Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

TRAUMA CAPITIS

Disusun Oleh :
Albatros Wahyubramanto 11 2016 050

Pembimbing
Kolonel CKM (PURN) Dr. Heri Aminuddin, Sp.BS (K)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH


PERIODE 7 AGUSTUS – 14 OKTOBER 2017
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
JAKARTA
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan
pembangunan, frekuensi trauma kepala cenderung makin meningkat. Trauma kepala berperan
pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan
bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
WHO pada tahun 2002 mengestimasi 1,2 juta orang yang terbunuh akibat kecelakaan
lalu lintas setiap tahunnya dan 50 juta orang yang mengalami luka-luka. Pada tahun 2001 cause
specific death rate (CSDR) kecelakaan lalu lintas pada perempuan di Indonesia yaitu 18 per
100.000 penduduk dan pada laki-laki 71 per 100.000 penduduk.
Kematian akibat trauma diproyeksikan meningkat dari 5,1 juta menjadi 8,4 juta (9,2%
dari kematian secara keseluruhan) dan diestimasikan menempati peringkat ketiga disability
adjusted life years (DALYS) pada tahun 2020.
Cedera kepala marupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera ditangani.
Trauma terjadi akibat adanya ruda paksa mekanis yang dapat menyebabkan fraktur tulang
tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri dan perdarahan intrakranial seperti subdural
hematoma, epidural hematoma atau intraserebral hematoma. Cedera kepala ini dapat
menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal kejadian, timbulnya kecacatan di
kemudian hari atau bahkan pada kasus yang berat dapat menimbulkan kematian.
Diantara kelompok trauma yang serius, trauma kepala menduduki urutan tertinggi,
disusul trauma ekstremitas baik di Indonesia maupun di Amerika. Trauma kepala 25,5%-
54,9%, trauma ekstremitas berkisar antara 17,63 - 42,20%, sedangkan trauma dada dan perut
mencapai 11.8%.
Berdasarkan fakta di atas, maka penting bagi seorang dokter untuk mengetahui
tatalaksana trauma kepala agar mampu menyelamatkan pasien dari kematian dan disabilitas.
Penanganan yang kurang tepat pada pasien cedera kepala akan berdampak fatal dan dapat
menyebabkan kematian, sehingga pasien dengan cedera kepala memerlukan penegakkan
diagnosa sedini mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan
prognosa yang tepat, akurat dan sistematis.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

III.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. Agn
No. RM : 86429x
Tanggal lahir : 20 Juli 1990 (27 tahun)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : kwitang
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Status : Belum menikah
Tanggal masuk : 04 September 2017

III.2 ILUSTRASI KASUS


II.2.1 Anamnesis ( Alloanamnesis dengan anak pasien tanggal 04 september 2017 pukul
05.00 WIB)
Pasien laki-laki, usia 27 tahun datang di bawa ambulance ke IGD RSPAD dengan tidak
sadarkan diri, dan menurut petugas medis os sudah tergeletak di samping motor pada pukul
05.00 WIB, tidak tampak terdapat helm, mekanisme kejadian tidak diketahui, tidak ada luka
terbuka ditubuh os, pada saat di IGD os muntah 2 kali.
II.2.2 Primary Survey
a. Airway and cervical spine control
Saluran napas ada sumbatan, pasien tidak dapat bernapas spontan, terdapat gangguan
jalan napas, terdapat kelainan di leher, terdapat jejas pada bagian kepala. Terpasang
collar neck.
b. Breathing and ventilation
Terintubasi dengan ETT nomer 7, kedalaman 22, RR 27 x/menit, dengan ventilator,
c. Circulation
Akral hangat, spO2 100 %, TD 132/83 mmHg, HR 64 x/menit, CRT < 2 detik.
d. Disability
GCS 4 (E1M2V1 intubasi)
e. Exposure

3
Ditemukan jejas di kepala, tidak ada perdarahan aktif.

II.2.3 Secondary Survey ( 04 september 2017 pukul 12.00 WIB)


a. Anamnesis
Alloanamnesis pada tanggal 04 september 2017 di IGD RSPAD Gatot Subroto.
i. Keluhan Utama
Pasien tidak sadarkan diri sejak pukul 05.00 WIB sehabis jatuh dari motor.
ii. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada sebelum os hilang kabar dari keluarga, os baik-baik saja, pada pukul 04.00
WIB os ijin untuk membuang sampah menggunakan sepeda motor, lalu os tidak pulang
ke rumah hingga pukul 08.00 WIB. Lalu keluarga os dikabarkan oleh polisi bahwa os
sudah di IGD RSPAD. Pada saat os tiba di IGD RSPAD os tidak sadarkan diri, ada
muntah 2 kali, muntahan berisi makanan dan ada sedikit darah keluar dari hidung dan
mulut. Tidak ada keluar cairan dari telinga.
iii. Riwayat Penyakit Dahulu
Os tidak ada keluhan selama di rumah. Os tidak mempunyai riwayat penyakit
jantung, diabetes mellitus, hipertensi tidak ada, dan tidak ada riwayat trauma.
iv. Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada
v. Riwayat Pengobatan
Tidak ada

II.3 PEMERIKSAAN FISIK ( tanggal 04 september 2017 di IGD RSPAD GS pukul 12.15
WIB)
II.3.1 Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : koma
c. GCS : 3 (E1M1V1 )
d. Tanda Vital
Tekanan darah : 134/89 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 23 x/menit
Suhu : 36,6 ˚C

4
e. Status Gizi :
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 60 kg
IMT : 23,4 ( Ideal)
f. Kepala dan leher
Kepala : Status lokalis
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
Ø 4 mm, refleks cahaya (-/-)
Telinga : Normotia, otorea (-/-), gangguan pendengaran (-/-),
tinnitus (-/-)
Hidung : Rhinorea (-/-)
Mulut : Mukosa bibir lembab (+), perdarahan (+)
Leher : Status lokalis
g. Thoraks
Paru
 Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan kiri saat keadaan statis
maupun dinamis, tidak tampak jejas pada dada bagian
depan dan belakang
 Palpasi : tidak dapat dinilai
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki kering (+/+)
Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
 Palpasi : Iktus cordis tidak teraba kuat angkat
 Perkusi : Batas jantung
Kiri, redup pada ICS V linea midclavikula sinistra
Kanan, redup pada ICS IV parasternalis dextra
Atas, redup pada ICS III parasternalis sinistra
 Auskultasi : BJ I-II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : Perut datar, tidak ada jejas (-)
 Palpasi : Supel, tidak teraba massa, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen

5
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral dingin, edema (-/-), CRT < 2 detik

II.3.2 Status Neurologis


a. Kepala
i. Bentuk : normocephal
ii. Nyeri tekan : (-)
iii. Simetris : tampak simetris
b. Leher
Sikap : simetris
Pergerakan : tidak ada
c. Rangsang meningeal
i. Kaku kuduk : tidak diperiksa
ii. Kernig : tidak diperiksa
d. Pemeriksaan nervus cranialis
i. N. Olfactorius (N.I)
Subjektif : tidak dapat diperiksa
Dengan bahan : tidak diperiksa
ii. N. Opticus (N.II)
Tajam penglihatan : tidak dapat diperiksa
Pengenalan warna : tidak dapat diperiksa
Lapang pandang : tidak dapat diperiksa
Fundus okuli : tidak dapat diperiksa
iii. N. Oculomotorius, N. Trochlearis, N. Abdusens (N.III, IV, VI)
Kedudukan bola mata : ortoposisi +/+
Pergerakan bola mata : tidak dapat diperiksa
Enoftalmus : -/-
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Pupil : bentuk (bulat / bulat), diameter (4 mm/ 4 mm),
refleks cahaya langsung (-/-), refleks cahaya tidak
langsung (-/-)
Diplopia : tidak dapat diperiksa

6
iv. N. Trigeminus (N.V)
Membuka mulut : tidak dapat diperiksa
Menggigit : tidak dapat diperiksa
Refleks kornea : Negatif
Sensibilitas : Negatif
v. N. Facialis (N.VII)
Mengerutkan dahi : tidak dapat diperiksa
Menutup mata : tidak dapat diperiksa
Sudut mulut : tidak ditemukan kelainan
Meringis : tidak dapat diperiksa
Memperlihatkan gigi : tidak dapat diperiksa
Bersiul : tidak dapat diperiksa
Daya mengecap 2/3 depan : tidak dapat diperiksa
vi. N. Vestibulotrochlearis (N.VIII)
Mendengar suara berbisik : tidak dapat diperiksa
Tes Rinne : tidak dilakukan
Tes Weber : tidak dilakukan
vii. N. Glossopharyngeus (N.IX)
Arkus faring : tidak dilakukan
Daya mengecap 1/3 belakang : tidak dilakukan
Refleks muntah : tidak dilakukan
viii. N. Vagus (N.X)
Menelan : tidak dapat diperiksa
Bicara : tidak dapat diperiksa
Uvula : tepat ditengah
ix. N. Accesorius (N.XI)
Menoleh kanan, kiri, bawah : tidak dapat diperiksa
Mengangkat bahu : tidak dapat diperiksa
x. N. Hipoglossus (N.XII)
Menjulurkan lidah : tidak dapat diperiksa
Tremor lidah : tidak dapat diperiksa
Artikulasi : tidak dapat diperiksa
e. Badan dan anggota gerak
i. Ekstremitas atas
7
Motorik
Bentuk : simetris +/+
Trofik : eutrofi +/+
Tonus : normotonus +/+
Kekuatan : 1/1
Refleks bisep : -/-
Refleks triseps : -/-
Sensibilitas
Raba : tidak dilakukan
Nyeri : tidak dilakukan
Suhu : tidak dilakukan
Vibrasi : -/-
ii. Ekstremitas bawah
Motorik
Bentuk : simetris +/+
Trofik : eutrofi +/+
Tonus : normotonus +/+
Kekuatan : 1/1
Refleks patella : +/+
Refleks achilles : +/+
Sensibilitas
Raba : tidak dilakukan
Nyeri : tidak dilakukan
Suhu : tidak dilakukan
Vibrasi : -/-
Sensibilitas
Raba : tidak dilakukan
Nyeri : tidak dilakukan
Suhu : tidak dilakukan
Vibrasi : -/-
f. Koordinasi, gait dan keseimbangan
Cara berjalan : tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak diperiksa
g. Gerakan-gerakan abnormal
8
Tremor : tidak ada
Miokloni : tidak ada
Khorea : tidak ada
Status Lokalis : Regio kepala

Inspeksi : Jejas di bagian frontal dextra, Tidak ada perdarahan aktif, terpasang collar
neck, NGT dan ventilator.
9
Palpasi : Tidak ditemukan kelaian.
Move : tidak dilakukan.
II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik ( tanggal 04 September 2017 di IGD RSPAD)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 15,6 12.0 - 16.0 g/dL
Hematokrit 45 37 - 47 %
Eritrosit 5,3 4.3 - 6.0 juta/L
Leukosit 28,560 4,800 - 10,800 /L
Trombosit 359.000 150,000 - 400,000 /L
MCV 85 80 - 96 fL
MCH 30 27 - 32 pg
MCHC 35 32 - 36 g/dL
Kimia klinik
Ureum 34 20 - 50 mg/dL
Kreatinin 1,2 0.5 - 1.5 mg/dL
Glukosa Darah (Sewaktu) 146* < 140 mg/dL
Natrium (Na) 141 135 - 147 mmol/L
Kalium (K) 3,1* 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 102 95 - 105 mmol/L
SGOT 21 < 35 U/L
SGPT 36 < 40 U/L
PT 15,3 Detik
APTT 62,8 Detik
Aseton -negatif -negatif

Kimia klinik (
tanggal 17/8/17)
Analisa gas
darah
PH 7.239* 7.37-7.45
pCO2 32,6* 33-44 mmHg
pO2 59,9* 71-104 mmHg

10
Bikarbonat 14,1* 22-29 mmol/L
(HCO3)
Kelebihan basa -11,6* (-2)-3 mmol/L
(BE)
Saturasi O2 86,8* 94-98%

CT-Scan Kepala (tanggal 04 September 2017 )

Kesan :
 Perdarahan subarachnoid di sulci –sulci cerebri region frontotemproroparietal kiri,
system cisterna, dan falx cerebri.
11
 Contusion cerebri di lobus frontotemporal bilateral.
 Edema cerebri
 Fraktur komplit os oksipital kiri, sphenoid wing kiri, os temporal pars petrosus kiri
dan fraktur kominutif di os temporal kiri.
 Pneumoencephal temporal kiri dan emfisema subkutis region temporal kiri.
 Subgaleal hematom region temproparietokosipital kiri.
 Perselubungan di sinus sphenoid sisi kiri dan sinus ethmoid kanan-kiri, DD/
hematosinus.

Gambar 1 CT-Scan Brain Window ( tanggal 04 September 2017 )

12
Kesan :

 Perdarahan subaracnoid frontoparietotemporooccipitial kanan kiri, system sisterna


dan tentoriumcerebelli.
 Bercak perdarahan di intraparenkim lobus frontoparietotemporal kiri dan temporal
kanan dan pons, sugestif kontusio cerebro.
 Perdarahan subdural region frontoparietal kiri dan temporal kanan.
 Edema cerebri generalisata.
 Fraktur linier multiple sepanjang os parietotemporooccipital kiri dan occipital kanan
hingga mastoid kiri.
 Hematosinus sphenoid kiri dan hematomastoid kiri.
 Subgaleal hematom region frontoparietal bilateral.

Rongten Schedel ( 04 September 2017 )

13
Rontgen Thorax ( 04 September 2017)

Kesan :

1. Cor dan Pulmo tidak ditemukan kelainan.

Hasil EKG ( 04 September 2017 )

14
Kesan

1. RBBB lead II, AVF


2. NSR

II.5 Resume
Tn, Agn berusia 27 tahun, datang di bawa ambulance ke IGD RSPAD Gatot Soebroto
pukul 05.00 WIB dengan tidak sadarkan diri. Os ditemukan tergeletak disebelah motornya
tanpa menggunakan helm, tidak ada perdarahan aktif di tubuh os. Pada saat di IGD os
sempat muntah 2 kali yang berisi makanan yang os makan ada tampak sedikit darah
dimuntahan tersebut. Os sebelumnya tidak ada keluhan dan dalam keadaan baik-baik saja
di rumah. Os tidak ada riwayat penyakit jantung, hipertensi dan DM, dan tidak ada riwayat
trauma.
Pada pemeriksaan fisik di temukan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran koma,
GCS 3 (E1M1V1), tanda vital TD 134/84 mmHg, HR 64 x/m, RR 32 x/m, suhu 36,8 C.
Dari status lokalis region kepala di temukan jejas di frontal dextra, dan leher terpasang
collar neck, tidak ada perdarahan aktif, status neurologis tidak ditemukan kelainan.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan hemoglobin 15,8 g/dL,
hematokrit 45 %, eritrosit 5,3 juta, lekosit 28560 , trombosit 359.000m ureum 34 mg/dl,
Gula darah sewaktu 146 mg/dL. Dari hasil CT-Scan ditemukan kesan Fraktur komplit os
oksipital kiri, sphenoid wing kiri, os temporal pars petrosus kiri dan fraktur kominutif di os
temporal kiri, Fraktur linier multiple sepanjang os parietotemporooccipital kiri dan
occipital kanan hingga mastoid kiri. Pada hasil EKG di temukan RBBB lead II, AvF.

II.6 DIAGNOSA KLINIS


Cidera Kepala Berat post Kecelakaan Lalu lintas

II.7 PLANNING
II.7.1 Terapi
IVFD RL 20 tpm/menit Inj Ceftriaxone 1 gram IV
IVFD Manitol 3x125 mg Inj Ranitidine 2 x 1 amp

15
Rawat inap ICU Dexamethasone 1 ampul IV
Inj Ketorolac 3 x 1 amp
II.7.2 Planing Monitoring
 Pemeriksaan vital sign secara rutin
 Monitor Keadaan umum dan GCS
 Perhatikan jalan nafas.

II.8 PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad malam
Ad fungsionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia ad malam

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi Trauma Kapitis


Cedera kepala atau trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis.2
III.2 Anatomi Kepala
a.Kulit Kepala

Gambar 1. lapisan kulit kepal dan meningen

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:


1. Skin atau kulit
2. Connective tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
5. Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-

17
anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan
waktu lama untuk mengeluarkannya.
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa
anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis.Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala. Dipermukaan basal otak dan sekitar batang otak, piamater dan
arakhnoid terpisah agak jauh sehingga terbentuk sisterna subarakhnoid.
Dibagian ventral batang otak terdapat beberapa sisterna:
1. Sisterna kiasmatik: terletak di daerah kiasma optika
2. Sisterna interpendukularis : terletak pada fossa interpendikularis mesensefalon.
3. sisterna pontin: terletak di persimpangan pontomedularis
Dibagian dorsal batang otak
1. Sisterna magna (sisterna cerebellomedullaris)

18
2. Sisterna ambiens (sisterna superior)

Gambar 2 Sisterna ambient (sisterna superior)


3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
c. Otak

Gambar 3 lobus pada otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar
14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari

19
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon(otak
belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardio respiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American
college of surgeon,1997)
d. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150
ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
e. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial(terdiri
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior)
f. Vaskularisasi
Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.
III.3 Fisiologi
1. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan
intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk
terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan
20
konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan
penderita. Jadi, kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya
masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal pada
saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap
tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi
TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.3
2. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium
pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti
tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai
kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva
tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar kurva
berapa banyak volume lesi masanya.3,6

Gambar
4. Doktrin Monro-Kellie, kompensasi Intrakranial terhadap masa
yang ekspansi.
III.4 Cidera Kepala Primer Dan Skunder
a. Cidera kepala primer

21
kerusakan akibat langsng dari trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh
darah (hematom), kerusakan jaringan otak termasuk robeknya duramater, laserasi dan
kontusio.
b. Cidera kepala skunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak
tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah,
liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan
kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang
dapat fatal pada tingkat seluler.
CPP = MAP- ICP
CPP : Cerebal perfusi pressure
MAP : Mean aterial presur
ICP : Intra cranial pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel).
III.5 Patofisiologi Cedera Kepala
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder.Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh prosesak selarasi deselarasi gerakan kepala.

Gambar 5. Mekanisme trauma


Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup.
22
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
III.6 Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a) Mekanisme cedera kepala Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera
kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.Sedang
cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.
b) Beratnya cedera Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
G

23
c) Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan
teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis
nervusfasialis (Bernath, 2009) Fraktur cranium terbuka atau komplikata
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan
otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan
yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila
penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20kali pada pasien yang tidak sadar.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk
alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat
dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difusa,secara umum, menunjukkan CT scan
normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam
keadaan klinis.

24
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang potensial antara
tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa
cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial,
namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang,
hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau
fossa posterior.Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% darikeseluruhan
atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selaludiingat saat menegakkan diagnosis
dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan
gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada
penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita
sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya
‘lucid interval´ yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny,
bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak
ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin,
densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras
secara intravena sehingga tampak lebih jelas.
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
arakhnoid.SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukansekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara
korteks serebral dan sinus draining . Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak.Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanyasangat lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif. Subdural hematom terbagimenjadi akut dan kronis.

25
Gambar 6. Epidural hematom
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom
seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga
menunjukan adanya hematom subdural.
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu.
Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran
hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin
menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.
c. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus
frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan
batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun,terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun
menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan(parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang
paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi

26
benturan (coup) atau pada sisilainnya (countrecoup).Defisit neurologi yang didapatkan
sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

d. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.Sindroma
ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad
(American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat
timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu.defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal
sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana pendeerita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu
lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam
27
dan tetap koma selama beberapa waktuu.Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi
atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan
hidup.Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi,hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan
cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut
sering terjadi bersamaan
Dalam beberapa referensi, trauma maxillo facial juga termasuk dalam bahasan cedera
kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan
penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi
pertimbangan.

III.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Foto Polos Kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan foto polos
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Indikasi foto
polos kepala meliputi kehilangan kesadaran atau amnesia, nyeri kepala menetap, gejala
neurologis fokal, jejas pada kulit dengan kecurigaan luka tembus, keluar cairan serebrospinal
atau darah dari hidung atau telinga dan deformitas tulang kepala yang teraba atau terlihat.
CT-Scan
CT-scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan sampai berat
terutama dikerjakan pada pasien - pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan terdapat
tanda - tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk melihat adanya fraktur tulang
tengkorak, CT-scan juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek desakan pada otak dan
bisa digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan perdarahan pada otak. Indikasi CT-
Scan :
a. GCS kurang dari/sama dengan 13
b. Penurunan GCS 2 poin/lebih, hemiparesis, kejang
c. Nyeri kepala menetap atau muntah - muntah yang tidak menghilang setelah pemberian
obat - obatan analgesia/anti muntah.
d. Defisit neurologis dan lateralisasi
e. Tanda atau kecurigaan fraktur
f. Tanda atau kecurigaan trauma tembus
g. Evaluasi paska operasi
h. Pasien multitrauma
28
i. Indikasi social
Lainnya :
MRI, digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras.
Cerebral Angiography, menunjukkan anomali sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
EEG, melihat keberadaan atau perkembangan gelombang patologis
PET, mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
CSF, lumbal punksi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
ABG, mendeteksi adanya masalah ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Kadar Elektrolit, untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
Pemeriksaan toksikologi, untuk mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan Kesadaran.

III.7 Tata Laksana


Prinsip ditujukan terhadap 2 hal yaitu efek primer dan sekunder. Tujuannya untuk
mencegah/mengatasi edema otak, menurunkan tekanan intrakranial serta memperbaiki aliran
darah ke otak sehingga otak terlindungi dari kerusakan lebih lanjut dan proses penyembuhan
dipercepat.
 Perawatan
Bed rest total, dan lamanya tergantung keadaan klinis. Bila keadaan membaik, mobilisasi
berangsur. Perawatan juga dilakukan terhadap luka/fraktur yang ada. Selama perawatan
perhatian ditujukan pada :
 Sistem kardiovaskuler
Pengawasan sedini mungkin terhadap gangguan sirkulasi seperti tensi dan nadi.
 Sistem respirasi
Menjamin jalan nafas yang lancar dan faal paru yang optimal :
 Letakkan posisi penderita dalam keadaan terlentang atau miring bergantian dengan
kepala menoleh ke samping dengan sedikit ekstensi sekitar 20-30°
 Pemberian oksigen
 Isap lendir, kalau perlu pasang pipa endotracheal atau tracheotomi.
 Pemberian cairan dan elektrolit

29
 Menjaga keseimbangan cairan elektrolit.
Biasanya pemberian cairan 2-3 hari pertama dibatasi 1500 cc serta disesuaikan
dengan keadaan jantung dan suhu. Jika febris maka kenaikan 1°, jumlah cairan
ditambah 12-15%
 Cairan yang diberikan dapat berupa glukosa 5% dan NaCl 0,9% dengan perbandingan
3:1
 Nutrisi
Cukup kalori. Jumlah makanan harus disesuaikan dengan cairan, elektrolit dan kalori
yang dibutuhkan, diperhitungkan bersama-sama dengan cairan infus
 Infeksi Perhatikan kemungkinan infeksi sekunder
 Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat atau
presedur biasa dengan cara menurunkan metabolisme otak.
 Terapi osmotik
Untuk menurunkan TIK, dapat diberikan: Manitol diberikan secara bolus IV
0,25 – 1 mg/kg setiap 4-6 jam
 Terapi diuretika
Untuk menekan produksi LCS dapat diberikan furosemide atau asetozolamide, tetapi
dapat mengganggu keseimbangan asam-basa dan elektrolit
 Terapi homeostatistika
Untuk mengatasi/mencegah perdarahan lebih lanjut dapat diberikan karbosokrom
sodium sulfonat (adona AC 17), asam traneksamat
 Terapi simptomatik
 Bila febris, dikompres
 Muntah dapat diberikan sulfas atropine 0,25 mg subcutan
 Kejang/sangat gelisah diberikan diazepam IV
 Terapi profilaksis thdp infeksi
 Antibiotika : ampisilin/amoksisilin, tetrasiklin
 ATS profilaksis
 Neurotropik vitamin dan encephalotropics drugs
 Vit. B1, B6, B12, E tablet
 Pyritinol HCl tab/sirup, cutucholine (nicholin)

30
KOMPLIKASI CEDERA KEPALA
1. Kejang pasca trauma
Merupakan salah satu komplikasi yang serius. Insidensinya 10%, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi cranium, contusion serebri, GCS < 10.11
2. Demam dan menggigil
Demam dan menggigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk
“outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infers. Penatalaksanaan dengan
acetaminofen, neuro muscular paralisis, penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma
barbiturate, asetazolamid.11
3. Hidrosefalus
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.
Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di system ventrikel.
Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil edema, ataksia,
gangguan miksi.11
4. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi lebih dari 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan
oabat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan
menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, dan terapi
modifikasi lingkungan.11
5. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol disbanding gangguan fisik setelah
cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford, menunjukkan 2 tahun setelah
cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk
problem daya ingat pada 74%, gangguan mudah lelah 72%, gangguan kecepatan berpikir
67%. Sensitive dan iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002) meneliti
rehabilitasi kognitif berperan untuk perbaikan gangguan kognitif. Dopamine dilaporkan
dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya
ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi ditemukan 40-50%. Faktor risiko
depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, gangguan tingkah laku
dapat membaik dengan antidepresan.11
31
6. Sindroma post contusio
Merupakan kompleks gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan
pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama. Somatik : nyeri kepala,
gangguan tidur, pusing, mual, mudah lelah, sensitive terhadap suara dan cahaya, kognitif
: perhatian, konsentrasi, memori, afektif : sensitif, cemas, depresi, emosi labil.11

III.7 PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif,
terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia
lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera
kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB IV
KESIMPULAN

Cedera kepala atau trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan
gangguan neurologis.
Diagnosis trauma kepala di tegakan dengan anamnesis mekanisme trauma,
pemeriksaan fisik dimana pada pemeriksaan fisik dilakuan pemeriksaan Minineurologik : GCS,
PUPIL dan motorik lateralisai. Pemeriksaan penunjang dengan melakukan pemeriksaan Ct-
scan dan foto cervical.
Tatalaksana trauma kepala yang harus dinilai pada pasien cidera kepala adalah tingkat
kesadaran yang dinilai dengan GCS.
Terapi definitif untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan cidera
kepala adalah dengan melakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematom yang terbentuk
karena adanya perdarahan intrakranial.
Pada pasien dengan cidera kepala dapat ditemukan banyak komplikasi seperti adanya
fraktur, perdarahan intrakranial dan kecacatan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuniarti N. EPIDEMOLOGY OF TRAUMA GLOBALY. E-Jurnal Medika Udayana.


2013;2(10):1749-62.
2. Utama HSY. Diagnosis and Treatment of Head Injury.
(www.herryyudha.com/2012/07/cidera-kepala-diagnosa-dan.html)
3. American Collage of Surgeons, Advance Trauma Life Suport For Doctors, 7th Edition.
United States of America, 2010.
4. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System LLC,
2010.
5. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada
University Press, 2009.
6. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT (eds): Neurotrauma. New York, McGraw-Hill,
2004.
7. Gunawan, Billy Indra, Trauma Kepala dalam Neurologi II. Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, Palembang.
8. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press, 2012.
9. Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta, 2010.
10. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2005.
11. Anurogo D, Cedera Kepala Traumatik, Simposium Trauma Kepala tanggal 26 April 2008,
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).

33

Anda mungkin juga menyukai