Disusun oleh :
Nizar Arif Lazuardi
22010116210145
Pembimbing :
dr. Mohammad Rizki
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : 22010116210145
Fakultas : Kedokteran
Judul : Craniotomy dasar tengkorak pada seorang perempuan 50
tahun dengan meningioma foramen magnum dengan general anestesia
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI UMUM
Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu an
dan esthesia, dan bersama-sama berarti hilangnya rasa sakit atau hilangnya
sensasi. Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai
kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi
dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses
eterisasi Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan.1,2
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan
nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum
biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan
ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus
bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-
lain.1,2
1. Tahap-tahap Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau
eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan
hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan
pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium
eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah,
midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi),
terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang
teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal,
refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan
kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan
5
bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke
tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau
overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi.
Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya
sekresi lakrimal.1,2
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan
diakhiri dengan hilangnya kesadaran.
Sulit untuk bicara; indra penciuman dan
rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi
pendengaran dan penglihatan mungkin
terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai
tahap induksi.
2 Eksitasia atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat
penekananan korteks serebri. Kekacauan
mental, eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya dilakukan
pada tahap ini.
4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan
hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi.
i. Halotan
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas
system konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus
dari curah jantung yang berkurang, serta pengurangan
sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi
katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk
menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang
dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti
fenileprin.1
2. Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan
menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan
respirasi yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten
sangat baik untuk mengurangi spasme bronkus.1
3. Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan
tekanan intrakranial menurun.1
4. Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal
disebabkan oleh curah jantung yang menurun.1
5. Hati
Aliran darah ke hati menurun.1
6. Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam
manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta).1
Metabolisme
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20%
melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan
asam trifluoroasetat.1
7
ii. Eufluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1. Kardiovaskular
8
2. Pernapasan
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia
ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas.1
3. Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal
rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun.1
4. Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen
metabolic serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk
bedah saraf.1
Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya
diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas.1
Keuntungan dan Kerugian
Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik,
tekanan intrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan
kerugiannya adalah iritasi jalan napas sedang.1
iv. Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu
menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya
cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2
dan untuk pemeliharaan umum.1
Obat Aritmia Sensitivitas Curah Tekanan Refleks Toksisitas
terhadap jantung darah respirasi pada
katekolami hepar
n
Halotan +++
Enfluran +
Isofluran - - -
Sevoflura - - - - - -
n
Nitrogen - - - - - -
oksida
4. Anestesi Intravena
10
5. Anestesi Gas
Obat Waktu Induksi Pertimbangan pemakaian
Nitrous Sangat cepat Pemulihan cepat. Mempunyai
oksida efek yang minimal pada
kardiovaskular.
Harus diberikan bersama-sama
oksigen. Potensi rendah
Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan
meledak. Jarang digunakan
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang
mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot
(misalnya kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan
mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi
menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang'
dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin
atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot
fase I depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.3
1. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di
celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan
cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan
fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini
adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena,
suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat
kerja pseudokolinesterase.3
- Suksinikolin (diasetilkolin, suxomethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung.
obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action
yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki
sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya
fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular
junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau
dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini
ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa
terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
12
7. Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologist) merupakan
deskripsi yang mudah menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan
dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito atau
elektif. Klasifikasi ini sangat berguna dan harus diaplikasikan pada pasien
yang akan dilakukan tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor lain yang
berpengaruh terhadap hasil keluaran setelah tindakan pembedahan. Klasifikasi
ASA dan hubungannya dengan tingkat mortalitas tercantum pada tabel di
bawah ini.3
Klasifikas Angka
Deskripsi Pasien
i ASA Kematian (%)
Kelas I Pasien normal dan sehat fisik dan mental 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan 0,2
dan tida ada keterbatasan fungsi
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang 1,8
hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik berat 7,8
yang mengancam hidup dan menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup/ bertahan 9,4
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
Kelas E Bila operasi dilakukan darurat/ cito
a. Klasifikasi
Berdasarkan asal dan sifat selnya, tumor pada medula spinalis dapat
dibagi menjadi tumor primer dan tumor sekunder. Tumor primer dapat
bersifat jinak maupun ganas, sementara tumor sekunder selalu bersifat ganas
karena merupakan metastasis dari proses keganasan di tempat lain seperti
kanker paru-paru, payudara, kelenjar prostat, ginjal, kelenjar tiroid atau
limfoma. Tumor primer yang bersifat ganas contohnya adalah astrositoma,
neuroblastoma, dan kordoma, sedangkan yang bersifat jinak contohnya
neurinoma, glioma, dan ependimoma.5
Berdasarkan lokasinya, tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu tumor intradural dan ekstradural, di mana tumor intradural
itu sendiri dibagi lagi menjadi tumor intramedular dan ekstramedular.
Macam-macam tumor medula spinalis berdasarkan lokasinya dapat dilihat
pada Tabel 1.5
Neuroblastoma Neuroblastoma
Neurofibroma Neurofibroma
Osteoblastoma Oligodendroglioma
Osteochondroma Teratoma
Osteosarcoma
Sarcoma
Vertebral hemangioma
Lumbosakral Suatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang
melibatkan daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak segmen
lumbal bagian bawah, segmen sakral, dan radiks saraf desendens dari
tingkat medula spinalis yang lebih tinggi. Kompresi medula spinalis
lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun
menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan
kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi
kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda
Babinski bilateral. Nyeri umumnya dialihkan keselangkangan. Lesi
yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral
23
a) Tumor Ekstradural
Sebagian besar merupakan tumor metastase, yang menyebabkan
kompresi pada medula spinalis dan terletak di segmen thorakalis. Nyeri
radikuler dapat merupakan gejala awal pada 30% penderita tetapi
kemudian setelah beberapa hari, minggu/bulan diikuti dengan gejala
mielopati. Nyeri biasanya lebih dari 1 radiks, yang mulanya hilang
dengan istirahat, tetapi semakin lama semakin menetap/persisten,
sehingga dapat merupakan gejala utama, walaupun terdapat gejala yang
berhubungan dengan tumor primer. Nyeri pada tumor metastase ini dapat
terjadi spontan, dan sering bertambah dengan perkusi ringan pada
vertebrae, nyeri demikian lebih dikenal dengan nyeri vertebrae.6
Tumor Metastasis Keganasan Ekstradural
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
b) Tumor Intradural-Ekstramedular
Tumor ini tumbuh di radiks dan menyebabkan nyeri radikuler
kronik progresif. Kejadiannya 70% dari tumor intradural, dan jenis
yang terbanyak adalah neurinoma pada laki-laki dan meningioma pada
wanita.
a. Neurinoma (Schwannoma)
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
Berasal dari radiks dorsalis
Kejadiannya 30% dari tumor ekstramedular
2/3 kasus keluhan pertamanya berupa nyeri radikuler, biasanya
pada satu sisi dan dialami dalam beberapa bulan sampai tahun,
sedangkan gejala lanjut terdapat tanda traktus piramidalis
39% lokasinya disegmen thorakal
b. Meningioma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
80% terletak di regio thorakalis dan 60% pada wanita usia
pertengahan
Pertumbuhan lambat
Pada 25% kasus terdapat nyeri radikuler, tetapi lebih sering
dengan gejala traktus piramidalis dibawah lesi, dan sifat nyeri radikuler
biasanya bilateral dengan jarak waktu timbul gejala lain lebih pendek.7
c) Tumor Intradural-Intramedular3,6
Lebih sering menyebabkan nyeri funikuler yang bersifat difus
seperti rasa terbakar dan menusuk, kadang-kadang bertambah dengan
rangsangan ringan seperti electric shock like pain (Lhermitte sign).
25
a. Ependimoma
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
Rata-rata penderita berumur di atas 40 tahun
b. Astrositoma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Prevalensi pria sama dengan wanita
Nyeri terlokalisir pada tulang belakang
Nyeri bertambah saat malam hari
Parestesia (sensasi abnormal)
c. Hemangioblastoma
Memiliki karakter sebagai berikut:
Gejala muncul pertama kali saat memasuki usia 40 tahun
Penyakit herediter (misal, Von Hippel-Lindau Syndrome) tampak
pada 1/3 dari jumlah pasien keseluruhan.
d. Diagnosis
26
a. Laboratorium
Cairan spinal (CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein dan
xantokhrom, dan kadang-kadang ditemukan sel keganasan. Dalam
mengambil dan memperoleh cairan spinal dari pasien dengan tumor
medula spinalis harus berhati-hati karena blok sebagian dapat berubah
menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan paralisis yang
komplit.
b. Foto Polos Vertebrae
Foto polos seluruh tulang belakang 67-85% abnormal. Kemungkinan
ditemukan erosi pedikel (defek menyerupai mata burung hantu pada
tulang belakang lumbosakral AP) atau pelebaran, fraktur kompresi
patologis, scalloping badan vertebra, sklerosis, perubahan osteoblastik
(mungkin terajdi mieloma, Ca prostat, hodgkin, dan biasanya Ca
payudara.
c. CT-scan
CT-scan dapat memberikan informasi mengenai lokasi tumor, bahkan
terkadang dapat memberikan informasi mengenai tipe tumor.
Pemeriksaan ini juga dapat membantu dokter mendeteksi adanya edema,
perdarahan dan keadaan lain yang berhubungan. CT-scan juga dapat
membantu dokter mengevaluasi hasil terapi dan melihat progresifitas
tumor.
d. MRI
Pemeriksaan ini dapat membedakan jaringan sehat dan jaringan yang
mengalami kelainan secara akurat. MRI juga dapat memperlihatkan
gambar tumor yang letaknya berada di dekat tulang lebih jelas
dibandingkan dengan CT-scan.9
e. Penatalaksanaan
27
Bila tidak ada massa epidural: rawat tumor primer (misalnya dengan
sistemik kemoterapi); terapi radiasi lokal pada lesi bertulang;
analgesik untuk nyeri.
Bila ada lesi epidural, lakukan bedah atau radiasi (biasanya 3000-
4000 cGy pada 10x perawatan dengan perluasan dua level di atas
dan di bawah lesi); radiasi biasanya seefektif seperti laminektomi
dengan komplikasi yang lebih sedikit.
c. Penatalaksanaan darurat (pembedahan/ radiasi) berdasarkan
derajat blok dan kecepatan deteriorasi
e. Pembedahan
Indikasi pembedahan:
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. T
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Ruang : Rajawali 3A
No. CM : C629316
Tgl Operasi : 6 April 2017
Tgl MRS : 22 Maret 2017
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama:
Lemah keempat anggota gerak
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Thorax
Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : simetris, statis, dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : supel, timpani, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N
Ekstremitas : Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary refill <2/<2 <2/<2
Punggung : Tegak, Lurus, Skoliosis (-), tidak terdapat luka/jejas pada
tempat yang akan di insersi anestesia
STATUS LOKALIS:
Inspeksi : Benjolan di lipat paha kiri sebesar telur ayam, warna sama
dengan sekitar
Palpasi : Perabaan lunak, nyeri (+) VAS 2
Auskultasi : Bising usus (+)
Trombosit : 146.000 / l
Kimia Klinik (Tanggal 6 April 2017)
Glukosa : 210 mg/dL
Ureum : 13 mg/dL
Kreatinin : 0,6 mg/dL
Natrium : 136 mmol/L
Kalium : 3,4 mmol/L
V. DIAGNOSIS
a. Diagnosis preoperasi:
Meningioma foramen magnum
b. Pemeriksaan yang berkaitan dengan anestesi:
Tidak ada kelainan yang berkaitan dengan anestesi
i.v : intermiten
umum inhalasi : semi closed
ET : No. 7.0
Dengan mesein
Infus : Tangan : kanan dan kiri
Kaki : kanan dan kiri
Lokasi : v. duralis dan arteri line
Maintenance : O2 3 lpm
Sevoflurane
Mulai anestesi : 07.30 WIB
Selesai anestesi : 15.30 WIB
Lama anestesi : 480 menit
3. Terapi cairan
BB : 50 kg
EBV: 65cc/kgBB x 50 = 3250 cc
Jumlah perdarahan : 200 cc
% perdarahan : 200/3250x100% = 6,15%
Kebutuhan cairan :
Maintenance = 2 x 50 = 100 cc
Stress operasi = 8 x 50 = 400 cc
Defisit puasa = 2 x 6 x 50 = 600 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi :
Jam I : M + SO + DP = 100 + 400 + 300 = 800 cc
Jam II : M + SO + DP = 100 + 400 + 150 = 650 cc
Jam III : M + SO + DP = 100 + 400 + 150 = 650 cc
Jam IV: M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Jam V : M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Jam VI : M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Jam VII: M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Jam VIII: M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Cairan yang diberikan :
- NaCl 5500 cc
34
4. Pemakaian obat/bahan/alat :
I. Obat suntik:
Propofol 100 mg
Rocuronium 30 mg
Tramadol 100 mg
II. Obat inhalasi : O2 3 L/menit 250 L
III. Cairan : NaCl 0,9% 8 botol
IV. Alat/lain-lain : Spuit 3 cc III
Spuit 5 cc III
Spuit 10 cc II
ET I
Lead EKG III
Masker I
5. Pemantauan di Recovery Room
a. Beri oksigen 3 lpm nasal kanul
b. Bila Bromage Score 2, pasien boleh pindah ruangan.
c. Bila mual (-), muntah (-), pasien boleh makan perlahan
6. Perintah di ruangan :
a. Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050)
b. Pengawasan tanda vital setiap setengah jam selama 24 jam
c. Program cairan RL 20 tetes/menit selama 24 jam
d. Program injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam i.v selama 2 hari
e. Jika terjadi mual diberi injeksi antiemetik
f. Jika menggigil diberi cairan dan selimut hangat, cairan hangat
g. Jika tensi kurang dari 90/60 mmHg beri injeksi efedrin 10 mg/cc
h. Pasien risiko jatuh
35
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien seorang perempuan usia 50 tahun dilakukan operasi
craniotomy dilakukan dengan menggunakan anestesi umum. Anestesi umum
dipilih karena operasi yang dilakukan termasuk dalam operasi besar dan
membutuhkan waktu yang lama. Premedikasi pada pasien diberikan oksigenasi 3
lpm dan midazolam 3 mg. Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda
gelisah/cemas pada saat sebelum operasi sehingga tidak diberikan obat depresan
untuk menenangkan pasien.
Obat anestesi yang diberikan adalah propofol 100 mg, rocuronium 30 mg,
tramadol 100 mg Propofol menimbulkan depresi pada sistem respirasi,
menimbulkan apnea. Pada pemakaian secara intravena kontinyu dapat mengurangi
tidal volume dan laju nafas. Propofol juga mengurangi reflek jalan nafas atas.
Rocuronium termasuk dalam pelumpuh otot non depolarisasi turunan
aminosteroid, onsetnya cepat, sedikit menimbulkan perubahan kardiovaskuler,
baik digunakan untuk operasi yang memerlukan stimulasi vagal. Tramadol
termasuk dalam analgesik opiat untuk nyeri dari sedang hingga berat. Pada
penderita dengan trauma kepala, dapat menyebabkan, gangguan fungsi ginjal dan
hati yang berat atau hipersekresi bronkus; karena dapat meningkatkan resiko
kejang atau syok.
Pemberian terapi cairan disesuaikan berdasar kebutuhan cairan dan
kehilangan cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan. Proses
pembedahan pada kasus ini tergolong operasi berat. Jumlah cairan yang
dibutuhkan pada operasi yang berlangsung selama kurang lebih 480 menit sebesar
36
4600 cc dengan jumlah perdarahan 200 cc (6,15% dari EBV). Terapi cairan yang
diberikan adalah NaCl 5500 cc.
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik, pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor tanda-
tanda vital yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi oksigen.
Kemudian dilakukan penilaian Bromage score yaitu salah satu indikator respon
motorik pasca anestesi. Jika score adalah kurang dari sama dengan 2 pasien boleh
keluar dari ruang pemulihan dan pindah ruangan.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 5th ed. New
York: McGraw Hill Companies.2013; Chapter 9: 175 87. 4. Sebel PS,
Lowdon JD. Propofol:a new intravenous anesthetic. Anesthesiology. 1989;
71: 260 77.
2. Shah NK, Barris M, Govindugari K, Hamsa B, Rangaswamy, Jeon H. Effect
of propofol titration v/s bolus during induction of anesthesia on
hemodinamics and bispectral index. MEJ Anesth. 2011; 21(2): 275 84.
3. Yustiningsih S. Perbandingan koinduksi ketamin 0,3mg/kgbb iv dengan
midazolam 0,03mg/kgbb iv terhadap pengurangan dosis induksi propofol.
Perpustakaan pusat Universitas Indonesia. 2006.
4. Heidari SM, Saghaei M, Shafiee Z. Effect of preoperative volume loading on
the intraoperative variability of blood pressure and postoperative nausea and
vomiting. Med Arh. 2012; 66(2): 94 6.
5. Hakim, A.A. 2006. Permasalahan serta Penanggulangan Tumor Otak dan
Sumsum Tulang Belakang. Medan: Universitas Sumatera Utara Huff, J.S.
2010. Spinal Cord Neoplasma. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/779872-print.
6. Japardi, Iskandar. 2002. Radikulopati Thorakalis. [serial online].
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1994/1/bedah-iskandar
%20japardi43.pdf.
7. American Cancer Society. 2009. Brain and Spinal Cord Tumor in Adults.
[serial online].
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003088-pdf. [4
April 2011].
8. Mumenthaler, M. and Mattle, H. 2006. Fundamental of Neurology. New
York: Thieme. Page 146-147.
9. Harrop, D.S. and Sharan, A.D. 2009. Spinal Cord Tumors - Management of
Intradural Intramedullary Neoplasms. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/249306-print.
38
10. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2005. Brain and
Spinal Cord Tumors - Hope Through Research. [serial online].
http://www.ninds.nih.gov/disorders/brainandspinaltumors/detail_brainandspin
altumors.htm.