BAB I
PENDAHULUAN
Jenis kelamin juga merupakan sebagai faktor resiko independen pada nyeri
kepala setelah punksi dura. Wanita biasa nya mempunyai insidensi dari PDPH
lebih tinggi karena adanya perbedaan pada proses informasi nociceptive seperti
wanita lebih sensitif pada percobaan nyeri dan menunjukkan adanya penambahan
nyeri mekanik pada bagian temporal.17
Selain PDPH anestesi spinal juga dapat menimbulkan komplikasi lain yaitu
komplikasi saat tindakan operasi seperti hipotensi berat, bradikardia,
hipoventilasi, trauma saraf, mual dan muntah, blok spinal tinggi atau spinal total,
dan lain-lain.7,18
Dengan tinggi nya angka insidensi dari PDPH akan mengakibatkan
morbiditas meningkat. Berdasarkan data dari RSUD Raden Mattaher Jambi bahwa
terdapat tingginya angka kejadian pasien melakukan operasi, membuat peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang prevalensi nyeri kepalapasca anestesi
spinal (post dural puncture headache) pada operasi bedah elektif di RSUD Raden
Mattaher Jambi tahun 2018. Dengan mengetahui prevalensi dari PDPH di RSUD
Raden Mattaher diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan di RSUD
Raden Mattaher Jambi, sehingga morbiditas pasien dapat dicegah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan likuor serebrospinalis (CSF) , kemungkinan
vena epidural telah tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (CSF) pada
penusukan.19,22
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla.Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga arteri radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi
radiks.Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior
dan posterior.
12
faktor sirkulasi dan postural yang menimbulkan tekanan SSP sebesar 10 mmHg.
Penurunan tekanan akibat pengeluaran hanya beberapa ml CSF selama pungsi
lumbal untuk analisis laboratorium dapat menimbulkan nyeri kepala yang hebat.
Melalui proses pembentukan, sirkulasi dan reabsorpsi yang terus-menerus, seluruh
volume CSF digantikan lebih dari tiga kali sehari. Menings spinalis terdiri dari 3
lapis, yaitu : dari lapisan terluar sampai terdalam, duramater, arakhnoid, piamater.
Ruang antara lapisan arakhnoid dan piamater di bawahnya disebut ruang
subarakhnoid yang terisi oleh CSF.26
Secara anatomis, duramater spinalis memanjang dari foramen magnum ke
segmen kedua sakrum, yang terdiri dari matriks jaringan ikat padat kolagen dan
serat elastis. Sebanyak sekitar 150 ml CSF beredar pada satu waktu dan diserap
oleh vili arakhnoid.1
2.3 Patofisiologi
Penyebab PDPH tidak sepenuhnya pasti. Penjelasan terbaik adalah bahwa
hasil tekanan rendah CSF dari kebocoran CSF melalui robekan dural dan
arakhnoid, sebuah kebocoran melebihi tingkat produksi dari CSF. Tekanan CSF di
14
daerah lumbar pada posisi horizontal berkisar antara 5 dan 15 cm H2O. Pada
posisi erect (berdiri), tekanan akan meningkat menjadi lebih dari 40 cm H2O.1
Sedikitnya hilang 10% volume CSF dapat menyebabkan sakit kepala ortostatik.
Ada dua mekanisme dasar teoritis untuk menjelaskan PDPH. Salah satunya adalah
refleks vasodilatasi dari pembuluh meningeal karena menurunnya tekanan CSF.6
Monroe-Kelly menyatakan bahwa total volume elemen dari rongga intrakranial
(darah, CSF, dan jairngan otak) tetap konstan. Konsekuensi kehilangan CSF
adalah vasodilatasi yang mengkompensasi hilangnya volume dalam rongga
intrakranial, sehingga sakit kepala dialami oleh pasien setelah kebocoran CSF
mungkin sebagian disebabkan vasodilatasi intrakranial. Gangguan visual terjadi
dimana tercatat bahwa mereka yang menerima anestesi spinal terjadi penurunan
tekanan intrakranial. Diplopia adalah gejala mata yang paling umum diakibatkan
dari penurunan tekanan intrakranial dan disebabkan oleh traksi pada saraf
abducens (saraf kranial keenam), yang memiliki jalan terpanjang dalam rongga
intrakranial.
Gejala yang berhubungan dengan pendengaran, disebabkan disfungsi saraf
kedelapan, juga kadang-kadang dapat terjadi, yang mengalami ketulian unilateral
atau bilateral. Insiden kehilangan pendengaran berkorelasi dengan ukuran dan
jenis jarum yang digunakan dan telah di dokumentasikan untuk di hilangkan
dengan patch darah epidural. Efek pada pendengaran adalah resultan dari
perubahan tekanan CSF yang ditransmisikan ke sirkulasi getah bening
endocochlear dalam kanalis semisirkularis, dan hasil dalam kondisi sementara
mirip dengan hidrops pada penyakit Meniere.7Ada dua teori mekanisme dasar
untuk menjelaskan PDPH. Pertama, reflex vasodilatasi dari pembuluh darah
meningeal karena penurunan tekanan CSF. Teori kedua yang lainnya adalah traksi
pada struktur sensitif nyeri intrakranial dalam posisi tegak atau berdiri. Traksi
pada nervus servikal seperti C1,C2,C3 yang menyebabkan nyeri pada leher dan
bahu. Traksi pada saraf kranial kelima menyebabkan sakit kepala frontal. Nyeri di
daerah oksipital ini disebabkan oleh traksi pada saraf kranial kesembilan
(glossofaringeal) dan kesepuluh (vagus).1
15
(Whitacre, Sprotte) dapat mendorong serat dura sehingga dapat kembali ke tempat
semula dan mengurangi hilangnya CSF setelah tusukan dura dan mengurangi
insidensi PDPH.Kontak antara jarum spinal dengan tulang saat insersi
menyebabkan perforasi dural yang lebih besardan dapat meningkatkan risiko
PDPH. Jarum spinal tipe cutting lebih cenderung menyebabkan deformasi saat
kontak dengan tulang.3,29Oleh karena itu, banyak variasi dalam insidensi PDPH
yang bisa timbul dengan desain jarum spinal yang berbeda. Dengan mengurangi
besar dari jarum spinal telah memberikan dampak yang signifikan terhadap
insidensi dari PDPH. Insidensinya adalah 40% pada jarum 22G, 25% pada jarum
25G, 2-12% pada jarum 26G Quincke, 1-6% pada jarum 27G Quincke dan
pengunaan ukuran jarum yang lebih kecil memerlukan teknik penusukan yang
lebih tinggi, yang akan mengarah pada penusukan ulang jika gagal, keadaan ini
akan meningkatkan insidenis PDPH.28
Ketika jarum menusuk ke dalam dura, luas dari luka tersebut tergantung
pada jumlah serat elastin yang terpotong. Serat-serat yang terpotong tersebut
cenderung mengarah ke arah sebaliknya dan menghasilkan luka yang berbentuk
bulan sabit.30 Tidak hanya bentuk dan jenis jarum yang berperan penting dalam
munculnya PDPH, tetapi berpergian melalui jalur udara, berada di dataran tinggi,
hipoksia, perubahan pada CSF dan tekanan intrakranial, dan duduk dalam jangka
waktu yang lama juga bisa berperan dalam tingkat keparahan PDPH.31
Diasumsikan bahwa jarum pencil-point menghasilkan luka yang irreguler
pada dura, kemudian reaksi inflamasi dan secara efektif terjadi penurunan CSF
dari pada tusukan berbentuk U dari jarum cutting-bevel, yang dapat mengurangi
resiko PDPH.1
dari bocornya penghubung vena dural, serta keterlambatan diagnosis dan terapi
akan menjadi berbahaya.1
Abses spinal, hematom spinal, lesi massa intrakranial, aneurisma serebral,
edema serebral, sindrom miofasial, araknoiditis yang disebabkan oleh steroid
intratekal, sindroma neurologik transien, unspecific postdural puncture lumbalgia,
toksisitas neural dan sindrom arteri spinal anterior juga bisa dipertimbangkan
menjadi diagnosa banding untuk PDPH.1
Namun, diagnosis PDPH seharusnya dibuat setelah penyebab nyeri kepala
lainnya disingkirkan. Tension headache, migraine headache, tumor otak,
hematom subdural, perdarahan subarachnoid, thrombosis vena kortikal,
meningitis, dan pneumocephalus harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum
menegakkan diagnosis PDPH.1,32 Oleh karena itu, ketika tanda-tanda neurologis
atau perubahan karakteristik sakit kepala seperti sakit kepala non-postural terjadi,
etiologi serius harus dikeluarkan seperti hematoma subdural, trombosis serebral,
dan ensefalopati reversibel.32 Untuk mendiagnosis PDPH akan digunakan kriteria
diagnosis dari International Headache Society (IHS) untuk PDPH33, yaitu:
1. Nyeri kepala muncul sekitar 15 menit setelah badan dalam posisi duduk atau
berdiri dan membaik dalam 15 menit setelah badan dalam posisi berbaring,
dengan atau memenuhi satu atau lebih gejala berikut dibawah ini dan kriteria
3 dan 4.
a. Kaku pada daerah leher (neck stiffness)
b. Tinitus
c. Hipoakusia
d. Fotofobia
e. Mual
2. Terdapat riwayat punksi dura
3. Nyeri kepala muncul dalam lima hari setelah punksi dura (anestesi spinal)
4. Nyeri kepala umumnya membaik :
a. Secara spontan dalam satu minggu
b. Dalam 48 jam setelah diberikan terapi epidural blood patch (EBP).
19
Pasien dipastikan juga bebas dari diagnosis banding PDPH seperti migraine,
tension headache. Secara ringkas nya, penegakan diagnosis Post Dural Puncture
Headache adalah sebagai berikut34:
Diketahuinya riwayat dilakukan tusukan pada dural
Onset yang tertunda, namun dalam waktu 48 jam
Nyeri kepala bilateral (frontal, oksipital atau keduanya)
Gejala berhubungan dengan pergerakan postur tubuh
Ada atau tidaknya gejala penyerta
2.4.1 Gejala
Nyeri kepala dan nyeri punggung merupakan gejala utama dari punksi dura.
90% dari nyeri kepala akan terjadi dalam 3 hari setelah prosedur. Dan 60%
dimulai saat 48 jam pertama. Jarang timbul antara hari ke-5 dan 14 setelah
prosedur. Nyeri kepala juga bisa terjadi saat setelah dilakukan punksi dura.1
Nyeri kepala pasca operasi umumnya terjadi pada remaja muda dan
biasanya pada pasien obstetrik. Nyeri kepala tersebut akan timbul antara 2-7 hari
setelah punksi lumbal, dan mungkin bertahan sampai lebih dari 6 minggu.35 Ada
literatur lain yang menyatakan bahwa onset PDPH sekitar 2-72 jam setelah
anestesi spinal dan menetap bisa lebih dari 15 hari.31
International Headache Society (IHS) menjelaskan bahwa PDPH
merupakan nyeri kepala bilateral yang muncul dalam 7 hari setelah punksi lumbal
dan mereda 14 hari setelah punksi lumbal.27,33 IHS juga menyatakan PDPH adalah
nyeri kepala yang menjadi parah dalam 15 menit setelah duduk atau berdiri dan
membaik dalam 15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya satu gejala dari –
kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia ataupun mual. Sebagian besar PDPH
muncul saat 48-72 jam setelah melakukan anestesi spinal, tetapi pasien yang cepat
pulang dari rumah sakit mungkin mulai mengalaminya saat sudah dirumah.
Dalam studi meta-analisis dari Choi menunjukkan onset dari PDPH biasanya 1-7
hari setelah dilakukan punksi.28,32,36
PDPH merupakan hasil dari sedikit pembocoran dari CSF sekunder pada
punksi dura. Secara khas, PDPH mempunyai serangan nyeri kepala yang dimulai
20
dari 24 jam keatas, tetapi komplikasi tersebut cenderung muncul saat hari pertama
pasca operasi. Karena PDPH cenderung memburuk saat duduk dan berjalan.
Pasien disarankan untuk tidak turun dari tempat tidur sesaat setelah operasi dan
hanya berdiri dan berjalan saat mau berkemih.37
PDPH jelas menunjukkan nyeri kepala bagian frontal, frontotemporal atau
occipital, menggerakkan kepala atau tidak dalam posisi berbaring akan
memperparah keadaan, dan membaik jika berbaring, biasanya terjadi 48 jam
setelah punksi dural. Biasanya diikuti dengan mual, muntah dan kaku
kuduk.Gejala lain seperti vertigo, pusing dan parestesia dari kulit kepala dan nyeri
pada ekstermitas atas dan bawah juga sering berhubungan pada PDPH.1
Kriteria-kriteria PDPH merupakan :
1. Terjadi saat mobilisasi.
2. Terjadi pemburukan saat posisi erect (duduk) dan batuk, bersin atau keadaan
yang menegang.
3. Membaik saat berbaring.
4. Lokasi nyeri tersebut di occipital, frontal atau merata. Menurut Crocker 1976,
tingkat keparahan nyeri kepala ditetapkan dalam skala 1-4 yaitu38 :
1. Nyeri kepala ringan mungkin terjadi karena duduk dalam jangka waktu
yang lama dan tidak ada gejala yang lain.
2. Nyeri kepala sedang yang membuat pasien tidak mampu berdiri lebih dari
setengah jam. Kadang-kadang diiringi dengan mual, muntah, gejala
auditori dan okular.
3. Nyeri kepala berat segera setelah turun dari tempat tidur, dikurangi jika
berbaring ditempat tidur yang horizontal. Sering diiringi dengan mual,
muntah, gejala auditori dan okular.
4. Nyeri kepala yang terjadi walaupun saat berbaring dan sangat diperburuk
saat berdiri, makan tidak memungkinkan karena mual dan muntah
berulang.
Menurut international Headache Society (IHS), kriteria diagnostik PDPH
adalah :
21
1. Nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau berdiri dan membaik
15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya diiringi 1 gejala yang
berada dibawah ini dan memenuhi kriteria (3) dan (4):
a. Kaku kuduk
b. Tinitus
c. Hiperakusia
d. Fotofobia
e. Mual-mual
2. Setelah menjalani punksi dura
3. Nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura
4. Nyeri kepala teratasi:
a. Secara spontan dalam 1 minggu
b. Dalam 48 jam setelah terapi efektif untuk kebocoran CSF (biasanya
epidural blood patch (EBP)).32,33
Gejala-gejala lainnya bisa pada bagian okular seperti fotofobia dan diplopia
atau extraocular muscle paralysis (EOMP) dan keluhan auditori (pendengaran)
seperti tinitus dan hiperakusia.1 Berkurang nya tekanan hidrostatik pada ruang
subaraknoid akan menyebabkan regangan terhadap meningens sehingga dapat
terjadi tanda dan gejala lainnya yang telah disebutkan, adapun sensasi nyeri pada
PDPH ini bisa meliputi sensasi tegang, tarikan, dan getaran.37,38 Hal ini
disebabkan hilangnya CSF lebih cepat dari produksinya sehingga terjadi traksi
terhadap struktur-struktur yang menyangga otak, terutama dura dan tentorium.
Peningkatan traksi pada pembuluh darah juga menambah nyeri kepala. Traksi
pada syaraf kranial dapat menyebabkan diplopia (biasanya pada syaraf kranial ke
enam) dan tinnitus.38 Semua gejala, kecuali PDPH akan membaik dalam waktu 6
jam.9
22
Jenis kelamin
Pada penelitian Vandam dan Dripps melaporkan kejadian PDPH
padaperempuan 14% sedangkan pada laki- laki hanya 7%. Pada penelitian Kang
dkk juga melaporkan kejadian PDPH pada perempuan sebesar 13,4% dan laki-laki
5,7% . Pada penelitian Gordon dkk melaporkan 40% pasien hamil yang
mendapatkan anestesi spinal mengalami sakit kepala setelah melahirkan. Hal ini
mugkin terjadi karena adanya tekanan dari rongga abdomen yang menyebabkan
ruang subarakhnoidnya lebih kecil dan dura maternya cenderung lebih rapuh
dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil29
Perempuan, terutama selama kehamilan, dianggap pada peningkatan risiko
untuk PDPH. Insiden yang tinggi dapat dikaitkan dengan peningkatan kadar
23
2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Terapi Non-farmakologi
Psikologis
Pasien yang mengalami PDPH akan memperlihatkan respon emosional
seperti, menangis sampai marah dan panik. Sehingga penting untuk menjelaskan
tentang risiko dan komplikasi termasuk nyeri kepala sebelum dilakukan
tindakan. Pasien obstetri diharapkan bisa bahagia dan dapat merawat
bayinya. Mereka berisiko tinggi mengalami depresi. Konseling yang tepat harus
dilakukan, untuk menentukan pilihan terapeutik.29 Pemeriksaan ulang secara
reguler untuk memantau keadaan pasien dan terapi secepatnya.1,32
Hidrasi
Pasien PDPH tidak boleh mengalami dehidrasi. Berikan cairan oral , jika
tidak bisa,cairan intravena harus diberikan.32 Terapi suportif seperti rehidrasi,
asetaminofen (parasetamol), OAINS (obat anti-inflamasi non steroid), opioid dan
antiemetik bisa mengurangi gejala, tetapi tidak meredakan sepenuhnya.1,3
Bedrest
Pasien harus istirahat dalam posisi yang paling nyaman.Posisi telungkup
bisa meningkatkan intra-abdomen yang ditransmisikan ke rongga epidural dan
25
dapat mengurangi gejala nyeri kepala. Tetapi saat didemonstrasikan oleh para
klinisi, posisi ini tidak mengurangi gejala PDPH.1,32 Dalam studi konservatif,
terapi seperti rehidrasi dan istirahat yang cukup mempunyai sejarah yang tidak
begitu efektif.3
Pantau dan evaluasi secara teliti pada pasien PDPH adalah tindakan yang
penting dari bagian obstetrik dan anestesi. Nyeri kepala persisten, nyeri kepala
postural, perubahan sensorium, adanya defisit fokal neurologik dan kejang adalah
semua gejala yang memerlukan investigasi lebih lanjut seperti neuro-radiological
imaging.28
2.6 Prognosis
Post dural puncture headache adalah salah satu komplikasi yang paling
umum terjadi pada anestesi spinal dan epidural. Meskipun telah banyak kemajuan
dalam peralatan dan teknik regional anestesi, post dural puncture headache masih
menjadi masalah yang menetap.Pada berbagai kasus, sakit kepala ini memiliki
intensitas yang sedang dengan durasi yang singkat.Namun yang terjadi tidak
selalu seperti itu.Sakit kepala yang dirasakan bisa cukup berat sehingga pasien
harus beristirahat di tempat tidur dan memperpanjang masa rawat di rumah
sakit.Meski tidak mengancam jiwa, PDPH membawa morbiditas yang membatasi aktivitas
sehari-hari.22
29
Anestesi spinal
Kebocoran cairan
serebrospinal
Insidensi Prevalensi
Gambar 2.10
30
Anestesi Spinal
Faktor resiko
Onset
Gambar 2.11
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
n = 67,24
Berdasarkan perhitungan tersebut diketahui bahwa jumlah sampel minimal
dalam penelitian ini adalah 67 responden.Namun untuk mencegah terjadinya
responden yang drop out, maka jumlah sampel ditambah 10% sehingga jumlah
menjadi 74 responden.
3.3.3. Kriteria Inklusi
1. Pasien yang menjalani anestesi spinal pada operasi elektif.
2. Pasien yang bersedia menjadi responden
3. Pasien dengan usia antara 18-55 tahun.
4. Pasien yang memenuhi kriteria ASA I dan ASA II ( American Society of
Anaesthesiology Classification).
ASA I : Pasien normal dan sehat, resiko kecil
ASA II : Pasien dengan kelainan ringan sampai sedang, aktivitas normal.
3.3.4. Kriteria Eksklusi
Pasien yang mempunyai penyakit penyerta lain sebelum tindakan PDPH
seperti migren, meningitis, pendarahan intrakranial, tumor intrakranial,
preeklampsia, dan kelainan tulang belakang/ankilosis spondylitis
3.3.5. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan teknik non probability
sampling.46 Sampel diperoleh dengan metode consecutive sampling, yaitu semua
subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam
penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.47
pasien
yang
datang
akan
menjalani
bedah
elektif
dengan
anestesi
spinal dan
memenuhi
kriteria
pemilihan
3 Insidensi Onset terjadinya Mengisi 1. ≤ 24 jam Ordinal
PDPH lembar 2. 24-48 jam
observasi 3. ≥ 48 jam
4 Anestesi Anestesi regional Data 1. Ya Nominal
spinal dengan tindakan rekam 2. Tidak
dengan penyuntikkan obat medis
teknik anestesi yaitu pasien
subaraknoid memasukkan obat
blok analgetik kedalam
ruang subaraknoid di
daerah vertebra
lumbalis yang
kemudian akan
terjadi hambatan
rangsang sensoris
mulai dari vertebra
thorakal 4
35
secara langsung dan wawancara dengan pasien, hasil nya ditulis pada lembar
observasi. Tujuan dari wawancara berdasarkan lembar observasi adalah untuk
mendapatkan data mengenai kejadian nyeri kepala pasca anestesi spinal pada
bedah elektif.
2. Editing
Langkah ini dimaksudkan untuk melakukan kegiatan pengecekan terhadap
kelengkapan data, kesinambungan data, dan keseragaman data.
3. Coding
Melakukan pengkodean data untuk memudahkan pengolahannya, dimana data
tersebut diklasifikasi kedalam skor kategorik dan kemudian diberi kode-kode
yang telah disepakati.
4. Data Entry
Memasukkan data yang telah dilakukan coding ke dalam program komputer
spss statistik.
5. Tabulasi
Mengelompokan data kedalam suatu data tertentu menurut sifat yang dimiliki
sesuai dengan tujuan penelitian.
6. Cleaning
Semua data dari setiap pasien dicek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya
kemudian dilakukan koreksi.
3.6.2. Analisis Data
Data yang diperlukan dikumpulkan setelah melakukan wawancara dengan
pasien yang hasil nya akan ditulis pada lembar observasi. Data yang telah
terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan program Statistical Product
and Service Solution (SPSS). Dalam penelitian ini, data berbentuk kategorik dan
akan dianalisis dengan cara deskriptif. Kemudian data disajikan dalam bentuk
tabel-tabel distribusi frekuensi dan grafik yang dinarasikan.
Sampel penelitian
Prevalensi PDPH
Gambar 3.2
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian
besar sampel adalah perempuan yaitu sebanyak 36 pasien (63,2%) sedangkan
sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 21 pasien (36,8%).
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.3 didapatkan bahwa jarum spinal
Quincke nomor 25 G digunakan pada 5 orang pasien (8,8%), nomor 26 G
digunakan pada 15 orang pasien (26,3%) dan nomor 27 G digunakan pada 37
orang pasien (64,9%).
41
Berdasarkan prevalensi atau diagnosa PDPH seperti pada tabel 4.4, sampel
yang menderita PDPH sebanyak 15 orang (26,3%) sedangkan yang tidak ada
gejala PDPH sebanyak 42 orang (73,3%).
4.3. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nyeri kepala pasca
anestesi spinal (Post Dural Puncture Headache) pada operasi bedah elektif di
RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2018. Hasil penelitian yang telah dilakukan,
jumlah pasien yang menjalani operasi bedah elektif dengan anestesi spinal di
RSUD Raden Mattaher Jambi yang sesuai dengan kriteria inklusi adalah sebanyak
57 sampel pasien.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.1 bahwa sebagian besar sampel
adalah perempuan yaitu sebanyak 36 orang pasien (63,2%) sedangkan sampel
dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 21 orang pasien (36,8%), dan
berdasarkan tabel 4.6 didapatkan PDPH lebih banyak dialami oleh perempuan
yaitu sebanyak 10 orang pasien (66,7%) dan laki-laki hanya 5 orang pasien
(33,3%). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Wu et al (2006) dimana dia
menyatakan wanita biasanya mempunyai insidensi PDPH lebih tinggi, hal ini
dikarenakan adanya perbedaan pada proses informasi nociceptive seperti wanita
lebih sensitif pada percobaan nyeri dan menunjukkan adanya penambahan nyeri
mekanik pada bagian temporal. Pada penelitian Vandam dan Dripps melaporkan
kejadian PDPH pada perempuan sebanyak 14% sedangkan pada laki-laki hanya
7%. Pada penelitian Kang et al juga melaporkan kejadian PDPH pada perempuan
sebesar 13,4% dan laki-laki 5,7%. Pada penelitian Gordon et al melaporkan 40%
pasien hamil yang mendapatkan anestesi spinal mengalami sakit kepala setelah
melahirkan. Hal ini mungkin terjadi karena adanya tekanan dari rongga abdomen
yang menyebabkan ruang subarachnoidnya menjadi lebih kecil dan duramaternya
cenderung lebih rapuh dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil.17,29
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.2 didapatkan peserta sampel
tertinggi terdapat pada kelompok usia dewasa dengan interval 26-45 tahun
sebanyak 29 pasien (50,9%), diikuti oleh kelompok usia remaja dengan interval
45
12-25 tahun sebanyak 14 pasien (24,6%) dan kelompok usia lansia awal dengan
interval 46-55 tahun sebanyak 14 pasien (24,6%). Berdasarkan distribusi
prevalensi nyeri kepala/PDPH berdasarkan kelompok usia pada tabel 4.7
didapatkan kelompok usia yang paling rentan mengalami PDPH adalah kelompok
usia dewasa dengan interval 26-45 tahun yaitu berjumlah 12 pasien (80,0%),
diikuti oleh kelompok usia lansia awal dengan interval 46-55 tahun berjumlah 2
pasien (13,3%), dan kelompok usia remaja dengan interval 12-25 tahun berjumlah
1 pasien (6,7%). Hasil penelitian ini sama dengan pernyataan Ghaleb (2010) yaitu
menurut Ghaleb (2010) insidensi PDPH tertinggi terjadi pada kelompok usia 18-
30 tahun, dimana usia 18-30 tahun jika dimasukkan berdasarkan kategori usia
menurut Depkes RI (2016) merupakan kelompok usia remaja (12-25 tahun) dan
dewasa (26-45 tahun). Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Chohan dan
Hamdani (2003) bahwa usia produktif antara 18-40 tahun juga memiliki resiko
tinggi terjadinya PDPH, hal ini disebabkan karena pada kelompok usia produktif
mmpunyai tingkat elastisitas dari serat duramater yang masih sensitif terhadap
nyeri itu tinggi dan mempunyai resiko yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok usia yang lainnya.1,15, 39
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.3 didapatkan ukuran jarum spinal
Quincke yang paling banyak digunakan untuk anestesi spinal pada pasien adalah
jarum nomor 27 G sebanyak 37 orang pasien (64,9%), nomor jarum 26 G
sebanyak 15 orang psaien (26,3%) dan nomor jarum 25 G sebanyak 5 orang
pasien (8,8%). Berdasarkan distribusi prevalensi nyeri kepala/PDPH berdasarkan
nomor jarum yang digunakan pada tabel 4.8 didapatkan pasien yang mengalami
PDPH paling banyak adalah dengan menggunakan jarum spinal nomor 26 G yaitu
berjumlah 10 orang (66,7%) dari 15 orang pasien yang menggunakan ukuran
jarum yang sama, dan jarum spinal nomor 25 G yaitu berjumlah 5 orang (33,3%)
dari 5 orang pasien, sedangkan pasien yang dianestesi dengan menggunakan
jarum spinal nomor 27 G tidak mengeluhkan adanya gejala PDPH. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori Morgan et al yang menyatakan “semakin besar
ukuran jarum, maka semakin besar pula resiko terjadinya PDPH”, hal ini karena
dengan ukuran jarum spinal Quincke yang besar akan menyebabkan adanya
46
Ghaleb (2010) yaitu 60% PDPH dimulai saat 48 jam pertama setelah anestesi
spinal. PDPH jarang timbul antara hari ke 5 dan 14 setelah dilakukan anestesi
spinal. Keadaan ini juga hampir mirip dengan penelitian Campbell (2010) yang
juga menyatakan bahwa hampir semua PDPH dialami saat 24-48 jam setelah
anestesi spinal dan 90% diantaranya dialami saat 3 hari pertama. Pada penelitian
ini semua sampel yang mengalami PDPH didapatkan pada waktu ≥48 jam (lebih
dari 2 hari) dan pada waktu 24-48 jam (1-2 hari) setelah dilakukan anestesi spinal,
hal ini sesuai dengan berbagai kepustakaan yang menyebutkan bahwa PDPH
sebagian besar muncul saat 24-48 jam dan ≥ 48 jam ( 1-2 hari dan 3 hari).1,51,52
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penlitian “ Prevalensi Nyeri Kepala Pasca Anestesi Spinal
(Post Dural Puncture Headache) pada operasi bedah elektif di RSUD Raden
Mattaher Jambi Tahun 2018” yang didapatkan dari 57 sampel maka diperoleh
hasil sebagai berikut :
5.2 Saran
1. Tenaga medis (dokter anestesi dan perawat) sebaiknya melakukan follow-up
pasien minimal dalam 48 jam setelah menjalani anestesi spinal. Karena
sebagian besar pasien dalam penelitian ini mengalami PDPH pada hari
ketiga.
2. Untuk pasien yang menjalani anestesi spinal, diusahakan agar dalam 48 jam
pertama setelah prosedur, pasien dalam keadaan istirahat total untuk
mengurangi risiko terjadinya PDPH.
3. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menilai keterkaitan antara IMT
(indeks massa tubuh) ideal dengan angka kejadian PDPH dengan menilai
kelompok berat badan berapa yang paling berisiko mengalami PDPH.
4. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menilai keterkaitan antara jenis
jarum suntik dalam anestesi spinal dengan angka kejadian PDPH.
50
DAFTAR PUSTAKA