Anda di halaman 1dari 38

1

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

CRANIOTOMY DASAR TENGKORAK PADA SEORANG PEREMPUAN


50 TAHUN DENGAN MENINGIOMA FORAMEN MAGNUM DENGAN
GENERAL ANESTESIA

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Nizar Arif Lazuardi
22010116210145

Pembimbing :
dr. Mohammad Rizki

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nizar Arif Lazuardi


2

NIM : 22010116210145
Fakultas : Kedokteran
Judul : Craniotomy dasar tengkorak pada seorang perempuan 50
tahun dengan meningioma foramen magnum dengan general anestesia

Bagian/SMF : Ilmu Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas


Diponegoro Semarang
Pembimbing : dr. Mohammad Rizki

Semarang, April 2017


Pembimbing

dr. Mohammad Rizki


3

BAB I
PENDAHULUAN

Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan


obat telah dilakukan sejak zaman dahulu termasuk pemberian alcohol dan
opodium secara oral. Tahun 1846, wiiliam morton, di bostom, pertama kali
menggunakan obat anestesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri operasi. Pada
tahun yang sama, james simpsom, diskotlandia, menggunakan kloroform yang 20
tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang diperkenalkan
oleh Davy pada era tahun 1790 an. Anestetik modern mulai dikenal pada era tahun
1930 an. Dengan pemberian barbiturate thiopental secara intra vena. Beberapa
puluh tahun yang lalu, kurare pun pernah diperkenalkan sebagai anestesi umum
untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung. Tahun 1956,
hidrokarbon halogen yang dikenal dengan nama halotan mulai dikenal sebagai
obat anestetik secara inhalasi dan menjadikannya sebagai standar pembanding
untuk obat-obat anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu.1
Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya
kesadaran, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka.
Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri
bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis.
Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu, batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat
minimal. Tidak satu pun obat anestetik dapat memberikan efek yang diinginkan
tanpa disertai efek samping, bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu, pada
anestetik modern selalu digunakan anestetik dalam bentuk kombinasi untuk
mengurangi efek samping yang tidak diharapkan.1
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM
Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu an
dan esthesia, dan bersama-sama berarti hilangnya rasa sakit atau hilangnya
sensasi. Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai
kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi
dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses
eterisasi Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan.1,2
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan
nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum
biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan
ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus
bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-
lain.1,2
1. Tahap-tahap Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau
eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan
hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan
pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium
eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah,
midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi),
terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang
teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal,
refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan
kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan
5

bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke
tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau
overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi.
Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya
sekresi lakrimal.1,2
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan
diakhiri dengan hilangnya kesadaran.
Sulit untuk bicara; indra penciuman dan
rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi
pendengaran dan penglihatan mungkin
terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai
tahap induksi.
2 Eksitasia atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat
penekananan korteks serebri. Kekacauan
mental, eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya dilakukan
pada tahap ini.
4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan
hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi.

2. Sifat-sifat Anestesi Umum yang Ideal


Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan
pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas
keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam
diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP
(obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi).
Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya
perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.2

3. Anestesi Cair yang Menguap


6

i. Halotan
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas
system konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus
dari curah jantung yang berkurang, serta pengurangan
sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi
katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk
menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang
dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti
fenileprin.1
2. Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan
menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan
respirasi yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten
sangat baik untuk mengurangi spasme bronkus.1
3. Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan
tekanan intrakranial menurun.1
4. Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal
disebabkan oleh curah jantung yang menurun.1
5. Hati
Aliran darah ke hati menurun.1
6. Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam
manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta).1
Metabolisme
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20%
melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan
asam trifluoroasetat.1
7

Keuntungan dan Kerugian


Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik,
iritasi jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat
baik. Sedangkan kerugiannya adalah depresi miokard dan
pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi
oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.1
Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena
ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan
status asmatikus yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan penyakit intracranial.1
Efek samping/Toksisitas
Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien
yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas,
wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode waktu
yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi
hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi
dengan isofluran dan etran.1
Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka,
serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini
berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang
merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari reticulum
sarkoplasmik.1

ii. Eufluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1. Kardiovaskular
8

Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan


sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin
2. Pernapasan
Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia
yang disebabkan oleh bronkodilator.1
3. Susunan Saraf Pusat
Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan
tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi
serebral dengan meningkatnya tekanan intracranial.1
4. Ginjal
Aliran darah ginjal dan GFR menurun.1
Metabolisme
Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama,
yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan
nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis).1
Keuntungan dan Kerugian
Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik,
respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung
minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan
kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas
kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial
yang meningkat disertai dengan gangguan patologik
intracranial.1
iii. Isofluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1. Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis,
sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan sifat
vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap
katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh
vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang
berlebihan.1
9

2. Pernapasan
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia
ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas.1

3. Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal
rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun.1
4. Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen
metabolic serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk
bedah saraf.1
Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya
diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas.1
Keuntungan dan Kerugian
Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik,
tekanan intrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan
kerugiannya adalah iritasi jalan napas sedang.1
iv. Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu
menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya
cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2
dan untuk pemeliharaan umum.1
Obat Aritmia Sensitivitas Curah Tekanan Refleks Toksisitas
terhadap jantung darah respirasi pada
katekolami hepar
n
Halotan +++
Enfluran +
Isofluran - - -
Sevoflura - - - - - -
n
Nitrogen - - - - - -
oksida

4. Anestesi Intravena
10

Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi


cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan
suatu anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi
stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan.3
Obat Waktu Induksi Pertimbangan Pemakaian
Natrium Cepat Masa kerja singkat. Dipakai untuk
thiopental induksi cepat pada anestesi umum.
Membuat pasien tetap hangat,
karena dapat terjadi tremor. Dapat
menekan pusat pernapasan dan
mungkin diperlukan bantuan
ventilasi
Natrium Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan
tiamilal anestesi untuk terapi elektrosyok
Droperido Sedang sampai cepat Sering digunakan bersama anaestesi
l umum. Dapat juga dipaki sebagai
obat
preanestetik
Ketamin Cepat Dipakai untuk pembedahan jangka
hidroksida singkat atau untuk induksi
pembedahan. Obat ini meningkatkan
salivasi, tekanan darah, dan denyut
jantung

5. Anestesi Gas
Obat Waktu Induksi Pertimbangan pemakaian
Nitrous Sangat cepat Pemulihan cepat. Mempunyai
oksida efek yang minimal pada
kardiovaskular.
Harus diberikan bersama-sama
oksigen. Potensi rendah
Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan
meledak. Jarang digunakan

6. Penggolongan Muscle Relaxan


11

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang
mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot
(misalnya kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan
mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi
menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang'
dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin
atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot
fase I depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.3
1. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di
celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan
cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan
fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini
adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena,
suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat
kerja pseudokolinesterase.3
- Suksinikolin (diasetilkolin, suxomethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung.
obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action
yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki
sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya
fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular
junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau
dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini
ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa
terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
12

pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang


memanjang.3
- Ciri kelumpuhan
ii. Ada fasikulasi otot.
iii. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
iv. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh
otot non depolarisasi dan asidosis.
v. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada
perangsangan tunggal maupun tetanik.
vi. Belum diatasi dengan obat spesifik
2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.3
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung
setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang
hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi
ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun
terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi
memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat
pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil
mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan
untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya
anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan
ikatan protein' dehidrasi' atau perdarahan akut' dosis obat yang sama
menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata
akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat
dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai
injeksi cepat intravena.3
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non
depolarisasi digolongkan menjadi:
13

- Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,


doksakurium, mivakurium.
- Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
- Eter-fenolik : gallamin.
- Nortoksiferin : alkuronium.
Ciri Kelumpuhan Otot Non Depolarisasi
a. Tidak ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik
inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsanga tunggal
atau tetanik.
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

a. Penawar Pelumpuh Otot


Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan
adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4
mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya
untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan,
bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur
sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-
0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg
pada dewasa).3
b. Analgetik
Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud
suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan
parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri
reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten (narkotika atau
opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri
berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala dependensi dan toleransi.
14

Sesetengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa


juga meredakan demam dan inflamasi serta digunakan dalam kondisi
rematik.3
1. Jenis-Jenis Analgesik
Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika)
dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika
narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang
tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral manakala analgesika
narkotika digunakan untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada
pesakit kanker.4
2. Mekanisme Kerja Obat
Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang
penting yaitu :
- Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi
- Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri
- Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang
meningkat.
Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan
tindakan awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat
siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin
dan tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat dua tipe enzim
siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan
enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan
termasuklah platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini
memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis
jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di
mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin
yang bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel
inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus inflamatoar
seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 (IL-1) dan
tumour necrosis factor- (TNF- ), endotoksin dan faktor
15

pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat


penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2
juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan
vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2,
yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi
trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya
prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel
makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti
proliferatif.4
Obat Anti Inflamasi Steroid
Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan
bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang
diantagonis oleh nalokson.4
a. Analgesik Opioid Kuat
Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri
tumpul yang tidak terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri
somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan
dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak
digunakan untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral
merupakan obat terpilih pada perawatan terminal.4
Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu
kisaran efek sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi,
depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi
postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali
petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang
lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi
chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan
penekanan batuk, tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas
opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan
konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan
pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin
16

mengalami metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan


asam glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang
inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih
poten daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi
intratekal.4
Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak
daripada morfin sehingga mempunyai\ awitan kerja lebih cepat
bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi
menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin. Dosis
kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk
mengendalikan nyeri hebat.4
Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam)
dan dapat diberikan secara oral maupun sublingual sesaat
sebelum tindakan yang menyakitkan.4
Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang
sedatif dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral
untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu,
metadon mencegah penggunaan obat intravena.4
b. Analgesik Opioid Lemah
Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan
sampai sedang. Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan
dan cenderung disalahgunakan. Akan tetapi, ibuprofen kurang
menarik untuk pencandu karena tidak memberikan efek yang
hebat.4
Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi
mempunyai afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid.
Sekitar 10% obat mengalami demetilasi dalam hati menjadi
morfin, yang bertanggung jawab atas efek analgesik kodein.
Efek samping (kostipasi, mudah, sedasi) membatasi dosis ke
kadar yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan
daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif
dan antidiare.4
17

7. Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologist) merupakan
deskripsi yang mudah menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan
dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito atau
elektif. Klasifikasi ini sangat berguna dan harus diaplikasikan pada pasien
yang akan dilakukan tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor lain yang
berpengaruh terhadap hasil keluaran setelah tindakan pembedahan. Klasifikasi
ASA dan hubungannya dengan tingkat mortalitas tercantum pada tabel di
bawah ini.3
Klasifikas Angka
Deskripsi Pasien
i ASA Kematian (%)
Kelas I Pasien normal dan sehat fisik dan mental 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan 0,2
dan tida ada keterbatasan fungsi
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang 1,8
hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik berat 7,8
yang mengancam hidup dan menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup/ bertahan 9,4
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
Kelas E Bila operasi dilakukan darurat/ cito

3. MENINGIOMA FORAMEN MAGNUM


Tumor medula spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi
pada daerah cervical pertama hingga sacral, yang dapat dibedakan atas; A.Tumor
primer: 1) jinak yang berasal dari a) tulang; osteoma dan kondroma, b) serabut
saraf disebut neurinoma (Schwannoma), c) berasal dari selaput otak disebut
Meningioma; d) jaringan otak; Glioma, Ependimoma. 2) ganas yang berasal dari
a) jaringan saraf seperti; Astrocytoma, Neuroblastoma, b) sel muda seperti
Kordoma. B. Tumor sekunder: merupakan anak sebar (metastase) dari tumor
ganas di daerah rongga dada, perut, pelvis dan tumor payudara.5
18

a. Klasifikasi
Berdasarkan asal dan sifat selnya, tumor pada medula spinalis dapat
dibagi menjadi tumor primer dan tumor sekunder. Tumor primer dapat
bersifat jinak maupun ganas, sementara tumor sekunder selalu bersifat ganas
karena merupakan metastasis dari proses keganasan di tempat lain seperti
kanker paru-paru, payudara, kelenjar prostat, ginjal, kelenjar tiroid atau
limfoma. Tumor primer yang bersifat ganas contohnya adalah astrositoma,
neuroblastoma, dan kordoma, sedangkan yang bersifat jinak contohnya
neurinoma, glioma, dan ependimoma.5
Berdasarkan lokasinya, tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu tumor intradural dan ekstradural, di mana tumor intradural
itu sendiri dibagi lagi menjadi tumor intramedular dan ekstramedular.
Macam-macam tumor medula spinalis berdasarkan lokasinya dapat dilihat
pada Tabel 1.5

Gambar 2.1 (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-


ekstramedular, dan (C) Tumor Ekstradural

Tabel 1. Tumor Medula Spinalis Berdasarkan Gambaran Histologisnya


19

Ekstra dural Intradural ekstramedular Intradural intramedular

Chondroblastoma Ependymoma, tipe myxopapillary Astrocytoma

Chondroma Epidermoid Ependymoma

Hemangioma Lipoma Ganglioglioma

Lipoma Meningioma Hemangioblastoma

Lymphoma Neurofibroma Hemangioma

Meningioma Paraganglioma Lipoma

Metastasis Schwanoma Medulloblastoma

Neuroblastoma Neuroblastoma

Neurofibroma Neurofibroma

Osteoblastoma Oligodendroglioma

Osteochondroma Teratoma

Osteosarcoma

Sarcoma

Vertebral hemangioma

b. Etiologi dan Patogenesis


Penyebab tumor medula spinalis primer sampai saat ini belum diketahui
secara pasti. Beberapa penyebab yang mungkin dan hingga saat ini masih
dalam tahap penelitian adalah virus, kelainan genetik, dan bahan-bahan kimia
yang bersifat karsinogenik. Adapun tumor sekunder (metastasis) disebabkan
oleh sel-sel kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah
yang kemudian menembus dinding pembuluh darah, melekat pada jaringan
medula spinalis yang normal dan membentuk jaringan tumor baru di daerah
tersebut.5
Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi
kebanyakan muncul dari pertumbuhan sel normal pada lokasi tersebut.
Riwayat genetik kemungkinan besar sangat berperan dalam peningkatan
insiden pada anggota keluarga (syndromic group) misal pada
neurofibromatosis. Astrositoma dan neuroependimoma merupakan jenis yang
tersering pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2 (NF2), di mana pasien
20

dengan NF2 memiliki kelainan pada kromosom 22. Spinal hemangioblastoma


dapat terjadi pada 30% pasien dengan Von Hippel-Lindou Syndrome
sebelumnya, yang merupakan abnormalitas dari kromosom 3.5
c. Manifestasi Klinis

Menurut Cassiere, perjalanan penyakit tumor medula spinalis terbagi


dalam tiga tahapan, yaitu:

Ditemukannya sindrom radikuler unilateral dalam jangka waktu yang


lama
Sindroma Brown Sequard
Kompresi total medula spinalis atau paralisis bilateral
Keluhan pertama dari tumor medula spinalis dapat berupa nyeri
radikuler, nyeri vertebrae, atau nyeri funikuler. Secara statistik adanya nyeri
radikuler merupakan indikasi pertama adanya space occupying lesion pada
kanalis spinalis dan disebut pseudo neuralgia pre phase. Dilaporkan 68%
kasus tumor spinal sifat nyerinya radikuler, laporan lain menyebutkan 60%
berupa nyeri radikuler, 24% nyeri funikuler dan 16% nyerinya tidak jelas3.
Nyeri radikuler dicurigai disebabkan oleh tumor medula spinalis bila:
Nyeri radikuler hebat dan berkepanjangan, disertai gejala traktus
piramidalis
Lokasi nyeri radikuler diluar daerah predileksi HNP
seperti C5-7, L3-4, L5 dan S15

Tumor medula spinalis yang sering menyebabkan nyeri radikuler


adalah tumor yang terletak intradural-ekstramedular, sedang tumor
intramedular jarang menyebabkan nyeri radikuler. Pada tumor ekstradural
sifat nyeri radikulernya biasanya hebat dan mengenai beberapa radiks.5

Tumor-tumor intrameduler dan intradural-ekstrameduler dapat juga


diawali dengan gejala TTIK seperti: hidrosefalus, nyeri kepala, mual dan
muntah, papiledema, gangguan penglihatan, dan gangguan gaya berjalan.
Tumor-tumor neurinoma dan ependimoma mensekresi sejumlah besar protein
ke dalam likuor, yang dapat menghambat aliran likuor di dalam kompartemen
subarakhnoid spinal, dan kejadian ini dikemukakan sebagai suatu hipotesa
21

yang menerangkan kejadian hidrosefalus sebagai gejala klinis dari neoplasma


intraspinal primer.5

Bagian tubuh yang menimbulkan gejala bervariasi tergantung letak


tumor di sepanjang medula spinalis. Pada umumnya, gejala tampak pada
bagian tubuh yang selevel dengan lokasi tumor atau di bawah lokasi tumor.
Contohnya, pada tumor di tengah medula spinalis (pada segmen thorakal)
dapat menyebabkan nyeri yang menyebar ke dada depan (girdleshape
pattern) dan bertambah nyeri saat batuk, bersin, atau membungkuk. Tumor
yang tumbuh pada segmen cervical dapat menyebabkan nyeri yang dapat
dirasakan hingga ke lengan, sedangkan tumor yang tumbuh pada segmen
lumbosacral dapat memicu terjadinya nyeri punggung atau nyeri pada
tungkai.5

Berdasarkan lokasi tumor, gejala yang muncul adalah seperti yang


terihat dalam Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Tanda dan Gejala Tumor Medula Spinalis

Lokasi Tanda dan Gejala

Foramen Gejalanya aneh, tidak lazim, membingungkan, dan tumbuh lambat


Magnum sehingga sulit menentukan diagnosis. Gejala awal dan tersering adalah
nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesia dalam
dermatom vertebra servikalis kedua (C2). Setiap aktivitas yang
meningkatkan TIK (misal ; batuk, mengedan, mengangkat barang,
atau bersin) dapat memperburuk nyeri. Gejala tambahan adalah
gangguan sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien yang
melaporkan kesulitan menulis atau memasang kancing. Perluasan
tumor menyebabkan kuadriplegia spastik dan hilangnya sensasi secara
bermakna. Gejala-gejala lainnya adalah pusing, disartria, disfagia,
nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah, serta atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius. Temuan neurologik tidak selalu
timbul tetapi dapat mencakup hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya
22

berjalan spastik, palsi N.IX hingga N.XI, dan kelemahan ekstremitas.

Servikal Menimbulkan tanda-tanda sensorik dan motorik mirip lesi radikular


yang melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga menyerang
tangan. Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian atas (misal,
diatas C4) diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu
anterior melalui arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat
kelemahan dan atrofi gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang
lebih rendah (C5, C6, C7) dapat menyebabkan hilangnya refleks
tendon ekstremitas atas (biseps, brakioradialis, triseps). Defisit
sensorik membentang sepanjang tepi radial lengan bawah dan ibu jari
pada kompresi C6, melibatkan jari tengah dan jari telunjuk pada lesi
C7, dan lesi C7 menyebabkan hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari
tengah.

Torakal Seringkali dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada


ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parestesia. Pasien
dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada
dan abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat
gangguan intratorakal dan intraabdominal. Pada lesi torakal bagian
bawah, refleks perut bagian bawah dan tanda Beevor (umbilikus
menonjol apabila penderita pada posisi telentang mengangkat kepala
melawan suatu tahanan) dapat menghilang.

Lumbosakral Suatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang
melibatkan daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak segmen
lumbal bagian bawah, segmen sakral, dan radiks saraf desendens dari
tingkat medula spinalis yang lebih tinggi. Kompresi medula spinalis
lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun
menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan
kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi
kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda
Babinski bilateral. Nyeri umumnya dialihkan keselangkangan. Lesi
yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral
23

bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot perineum,


betis dan kaki, serta kehilangan refleks pergelangan kaki. Hilangnya
sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan kontrol
usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai
daerah sakral bagian bawah.

Kauda Menyebabkan gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tnda-tanda


Ekuina khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum atau perineum, yang
kadang-kadang menjalar ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai
dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris.

a) Tumor Ekstradural
Sebagian besar merupakan tumor metastase, yang menyebabkan
kompresi pada medula spinalis dan terletak di segmen thorakalis. Nyeri
radikuler dapat merupakan gejala awal pada 30% penderita tetapi
kemudian setelah beberapa hari, minggu/bulan diikuti dengan gejala
mielopati. Nyeri biasanya lebih dari 1 radiks, yang mulanya hilang
dengan istirahat, tetapi semakin lama semakin menetap/persisten,
sehingga dapat merupakan gejala utama, walaupun terdapat gejala yang
berhubungan dengan tumor primer. Nyeri pada tumor metastase ini dapat
terjadi spontan, dan sering bertambah dengan perkusi ringan pada
vertebrae, nyeri demikian lebih dikenal dengan nyeri vertebrae.6
Tumor Metastasis Keganasan Ekstradural
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Sebagian besar tumor spinal (>80 %) merupakan metastasis


keganasan terutama dari paru-paru, payudara, ginjal, prostat, kolon,
tiroid, melanoma, limfoma, atau sarkoma.
Yang pertama dilibatkan adalah korpus vertebra. Predileksi lokasi
metastasis tumor paru, payudara dan kolon adalah daerah toraks,
sedangkan tumor prostat, testis dan ovarium biasanya ke daerah
lumbosakral.
24

Gejala kompresi medula spinalis kebanyakan terjadi pada level


torakal, karena diameter kanalisnya yang kecil (kira-kira hanya 1
cm).
Gejala akibat metastasis spinal diawali dengan nyeri lokal yang
tajam dan kadang menjalar (radikuler) serta menghebat pada penekanan
atau palpasi.6

b) Tumor Intradural-Ekstramedular
Tumor ini tumbuh di radiks dan menyebabkan nyeri radikuler
kronik progresif. Kejadiannya 70% dari tumor intradural, dan jenis
yang terbanyak adalah neurinoma pada laki-laki dan meningioma pada
wanita.

a. Neurinoma (Schwannoma)
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
Berasal dari radiks dorsalis
Kejadiannya 30% dari tumor ekstramedular
2/3 kasus keluhan pertamanya berupa nyeri radikuler, biasanya
pada satu sisi dan dialami dalam beberapa bulan sampai tahun,
sedangkan gejala lanjut terdapat tanda traktus piramidalis
39% lokasinya disegmen thorakal
b. Meningioma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
80% terletak di regio thorakalis dan 60% pada wanita usia
pertengahan
Pertumbuhan lambat
Pada 25% kasus terdapat nyeri radikuler, tetapi lebih sering
dengan gejala traktus piramidalis dibawah lesi, dan sifat nyeri radikuler
biasanya bilateral dengan jarak waktu timbul gejala lain lebih pendek.7
c) Tumor Intradural-Intramedular3,6
Lebih sering menyebabkan nyeri funikuler yang bersifat difus
seperti rasa terbakar dan menusuk, kadang-kadang bertambah dengan
rangsangan ringan seperti electric shock like pain (Lhermitte sign).
25

a. Ependimoma
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
Rata-rata penderita berumur di atas 40 tahun

Wanita lebih dominan

Nyeri terlokalisir di tulang belakang

Nyeri meningkat saat malam hari atau saat bangun

Nyeri disestetik (nyeri terbakar)

Menunjukkan gejala kronis

Jenis miksopapilari rata-rata pada usia 21 tahun, pria lebih dominan

b. Astrositoma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Prevalensi pria sama dengan wanita
Nyeri terlokalisir pada tulang belakang
Nyeri bertambah saat malam hari
Parestesia (sensasi abnormal)
c. Hemangioblastoma
Memiliki karakter sebagai berikut:
Gejala muncul pertama kali saat memasuki usia 40 tahun
Penyakit herediter (misal, Von Hippel-Lindau Syndrome) tampak
pada 1/3 dari jumlah pasien keseluruhan.

Penurunan sensasi kolumna posterior

Nyeri punggung terlokalisir di sekitar lesi8

d. Diagnosis
26

Selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis tumor


medula spinalis dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan
penunjang seperti di bawah ini.

a. Laboratorium
Cairan spinal (CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein dan
xantokhrom, dan kadang-kadang ditemukan sel keganasan. Dalam
mengambil dan memperoleh cairan spinal dari pasien dengan tumor
medula spinalis harus berhati-hati karena blok sebagian dapat berubah
menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan paralisis yang
komplit.
b. Foto Polos Vertebrae
Foto polos seluruh tulang belakang 67-85% abnormal. Kemungkinan
ditemukan erosi pedikel (defek menyerupai mata burung hantu pada
tulang belakang lumbosakral AP) atau pelebaran, fraktur kompresi
patologis, scalloping badan vertebra, sklerosis, perubahan osteoblastik
(mungkin terajdi mieloma, Ca prostat, hodgkin, dan biasanya Ca
payudara.
c. CT-scan
CT-scan dapat memberikan informasi mengenai lokasi tumor, bahkan
terkadang dapat memberikan informasi mengenai tipe tumor.
Pemeriksaan ini juga dapat membantu dokter mendeteksi adanya edema,
perdarahan dan keadaan lain yang berhubungan. CT-scan juga dapat
membantu dokter mengevaluasi hasil terapi dan melihat progresifitas
tumor.

d. MRI
Pemeriksaan ini dapat membedakan jaringan sehat dan jaringan yang
mengalami kelainan secara akurat. MRI juga dapat memperlihatkan
gambar tumor yang letaknya berada di dekat tulang lebih jelas
dibandingkan dengan CT-scan.9
e. Penatalaksanaan
27

Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun


ekstramedular adalah dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan tumor secara total dengan menyelamatkan fungsi neurologis
secara maksimal. Kebanyakan tumor intradural-ekstramedular dapat direseksi
secara total dengan gangguan neurologis yang minimal atau bahkan tidak ada
post operatif. Tumor-tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat
dan agresif secara histologis dan tidak secara total dihilangkan melalui
operasi dapat diterapi dengan terapi radiasi post operasi.10

Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :

a. Deksamethason: 100 mg (mengurangi nyeri pada 85 % kasus,


mungkin juga menghasilkan perbaikan neurologis).
b. Penatalaksanaan berdasar evaluasi radiografik

Bila tidak ada massa epidural: rawat tumor primer (misalnya dengan
sistemik kemoterapi); terapi radiasi lokal pada lesi bertulang;
analgesik untuk nyeri.
Bila ada lesi epidural, lakukan bedah atau radiasi (biasanya 3000-
4000 cGy pada 10x perawatan dengan perluasan dua level di atas
dan di bawah lesi); radiasi biasanya seefektif seperti laminektomi
dengan komplikasi yang lebih sedikit.
c. Penatalaksanaan darurat (pembedahan/ radiasi) berdasarkan
derajat blok dan kecepatan deteriorasi

bila > 80 % blok komplit atau perburukan yang cepat:


penatalaksanaan sesegera mungkin (bila merawat dengan radiasi,
teruskan deksamethason keesokan harinya dengan 24 mg IV setiap
6 jam selama 2 hari, lalu diturunkan (tappering) selama radiasi,
selama 2 minggu.
bila < 80 % blok: perawatan rutin (untuk radiasi, lanjutkan
deksamethason 4 mg selama 6 jam, diturunkan (tappering) selama
perawatan sesuai toleransi.
d. Radiasi
28

Terapi radiasi direkomendasikan umtuk tumor intramedular yang


tidak dapat diangkat dengan sempurna. Dosisnya antara 45 dan 54 Gy.

e. Pembedahan

Tumor biasanya diangkat dengan sedikit jaringan sekelilingnya


dengan teknik myelotomy. Aspirasi ultrasonik, laser, dan mikroskop
digunakan pada pembedahan tumor medula spinalis.

Indikasi pembedahan:

Tumor dan jaringan tidak dapat didiagnosis (pertimbangkan biopsi


bila lesi dapat dijangkau). Catatan: lesi seperti abses epidural dapat
terjadi pada pasien dengan riwayat tumor dan dapat disalahartikan
sebagai metastase.
Medula spinalis yang tidak stabil (unstable spinal).
Kegagalan radiasi (percobaan radiasi biasanya selama 48 jam,
kecuali signifikan atau terdapat deteriorasi yang cepat); biasanya
terjadi dengan tumor yang radioresisten seperti karsinoma sel ginjal
atau melanoma.
Rekurensi (kekambuhan kembali) setelah radiasi maksimal.10
29

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. T
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Ruang : Rajawali 3A
No. CM : C629316
Tgl Operasi : 6 April 2017
Tgl MRS : 22 Maret 2017

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama:
Lemah keempat anggota gerak
B. Riwayat Penyakit Sekarang

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat operasi (-)
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat DM (-) terkontrol
Riwayat asma (-)
30

D. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), kelainan darah (-), sakit serupa
(-)
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang petani, sudah menikah. Pembiayan dengan BPJS PBI.
Kesan sosial ekonomi kurang.
F. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi:
Batuk (-), pilek (-), demam (-), sesak napas (-), gangguan / kelainan darah
(-)
Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat kencing manis : tidak ada
Riwayat peyakit jantung : tidak ada
Riwayat darah tinggi : tidak ada
Riwayat operasi sebelumnya : tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : baik
Kesadaran : kompos mentis
TV : TD : 120/90 mmHg T : 36,30C
N : 70 x/menit RR : 20x/menit
BB : 50 kg (normoweight, BMI=23,13)
TB : 147 cm
ASA : II
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : sianosis (-), perdarahan gusi (-), Mallampati II
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher : pembesaran nnll (-), deviasi trachea (-)
31

Thorax
Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : simetris, statis, dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : supel, timpani, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N
Ekstremitas : Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary refill <2/<2 <2/<2
Punggung : Tegak, Lurus, Skoliosis (-), tidak terdapat luka/jejas pada
tempat yang akan di insersi anestesia
STATUS LOKALIS:
Inspeksi : Benjolan di lipat paha kiri sebesar telur ayam, warna sama
dengan sekitar
Palpasi : Perabaan lunak, nyeri (+) VAS 2
Auskultasi : Bising usus (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Rutin (Tanggal 6 April 2017)
Hb : 11,3 g/dL
Ht : 33,7%
Eritrosit : 3,84 juta /l
MCH : 29,4 pg
MCV : 87,8 fL
MCHC : 33,5 g/dL
Leukosit : 10.900 / l
32

Trombosit : 146.000 / l
Kimia Klinik (Tanggal 6 April 2017)
Glukosa : 210 mg/dL
Ureum : 13 mg/dL
Kreatinin : 0,6 mg/dL
Natrium : 136 mmol/L
Kalium : 3,4 mmol/L

Koagulasi (Tanggal 6 April 2017)


PPT : 13,2 detik (PPT kontrol: 10,4 detik)
PTTK : 37,7 detik
APTT Kontrol : 32,6 detik
EKG : Normo Sinus Ritme

V. DIAGNOSIS
a. Diagnosis preoperasi:
Meningioma foramen magnum
b. Pemeriksaan yang berkaitan dengan anestesi:
Tidak ada kelainan yang berkaitan dengan anestesi

VI. TINDAKAN OPERASI


Craniotomy dasar tengkorak

VII. TINDAKAN ANESTESI


Jenis anestesi : General Anestesi
Risiko anestesi: Ringan
ASA : II
1. Premedikasi:
O2 3 lpm
Midazolam 3 mg
2. Anestesi:
Dilakukan general anestesi: spinal anestesi
33

i.v : intermiten
umum inhalasi : semi closed
ET : No. 7.0
Dengan mesein
Infus : Tangan : kanan dan kiri
Kaki : kanan dan kiri
Lokasi : v. duralis dan arteri line
Maintenance : O2 3 lpm
Sevoflurane
Mulai anestesi : 07.30 WIB
Selesai anestesi : 15.30 WIB
Lama anestesi : 480 menit
3. Terapi cairan
BB : 50 kg
EBV: 65cc/kgBB x 50 = 3250 cc
Jumlah perdarahan : 200 cc
% perdarahan : 200/3250x100% = 6,15%
Kebutuhan cairan :
Maintenance = 2 x 50 = 100 cc
Stress operasi = 8 x 50 = 400 cc
Defisit puasa = 2 x 6 x 50 = 600 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi :
Jam I : M + SO + DP = 100 + 400 + 300 = 800 cc
Jam II : M + SO + DP = 100 + 400 + 150 = 650 cc
Jam III : M + SO + DP = 100 + 400 + 150 = 650 cc
Jam IV: M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Jam V : M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Jam VI : M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Jam VII: M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Jam VIII: M + SO = 100 + 400 = 500 cc
Cairan yang diberikan :
- NaCl 5500 cc
34

Waktu Keterangan HR Tensi SpO2


(x/menit) (mmHg)
10.30 Pre-oksigenasi 98 140/80 100
07.30 Anestesi mulai 100 120/80 100
07.45 Operasi mulai 96 110/90 100
15.15 Operasi selesai 94 100/80 100
15.30 Anestesi selesai 92 100/80 100

4. Pemakaian obat/bahan/alat :
I. Obat suntik:
Propofol 100 mg
Rocuronium 30 mg
Tramadol 100 mg
II. Obat inhalasi : O2 3 L/menit 250 L
III. Cairan : NaCl 0,9% 8 botol
IV. Alat/lain-lain : Spuit 3 cc III
Spuit 5 cc III
Spuit 10 cc II
ET I
Lead EKG III
Masker I
5. Pemantauan di Recovery Room
a. Beri oksigen 3 lpm nasal kanul
b. Bila Bromage Score 2, pasien boleh pindah ruangan.
c. Bila mual (-), muntah (-), pasien boleh makan perlahan
6. Perintah di ruangan :
a. Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050)
b. Pengawasan tanda vital setiap setengah jam selama 24 jam
c. Program cairan RL 20 tetes/menit selama 24 jam
d. Program injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam i.v selama 2 hari
e. Jika terjadi mual diberi injeksi antiemetik
f. Jika menggigil diberi cairan dan selimut hangat, cairan hangat
g. Jika tensi kurang dari 90/60 mmHg beri injeksi efedrin 10 mg/cc
h. Pasien risiko jatuh
35

i. Post operasi rawat RR beri oksigen 3 lpm nasal kanul


j. Bila sadar penuh, mual (-), muntah (-), pasien boleh makan perlahan
k. Bila bromage score 2 boleh pindah ruang

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien seorang perempuan usia 50 tahun dilakukan operasi
craniotomy dilakukan dengan menggunakan anestesi umum. Anestesi umum
dipilih karena operasi yang dilakukan termasuk dalam operasi besar dan
membutuhkan waktu yang lama. Premedikasi pada pasien diberikan oksigenasi 3
lpm dan midazolam 3 mg. Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda
gelisah/cemas pada saat sebelum operasi sehingga tidak diberikan obat depresan
untuk menenangkan pasien.
Obat anestesi yang diberikan adalah propofol 100 mg, rocuronium 30 mg,
tramadol 100 mg Propofol menimbulkan depresi pada sistem respirasi,
menimbulkan apnea. Pada pemakaian secara intravena kontinyu dapat mengurangi
tidal volume dan laju nafas. Propofol juga mengurangi reflek jalan nafas atas.
Rocuronium termasuk dalam pelumpuh otot non depolarisasi turunan
aminosteroid, onsetnya cepat, sedikit menimbulkan perubahan kardiovaskuler,
baik digunakan untuk operasi yang memerlukan stimulasi vagal. Tramadol
termasuk dalam analgesik opiat untuk nyeri dari sedang hingga berat. Pada
penderita dengan trauma kepala, dapat menyebabkan, gangguan fungsi ginjal dan
hati yang berat atau hipersekresi bronkus; karena dapat meningkatkan resiko
kejang atau syok.
Pemberian terapi cairan disesuaikan berdasar kebutuhan cairan dan
kehilangan cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan. Proses
pembedahan pada kasus ini tergolong operasi berat. Jumlah cairan yang
dibutuhkan pada operasi yang berlangsung selama kurang lebih 480 menit sebesar
36

4600 cc dengan jumlah perdarahan 200 cc (6,15% dari EBV). Terapi cairan yang
diberikan adalah NaCl 5500 cc.
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik, pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor tanda-
tanda vital yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi oksigen.
Kemudian dilakukan penilaian Bromage score yaitu salah satu indikator respon
motorik pasca anestesi. Jika score adalah kurang dari sama dengan 2 pasien boleh
keluar dari ruang pemulihan dan pindah ruangan.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 5th ed. New
York: McGraw Hill Companies.2013; Chapter 9: 175 87. 4. Sebel PS,
Lowdon JD. Propofol:a new intravenous anesthetic. Anesthesiology. 1989;
71: 260 77.
2. Shah NK, Barris M, Govindugari K, Hamsa B, Rangaswamy, Jeon H. Effect
of propofol titration v/s bolus during induction of anesthesia on
hemodinamics and bispectral index. MEJ Anesth. 2011; 21(2): 275 84.
3. Yustiningsih S. Perbandingan koinduksi ketamin 0,3mg/kgbb iv dengan
midazolam 0,03mg/kgbb iv terhadap pengurangan dosis induksi propofol.
Perpustakaan pusat Universitas Indonesia. 2006.
4. Heidari SM, Saghaei M, Shafiee Z. Effect of preoperative volume loading on
the intraoperative variability of blood pressure and postoperative nausea and
vomiting. Med Arh. 2012; 66(2): 94 6.
5. Hakim, A.A. 2006. Permasalahan serta Penanggulangan Tumor Otak dan
Sumsum Tulang Belakang. Medan: Universitas Sumatera Utara Huff, J.S.
2010. Spinal Cord Neoplasma. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/779872-print.
6. Japardi, Iskandar. 2002. Radikulopati Thorakalis. [serial online].
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1994/1/bedah-iskandar
%20japardi43.pdf.
7. American Cancer Society. 2009. Brain and Spinal Cord Tumor in Adults.
[serial online].
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003088-pdf. [4
April 2011].
8. Mumenthaler, M. and Mattle, H. 2006. Fundamental of Neurology. New
York: Thieme. Page 146-147.
9. Harrop, D.S. and Sharan, A.D. 2009. Spinal Cord Tumors - Management of
Intradural Intramedullary Neoplasms. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/249306-print.
38

10. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2005. Brain and
Spinal Cord Tumors - Hope Through Research. [serial online].
http://www.ninds.nih.gov/disorders/brainandspinaltumors/detail_brainandspin
altumors.htm.

Anda mungkin juga menyukai