Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah komplikasi iatrogenik dari
anestesi spinal pasca operasi berupa nyeri kepala yang biasanya ditandai dengan
nyeri pada daerah frontal dan occipital yang diperberat oleh posisi berdiri dan
akan membaik pada posisi berbaring.1Tanda dan gejala dari PDPH merupakan
akibat dari keluarnya cerebrospinal fluid(CSF) melalui celah yang terbentuk pada
saat penusukan jarum yang mengakibatkan traksi atau penarikan pada komponen-
komponen intrakranial dan refleks vasodilatasi pembuluh darah serebral.2PDPH
merupakan kasus tertinggi ketiga setelah kematian ibu dan cedera kepala bayi
yaitu 12%.3 Insidensi PDPH dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya usia,
jenis kelamin, kehamilan, ukuran jarum, tipe jarum, orientasi bevel terhadap serat
duramater, banyak penusukan dan pengalaman klinik operator.4
Faktor terpenting yang mempengaruhi frekuensi dan keparahan dari PDPH
adalah besar dari perforasi dura. Besar perforasi dura sangat ditentukan oleh besar
jarum dan tipe jarum. Menurut Morgan et al “semakin kecil jarum yang digunakan
semakin kecil terjadinya PDPH”Penusukan jarum spinal dengan arah bevel paralel
atau sejajar dengan aksis meningen juga menunjukkan penurunan insidensi
PDPH.Beberapa peneliti juga menyarankan bahwa penusukan paralel dengan
penyebaran serabut dura sebaliknya penusukan dengan arah bevel tegak lurus
memotong serabut dura akan menghasilkan lobang meningeal yang besar. Tetapi
serabut kolagen duramater tersusun secara acak, oleh karena itu serabut yang
terpotong secara paralel sama banyaknya dibandingkan dengan serabut yang
terpotong secara tegak lurus.5,6
PDPH merupakan efek samping yang paling umum terjadi pada anestesi
regional/subarachnoid block (SAB).7Resiko PDPH pada spinal anestesi lebih kecil
dibandingkan dengan epidural anestesi, tetapi hal ini terjadi pada 50% pasien
muda yang mengalami penusukan meningeal secara kebetulan dengan
menggunakan jarum epidural yang berdiameter besar.8
2

Insidensi dari nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture


headache adalah 66% pada tahun 1898 di Amerika Serikat.Tingginya insidensi ini
dianggap disebabkan oleh penggunaan jarum dengan ukuran yang besar saat
itu.Pada tahun 1956 insidensi dilaporkan turun menjadi 11%dengan digunakannya
jarum ukuran no.22 dan no.24.Saat ini dengan digunakannya jarum type pensil
point seperti (Whitacre dan Sprotte) insidensi PDPH sangat rendah.Frekuensi
PDPH dengan menggunakan jarum 27G Whittacre tercatat 0,5% dari keseluruhan
kasus yang terjadi setelah 24 jam.Dan tercatat juga kejadian PDPH 20 menit
setelah dilakukan spinal anestesi.9
Ditempat lain angka insidensi dari PDPH bervariasi dari 0,15% - 36%,
insiden terbesar ditemukan setelah dilakukan punksi lumbal menggunakan jarum
spinal ukuran 20G dan 22G. Insidensi dari punksi lumbal pada pasien kebidanan
di Inggris adalah 0,13% - 3,6% dan 80% dari pasien tersebut menderita PDPH
sehingga disarankan agar kejadian PDPH di Rumah Sakit Pendidikan harus
kurang dari 1%.10 Juga terdapat beberapa angka insidensi PDPH berdasarkan
penelitian Irawan dkk, di RS. Hasan Sadikin Bandung, meneliti insidensi PDPH
pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke,
27G Quincke dan 27G pencil point, didapatkan insidensi PDPH 68,2%, 31,8%
dan 0%.11 Kejadian PDPH di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru berdasarkan
penelitian Sepriyana dengan menggunakan jarum Quincke 25G adalah 12,9% dan
berdasarkan penelitian Ihsan dengan menggunakan jarum Quincke 27G adalah
8,3%.12,13Kejadian PDPH menggunakan jarum Quincke 26G pada pasien
orthopedi menurut penelitian Alfhiradina adalah 9,8%.14
Wanita hamil memiliki resiko tinggi terhadap kejadian PDPH karena
terjadinya peningkatan jumlah cairan ke intrakranial yang disebabkan oleh
penekanan aorta abdominal oleh janin. Usia produktif yaitu antara 18- 40 tahun
juga memiliki resiko tinggi terjadinya PDPH disebabkan karena elastisitas dari
serat duramater yang masih sensitif terhadap nyeri.15 Pasien dengan riwayat
PDPH sebelumnya mempunyai resiko tinggi untuk menderita nyeri kepala
berulang.16
3

Jenis kelamin juga merupakan sebagai faktor resiko independen pada nyeri
kepala setelah punksi dura. Wanita biasa nya mempunyai insidensi dari PDPH
lebih tinggi karena adanya perbedaan pada proses informasi nociceptive seperti
wanita lebih sensitif pada percobaan nyeri dan menunjukkan adanya penambahan
nyeri mekanik pada bagian temporal.17
Selain PDPH anestesi spinal juga dapat menimbulkan komplikasi lain yaitu
komplikasi saat tindakan operasi seperti hipotensi berat, bradikardia,
hipoventilasi, trauma saraf, mual dan muntah, blok spinal tinggi atau spinal total,
dan lain-lain.7,18
Dengan tinggi nya angka insidensi dari PDPH akan mengakibatkan
morbiditas meningkat. Berdasarkan data dari RSUD Raden Mattaher Jambi bahwa
terdapat tingginya angka kejadian pasien melakukan operasi, membuat peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang prevalensi nyeri kepalapasca anestesi
spinal (post dural puncture headache) pada operasi bedah elektif di RSUD Raden
Mattaher Jambi tahun 2018. Dengan mengetahui prevalensi dari PDPH di RSUD
Raden Mattaher diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan di RSUD
Raden Mattaher Jambi, sehingga morbiditas pasien dapat dicegah.

1.2 Rumusan Masalah


Uraian ringkas dalam latar belakang masalah diatas memberikan dasar bagi
peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu berapa prevalensi nyeri
kepala pasca anestesi spinal (post dural puncture headache) pada operasi bedah
elektif di RSUD Raden Mattaher tahun 2018.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mencari prevalensi nyeri kepala pasca anestesi spinal(postdural
puncture headache)pada operasi bedah elektif di RSUD Raden Mattaher tahun
2018.
4

1.3.2 Tujuan Khusus


Untuk mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi PDPH yaitu nomor
jarum yang digunakan, jenis kelamin, usia dan onset terjadinya nyeri kepala pasca
anestesi spinal (post-dural puncture headache)pada operasi bedah elektif RSUD
Raden Mattaher tahun 2018.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi:
1. Subjek Penelitian
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang
kemungkinanterjadinya nyeri kepala pasca anestesi spinal (post-dural
puncture headache) pada operasi bedah elektif sehingga dapat ditangani
segera.
2. Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat memberi informasi terhadap salah satu efek
samping pasca anestesi spinal.
3. Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pemahaman peneliti mengenai
prevalensi nyeri kepala pasca anestesi spinal (post-dural puncture
headache)pada operasi bedah elektif di RSUD Raden Mattaher dan juga
dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian yang berkaitan tentang
prevalensi nyeri kepala pasca anestesi spinal (post-dural puncture
headache)pada operasi bedah elektif.
4. Institusi Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat menambah perhatian terhadap data angka kejadian
dan kapan onset terjadinya nyeri kepala pasca anestesi spinal (post-dural
puncture headache)pada operasi bedah elektif.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Anestesi Spinal dan PDPH


Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah anestesi
regional dengan tindakan penyuntikkan obat anestesi yaitu memasukan obat
analgetik kedalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian
akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.19,20
Anestesi spinal dengan teknik Subarachnoid Spinal Block merupakan
sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa digunakan sebagai alternatif dari
anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi bagian bawah tubuh seperti
ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.19 Prinsip yang digunakan
adalah menggunakan obat analgetik local untuk menghambat hantaran saraf
sensorik untuk sementara (reversible) dan juga menghambat sebagian fungsi
motorik. Pada teknik anestesi ini, pasien akan tetap sadar.20 Sejak anestesi spinal/
Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier (1898) pada praktis
klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi,
terutama untuk operasi pada daerah papila mamae kebawah.Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal
ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-
L5.Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang
minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari
analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta
membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.19
Pada Agustus 1898, Karl August Bier, dokter bedah Jerman, menginjeksi
10±15 mg kokain ke dalam rongga subaraknoid pada 7 orang pasien, dirinya
sendiri dan asistennya, Hilldebrant. Bier, Hilldebrant dan 4 subjek lainnya
mengeluhkan adanya nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture
headache.Bier menduga terjadinya nyeri kepala tersebut dikarenakan kehilangan
cairan serebrospinal.Dalam awal tahun 1900an, banyak laporan tentang aplikasi
6

anestesi spinal dengan jarum spinal yang besar di literatur-literatur medis.Sakit


kepala menjadi komplikasi pada 50% subjek. Pada saat itu, nyeri kepala
disebutkan akan reda setelah 24 jam.1
Post dural puncture headache(PDPH) adalah sakit kepala yang sering
berlokasi di daerah frontal dan oksipital, terjadi akibat adanya kebocoran dari
cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat tusukan jarum anestesi.
Ini merupakan komplikasi yang umum terjadi pada anestesi spinal dan
epidural.21Sampai saat ini ada dua teori mengenai terjadinya PDPH. Teori pertama
menyebutkan bahwa kebocoran yang kontinyu dari cairan serebrospinal
menyebabkan berkurangnya cairan dari kompartmen intrakranial. Karena cairan
serebrospinal berfungsi sebagai bantalan dari otak, maka pengurangan cairan ini
menyebabkan posisi dari otak jatuh sehingga menyebabkan tarikan pada
meningen yang sensitif terhadap nyeri. Nyeri ini menjalar sepanjang nervus
trigeminus ke daerah frontal, juga melalui nervus vagus dan glossopharyngeal ke
daerah oksipital dan leher. Nyeri lebih terasa terutama pada posisi tegak atau
berdiri. Teori yang kedua menyebutkan bahwa kebocoran cairan serebrospinal
menyebabkan terjadinya hipotensi intrakranial, yang menyebabkan tubuh
berkompensasi dengan melakukan vasodilatasi.7
7

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 : Kolumna Vertebralis.22


Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh.
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
8

harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian


beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio
sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan
kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.22
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla spinalis
berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga
L1.19,22
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-
5.19,20,23
9

Gambar 2.2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis.22


Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.
 Kutis
 Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
 Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
 Ligamentum interspinosum :yang merupakan ligament yang tipis diantara
prosesusspinosus.
 Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.
10

 Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan likuor serebrospinalis (CSF) , kemungkinan
vena epidural telah tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
 Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
 Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (CSF) pada
penusukan.19,22

Gambar 2.3 : Susunan Anatomi ligament vertebra.23


11

Gambar 2.4. Sagital section through lumbar vertebra.6

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla.Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga arteri radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi
radiks.Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior
dan posterior.
12

Gambar 2.5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis.24

2.2.1 Fisiologi Cairan Serebrospinal


Cerebrospinal fluid (CSF) merupakan hasil ultrafiltrasi plasma yang jernih
tidak berwarna, tidak berbau dan berada dan ventrikel otak, eksterna otak, dan
ruang subarakhnoid sekitar otak dan medula spinalis. Volume CSF pada orang
dewasa rata-rata memproduksi sekitar 500 ml CSF/hari, atau 21 ml/jam (0,3
ml/kgBB/jam), dengan 90% berasal dari pleksus koroid di ventrikel lateral, dan
10% dari substansi otak itu sendiri. Dengan berat jenis CSF 1.002-1.009, pH 7,32
dan 50 ml berada dalam ruang intrakranial.18 Cairan ini mengalir melalui foramina
interventrikular masuk ke ventrikel ketiga, dan dari tempat ini akan masuk ke
ventrikel keempat melalui aquaduktus. CSF kemudian bersirkulasi melalui
foramen Luschka dan Magendi menuju ruang subarakhnoid dan vili arakhnoid
dari sinus duramater (badan Pacchionian), dan dari tempat ini akan masuk ke
dalam sinus venosus.25 Aliran CSF melalui sistem ini dipermudah oleh faktor-
13

faktor sirkulasi dan postural yang menimbulkan tekanan SSP sebesar 10 mmHg.
Penurunan tekanan akibat pengeluaran hanya beberapa ml CSF selama pungsi
lumbal untuk analisis laboratorium dapat menimbulkan nyeri kepala yang hebat.
Melalui proses pembentukan, sirkulasi dan reabsorpsi yang terus-menerus, seluruh
volume CSF digantikan lebih dari tiga kali sehari. Menings spinalis terdiri dari 3
lapis, yaitu : dari lapisan terluar sampai terdalam, duramater, arakhnoid, piamater.
Ruang antara lapisan arakhnoid dan piamater di bawahnya disebut ruang
subarakhnoid yang terisi oleh CSF.26
Secara anatomis, duramater spinalis memanjang dari foramen magnum ke
segmen kedua sakrum, yang terdiri dari matriks jaringan ikat padat kolagen dan
serat elastis. Sebanyak sekitar 150 ml CSF beredar pada satu waktu dan diserap
oleh vili arakhnoid.1

Gambar 2. 6. Potongan sagital vertebra lumbal.6

2.3 Patofisiologi
Penyebab PDPH tidak sepenuhnya pasti. Penjelasan terbaik adalah bahwa
hasil tekanan rendah CSF dari kebocoran CSF melalui robekan dural dan
arakhnoid, sebuah kebocoran melebihi tingkat produksi dari CSF. Tekanan CSF di
14

daerah lumbar pada posisi horizontal berkisar antara 5 dan 15 cm H2O. Pada
posisi erect (berdiri), tekanan akan meningkat menjadi lebih dari 40 cm H2O.1
Sedikitnya hilang 10% volume CSF dapat menyebabkan sakit kepala ortostatik.
Ada dua mekanisme dasar teoritis untuk menjelaskan PDPH. Salah satunya adalah
refleks vasodilatasi dari pembuluh meningeal karena menurunnya tekanan CSF.6
Monroe-Kelly menyatakan bahwa total volume elemen dari rongga intrakranial
(darah, CSF, dan jairngan otak) tetap konstan. Konsekuensi kehilangan CSF
adalah vasodilatasi yang mengkompensasi hilangnya volume dalam rongga
intrakranial, sehingga sakit kepala dialami oleh pasien setelah kebocoran CSF
mungkin sebagian disebabkan vasodilatasi intrakranial. Gangguan visual terjadi
dimana tercatat bahwa mereka yang menerima anestesi spinal terjadi penurunan
tekanan intrakranial. Diplopia adalah gejala mata yang paling umum diakibatkan
dari penurunan tekanan intrakranial dan disebabkan oleh traksi pada saraf
abducens (saraf kranial keenam), yang memiliki jalan terpanjang dalam rongga
intrakranial.
Gejala yang berhubungan dengan pendengaran, disebabkan disfungsi saraf
kedelapan, juga kadang-kadang dapat terjadi, yang mengalami ketulian unilateral
atau bilateral. Insiden kehilangan pendengaran berkorelasi dengan ukuran dan
jenis jarum yang digunakan dan telah di dokumentasikan untuk di hilangkan
dengan patch darah epidural. Efek pada pendengaran adalah resultan dari
perubahan tekanan CSF yang ditransmisikan ke sirkulasi getah bening
endocochlear dalam kanalis semisirkularis, dan hasil dalam kondisi sementara
mirip dengan hidrops pada penyakit Meniere.7Ada dua teori mekanisme dasar
untuk menjelaskan PDPH. Pertama, reflex vasodilatasi dari pembuluh darah
meningeal karena penurunan tekanan CSF. Teori kedua yang lainnya adalah traksi
pada struktur sensitif nyeri intrakranial dalam posisi tegak atau berdiri. Traksi
pada nervus servikal seperti C1,C2,C3 yang menyebabkan nyeri pada leher dan
bahu. Traksi pada saraf kranial kelima menyebabkan sakit kepala frontal. Nyeri di
daerah oksipital ini disebabkan oleh traksi pada saraf kranial kesembilan
(glossofaringeal) dan kesepuluh (vagus).1
15

2.3.1 Duramater dan Respon terhadap Trauma


Kegagalan penutupan dari perforasi lapisan dura dapat menimbulkan
perlekatan, kebocoran CSF terus menerus, dan meningkatkan resiko infeksi.Pada
tahun 1959, bahwa teori proliferasi fibroblastik dipicu oleh ujung luka dari dura
telah dibantah.Studi ini berasumsi bahwa proliferasi fibroblastik tersebut
difasilitasi oleh jaringan sekitar dan penggumpalan darah. Studi ini juga
mengatakan perbaikan dari dura dipicu oleh cedera dari pia-araknoid, jaringan
otak, dan adanya penggumpalan darah.1
Identifikasi keakuratan pada rongga subaraknoid sangat penting dalam
tindakan anestesi spinal selanjutnya pada letak jarumnya yang mungkin bisa
menyebabkan ketidaknyamanan pasien, meningkatnya insidensi dari hematom
spinal, PDPH, dan trauma pada struktur neuron.27

2.3.2 Ukuran Jarum dan Insidensi dari PDPH


Insidensi dari PDPH secara langsung berhubungan dengan diameter dari
tusukan ke durameter. Meskipun semakin kecil diameter jarum yang dipakai
untuk blok subaraknoid mengurangi resiko terjadinya PDPH, jarum-jarum
tersebut secara teknik susah untuk digunakan dan berhubungan dengan penurunan
rata-rata kesuksesan dari anestesi spinal, terutama pada dokter yang kurang
berpengalaman. Sebab yang lain termasuk lambatnya aliran dari jarum
berdiameter kecil, yang menimbulkan pengulangan tusukan. Insidensi PDPH
dengan jarum 25G Whitacre (non-cutting) lebih sedikit dari jarum 27G Quincke
(cutting).1
Perubahan model jarum dari Quincke (cutting needle) menjadi jarum pencil-
point yang bertipe atraumatik seperti jarum Whitacre, Sprotte, dan Atraucan
mengurangi insidensi PDPH sampai 0-10%.28 Sebuah literatur membandingkan
jarum spinal Whitacre dan Quincke ukuran 27G (0,41 mm) pada 529 pasien non
obstetrik yang menjalani operasi dan ditemukan insidensi PDPH dari grup
Quincke mencapai 2,7%, sedangkan dari grup Whitacre hanya 0,37%.Jarum
dengan ujung Quincke memotong serat dura dan bisa menyebabkan robekan dura
yang menetap, sementara ujung jarum spinal non-cutting atau seperti pencil-point
16

(Whitacre, Sprotte) dapat mendorong serat dura sehingga dapat kembali ke tempat
semula dan mengurangi hilangnya CSF setelah tusukan dura dan mengurangi
insidensi PDPH.Kontak antara jarum spinal dengan tulang saat insersi
menyebabkan perforasi dural yang lebih besardan dapat meningkatkan risiko
PDPH. Jarum spinal tipe cutting lebih cenderung menyebabkan deformasi saat
kontak dengan tulang.3,29Oleh karena itu, banyak variasi dalam insidensi PDPH
yang bisa timbul dengan desain jarum spinal yang berbeda. Dengan mengurangi
besar dari jarum spinal telah memberikan dampak yang signifikan terhadap
insidensi dari PDPH. Insidensinya adalah 40% pada jarum 22G, 25% pada jarum
25G, 2-12% pada jarum 26G Quincke, 1-6% pada jarum 27G Quincke dan
pengunaan ukuran jarum yang lebih kecil memerlukan teknik penusukan yang
lebih tinggi, yang akan mengarah pada penusukan ulang jika gagal, keadaan ini
akan meningkatkan insidenis PDPH.28

Gambar 2.7 : Jenis Jarum Spinal.24


17

Gambar 2.8 Jarum Sprotte, Whitracre, dan Quinckle.17

Ketika jarum menusuk ke dalam dura, luas dari luka tersebut tergantung
pada jumlah serat elastin yang terpotong. Serat-serat yang terpotong tersebut
cenderung mengarah ke arah sebaliknya dan menghasilkan luka yang berbentuk
bulan sabit.30 Tidak hanya bentuk dan jenis jarum yang berperan penting dalam
munculnya PDPH, tetapi berpergian melalui jalur udara, berada di dataran tinggi,
hipoksia, perubahan pada CSF dan tekanan intrakranial, dan duduk dalam jangka
waktu yang lama juga bisa berperan dalam tingkat keparahan PDPH.31
Diasumsikan bahwa jarum pencil-point menghasilkan luka yang irreguler
pada dura, kemudian reaksi inflamasi dan secara efektif terjadi penurunan CSF
dari pada tusukan berbentuk U dari jarum cutting-bevel, yang dapat mengurangi
resiko PDPH.1

2.4 Diagnosa Banding


Diagnosa dari PDPH sering jelas dari riwayat punksi dural dan adanya sakit
kepala yang berat.Bagaimanapun, perlu dipertimbangkan diagnosa alternatif
seperti intrakranial patologis yang serius yang gejalanya dapat mirip dengan
PDPH. Contohnya meningitis viral, kemikal, dan bakterial; hemoragik
intrakranial; trombosis vena serebral, tumor intrakranial; sakit kepala non-
spesifik; apopleksi pituitari; infark serebral, hernia unkal; sakit kepala sinus,
migrain; pre-eklampsia, dan obat-obatan (kafein, amfetamin). Para klinisi juga
perlu ingat bahwa hipotensi intrakranial bisa berlanjut ke hemoragik intrakranial
18

dari bocornya penghubung vena dural, serta keterlambatan diagnosis dan terapi
akan menjadi berbahaya.1
Abses spinal, hematom spinal, lesi massa intrakranial, aneurisma serebral,
edema serebral, sindrom miofasial, araknoiditis yang disebabkan oleh steroid
intratekal, sindroma neurologik transien, unspecific postdural puncture lumbalgia,
toksisitas neural dan sindrom arteri spinal anterior juga bisa dipertimbangkan
menjadi diagnosa banding untuk PDPH.1
Namun, diagnosis PDPH seharusnya dibuat setelah penyebab nyeri kepala
lainnya disingkirkan. Tension headache, migraine headache, tumor otak,
hematom subdural, perdarahan subarachnoid, thrombosis vena kortikal,
meningitis, dan pneumocephalus harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum
menegakkan diagnosis PDPH.1,32 Oleh karena itu, ketika tanda-tanda neurologis
atau perubahan karakteristik sakit kepala seperti sakit kepala non-postural terjadi,
etiologi serius harus dikeluarkan seperti hematoma subdural, trombosis serebral,
dan ensefalopati reversibel.32 Untuk mendiagnosis PDPH akan digunakan kriteria
diagnosis dari International Headache Society (IHS) untuk PDPH33, yaitu:
1. Nyeri kepala muncul sekitar 15 menit setelah badan dalam posisi duduk atau
berdiri dan membaik dalam 15 menit setelah badan dalam posisi berbaring,
dengan atau memenuhi satu atau lebih gejala berikut dibawah ini dan kriteria
3 dan 4.
a. Kaku pada daerah leher (neck stiffness)
b. Tinitus
c. Hipoakusia
d. Fotofobia
e. Mual
2. Terdapat riwayat punksi dura
3. Nyeri kepala muncul dalam lima hari setelah punksi dura (anestesi spinal)
4. Nyeri kepala umumnya membaik :
a. Secara spontan dalam satu minggu
b. Dalam 48 jam setelah diberikan terapi epidural blood patch (EBP).
19

Pasien dipastikan juga bebas dari diagnosis banding PDPH seperti migraine,
tension headache. Secara ringkas nya, penegakan diagnosis Post Dural Puncture
Headache adalah sebagai berikut34:
 Diketahuinya riwayat dilakukan tusukan pada dural
 Onset yang tertunda, namun dalam waktu 48 jam
 Nyeri kepala bilateral (frontal, oksipital atau keduanya)
 Gejala berhubungan dengan pergerakan postur tubuh
 Ada atau tidaknya gejala penyerta

2.4.1 Gejala
Nyeri kepala dan nyeri punggung merupakan gejala utama dari punksi dura.
90% dari nyeri kepala akan terjadi dalam 3 hari setelah prosedur. Dan 60%
dimulai saat 48 jam pertama. Jarang timbul antara hari ke-5 dan 14 setelah
prosedur. Nyeri kepala juga bisa terjadi saat setelah dilakukan punksi dura.1
Nyeri kepala pasca operasi umumnya terjadi pada remaja muda dan
biasanya pada pasien obstetrik. Nyeri kepala tersebut akan timbul antara 2-7 hari
setelah punksi lumbal, dan mungkin bertahan sampai lebih dari 6 minggu.35 Ada
literatur lain yang menyatakan bahwa onset PDPH sekitar 2-72 jam setelah
anestesi spinal dan menetap bisa lebih dari 15 hari.31
International Headache Society (IHS) menjelaskan bahwa PDPH
merupakan nyeri kepala bilateral yang muncul dalam 7 hari setelah punksi lumbal
dan mereda 14 hari setelah punksi lumbal.27,33 IHS juga menyatakan PDPH adalah
nyeri kepala yang menjadi parah dalam 15 menit setelah duduk atau berdiri dan
membaik dalam 15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya satu gejala dari –
kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia ataupun mual. Sebagian besar PDPH
muncul saat 48-72 jam setelah melakukan anestesi spinal, tetapi pasien yang cepat
pulang dari rumah sakit mungkin mulai mengalaminya saat sudah dirumah.
Dalam studi meta-analisis dari Choi menunjukkan onset dari PDPH biasanya 1-7
hari setelah dilakukan punksi.28,32,36
PDPH merupakan hasil dari sedikit pembocoran dari CSF sekunder pada
punksi dura. Secara khas, PDPH mempunyai serangan nyeri kepala yang dimulai
20

dari 24 jam keatas, tetapi komplikasi tersebut cenderung muncul saat hari pertama
pasca operasi. Karena PDPH cenderung memburuk saat duduk dan berjalan.
Pasien disarankan untuk tidak turun dari tempat tidur sesaat setelah operasi dan
hanya berdiri dan berjalan saat mau berkemih.37
PDPH jelas menunjukkan nyeri kepala bagian frontal, frontotemporal atau
occipital, menggerakkan kepala atau tidak dalam posisi berbaring akan
memperparah keadaan, dan membaik jika berbaring, biasanya terjadi 48 jam
setelah punksi dural. Biasanya diikuti dengan mual, muntah dan kaku
kuduk.Gejala lain seperti vertigo, pusing dan parestesia dari kulit kepala dan nyeri
pada ekstermitas atas dan bawah juga sering berhubungan pada PDPH.1
Kriteria-kriteria PDPH merupakan :
1. Terjadi saat mobilisasi.
2. Terjadi pemburukan saat posisi erect (duduk) dan batuk, bersin atau keadaan
yang menegang.
3. Membaik saat berbaring.
4. Lokasi nyeri tersebut di occipital, frontal atau merata. Menurut Crocker 1976,
tingkat keparahan nyeri kepala ditetapkan dalam skala 1-4 yaitu38 :
1. Nyeri kepala ringan mungkin terjadi karena duduk dalam jangka waktu
yang lama dan tidak ada gejala yang lain.
2. Nyeri kepala sedang yang membuat pasien tidak mampu berdiri lebih dari
setengah jam. Kadang-kadang diiringi dengan mual, muntah, gejala
auditori dan okular.
3. Nyeri kepala berat segera setelah turun dari tempat tidur, dikurangi jika
berbaring ditempat tidur yang horizontal. Sering diiringi dengan mual,
muntah, gejala auditori dan okular.
4. Nyeri kepala yang terjadi walaupun saat berbaring dan sangat diperburuk
saat berdiri, makan tidak memungkinkan karena mual dan muntah
berulang.
Menurut international Headache Society (IHS), kriteria diagnostik PDPH
adalah :
21

1. Nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau berdiri dan membaik
15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya diiringi 1 gejala yang
berada dibawah ini dan memenuhi kriteria (3) dan (4):
a. Kaku kuduk
b. Tinitus
c. Hiperakusia
d. Fotofobia
e. Mual-mual
2. Setelah menjalani punksi dura
3. Nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura
4. Nyeri kepala teratasi:
a. Secara spontan dalam 1 minggu
b. Dalam 48 jam setelah terapi efektif untuk kebocoran CSF (biasanya
epidural blood patch (EBP)).32,33

Gejala-gejala lainnya bisa pada bagian okular seperti fotofobia dan diplopia
atau extraocular muscle paralysis (EOMP) dan keluhan auditori (pendengaran)
seperti tinitus dan hiperakusia.1 Berkurang nya tekanan hidrostatik pada ruang
subaraknoid akan menyebabkan regangan terhadap meningens sehingga dapat
terjadi tanda dan gejala lainnya yang telah disebutkan, adapun sensasi nyeri pada
PDPH ini bisa meliputi sensasi tegang, tarikan, dan getaran.37,38 Hal ini
disebabkan hilangnya CSF lebih cepat dari produksinya sehingga terjadi traksi
terhadap struktur-struktur yang menyangga otak, terutama dura dan tentorium.
Peningkatan traksi pada pembuluh darah juga menambah nyeri kepala. Traksi
pada syaraf kranial dapat menyebabkan diplopia (biasanya pada syaraf kranial ke
enam) dan tinnitus.38 Semua gejala, kecuali PDPH akan membaik dalam waktu 6
jam.9
22

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Insidensi


2.4.2.1 Pada pasien
Usia
Faktor risiko dari PDPH yang telah banyak diketahui usia muda, jenis
kelamin perempuan, dan kehamilan. Orang dewasa muda beresiko lebih tinggi
terkena kondisi ini dari orang yang lebih tua (14% vs 7%) karena dengan
bertambahnya usia, dura mungkin kurang elastis dan cenderung terbuka.36 Insiden
PDPH tertinggi antara 18 dan 30 tahun usia dan penurunan pada anak-anak muda
dari 13 tahun dan orang dewasa yang lebih tua dari 60 tahun.1 Berikut kategori
umur menurut Depkes RI (2016)39:
1) Masa balita :0-5 tahun
2) Masa kanak-kanak :5-11 tahun
3) Masa remaja awal :12-16 tahun
4) Masa remaja akhir :17-25 tahun
5) Masa dewasa awal :26-35 tahun
6) Masa dewasa akhir :36-45 tahun
7) Masa lansia awal :46-55 tahun
8) Masa lansia akhir :56-65 tahun
9) Masa manula :> 65 tahun

Jenis kelamin
Pada penelitian Vandam dan Dripps melaporkan kejadian PDPH
padaperempuan 14% sedangkan pada laki- laki hanya 7%. Pada penelitian Kang
dkk juga melaporkan kejadian PDPH pada perempuan sebesar 13,4% dan laki-laki
5,7% . Pada penelitian Gordon dkk melaporkan 40% pasien hamil yang
mendapatkan anestesi spinal mengalami sakit kepala setelah melahirkan. Hal ini
mugkin terjadi karena adanya tekanan dari rongga abdomen yang menyebabkan
ruang subarakhnoidnya lebih kecil dan dura maternya cenderung lebih rapuh
dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil29
Perempuan, terutama selama kehamilan, dianggap pada peningkatan risiko
untuk PDPH. Insiden yang tinggi dapat dikaitkan dengan peningkatan kadar
23

estrogen, yang mempengaruhi elasitas pembuluh darah otak, sehingga


meningkatkan distensi pembuluh darah dalam menanggapi CSF hipotensi. Faktor
risiko lain untuk PDPH adalah persalinan pervaginam. Mendorong upaya selama
tahap kedua dapat meningkatkan ukuran lubang dan CSF kehilangan dural.32
Wanita yang lebih muda mungkin berada pada risiko yang lebih besar
karena peningkatan elastisitas serat dural yang memelihara dural paten cacat
dibandingkan dengan dura kurang elastis pada pasien tua.1
Pasien dengan sakit kepala sebelum pungsi lumbal dan riwayat PDPH juga
ada peningkatan risiko. Faktor lain yang penting adalah pengalaman dari orang
yang melakukan prosedur yang mengarah ke tusukan dari duramater.1
2.4.2.2 Ukuran dan desain jarum
Ada korelasi langsung antara ukuran jarum dan risiko PDPH. Jarum yang
lebih besar menghasilkan perforasi dural yang lebih besar dan risiko tinggi
PDPH. Terdapat bukti bahwa ukuran dan desain ujung jarum memiliki dampak
langsung pada kejadian PDPH. Sebuah meta analisis dari 450 artikel
menunjukkan penurunan PDPH bila menggunakan jarum ukuran lebih kecil
dan jarum spinal noncutting. Jarum pencil point atau blunt tip
seperti jarum whitacre dikaitkan dengan tingkat PDPH yang lebih rendah karena
jarumnya kurang traumatis terhadap serat longitudinal dari dura , sehingga
menyebabkan kebocoran CSF yang rendah. Lambert et al melaporkan tingkat
PDPH dengan jarum whitacre 25G sebesar 1,2% dibandingkan dengan jarum
cutting 27G sebesar 2,7%. Penelitian lain menunjukkan kejadian PDPH yang
lebih rendah secara signifikan , 8,5% vs 3% pada jarum quincke 25G vs
jarum whitacre 25G. Cesarini et al melaporkan bahwa tidak terdapat kasus PDPH
dengan jarum sprotte 24G, dan 14,5% kasus dengan jarum quincke 25G pada
pasien yang menerima anestesi spinal untuk operasi caesar. Meskipun jarum
spinal ukuran 29G atau lebih kecil memiliki insidensi PDPH yang rendah,
namun secara teknis sulit untuk menggunakannya dan memiliki risiko kegagalan
yang tinggi.Pemilihan ukuran jarum yang tepat harus dilakukan untuk mengurangi
risiko PDPH dan kegagalan teknis. Jarum 25G, 26G dan 27G adalah ukuran
jarum yang optimal untuk anestesi spinal.29,40
24

Gambar 2.9 kejadian PDPH pada jarum spinal yang berbeda.41

2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Terapi Non-farmakologi
Psikologis
Pasien yang mengalami PDPH akan memperlihatkan respon emosional
seperti, menangis sampai marah dan panik. Sehingga penting untuk menjelaskan
tentang risiko dan komplikasi termasuk nyeri kepala sebelum dilakukan
tindakan. Pasien obstetri diharapkan bisa bahagia dan dapat merawat
bayinya. Mereka berisiko tinggi mengalami depresi. Konseling yang tepat harus
dilakukan, untuk menentukan pilihan terapeutik.29 Pemeriksaan ulang secara
reguler untuk memantau keadaan pasien dan terapi secepatnya.1,32
Hidrasi
Pasien PDPH tidak boleh mengalami dehidrasi. Berikan cairan oral , jika
tidak bisa,cairan intravena harus diberikan.32 Terapi suportif seperti rehidrasi,
asetaminofen (parasetamol), OAINS (obat anti-inflamasi non steroid), opioid dan
antiemetik bisa mengurangi gejala, tetapi tidak meredakan sepenuhnya.1,3
Bedrest
Pasien harus istirahat dalam posisi yang paling nyaman.Posisi telungkup
bisa meningkatkan intra-abdomen yang ditransmisikan ke rongga epidural dan
25

dapat mengurangi gejala nyeri kepala. Tetapi saat didemonstrasikan oleh para
klinisi, posisi ini tidak mengurangi gejala PDPH.1,32 Dalam studi konservatif,
terapi seperti rehidrasi dan istirahat yang cukup mempunyai sejarah yang tidak
begitu efektif.3
Pantau dan evaluasi secara teliti pada pasien PDPH adalah tindakan yang
penting dari bagian obstetrik dan anestesi. Nyeri kepala persisten, nyeri kepala
postural, perubahan sensorium, adanya defisit fokal neurologik dan kejang adalah
semua gejala yang memerlukan investigasi lebih lanjut seperti neuro-radiological
imaging.28

2.5.2 Terapi Farmakologi


Tujuan dari penatalaksanaan PDPH adalah: (i) menggantikan CSF yang
hilang; (ii) menutup daerah tusukan; (iii) mengatasi vasodilatasi serebral.
a. Kafein
Metilxantin dapat menghambat reseptor adenosin di serebral yang membuat
vasokonstriksi dari pembuluh darah serebral yang dilatasi. IV 0,5 gr kafein
direkomendasikan untuk terapi PDPH pada tahun 1944. Dalam bentuk oral
dapat diabsorbsi dengan baik dengan efek puncak saat 30 menit. Kafein juga
melewati sawar darah otak dan mempunyai waktu paruh yang panjang antara
3-7,5 jam. Kafein termasuk salah satu terapi yang efektif untuk PDPH.Kafein
dapat menurunkan perfusi darah di otak.1Kafein merupakan stimulan SSP
(sistem saraf pusat) yang poten dan perlu dicegah untuk wanita yang
mempunyai risiko pregnancy-induced hypertension. Dosis tunggal oral dari
kafein termasuk aman, lebih murah dari kafein intravena, dan akan meredakan
gejala yang timbul sesaat.30
b. ACTH (adenocorticotrophic hormone)
Kosintropin, bentuk sintetik dari hormon adenokortikotropik, telah digunakan
untuk terapi PDPH yang sukar disembuhkan. Hormon adenokortikotropik
dipercaya dapat merangsang kelenjar adrenal untuk meningkatkan produksi
CSF dan pengeluaran β-endorfin.1 Penggunaan kosintropin setelah terjadinya
accidental dural puncture (ADP) menghasilkan penurunan insidensi dari
26

PDPH dan kebutuhan terapi epidural blood patch (EBP). Hormon


adenokortikotropik beserta analognya telah digunakan untuk terapi PDPH,
tetapi belum diteliti kegunaannya sebagai profilaksis.Peningkatan produksi dari
CSF berperan dalam transpor aktif ion sodium (natrium) atau peningkatan β-
endorfin yang dapat mengubah persepsi dari nyeri. ACTH dan β-endorfin
berasal dari prekursor yang sama, proopiomelanocortin, yang berikatan dengan
reseptor opioid dan efeknya mirip dengan morfin.42
c. Sumatriptan
Sumatriptan merupakan agonis reseptor 5-HTID yang meningkatkan
vasokontriksi serebral.Obat ini agak mahal dan mempunyai efek samping nyeri
di area injeksi dan sesak dada.Waspada terhadap penggunaan pasien dengan
penyakit jantung iskemik.Sumatriptan digunakan untuk mengatasi migren dan
PDPH akhir-akhir ini. Akan tetapi, ada literatur menemukan tidak adanya
manfaat yang menguntungkan dari Sumatriptan untuk terapi konservatif pada
PDPH.1
d. Epidural Blood Patch (EBP)
EBP adalah pilihan terapi yang efektif untuk PDPH yang berat. Akan tetapi,
tingkat keefektifannya akan berkurang jika punksi duramater tersebut
dilakukan dengan jarum berukuran besar.43Ada dua teori yang bisa
menjelaskan tentang efektivitas EBP dalam mengatasi PDPH. Pertama, darah
yang telah diinjeksikan membentuk gumpalan yang menempel ke duramater,
secara langsung menutup lubang yang terdapat di dura dan mencegah
kebocoran CSF. Kedua, volume darah yang telah diinjeksikan di rongga
epidural akan meningkatkan tekanan CSF, yang akan meredakan gejala-gejala
PDPH.43
Kontraindikasi dari epidural blood patch diantaranya demam, infeksi
tulang belakang, koagulopati dan penolakan dari pasien. Pasien dengan posisi
lateral, pada rongga epidural telah diinjeksi jarum Tuohy pada area dural
puncture sebelumnya atau lebih rendah dari rongga intervertebral.Lebih dari 30
ml darah yang telah diambil dari lengan pasien dan diinjeksikan ke jarum
Tuohy tersebut secara perlahan. Jika pasien mengeluh nyeri yang berat,
27

prosedur harus dihentikan.1Darah yang telah diinjeksikan akan mengalir di


sekitar rongga epidural anterior. Rongga tekal akan terkompresi dan diisi
dengan darah. Kompresi dari rongga tekal saat tiga jam pertama dan
peningkatan tekanan subaraknoid, bisa meredakan sakit kepala tersebut.
Untungnya injeksi darah tersebut tidak memicu proses inflamasi dan belum ada
bukti dari edema aksonal, nekrosis atau demielinisasi.1
Beberapa literatur menyarankan untuk memberi profilaksis blood patch
kedalam kateter epidural sebelum mencabutnya, bertujuan untuk menurunkan
insidensi PDPH. Akan tetapi, sebuah literatur randomized controlled trial tidak
menunjukkan pengurangan dari insidensi PDPH, namun pemberian profilaksis
EBP menurunkan durasi dan keparahan dari sakit kepala.28
e. Epidural Saline
Secara teori, injeksi epidural saline bisa menghasilkan efek yang sama seperti
epidural blood patch, dan mengembalikan dinamik CSF kembali normal.
Saline merupakan larutan yang steril dan tidak bereaksi terhadap zat lain, infus
atau bolus epidural saline bisa menjadi alternatif.1
f. Epidural Morfin
Manfaat dari epidural morfin pernah diinvestigasi hanya pada randomized-
controlled trial (RCT).Epidural morfin yang diberikan 3 mg setelah anestesi
dan 3 mg yang lainnya diberikan sehari setelahnya.Pemberian ini menurunkan
insidensi PDPH dari 48% sampai 12%. Dalam pemberian ini tidak ditemukan
depresi pernafasan, tetapi muntah-muntah sering terjadi pada terapi ini.3
g. Fibrin Glue
Fibrin glue diperkenalkan untuk memperbaiki perforasi spinal dural. Perforasi
dural kranial bisa diperbaiki dengan fibrin glue belakangan ini. Fibrin glue bisa
dilakukan secara perkutan dibantu dengan CT (computed tomography).
Meningitis aseptik merupakan resiko dari prosedur tersebut.1
h. Intratekal Kateter
Setelah terjadi perforasi, masukkan kateter spinal kedalam perforasi tersebut,
akan memancing reaksi inflamasi yang akan menutup lubang tersebut. Tetapi
28

prosedur ini masih diperdebatkan. Akan tetapi, komplikasi neurologi seperti


sindroma kauda equina dan infeksi akan terjadi pada prosedur ini.
2.5.3 Operasi
Ada beberapa laporan kasus dari kebocoran Cerebrospinal fluid (CSF)
persisten, yang tidak respon terhadap terapi lainnya, perforasi dural akan berhasil
tertutup pada operasi. Ini jelas merupakan sebagai pilihan terakhir.1Ada literatur
yang menyatakan bahwa mereka telah berhasil melakukan real- time ultra-sound-
guided pada anestesi spinal secara klinis. Teknik ini dapat dilakukan juga pada
saat sebelum melakukan anestesi spinal.44

2.6 Prognosis
Post dural puncture headache adalah salah satu komplikasi yang paling
umum terjadi pada anestesi spinal dan epidural. Meskipun telah banyak kemajuan
dalam peralatan dan teknik regional anestesi, post dural puncture headache masih
menjadi masalah yang menetap.Pada berbagai kasus, sakit kepala ini memiliki
intensitas yang sedang dengan durasi yang singkat.Namun yang terjadi tidak
selalu seperti itu.Sakit kepala yang dirasakan bisa cukup berat sehingga pasien
harus beristirahat di tempat tidur dan memperpanjang masa rawat di rumah
sakit.Meski tidak mengancam jiwa, PDPH membawa morbiditas yang membatasi aktivitas
sehari-hari.22
29

2.7 Kerangka Teori

Anestesi spinal

Komplikasi Faktor risiko

Kebocoran cairan
serebrospinal

-Mual,muntah Nyeri kepala/PDPH


- dll

Insidensi Prevalensi

Gambar 2.10
30

2.8 Kerangka Konsep

Anestesi Spinal

Faktor resiko

Non PDPH PDPH  Usia


 Durasi dari keadaan pasien
untuk kembali normal
 Jenis kelamin
 Tingkat pendidikan
 Nomor jarum yang digunakan
 Kedisiplinan dari pasien untuk
tidak melakukan perubahan
Insidensi Prevalensi
posisi

Onset

Gambar 2.11
31

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif dengan prospective cohort study yaitu
penelitian mendeskripsikan prevalensi nyeri kepala pasca anestesi spinal (post-
dural puncture headache) pada operasi elektif di RSUD Raden Mattaher Jambi.

3.2. Waktu dan Tempat Penilitian


Waktu penelitian ini dilakukan dari Juli 2018 s/d September 2018 dan
dilaksanakan di RSUD Raden Mattaher Jambi.

3.3. Subjek Penelitian


3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang menerima anestesi spinal
pada operasi elektif RSUD Raden Mattaher Jambi dari Juli 2018 s/d September
2018.
3.3.2. Besar Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah subjek dalam populasi penelitian yang
termasuk dalam kriteria inklusi.Besar sampel diterapkan menggunakan rumus
lameshow untuk menentukan besar sampel minimal. Apabila P tidak diketahui,
nilai P ditetapkan sebesar 50% (0,5) dan tidak mensyaratkan diketahuinya jumlah
populasi. Rumus dan perhitungan besar sampel sebagai berikut45:
𝑍𝑎2 (PQ)
n=
𝑑2
keterangan :
n = Jumlah Sampel
Za = Kesalahan tipe I : 1,64
P = Proporsi kejadian PDPH = 0,5 (tidak diketahui)
Q = 1-P
d = 0,1
(1,64)2 ×0,5×(1−0,5)
n=
(0,10)2
32

n = 67,24
Berdasarkan perhitungan tersebut diketahui bahwa jumlah sampel minimal
dalam penelitian ini adalah 67 responden.Namun untuk mencegah terjadinya
responden yang drop out, maka jumlah sampel ditambah 10% sehingga jumlah
menjadi 74 responden.
3.3.3. Kriteria Inklusi
1. Pasien yang menjalani anestesi spinal pada operasi elektif.
2. Pasien yang bersedia menjadi responden
3. Pasien dengan usia antara 18-55 tahun.
4. Pasien yang memenuhi kriteria ASA I dan ASA II ( American Society of
Anaesthesiology Classification).
ASA I : Pasien normal dan sehat, resiko kecil
ASA II : Pasien dengan kelainan ringan sampai sedang, aktivitas normal.
3.3.4. Kriteria Eksklusi
Pasien yang mempunyai penyakit penyerta lain sebelum tindakan PDPH
seperti migren, meningitis, pendarahan intrakranial, tumor intrakranial,
preeklampsia, dan kelainan tulang belakang/ankilosis spondylitis
3.3.5. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan teknik non probability
sampling.46 Sampel diperoleh dengan metode consecutive sampling, yaitu semua
subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam
penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.47

3.4. Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur Data
33

1 Nyeri Post dural puncture Mengisi 1. Nyeri (+) Nominal


kepala headache (PDPH) lembar 2. Nyeri (-)
setelah adalah sakit kepala yang observasi
punksi sering berlokasi di daerah
dura/PDPH frontal dan oksipital,
(post dural terjadi akibat adanya
puncture kebocoran dari cairan
headache) serebrospinal melalui
lubang di duramater
akibat tembusan jarum
anestesi. Dengan gejala
nyeri kepala yang akan
memburuk jika
melakukan perubahan
posisi:berdiri/berjalan
dan akan segera
membaik apabila
berbaring.21
2 Prevalensi Jumlah kasus Mengguna Persentase dari Rasio
penderita PDPH pada kan teknik pasien yang
suatu tempo tertentu non mengalami
dihubungkan dengan probabilit nyeri kepala
populasi (bisa kasus y setelah punksi
lama ataupun baru) sampling dura/post dural
dengan puncture
metode headache
consecutiv pasca anestesi
e spinal pada
sampling, operasi bedah
yaitu elektif
semua
34

pasien
yang
datang
akan
menjalani
bedah
elektif
dengan
anestesi
spinal dan
memenuhi
kriteria
pemilihan
3 Insidensi Onset terjadinya Mengisi 1. ≤ 24 jam Ordinal
PDPH lembar 2. 24-48 jam
observasi 3. ≥ 48 jam
4 Anestesi Anestesi regional Data 1. Ya Nominal
spinal dengan tindakan rekam 2. Tidak
dengan penyuntikkan obat medis
teknik anestesi yaitu pasien
subaraknoid memasukkan obat
blok analgetik kedalam
ruang subaraknoid di
daerah vertebra
lumbalis yang
kemudian akan
terjadi hambatan
rangsang sensoris
mulai dari vertebra
thorakal 4
35

5 Jenis Jenis kelamin Data 1. Laki-laki Nominal


kelamin penderita PDPH pada rekam 2. Perempuan
saat penelitian medis
dilaksanakan pasien
6 Usia Usia penderita PDPH Data 1. Lansia awal Ordinal
pada saat penelitian rekam 46-65
dilaksanakan dan medis 2. Dewasa
dinyatakan dalam pasien 26-45
tahun 3. Remaja
12-25
7 Posisi tubuh Posisi tubuh Mengisis 1. Ya Nominal
dalam 24 penderita PDPH lembar 2. Tidak
jam setelah dilaksanakan observasi
pertama/ anestesi spinal.
mobilisasi Melakukan
perubahan posisi :
berdiri dan berjalan,
tidak melakukan
perubahan posisi :
berbaring
8 Nomor Nomor jarum yang Data 1. 25 G Nominal
jarum digunakan saat rekam 2. 26 G
anestesi spinal medis 3. 27 G
pasien

3.5. Metode Pengumpulan Data


3.5.1. Jenis Data
3.5.1.1. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari responden. Dalam
penelitian ini peneliti mendapatkan data primer diperoleh dengan cara pengamatan
36

secara langsung dan wawancara dengan pasien, hasil nya ditulis pada lembar
observasi. Tujuan dari wawancara berdasarkan lembar observasi adalah untuk
mendapatkan data mengenai kejadian nyeri kepala pasca anestesi spinal pada
bedah elektif.

3.5.1.2. Data Sekunder


Data sekunder adalah data pelengkap atau data penunjang yang didapatkan
dari rekam medis.

3.5.2. Instrumen Penelitian


3.5.2.1. Lembar Observasi
Lembar observasi adalah lembar yang berisi beberapa pertanyaan dan
peneliti mengamati lalu mengisi lembar observasi sesuai dengan keadaan pasien.
3.5.2.2. Wawancara
Kegiatan yang dilakukan peneliti dengan memberikan pertanyaan kepada
responden sesuai dengan lembar observasi.

3.5.3. Teknik Pengumpulan Data


Data dalam penelitian ini merupakan data primer, dimana semua data yang
diperlukan diperoleh dari wawancara dengan pasien yang hasil nya akan ditulis
pada lembar observasi. Dan dilakukan pemantauan sampai 5 hari setelah anestesi
spinal, karena sebagian besar PDPH muncul saat 48-72 jam setelah melakukan
anestesi spinal dengan teknik subaraknoid blok.35

3.6. Teknik Analisis Data


3.6.1. Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data selanjutnya diteliti
ulang dan diperiksa ketepatan atau kesesuaian jawaban serta kelengkapannya
dengan langkah sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data
Semua data yang diperlukan diperoleh dari wawancara dengan pasien yang
hasil nya akan ditulis pada lembar observasi.
37

2. Editing
Langkah ini dimaksudkan untuk melakukan kegiatan pengecekan terhadap
kelengkapan data, kesinambungan data, dan keseragaman data.
3. Coding
Melakukan pengkodean data untuk memudahkan pengolahannya, dimana data
tersebut diklasifikasi kedalam skor kategorik dan kemudian diberi kode-kode
yang telah disepakati.
4. Data Entry
Memasukkan data yang telah dilakukan coding ke dalam program komputer
spss statistik.
5. Tabulasi
Mengelompokan data kedalam suatu data tertentu menurut sifat yang dimiliki
sesuai dengan tujuan penelitian.
6. Cleaning
Semua data dari setiap pasien dicek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya
kemudian dilakukan koreksi.
3.6.2. Analisis Data
Data yang diperlukan dikumpulkan setelah melakukan wawancara dengan
pasien yang hasil nya akan ditulis pada lembar observasi. Data yang telah
terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan program Statistical Product
and Service Solution (SPSS). Dalam penelitian ini, data berbentuk kategorik dan
akan dianalisis dengan cara deskriptif. Kemudian data disajikan dalam bentuk
tabel-tabel distribusi frekuensi dan grafik yang dinarasikan.

3.7. Etika Penelitian


Sebelum melakukan observasi peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan
secara tertulis kepada responden (pasien/keluarga pasien).
38

3.8. Alur penelitian

Persetujuan penelitian dari


kampus

Data diperoleh dari wawancara


dengan pasien yang hasil nya
akan di tulis pada lembar
observasi

Memenuhi kriteria inklusi

Sampel penelitian

Analisis data penelitian

Prevalensi PDPH

Gambar 3.2
39

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterbatsan Penelitian


Terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian ini. Penelitian ini bersifat
deskriptif, hanya menggambarkan besarnya angka kejadian dan tidak meneliti
tentang hubungan sebab akibat. Total sampel pada penelitian ini adalah 74
sampel, tetapi yang memenuhi kriteria inklusi hanya 57 sampel. Penelitian ini
menyesuaikan dengan keterbatasan waktu yang hanya dilakukan dalam periode
bulan Juli s/d bulan September untuk menggambarkan kejadian nyeri kepala pasca
anestesi (post-dural puncture haedache) pada operasi elektif.

4.2. Hasil Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Provinsi
Jambi dengan menggunakan data primer dari lembar observasi secara langsung
dan data sekunder dari data rekam medis pasien yang menjalani operasi bedah
elektif dengan anestesi spinal di RSUD Raden Mattaher. Pada penelitian ini
sampel yang diperoleh mencapai 74 orang pasien, namun pasien yang memenuhi
kriteria inklusi dalam penelitian didapatkan sebanyak 57 orang pasien.
Karakteristik sampel dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia,
nomor jarum yang digunakan, prevalensi nyeri kepala dan onset dari PDPH ( Post
Dural Puncture Headache).

4.2.1. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin Jumlah Pasien (n) Persentase (%)
Laki-laki 21 36,8
Perempuan 36 63,2
Total 57 100
40

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian
besar sampel adalah perempuan yaitu sebanyak 36 pasien (63,2%) sedangkan
sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 21 pasien (36,8%).

4.2.2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Usia

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Usia


Usia Jumlah Pasien (n) Persentase(%)
Remaja (12-25 tahun) 14 24,6
Dewasa (26-45 tahun) 29 50,9
Lansia awal (46-55 tahun) 14 24,6
Total 57 100

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.2 didapatkan peserta sampel


tertinggi terdapat pada kelompok usia dewasa (26-45 tahun) sebanyak 29 pasien
(50,9%), dan terendah pada kelompok interval remaja (12-25 tahun) sebanyak 14
pasien (24,6%) dan lansia awal (46-55 tahun) sebanyak 14 pasien (24,6%).

4.2.3. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Nomor Jarum

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Nomor Jarum


Nomor Jarum Jumlah Pasien (n) Persentase(%)
(Quincke)
25 G 5 8,8
26 G 15 26,3
27 G 37 64,9
Total 57 100

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.3 didapatkan bahwa jarum spinal
Quincke nomor 25 G digunakan pada 5 orang pasien (8,8%), nomor 26 G
digunakan pada 15 orang pasien (26,3%) dan nomor 27 G digunakan pada 37
orang pasien (64,9%).
41

4.2.4. Prevalensi PDPH/Nyeri Kepala Pasca Punksi Dural Setelah Anestesi


Spinal Pada Operasi Bedah Elektif

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Prevalensi PDPH


Prevalensi PDPH Jumlah Pasien (n) Persentase (%)
Ada 15 26,3
Tidak Ada 42 73,7
Total 57 100

Berdasarkan prevalensi atau diagnosa PDPH seperti pada tabel 4.4, sampel
yang menderita PDPH sebanyak 15 orang (26,3%) sedangkan yang tidak ada
gejala PDPH sebanyak 42 orang (73,3%).

4.2.5. Onset Timbulnya Nyeri Kepala (Post Dural Puncture Headache)

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Onset Timbulnya Nyeri


Kepala (Post Dural Puncture Headache)
Waktu Jumlah (n) Persentase(%)
≤ 24 Jam 0 0
24-48 Jam 5 8,8
≥ 48 Jam 10 17,5
Tidak ada kejadian PDPH 42 73,7
Total 57 100
Ditinjau dari onset timbulnya nyeri kepala (Post Dural Puncture
Headaache) seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.5, sebagian besar sampel
sebanyak 42 orang (73,7%) tidak mengeluhkan gejala PDPH. Sampel tertinggi
pada pasien yang mengalami PDPH sebanyak 10 orang pasien (17,5%) muncul
pada waktu ≥ 48 jam , selanjutnya pasien yang mengalami PDPH sebanyak 5
orang pasien (8,8%) muncul pada waktu 24-48 jam.
42

4.2.6. Prevalensi Nyeri Kepala/PDPH Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.6 Distribusi Prevalensi Nyeri Kepala/PDPH Berdasarkan Jenis


Kelamin

Prevalensi nyeri kepala/PDPH


Jenis Total
Ada Tidak ada
kelamin
n % n % N %
Laki-laki 5 33,3 16 38,1 21 36,8
Perempuan 10 66,7 26 61,9 36 63,2
Total 15 100 42 100 57 100
Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan dari total pasien yang mengalami PDPH
didominasi oleh jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 10 orang (66,7%)

4.2.7. Prevalensi Nyeri Kepala/PDPH Berdasarkan Kelompok Usia

Tabel 4.7 Distribusi Prevalensi Nyeri Kepala/PDPH Berdasarkan Kelompok


Usia

Prevalensi nyeri kepala/PDPH


Usia yang Total
Ada Tidak ada
dikelompokkan
N % n % N %
Remaja (12-25 tahun) 1 6,7 13 31,0 14 24,6
Dewasa (26-45 tahun) 12 80,0 17 40,5 29 50,9
Lansia awal (46-55 tahun) 2 13,3 12 28,6 14 24,6
Total 15 100 42 100 57 100
Berdasarkan tabel 4.7, didapatkan prevalensi PDPH pada sampel paling
banyak diderita pada kelompok usia dewasa (26-45 tahun) yaitu sebanyak 12
orang (80,0%).
43

4.2.8. Prevalensi Nyeri Kepala/PDPH Berdasarkan Nomor Jarum

Tabel 4.8 Distribusi Prevalensi Nyeri Kepala/PDPH Berdasarkan Nomor


Jarum

Prevalensi nyeri kepala/PDPH


Nomor Jarum Total
Ada Tidak ada
(Quincke)
N % N % N %
25 G 5 33,3 0 0,0 5 8,8
26 G 10 66,7 5 11,9 15 26,3
27 G 0 0,0 37 88,1 37 64,9
Total 15 100 42 100 57 100
Berdasarkan tabel 4.8, didapatkan pasien yang mengalami PDPH paling
banyak dengan menggunakan jarum spinal nomor 26 G yaitu sebanyak 10 orang
(66,7%) dari 15 orang pasien dan jarum spinal nomor 25 G yaitu sebanyak 5
orang (33,3%) dari 5 orang pasien.

4.2.9. Prevalensi Nyeri Kepala/PDPH Berdasarkan Onset Terjadinya Atau


Insidensi PDPH

Tabel 4.9 Distribusi Prevalensi Nyeri Kepala/PDPH Berdasarkan Onset


Terjadinya Atau Insidensi PDPH

Prevalensi nyeri kepala/PDPH


Total
Onset Atau Insidensi PDPH Ada Tidak ada
N % n % n %
≤ 24 jam 0 0,0 0 0,0 0 0,0
24-48 jam 5 33,3 0 0,0 5 8,8
≥ 48 jam 10 66,7 0 0,0 10 17,5
Tidak ada kejadian PDPH 0 0,0 42 100,0 42 73,7
Total 15 100 42 100 57 100
44

Berdasarkan tabel 4.9, menunjukkan onset atau insidensi terjadinya PDPH


terdapat pada waktu 24-48 jam sebanyak 5 orang pasien (33,3%) dan pada waktu
≥ 48 jam sebanyak 10 orang pasien (66,7%).

4.3. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nyeri kepala pasca
anestesi spinal (Post Dural Puncture Headache) pada operasi bedah elektif di
RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2018. Hasil penelitian yang telah dilakukan,
jumlah pasien yang menjalani operasi bedah elektif dengan anestesi spinal di
RSUD Raden Mattaher Jambi yang sesuai dengan kriteria inklusi adalah sebanyak
57 sampel pasien.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.1 bahwa sebagian besar sampel
adalah perempuan yaitu sebanyak 36 orang pasien (63,2%) sedangkan sampel
dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 21 orang pasien (36,8%), dan
berdasarkan tabel 4.6 didapatkan PDPH lebih banyak dialami oleh perempuan
yaitu sebanyak 10 orang pasien (66,7%) dan laki-laki hanya 5 orang pasien
(33,3%). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Wu et al (2006) dimana dia
menyatakan wanita biasanya mempunyai insidensi PDPH lebih tinggi, hal ini
dikarenakan adanya perbedaan pada proses informasi nociceptive seperti wanita
lebih sensitif pada percobaan nyeri dan menunjukkan adanya penambahan nyeri
mekanik pada bagian temporal. Pada penelitian Vandam dan Dripps melaporkan
kejadian PDPH pada perempuan sebanyak 14% sedangkan pada laki-laki hanya
7%. Pada penelitian Kang et al juga melaporkan kejadian PDPH pada perempuan
sebesar 13,4% dan laki-laki 5,7%. Pada penelitian Gordon et al melaporkan 40%
pasien hamil yang mendapatkan anestesi spinal mengalami sakit kepala setelah
melahirkan. Hal ini mungkin terjadi karena adanya tekanan dari rongga abdomen
yang menyebabkan ruang subarachnoidnya menjadi lebih kecil dan duramaternya
cenderung lebih rapuh dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil.17,29
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.2 didapatkan peserta sampel
tertinggi terdapat pada kelompok usia dewasa dengan interval 26-45 tahun
sebanyak 29 pasien (50,9%), diikuti oleh kelompok usia remaja dengan interval
45

12-25 tahun sebanyak 14 pasien (24,6%) dan kelompok usia lansia awal dengan
interval 46-55 tahun sebanyak 14 pasien (24,6%). Berdasarkan distribusi
prevalensi nyeri kepala/PDPH berdasarkan kelompok usia pada tabel 4.7
didapatkan kelompok usia yang paling rentan mengalami PDPH adalah kelompok
usia dewasa dengan interval 26-45 tahun yaitu berjumlah 12 pasien (80,0%),
diikuti oleh kelompok usia lansia awal dengan interval 46-55 tahun berjumlah 2
pasien (13,3%), dan kelompok usia remaja dengan interval 12-25 tahun berjumlah
1 pasien (6,7%). Hasil penelitian ini sama dengan pernyataan Ghaleb (2010) yaitu
menurut Ghaleb (2010) insidensi PDPH tertinggi terjadi pada kelompok usia 18-
30 tahun, dimana usia 18-30 tahun jika dimasukkan berdasarkan kategori usia
menurut Depkes RI (2016) merupakan kelompok usia remaja (12-25 tahun) dan
dewasa (26-45 tahun). Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Chohan dan
Hamdani (2003) bahwa usia produktif antara 18-40 tahun juga memiliki resiko
tinggi terjadinya PDPH, hal ini disebabkan karena pada kelompok usia produktif
mmpunyai tingkat elastisitas dari serat duramater yang masih sensitif terhadap
nyeri itu tinggi dan mempunyai resiko yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok usia yang lainnya.1,15, 39
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.3 didapatkan ukuran jarum spinal
Quincke yang paling banyak digunakan untuk anestesi spinal pada pasien adalah
jarum nomor 27 G sebanyak 37 orang pasien (64,9%), nomor jarum 26 G
sebanyak 15 orang psaien (26,3%) dan nomor jarum 25 G sebanyak 5 orang
pasien (8,8%). Berdasarkan distribusi prevalensi nyeri kepala/PDPH berdasarkan
nomor jarum yang digunakan pada tabel 4.8 didapatkan pasien yang mengalami
PDPH paling banyak adalah dengan menggunakan jarum spinal nomor 26 G yaitu
berjumlah 10 orang (66,7%) dari 15 orang pasien yang menggunakan ukuran
jarum yang sama, dan jarum spinal nomor 25 G yaitu berjumlah 5 orang (33,3%)
dari 5 orang pasien, sedangkan pasien yang dianestesi dengan menggunakan
jarum spinal nomor 27 G tidak mengeluhkan adanya gejala PDPH. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori Morgan et al yang menyatakan “semakin besar
ukuran jarum, maka semakin besar pula resiko terjadinya PDPH”, hal ini karena
dengan ukuran jarum spinal Quincke yang besar akan menyebabkan adanya
46

kebocoran cairan serebrospinal sehingga tekanan dalam ruang medulla spinalis


akan menurun dan menimbulkan traksi pada pembuluh darah yang ada diotak
sehingga menimbulkan PDPH.6,48,49 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan
beberapa penelitian sebelumya yang sudah dilakukan di berbagai tempat. Irawan
et al(2010) yang meneliti di RS Hasan Sadikin Bandung menggunakan 3 jarum
spinal yaitu 25 G Quincke, 27 G Quincke, dan 27 G pencil point pada pasien
seksio caesarea didapatkan insidensi PDPH sebesar 68,2%, 31,8%, 0%.
Berdasarkan penelitian Sepriyana (2011) di RSUD Arifin Achmad Riau kejadian
PDPH dengan menggunakan jarum Quincke nomor 25 G adalah 12,9%,
berdasarkan penelitian Ihsan (2012) di RS yang sama dengan Sepriyana kejadian
PDPH dengan menggunakan jarum Quincke nomor 27 G adalah 8,3%, dan
menurut penelitian Alfhiradina (2013) di RS yang sama dengan Sepriyana dan
Ihsan kejadian PDPH dengan menggunakan jarum Quincke nomor 26 G pada
pasien ortopedi adalah 9,8%. Dari semua angka kejadian PDPH berdasarkan dari
beberapa hasil penelitian yang sudah disebutkan sebelumnya, ini sesuai dengan
penelitian Abraham et al yang melakukan penelitian di Yenepoya Medical College
di India bahwa dengan menggunakan jarum spinal yang lebih kecil dapat
mengurangi resiko terjadinya PDPH.6,11,12,13,14,48,49,50
Ditinjau dari onset timbul nya nyeri kepala/PDPH seperti yang ditunjukkan
pada tabel 4.5, sebagian besar sampel sebanyak 42 orang (73,7%) tidak
mengeluhkan adanya gejala PDPH. Sampel tertinggi pada pasien yang mengalami
PDPH sebanyak 10 orang pasien (17,5%) muncul pada waktu ≥48 jam,
selanjutnya pasien yang mengalami PDPH sebanyak 5 orang pasien (8,8%)
muncul pada waktu 24-48 jam, dan tidak ditemukan pasien yang mengeluhkan
gejala PDPH pada waktu ≤24 jam. Berdasarkan distribusi prevalensi nyeri
kepala/PDPH berdasarkan Onset terjadinya atau insidensi PDPH pada tabel 4.9
menunjukkan onset atau insidensi terjadinya PDPH terbanyak terjadi pada waktu
≥48 jam yaitu sebanyak 10 orang pasien (66,7%) dan pada waktu 24-48 jam
sebanyak 5 orang pasien (33,3%) yang mengeluhkan adanya gejala PDPH.
Berdasarkan penelitian Turnbull dan Shepherd (2003) 90% nyeri kepala/PDPH
akan terjadi dalam 3 hari setelah anestesi spinal. Hampir sama dengan penelitian
47

Ghaleb (2010) yaitu 60% PDPH dimulai saat 48 jam pertama setelah anestesi
spinal. PDPH jarang timbul antara hari ke 5 dan 14 setelah dilakukan anestesi
spinal. Keadaan ini juga hampir mirip dengan penelitian Campbell (2010) yang
juga menyatakan bahwa hampir semua PDPH dialami saat 24-48 jam setelah
anestesi spinal dan 90% diantaranya dialami saat 3 hari pertama. Pada penelitian
ini semua sampel yang mengalami PDPH didapatkan pada waktu ≥48 jam (lebih
dari 2 hari) dan pada waktu 24-48 jam (1-2 hari) setelah dilakukan anestesi spinal,
hal ini sesuai dengan berbagai kepustakaan yang menyebutkan bahwa PDPH
sebagian besar muncul saat 24-48 jam dan ≥ 48 jam ( 1-2 hari dan 3 hari).1,51,52
48

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penlitian “ Prevalensi Nyeri Kepala Pasca Anestesi Spinal
(Post Dural Puncture Headache) pada operasi bedah elektif di RSUD Raden
Mattaher Jambi Tahun 2018” yang didapatkan dari 57 sampel maka diperoleh
hasil sebagai berikut :

1. Terdapat 26,3% pasien yang menjalani anestesi spinal dalam


penelitian ini mengalami PDPH.
2. Selain itu, kelompok usia yang paling sering mengalami PDPH
berkisar antara usia 26-45 tahun (dewasa) 80,0%
3. Sampel yang mengalami PDPH paling banyak terjadi pada jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 66,7%
4. Kebanyakan PDPH muncul dalam waktu ≥ 48 jam sebanyak 66,7%
setelah anestesi spinal.
5. Sampel yang mengalami PDPH paling banyak terjadi pada pasien yang
menggunakan jarum spinal Quincke nomor 26 G 66,7% dan nomor 25
G 33,3%
49

5.2 Saran
1. Tenaga medis (dokter anestesi dan perawat) sebaiknya melakukan follow-up
pasien minimal dalam 48 jam setelah menjalani anestesi spinal. Karena
sebagian besar pasien dalam penelitian ini mengalami PDPH pada hari
ketiga.
2. Untuk pasien yang menjalani anestesi spinal, diusahakan agar dalam 48 jam
pertama setelah prosedur, pasien dalam keadaan istirahat total untuk
mengurangi risiko terjadinya PDPH.
3. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menilai keterkaitan antara IMT
(indeks massa tubuh) ideal dengan angka kejadian PDPH dengan menilai
kelompok berat badan berapa yang paling berisiko mengalami PDPH.
4. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menilai keterkaitan antara jenis
jarum suntik dalam anestesi spinal dengan angka kejadian PDPH.
50

DAFTAR PUSTAKA

1. Ghaleb A. Postdural Puncture Headache. Hindawi Publishing Corporation


Anesthesiology Research and Practice. 2010;1-6. (Di akses 21 Maret 2018). Di
unduh dari: URL: http://www.hindawi.com/journals/arp/2010/102967/
2. Singh S, Chaudry SY, Phelps AL, Vallejo MC. A 5-year audit of accidental
dural punctures, postdural puncture headaches, and failed regional anesthetics
at a tertiary-care medical center.The Scientific World Journal 2009;715–22.
3. Syed S. Comparison of post-dural puncture headache-incidence and severity
in obstetric patients after spinal anesthesia for caesarean section with 25G and
27G quincke needle. Int J Res Med Sci. 2017;5(2);596-600.
4. Dubost C, Gouez A, Zetlaoui J, Benhamou D. Increase in optic nerve sheath
diameter induced by epidural blood patch: a preliminary report.British Journal
of Anaesthesia. 2011; 107(4): 627–30.
5. Winarno I, Sutiyono D. Jarum Spinal dan Pengaruh Yang Mungkin Terjadi.
Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2009;1:174-5.
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical anaesthesiology:
Obstetrics anaesthesia. 4th ed. USA: The McGrawHill Companies; 2007.
7. Tarkkila P. Complications Assosiated with Spinal Anesthesia. In: Finucane
AT, editor Complications of Regional Anesthesia. 2nd ed. UK: springer
Science; 2007. P. 149-62;177-80.
8. Christopher M. Epidural and Spinal Anaesthesia in Barash, Paul G.; Cullen,
Bruce F.; Stoelting, Robert K Clinical Anaesthesia. 5thed chapter 25.
Lippincotts William & Wilkins;2006.
9. Lomax S, Qureshi A. Unusually early onset of post-dural puncture headache
after spinalanaesthesia using a 27G Whittacre needle. British Journal of
Anaesthesia. 2008.p: 707–8.
10. Euliano TY. Gravenstein JS Essential anesthesia from science to practice 1 st
ed. New York. Cambridge, 2004. p. 5-6.
11. Irawan D, Tavianto D, Surahman E. Kejadian Post Dural Puncture Headache
dan Nilai Numeric Rating Scale Pada Pasien Pasca Seksio Sesarea Dengan
51

Anestesi Regional Spinal Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bandung:


FK Unpad, 2010.
12. Sepriyana. Gambaran Kejadian Postdural Puncture Headache (PDPH) Pada
Pasien Pasca Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal Menggunakan Jarum
Tipe Quincke 25G Di RSUD Arifin Achmad.Fakultas Kedokteran Universitas
Riau: 2011.
13. Ihsan. Gambaran Kejadian Postdural Puncture Headache (PDPH) Pada Pasien
Pasca Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal Menggunakan Jarum Tipe
Quincke 27G Di RSUD Arifin Achmad. Fakultas Kedokteran Universitas
Riau:2012.
14. Alfhiradina D. Kejadian Postdural Puncture Headache (PDPH) Pada Pasien
Yang Menjalani Operasi Ortopedi Ekstremitas Bawah Dengan Anestesi
Spinal Menggunakan Jarum Tipe Quincke 26G Di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau. Fakultas Kedokteran Universitas Riau: 2013.
15. Chohan U, Hamdani GA. Post Dural Puncture Headache : Review Article.
Jurnal Of Pakistan Medical Associaton. 2003: 53(8).
16. Frank RL. Lumbar Puncture and Post-Dural Puncture Headaches:
Implications for the Emergency Physician. J Emerg Med.2008;35(2):149-
57.(Di akses 21 Maret 2018). Di unduh dari: URL
:http://www.medscape.com/viewarticle/578254_print
17. Wu CL, Rowlingson AJ, Cohen SR, Michaels RK, Courpas GE, Joe EM, Liu
SS. Gender and post-dural puncture headache. Anesthesiology (105).2006: p.
613-618.
18. Latief SA, Suryadi K, Dahlan MR. Anestesiologi: petunjuk praktis: anestesi spinal. Edisi
ke-dua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.
19. Medscape Reference Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug 5
2013].(diakses 21 Maret 2018). Di unduh dari: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview
20. Kristanto S. Anestesia Regional; Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif. FKUI: CV. Infomedika.2004;123,125-8.
52

21. Bready LL, Dilman D, Noorily SH. Decision Making in Anesthesiology: an


Algorithmic Approach. India. Elsevier Publisher. 2007. 602-05.
22. Netter, Franks H. Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book],
Vertebral Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section;154A,
146.
23. NYSORA. New York School of Regional Anesthesia, Subarachnoidal Block
[Last Update Oct 4 2013] (di akses 21 maret 2018). Di unduh dari:
URL:http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-
perineuraxialtechniques/landmark-based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-
anesthesia.html
24. University of Pittsburgh Online Reference. Subarachnoid spinal block
anesthesia.[Last Update Jan 2013] (di akses 21 maret 2018). Di unduh dari:
URL:http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm.
25. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC; 2013 : 356.
26. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2001 : 111-12.
27. Gaiser R. Postdural puncture headache. Current Opinion in Anaesthesiology
(19).2006;p.249-253.
28. Nath G, Subrahmanyam M. Headache in the parturient: pathophysiology and
management of post-dural puncture headache. Journal of Obstetric
Anaesthesia and Critical Care (2).2011;p.57-66.
29. Deo GP. Post dural Puncture Headache, Journal of Chitwan Medical Collage
2013:3(3):5-10 (di akses 22 mei 2018). Di unduh dari: URL:
www.jcmc.cmc.edu.np
30. Tsui BCH, Finucane BT. Managing adverse outcomes during regional
anesthesia. In: Longnecker D.E, Brown D.L, Newman M.F, and Zapol W.M.
Anesthesiology. 1st ed. San Fransisco: McGraw-Hill Medical.2008;p. 1068.
31. Porhomayon J, Zadeii G, Yarahamadi A, Nader NDA. case of prolonged
delayed postdural puncture headache in a patient with multiple sclerosis
exacerbated by air travel. Hindawi Publishing Corporation.2013;p. 1-3.
32. Kyung-Hwa Kwak. Postdural puncture headache, Department of Anesthesiology
and Pain Medicine, School of Medicine, Kyungpook National University, Daegu,
53

Korea;2017pISSN 2005-6419 • eISSN 2005-7563, Korean Journal of


Anesthesiology.
33. Headache Classification Committee of the International Headache Society
(IHS) The International Classification of Headache Disorders,
3rded. Cephalalgia. 2018 Jan;38(1):102-03. (Diakses 01 april 2018). Diunduh
dari: URL : http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0333102417738202
34. Hadzic A. Textbook of regional anaesthesia and acute pain management:
spinal anaesthesia. USA: The McGrawlHill Companies: 2007.
35. Conventry DM. Local anesthesic techniques. In: Aitkenhead A.R, Smith G,
and Rowbotham D.J. Textbook of Anesthesia. 5th ed. Netherlands: Churchill
Livingstone Elsevier.2007; p. 328.
36. Nguyen DT, Walters RR. Standardizing Management of Post-Dural Puncture
Headache in Obstetric Patients : A Literature Review. Open Journal of
Anesthesiology. 2014 ; 4 : 244-53.
37. Ballantyne JC. Management of acute postoperative pain. In: Longnecker DE,
Brown DL, Newman MF, and Zapol WM. Anesthesiology. 1st ed. San
Fransisco: McGraw-Hill Medical.2008; p. 1729.
38. Shah A, Bhatia PK, Tulsiani KL. Post dural puncture headache in caesarean
section – a comparative study using 25 g quincke, 27 g quincke and 27 g
whitacre needle. Indian Journal of Anaesthesia (46).2002;p.373-377.
39. Kategori Umur berdasarkan Depkes RI Tahun 2016. (diakses 5 september
2018). Diunduh dari: URL :
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2016.pdf.
40. Kristiningrum E. Terapi Post-dural Puncture Headache. CDK-223. 2014;
41(12) : 907-10.
41. Fuzhou W. Post Dural Puncture Headache – We Can Prevent It, publishied by
INTECH, world’s largest science, technology & medicine open access book
publisher.2015
42. Hakim SM. Cosyntropin for prophylaxis against postdural puncture headache
after accidental dural puncture. Anesthesiology (113).2010;p. 413-420.
54

43. Safa-Tisseront V, Thormann F, Malassine P, Henry M, Riou B, Coriat P, et


al. Effectiveness of epidural blood patch in the management of post dural
puncture headache. American Society of Anesthesiologists (95).2001;p. 334-
339.
44. Conroy PH, Luyet C, McCartney CJ, McHardy PG. Real-time ultrasound-
guided spinal anaesthesia: a prospective observational study of a new
approach. Hindawi Publishing Corporation.2013;p. 1-7.
45. Dahlan MS. Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan.
Jakarta: Arkans; 2005; Hal.27.
46. Notoatmodjo Soekidjo. Metodologi penelitian kesehatan. Edisi III. Jakarta:
Rineka Cipta.2005;p.79-92.
47. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH.
Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (eds). Dasar-
dasar metodologi penelitian klinis. Edisi III. Jakarta: Sagung Seto.2008;p.78-
91.
48. Colin TS, Lin PT. Editors. Fundamental of anaesthesis: regional anaesthesia
and analgesia, UK: Cambridge University Press;2009.
49. Oberoi R, Kaul TK, Singh MR, Grewal A, Dhir R. Incidence of post dural
puncture headache: 25 gauge vs 25 gauge Whitacre needles. J Anaesth Clin
Pharmacol 2009;25(4):486-90.
50. Abraham, Shetty R, Ninan M. Late complication on spinal anaesthesia. J
Anaesth Clin Pharmacol 2010;26(1);39-44.
51. Turnbull DK, Shepherd D. Post-dural puncture headache: pathogenesis,
prevention and treatment. British Journal of Anaesthesia(5) 2003, 718-729.
52. Campbell NJ. Effective management of the post dural puncture headache.
World Federation of Societies of Anaesthesiologist,2010 pp. 1-7.

Anda mungkin juga menyukai