Sepsis diderita oleh 18 juta orang seluruh dunia setiap tahunnya. Pencatatan
kejadian sepsis memperkirakan insidensinya sekitar 50-95 kasus diantara 100.000
populasi, dengan kecenderungan meningkat sebesar 9 % tiap tahunnya. Insidensi
cenderung meningkat berdasarkan umur, dengan kelompok umur tua yang paling
buruk.
Penelitian epidemiologi sepsis di Amerika menyatakan insidensi sepsis
sebesar 3 kasus diantara 1.000 populasi. Insidensi meningkat lebih dari 100 kali lipat
berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok
umur > 85 tahun). Insidensinya diperkirakan meningkat sekitar 1,5 % tiap tahunnya.
Penelitian lainya menunjukkan insidensi sepsis meningkat dari 73,6/100.000 pada
tahun 1979 menjadi 175,9/100.000 pada tahun 1989. Angka kunjungan sepsis
berkisar antara 2% sampai 11% dari total kunjungan ICU. (Angus, et. al., 2001)
Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar sebesar 16% dari total kunjungan
ICU. Insidensi sepsis di Australia sekitar 11 tiap 1.000 populasi. Sepsis berat
terdapat pada 39 % diantara pasien sepsis. (Edbrooke, et. al., 1999)
Beban biaya perawatan sepsis di Amerika rata-rata US$16,7 milliar tiap
tahunnya. Biaya perawatan pasien sepsis di ICU enam kali lipat lebih besar
dibandingkan perawatan ICU tanpa sepsis. (Angus, et. al., 2001)
Penelitian di Inggris menunjukkan rata-rata biaya harian perawatan pasien
sepsis berkisar antara US$ 930 - US$ 1.079, berbeda bermakna dibandingkan
pasien tanpa sepsis (US$ 750). Total biaya perawatan pasien sepsis berkisar antara
US$3.801 - US$ 17.962, berbeda bermakna dibandingkan total biaya perawatan
pasien tanpa sepsis (US$ 1.666). (Edbrooke, et. al., 1999)
Angka mortalitas sepsis berkisar antara 25% sampai 80 % diseluruh dunia,
tergantung beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta,
terdapatnya trauma paru-paru akut atau sindrom distres respirasi akut atau gagal
ginjal, jenis infeksinya apakah nosokomial atau polimikrobial, dan jika jamur sebagai
agen penyebabnya. Sebuah penelitian menunjukkan angka mortalitas menurun dari
62% di awal tahun 1990an menjadi 56% ditahun 2000.(Hoyert, et. al., 2001)
sel darah putih > 12.000/mm3, atau > 10% bentuk immature/band.
seperti dalam peritonitis perforasi. Sepsis juga bisa ditimbulkan oleh kuman gram
positif biasanya timbul dari infeksi kulit atau saluran respirasi, juga bisa dari luka
terbuka misalnya pada luka bakar. Penyebab yang lebih jarang adalah: jamur
terutama Candida dan virus (Baxter, 1997; Light, 1998).
Toksin bakteri memegang kunci dalam kejadian sepsis bahkan cukup dengan
toxin bakteri tanpa kehadiran bakteri secara sistemik secara klinik dapat
menimbulkan syok sepsis.
Peradangan yang tercetus sebenarnya berfungsi untuk membatasi, melawan
proses penyebarannya, menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Tapi bila
respon peradangan ini berkepanjangan dan berlebihan akan merugikan. Demam
dan radang berlangsung diperantarai oleh mediator inflamasi termasuk berbagai
sitokin. Di antara semua sitokin, TNF- dianggap sebagai mediator yang paling
poten dalam patofisiologi sindrom sepsis gram negatif. Secara umum perubahan ini
meliputi: perubahan endotel, kebocoran kapiler, tachikardi, hipotensi dan depresi
myokard. Perubahan yang terjadi berakibat perubahan aliran darah dimikrosirkulasi
dan kerusakan yang progresif pada endotel kapiler dan jaringan (Patrick, 2006).
TNF-
memicu
timbulnya
demam,
tachikardi,
tachypnea,
myalgia,
leukositosis dan somnolensi. Pemberian infus TNF- dalam dosis besar pada
binatang percobaan, dapat menyebabkan syok, DIC dan kematian. TNF-
menstimulasi leukosit dan endotel vaskuler melepaskan sitokin-sitokin lain (selain
TNF- sendiri), dan meningkatkan perubahan asam arakhidonat (Suharto, 2000;
Carcille, 2005).
Asam arakhidonat yang dibebaskan dari fosfolipid oleh phospholipase A2
akan diubah dalam jalur siklooksigenase menjadi prostaglandin dan tromboksan.
Prostaglandin dan prostasiklin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sedangkan
tromboksan menyebabkan vasokonstriksi dan memacu agregrasi trombosit.
Leukotrien juga merupakan mediator yang kuat pada iskemia dan syok. Bahan
fosfolipid yang lain adalah PAF yang dapat menyebabkan agregasi leukosit serta
jejas jaringan (Carcille, 2005).
Pada pasien sepsis terdapat gangguan keseimbangan antara koagulasi dan
fibrinolisis yang berakibat adanya keadaan prokoagulan, yang ikut berperan dalam
C5a
dan
produk
lain
hasil
aktivasi
komplemen
akan
B. Diagnosis
1. Kultur seharusnya selalu dilakukan sebelum dimulai terapi anbtimikrobial.
Diperlukan setidaknya 2 kultur darah yang diambil salah satunya lewat perkutan dan
satunya lagi diambil melalui peralatan akses vaskuler yang ada, kecuali jika alat
tersebut dipasang kurang dari 48 jam. Kultur dari tempat lainnya seperti urin, LCS,
luka, sekret respirasi, atau cairan tubuh lainnya harus diambil sebelum dimulai terapi
antibiotik.
2.
Pemeriksaan
diagnostik
seharusnya
dilakukan
secepatnya
untuk
radiografis
seharusnya juga dilakukan, meskipun terkadang pasien tidak stabil untuk menjalani
prosedur invasif tertentu atau ditransport keluar dari ICU.
C. Terapi Antibiotik
1. Terapi antibiotik intravena seharusnya dimulai dalam 1 jam pertama
setelah diketahui terjadinya sepsis berat, setelah kultur diambil.
2. Terapi antibiotik awal secara empiris seharusnya termasuk 1 atau lebih
obat yang mempunyai aktifitas melawan patogen yang dicurigai (bakterial atau
fungal) dan memungkinkan menembus kedalam sumber sepsis yang dicurigai.
Pemilihan obat seharusnya berdasarkan pola kuman di masyarakat dan di rumah
sakit.
3. Pemberian antimikrobial seharusnya selalu ditinjau kembali setelah 4872
jam yang tujuannya dapat dipilihnya antibiotik spektrum sempit untuk mencegah
terjadinya resistensi, mengurangi toksisitas, dan mengurangi biaya. Apabila patogen
penyebab telah teridentifikasi, tidak ada bukti yang menunjukkan terapi kombinasi
lebih efektif dibandingkan monoterapi. Durasi terapi antibiotik seharusnya berjalan
selama 7-10 hari dan berdasarkan respon klinis.
Banyak klinisi menggunakan terapi kombinasi untuk pasien sepsis berat atau
syok septik dengan netropenia. Pada kasus ini terapi antibiotik berlanjut sepanjang
terjadinya netropenia.
antimikroba
seharusnya
dihentikan
secepatnya
untuk
meminimalkan
E. Terapi Cairan
1. Resusitasi cairan dapat berupa koloid alami atau buatan, atau kristaloid.
Tidak ditemukan bukti bahwa suatu jenis cairan lebih baik dari jenis cairan lainnya.
2. Uji cairan pada pasien yang dicurigai hipovolemia (dicurigai terdapat
sirkulasi arterial yang tidak adekuat) dapat diberikan 500-1000 cc kristaloid atau 300500 cc koloid dalam 30 menit dan diulang berdasarkan respon klinis (peningkatan
tekanan darah dan produksi urin), dan dimonitor adanya kelebihan cairan
intravaskuler.
F. Vasopresor
1. Apabila uji cairan tidak mampu menghasilkan tekanan darah dan perfusi
organ yang adekuat, terapi dengan obat vasopresor harus segera dimulai. Terapi
vasopresor dapat juga diperlukan untuk memelihara perfusi pada kasus hipotensi
yang mengancam jiwa, meskipun uji cairan sedang berlangsung dan hipovolemia
dapat dikoreksi.
2. Norepinefrin atau dopamin (melalui CVC yang sesegera mungkin
dipasang) merupakan obat vasopresor pilihan utama untuk mengatasi hipotensi
pada syok septik.
3. Dopamin dosis rendah tidak seharusnya digunakan untuk proteksi renal
sebagai bagian pengobatan sepsis berat.
4. Semua pasien yang memerlukan vasopresor seharusnya dipasang kateter
arterial sesegera mungkin.
5. Penggunaan vasopresin dapat dipertimbangkan diberikan pada pasien
dengan syok refrakter setelah pemberian resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor konvensional dosis tinggi.
G. Terapi Inotropik
1. Pada pasien dengan curah jantung rendah meskipun sudah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat, dobutamin dapat digunakan untuk meningkatkan
curah jantung. Jika digunakan pada kondisi tekanan darah yang rendah, dobutamin
seharusnya dikombinasi dengan terapi vasopresor.
10
11
Pada
fasilitas
ICU
yang
berpengalaman
dapat
dipertimbangkan
Jika
tidak
dikontraindikasikan,
pasien
dengan
ventilasi
mekanis
12
dan
titrasi
kembali
(jika
diperlukan)
merupakan
metode
yang
13
N. Penggantian Ginjal
Pada gagal ginjal akut tanpa disertai stabilitas hemodinamik, hemofiltrasi
veno-venosa kontinyu sama baiknya dengan hemodialisis intermiten. Hemofiltrasi
kontinyu memudahkan management keseimbangan cairan pada pasien sepsis yang
hemodinamiknya tidak stabil.
O. Terapi Bikarbonat
Terapi
bikarbonat
yang
bertujuan
memperbaiki
hemodinamik
atau
14
DAFTAR PUSTAKA
Angus DC, Linde WT, Lidicker J,: Epidemiology of Severe Sepsis in The United
States. Crit Care Med 2001, 29; 1303-1310.
Baxter, F., Septic Shock. Can J Anaesth 1997, 44; 59-72;
Carcille J., John, A.H., 2005. Sepsis and Multiple Organ System Failure dalam
Children Textbook of Critical Care. 5th ed; 211-234; Pennsylvenia: Mitchell P. Finle.
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Crit Care Med 2004; 32:858-873.
Edbrooke, DL, Hibbert CL, Kingsley JM, et. Al.: The Patient Related Costs of Care
for Sepsis Patients in England Adult General Intensive Care Unit. Crit Care Med
1999; 27;1760-1767
Hoyert DL, Anderson RN: Age-adjusted Death Rate. Natl Vital Stat Rep 2001, 49:1-6
Light, R.B., 1998. Approach to Sepsis of Unknown Origin dalam Principle of Critical
Care; 2nd ed, McGraw-Hill, New York, p 719-745.
Patrick J.N, 2006. Infectious Disease and Bioterrorism dalam Anaesthesia and
Uncommon Disease, 5th ed; 377-410; Philadhelpia; Saunder Elsevier.
Suharto, 2000. Patofisiologi Syok Septik. Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah
Terpadu I FK UNAIR; p 57-68
15
REFERAT
MEI 2006
PRINSIP DASAR
PENATALAKSANAAN SEPSIS
Disusun oleh:
Akhmad Yun Jufan
PESERTA PPDS I ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FK UGM / RS Dr. SARDJITO
Pembimbing
Moderator
YOGYAKARTA
2006
16