Anda di halaman 1dari 43

BAB I.

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. Asep Darojat
2. Jenis kelamin : Laki-laki
3. Usia : 25 tahun
4. Agama : Islam
5. Status : Menikah
6. No. RM : 980568
7. Tanggal Masuk RS : senin, 06 Februari 2017
8. Tanggal Operasi : Selasa, 07 Februari 2017
9. Kamar : IGD
10. Bagian : Bedah

B. ANAMNESIS
[Autoanamnesis dengan pasien]
1. Keluhan utama : benjolan yang menetap di lipat paha kanan
2. Keluhan tambahan : nyeri hebat pada daerah lipat paha kanan
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan benjolan yang menetap di lipat paha kanan sejak 1 hari
SMRS. Benjolan tidak dapat keluar masuk. Selain itu pasien juga mengeluh perut kembung
dan terasa sakit. Pasien juga mengeluh mual muntah. Muntah lebih dari 3x dan berwarna
cokelat ke hijauan. Awalnya pasien memiliki benjolan di lipat paha kanan sejak 3 bulan
SMRS dan dapat keluar (ketika pasien berdiri) dan masuk (ketika pasien berbaring). Namun
pasien tidak pernah berobat hingga masuk rumah sakit ini.
4. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat operasi disangkal.

Riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, dan asma disangkal.
Riwayat epilepsi disangkal.
Riwayat alergi disangkal.
5. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat kejadian serupa dalam keluarga disangkal.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, dan asma dalam keluarga
disangkal.

6. Riwayat obat-obatan:
Pasien tidak sedang mengonsumsi obat-obatan, suplemen, atau vitamin tertentu, baik
dari dokter ataupun beli sendiri.
Pasien tidak minum jamu.
Riwayat alergi obat disangkal.
7. Riwayat gaya hidup dan kebiasaan:
Pasien merokok, sehari 5 batang.
Pasien menyangkal minum alkohol, atau mengonsumsi obat-obatan terlarang.
Pasien biasa makan tidak teratur bisa 2-3 x sehari.Pasien tidak pemilih dan tidak
punya kesukaan tertentu terhadap makanan manis, asin, atau berlemak.
Pasien jarang berolahraga karena sibuk bekerja.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis:
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: Composmentis
GCS E4V5M6 = 15
Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : 220/120 mmHg
Suhu : afebris
Nadi : 115 x/menit
Frekuensi nafas: 27 x/menit
Kepala: normosefal, wajah tampak simetris, rambut hitam distribusi merata, lesi(-),
tanda perdarahan (-).
Mata: lesi silia, supersilia, palpebral (-/-), strabismus (-/-), nistagmus (-/-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+), pupil bulat isokor 3 mm/3 mm.
Telinga: ADS tampak simetris dan berbentuk anatomis normal, retroaurikula DS tidak
tampak kelainan.
Hidung: deviasi septum (-), discharge (-).
Mulut: mukosa bibir tampak kering, gigi geligi tampak lengkap, lidah tak tampak
kelainan.
Leher: pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), perabaan massa (-), pembesaran tiroid
(-), arteri karotis teraba di kedua sisi.
Toraks:
Pulmo:
Inspeksi: hemitoraks kanan dan kiri tampak simetris dalam statis dan dinamis, lesi
(-), retraksi (-).
Palpasi: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri.
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Cor:
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi: ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi: Batas kanan jantung: ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas atas jantung: ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kiri jantung: ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung, sikatriks (-), caput medusae (-), sagging of flank(-),smiling
umbilicus (-), spider navy (-), striae (-).
Auskultasi : BU (+) 9 x/menit di 4 kuadran
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting dullnes (-).
Palpasi : Nyeri tekan di seluruh kuadran abdomen. Nyeri ketok CVA (-), defans
muskular (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), undulasi (+).
Ekstremitas: akral hangat, capillary refill <2 detik, edema tungkai (+/+), A.
dorsalis pedis teraba (+/+).
D. DIAGNOSA
Hernia inguinalis dekstra susp inkerserata (Kasus emergency (cito)).
E. PENATALAKSANAAN
Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
Pasang NGT + Kateter
Futrolit 500 ml : aminofluid 500 ml/24 jam
Puasa
Laboratorium lengkap
BNO 3 posisi
Terapi : cefoperazone 2 x 1 gr IV
Ketorolac 2 x 30 mg IV
Ranitidin 2 x 1 amp IV
BAB II : STATUS ANASTESI
A. PRE-OPERATIF
1. Informed consent: memberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai rencana, resiko,
komplikasi, durasi, dan waktu pemulihan pasien.
2. Anamnesis (alloanamnesis):
i. Riwayat asma/alergi : disangkal
ii. Riwayat darah tinggi : ada selama kehamilan trimester 3
iii. Riwayat sakit jantung : disangkal
iv. Riwayat operasi : disangkal
v. Riwayat merokok : disangkal
vi. Riwayat minum alkohol : disangkal
vii. Riwayat minum kopi : disangkal
viii. Makan terakhir : 6 Februari 2017
ix. Minum terakhir : 6 Februari 2017

3. Pemeriksaan fisik:
i. Keadaan umum: tampak sakit sedang
ii. Kesadaran: GCS 15
iii. Kesan gizi: baik
iv. Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : 110/59 mmHg Suhu : afebris
Nadi : 139 x/menit Frekuensi nafas: 24 x/menit
v. Airway:
Hidung: sekret -/-, deviasi septum (-), patensi (+)
Mulut: Mallampati : 2, gigi patah (-), gigi goyah (-), gigi tanggal (-), gigi palsu
(-).
vi. Breathing:
Pulmo: suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Pola pengembangan dada tampak simetris hemitoraks kanan dan kiri dalam
keadaan dinamis dan statis.
vii. Circulation:
Cor: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Perifer: akral dingin, capillary refill >2 detik (lambat), edema tungkai -/-
viii. Sistem hepatobilier: jaundice (-), hepar dan lien tidak dapat diperiksa.
ix. Sistem genitourinaria: dalam batas normal.
x. Sistem muskuloskeletal: dalam batas normal.
xi. Klasifikasi ASA: IV
kode E pasien memerlukan operasi hernioraphy segera (cito).
xii. Premedikasi:
o -.
B. PERI-OPERATIF
1. Siapkan stetoskop, sarung tangan steril, ETT no. 7, spuit 10 cc, stylet/mandarin, konektor,
mesin anestesi, gas (air, O2, gas volatil isoflurane), plester Hipafix, suction, dan lampu
operasi.
2. Pasien berbaring telentang di atas meja operasi OK. Pasang EKG, manset tekanan darah,
saturasi oksigen, layar monitor dinyalakan, mesin anestesi dinyalakan.
3. Pukul : induksi dimulai dengan injeksi propofol (Safol) 100 mg secara bolus IV sebagai
hipnosedatif.
4. Pukul 15.55 : dilanjutkan injeksi Rocuronium 50 mg secara bolus IV sebagai muscle
relaxan.
5. Pukul 15.55 : dilanjutkan injeksi fentanyl 50 g sebagai analgesik. lalu dilakukan bagging.
6. Pukul 15.55 : disuntikkan deksamethaason dosis 10 mg bolus IV untuk menjadi
bronkodilator.
7. Intubasi dengan ETT no. 7 dengan cuff dan Guedel terpasang . Dilakukan dengan rapid
sequence intubation. Dengan stetoskop, periksa bunyi nafas (bunyi nafas paru kanan harus
sama dengan paru kiri).
8. Airway maintenance dilakukan dengan sistem nafas terkendali yang dihubungkan dengan
pipa O2 : N2O : isoflurane = 2 : 2 : 0.8.
9. Pukul 16.00 : operasi Caesar dimulai. Tanda-tanda vital dimonitor setiap 15 menit.
10. Pukul 18.00 : operasi selesai. Mulai dilakukan tindakan ekstubasi.
11. Pukul 18.00 : tindakan anestesi dinyatakan selesai dengan total durasi anestesia 90 menit,
lalu pasien dipindahkan ke ruang pemulihan beberapa waktu kemudian.
12. Pemantauan tanda vital peri-operatif:
Jam T N R S INPUT OUTPUT KET

16.00 110/62 124 14 AF Asering (2 labu) 500cc


16.15 105/57 118 14 AF 500cc
16.30 106/55 116 14 AF Asering+ fentanyl 500cc
16.45 99/48 117 14 AF 500cc
17.00 98/47 115 14 AF 500cc
17.15 110/56 117 14 AF 500cc
17.30 115/62 116 14 AF Gelafusin 500cc 500cc
17.45 110/65 117 14 AF RL 500cc 500cc
18.00 120/80 90 14 AF Metronidazole 500cc
500mg

C. POST-OPERATIF
a. Aldrette score:
Aktivitas = 2
Pernafasan = 2
Sirkulasi = 2
Kesadaran = 2
Warna kulit = 2
b. Instruksi post-op:
Pasien dirawat di ruang pemulihan sambil dilakukan:
Observasi tanda-tanda vital: 1 jam pertama setiap 15 menit, dan 1 jam kedua dan
seterusnya setiap 30 menit.
Observasi urin.
Cek lab lengkap 6 jam post-op.
Analgetik : fentanyl 15 tetes/menit
Imobilisasi pasien selama 24 jam.
Diet biasa setelah bising usus (+), flatus (+).
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFENISI

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau
bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan pada hernia abdomen, isi perut menonjol
melalui defek atau bagian lemah dari bagian muskulo-aponeurotik dinding perut. Hernia
terdiri atas cincin, kantong dan isi hernia. Semua hernia terjadi melalui celah lemah atau
kelemahan yang potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan
tekanan intraabdomen yang berulang atau berkelanjutan.
Hernia adalah adanya penonjolan peritoneum yang berisi alat visera dari rongga
abdomen melalui suatu lokus minoris resistensieae baik bawaan maupun didapat.

2. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya hernia :

1) Lemahnya dinding rongga perut. Dapat ada sejak lahir atau didapat kemudian dalam
hidup.

2) Akibat dari pembedahan sebelumnya.

3) Kongenital

a. Hernia congenital sempurna

Bayi sudah menderita hernia kerena adanya defek pada tempat tempat
tertentu.

b. Hernia congenital tidak sempurna

Bayi dilahirkan normal (kelainan belum tampak) tapi dia mempunyai defek
pada tempat tempat tertentu (predisposisi) dan beberapa bulan (0 1 tahun)
setelah lahir akan terjadi hernia melalui defek tersebut karena dipengaruhi
oleh kenaikan tekanan intraabdominal (mengejan, batuk, menangis).

4) Aquisial adalah hernia yang buka disebabkan karena adanya defek bawaan tetapi
disebabkan oleh fakor lain yang dialami manusia selama hidupnya, antara lain :

a. Tekanan intraabdominal yang tinggi. Banyak dialami oleh pasien yang sering
mengejan yang baik saat BAB maupun BAK.

b. Konstitusi tubuh. Orang kurus cenderung terkena hernia jaringan ikatnya yang
sedikit. Sedangkan pada orang gemuk juga dapat terkena hernia karena banyaknya
jaringan lemak pada tubuhnya yang menambah beban kerja jaringan ikat
penyokong pada LMR.

c. Banyaknya preperitoneal fat banyak terjadi pada orang gemuk.

d. Distensi dinding abdomen karena peningkatan tekanan intraabdominal.


e. Sikatrik.

f. Penyakit yang melemahkan dinding perut.

g. Merokok

h. Diabetes mellitus

3. KLASIFIKASI

Bagian bagian hernia :

a) Kantong hernia

Pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis. Tidak semua hernia memiliki
kantong, misalnya hernia incisional, hernia adiposa, hernia intertitialis.

b) Isi hernia

Berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia, misalnya usus, ovarium,
dan jaringan penyangga usus (omentum).

c) Pintu hernia

Merupakan bagian locus minoris resistance yang dilalui kantong hernia.

d) Leher hernia

Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong hernia.

e) Locus minoris resistence (LMR)


Bagian-bagian Hernia

Menurut lokasinya :

a. Hernia inguinalis adalah hernia yang terjadi dilipatan paha. Jenis ini merupakan yang
tersering dan dikenal dengan istilah turun berok atau burut.

b. Hernia umbilikus adalah di pusat.

Hernia umbilicalis :

Merupakan penonjolan yang mengandung isi rongga perut yang masuk melalui cincin
umbilikus (pusar) akibat peninggian tekanan intra abdomen. Umbilicus merupakan salah
satu lokasi yang lemah pada abdomen dan tempat yang sering mengalami herniasi.
Hernia umbilicus muncul lebih sering pada wanita. Obesitas dan kehamilan berulang
merupakan precursor, dan ascites sering mencetuskan masalah. Hernia umbilicus pada
dewasa tak ada hubungannya dengan hernia umbilicus pada anak-anak. Sering terjadi
strangulasi pada colon atau omentum. Hernia umbilicalis sering terjadi pada bayi dan
merupakan kelainan kongenital. Hernia ini biasanya akan regresi spontan dalam 6 bulan
sampai 1 tahun.

Hernia paraumbilicalis :
Hernia melalui suatu celah di garis tengah tepi atas umbilicus.

Hernia menurut lokasi

c. Hernia femoralis adalah di paha.

d. Hernia Epigastric

Hernia yang keluar melalui defek di linea alba antara umbilicus dan processus
xyphoideus. Hernia pada linea alba muncul lebih sering diatas umbilicus dari pada
dibawahnya. Hernia-hernia ini biasanya kecil dan sulit diagnosis pada pasien obes. Pasien
mengeluhkan nyeri, sensasi tertarik dibagian tengah perut. Hernia ini juga bisa diperbaiki
dengan jahitan sederhana. Harus diwaspadai adalah hernia ini sering multiple.

Menurut isinya :

a. Hernia usus halus

b. Hernia omentum
Menurut penyebabnya :

a. Hernia kongenital atau bawaan

b. Hernia traumatic

c. Hernia insisional adalah akibat pembedahan sebelumnya.

Menurut terlihat dan tidaknya :

a. Hernia externs, misalnya hernia inguinalis, hernia scrotalis, dan sebagainya.

b. Hernia interns misalnya hernia diafragmatica, hernia foramen winslowi, hernia


obturaforia.

Menurut keadaannya :

a. Hernia inkarserata adalah bila isi kantong terperangkap, tidak dapat kembali kedalam
rongga perut disertai akibat yang berupa gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara
klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia irrenponibel.

b. Hernia strangulata adalah jika bagian usus yang mengalami hernia terpuntir atau
membengkak, dapat mengganggu aliran darah normal dan pergerakan otot serta mungkin
dapat menimbulkan penyumbatan usus dan kerusakan jaringan.

Menurut nama penemunya :

a. Hernia petit yaitu hernia di daerah lumbosacral.


b. Hernia spigelli yaitu hernia yang terjadi pada linen semi sirkularis diatas penyilangan
vasa epigastrika inferior pada muskulus rektus abdominalis bagian lateral.

c. Hernia richter yaitu hernia dimana hanya sebagian dinding usus yang terjepit.

Menurut sifatnya :

a. Hernia reponibel adalah bila isi hernia dapat keluar masuk. Isi hernis keluar jika berdiri
atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan
nyeri atau gejala obstruksi usus.

b. Hernia irreponibel adalah bila isi kantung hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam
rongga.

Jenis hernia lainnya :

a. Hernia pantolan adalah hernia inguinalis dan hernia femuralis yang terjadi pada satu sisi
dan dibatasi oleh vasa epigastrika inferior.

b. Hernia scrotalis adalah hernia inguinalis yang isinya masuk ke scrotum secara lengkap.

c. Hernia littre adalah hernia yang isinya adalah divertikulum meckeli.

Adanya diverticulum Meckel sebagai komponen tambahan pada kantung hernia menjadi
ciri dari Littre's hernia. Keadaan yang tak lazim ini bisa sangat sulit di diagnosa karena
gejala obstruktif yang sedikit.. Strangulasi dari diverticulum Meckel bisa terjadi yang
menyebabkan fistel sebagai keluhan utama. Menejemen operasi berupa reparasi hernia
dengan atau tanpa reseksi diverticulum Meckel. Suatu diverticulum Meckel yang
menyebabkan gejala atau mengalami strangulasi harus direseksi. Reseksi dari suatu
diverticulum meckel tanpa gejala harus berdasarkan usia dan keadaan umum pasien.
d. Spigelian Hernia

Suatu hernia melalui fascia pada sepanjang tepi lateral otot rectus abdominis pada
celah antara linea semilunar dan tepi lateral dari otot rectus abdominis adalah suatu
hernia spigelian. Fascia Spieghel sebenarnya adalah aponeurosis dan terdiri dari
gabungan aponeurosis otot oblique abdominis dan transverses abdominis dibagian lateral
dan otot rectus abdominis pada bagian medial. Meskipun dapat muncul disepanjang linea
semilunar, ia paling sering muncul dimana fascia sphiegel lebih lebar dan lemah. Diatas
umbilicus, serat-serat aponeurosis saling bersilangan dan membentuk barier yang kuat.
Dibawah umbilicus seratnya lebih parallel dan dapat di pisah, memudahkan peritoneum
dan lemak properotoneal menonjol melalui defek yang seperti belahan tetapi tertahan
oleh aponeurosis otot obliquus abdominis eksternus.

Umumnya, hernia spigelian muncul pada bawah linea semilunaris. Banyak pasien
pasien datang dengan hernia spigelian mengalami obesitas dan diagnosis klinis
preoperative yang benar ditegakkan hanya pada 50% pasien. Hernia Spigelian dapat
ditemukan secara incidental dengan ultrasonografi atau CT scan. Computed tomography
dilakukan dengan pasien melakukan suatuValsalva maneuver meningkatkan sensitivitas
diagnostic. Hernia spigelian yang besar dapat salah diduga sebagai sarcoma dari dinding
abdomen. Terjepitnya nervus cutaneus anterior T10 sampai T12 menyebabkan rasa tak
nyaman yang menyerupai hernia spigelian.

Hernia Spigelian biasanya berhasil diperbaiki pada operasi awal. Aproksimasi


jaringan yang berdekatan ke defek dengan jahitan terputus biasanya berhasil pada
kebanyakan pasien. Akantetapi jika defeknya besar atau jeringan didekatnya lemah,
penguatan dengan prosthetic mesh menjadi indikasi.

e. Hernia Obturator

Canalis obturator ditutup oleh membran dan dilewati oleh nervus dan pembuluh
darah obturator. Kelemahan pada membrane obturator dan pelebaran dari canal dapat
menyebabkan suatu kantung hernia, yang dapat menyebabkan incarserasi atau obstruksi
saluran cerna. Canal obturator, yang panjangnya 2-3 cm dapat terisi bantalan lemak, yang
dianggap oleh banyak ahli bedah hal yang patologik. Pasien muncul dengan bukti
kompresi pada nervus obturator, menghasilkan nyeri pada bagian dalam paha. Ini
digambarkan oleh John Howship pada tahun 1840 dan secara terpisah oleh Moritz
Heinrich Romberg 1848.

Operasi dari hernia obturator telah banyak dilakukan dengan banyak pendekatan.
Pendekatan melalui abdomen terbuka atau laparoscopic dianjurkan ketika ada dugaan
gangguan saluran cerna. Pendekatan Retropubic (preperitoneal) dilakukan oleh banyak
ahli bedah ketika tidak ada keterlibatan atau obstruksi saluran cerna.
pendekatan obturator, inguinal, dan kombinasi telah pernah dilakukan. Tanpa memandang
pendekatan yang digunakan, reduksi isi dan inversi kantung hernia adalah langkah awal
dalam terapi operatif pada hernia obturator. Dilatasi foramen obturator diperbaiki dengan
jahitan terputus.

f. Hernia Lumbar (Dorsal)

Hernia lumbalis atau dorsalis dapat terjadi didaerah lumbal melalui dinding
posterior abdomen. Grynfeltt's hernia muncul melalui trigonum lumbal superior
sedangkan Petit's hernia muncul melalui trigonum lumbal inferior. Hernia lumbalis
generalisata, tipe yang ketiga paling sering iatrogenic setelah insisi pinggang pada operasi
ginjal.

Hernia lumbal biasanya besar dan menjadi progressif dan menjadi masalah dari
segi penampilan. Jahitan sederhana dapat dilakukan pada hernia yang kecil. Pada hernia
yang lebih besar dilakukan rekonstruksi. Bagaimanapun pasien dengan hernia yang besar
dan muncul dengan jaringan yang sangat lemah memerlukan penggunaan mesh atau free
tissue flaps.

g. Sciatic Hernia
Foramen siaticus mayor dapat menjadi lokasi dari suatu hernia. Hernia tipe ini
sangat jarang dan sulit di diagnose dan asien mungkin tidak memiliki keluhan hingga
timbul obstruksi saluran cerna. Pasien lain muncul dengan massa pada daerah gluteal atau
infragluteal, yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada saat berdiri. Nyeri pada nervus
siatikus jarang disebabkan oleh penekanan hernia siatikus. Hernia ini dapat diperbaiki
dengan operasi transabdominal atau transgluteal.

h. Hernia Perineal

Hernia perineal yang bersifat congenital atau didapat sangat jarang terjadi. Hernia
ini bisa terjadi setelah reseksi abdominoperineal, prostatectomy, atau pengangkatan organ
pelvis. flap Myocutaneous atau mesh sering diperlukan untuk memperbaiki sutau hernia
perineal.

4. PATOFISIOLOGI

Hernia Inguinalis

Kanalis inguinalis dalam kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke 8 dari
kehamilan, terjadinya desensus vestikulorum melalui kanal tersebut. Penurunan testis itu akan
menarik peritoneum ke daerah scrotum sehingga terjadi tonjolan peritoneum yang disebut
dengan prosesus vaginalis peritonea. Bila bayi lahir umumnya prosesus ini telah mengalami
obliterasi, sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut. Tetapi dalam beberapa
hal sering belum menutup, karena testis yang kiri turun terlebih dahulu dari yang kanan, maka
kanalis inguinalis yang kanan lebih sering terbuka. Dalam keadaan normal, kanal yang terbuka
ini akan menutup pada usia 2 bulan.

Bila prosesus terbuka sebagian, maka akan timbul hidrokel. Bila kanal terbuka terus,
karena prosesus tidak berobliterasi maka akan timbul hernia inguinalis lateralis kongenital.
Biasanya hernia pada orang dewasa ini terjadi kerana usia lanjut, karena pada umur tua otot
dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh
mengalami proses degenerasi. Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup. Namun karena
daerah ini merupakan locus minoris resistance, maka pada keadaan yang menyebabkan tekanan
intraabdominal meningkat seperti batuk batuk kronik, bersin yang kuat dan mengangkat barang
barang berat, mengejan. Kanal yang sudah tertutup dapat terbuka kembali dan timbul hernia
inguinalis lateralis karena terdorongnya sesuatu jaringan tubuh dan keluar melalui defek tersebut.
Akhirnya menekan dinding rongga yang telah melemas akibat trauma, hipertropi protat, asites,
kehamilan, obesitas, dan kelainan kongenital dan dapat terjadi pada semua.

Pria lebih banyak dari wanita, karena adanya perbedaan proses perkembangan alat
reproduksi pria dan wanita semasa janin. Potensial komplikasi terjadi perlengketan antara isi
hernia dengan dinding kantong hernia sehingga isi hernia tidak dapat dimasukkan kembali.
Terjadi penekanan terhadap cincin hernia, akibat semakin banyaknya usus yang masuk, cincin
hernia menjadi sempit dan menimbulkan gangguan penyaluran isi usus. Timbulnya edema bila
terjadi obtruksi usus yang kemudian menekan pembuluh darah dan kemudian terjadi nekrosis.
Bila terjadi penyumbatan dan perdarahan akan timbul perut kembung, muntah, konstipasi. Bila
inkarserata dibiarkan, maka lama kelamaan akan timbul edema sehingga terjadi penekanan
pembuluh darah dan terjadi nekrosis.

Juga dapat terjadi bukan karena terjepit melainkan ususnya terputar. Bila isi perut terjepit
dapat terjadi shock, demam, asidosis metabolik, abses. Komplikasi hernia tergantung pada
keadaan yang dialami oleh isi hernia. Antara lain obstruksi usus sederhana hingga perforasi
(lubangnya) usus yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel atau peritonitis.

Hernia Inguinalis Direkta (Medialis)

Hernia ini merupakan jenis henia yang didapat (akuisita) disebabkan oleh faktor peninggian
tekanan intra abdomen kronik dan kelemahan otot dinding di trigonum Hesselbach. Jalannya
langsung (direct) ke ventral melalui annulus inguinalis subcutaneous. Hernia ini sama sekali
tidak berhubungan dengan pembungkus tali mani, umumnya terjadi bilateral, khususnya pada
laki-laki tua. Hernia jenis ini jarang, bahkan hampir tidak pernah, mengalami inkarserasi dan
strangulasi.

*Trigonum Hesselbach merupakan daerah dengan batas:


Inferior: Ligamentum Inguinale.

Lateral: Vasa epigastrika inferior.

Medial: Tepi m. rectus abdominis.

Dasarnya dibentuk oleh fascia transversalis yang diperkuat serat aponeurosis m.transversus
abdominis.

Hernia Inguinalis Direct

Hernia Inguinalis Indirekta (lateralis)

Hernia ini disebut lateralis karena menonjol dari perut di lateral pembuluh epigastrika inferior.
Dikenal sebagai indirek karena keluar melalui dua pintu dan saluran, yaitu annulus dan kanalis
inguinalis. Pada pemeriksaan hernia lateralis akan tampak tonjolan berbentuk lonjong. Dapat
terjadi secara kongenital atau akuisita:

Hernia inguinalis indirekta congenital.

Terjadi bila processus vaginalis peritonei pada waktu bayi dilahirkan sama sekali tidak
menutup. Sehingga kavum peritonei tetap berhubungan dengan rongga tunika vaginalis
propria testis. Dengan demikian isi perut dengan mudah masuk ke dalam kantong
peritoneum tersebut.

Hernia inguinalis indirekta akuisita.

Terjadi bila penutupan processus vaginalis peritonei hanya pada suatu bagian saja.
Sehingga masih ada kantong peritoneum yang berasal dari processus vaginalis yang tidak
menutup pada waktu bayi dilahirkan. Sewaktu-waktu kentung peritonei ini dapat terisi
dalaman perut, tetapi isi hernia tidak berhubungan dengan tunika vaginalis propria testis.

Hernia inguinalis indirect

5. PENATALAKSANAAN

Hampir semua hernia harus diterapi dengan operasi. Karena potensinya menimbulkan
komplikasi inkarserasii atau strangulasi lebih berat dibandingkan resiko yang minimal dari
operasi hernia (khususnya bila menggunakan anastesi local). Khusus pada hernia femoralis, tepi
kanalis femoralis yang kaku meningkatkan resiko terjadinya inkarserasi.

Konservatif

Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga
atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi.

a. Reposisi
Reposisi tidak dilakukan pada hernia inguinalis strangulate, kecuali pada pasien
anak-anak. reposisi dilakukan secara bimanual. Tangan kiri memegang isi hernia
membentuk corong sedangkan tangan kanan mendorongnya kearah cincin hernia
dengan tekanan lambat tapi menetap sampai terjadi reposisi. Pada anak-anak
inkarserasi lebih sering terjadi pada umur dibawah dua tahun. Reposisi spontan lebih
sering dan sebaliknya gangguan vitalitas isi hernia jarang terjadi jika dibandingkan
dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh cincin hernia yang lebih elastis
dibandingkan dengan orang dewasa.
Reposisi dilakukan dengan menidurkan anak dengan pemberian sedative dan
kompres es diatas hernia. Bila usaha reposisi ini berhasil anak disiapkan untuk
operasi pada hari berikutnya. Jika reposisi hernia tidak berhasil dalam waktu enam
jam harus dilakukan operasi segera.

b. Bantalan penyangga

Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang telah


direposisi dan tidak pernah menyembuhkan sehingga harusdipakai seumur hidup.
Namun cara yang berumur lebih dari 4000 tahun ini masih saja dipakai sampai
sekarang.
Sebaiknya cara ini tidak dianjurkan karena mempunyai komplikasi, antara lain
merusak kulit dan tonus otot dinding perut didaerah yang tertekan sedangkan
strangulasi tetap mengancam. Pada anak-anak cara ini dapat menimbulkan
atrofitestis karena tekanan pada tangki sperma yang mengandung pembuluh darah
testis.

Teknik operasi
Berdasarkan pendekatan operasi, banyak teknik herniorraphy dapat dikelompokkan
dalam 4 kategori utama :

Kelompok 1: Open Anterior Repair

Kelompok 1 operasi hernia (teknik Bassini, McVay dan Shouldice) melibatkan


pembukaan aponeurosis otot obliquus abdomins ekternus dan membebaskan funikulus
spermatikus. fascia transversalis kemudian dibuka, dilakukan inspeksi kanalis spinalis, celah
direct dan indirect. Kantung hernia biasanya diligasi dan dasar kanalis spinalis di rekonstruksi.

Teknik Bassini

Komponen utama dari teknik bassini adalah

Membelah aponeurosis otot obliquus abdominis eksternus dikanalis ingunalis hingga ke


cincin ekternal.

Memisahkan otot kremaster dengan cara reseksi untuk mencari hernia indirect sekaligus
menginspeksi dasar dari kanalis inguinal untuk mencari hernia direct.

Memisahkan bagian dasar atau dinding posterior kanalis inguinalis (fascia transversalis)

Melakukan ligasi kantung hernia seproksimal mungkin.

Rekonstuksi didinding posterior dengan menjahit fascia tranfersalis, otot transversalis


abdominis dan otot abdominis internus ke ligamentum inguinalis lateral.
McVay open anterior repair.

Teknik kelompok ini berbeda dalam pendekatan mereka dalam rekontruksi, tetapi
semuanya menggunakan jahitan permanen untuk mengikat fascia disekitarnya dan
memperbaiki dasar dari kanalis inguinalis, kelemahannya yaitu tegangan yang tejadi
akibat jahitan tersebut, selain dapat menimbulkan nyeri juga dapat terjadi neckosis otot
yang akan menyebakan jahitan terlepas dan mengakibatkan kekambuhan.

Kelompok 2: Open Posterior Repair

Posterior repair (iliopubic tract repair dan teknik Nyhus) dilakukan dengan membelah lapisan
dinding abdomen superior hingga ke cincin luar dan masuk ke properitoneal space. Diseksi
kemudian diperdalam kesemua bagian kanalis inguinalis. Perbedaan utama antara teknik ini dan
teknik open anterior adakah rekonrtuksi dilakukan dari bagian dalam. Posterior repair sering
digunakan pada hernia dengan kekambuhan karena menghindari jaringan parut dari operasi
sebelumnya. Operasi ini biasanya dilakukan dengan anastesi regional atau anastesi umum.

Kelompok 3: Tension-Free Repair With Mesh


Kelompok 3 operasi hernia (teknik Lichtenstein dan Rutkow ) menggunakan pendekatan awal
yang sama degan teknik open anterior. Akan tetapi tidak menjahit lapisan fascia untuk
memperbaiki defek , tetapi menempatkan sebuah prostesis, mesh yang tidak diserap. Mesh ini
dapat memperbaiki defek hernia tanpa menimbulkan tegangan dan ditempatkan disekitar fascia.
Hasil yang baik diperoleh dengan teknik ini dan angka kekambuhan dilaporkan kurang dari 1
persen.

Open mesh repair

Beberapa ahli bedah meragukan keamanan jangka panjang penggunaan implant


prosthesis, khususnya kemungkinan infeksi atau penolakan. Akan tetapi pengalaman
yang luas dengan mesh hernia telah mulai menghilangkan anggapan ini, dan teknik ini
terus populer.Teknik ini dapat dilakukan dengan anastesi local, regional atau general.

Kelompok 4: Laparoscopic

Operasi hernia Laparoscopic makin populer dalam beberapa tahun terakhir, tetapi juga
menimbulkan kontroversi. Pada awal pengembangan teknik ini, hernia diperbaiki dengan
menempatkanpotongan mesh yang besar di region inguinal diatas peritoneum. Teknik ini
ditinggalkan karena potensi obstruksi usus halus dan pembentuka fistel karena paparan usus
terhadap mesh.

Saat ini kebanyakan teknik laparoscopic herniorrhaphies dilakukan menggunakan salah


satu pendekatan transabdominal preperitoneal (TAPP) atau total extraperitoneal (TEP) .
pendekatan TAPP dilakukan dengan meletakkan trokar laparoscopic dalam cavum abdomendan
memperbaiki region inguinal dari dalam. Ini memungkinkan mesh diletakkan dan kemudian
ditutupi dengan peritoneum.sedangkan pendekatan TAPP adalah prosedur laparoskopic
langsung yang mengharuskan masuk ke cavum peritoneal untuk diseksi. Konsekuensinya, usus
atau pembuluh darah bisa cidera selama operasi.

Laparoscopic mesh repair

ANESTESI PADA PASIEN HERNIA INGUINALIS DEXTRA INKERSARATA DENGAN


LAPARATOMI EKSPLORASI

Secara umum, pada pasien dengan hernia inguinalis inkersarata yang akan dilakukan
laparatomi eksplorasi menggunakan anestesi umum. Untuk monitoring, dibutuhkan alat-alat rutin
seperti EKG, manset tekanan darah non-invasif, pulse oximeter, dan stetoskop. Pada pasien ini,
dilakukan rapid sequence intubation, dikarenakan pasien dalam keadaan syok hipovolemik dan
terjadi penurunan kesadaran.
General Anestesi (GA)
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi
umum. Tanda-tanda klinis anesthesia umum (menggunakan zat anestesi yang mudah menguap,
terutama diethyleter) menurut Guedel, dengan teknik open drop:
- Stadium I: analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya kesadaran. Rasa
nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya pembedahan kecil yang dapat dilakukan
pada stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata.
- Stadium II: excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya respirasi teratur,
mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
- Stadium III: stadium pembedahan, dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya
respirasi. Dibagi 4 plane yaitu:
a) Plane 1: dari timbulnya pernafasan teratur thoracoabdominal, anak mata terfiksasi
kadang kadang eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi
meningkat, reflek faring dan muntah negative, tonus otot mulai menurun.
b) Plane 2: ventilasi teratur. Abdominothoracal, volume tidal menurun, frekuensi
nafas meningkat, anakmata terfiksasi di tengah, pupil mulai midriasis, reflek
cahaya mulai menurun dan reflek kornea negative.
c) Plane 3: ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi kelumpuhan saraf
interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil melebar dan sentral, reflek laring dan
peritoneum negative, tonus otot makin menurun.
d) Plane 4: ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot diafragma lumpuh
yang makin nyata pada akhir plana, tonus otot sangat menurun, pupil midriasis
dan reflek sfingter ani dan kelenjar air mata negative.
- Stadium IV: overdosis, dari timbulnya paralisis diafragma hingga cardiac arrest.

PERSIAPAN PRA ANESTESI


Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif
dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.
Adapun tujuan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan lain..
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology)
ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat
kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian / live style
terbatas. Angka mortalitas 38%
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu
sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%
ASA V pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E.

PREMEDIKASI ANESTESI
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. Memberikan analgesia, misal pethidin
5. Mencegah muntah, misal : droperidol
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah
dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat
kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan
lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.Sesuai dengan
tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan
seperti di bawah ini:
1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
2. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam.
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil.
7. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine.

Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam pemakaian sehari-hari
dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi
narkotik, benzodiazepin, dan antikolinergik.
Obat premedikasi yang digunakan adalah:
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Terhadap SSP, atropin merangsang medulla
oblongata dan pusat lain di otak. Dalam dosis 0,5 mg atropin merangsang N vagus dan
menurunkan frekuensi jantung. Pada dosis yang besar sekali atropin menyebabkan depresi nafas,
eksitasi, disorientasi, delirium, halusinasi, dan perangsangan lebih jelas di pusat yang lebih
tinggi.
Lebih lanjut dapat terjadi depresi dan paralisis medulla oblongata. Terhadap saluran nafas.
Atropin mengurangi sekresi hidung, mulut, faring, dan bronkus. Terhadap system kardiovaskuler.
Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang sering
digunakan, frekuensi jantung menurun, mungkin disebabkan karena perangsangan nukleus
nervus vagus. Bradikardi biasanya tidak nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau
curah jantung.Terhadap saluran cerna. Atropin bersifat menghambat peristaltik lambung dan usus
serta mengurangi sekresi liur dan lambung.Saluran kemih. Saluran kemih ini dipengaruhi oleh
atropin dalam dosis yang agak besar (kira-kira 1 mg), yang akan menyebabkan retensi urin yang
disebabkan oleh relaksasi muskulus detrusor dan konstriksi sfingter uretra. Efek samping atau
toksik pada orang muda adalah mulut kering, gangguan miksi, dan meteorismus. Pada orang tua
terjadi efek sentral terutama sindrom demensia. Efek samping lain bisa juga timbul muka merah
yang disebabkan efeknya terhadap vasodilatasi pembuluh darah.
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
Dosis : 0,01-0,02 mg/ kgBB.
Pemberian : SC, IM, IV
b. Pethidin
Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya, depresi nafas dan efek sentral lain. Efek
analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian SC atau IM, tapi masa kerja lebih pendek. Dosis
toksik menimbulkan perangsangan SSP misal tremor, kedutan otot dan konvulsi. Pada saluran
nafas, akan menurunkan tidal volume sedang frekuensi nafas kurang dipengaruhi sehingga efek
depresi nafas tidak disadari. Secara sistemik menimbulkan anestesi kornea dengan akibat
hilangnya refleks kornea. Obat ini juga meningkatkan kepekaan alat keseimbangan sehingga
menimbulkan mual, muntah dan pusing pada penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat
baring, obat ini tidak mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tapi penderita berobat jalan dapat
timbul sinkop orthostotik karena hipotensi akibat vasodilatasi perifer karena pelepasan histamin.
Absorbsi pethidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada pemberian IV kadarnya
dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Pethidin dimetabolisme di hati dan dikeluarkan
lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang diberikan. Keuntungan penggunaan obat ini adalah
memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan
pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan, dan dapat diantagonis
dengan naloxon.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc
Dosis : 1-2 mg/ kgBB
Pemberian : IV, IM,SC

1. INDUKSI
DI-ISOPROPYL PHENOL (PROPOFOL, DIPRIVAN)
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak kedelai, 2,25%
gliserol, dan 1,2 % phosphatide telur. Pemberian intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi
anestesi secara cepat seperti tiopental. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai dengan phlebitis atau trombosis. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau
iskemik otot jantung. Sesudah pemberian Propofol IV terjadi depresi pernapaasan sampai apnea
selama 30 detik. Hal ini diperkuat dengan premedikasi dengan opiat. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakanial akan
menurun. Tak jelas adanya interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan Propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual, muntah
dan sakit kepala mirip dengan thiopental. Cepatnya induksi dan pemulihan dari anestesi berguna
dalam pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur yang cepat dan singkat.
Sediaan : dalam ampul, 200mg/20cc
Dosis : 1,5-2,5 mg/kg BB
Pemberian : IV

2. PEMELIHARAAN
Obat anestesi maintenance yang digunakan dalam kasus ini adalah:
a. Halothane
Merupakan cairan yang tidak berwarna, berbau enak serta tidak merangsang / iritasi, mudah
menguap (volatile), tidak mudah meledak atau terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime
absorber, mudah diuraikan oleh cahaya karena itu harus disimpan dalam botol berwarna gelap
(ambard). Merupakan obat anestesia yang potent, kekuatan 4-5 kali eter atau 2 kali kloroform.
Overdosis relatif mudah terjadi dengan gejala kegagalan pernafasan dan sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian. Efek terhadap SSP sama dengan obat anestesia lain pada umumnya
yaitu mendepresi kortek serebral dan medulla. Pengaruhnya terhadap kardiovaskular adalah
vasodilatasi yang menimbulkan hipotensi dan bradikardi. Uap halothane tidak menimbulkan
iritasi pada saluran pernafasan karenanya induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk atau eksitasi.
Halothane mendepresi pernafasan yang pada tingkat permulaan menyebabkan pernafasan lebih
cepat (takipnu) dan dangkal, dan pada stadium lebih dalam dapat timbul gagal nafas (henti
nafas). Halothane juga mempunyai efek relaksasi yang moderat terhadap sistem otot.
Dosis: dosis induksi 2-4%, dosis pemeliharaan 0,5-2%
Pemberian: inhalasi

b. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)


Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari
udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat
CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot,
oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot.
Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan,
hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia
difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum
anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O: O2 adalah sebagai berikut
60%:40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.

3. OBAT PELUMPUH OTOT


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan
pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat
penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan
menguragi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang
dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. 2 golongan obat pelumpuh otot yaitu:
a. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non depolarisasi dan
asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)

b. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter, halothane,
enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida), norkuron
(pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).

Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :


1. Atrakurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan
atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :
Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang
disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Kemasan dibuat
dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan
sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap
penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada odsis yang dipakai. Pada umumnya mula kerja
atrakurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedangkan lama kerja atrakurium dengan dosis
relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi syaraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama
kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Atrakurium dapat menjadi
obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung, hati, dan ginjal yang
berat.
4. ANTAGONIS PELUMPUH OTOT
Neostigmin Metil Sulfat (Prostigmin)
Merupakan antikolinesterase yang mencegah hidrolisis dan menimbulkan akumulasi asetilkholin.
Obat ini mengalami metabolisme oleh kolinesterase serum dan bentuk utuh obat sebagian
diekskresi melalui ginjal. Mempunyai efek nikotinik, muskarinik dan stimulan otot langsung.
Efek muskarinik antara lain bradikardi, hiperperistaltik, dan spasme saluran cerna, pembentukan
sekret jalan nafas dan kelenjar liur, bronkospasme, berkeringat, miosis dan kontraksi vesika
urinaria. Dosis 0,5 mg bertahap hingga 5 mg. Biasanya diberikan bersama sama dengan atropin
dosis 1 1,5 mg.

5. INTUBASI TRAKEA
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan
dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.sedangkan ekstubasi trakea adalah tindakan
pengeluaran pipa endotrakeal. Intubasi trakea bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi intubasi trakea adalah: tindakan resusitasi, tindakan anestesi, pemeliharaan jalan nafas,
dan pemberian ventilasi mekanis jangka panjang. Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat
terjadi saat dilakukannya tindakan laringoskopi dan intubasi, selama pipa endotrakeal
dimasukkan, dan setelah ekstubasi.
Rapid Sequence Intubation

Rapid Sequence Intubation (RSI) adalah suatu prosedur tehnik intubasi yang dilakukan
setelah preoksigenisasi, kemudian induksi dengan menggunakan obat induksi yang poten lalu
diikuti pemberian obat pelumpuh otot dengan kerja cepat untuk dapat menyebabkan penurunan
kesadaran dan paralisis motorik untuk tujuan intubasi secara cepat. Teknik ini didasari pada
pasien dalam keadaan tidak puasa atau lambung penuh yang akan dilakukan intubasi, yang
memiliki resiko aspirasi cairan atau isi lambung. Pasien yang membutuhkan intubasi memiliki
setidaknya salah satu dari 5 indikasi berikut:

Ketidakmampuan untuk mempertahankan patensi jalan napas

Ketidakmampuan untuk melindungi jalan nafas terhadap aspirasi

Kegagalan untuk ventilasi

Kegagalan untuk mengoksidasi

Antisipasi kursus memburuk yang akhirnya akan menyebabkan kegagalan pernafasan

RSI adalah metode yang banyak dipakai dari intubasi pipa endotrakeal di departemen darurat
(ED). Hal ini karena cepat ketidaksadaran dan blokade neuromuscular (kelumpuhan). Hal ini
penting pada pasien yang belum rpuasa dan karena ini resikonya jauh lebih besar untuk muntah
dan aspirasi. Untuk tujuan ini, tujuan dari RSI adalah untuk intubasi trakea tanpa harus
menggunakan bag-valve-mask (BVM) ventilasi, yang sering diperlukan ketika melakukan
intubasi dengan agen sedatif saja (misalnya, ketamin, etomidate, propofol) .

RSI melibatkan pemberian dosis berdasarkan berat badan dari agen induksi (misalnya,
ketamin, etomidate) segera diikuti oleh agen lumpuh (misalnya, rocuronium, suksinilkolin) untuk
membuat pasien tidak sadar dan lumpuh dalam 1 menit. Obat-obat ini berbagi kesamaan dalam
onset singkat / diimbangi kali dan khasiat ampuh. Metode ini telah terbukti aman dan efektif
dalam ULN selama 4 dekade terakhir, dan itu dianggap sebagai standar perawatan. Ketika
dikelola oleh berpengalaman, dokter darurat terlatih, penggunaan neuromuscular blocking agen
pada pasien yang menjalani muncul intubasi trakea dikaitkan dengan penurunan yang signifikan
dalam komplikasi prosedur terkait.

RSI tidak diindikasikan pada pasien yang tidak sadar dan apnea. Situasi ini dianggap sebagai
"kecelakaan" napas, dan ventilasi BVM segera dan intubasi endotrakeal tanpa pretreatment,
induksi, atau kelumpuhan ditunjukkan.

RSI harus didekati dengan hati-hati pada pasien dengan dugaan sulit bernafas. Jika kesulitan
diantisipasi, maka teknik terjaga atau penggunaan tambahan berarti saluran napas (misalnya,
serat optik intubasi) dianjurkan. Atau, personel anestesi dapat dipanggil untuk membantu dalam
mengamankan jalan napas dari pasien yang sulit diintubasi.

Indikasi

Kegagalan untuk mempertahankan saluran napas.

Pembengkakan saluran napas bagian atas seperti pada anafilaksis atau infeksi. Trauma
wajah atau leher dengan perdarahan oropharyngeal atau hematoma.

Kesadaran menurun dan hilangnya refleks jalan nafas.

Kegagalan untuk melindungi jalan nafas terhadap aspirasi - kesadaran menurun yang
mengarah ke regurgitasi muntah, sekresi, atau darah.
Kegagalan untuk ventilasi.

Hal terakhir yang dilakukan jika gagal untuk menjaga dan melindungi jalan nafas dengan
teknik yang lain.

Upaya pernapasan berkepanjangan yang menyebabkan kelelahan atau kegagalan, seperti


dalam status asmatikus atau PPOK yang parah.

Kegagalan untuk mengoksidasi (yaitu, transportasi oksigen ke darah kapiler paru)

Edema paru difus.

Sindrom pernapasan akut seperti pneumonia dan mboli paru.

Toksisitas sianida, toksisitas karbon monoksida, methemoglobinemia

Diantisipasi klinis atau kerusakan (misalnya, kebutuhan untuk kontrol situasi, tes,
prosedur).

Pasien tidak kooperatif trauma dengan cedera yang mengancam jiwa yang membutuhkan
prosedur (misalnya, tabung dada) atau langsung CT scan luka tusukan ke leher dengan
memperluas hematoma.

Syok septik dengan tinggi menit-ventilasi dan perfusi perifer yang buruk.

Perdarahan intrakranial dengan perubahan status mental dan kebutuhan untuk kontrol
tekanan darah dan fraktur tulang belakang leher dengan edema.

Kontraindikasi

Mutlak

Obstruksi jalan napas atas total

Relatif

Jalan nafas yang sulit dilakukan intubasi sehingga hanya dapat dilakukan BVM
(bag valve mask) untuk menjaga pasien tetap tidak sadar.
Pada pasien yang tidak sadar, yang tidak ada waktu untuk dilakukan premedikasi,
preoksigenasi, induksi dan adanya paralisis. Ventilasi menggunakan BVM, intubasi
atau keduanya harus segera dilakukan tanpa adanya obat.

Untuk mempermudah Rapid Sequence Intubation (RSI), salah satu dari kedua obat ini dapat
digunaka : agen induksi (etomidate) dan agen lumpuh (suksinilkolin). Karena onset singkat /
durasi cepat dan potensi tinggi.

Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau penurunan
volume cairan dalam tubuh. Jenis syok ini adalah yang paling sering ditemui pada penderita.
Penyebab primernya adalah defisit volume IVF sehingga perfusi jaringan menurun. Cairan
yang hilang bisa bermacam-macam, seperti :
- Darah, misalnya pada perdarahan, hematoma
- Plasma, misalnya pada kasus luka bakar, keradangan
- Elektrolit ( air), seperti pada gastroentritis, ileus.
Kehilangan cairan intravaskuler bisa berupa eksogen atau endogen. Pada
kehilangan cairan yang eksogen cairan betul-betul keluar dari jaringan tubuh seperti pada
perdarahan atau kasus luka bakar. Sedangkan pada kehilangan cairan endogen maka cairan
betul-betul telah keluar dari intravaskuler tetapi masih dalam jaringan atau rongga tubuh
namun belum keluar dari tubuh sendiri.
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan yang terselubung adalah trauma
abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus obstruksi dan peritonitis.
Syok hipovolemik ditandai oleh :
- Penurunan volume cairan intra vaskuler
- Penurunan tekanan vena sentral
- Hipotensi arterial
- Peningkatan tahanan vaskular sistemik
- Respon jantung berupa : takikardia
Gejala-gejala syok sesuai jumlah darah yang hilang
Kehilangan
(% blood volume) Syok Gejala
15% --- ---
15-25 % Ringan Nadi naik sedikit
Tensi turun sedikit
25-30 % Sedang N = 100 - 120
T = 90 100
Vasokonstriksi-Pucat-Oliguria
>30% Berat N > 120
T < 60 / lebih rendah
Vasokonstriksi hebat-Anuria

Terapi Syok Hipovolemik :


a. Letakkan pasien pada posisi terlentang
b. Berikan oksigen sebanyak 5-10 L/menit dengan kanula nasal atau sungkup muka
c. Lakukan kanulasi vena tepi dengan kateter no. 16 atau 14 perkutanius atau vena seksi. Kalau
perlu jumlah kanulasi vena 2-3 tergantung pada tingkat kegawatan syok.

d. Beri infus dengan cairan kristaloid atau koloid. Tujuan utama terapi adalah memulihkan
curah jantung dan perfusi jaringan secepat mungkin.

Bagaimana tata laksana pada pasien ini?


PERHITUNGAN RENCANA PEMBERIAN CAIRAN
BB : 60 Kg
Lama operasi : 120 menit
Perdarahan : 500 cc
Cairan yang diberikan : Kristaloid 2000 cc
Koloid 500 cc
Urin : 100 cc

Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan 60 kg :

4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 40 = 40 +
100 cc
Puasa = (pasien mengaku tidak makan selama 36 jam sebelum operasi)
= 36 x 100 cc = 3600 cc

Jumlah cairan selama operasi besar :


7 x 60 x 2jam = 840 cc

Perdarahan selama operasi :

Suction = 700 cc
Cuci NaCl = 500 cc
Perdarahan 200 cc

Kassa besar = 8 kassa x 10 cc = 80 cc


Jumlah perdarahan = 280 cc
Perdarahan = 280 cc
EBV ( 70 x 60 ) = 4200 cc

Grade Perdarahan ;
280 x 100% = 6.6% (kurang dari 15%---RINGAN)
4200

Total cairan yang dibutuhkan :


Cairan selama operasi (IWL) = 840 cc
Perdarahan = 280 cc

Koreksi cairan yang di berikan


Kristaloid = 1500 cc = 1500 cc
Perdarahan = 280 cc 280 cc -
1220 cc
Total cairan yang di butuhkan :
= Puasa + IWL + koreksi cairan yang belum diberikan + urin
= 3600 + 840 + 1220 + 100
= 5.760 cc

Kebutuhan cairan post operasi :


= 24 (36 + 4) = 26
= 26 x 100 = 2600 cc

Total cairan post operasi :


= 5.760 + 2600 = 3160/ 4 jam
= 3160/ 4 = 790 gtt/m
BAB IV DISKUSI

DAFTAR PUSTAKA

1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta. 1997. Hal 700-718

2. A. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi


III, Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2000. Hal 313-317

3. Dr. P. Bhatia & Dr. S. J. John. Laparoscopic Hernia Repair (a step by step approach). Edisi I.
Penerbit Global Digital Services, Bhatia Global Hospital & Endosurgery
Institute. New Delhi. 2003.
4. H G, Burhitt & O.R.G. Quick. Essential Surgery . Edisi III. 2003. Hal 348-356

5. C. Palanivelu. Operative Manual of Laparoscopic Hernia Surgery. Edisi I. Penerbit GEM


Foundation. 2004. Hal 39-58

6. Brian W. Ellis & Simon P-Brown. Emergecy surgery. Edisi XXIII. Penerbit Hodder Arnold.
2006.

7. Gary G. Wind. Applied Laparoscopic Anatomy (Abdomen and Pelvis). Edisi I. Penerbit
Williams & Wilkins, a Waverly Company. 1997.

8. Michael M. Henry & Jeremy N. T. Thompson. Clinical Surgery. Edisi II. 2005.

9. R. Bendavid, J. Abrahamson, Mauruce E. A, dkk. Abominal Wall Hernias (Principles and


Management). Edisi I. Penerbit Sringer-Varlag. New York. 2001.

10. Michael S. Kavic. Laparoscopic Hernia Repair. Edisi I. Penerbit Harwood Academic
Publishers. Amsterdam. 1997.

11. Rather A. Assar. 2015. Abdominal Hernia. Bayhealth Kent General Hospital: WebM

Anda mungkin juga menyukai