Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Sepsis diderita oleh 18 juta orang seluruh dunia setiap tahunnya. Pencatatan
kejadian sepsis memperkirakan insidensinya sekitar 50-95 kasus diantara 100.000
populasi, dengan kecenderungan meningkat sebesar 9 % tiap tahunnya. Insidensi
cenderung meningkat berdasarkan umur, dengan kelompok umur tua yang paling
buruk.
Penelitian epidemiologi sepsis di Amerika menyatakan insidensi sepsis
sebesar 3 kasus diantara 1.000 populasi. Insidensi meningkat lebih dari 100 kali lipat
berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok
umur > 85 tahun). Insidensinya diperkirakan meningkat sekitar 1,5 % tiap tahunnya.
Penelitian lainya menunjukkan insidensi sepsis meningkat dari 73,6/100.000 pada
tahun 1979 menjadi 175,9/100.000 pada tahun 1989. Angka kunjungan sepsis
berkisar antara 2% sampai 11% dari total kunjungan ICU. (Angus, et. al., 2001)
Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar sebesar 16% dari total kunjungan
ICU. Insidensi sepsis di Australia sekitar 11 tiap 1.000 populasi. Sepsis berat
terdapat pada 39 % diantara pasien sepsis. (Edbrooke, et. al., 1999)
Beban biaya perawatan sepsis di Amerika rata-rata US$16,7 milliar tiap
tahunnya. Biaya perawatan pasien sepsis di ICU enam kali lipat lebih besar
dibandingkan perawatan ICU tanpa sepsis. (Angus, et. al., 2001)
Penelitian di Inggris menunjukkan rata-rata biaya harian perawatan pasien
sepsis berkisar antara US$ 930 - US$ 1.079, berbeda bermakna dibandingkan
pasien tanpa sepsis (US$ 750). Total biaya perawatan pasien sepsis berkisar antara
US$3.801 - US$ 17.962, berbeda bermakna dibandingkan total biaya perawatan
pasien tanpa sepsis (US$ 1.666). (Edbrooke, et. al., 1999)
Angka mortalitas sepsis berkisar antara 25% sampai 80 % diseluruh dunia,
tergantung beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta,
terdapatnya trauma paru-paru akut atau sindrom distres respirasi akut atau gagal
ginjal, jenis infeksinya apakah nosokomial atau polimikrobial, dan jika jamur sebagai
agen penyebabnya. Sebuah penelitian menunjukkan angka mortalitas menurun dari
62% di awal tahun 1990an menjadi 56% ditahun 2000.(Hoyert, et. al., 2001)

Angka mortalitas sepsis di Amerika sebesar 28,6% yang meningkat


berdasarkan umur, yaitu sebesar 10% pada anak-anak dan 38,4% pada kelompok
umur >85 tahun. Penelitian di Inggris menyebutkan angka mortalitas sepsis sebesar
50% - 60%, berbeda bermakna dibanding angka mortalitas pada pasien tanpa
sepsis (20%). Data angka mortalitas di Australia menyebutkan bahwa angka
mortalitas pasien sepsis sebesar 28,9%, sedangkan angka mortalitas pada pasien
dengan sepsis berat sebesar 31,1%. ( Hoyert, et. al., 2001, Edbrooke, et. al., 1999)
DEFINISI DAN KRITERIA
Terdapat banyak istilah-istilah yang terkait sepsis yang perlu dipahami:
1. Inflamasi: respon lokal yang dipicu oleh jejas atau kerusakan jaringan, bertujuan
untuk menghancurkan, melarutkan bahan penyebab jejas ataupun jaringan yang
mengalami jejas, yang ditandai dengan gejala klasik dolor, kalor, rubor, tumor dan
functio laesa.
2. Infeksi: ditemukannya organisme pada tempat yang normal steril, yang biasanya
disertai dengan respon inflamasi tubuh.
3. Bakteremia: ditemukan bakteri di dalam darah, dibuktikan dengan biakan.
4. Septikemia: bakterimia disertai dengan gejala klinik yang bermakna.
5. Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS).
Istilah ini menggambarkan respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh berbagai
kondisi seperti trauma, luka bakar, aspirasi, kontusio pulmonal dan pankreatitis,
termasuk infeksi.
6. Sepsis: respon sistemik terhadap infeksi. Manifestasinya sama dengan SIRS
tetapi selalu dihubungkan dengan adanya proses infeksi. Jadi sepsis = SIRS yang
disebabkan oleh infeksi.
Respon sistemik: respon sistemik tersebut ditandai dengan 2 atau Iebih tanda:
-

temperatur > 38C atau kurang dari 36C

denyut jantung > 90/menit

respirasi > 20/menit atau PaC02 < 32 mmHg (<4.3 kPa)

sel darah putih > 12.000/mm3, atau > 10% bentuk immature/band.

7. Sindrom Sepsis: klinis infeksi dengan respon sistemik yang menyebabkan


gangguan organ berupa: insufisiensi respirasi, disfungsi renal, asidosis atau gejala
mental.
8. Sepsis berat : kondisi sepsis disertai adanya disfungsi organ, hipoperfusi atau
hipotensi. Manifestasi hipoperfusi dan gangguan perfusi antara lain dapat berupa
asidosis laktat, oliguri atau penurunan kesadaran.
9. Syok septik : terjadi pada pasien dengan sepsis berat, dengan manifestasi
hipotensi yang menetap meskipun telah mendapatkan resusitasi cairan yang
adekuat, disertai dengan penurunan perfusi jaringan dan gangguan fungsi organorgan.
10. Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS):
Gangguan fungsi organ pada pasien akut yang sedemikian rupa sehingga
homeostatis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Kondisi ini ditandai dengan
adanya perubahan kontinyu pada lebih dari 1 organ tubuh. Disfungsi dapat berupa
kegagalan total suatu organ tubuh (misal: gagal ginjal, oliguri) atau hanya berupa
kegagalan kimiawi baik yang menimbulkan gejala klinis ataupun tidak (misal:
peningkatan kadar kreatinin serum). (Suharto, 2000)
PATOGENESIS
Faktor mikrobial dan faktor penjamu
Selama ini diterima pendapat bahwa sepsis dan syok sepsis erat kaitannya
dengan faktor mikrobial dan faktor penjamu. Faktor mikrobial penting peranannya
sebagai pencetus segala perubahan patogenesis dan patofisiologi yang terjadi, dan
juga terkait dengan pemilihan antiibiotik yang sesuai. Faktor penjamu merupakan
faktor penentu mudah/sukarnya mikroorganisme masuk dan berkembang biak, di
samping bagaimana responnya (Suharto, 2000; Light, 1998).
Proses kejadian sepsis
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan adanya fokus infeksi jaringan
sebagai sumber bakteremia (bakteremia sekunder). Kuman gram negatif merupakan
komensal normal dalam GIT, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan,

seperti dalam peritonitis perforasi. Sepsis juga bisa ditimbulkan oleh kuman gram
positif biasanya timbul dari infeksi kulit atau saluran respirasi, juga bisa dari luka
terbuka misalnya pada luka bakar. Penyebab yang lebih jarang adalah: jamur
terutama Candida dan virus (Baxter, 1997; Light, 1998).
Toksin bakteri memegang kunci dalam kejadian sepsis bahkan cukup dengan
toxin bakteri tanpa kehadiran bakteri secara sistemik secara klinik dapat
menimbulkan syok sepsis.
Peradangan yang tercetus sebenarnya berfungsi untuk membatasi, melawan
proses penyebarannya, menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Tapi bila
respon peradangan ini berkepanjangan dan berlebihan akan merugikan. Demam
dan radang berlangsung diperantarai oleh mediator inflamasi termasuk berbagai
sitokin. Di antara semua sitokin, TNF- dianggap sebagai mediator yang paling
poten dalam patofisiologi sindrom sepsis gram negatif. Secara umum perubahan ini
meliputi: perubahan endotel, kebocoran kapiler, tachikardi, hipotensi dan depresi
myokard. Perubahan yang terjadi berakibat perubahan aliran darah dimikrosirkulasi
dan kerusakan yang progresif pada endotel kapiler dan jaringan (Patrick, 2006).
TNF-

memicu

timbulnya

demam,

tachikardi,

tachypnea,

myalgia,

leukositosis dan somnolensi. Pemberian infus TNF- dalam dosis besar pada
binatang percobaan, dapat menyebabkan syok, DIC dan kematian. TNF-
menstimulasi leukosit dan endotel vaskuler melepaskan sitokin-sitokin lain (selain
TNF- sendiri), dan meningkatkan perubahan asam arakhidonat (Suharto, 2000;
Carcille, 2005).
Asam arakhidonat yang dibebaskan dari fosfolipid oleh phospholipase A2
akan diubah dalam jalur siklooksigenase menjadi prostaglandin dan tromboksan.
Prostaglandin dan prostasiklin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sedangkan
tromboksan menyebabkan vasokonstriksi dan memacu agregrasi trombosit.
Leukotrien juga merupakan mediator yang kuat pada iskemia dan syok. Bahan
fosfolipid yang lain adalah PAF yang dapat menyebabkan agregasi leukosit serta
jejas jaringan (Carcille, 2005).
Pada pasien sepsis terdapat gangguan keseimbangan antara koagulasi dan
fibrinolisis yang berakibat adanya keadaan prokoagulan, yang ikut berperan dalam

timbulnya kegagalan organ dan kematian. Deposisi fibrin intravaskuler, trombosis


dan DIC merupakan gambaran penting yang dijumpai pada sepsis. TNF- memicu
terjadinya koagulasi intra vaskuler dengan cara menginduksi ekspresi faktor jaringan
monosit. Bila faktor jaringan diekspresikan oleh monosit, ia akan mengikat F VIIa
untuk membentuk kompleks aktif yang akan mengubah F X dan XI menjadi enzim
aktif. Akibatnya adalah akan terjadi aktifasi koagulasi dengan hasil akhir
terbentuknya fibrin (Carcille, 2005).
Komplemen

C5a

dan

produk

lain

hasil

aktivasi

komplemen

akan

meningkatkan aktifasi reaksi neutrofil misalnya kemotaksis, agregrasi, degranulasi


dan produksi radikal oksigen. Bila diberikan pada binatang, terbukti akan
menginduksi terjadinya vasokontriksi pulmoner, neutropenia dan kebocoran vaskuler
karena kerusakan endotel.
Banyak alat tubuh mengalami kerusakan akibat sepsis. Mekanisme yang
mendasari sangat mungkin adalah terjadinya jejas endotel vaskuler yang sangat
luas, di samping ekstravasasi cairan dan mikrotrombi yang akan menurunkan
penggunaan oksigen dan bahan lain oleh jaringan yang bersangkutan. Integritas
kapiler akan rusak oleh pengaruh enzim neutropil (misalnya elastase) dan bahan
metabolit toksik lainnya, sehingga timbul perdarahan lokal (Carcille, 2005).
Perubahan hemodinamik dimana dikeluarkan nitrooksida yang menyebabkan
vaskuler sistemik resistensi (SVR) menurun, peningkatan permeabilitas kapiler
akibat gangguan pada endotel berakibat ekstravasasi, udema interstitiel bahkan
udema intraseluler. Udema pada dua kompartemen tersebut berakibat terjadinya
gangguan metabolisme sel, oksigen yang tersedia menurun di bawah level kritis,
kegagalan penggunaan oksigen, jaringan melakukan metabolisme anaerob, terjadi
akumulasi laktat, asidosis metabolik dan pada gilirannya menyebabkan Multiple
Organ Dysfunction Syndrome (MODS) (Suharto, 2000; Patrick, 2006).

PRINSIP DASAR PENATALAKSAAN SEPSIS


A. Resusitasi Awal
1 Resusitasi pada pasien sepsis berat atau hipoperfusi jaringan yang
diinduksi sepsis (hipotensi atau asidosis laktat) harusnya dimulai sesegera mungkin
setelah sindrom tersebut diketahui dan tidak seharusnya tertunda karena menunggu
masuk ICU.
Peningkatan kadar laktat serum menunjukkan hipoperfusi jaringan pada
pasien yang tidak hipotensif. Selama 6 jam pertama, tujuan resusitasi awal pada
hipoperfusi yang terinduksi sepsis termasuk semua kriteria dibawah ini sebagai satu
bagian dari protokol penatalaksanaan :
1. Tekanan vena sentral : 8-12 mmHg
2. Tekanan arteri rata-rata > 65 mmHg
3. Produksi urin > 0,5 mm/kgBB/jam
4. Saturasi oksigen 70 %
Penatalaksanaan awal tersebut menunjukkan perbaikan harapan hidup
pasien UGD yang menderita sepsis. Resusitasi yang bertujuan pada kriteria tersebut
diatas pada periode 6 jam pertama resusitasi mampu menurunkan angka mortalitas
hari-28. Meskipun pengukuran laktat mungkin berguna, presisinya sebagai pengukur
status metabolisme jaringan masih kurang. Pada pasien yang menggunakan
ventilator mekanik, target CVP direkomendasikan 12-15 mmHg sebagai kompensasi
peningkatan tekanan intrathorakal. Meskipun penyebab takikardi pada pasien sepsis
bersifat multifaktorial, penurunan frekuensi nadi setelah resusitasi cairan merupakan
petunjuk penting perbaikan pengisian intravaskuler.
2. Selama 6 jam pertama resusitasi, jika saturasi 70 % tidak tercapai dengan
resusitasi cairan yang menunjukkan CVP 8-12 mmHg, diperlukan tranfusi PRC untuk
mencapai hematokrit 30 % dan/atau pemberian dobutamin infus (sampai maksimal
20 g/kg/menit) untuk mencapai tujuan ini.

B. Diagnosis
1. Kultur seharusnya selalu dilakukan sebelum dimulai terapi anbtimikrobial.
Diperlukan setidaknya 2 kultur darah yang diambil salah satunya lewat perkutan dan
satunya lagi diambil melalui peralatan akses vaskuler yang ada, kecuali jika alat
tersebut dipasang kurang dari 48 jam. Kultur dari tempat lainnya seperti urin, LCS,
luka, sekret respirasi, atau cairan tubuh lainnya harus diambil sebelum dimulai terapi
antibiotik.
2.

Pemeriksaan

diagnostik

seharusnya

dilakukan

secepatnya

menentukan sumber infeksi dan organisme penyebab. Pemeriksaan

untuk

radiografis

seharusnya juga dilakukan, meskipun terkadang pasien tidak stabil untuk menjalani
prosedur invasif tertentu atau ditransport keluar dari ICU.
C. Terapi Antibiotik
1. Terapi antibiotik intravena seharusnya dimulai dalam 1 jam pertama
setelah diketahui terjadinya sepsis berat, setelah kultur diambil.
2. Terapi antibiotik awal secara empiris seharusnya termasuk 1 atau lebih
obat yang mempunyai aktifitas melawan patogen yang dicurigai (bakterial atau
fungal) dan memungkinkan menembus kedalam sumber sepsis yang dicurigai.
Pemilihan obat seharusnya berdasarkan pola kuman di masyarakat dan di rumah
sakit.
3. Pemberian antimikrobial seharusnya selalu ditinjau kembali setelah 4872
jam yang tujuannya dapat dipilihnya antibiotik spektrum sempit untuk mencegah
terjadinya resistensi, mengurangi toksisitas, dan mengurangi biaya. Apabila patogen
penyebab telah teridentifikasi, tidak ada bukti yang menunjukkan terapi kombinasi
lebih efektif dibandingkan monoterapi. Durasi terapi antibiotik seharusnya berjalan
selama 7-10 hari dan berdasarkan respon klinis.
Banyak klinisi menggunakan terapi kombinasi untuk pasien sepsis berat atau
syok septik dengan netropenia. Pada kasus ini terapi antibiotik berlanjut sepanjang
terjadinya netropenia.

4. Apabila sindrom klinis menunjukkan penyebabnya adalah non infeksi,


terapi

antimikroba

seharusnya

dihentikan

secepatnya

untuk

meminimalkan

terjadinya patogen resisten dan superinfeksi oleh organisme patogen lainya.


D. Kontrol Sumber Infeksi
1. Setiap pasien sepsis seharusnya dievaluasi terdapatnya fokus infeksi,
terutama dari drainase abses atau fokus infeksi lokal, debridement jaringan nekrotik
terinfeksi, pelepasan peralatan yang memungkinkan terinfeksi, atau kontrol definitif
sumber kontaminasi mikroba yang masih ada.
2. Pemilihan cara mengontrol sumber infeksi harus memperhatikan untung
ruginya. Intervensi kontrol sumber infeksi dapat menyebabkan komplikasi seperti
perdarahan, fistula, atau cedera jaringan yang tidak dikehendaki.
3. Apabila sumber infeksi ternyata seperti abses intrabdomen, perforasi
gastrointestinal, kolangitis, atau iskemia intestinal, pengontrolan sumber infeksi tetap
harus secepatnya dilakukan setelah resusitasi awal.
4. Apabila peralatan akses intravena dicurigai sebagai sumber infeksi, maka
harus secepatnya dilepas setelah dipasang akses vaskular lainnya.

Tabel 1. Tindakan untuk mengontrol sumber infeksi

E. Terapi Cairan
1. Resusitasi cairan dapat berupa koloid alami atau buatan, atau kristaloid.
Tidak ditemukan bukti bahwa suatu jenis cairan lebih baik dari jenis cairan lainnya.
2. Uji cairan pada pasien yang dicurigai hipovolemia (dicurigai terdapat
sirkulasi arterial yang tidak adekuat) dapat diberikan 500-1000 cc kristaloid atau 300500 cc koloid dalam 30 menit dan diulang berdasarkan respon klinis (peningkatan
tekanan darah dan produksi urin), dan dimonitor adanya kelebihan cairan
intravaskuler.
F. Vasopresor
1. Apabila uji cairan tidak mampu menghasilkan tekanan darah dan perfusi
organ yang adekuat, terapi dengan obat vasopresor harus segera dimulai. Terapi
vasopresor dapat juga diperlukan untuk memelihara perfusi pada kasus hipotensi
yang mengancam jiwa, meskipun uji cairan sedang berlangsung dan hipovolemia
dapat dikoreksi.
2. Norepinefrin atau dopamin (melalui CVC yang sesegera mungkin
dipasang) merupakan obat vasopresor pilihan utama untuk mengatasi hipotensi
pada syok septik.
3. Dopamin dosis rendah tidak seharusnya digunakan untuk proteksi renal
sebagai bagian pengobatan sepsis berat.
4. Semua pasien yang memerlukan vasopresor seharusnya dipasang kateter
arterial sesegera mungkin.
5. Penggunaan vasopresin dapat dipertimbangkan diberikan pada pasien
dengan syok refrakter setelah pemberian resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor konvensional dosis tinggi.
G. Terapi Inotropik
1. Pada pasien dengan curah jantung rendah meskipun sudah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat, dobutamin dapat digunakan untuk meningkatkan
curah jantung. Jika digunakan pada kondisi tekanan darah yang rendah, dobutamin
seharusnya dikombinasi dengan terapi vasopresor.

2. Strategi meningkatkan indeks kardial untuk memperoleh level yang lebih


tinggi tidak direkomendasikan.
H. Steroid
1. Kortikosteroid intravena (hidrokortison 200-300 mg/hari, selama 7 hari
dalam 3-4 dosis terbagi atau dengan infus kontinyu) direkomendasikan pada pasien
dengan syok septik yang memerlukan terapi vasopresor untuk mempertahankan
tekanan darah yang adekuat setelah penggantian cairan yang adekuat.
a) Beberapa penelitian menggunakan tes stimulasi ACTH 250 g untuk
mengidentifikasi pasien yang responsif (peningkatan > 9 g/dL kortisol
setelah 30-60 menit pemberian ACTH) dan menghentikan terapi pada
pasien tersebut. Klinisi tidak harus menunggu hasil stimulasi ACTH untuk
memberikan kortikosteroid
b) Beberapa ahli menurunkan dosis steroid setelah pebaikan syok septik.
c) Beberapa ahli mempertimbangkan menurunkan secara bertahap dosis
kortikosteroid pada akhir terapi.
d) Beberapa ahli menambahkan fludrokortison ( 50 g peroral 4 kali sehari)
pada terapi steroid tersebut.
2. Dosis kortikosteroid hidrokortison > 300 mg dalam sehari tidak boleh
digunakan pada sepsis berat atau syok septik, jika tujuannya untuk memperbaiki
syok septik.
3. Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada penatalaksanaan sepsis jika
tidak terdapat syok septik. Tidak ada kontraindikasi untuk melanjutkan terapi steroid
pemeliharaan atau menggunakan steroid dosis tertentu jika pasien mempunyai
riwayat pemberian kortikosterid atau riwayat gangguan endokrin.
I. Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC)
rhAPC direkomendasikan pada pasien yang beresiko tinggi meninggal
(APACHE II > 25, gagal organ multipel terinduksi sepsis, syok septik, atau ARDS
terinduksi sepsis) dan tidak ada kontraindikasi absolut atau kontraindikasi relatif
yang berhubungan dengan resiko perdarahan.

10

Tabel 2. Kontraindikasi penggunaan rhAPC

J. Pemberian Produk Darah


1. Apabila hipoperfusi jaringan ditemukan dan tidak terdapat penyakit arteri
koroner, perdarahan akut, atau asidosis laktat, tranfusi sel darah merah harus
diberikan hanya jika hemoglobin turun kurang dari 7 gr/dL untuk mencapai target
hemoglobin 7-9 gr/dL.
2. Eritropoetin tidak direkomendasikan sebagai terapi spesifik untuk anemia
yang berhubungan dengan sepsis berat, tapi mungkin bisa diberikan apabila pasien
sepsis mempunyai alasan kuat pemberian eritropoetin seperti gagal ginjal disertai
produksi sel darah merah yang kurang.
3. Tidak direkomendasikan pemberian rutin plasma segar yang dibekukan
untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan darah tanpa disertai perdarahan atau
direncanakan tindakan invasif.
4. Pemberian antitrombin tidak direkomendasikan dalam pengobatan sepsis
berat atau syok septik.
5. Trombosit seharusnya diberikan apabila AT < 50000 /mm 3 meskipun tidak
muncul perdarahan. Tranfusi trombosit dipertimbangkan apabila AT 5000-30000/mm3
dan terdapat resiko perdarahan. Angka trombosit yang lebih tinggi (>50000 /mm3 )
diperlukan untuk operasi atau tindakan invasif.

11

K. Ventilasi Mekanik pada ARDS/ ALI Terinduksi Sepsis.


1. Volume tidal yang tinggi dengan tekanan tinggi harus dihindari pada
ARDS/ALI. Titik awalnya adalah pengurangan volume tidal dalam 1-2 jam sampai
volume tidal rendah ( 6 ml/kg) bersamaan dengan mempertahankan tekanan akhir
ekspirasi < 30 cmH2O .
2. Hiperkapnia dapat ditoleransi pada pasien ARDS/ALI jika diperlukan untuk
meminimalkan volume tidal dan tekanan plateu.
3. PEEP dapat diberikan untuk mencegah menutupnya alveoli pada akhir
ekspirasi. Pengaturan PEEP berdasarkan derajat defisit oksigenasi dan ditentukan
oleh FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi.
4.

Pada

fasilitas

ICU

yang

berpengalaman

dapat

dipertimbangkan

penggunaan posisi tengkurap pada pasien ARDS untuk mendapatkan perbaikan Fi


O2 atau tekanan plateu yang tidak memiliki resiko tinggi untuk perubahan posisi
tersebut.
5.

Jika

tidak

dikontraindikasikan,

pasien

dengan

ventilasi

mekanis

dipertahankan pada posisi semirecumbent, dengan kepala tempat tidur dinaikkan


sampai 45o untuk mencegah pneumonia terkait ventilator (VAP).
6. Protokol penyapihan ventilasi mekanis dilakukan sampai pernafasan
spontan untuk menilai kemampuan penghentian ventilasi mekanis apabila
menunjukkan kriteria:
a. dapat dibangunkan
b. hemodinamik stabil (tanpa vasopresor)
c. tanpa kondisi yang berpotensial serius
d. kebutuhan ventilasi dan tekanan akhir ekspirasi yang rendah
e. memerlukan FiO2 yang dapat diberikan secara baik dengan sungkup
muka atau nasal kanul.
Jika nafas spontan berhasil, dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pilihan
pernafasan spontan termasuk bantuan tekanan level rendah dengan CPAP 5 cm
H2O atau dengan T-piece.

12

Tabel 3. Manajemen ventilator ARDSNET

L. Sedasi, Analgesi, dan Pelumpuh Otot pada Sepsis


1. Sedasi diperlukan pada pasien dengan ventilasi mekanis berdasarkan
skala sedasi subyektif yang terstandarisasi.
2. Sedasi dengan bolus intermiten atau infus kontinyu diberikan dengan
interupsi atau pengurangan sedasi setiap hari dengan disertai membangunkan
pasien

dan

titrasi

kembali

(jika

diperlukan)

merupakan

metode

yang

direkomendasikan untuk pemberian sedasi.


3. Pelumpuh otot dihindari jika memungkinkan pada pasien sepsis karena
resiko pemanjangan efek pelumpuh otot. Jika pelumpuh otot harus diberikan harus
diberikan lebih lama dari pada 1 jam pertama ventilasi mekanis diperlukan dosis
bolus intermiten atau infus kontinyu.
M. Kontrol Glukosa
1. Dipertahankan kadar glukosa darah kurang dari 150 mg/dL (8,3 mmol/L)
pada stabilisasi awal pasien sepsis berat. Penelitian yang bertujuan mengendalikan
glukosa menggunakan infus kontinyu insulin dan glukosa. Berdasarkan protokol ini
glukosa harus dimonitor secara ketat pada awal pemberian (setiap 30-60 menit) dan
kemudian monitor secara teratur setiap 4 jam apabila konsentrasi gula darah telah
stabil.
2. Pada pasien sepsis berat pengendalian glukosa harus disertai pemberian
nutrisi yang diprioritaskan melalui jalur enteral.

13

N. Penggantian Ginjal
Pada gagal ginjal akut tanpa disertai stabilitas hemodinamik, hemofiltrasi
veno-venosa kontinyu sama baiknya dengan hemodialisis intermiten. Hemofiltrasi
kontinyu memudahkan management keseimbangan cairan pada pasien sepsis yang
hemodinamiknya tidak stabil.
O. Terapi Bikarbonat
Terapi

bikarbonat

yang

bertujuan

memperbaiki

hemodinamik

atau

menurunkan kebutuhan vasopresor tidak direkomendasikan untuk mengobati


asidosis laktat terinduksi hipoperfusi dengan pH > 7,15.
P. Pencegahan Trombosis Vena Dalam (DVT)
Pasien sepsis berat seharusnya mendapatkan profilaksis DVT dengan
heparin dosis rendah atau heparin dengan berat molekul rendah. Pada pasien
sepsis dengan kontraindikasi penggunaan heparin (misalnya trombositopenia,
koagulopati berat, perdarahan aktif, perdarahan intraserebral yang masih baru),
dianjurkan menggunakan pencegahan secara mekanis (stocking) yang menekan
secara bertahap atau alat yang menekan secara intermiten, kecuali apabila terdapat
kontraindikasi seperti penyakit vaskuler perifer. Pada pasien yang beresiko tinggi
seperti sepsis berat dan memiliki riwayat DVT, direkomendasikan menggunakan
terapi farmakologis yang dikombinasi dengan terapi mekanis.
Q. Pencegahan Stress Ulcer
Pencegahan stress ulcer seharusnya diberikan pada semua pasien dengan
sepsis berat. Inhibitor reseptor H2 lebih bermanfaat bila dibandingkan dengan
sukralfat. Inhibitor pompa proton belum pernah dibandingkan dengan antagonis
reseptor H2, sehingga efikasinya masih belum diketahui. (Dellinger, et. al., 2004)

14

DAFTAR PUSTAKA
Angus DC, Linde WT, Lidicker J,: Epidemiology of Severe Sepsis in The United
States. Crit Care Med 2001, 29; 1303-1310.
Baxter, F., Septic Shock. Can J Anaesth 1997, 44; 59-72;
Carcille J., John, A.H., 2005. Sepsis and Multiple Organ System Failure dalam
Children Textbook of Critical Care. 5th ed; 211-234; Pennsylvenia: Mitchell P. Finle.
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Crit Care Med 2004; 32:858-873.
Edbrooke, DL, Hibbert CL, Kingsley JM, et. Al.: The Patient Related Costs of Care
for Sepsis Patients in England Adult General Intensive Care Unit. Crit Care Med
1999; 27;1760-1767
Hoyert DL, Anderson RN: Age-adjusted Death Rate. Natl Vital Stat Rep 2001, 49:1-6
Light, R.B., 1998. Approach to Sepsis of Unknown Origin dalam Principle of Critical
Care; 2nd ed, McGraw-Hill, New York, p 719-745.
Patrick J.N, 2006. Infectious Disease and Bioterrorism dalam Anaesthesia and
Uncommon Disease, 5th ed; 377-410; Philadhelpia; Saunder Elsevier.
Suharto, 2000. Patofisiologi Syok Septik. Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah
Terpadu I FK UNAIR; p 57-68

15

REFERAT
MEI 2006

PRINSIP DASAR
PENATALAKSANAAN SEPSIS

Disusun oleh:
Akhmad Yun Jufan
PESERTA PPDS I ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FK UGM / RS Dr. SARDJITO

Pembimbing

Moderator

Dr.Med. dr. Untung Widodo, Sp.An. KIC

dr. Bambang Suryono S., Sp.An, KIC, KNA, MKes

BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA / RS DR. SARDJITO

YOGYAKARTA
2006

16

Anda mungkin juga menyukai