Anda di halaman 1dari 17

Referat Stase Urologi

Pembimbing : dr. Sawkar Vijay Pramod, Sp.U


Presentan
: dr. Mohamad.Romdhoni

BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi
primer yang tidak diketahui penyebabnya, dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial
meliputi kurang lebih 90% dari seluruh penderita hipertensi dan sisanya disebabkan oleh
hipertensi sekunder. Dari golongan hipertensi sekunder hanya 50% yang dapat diketahui
sebabnya, oleh karena itu upaya untuk penanganan hipertensi esensial lebih mendapatkan
prioritas. Menurut WHO (1978) batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah
140/90 mmHg, dan tekanan darah sama atau di atas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai
Hipertensi, Tekanan darah diantara normotensi dan hipertensi adalah borderline hipertensi.
Batasan tersebut tidak membedakan usia dan jenis kelamin.
Hipertensi renovaskuler adalah salah satu bentuk hipertensi sekunder. Prevalensinya
yang pasti belum diketahui, diperkirakan sekitar 5% dari seluruh populasi hipertensi dan
merupakan penyebab terbanyak dari hipertensi sekunder. Diagnosis untuk hipertensi ini
sering dilewatkan, padahal diagnosis pasti diperlukan. Hipertensi jenis ini merupakan
hipertensi yang dapat diobati/disembuhkan pada setiap umur. Hipertensi ini juga merupakan
salah satu penyebab gagal ginjal kronis yang potensial untuk reversibel.
Hipertensi renovaskular (RVHT) menunjuk pada hubungan sebab-akibat antara
penyakit oklusif arterial (yang terbukti secara anatomi) dan peningkatan tekanan darah.
Penyakit vaskular arterial ginjal (atau renovaskular) yang terjadi bersamaan dengan hipertensi
merupakan penentu dari tipe hipertensi non-esensial ini. Diagnosa yang lebih spesifik
ditegakkan secara retrospektif apabila hipertensi membaik setelah dilakukan intervensi
intravaskular.
Sejak eksperimen Goldblatt di tahun 1934, RVHT semakin dikenali sebagai salah satu
penyebab penting untuk hipertensi atipikal dan penyakit ginjal kronis (penyakit ginjal kronis
ditimbulkan karena ischemia ginjal). RVHT merupakan akibat klinis dari aktivasi reninangiotensin-aldosteron. Seperti ditunjukkan oleh Goldblatt, oklusi arteri ginjal menimbulkan
ischemia,

yang

memicu

pelepasan

renin
1

dan

peningkatan

tekanan

darah.

Hiperreninemia mempromosikan konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, yang


menyebabkan vasokonstriksi parah dan pelepasan aldosteron. Dampak-dampak yang timbul
cukup bervariasi, tergantung keberadaan ginjal kontralateral yang berfungsi.
Pada kondisi normal (terdapat 2 ginjal), retensi air dan sodium berperantaraaldosteron dapat diatasi dengan baik oleh ginjal nonstenotik sehingga mencegah pelepasan
volume air untuk berkontribusi pada hipertensi yang berperantara angiotensin II. Sebaliknya,
ginjal ischemik tunggal memiliki kapasitas yang kecil atau bahkan tidak ada untuk ekskresi
sodium dan air; dengan demikian, volume memegang peranan tambahan dalam hipertensi.

BAB II
HIPERTENSI RENOVASKULAR
II.1. DEFINISI
Hipertensi renovaskuler didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sekunder
yang disebabkan oleh berbagai kondisi yang berhubungan dengan arteri ke jaringan ginjal,
atau hipertensi yang disebabkan oleh lesi arteri renalis yang dapat sembuh setelah koreksi
terhadap lesi tersebut atau dengan mengangkat ginjal yang bersangkutan. Diagnosis pasti
hipertensi renovaskuler ditegakkan secara retrospektif, yaitu setelah dilakukan tind akan
koreksi.
Walaupun secara morfologis didapatkan suatu lesi ataupun kelainan pada arteri
renalis, namun hubungan hipertensi dengan lesi pada arteri renalis yang diduga sebagai
penyebab hipertensi tersebut dipastikan setelah melakukan koreksi terhadap lesi tersebut..
sebelum dilakukan tindakan nefrektomi, tidak dapat disimpulkan apakah hipertensi
disebabkan oleh hipoplasia ginjal atau oklusi dari pembuluh darah ginjal tersebut atau oleh
kedua-duanya. Bila hipertensi renovaskuler ini berlangsung lama dan menjadi bagian dari
suatu sindrom hipertensi maka sifat reversibilitasnya akan hilang, karena mungkin akibat
hipertensi ini telah terjadi kerusakan pada ginjal dan pembuluh darah non renal.

II.2. ETIOLOGI
Penyebab yang tersering dari hipertensi renovaskuler adalah atherosklerosis arteri
renalis dan displasia fibromuskular. Kedua kelainan ini merupakan 95 % dari penyebab
hipertensi renovaskuler.
Pada orang dewasa, penyakit renovaskular cenderung tampak pada waktu-waktu
berbeda dan mengenai laki-laki dan perempuan secara berbeda. Penyakit atherosklerotis
arteri mengenai utamanya sepertiga proksimal arteri ginjal utama dan paling umum terjadi
pada pria tua. Displasia fibromuskular melibatkan dua pertiga distal dan cabang-cabang arteri
ginjal dan paling umum terjadi dikalangan wanita muda.

Gambaran yang menyeluruh penyebab hipertensi renovaskuler dapat dilihat pada


tabel 1 :
Tabel 1. Jenis lesi yang berhubungan dengan hipertensi renovaskuler
Lesi Intrinsik

Atherosklerosis

Fibromuskular displasia

Intimal

Medial

Aneurisma

Emboli

Arteritis

Poliarteritis Nodusa

Arteriovenosa malformasi atau


fistula arteri ginjal atau deseksi
aorta

Angioma

Neufibromatosis

Tumor thrombus

Trombosis dengan sindrom


antiphospolipid

Penolakan transplatasion ginjal

Cedera arteri ginjal

Trombosis setelah catheterisasi


arteri umbilikalis

bedah ligasi

trauma

Radiasi

Lithotripsy

Hipoplasia ginjal kongenital

Lesi Ekstrinsik

Pheochromacythoma atau
paraganglioma

Kongenital serat fibrosa

Tekanan dari crus diafragma

Tumor

Subcapsular atau tumor perirenal

Retroperitoneal fibrosis

Ptosis

Obstruksi Ureter

Perirenal pseudokista

Stenosis celiac axis dengan


menurunnya aliran darah ginjal.

unilateral

Infeksi ginjal Unilateral

II.2.a. Aterosklerosis
Lesi aterosklerotik pada arteri renalis terutama terjadi pada segmen proksimalnya,
yang merupakan komplikasi aterosklerosis secara menyeluruh. WHO pada tahun 1958
mendefinisikan sebagai berikut: Perubahan variabel intima arteri yang merupakan akumulasi
fokal lemak (lipid), komplek karbohidrat, darah dan hasil produk darah, jaringan fibrous dan
deposit kalsium yang kemudian diikuti dengan perubahan lapisan media. Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi dan merangsang terbentuknya aterosklerosis. Faktor-faktor ini
disebut faktor resiko. Faktor resiko ada yang dapat dimodifikasi dan ada yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah: merokok, hiperlipoproteinemia
dan hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes mellitus dan obesitas. Faktor resiko yang tidak
dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin (pria), riwayat keluarga dengan penyakit
aterosklerosis. Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung
terhadap dingding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan
arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi
trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau
dapat menimbulkan hipersensitif dinding arteri.
II.2.b. Fibromuskular dysplasia
Penyakit fibromuskular umumnya mengenai kelompok usia muda, wanita lebih sering
terkena daripada pria, penyakit fibrodisplasi umumnya mengenai bagian distal arteri renalis
atau cabang intra renalnya biasanya terjadi bilateral, fibromuskular displasia dapat
menyebabkan hipertensi tapi kadang-kadang dapat menyebabkan kerusakan yang hebat pada
fungsi ginjal, fibromuskular displasia merupakan kelainan kongenital yang autosomal
dominan.

1. Fibroplasia intima
Bentuk yang paling jarang ( 1%), jenis primer, idiopathic, penebalan intima
melingkar, terdapat jaringan fibrous, materi seperti musin, dengan sebukan sedikit atau
5

sedang. Sering ada reduplikasi membran elastika interna, sedangkan tunika media dan
adventisia masih baik. Kelainan intima juga dijumpai pada kasus hipertensi maligna dimana
tekanan darah dapat dikontrol dengan obat jangka panjang dan hemodialisa jangka panjang.
2. Fibrodisplasia media dengan aneurisma mural
Angka kejadian 64% dari seluruh kasus displasia, terutama pada wanita muda dan sering
pada 2/3 bagian distal arteri renalis yang sering meluas ke cabang pertama arteri dan
kebanyakan bilateral. Pada arteriografi sering terlihat sebagai pita sosis atau pita manikmanik. Pada lesi tersebut terdapat penimbunan jaringan ikat dan sel otot polos yang atropik
sehingga lumen menyempit (berupa pita) diselingi dengan mikroaneurisma (berupa manik)
yang dasarnya membran elastika yang kebanyakan menebal sedangkan tunika media hilang.
Tunika intima normal tetapi membran elastika interna hilang atau menebal.
3. Fibrodisplasia perimedial
Angka kejadian 20% dari seluruh displasi, secara mikroskopis terlihat 1/2-2/3 bagian luar
tunika media diganti dengan jaringan kolagen. Aneurisma tidak ada, intima normal atau
terlihat beberapa fokus penebalan jaringan fibrous. Tunika elastika ekterna biasanya sedikit
menebal.
4. Lesi Adventisia Fibroplasi periarterial ditemukan paling jarang (1%).
Adventisia diganti jaringan kolagen yangmeluas ke jaringan fibrous yang berlemak.
Jaringan adventisia diinfiltrasi secara fokal oleh limfosit dan sel plasma. Lapisan lain normal.
II.3. PATOFISIOLOGI
II.3.a. Peranan Sistem Renin Angiotensin
Pada saat awal terjadinya penyempitan lumen arteri renalis (stenosis), baik pada
cabang utama ataupun cabang segmental, aparatus juxtaglomerular akan melepaskan renin
yang menyebabkan pembentukan angiotensin I, yang kemudian diubah diginjal menjadi
angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteriol eferen ginjal. Hal ini
menyebabkan meningkatnya tekanan pada pembuluh darah ginjal proksimal. Peningkatan
tekanan arteriol ginjal dapat mensupresi sekresi renin. Walaupun proses ini kemudian akan
menyebabkan hipertensi, tekanan darah sistematik dan aktivitas renin perifer pada tahap ini
tetap normal Dengan bertambahnya stenosis pada arteri renalis, terjadi tekanan pada arteriol
6

aferen dan meningkatkan kembali sekresi renin.Pada sirkulasi sistemik, aktifitas renin
menyebabkan produksi angiotensin I yang diubah oleh angiotensin converting enzyme
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor yang poten hingga terjadilah hipertensi
sistemik. Angiotensin II juga memfasilitasi sekresi norepinefrin danmeningkatkan efeknya.
Karena menstimulasi sekresi aldosteron, angiostensin II juga menstimulasi reabsorbsi natrium
pada tubulus ginjal. Dengan peningkatan tekanan darah terjadi natriurisasi, pada ginjal yang
sehat, untuk mengurangi retensi Na. Tetapi, pada stenosis bilateral hal ini tidak mencukupi
hingga volume tetap meningkat dan terjadi hipertensi. Tingginya kadar renin pada
pemeriksaan aktifitas renin plasma menunjukkan bahwa terdapat iskemi pada ginjal tersebut
sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal oleh suatu oklusi dan suplai darah
melalui aliran kolateral tidak mencukupi untuk ginjal tersebut
II.3.b. Pengaruh hemodinamik
Jika stenosis arteri renalis timbul pada ginjal soliter, maka tidak terdapat ginjal
kontralateral yang dapat mengeluarkan fraksi natrium yang diretensi sebagai hasil dari sistem
renin-angiotensin-aldosteron. Akibatnya, volum meningkat, tekanan darah meningkat, diikuti
kembalinya perfusi pada ginjal soliter. Ketika perfusi arteriol ginjal kembali normal, sekresi
renin menurun, aktivitas renin perifer mungkin normal. Hipertensi pada keadaan ini
disebabkan terutama oleh ekspansi volume. Sistem renin dan angiotensin pada kasus ini
seakan-akan tertutupi (masking effect).
Kondisi ini dapat terjadi pada stenosis arteri renalis bilateral. Jika volume dikurangi
dengan pemberian terapi diuretik, perfusi ke ginjal menurun dan sekresi renin dapat kembali
meningkat. Pada pasien ini, peningkatan tekanan darah bukan melalui mekanisme ekspansi
volume namun melalui mekanisme yang pertama, yaitu vasokonstriksi.

II.3.c. Pengaruh Posisi Ginjal (Nefroptosis)


Nefroptosis atau mobilitas ginjal yang abnormal diduga menyebabkan tertekuknya
arteri renalis yang akan menyulut terjadinya fibrosis dan obstruksi, Penderita dengan
nefroptosis didapatkan penurunan laju filtrasi glomerulus lebih menurun pada posisi tegak.

II.3.d. Pengaruh Faktor Hormonal yang lain


Hipertensi renovaskuler dapat mengakibatkan hiperaldosteronism sekunder sedang
sampai berat, hal ini dapat diakibatkan oleh adanya dissosiasi aktivitas kadar plasma renin
dengan kadar angiotensin II, dapat juga disebabkan karena adanya keseimbangan natrium
yang berubah dalam hal sensitivitas terhadap angiotensin II. Adanya kekurangan natrium
akan memperbesar respon aldosteron terhadap Angiotensin II pada sel glomerulus. Plasma
katekolamin mungkin normal pada penderita hipertensi renovaskuler tanpa adanya azotemia,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem syaraf simpatis berperan bagi timbulnya
fluktuasi

tekanan

darah,

karena

adanya

korelasi

antara

tekanan

darah

dengan

kadar norepineprin dan renin. Prostaglandin juga dapat meningkat dalam darah vena ginjal
dan urin pada penderita hipertensi renovaskuler, prostaglandin dapat meningkatkan pelepasan
renin pada penderita hipertensi renovaskuler, diduga akibat ginjal yang mengalami iskhemik.
II.4. GAMBARAN KLINIS
Tanpa anamnesis yang jelas tentang mana yang terjadi terlebih dahulu antara
hipertensi dan penyakit ginjal, sangat sukar untuk memastikan apakah hipertensi yang
terdapat pada seseorang penderita dengan penyakit ginjal adalah primer ataukah sekunder.
Pada dasarnya pada tiap penderita hipertensi haruslah dilakukan evaluasi yang baik untuk
menetapkan diagnosis, sehingga pengobatannya bersifat kausal. Perlu dilakukan :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan teliti.
2. Pemeriksaan laboratarium awal meliputi pemeriksaan urinalisis, darah lengkap, LED,
BUN, kreatinin serum, gula darah dan lemak darah.
3. Elektrokardiogram, echokardiogram dan foto toraks.
Pemeriksaan klinis sederhana tersebut biasanya sudah cukup untuk membedakan
sebagian besar penderita hipertensi sekunder dari hipertensi esensiil. Untuk hipertensi
renovaskuler ada beberapa kekhususan anemnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat
membantu.
1. Anamnesis :
Nyeri perut atau pinggang disertai timbulnya hipertensi.
Hipertensi mendadak pada penderita dibawah umur 30 tahun atau diatas umur 50 tahun.
Timbulnya accelerated hypertension pada penderita diatas 60 tahun.
8

Hipertensi pada orang yang tidak rutin / malas meminum obat.


Pernah mengalami CVA atau tromboemboli sebelumnya.
Tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga
Memburuknya fungsi ginjal setelah diterapi dengan ACEI
Merokok
2. Fisik :
Terdengarnya bising vaskuler ( bruit ) di daerah perut atau kostovetebral.
3. Laboratorium :
Hiperaldosteronism
Peningkatan plasma rennin
Proteinuria
Peningkatan serum kreatinin
Perbedaan ukuran ginjal >1.5 cm pada sonography

II.5. DIAGNOSIS
Dibawah ini ditunjukkan indeks dari gambaran klinik yang dicurigai akan
kemungkinan terjadinya Hipertensi renovaskuler serta pemeriksan penunjang yang perlu
dilakukan.
1. Index yang bernilai rendah (tidak perlu dilakukan test screening)
Borderline hipertensi, hipertensi ringan sampai sedang tanpa disertai gejala klinik.
2. Index yang bernilai sedang (dianjurkan pemeriksaan yang non invasive)
Hipertensi berat (tekanan diastolik >120 mmHg)
Hipertensi dengan dugaan adanya bruit pada abdomen
Hipertensi yang tidak mempan dengan terapi standar
Hipertensi sedang atau berat yang muncul tiba-tiba pada umur < 20 tahun atau > 50
tahun
Hipertensi sedang (tekanan diastolic >105 mmHg) pada perokok, atau pada penderita
yang

mengalami

penyumbatan

pembuluh
9

darah

arteri

(cerebrovaskuler,

coronary, pembuluh darah perifer), atau pada pasien dengan peningkatan serum
kreatinin yang tidak dapat dijelaskan.
Hipertensi sedang atau berat yang mempunyai respon yang baik (menjadi normal)
dengan pengobatan ACEI atau ARB (khususnya pada perokok atau penderita hipertensi
onset cepat)
3. Index yang bernilai tinggi (boleh langsung dilaksanakan arteriography)
Hipertensi berat (tekanan diastolic >120 mmHg) dengan insufisiensi renal yang
progresif atau yang refrakter terhadap pengobatan yang adekuat
Hipertensi maligna ( retinopathy grade III atau IV)
Hipertensi dengan peningkatan serum kreatinin yang tidak dapat dijelaskan, yang
dipicu oleh ACEI atau ARB
Hipertensi sedang atau berat dengan perbedaan ukuran dari kedua ginjal.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis hipertensi renovaskuler didasarkan atas dua tahap pemeriksaan yaitu tes
seleksi (screening test) dan tes penentu (confirmative test).
1. Tes seleksi
a. Pyelografi intravena
Dugaan hipertensi renovaskuler timbul bila ditemukan :
Perbedaan panjang ukuran kedua ginjal lebih dari 1,5 cm, ischemia yang terjadi
karena stenosis arteri renalis menyebabkan ukuran ginjal berkurang
Terlihatnya kontras pada sisi sakit terlambat. Bahan kontras yodium sebagian besar
disekresi melalui filtrasi glomelurus, pada stenosis kecepatan filtrasi glomelurus
menurun, sehingga eksresi yodium terlambat . Untuk menangkap hal tersebut lebih
jelas, foto harus dibuat setiap 5 menit pertama.
Kadar bahan kontras dalam sistem kalises di sisi yang sakit bertambah. Sebabnya
adalah karena stenosis arteri renalis menyebabkan reabsorpsi air di sisi
sakit bertambah. Jadi meskipun kecepatan filtrasi glomelurus berkurang, karena hal
tersebut di atas itu pada fase ekskresi kadar bahan kontras di saluran kalises
bertambah.
Stenosis atau takik ureter, penyempitan ureter yang biasanya letaknya di bagian atas
karena ada pembuluh darah kolateral yang melewati tempat tersebut
10

b. Aktivitas Renin Plasma


Aktivitas renin plasma perifer basal meningkat pada sekitar 70 % hipertensi
renovaskuler dan 30% diantaranya normal. Di samping pemeriksan ARP basal, juga
bisa dikerjakan tes kaptopril, atas efek kaptopril dalam menghambat pembentukan
angiotensin II. Pada pemberian kaptopril pasien hipertensi renovaskuler akan
mengalami peningkatan aktivitas renin plasma.
c. Renogram hippuran
Pada renogram akan tampak perbedaan waktu untuk mencapai puncak lebih dari
40 detik, pelambatan dalam eleminasi Hippuran dari kortek, dan perbedaan dalam
ukuran dan aliran darah kedua ginjal.
2. Tes Penentu
a. Arteriografi ginjal
Dengan tindakan ini disamping diagnosis pasti ditegakkan, juga dapat diketahui
sifat dan lokasi stenosis yang terjadi. Merupakan pemeriksaan yang sangat penting,
terutama pada kasus renovaskuler bilateral karena sering tidak ditemukan pada
pemeriksaan yang non invasive. Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat sifat dan lokasi
stenosis serta perubahan pembuluh darah parenkim sebagai penyebab stenosis arteri
renalis seperti aneurisma, tumor, hematoma perirenal. Penyempitan lumen sampai lebih
kecil dari 1,5 cm menyebabkan perubahan hemodinamik yang jelas, begitu pula bila
diameter melintang ginjal sisi yang sakit mengurang yang menimbulkan kolateral ke
kapsula, glandula adrenalis atau ureter. Pada penderita dengan lekukan berat
atau penyempitan berat aorta abdominalis atau arteri dalam rongga pelvis dilakukan
aortografi translumbal dengan anastesi umum. Lesi di luar atau di dalam parenkim
biasanya disebabkan karena hiperplasi fibromuskuler, dapat dilihat dengan arteriografi
ginjal terpisah. Pada pembacaan hasil foto harus diperhatikan :
Adanya desakan
Adanya dilatasi pasca kortek
Tebal kortek ginjal sisi sakit
Tebal kortek ginjal kontralateral dan kondisi arteri arkuata dan arteri intralobularis
Besar ginjal

11

Gambaran stenosis arteri renalis pada angiografi :


Stenosis karena perubahan dinding pembuluh darah arteri renalis terlihat sirkuler.
Kebanyakan konsentrik dan kadang-kadang eksentrik, terletak beberapa mm dari
orifisium aorta. Beberapa ateroma sering terlihat pada dinding aorta. Bila lumen
mengecil sampai 30% sering terlihat dilatasi pasca stenosis. Pada stenosis yang sangat
berat atau penyumbatan total, terlihat kolateral.
Gambaran displasi arterial pada angiografi :
Terletak sepertiga tengah arteri renalis yang kadang-kadang meluas sampai
bagian distal dan cabang sekunder, bentuk lesi ada dua macam yaitu:
Difus berupa manik-manik
terlokalisasi dalam bentuk anuler, tubuler dan hourglass.
Untuk tindakan yang tidak invasif (non invasive) dilakukan Magnetic Renosance
Angiography (MRA).
II.6. PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan disini perlu diperhatikan beberapa faktor kejadian ateroma ini
juga dapat dijumpai pada tempat lain, misalnya di jantung arau di otak, tidak jelas apakah
stenosis arteri renalis menyebabkan hipertensi atau kejadiaanya konsidental atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi. Revaskularisasi dengan pembedahan dan angioplasti yang
dilakukan memberikan hasil yang baik dan mampu mengontrol tekanan darah, khususnya
untuk usia muda tetapi tidak untuk usia lanjut.
a. Sifat dan Lokasi Lesi
Pada beberapa penderita lesi penyumbatan karena atherosklerosis dapat cepat
bertambah atau menetap untuk beberapa tahun, hanya sebagian kecil kasus penyumbatan
berkurang setelah pengobatan terhadap lipidemia dan diet rendah lemak. Lesi cabang
arteri renalis yang terletak di pelvis umumnya tidak dioperasi, bila infark kortek ginjal
terlokalisasi dan sekresi renin bertambah, dilakukan nefrektomi pada bagian tersebut. Pada
infark multiple, pengobatan bersifat medikamentosa

12

b. Derajat aterosklerosis
Hipertensi renovaskuler pada orang tua dengan insufisiensi derajat sedang atau berat
pembuluh darah otak atau koroner, pengobatannya lebih baik konservatif. Bila kondisi
pasien memburuk dan penyumbatan lebih dari 90 % sebaiknya dilakukan nefrektomi.
c. Fungsi ginjal
Pada kasus dengan klirens kreatinin < 25-30 ml/menit dan kreatinin > 2.5 mg/dl,
tindakan operasi tidak memperbaiki hipertensi. Prognosis juga jelek bila sumbatan arteri
renalis bilateral.
d. Lebar dan tebal kortek ginjal
Pengukuran dilakukan pada film arteriografi seri vaskuler penuh. Pada orang dewasa ,
tebal kortek normal > 5,5 6 mm. Bila ukuran tebal kortek ginjal kontralaterel < 5,5 mm
diduga merupakan akibat aterosklerosis pada arteri arkuata dan arterilobularis yang berarti
bahwa hipertensi cukup berat dan berlangsung sudah lama. Bila hal ini terjadi pada sisi
sakit, berarti hipertensi essensial sebelumnya. Pada kasus tersebut tindakan operasi tidak
memperbaiki hipertensi.
Ada tiga pilihan dalam tata laksana dalam pengelolaan hipertensi renovaskuler, yaitu
operasi (pembedahan), angioplasti dan medikamentosa. Pemilihan ini biasanya disesuaikan
dengan etiologi dan kondisi pasien sendiri. Dua tujuan yang ingin dicapai pada keadaan ini
adalah menghilangkan atau mengatasi hipertensinya dan mempertahankan atau mencegah
bertambah buruknya fungsi ginjal.
1. Pembedahan
Rekonstruksi arteri merupakan salah satu pilihan dalam pengobatan hipertensi
renovaskuler yang disebabkan oleh stenosis arteri renalis, revaskularisasi bedah dengan
stenosis arteri renalis meliputi end arterektomi dan pintasan aortorenal, baik dengan vena
autogen ataupun graft autoransplantasi ginjal, serta reanastomosis langsung. Nefrektomi
saat ini diperuntukan bagi yang gagal dalam revaskularisasi bedah, jika terdapat
komplikasi dalam pembedahan atau jika fungsi ginjal yang terkena sudah buruk. Oklusi
total arteri renalis dengan ginjal yang sudah tidak berfungsi sudah sejak lama dilakukan
tindakan nefrektomi, namun setelah 1970 telah dilakukan proses revaskularisasi terhadap
13

sejumlah pasien dan hasilnya berupa kembalinya fungsi ginjal serta hipertensi dapat
dikontrol.
Nefrektomi pada ginjal dilakukan karena fungsi ginjal tersebut sudah sangat menurun.
Ini diketahui dari pemeriksaan scintigrafi ginjal. Ginjal dengan oklusi total arteri renalis
dapat dilakukan revaskularisasi jika kriteria berikut dipenuhi, adanya kolateral atau
pengisian retrogad oleh arteri renalis distal dari kolateral, adanya perdarahan balik dari
ginjal saat arteriotomi distal dari sumbatan selama operasi, dan pada pemeriksaan biopsi
potong beku (frozen section) tampak glomerulus viabel secara hitologis. Jika terdapat
keraguan intra operatif untuk menentukan viabilitas ginjal, biopsi ginjal cukup membantu.
2. Angioplasti Ginjal
Tekhnik angioplasti dengan balon pertama kali dipelopori oleh Dotter dan Judikins
pada tahun1964 dengan mnggunakan kateter koksial untuk menghasilkan dilatasi yang
progresif pada arteri renalis yang mengalami stenosis. Keberhasilan tindakan Percutaneus
Transluminal Angioplasty pertama kali dilaporkan olehMcCook dkk 1980. PTA untuk
pengobatan stenosis arteri renalis, yaitu pada stenosis yang tidak terlalu panjang serta di
luar ginjal. Komplikasi setelah prosedur ini tidak jarang didapatkan seperti oklusi dan
diseksi ataupun pecahnya dinding pembuluh darah. Tindakan PTA kurang berhasil jika
stenosis terdapat pada ostium arteri renalis, Angioplasti renovaskuler merupakan tindakan
terpilih dalam pengelolaan hipertensi renovaskuler, khususnya yang disebabkan oleh
displasia fibromuskuler.
3. Medikamentosa
Tindakan pembedahan dan angioplasti merupakan tindakan yang sering dilaksanakan
untuk revaskularisasi ginjal yang iskhemik, namun bila tindakan ini tidak berhasil atau
tidak dapat dilaksanakan maka pengobatan dengan medikamentosa harus dilaksanakan,
ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan medikamentosa yaitu
memperlambat progesivitas arterirenalis dan untuk mengurangi efek hemodinamik dari
tekanan darah pada fungsi ginjal.
Penghambat ACE
Dapat digunakan sebagai alat bantu menegakkan diagnosis dan terapi pasien
hipertensi renal. Kaptopril dosis tunggal merupakan tes penapisan yang terbaik
untuk menentukan adanya hipertensi renal. Respon dari penghambat ACE terhadap
14

kenaikan tekanan darah sesuai dengan aktivitas renin plasma, respon ini lebih besar
pada hipertensi renovaskuler dibandingkan dengan hipertensi esensial. Penderita
dengan stenosis bilateral juga menunjukkan penurunan tekanan darah seperti pada
stenosis unilateral, Hal ini dipikirkan karena efek angiotensin II pada pembuluh darah
efferent ginjal, dimana GFR harus dipertahankan meskipun terjadi penurunan tekanan
darah. Sejumlah bukti menunjukkan gangguan akibat pasca iskemik yang berlangsung
lama (2 minggu) kurang berespon terhadap tesini dibandingkan dengan keadaan akut
reversibilitas. Pada pasien dengan ginjal yang normal penghambat ACE akan
meningkatkan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerorus, penderita dengan
stenosis bilateral atau dengan stenosis arteri ginjal yang unilateral, pengobatan dengan
penghambat ACE mungkin dapat menyebabkan kenaikan yang dramatis serum kretinin
dan urea nitrogen darah (BUN), bahkan kadang-kadang dapat menyebabkan gagal
ginjal yang akut.
Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium berbeda dengan vasodilator yang lain, dalam hal penurunan
tekanan darah akan menyebabkan kenaikan GFR, ia juga merupakan suatu
vasodilator yang berefek pada arteriol afferent. Pada pasien hipertensi renovaskuler
obat ini tidak akan menyebabkan gangguan fungsi seperti pada penghambat ACE.
Klonidin
Pemberian klonidin dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara
mendadak pada pasien hipertensi renovaskuler, klonidin juga tidak menurunkan
aktivitas renin plasma yang biasanya disertai kenaikan norepineprin yang rendah.
Beta Bloker
Beta bloker juga efektif dalam menurunkan tekanan darah karena kerjanya
menghambat sekresi renin, tetapi resiko terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus
pada ginjal stenotik tetap terjadi.
Diuretik
Diuretik dapat digunakan pada hipertensi yang resisten tetapi pada umumnya
tidak terlalu efektif.
15

BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi jenis ini merupakan hipertensi yang dapat disembuhkan atau


diobati pada setiapumur. Hipertensi ini juga merupakan salah satu penyebab gagal ginjal
kronis yang potensial untuk reversible. Namun bila hipertensi renovaskuler ini berlangsung
lama dan menjadi bagian dari suatu sindroma hipertensi maka sifat reversibilitas akan hilang
karena mungkin telah terjadi kerusakan pada ginjal dan pembuluh darah non renal.

16

DAFTAR PUSTAKA
1.

Fry WJ, Fry RE. Surgically correctable hypertension. In : Schwartz, Shires, Spencer.

2.

editors. Principle of surgery.


Van de Ven PJG, Beutler JJ, Kaatee R, Beek FJ, Mah WP, Koomans HA. Angiotensin
converting enzyme inhibitor-induced renal dysfunction in atherosclerotic renovacsular

3.

disease. Kidney Int 1998;53 : 986-93.


Brett AS. The Captopril test for diagnosis renovascular hypertension, Journal Watch,

4.

27 March 1990. Available from URL: http://www.jwatch.org/gm/current.shtml.


Gunnels JC,Sabiston DC. The surgical management of renovascular hypertension. In:

5.

Davis- Christopher.
Ramsey LE, Waller PC. Blood pressure response to percutaneous transluminal
angioplasty for renovascular hypertension: an overview of published series. Br Med J

6.
7.

1990;300: 569-72.
Mc Biles, Williams SC. Renovascular hypertension. J Nucl Med 1995: 6.
Olin JW, Piedmonte MR, Young JR, De Anna S, Grubb M, Childs MB. The utility of
duplex ultrasound scanning of the renal arteries for diagnosing significant renal artery

8.

stenosis. Ann Intern Med 1995;122 : 833-8.


Nayler WG. Amlodipine: an overview. Clinical drug investigation;1997:l3 ( Suppl.1) :
1-9.

9.

Piestley JT. The kidneys, ureters, and suprarenal glands. In: Hollinshead WH. Editor.
Anatomy for surgeon.Vol.2.A Tokyo: John Weatherhill Inc.; 1966. p. 533-81.

10.

Rodriguez-Lopez JA, Werner A, Renal artery stenosis treated with stent

deployment. J Vasc Surg 1999; 29: 617 24

17

Anda mungkin juga menyukai