo et al.,
2015).
26

B. Kerangka Teori

Faktor Lingkungan :

1. Luas ventilasi kamar


2. Tipe lantai rumah
3. Kepadatan hunian
4. Tingkat kelembapan
udara
Etiologi :
Faktor Individu Balita :
Agen non-infeksius :
1. Status Nutrisi
2. Status Imunisasi 1. Aspirasi makanan dan
3. Riwayat pemberian cairan lambung
ASI eksklusif 2. Inhalasi zat asing ( misal :
4. Riwayat BBLR racun, debu, gas, asap
ISPA rokok)

Faktor Perilaku : Agen infeksius :


1. Kebiasaan merokok 1. Virus
anggotarumah
didalam 2. Bakteri
2. Kebiasaan membuka
jendela
jendela setiap pagi
dan siang hari
hari
Faktor Sosial Ekonomi :

1. Tingkat pendidikan
2. orang tua orang tua
Pendapatan

Gambar 2.1 Kerangka Teori


(Kemenkes RI, 2012; IDAI, 2011; Milo et al, 2015)
27

C. Kerangka Konsep
Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan
balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius
serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak.
Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama
memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-
paru pada saat dewasa. Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep tersebut dibuat
dalam skema sebagaimana gambar di bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Kejadian ISPA Pada


Perilaku Merokok Didalam Rumah Balita

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan : Diteliti
Mencari Hubungan

D. Landasan Teori

Asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan


toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko
kesakitan dari bahan toksik tersebut. Pada uji statistik penelitian Lindawaty (2010)
menyatakan bahwa balita yang tinggal bersama penghuni yang merokok beresiko
2,04 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibanding dengan balita yang tidak
terdapat penghuni rumah yang merokok (Rahmayatul, 2013).
Kandungan rokok yang diduga bertanggung jawab menimbulkan ISPA
yaitu Nikotin dan Tar. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf dan
mengakibatkan pemakaian oksigen pada tubuh bertambah. Di dalam Tar pada
rokok dijumpai zat-zat karsinogenik seperti polisiklik hidrokarbon aromatis yang
28

dapat menyebabkan terjadinya kanker paru-paru. Tar juga dapat merangsang jalan
nafas dan akan tertimbun di saluran nafas yang akan mengakibatkan batuk-batuk,
sesak nafas, kanker jalan nafas, lidah atau bibir (Cahyaningtias, 2015).
ISPA dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor individu anak, faktor
perilaku dan faktor lingkungan. Faktor individu anak meliputi: umur anak, berat
badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi
perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif
keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA. Faktor lingkungan meliputi:
pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan
bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah dan
kepadatan hunian (Milo et al., 2015).

E. Hipotesis

Nursalam (2014) mengatakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara dari


rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Hipotesis pada penelitian ini yaitu:
H1 : Ada hubungan perilaku merokok didalam rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mamboro.
H0 : Tidak ada hubungan perilaku merokok didalam rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mamboro.
29

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan


dan pelaksanaan penelitian. Desain dalam perencanaan penelitian bertujuan untuk
melaksanakan penelitian, sehingga dapat diperoleh suatu logika, baik dalam
pengujian hipotesis maupun dalam membuat kesimpulan (Arikunto, 2010 dalam
Hidayat, 2011). Desain penelitian yang dipakai adalah penelitian analitik, dengan
pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan pada saat yang
bersamaan antara variabel independen dan variabel dependen. Pada penelitian ini,
peneliti akan melakukan penelitian tentang hubungan perilaku merokok orang tua
dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Mamboro.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Mamboro.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Februari tahun 2020.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2014). Populasi dalam penelitian ini adalah semua orang
tua yang memiliki balita di Puskesmas Mamboro berjumlah 989 orang.
2. Sampel

Sampel terdiri atas sebagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan


sebagai subyek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses
menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada
(Nursalam, 2014). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian populasi yaitu
30

sebagian orang tua yang memiliki balita di Puskesmas Mamboro yang telah
memenuhi kriteria inklusi.
Besar sampel dihitung menggunakan rumus Slovin yaitu sebagai berikut
(Setiawan, 2011):

N
n=
1 + N (d2)

Keterangan :
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kesalahan absolute yang dikehendaki 10%
Dimana : N = 989
d = 10% (0,1)

989
n =
1 + 989 (0,1)2
989
n =
1 + 989 (0,01)
989
n =
1 + 9,89
989
n = 10,89 n = 90,81 sampel
Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 91 responden

D. Teknik pengambilan sampel


Dalam penelitian ini, tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah
non random sampling dengan cara accidental sampling, yaitu orang tua yang
memiliki anak balita dan kebetulan bertemu dengan peneliti di Puskesmas
Mamboro dijadikan sebagai responden. Adapun kriteria pengambilan sampel
adalah sebagai berikut :
31

1. Kriteria Inklusi

a. Orang tua Balita 0 – 5 tahun


b. Balita di wilayah kerja Puskesmas Mamboro.
2. Kriteria Eksklusi

a. Balita yang orang tuanya tidak bersedia menjadi responden


b. Orangtua pasien tidak bisa baca tulis.

E. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek yang
mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan (Nursalam, 2014).
Klasifikasi Variabel:
1. Variabel Bebas (independent variable)
Adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependent (variabel terikat). Dalam
penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah perilaku merokok orang tua
dan anggota keluarga yang tinggal serumah.
2. Variabel Terikat (dependent variable)

Adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya


variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikatnya adalah
kejadian ISPA pada balita.
F. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati


dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati (diukur)
itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat diamati artinya
memungkinkan bagi peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian dapat diulang oleh
orang lain (Nursalam, 2014).
1. Variabel Independen
Perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah
32

Definisi : Perilaku merokok yang dilakukan oleh orang tua dan


anggota keluarga yang tinggal serumah yang menyebabkan
anaknya menjadi perokok pasif.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Membagi kuesioner
Skala ukur : Nominal
Hasil ukur : 1. Perokok pasif (jika skor jawaban responden ≥ 14)
2. Tidak terpapar asap rokok (jika skor jawaban responden <
14) (Cahyaningtias, 2015)
2. Variabel Dependen

Kejadian ISPA pada Balita


Definisi : Penyakit ISPA merupakan kejadian ISPA bada balita
berdasarkan hasil wawancara dengan responden tentang tanda
dan gejala penyakit ISPA yang pernah dialami dalam waktu
≤ 2 minggu terakhir.
Alat Ukur : Ceklist
Cara ukur : Pengisian Ceklist
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : 1. Pernah Menderita ISPA (jawaban responden lebih dari atau
sama dengan 3 tanda dan gejala seperti batuk, pilek/flu,
demam, sesak nafas).
2. Tidak Pernah Menderita ISPA (jawaban responden kurang
dari 3 tanda dan gejala seperti batuk, pilek/flu, demam,
sesak nafas). (Cahyaningtias, 2015)

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang


diadopsi dari jurnal penelitian terdahulu yang disusun oleh Cahyaningtias (2015).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi 10
pertanyaan tentang perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal
33

serumah dan 5 pertanyaan tentang kejadian ISPA yang telah divalidasi dan diuji
reliabilitasnya.
H. Tehnik Pengumpulan Data
1. Jenis data yang dikumpulkan

a. Data Primer

Data primer, yaitu data yang dikumpulkan langsung melalui


pembagian kuesioner pada orang tua yang memiliki balita yang merokok
atau memiliki keluarga serumah yang merokok di wilayah kerja
Puskesmas Mamboro.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Puskesmas Mamboro
tentang jumlah orang tua yang memiliki balita.
2. Cara pengukuran
Cara pengukuran dilakukan dengan wawancara dan observasi
menggunakan ceklist yang berisi pertanyaan tentang tentang perilaku merokok
orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dan kejadian penyakit
ISPA pada balita.
3. Pengolahan Data
Menurut Narbuko (2002) dalam Setiawan (2011) tahap-tahap pengolahan
data adalah sebagai berikut:
a. Editing : Memeriksa kembali data yang telah dikumpulkan
b. Coding : Pemberian nomor kode atau bobot pada jawaban yang
bersifat kategori
c. Tabulating : Penyusunan/perhitungan data berdasarkan variabel yang di
teliti
d. Entry : Memasukkan data ke program komputer untuk keperluan
analisis
e. Cleaning : Membersihkan data dan melihat variabel yang digunakan
apakah datanya sudah benar atau belum
f. Describing : Menggambar/menerangkan data
34

I. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisa data yang dilakukan dengan cara analisis univariat, yang
dilakukan terhadap tiap variabel penelitian. Dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel. Analisa data
dilakukan dengan formulasi distribusi frekuensi dengan rumus sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010):

P = x 100%

Keterangan : P = Presentase
f = Frekuensi
n = Sampel
2. Analisis Bivariat
Dilakukan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square (X2)
mengunakan fasilitas pengolahan data program SPSS dengan derajat
kemaknaan 95%. Bila nilai p ≤ 0,05, berarti hasil perhitungan statistik
bermakna (signifikan) (Ho ditolak) dan nilai > 0,05, berarti hasil perhitungan
statistik tidak bermakna (signifikan) (Ho diterima) (Notoatmodjo, 2010).

J. Etika Penelitian
1. Informed Consent (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan yang diberikan kepada responden oleh peneliti
dengan menyertakan judul penelitian agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghargai atau menghormati hak-hak yang dimiliki responden (subjek).
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden tetapi lembar tersebut diberikan kode.
35

3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan sebagai hasil penelitian (Nursalam, 2014).
36

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Puskesmas Mamboro merupakan salah satu dari tiga buah Puskesmas yang
ada di wilayah Kecamatan Palu Utara. Puskesmas Mamboro berjarak ±13 Km Kota
Palu dan ±10 Km dari ibu kota Kecamatan Palu Utara. Luas wilayah kerja adalah
± 29.67 Km2 yang terbagi dalam tiga wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Mamboro
(±18.17 Km2), Kelurahan Mamboro Barat (± 9,075 Km2). dan Kelurahan Taipa (±
11.50 Km2). Daerah kerja Puskesmas Mamboro adalah dataran rendah yang terletak
tepat ditepi pantai Teluk Palu, yang beriklim panas dengan suhu udara rata-rata 32o
C dengan kelembaban udara antara 70-76 %. Tahun 2013 penduduk di wilayah
kerja Puskesmas Mamboro berjumlah 14.867 jiwa, pada tahun 2014 berjumlah
15.209, pada tahun 2015 berjumlah 15.461 sementara tahun 2016 berjumlah 15.716
dan pada tahun 2017 berdasarkan data BPS, jumlah penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Mamboro sedikit bertambah menjadi 16.204 jiwa.(UPTD Mamboro,
2017)
Program kegiatan puskesmas mengacu pada program kesehatan nasional
dengan visi Indonesia Sehat, dengan mempertimbangkan paradigma masyarakat,
dimana masyarakat semakin sadar akan tuntutan pelayanan kesehatan yang lebih
optimal, dengan dilandasi oleh kesadaran dan keyakinan bahwa kesehatan
merupakan hak azasi manusia, sehingga pemerintah dalam hal ini lembaga
pelayanan kesehatan dituntut peka terhadap berbagai permasalahan kesehatan yang
berkembang di masyarakat serta memberikan pelayanan lebih optimal kepada
masyarakat.(UPTD Mamboro, 2017)
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, maka tugas puskesmas dibagi
ke dalam beberapa program dengan masing-masing program memiliki cakupan
kegiatan masing-masing. Beberapa program tersebut:
a. Program Kesehatan Lingkungan
b. Program KIA dan Keluarga Berencana
37

c. Program Promosi Kesehatan


d. Program Gizi
e. Program Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
f. Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
g. Program Kesehatan Jiwa
h. Program Pelayanan Kesehatan Gigi
i. Program Penyakit Tidak Menular
j. Program Kesehatan Olahraga
k. Program Kesehatan Lansia
l. Program Keselamatan Kerja (UPTD Mamboro, 2017)

B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian tentang hubungan perilaku merokok dengan terjadinya
penyakit ISPA pada balita dari 91 responden yang dilakukan di Puskesmas
Mamboro pada bulan Januari tahun 2020 dianalisis secara univariat dan analisis
bivariat yaitu sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
Pada penelitian ini, hasil analisis univariat akan menggambarkan variabel
independen perilaku merokok serta variabel dependen yaitu kejadian ISPA
pada balita.
a. Perilaku Merokok
Gambaran distribusi responden menurut perilaku merokok dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok di
Puskesmas Mamboro
No. Perilaku Merokok Frekuensi (f) Persen (%)

1. Perokok pasif 85 93,4

2. Tidak terpapar asap rokok 6 6,6

Jumlah 91 100
(Sumber: Data Primer Tahun 2020)
38

Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 91 responden, balita yang


menjadi perokok pasif lebih besar jumlahnya yaitu 85 responden
(93,4%), sedangkan balita yang tidak terpapar asap rokok yaitu 6
responden (6,6%).

b. Kejadian ISPA Pada Balita


Untuk memperoleh gambaran distribusi menurut kejadian ISPA pada
balita dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian ISPA Pada Balita
di Puskesmas Mamboro

No. Kejadian ISPA Pada Balita Frekuensi %

1. Pernah menderita ISPA 82 90,1


2. Tidak pernah menderita ISPA 9 9,9

Jumlah 91 100
(Sumber: Data Primer Tahun 2020)
Pada tabel 4.2 terlihat bahwa dari 91 responden, balita yang pernah
menderita ISPA lebih besar jumlahnya yaitu 82 responden (90,1%),
sedangkan balita yang tidak pernah menderita ISPA yaitu 9 responden
(9,9%).
2. Analisis Bivariat
Dalam penelitian ini, hasil analisis bivariat dilakukan untuk memberi
gambaran hubungan antara variabel indepenen dan variabel dependen. Pada
penelitian ini digunakan uji statiatik Chi-square dengan tingkat kemaknaan
95%. Pada analisis bivariat ini dilakukan pengujian untuk melihat hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
kejadian ISPA pada balita yang dapat diuraikan sebagai berikut:
39

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok Dengan


Kejadian ISPA Pada Balita Di Puskesmas Mamboro

Terjadinya Penyakit ISPA


Pada Balita
Total
Perilaku Menderita Tidak Menderita P OR
N Value
Merokok ISPA ISPA (95%)
n % n %

Perokok
81 95,3 4 4,7 85
Pasif 5,718
0,000 (0.955-
Tidak
34.239)
terpapar asap 1 16,7 5 83,3 6
rokok

Total 82 90,1 9 9,9 91

(Sumber: Data Primer Tahun 2020)


Pada tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa balita yang menderita penyakit
ISPA banyak terjadi pada balita yang perokok pasif yaitu 95,3%, sedangkan
balita yang menderita penyakit ISPA pada balita yang tidak terpapar asap rokok
yaitu 16,7%.
Hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p Value <0,05), ini
berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan terjadinya
penyakit ISPA pada balita (H0 ditolak). Dengan nilai Odd Ratio (OR) 5,718
berarti ISPA pada balita berpeluang 5,718 kali terjadi pada balita yang menjadi
perokok pasif dibandingkan dengan balita yang tidak terpapar asap rokok.
40

BAB V

PEMBAHASAN

A. Analisis Univariat
1. Perilaku Merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91 responden, balita yang menjadi
perokok pasif lebih besar jumlahnya dari pada balita yang tidak terpapar asap
rokok. Artinya sebagian besar balita menjadi perokok pasif. Hal ini terjadi
karena balita besar di lingkungan orang yang merokok dan hal ini sangat
berbahaya bagi kesehatan anak.
Menurut asumsi peneliti anak yang tinggal serumah dengan orang yang
merokok sangat berbahaya karena asap rokok dari orang tua atau penghuni
rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang
tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan
toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan
gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran
pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak
rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap
kejadian ISPA.
Sejalan dengan analisis WHO (Tawbariah et al., 2014) yang menunjukkan
bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan
perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya,
asap yang diisap oleh perokok disebut asap utama (mainstream), dan asap yang
keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke
atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil
pembakaran tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandung karbon
monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat,
nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50
kali lebih besar pada asap sampingan dibanding dengan kadar asap utama.
41

2. Penyakit ISPA Pada Balita


Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91 responden, balita yang pernah
menderita ISPA lebih besar jumlahnya dari pada balita yang tidak pernah
menderita ISPA. Menurut asumsi peneliti jumlah balita yang menderita ISPA
cukup tinggi dan hal ini kurang baik karena menderita ISPA pada balita akan
mempengaruhi kesehatan sepanjang hidupnya.
Sejalan dengan pendapat Djojodibroto (2014), yang mengatakan bahwa
penyakit ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak-anak,
baik di negara berkembang maupun di negara maju dan banyak dari mereka
perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit
saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi
kecacatan sampai pada masa dewasa. Penyakit ISPA ringan dapat berkembang
menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya
pasien kurang mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien sangat
kurang. Oleh karena pengetahuan sangat penting dalam upaya mencegah
terjadinya komplikasi penyakit ISPA.

B. Analisis Bivariat
1. Hubungan Perokok Pasif Dengan Terjadinya Penyakit ISPA Pada Bayi
Berdasarkan hasil dari uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000
(p Value <0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok
didalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. ISPA pada balita lebih
banyak terjadi pada balita yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan
balita yang tidak terpapar asap rokok. Menurut asumsi peneliti hal ini terjadi
karena kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai
perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya
mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA.
Faktor perilaku keluarga yang bisa menyebabkan kejadian ISPA pada balita.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan atau kuisioner yang telah diberikan ke
91 responden, ada beberapa faktor yang menyebabkan balita yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Mamboro menjadi perokok pasif atau terpapar asap
42

rokok. Faktor tertinggi yang menyebabkan balita terpapar asap rokok yaitu
orang tua atau keluarga balita merokok dalam rumah (61,5%), orang tua atau
keluarga balita menghabiskan ≥ 20 batang perhari (60,4%) dan rumah yang
terpapar asap rokok lebih dari 30 menit setiap hari (60,4%). Dari ketiga faktor
tersebut, sangat memungkinkan balita-balita yang berada diwilayah kerja
Puskesmas Mamboro terpapar asap rokok dan pernah mengalami ISPA. Ketika
orang tua balita merokok didalam rumah, asap yang dihasilkan dari rokok tidak
langsung keluar rumah, asap dapat melekat di bagian rumah seperti dinding,
langit-langit, tirai penghalang jendela, baju orang tua balita, baju-baju atau
kain-kain yang digantung dirumah pasien dan sebagainya. Konsumsi rokok
yang lebih dari 20 batang perhari dari orang tua atau keluarga balita
menyebabkan sangat mudahnya balita terpapar asap rokok dikarenakan
semakin banyak rokok yang dikonsumsi maka akan semakin banyak pula
polusi asap rokok yang dihasilkan. Semakin banyak polusi asap rokok yang
dihasilkan maka akan menyebabkan asap rokok berada didalam rumah lebih
dari 30 menit, hal ini juga yang dapat menyebabkan balita lebih sering terpapar
asap rokok, hal ni dapat dikurangi dengan membuka pintu dan jendela rumah
agar asap rokok yang terkurung dalam rumah bisa keluar dari rumah.
Didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningtias
(2015), menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok orang tua
terhadap kejadian ISPA pada balita. Hal ini menunjukan dengan semakin berat
perilaku merokok orangtua maka semakin besar potensi anak balitanya
menderita ISPA. Adapun menurut Kemenkes RI (2012) balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko untuk
terjadinya ISPA sebesar 2,7 kali dibandingkan dengan balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Milo et al. (2015) bahwa kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah
menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok.
Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok berpeluang
meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah
balita yang orang tuanya tidak merokok di dalam rumah.
43

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Terdapat bahwa dari 91 responden, balita yang menjadi perokok pasif lebih
besar jumlahnya yaitu 85 responden (93,4%), sedangkan balita yang tidak
terpapar asap rokok yaitu 6 responden (6,6%).
2. Terdapat bahwa dari 91 responden, balita yang pernah menderita ISPA lebih
besar jumlahnya yaitu 82 responden (90,1%), sedangkan balita yang tidak
pernah menderita ISPA yaitu 9 responden (9,9%).
3. Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p Value
<0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan
terjadinya penyakit ISPA pada balita (H0 ditolak). Dengan nilai Odd Ratio
(OR) 5,718. Berarti ISPA pada balita berpeluang 5,718 kali terjadi pada balita
yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan balita yang tidak terpapar
asap rokok.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas Mamboro
Perlu ditingkatkan mengenai program penanggulangan penyakit ISPA
yang dapat bekerja sama dengan beberapa lintas program agar dapat
melakukan promosi kesehatan mengenai bahaya rokok terhadap balita agar
dapat mencegah kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Mamboro.

2. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako


Penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan penyakit ISPA.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk mewujudkan
lingkungan sehat bagi anak-anak terutama lingkungan yang terbebas akan asap
rokok, sehingga kejadian ISPA dapat berkurang.
44

DAFTAR PUSTAKA

Andriani M & Defita AP, 2015. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukit
Tinggi Tahun 2014, STIKES Yarsi, Bukit Tinggi. Diakses 28 November 2019
dari:(http://ejournal.stikesyarsi.ac.id/index.php/JAV1N1/article/download/29/
120)

Anggraini, FD, 2013, Hubungan Larangan Merokok di Tempat Kerja dan Tahapan
Smoking Cessation Terhadap Intensitas Merokok pada Kepala Keluarga di
Kelurahan Labuhan Ratu Raya Kota Bandar Lampung Tahun 2013,
Universitas Lampung, Bandar Lampung. Diakses 28 November 2019 dari:
(http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/63)

Cahyaningtias, 2015. Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga dengan


Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah
Pesisir Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima. Universitas Islam
Negeri Alauddin, Makassar, Diakses 28 November 2019 dari:
(http://scholar.google.co.id/scholar_url?url=http://journal.uinalauddin.ac.id/in
dex.php/higiene/article/download/3701/3374&hl=en&sa=X&scisig=AAGBf
m2vW2WWINb-3sP2dKEuOY2sWs0UQA&nossl =1&oi= scholarr)

Djojodibroto, D, 2014, Respirologi (Respiratory Medicine), EGC, Jakarta.

Hidayat, A. A., 2011, Metode Penelitian Kesehatan dan Tehnik Analisis Data,
Salemba Medika, Jakarta.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011, Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi


Saluran Pernafasan Akut, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Jakarta.
45

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018, Riset Kesehatan Dasar, Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. Diakses 28 November 2019
dari: http://www.kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/
files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf

Milo et al, 2015, Hubungan Kebiasaan Merokok di Dalam Rumah Dengan


Kejadian ISPA pada Anak Umur 1-5 Tahun di Puskesmas Sario Kota Manado,
Universitas Samratulangi, Manado. Diakses 28 November 2019 dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/8087

Muhibah, F.A.B, 2011, Tingkat Pengetahuan Pelajar Sekolah Menengah Sains


Hulu Selangor Mengenaik Efek Rokok Terhadap Kesehatan, Universitas
Sumatera Utara, Medan. Diakses 28 November 2019 dari:
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21689)

Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta,


Jakarta.

Nursalam, 2014, Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.

Octafrida M, D. 2011. Hubungan Merokok dengan Katarak di Poliklinik Mata


Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, (KTI), Universitas
Sumatera Utara, Medan. Diakses 28 November 2019 dari:
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/25418/Cover.pdf?seq
uence=7&isAllowed=y)

Puskesmas Mamboro, 2019. Profil Kesehatan Puskesmas Mamboro. Puskesmas


Mamboro, Kota Palu.

Rahmayatul, 2013, Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada


Balita Di Kelurahan Ciputat Kota Rangerang Selatan Tahun 2013, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Diakses 28 November 2019 dari:
46

(http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24284/1/RAHMA
YATUL%20FILLACANO-fkik.pdf)

Sabaruddin, et al, 2011, Modul Rumah Sehat, Kementerian Pekerjaan Umum,


Jakarta. Diakses 28 November 2019 dari:
(http://litbang.pu.go.id/puskim/source/pdf/Modul%20Rumah%20Sehat.pdf)

Setiati, S. 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Interna Publishing,
Jakarta.

Setiawan, A, 2011, Metodologi Penelitian Kebidanan, Mulia Medika, Yogyakarta.

Soetjiningsih, 2016, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta.

Tanto C, 2016, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta.

Widoyono, DM, 2011, Penyakit Tropis, Airlangga, Jakarta.

Wijayaningsih. KS, 2013, Asuhan Keperawatan Anak, CV Trans Info Media,


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai

  • Fui
    Fui
    Dokumen1 halaman
    Fui
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Tutorial
    Tutorial
    Dokumen7 halaman
    Tutorial
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Fui
    Fui
    Dokumen1 halaman
    Fui
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan
    Halaman Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Halaman Pengesahan
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Huhu
    Huhu
    Dokumen1 halaman
    Huhu
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Ji
    Ji
    Dokumen2 halaman
    Ji
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Referat Intoksikasi Minyak Tanah
    Referat Intoksikasi Minyak Tanah
    Dokumen12 halaman
    Referat Intoksikasi Minyak Tanah
    Herdyansyah usman
    Belum ada peringkat
  • Oi
    Oi
    Dokumen28 halaman
    Oi
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Refarat ADHD
    Refarat ADHD
    Dokumen22 halaman
    Refarat ADHD
    Jeane Adelia
    Belum ada peringkat
  • Op
    Op
    Dokumen5 halaman
    Op
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Hu
    Hu
    Dokumen8 halaman
    Hu
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • HB
    HB
    Dokumen1 halaman
    HB
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • GH
    GH
    Dokumen57 halaman
    GH
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Po
    Po
    Dokumen37 halaman
    Po
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Refleksi Kasus OBGYN Diah Puspitasari N111 17 161 Tifoid Dalam Kehamilan
    Refleksi Kasus OBGYN Diah Puspitasari N111 17 161 Tifoid Dalam Kehamilan
    Dokumen19 halaman
    Refleksi Kasus OBGYN Diah Puspitasari N111 17 161 Tifoid Dalam Kehamilan
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Lapmen
    Lapmen
    Dokumen13 halaman
    Lapmen
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Refleksi Kasus OBGYN Diah Puspitasari N111 17 161 Tifoid Dalam Kehamilan
    Refleksi Kasus OBGYN Diah Puspitasari N111 17 161 Tifoid Dalam Kehamilan
    Dokumen19 halaman
    Refleksi Kasus OBGYN Diah Puspitasari N111 17 161 Tifoid Dalam Kehamilan
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Yh
    Yh
    Dokumen20 halaman
    Yh
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • As
    As
    Dokumen1 halaman
    As
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Ss
    Ss
    Dokumen1 halaman
    Ss
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • SPV KLL
    SPV KLL
    Dokumen1 halaman
    SPV KLL
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • HJ
    HJ
    Dokumen11 halaman
    HJ
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • WWW
    WWW
    Dokumen1 halaman
    WWW
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • VER Luka Tembak
    VER Luka Tembak
    Dokumen4 halaman
    VER Luka Tembak
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • F
    F
    Dokumen15 halaman
    F
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Deskripsi Luka
    Deskripsi Luka
    Dokumen5 halaman
    Deskripsi Luka
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Patron Anamnesis Tenggelam
    Patron Anamnesis Tenggelam
    Dokumen2 halaman
    Patron Anamnesis Tenggelam
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Referat Forensik
    Referat Forensik
    Dokumen12 halaman
    Referat Forensik
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Y
    Y
    Dokumen6 halaman
    Y
    diah puspitasari
    Belum ada peringkat