Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hernia nukleus pulposus (HNP) lumbalis sering terjadi, dengan angka
kejadian 2% dari populasi umum. Skiatika yang berasal HNP lumbal sering
menimbulkan nyeri radikular dari kaki pada populasi pekerja dewasa.
Pengaturan posisi pasien, posisi prone, selain untuk mendapatkan akses yang
optimal untuk ahli bedah, dapat mempengaruhi waktu pulih, morbiditas dan
mortalitas. Umumnya pasien geriatri lebih sensitif terhadap anestetika. Untuk
mendapatkan efek klinik yang diharapkan pada orang tua diperlukan obat-obatan
lebih sedikit, dan efeknya sering memanjang. Secara umum, operasi pada pasien
geriatri, harus didapatkan pemulihan yang cepat dan hindari penurunan fungsi
organ.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep Teori dari HNP ( Hernia Nukleus Pulposus )
2. Bagaimana Konsep Teori dari Laminektomi?
3. Apa itu Anestesi?
4. Bagaimana Penatalaksanaan Anestesi pada pasien dengan tindakan
Laminektomi atas indikasi HNP ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui bagaimana konsep teori dari HNP
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep teori dari Laminektomi
3. Untuk mengetahui apa itu anestesi
4. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan anestesi pada pasien dengan tindakan
Laminektomi atas indikasi HNP

1
1.4 Manfaat Penulisan
Agar mahasiswa mengetahui bagaimana pelaksanaan anestesi pada pasien
dengan tindakan laminektomi atas indikasi HNP,serta menerapkan tujuan dari
penulisan sebagai acuan dalam memberikan pelayanan.

2
BAB II
TINJAU TEORI

2.1 Hernia Nukleus Pulposus (HNP)

2.1.1 Pengertian HNP

Hernia Nukleus pulposus (HNP) atau potrusi Diskus Intervertebralis (PDI)


adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan pada diskus intervertebralis kedalam
kanalis vertebralis (protrusidiskus) atau ruptur pada diskusvebrata yang diakibatkan
oleh menonjolnya nukleus pulposus yang menekan anulus fibrosus yang menyebabkan
kompresi pada syaraf, terutama banyak terjadi di daerah lumbal dan servikal sehingga
menimbulkan adanya gangguan neurologi (nyeri punggung) yang didahului oleh
perubahan degeneratif pada proses penuaan.

2.1.2 Anatomi

Diskus intervertebralis menghubungkan korpus vertebra satu sama lain dari


servikal sampai lumbal/sacral. Diskus ini berfungsi sebagai penyangga beban dan
peredam kejut (shock absorber). Diskus intervertebralis terdiri dari dua bagian utama
yaitu:

1. Anulus fibrosus, terbagi menjadi 3 lapis :


a) Lapisan terluar terdiri dari lamella fibrokolagen yang berjalan menyilang
konsentris mengelilingi nucleus pulposus sehingga bentuknya seakan-akan
menyerupai gulungan per (coiledspring).
b) Lapisan dalam terdiri dari jaringan fibro kartilagenus
c) Daerah transisi.
Mulai daerah lumbal 1 ligamentum longitudinal posterior makin mengecil
sehingga pada ruang intervertebra L5-S1 tinggal separuh dari lebar semula
sehingga mengakibatkan mudah terjadinya kelainan didaerah ini.

3
2. Nucleus Pulposus
Nukleus Pulposus adalah suatu gel yang viskus terdiri dari proteoglycan
(hyaluronic long chain) mengandung kadar air yang tinggi (80%) dan
mempunyai sifat sangat higroskopis. Nucleus pulposus berfungsi sebagai
bantalan dan berperan menahan tekanan/beban. Kemampuan menahan air dari
nucleus pulposus berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia. Mulai
usia 20 tahun terjadi perubahan degenerasi yang ditandai dengan penurunan
vaskularisasi kedalam diskus disertai berkurangnya kadar air dalam nucleus
sehingga diskus mengkerut dan menjadi kurang elastic.

Sebagian besar HNP terjadi pada L4 - L5 dan L5 - S1 karena :

Daerah lumbal, khususnya daerah L5 - S1 mempunyai tugas yang berat, yaitu


menyangga berat badan. Diperkirakan 75% berat badan disangga oleh sendi L5 - S1.
Mobilitas daerah lumbal terutama untuk gerak fleksi dan ekstensi sangat tinggi.
Diperkirakan hampir 57% aktivitas fleksi dan ekstensi tubuh dilakukan pada sendi L5 -
S1. Daerah lumbal terutama L5 - S1 merupakan daerah rawan karena ligamentum
longitudinal posterior hanya separuh menutupi permukaan posterior diskus. Arah
herniasi yang paling sering adalah postero lateral.

2.1.3 Etiologi

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya HNP adalah sebagai berikut :

1. Riwayat trauma
2. Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat beban berat, duduk, mengemudi
dalam waktu lama.
3. Sering membungkuk.
4. Posisi tubuh saat berjalan.
5. Proses degeneratif ( usia 30 - 50 tahun ).
6. Struktur tulang belakang.

4
2.1.4 Epidemiologi

HNP sering terjadi pada daerah L4 - L5 dan L5 – S1 kemudian pada C5 - C6


dan paling jarang terjadi pada daerah torakal, sangat jarang terjadi pada anak-anak dan
remaja tapi kejadiannya meningkat dengan umur setelah 20 tahun. Dengan insidens
Hernia lumbosakral lebih dari 90% sedangkan hernia servikalis sekitar 5-10%.

2.1.5 Patofisiologi

Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan


degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam
diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang
menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setelah trauma (
jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat ) kartilago dapat
cedera.

Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan
gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan
maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah
medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong
terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus


menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam
bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat
herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula pada tingkat L2
dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis
tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior. Setelah terjadi hernia
nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora
vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.

5
2.1.6 Klasifikasi
1. Hernia Lumbosacralis
Penyebab terjadinya lumbal menonjol keluar, bisanya oleh kejadian luka posisi
fleksi, tapi perbandingan yang sesungguhnya pada pasien non trauma adalah
kejadian yang berulang. Bersin, gerakan tiba-tiba, biasa dapat menyebabkan
nucleus pulposus prolaps, mendorong ujungnya/jumbainya dan melemahkan
anulus posterior. Pada kasus berat penyakit sendi, nucleus menonjol keluar
sampai anulus dan melintang sebagai potongan bebas pada canalis vertebralis.
Lebih sering, fragmen dari nucleus pulposus menonjol sampai pada celah
anulus, biasanya pada satu sisi atau lainnya ( kadang - kadang ditengah ),
dimana mereka mengenai menimpa sebuah serabut atau beberapa serabut syaraf.
2. Hernia Servikalis
Keluhan utama nyeri radikuler pleksus servikobrakhialis. Penggerakan kolumma
vertebralis servikal menjadi terbatas, sedang kurvatural yang normal
menghilang. Otot-otot leher spastik, kaku kuduk, refleks biseps yang menurun
atau menghilang Hernia ini melibatkan sendi antara tulang belakang dari C5 dan
C6 dan diikuti C4 dan C5 atau C6 dan C7. Hernia ini menonjol keluar
posterolateral mengakibatkan tekanan pada pangkal syaraf. Hal ini
menghasilkan nyeri radikal yang mana selalu diawali gejala-gejala dan mengacu
pada kerusakan kulit.
3. Hernia Thorakalis
Hernia ini jarang terjadi dan selalu berada digaris tengah hernia. Gejala-
gejalannya terdiri dari nyeri radikal pada tingkat lesi yang parastesis. Hernia
dapat menyebabkan melemahnya anggota tubuh bagian bawah, membuat kejang
paraparese kadang-kadang serangannya mendadak dengan paraparese.
Penonjolan pada sendi intervertebral thorakal masih jarang terjadi (menurut love
dan schorm 0,5 % dari semua operasi menunjukkan penonjolan sendi). Pada
empat thorakal paling bawah atau tempat yang paling sering mengalami trauma
jatuh dengan posisi tumit atau bokong adalah faktor penyebab yang paling
utama.

6
2.1.7 Manifestasi Klinik

Ischialgia , Nyeri bersifat tajam, seperti terbakar, dan berdenyut sampai ke


bawah lutut. Ischialgia merupakan nyeri yang terasa sepanjang perjalanan nervus
ischiadicus sampai ke tungkai. Dapat timbul gejala kesemutan atau rasa baal. Pada
kasus berat dapat timbul kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon patella (KPR)
dan Achilles (APR).

Bila mengenai konus atau kauda ekuina dapat terjadi gangguan defekasi, miksi
dan fungsi seksual. Keadaan ini merupakan kegawatan neurologis yang memerlukan
tindakan pembedahan untuk mencegah kerusakan fungsi permanen. Nyeri bertambah
dengan batuk, bersin, mengangkat benda berat, membungkuk akibat bertambahnya
tekanan intratekal. Kebiasaan penderita perlu diamati, bila duduk maka lebih nyaman
duduk pada sisi yang sehat.

Menurut Deyo dan Rainville, untuk pasien dengan keluhan LBP dan nyeri yang
dijalarkan ke tungkai, pemeriksaan awal cukup meliputi:

 Tes laseque
 Tes kekuatan dorsofleksi pergelangan kaki dan ibu jari kaki. Kelemahan
menunjukkan gangguan akar saraf L4-5
 Tes refleks tendon achilles untuk menilai radiks saraf S1
 Tes sensorik kaki sisi medial (L4), dorsal (L5) dan lateral (S1)
 Tes laseque silang merupakan tanda yang spesifik untuk HNP.

Bila tes ini positif, berarti ada HNP, namun bila negatif tidak berarti tidak ada
HNP. Pemeriksaan yang singkat ini cukup untuk menjaring HNP L4-S1 yang mencakup
90% kejadian HNP. Namun pemeriksaan ini tidak cukup untuk menjaring HNP yang
jarang di L2-3 dan L3-4 yang secara klinis sulit didiagnosis hanya dengan pemeriksaan
fisik saja.

Gejala masing-masing tipe HNP berbeda-beda :

a. Henia Lumbosakralis

7
Gejala pertama biasanya low back pain yang mula-mula berlangsung dan periodik
kemudian menjadi konstan. Rasa nyeri di provokasi oleh posisi badan tertentu,
ketegangan, hawa dingin dan lembab, pinggang terfikasi sehingga kadang-kadang
terdapat skoliosis. Gejala patognomonik adalah nyeri lokal pada tekanan atau ketokan
yang terbatas antara 2 prosesus spinosus dan disertai nyeri menjalar kedalam bokong
dan tungkai. “Low back pain” ini disertai rasa nyeri yang menjalar ke daerah iskhias
sebelah tungkai (nyeri radikuler) dan secara refleks mengambil sikap tertentu untuk
mengatasi nyeri tersebut, sering dalam bentuk skilosis lumbal.

Syndrom sendi intervertebral lumbalis yang prolaps terdiri :

1. Kekakuan/ketegangan, kelainan bentuk tulang belakang.


2. Nyeri radiasi pada paha, betis dan kaki
3. Kombinasi paresthesiasi, lemah, dan kelemahan refleks

Nyeri radikuler dibuktikan dengan cara sebagai berikut :

1. Hiperekstensi pinggang kemudian punggung diputar kejurusan tungkai yang


sakit, pada tungkai ini timbul nyeri.
2. Tess Naffziger : Penekanan pada vena jugularis bilateral.
3. Tes Lasegue
4. Tes Valsava
5. Tes Patrick
6. Tes Kontra Patrick

Gejala-gejala radikuler lokasisasinya biasanya di bagian ventral tungkai atas dan bawah.
Refleks lutut sering rendah, kadang-kadang terjadi paresis dari muskulus ekstensor
kuadriseps dan muskulus ekstensor ibu jari.

b. Hernia servicalis

1. Parasthesi dan rasa sakit ditemukan di daerah extremitas (sevikobrachialis)

8
2. Atrofi di daerah biceps dan triceps
3. Refleks biceps yang menurun atau menghilang
4. Otot-otot leher spastik dan kakukuduk.

c. Hernia thorakalis

1. Nyeri radikal
2. Melemahnya anggota tubuh bagian bawah dapat menyebabkan kejang
paraparesis
3. Serangannya kadang-kadang mendadak dengan paraplegia.

2.1.8 Faktor Resiko

Faktor risiko yang tidak dapat dirubah :

1. Umur: makin bertambah umur risiko makin tinggi


2. Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak dari wanita
3. Riwayat cedera punggung atau HNP sebelumnya

Faktor risiko yang dapat dirubah :

1. Pekerjaan dan aktivitas: duduk yang terlalu lama, mengangkat atau menarik
barang-barang berta, sering membungkuk atau gerakan memutar pada
punggung, latihan fisik yang berat, paparan pada vibrasi yang konstan seperti
supir.
2. Olahraga yang tidak teratur, mulai latihan setelah lama tidak berlatih, latihan
yang berat dalam jangka waktu yang lama.
3. Merokok. Nikotin dan racun-racun lain dapat mengganggu kemampuan diskus
untuk menyerap nutrien yang diperlukan dari dalam darah.
4. Berat badan berlebihan, terutama beban ekstra di daerah perut dapat
menyebabkan strain pada punggung bawah.

9
2.1.9 Penatalaksanaan

a. Terapi Konservatif

Tujuan terapi konservatif adalah mengurangi iritasi saraf, memperbaiki kondisi


fisik pasien dan melindungi dan meningkatkan fungsi tulang punggung secara
keseluruhan. 90% pasien akan membaik dalam waktu 6 minggu, hanya sisanya yang
membutuhkan pembedahan.

Terapi konservatif untuk HNP meliputi:

1. Tirah baring

Tujuan tirah baring untuk mengurangi nyeri mekanik dan tekanan


intradiskal, lama yang dianjurkan adalah 2-4 hari. Tirah baring terlalu lama
akan menyebabkan otot melemah. Pasien dilatih secara bertahap untuk
kembali ke aktivitas biasa.

Posisi tirah baring yang dianjurkan adalah dengan menyandarkan punggung,


lutut dan punggung bawah pada posisi sedikit fleksi. Fleksi ringan dari
vertebra lumbosakral akan memisahkan permukaan sendi dan memisahkan
aproksimasi jaringan yang meradang.

2. Medikamentosa
Analgetik standar (parasetamol, kodein, dan dehidrokodein yang diberikan
tersendiri atau kombinasi).
NSAID : penghambat COX-2 (ibuprofen, naproxen, diklofenak) dan
penghambat COX-2 (nabumeton, etodolak, dan meloxicam).
Analgesic kuat : potensi sedang (meptazinol dan pentazosin), potensi kuat
(buprenorfin, dan tramadol), dan potensi sangat kuat (diamorfin dan morfin).
Kortikosteroid oral: pemakaian masih menjadi kontroversi namun dapat
dipertimbangkan pada kasus HNP berat untuk mengurangi inflamasi

3. Terapi fisik

10
b. Terapi Operatif

Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah
defisit neurologik.

Tindakan operatif pada HNP harus berdasarkan alasan yang kuat yaitu berupa:

1. Defisit neurologik memburuk.


2. Gangguan otonom (miksi, defekasi, seksual).
3. Paresis otot tungkai bawah.
4. Terapi Konservatif gagal

Terapinya dapat berupa :

1. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus


intervertebral
2. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada
kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis,
mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula
dan radiks
3. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra
4. Disektomi dengan peleburan : Graf tulang (Dari krista illaka atau bank tulang)
yang digunakan untuk menyatukan dengan prosessus spinosus vertebrata.
Tujuan peleburan spinal adalah untuk menstabilkan tulang belakang dan
mengurangi kekambuhan.

Berdasar lokasi herniasi penatalaksanaan dapat dibedakan menjadi :

a. Hernia Lumbosacralis
Pada fase akut, pasien tidur diatas kasur yang keras beralaskan papan
dibawahnya. Traksi dengan beban mulai 6 Kg kemudian berangsur-angsur
dinaikkan 10 Kg. pada hernia ini dapat diberikan analgetik salisilat
b. Hernia Servicalis

11
Untuk HNP sevicalis, dapat dilakukan traksi leher dengan kalung glisson, berat
beban mulai dari 2 Kg berangsur angsur dinaikkan sampai 5 Kg. tempat tidur
dibagian kepala harus ditinggikan supaya traksi lebih efektif.
Untuk HNP yang berat, dapat dilakukan terapi pembedahan pada daerah yang
rekuren. Injeksi enzim chympapim kedalam sendi harus selalu diperhatikan.

2.1.10 Komplikasi

1. Kelemahan dan atrofi otot


2. Trauma serabut syaraf dan jaringan lain
3. Kehilangan kontrol otot sphinter
4. Paralis / ketidakmampuan pergerakan
5. Perdarahan
6. Infeksi dan inflamasi pada tingkat pembedahan diskus spinal

2.2 Laminektomi
2.2.1 Definisi
Fraktur/patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulangdan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa(Brunner,2012)
Laminectomy merupakan prosedur bedah untuk membebaskan tekanan pada
tulang belakang atau akar saraf tulang belakang yangdisebabkan oleh stenosis tulang
belakang.
Stenosis tulang belakang adalah penyempitan kanal tulang belakang yang
menekan urat tulang belakangyang berisi saraf (Black, 2010)
Laminektomi adalah suatu tindakan pembedahan atau pengeluaran dan atau
pemotongan lamina tulang belakang dan biasanya dilakukan untuk memperbaiki luka
pada spinal(Carpenito, 2011).

12
Laminektomi adalah pengangkatan sebagian dari diskus lamina(Evelyn,
2007)Laminektomi adalah memperbaiki satu atau lebih vertebra,osteophytis dan Hernia
nodus pulposus (Price, 2008).

2.2.2 Tujuan
1. Memperbaiki tulang yang patah
2. Mengembalikan fungsi tulang yang fraktur
3. Memperbaiki penyempitan kanal tulang belakang yang menekanurat tulang
belakang
4. Mencegah progresifitas penyakit

2.2.3 Manifestasi
Menurut (Doengoes, 2009) secara klinis pasien mengeluh nyeri pinggang bawah
dan sangat hebat,mendadak sebelah gerakan fleksi dan adanya spasme otot para
vertebrata. Terdapat nyeri tekan yang jelas pada tingkat prolapsus diskus bila dipalpasi.
Terdapat nyeri pada daerah cedera, hilang mobilitas sebagian atau total atauhilang
sensasi di sebelah bawah dari tempat cedera dan adanya pembengkakan, memar
disekitar fraktur jauh lebih mendukung bila ada deformitas (gibbs) dapat berupa
angulasi (perlengkungan).

Berubahnya kesegarisan atau tonjolan abnormalitas dari prosesus spinalis dapat


menyarankan adanya lesi tersembunyi. Lesi radiks dapat ditandai dengan adanya deficit
sensorik dan motorik segmental dalam distribusi saraf tepi, perlu diperiksa keadaan
neurologist serta kemampuan miksi dan defekasi.

2.2.4 Indikasi Laminektomi

Laminektomi dilakukan untuk mengatasi stenosis spinal atau penyempitan


saluran tulang belakang. Stenosis spinal dapat diakibatkan oleh berbagai penyakit,
seperti:

13
 Penipisan bantalan dan pengapuran tulang akibat penuaan.
 Kelainan bentuk tulang belakang secara bawaan.
 Tumor pada tulang belakang.
 Cedera pada tulang belakang.
 Bantalan tulang belakang yang mengalami penonjolan atau herniasi atau kasus
HNP.
 Peradangan sendi tulang belakang (artritis).
 Penyakit Paget pada tulang belakang yang mengakibatkan tulang tumbuh tidak
normal.
 Achondroplasia, yaitu salah satu jenis penyakit akibat dwarfisme.

2.2.5 Komplikasi

1. Infeksi
2. Pendarahan
3. Gumpalan darah
4. Saraf Kerusakan,
yang mengarah ke sakit, mati rasa, kesemutan, ataukelumpuhan
5. Masalah, terkait dengan anestesi.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Rongen
2. Dada X-ray
3. Scan tulangatauCT scan.

2.2.7 Penatalaksanaan/Tindakan
1. Antisepsis
Antisepsis sehingga menghilangkan atau meminimalkan angka kuman. Hal ini
diperlukan untuk meghindarkan bahaya infeksi yangmuncul akibat kontaminasi

14
selama prosedur pembedahan (infeksinosokomial). Disamping sebagai cara
pencegahan terhadap infeksinosokomial, teknik-teknik tersebut juga digunakan
untukmemberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan terhadap bahayayang
didapatkan akibat prosedur tindakan. Bahaya yang dapatmuncul diantranya
penularan berbagai penyakit yang ditularkanmelalui cairan tubuh pasien (darah,
cairan peritoneum, dll) sepertiHIV/AIDS, Hepatitis dll.
2. Asepsis
Pasien yang akan menjalani pembedahan harus diasepsiskan. Maksudnya adalah
dengan melakukan berbagai macam proseduryang digunakan untuk membuat
medan operasi steril. Prosedur prosedur itu antara lain adalah kebersihan pasien,
desinfeksi lapangan operasi dan tindakan drapping (penutupan pasien dengan
menggunakan peralatan alat tenun (duk) steril dan hanya bagian yang akan di
insisi saja yang dibiarkan terbuka dengan memberikanzat desinfektan seperti
povide iodine 10% dan alkohol 70%)
3. Asepsis instrumen-Instrumen bedah yang digunakan.
Untuk pembedahan pasien harus benar benar berada dalam keadaan steril.
Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah perawatan dan sterilisasi,
mempertahankan kesterilan alat pada saat pembedahan dengan menggunakan
teknik tanpa singgung dan menjaga agar tidak bersinggungan dengan benda-
benda non steril.
4. Prosedur dengan pembiusan umum
a) Posisi pasien terlentang dengan meja sedikit fleksi.
b) Pasang kateter urin, isi buli-buli dengan air steril 300cc, lepaskan kateter
c) Pasien diposisikan prone dengan memasang donat bantal pada bagian muka,
dan bantal pengganjal pada bagian dada dan kemaluan.
d) Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptic
e) Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril
f) Lemak perivesika disisihkan ke proksimal, identifikasi buli-buli, pasang
retractor

15
g) Insisi mukosa yang mengelilingi penonjolan adenoma dengan
kauter, pisahkan mukosa dengan adenoma menggunakan gunting bengkok.
h) Tutup lapangan operasi lapis demi lapis.

2.2.7 Perawatan Pasca operasi


1. Menjaga kestabilan jalan nafas
2. Mengawasi keadaan umum pasien
3. Mengawasi tanda-tanda vital
4. Mengatur posisi sesuai kebutuhan kondisi pasien
5. Mengawasi intake dan output cairan
6. Menilai aldrette skor
7. Melaksanakan serah terima pasien dengan petugas ruangan
8. Bila ada kegawatan segera melapor dokter anestesi

2.3 Anestesi
Sejak pertama kali ditemukan oleh William Thomas Green Morton pada tahun
1846, anestesi terus berkembang pesat hingga sekarang.

Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis berarti
rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi
tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa
(without sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan semula.
(Sudisma et al., 2006)

Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (tidak
sadarkan diri = “mati ingatan’), analgesi (bebas nyeri = “mati rasa”), dan relaksasi otot
rangka (“mati gerak”) (Mangku dan Senapathi, 2010) Untuk mencapai ke tiga target
tersebut dapat digunakan hanya dengan mempergunakan satu jenis obat, misalnya eter
atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti
tersebut di atas, yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus sebagai analgesi, dan

16
khusus sebagai obat pelumpuh otot. Ketiga target anestesia tersebut populer disebut
dengan “Trias anestesi” (Mangku dan Senapathi, 2010)

Anestesi memiliki resiko yang jauh lebih besar dari prosedur tindakan
pembedahan karena nyawa pasien yang dianestesi dapat terancam. Untuk pemilihan
anestesi yang ideal dibutuhkan dalam menghasilkan sifat analgesi, sedasi, relaksasi,
Unconsciousness (hilang kesadaran), keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital,
ekonomis, dan mudah dalam aplikasi baik di lapangan ataupun di ruang operasi.
Namun, sampai saat ini anestesi yang memenuhi kriteria yang ideal belum ada (Fossum
1997). Utuk tindakan pembedahan jenis Anestesi yang biasa digunakan adalah Anestesi
umum dan Anestesi Regional

2.3.1 Anestesi Umum

Anestesi umum adalah subtansi yang dapat mendepres susunan saraf pusat
(SSP) secara reversibel sehingga kehilangan rasa sakit (sensibilitas) di seluruh tubuh,
reflek otot hilang, dan disertai dengan hilangya kesadaran. Anestesi ini terdiri atas 2
jenis yaitu, anestesi volatil (inhalasi) dan non-volatil (injeksi/parenteral). Tanda-tanda
anestesi umum telah bekerja adalah hilangnya kordinasi anggota gerak, hilannya respon
saraf perasa dan pendengaran, hilangnya tonus otot, terdepresnya medulla oblongata
sebagai pusat respirasi, dan vasomotor, dan bila terjadi overdosis akan mengalami
kematian. (Sudisma et al., 2006).

Menurut Sudisma, et al. (2006), agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi,
inhalasi, atau melalui gabungan injeksi dan inhalasi. Anestesi umum inhalasi yang
sering digunakan adalah halotan, isofluran, sevofluran, desfluran, dan nitrous oksida.
Anestesi umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (thiopental,
methohexical, dan pentobarbital), cycloheksamin (ketamin, tiletamin), etomidat, dan
profol.

1. Keuntungan Anestesi Umum


a) Mengurangi kesadaran dan ingatan intraoperatif pasien.
b) Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu yang lama.

17
c) Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
d) Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen anestesi lokal.
e) Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang.
f) Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak terduga.
g) Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversibel.

2. Kerugian Anestesi Umum

a) Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya terkait.


b) Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum operasi.
c) Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi aktif.
d) Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke fungsi mental
yang normal.
e) Terkait dengan malignant hyperthermia, kejadian langka, dimana kondisi otot
terhadap paparan beberapa agen anestesi umum dapat menghasilkan peningkatan
suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia.

2.3.2 Anestesi Regional

Regional anestesia sudah dikenal dari abad 19. Anestesi spinal lebih aman 16-17
kali dibandingkan anestesia umum. Anastesia spinal adalah anestesia yang paling sering
digunakan pada bedah sesar dan kasus Obstetrik lainnya karena efek samping yang
ditimbulkannya lebih minimal untuk Ibu dan Bayi. Teknik ini adalah teknik yang
sederhana yang dapat dipelajari dengan tingkat keberhasilan hingga 90%. Hipotensi dan
bradikardi merupakan kejadian yang sering terjadi.

Regional Anestesi di bedakan menjadi 3 teknik yaitu : spinal, epidural, dan


caudal yang kemudian dikenal dengan nama neuroaxial block. Masing-masing teknik
ini dilakukan dengan cara penyuntikan atau dengan kateter sehingga obat dapat

18
diberikan secara intermiten atau kontinus. Neuroaxial teknik sangatlah aman bila
dilakukan sesuai aturan dibandingkan dengan komplikasi yang didapat bila pasien
dilakukan general Anestesi. Sebelum kita melakukan neuroaxial hendaknya kita
mengetahui farmakologi obat yang digunakan, dosis toksik, teknik disinfeksi, dan
antisipasi akan hal yang terjadi sesudah dilakukan tindakan.

Anestesi Spinal adalah jenis anestesi yang paling sering dilakukan karena lebih
cepat, sederhana, murah, dan aman. Anestesi spinal adalah penyuntikan lokal anestesia
pada L3-L4 vertebra lumbalis dengan tujuan memasukkan lokal anestesia pada ruang
subarachnoid sehingga mendapatkan efek analgesia. Pada pasien yang dilakukan
anestesi spinal dapat terjadi efek pada sistem pembuluh darah, paru, pencernaan,
kandung kemih serta endokrin dan metabolik.

1. Indikasi Anestesi Spinal


Indikasi dilakukan anestesi spinal pada operasi–operasi ekstremitas bawah. Hampir
semua operasi yang melibatkan ekstremitas bawah dapat dilakukan seperti operasi
hernia, ginekologi, urologi, dan operasi daerah perineum dan genitalia.
2. Kontra Indikasi Anestesi Spinal
Tidak semua pasien dapat dilakukan anestesi spinal. Ada beberapa pasien yang tidak
dapat dilakukan anestesi spinal seperti :
a) Alat dan sarana yang tidak lengkap
Tidak diperbolehkan melakukan anestesi spinal bila sarana dan prasarana tidak
lengkap, seperti tidak ada alat intubasi, ETT, dan obat resusitasi.
b) Pasien dengan gangguan hemostasis.
c) Pasien denga trombosit yang rendah atau pasien yang mendapat terapi
antikoagulan seperti warfarin, heparin beresiko untuk terjadi perdarahan.
d) Pasien dengan hipovelemia
e) Pasien dengan perdarahan, dehidrasi karena muntah-muntah, dan diare.
Pasien harus dilakukan resusitasi sebelum dilakukan anestesi spinal. Bila tidak
dapat terjadi hipotensi yang hebat yang dapat berakibat vatal bagi pasien.
f) Penolakan pasien.

19
g) Pasien dibawah umur yang tidak kooperatif

3. Keuntungan Anestesi Spinal


a) Harga relatif murah dibandingkan denga General Anestesia atau pun Epidural
Anestesia
b) Kepuasan pasien terpenuhi karena pasien dapat langsung melakukan aktivitas
setelah beberapa jam.
c) Pada pasien denga gangguan paru anestesi spinal tidak menimbulkan efek yang
bermakna kecuali terjadi high blok.
d) Jalan nafas pasien tidak menjadi konser utama karena pasien dapat bernafas
sendiri, sehingga masalah obstruksi dan aspirasi dapat di kesampingkan.
e) Efek dari visceral tone dimana setelah selesai operasi fungsi pencernaan akan
kembali normal setelah efek obat habis.
f) Emboli dan thrombosis jarang terjadi pada anestesi spinal.
g) Teknik yang digunakan simple.
h) Cepat dalam melakukan induksi.

4. Kerugian Anestesi Spinal


a) Dalam penggunaan anestesi spinal ruang durameter susah dicari. Seorang
anestesia haruslah memiliki teknik yang benar dalam melakukan tindakan
anestesia. Bila anestesi spinal tidak dapat dilakukan maka teknik lain akan
digunakan,hal ini dapat merugikan pasien dan dokter anestesia sendiri.
b) Hipotensi yang timbul akibat anestesi spinal. Seorang anestesia haruslah bisa
menanggulangi akibat hipotensi yang terjadi dengan melakukan rehidrasi
terlebih dahulu dan monitoring ketat. Mual muntah akibat hipotensi yang
terganggu.
c) Terkadang ada beberapa pasien yang tidak cocok untuk dilakukan anestesia
dikaranakan ketakutan atau kecemasan pada pasien bila dia tetap sadar sewaktu
dilakukan operasi. Hal ini meharuskan kita memberi penenang dimana setelah
pemberiannya kita harus menjaga jalan nafas pasien.

20
d) Infeksi yang dapat mungkin terjadi akibat melakukan anestesi spinal. Seperti
meningitis. Hal ini dikarena masalah sterilitas alat dan teknik melakukan
anestesi spinal.

21
BAB III

PERTIMBANGAN ANESTESI

Pada pasien usia lanjut selama anestesi umum penting untuk dipertahankan
dalam keadaan normotermia dengan tujuan menghindari iskemik miokard dan
hipoksemia pada periode postoperasi awal, serta pemberian obat-obatan harus dilakukan
secara titrasi.

Mengatur posisi pasien dengan tepat merupakan hal yang penting dalam
pembedahan tulang belakang. Beberapa komplikasi yang merupakan akibat dari posisi
yang tidak tepat yaitu: emboli udara, paralise saraf perifer, kebutaan, tetraplegi,
sindroma kompartemen, nekrosis karena tekanan pada kulit, perdarahan yang banyak
dan trombosis vena.

3.1 Pengelolaan Anestesi

Setelah pasien masuk ke kamar operasi lalu dipasang monitor standar yaitu
tekanan darah non-invasif kontinyu, saturasi oksigen, EKG. Pasien diposisikan
terlentang dengan kepala slight head up, lalu dilakukan oksigenasi 7 L/menit melalui
sungkup muka selama 3 menit.

Kemudian di induksi dengan fentanyl 50 mcg, propofol 100 mg, intubasi dengan
pipa endotrakhea no.7 difasilitasi vekuronium 5 mg. Pemeliharaan anestesi oksigen:n2o
= 3L/menit: 3L/menit, sevofluran 1–2 volume%. Fentanyl diberikan secara berkala.
Ventilator diatur dengan tidal volume 500 ml, pernafasan 10x/menit, I : E = 1 : 2. Lalu
dilakukan pemasangan kateter urine no 14 dan plester mata untuk mencegah mata
kering karena terbuka selama operasi.

Perubahan posisi dilakukan secara bertahap yaitu pasien dimiringkan kanan atas
perlahan (90o) dipertahankan sesaat sambil dilakukan pengukuran tekanan darah dan
bila hemodinamik stabil/tidak mengalami hipotensi, maka dilanjukan ke posisi

22
telungkup di atas meja yang telah disiapkan untuk posisi tersebut. Wajah diganjal
dengan “donat” dengan memperhatikan mata jangan sampai tertekan, dan posisi pipa
endotrakhea jangan sampai terjepit dan terlipat. Ganjal diletakan dibawah dada dan
panggul sedemikian rupa agar gerakan nafas abdomen bebas. Kateter urin juga harus
diperhatikan dan diposisikan jangan sampai terlipat dan mudah dijangkau untuk
diobservasi. Kaki diposisikan sedikit fleksi dengan memberi ganjalan disekitar
pergelangan kaki. Kedua tangan di posisikan disamping badan dengan memberikan
ganjalan disekitar lengan bawah.
Rumatan anestesi dilakukan dengan isofluran 1-1,5 vol%, oksigen/udara ruang:
1 Liter/1 Liter, vecuronium 2 mg/jam diberikan dengan menggunakan syring pump
dengan ventilasi kendali mode Volume Controle (VC) dengan Tidal Volume (TV) 450
mL, frekuensi napas 14 kali/ menit T.Inspirasi 11,7 Minute Volume tercapai 6-6,5
L/menit.
Setelah dilakukan tindakan desinfeksi kulit dan sebelum dilakukan insisi kulit
ditambahkan fentanyl 1 mcg/kgBB. Untuk mengurangi perdarahan diberikan asam
traneksamat 500 mg intravena dan untuk analgetik selama tindakan ditambah tramadol
100 mg intravena.
Status hemodinamik selama prosedur berlangung cukup stabil, dengan
perdarahan sekitar 500 cc, total diuresis selama operasi 400 cc. Pemasukan cairan
selama operasi adalah NaCl 0,9% 1000 cc, RL 500 cc dan koloid 500 cc dengan total
pemasukan 2000 cc. Tiga puluh menit sebelum operasi selesai diberikan ondansetron
8mg intravena dan, pemberian pelumpuh otot dihentikan.
Setelah selesai operasi posisi pasien dikemballikan dari telungkup ke terlentang
secara bertahap, yaitu meja operasi diposisikan sedikit lebih tinggi dari tempat tidur
pasien, lalu meja operasi dimiringkan kekanan sekitar 15-30o pasien ditahan kemudian
dimiringkan kanan atas perlahan (90o) ditunggu sebentar lalu diukur tekanan darah dan
bila hemodinamik stabil/tidak hipotensi dilanjukan untuk posisi terlentang.
Setelah pengisapan lendir dari rongga mulut dan saluran nafas bersih, plester
mata dilepas, diberikan reversal obat pelumpuh otot dengan neostigmin dan sulfas
atropin. Ekstubasi dilakukan dikamar bedah setelah nafas adekuat.

23
Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan untuk di observasi, selama lebih kurang
2 jam kesadaran komposmentis, hemodinamik stabil dan respirasi baik dan setelah
tercapai modified Aldrete score 10, pasien dipindahkan ke ruang rawat.

3.2 Perubahan pada Usia Lanjut

Kardiovaskular

Curah jantung pada umumnya berhubungan dengan kebutuhan metabolisme,


pada usia lanjut curah jantung menurun (tetapi normal). Respon jantung terhadap
stimuli adrenergik menurun, oleh karena itu dengan bertambahnya umur denyut jantung
maksimal dan curah jantung menurun. Jantung menjadi lebih tebal sehingga
mengganggu pengisian diastolik, selanjutnya mempengaruhi curah jantung dan
ketergantungan terhadap sinus ritme meningkat. Pasien geriatrik ketergantungan
terhadap preload tinggi, dengan sedikit penurunan preload (perdarahan, penurunan
masukan peroral) mempunyai pengaruh yang besar pada curah jantung. Perubahan
fisiologi normal pada sistem vaskular berupa aterosklerosis (menyebabkan arteri
mengeras, komplian vaskular menurun dan terutama nadi melebar), ketebalan dinding
arteri meningkat dan penurunan β2 mediated vasodilatation. Tekanan vaskular
meningkat, akhirnya menyebabkan kenaikan tahanan dinding miokard dan konsumsi
oksigen.

3.3 Perubahan fisiologik pada posisi prone

Penurunan indek kardiak Waktu pasien diputar menjadi posisi prone, hampir
semua pasien ditemukan adanya penurunan indek kardiak. Pada pasien dengan penyakit
jantung paru, selama pembedahan dengan posisi prone, jelas ditemukan adanya
penurunan indek kardiak, 24% merupakan refleksi penurunan isi sekuncup dengan
sedikit perubahan laju jantung. Pada sebagian besar pasien tekanan arteri rerata
dipelihara dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan resistensi vaskular
paru.

24
Penurunan indek kardiak dapat disebabkan karena kenaikan tekanan intratorakal,
sehingga terjadi penurunan pengisian arteri, akan merangsang refleks baroreseptor
sehingga aktifitas simpatis meningkat. Berdasarkan teori ini maka pada posisi prone
terjadi penurunan isi sekuncup disertai kenaikan aktifitas simpatis (laju jantung
meningkat, tahanan total pembuluh darah meningkat, noradrenalin plasma meningkat).
Pada waktu mengatur posisi dari supine ke prone dapat terjadi penurunan tekanan darah
yang sangat sulit untuk dicegah, dan pada saat itu dapat kehilangan pemantau pasien
secara total. Perlu diperhatikan juga posisi leher, lengan, dan mata untuk proteksi
terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.

Beberapa perubahan fisiologik yang terjadi pada posisi prone dapat


diminimalkan dengan persatuan posisi yang tepat, terutama hindari tekanan pada
abdomen. Akibat dari tekanan intraabdomen yang meningkat adalah kompresi pada v.
cava inferior, penurunan aliran balik vena dan selanjutnya curah jantung menurun.
Masalah paru yang disebabkan oleh kenaikan tekanan transdiafragma akan menurunkan
komplian torak. Posisi prone akan meningkatkan functional residual capacity (FRC),
perubahan pada pergerakan diafragma dan memperbaiki ventilationperfusion matching
yang dapat memperbaiki oksigenasi secara signifikan. Teknik ini telah digunakan pada
pengobatan hipoksemia yang sukar disembuhkan dan awal dari acut respiratory distress
syndrome, 70–80% pasien terjadi perbaikan oksigenasi.

Meskipun demikian posisi prone paling sering dihubungkan dengan cedera, hal
ini dapat dihindari dengan trampilnya personil kamar operasi untuk memfasilitasi
pengaturan posisi pada waktu awal dan akhir tindakan. Hati-hati dalam mengatur kepala
dan leher untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada mata dan hidung. Ekstremitas
superior kiri dan kanan diatur dengan sedikit fleksi anterior, abduksi dan rotasi eksternal

Hal-hal yang harus di perhatikan pada saat memposisikan pasien

1. Jalan nafas sebaiknya di amankan sebelum merubah posisi menjadi prone.


Resiko yang harus di hadapi ketika posisi pasien di ubah dari posisi supine
ke prone adalah terjadinya ekstubasi yang tidak di inginkan.

25
2. Kabel monitor sebaiknya di tempatkan sedemikian rupa sehingga tidak
tersangkut. Diskoneksi merupakan cara yang paling aman dan menghindari
komplikasi.
3. Sebuah bantal atau penyangga yang lembut dapat di letakkan di area dada
dan kemaluan, dan letakkan bantal yang bulat seperti donat di area wajah
untuk menghindari nyeri akibat kompresi intra operasi.

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan materi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan
anestesi pada pasien dengan tindakan Laminektomi atas indikasi HNP pada pasien
usia lanjut selama anestesi umum penting untuk dipertahankan dalam keadaan
normotermia dengan tujuan menghindari iskemik miokard dan hipoksemia pada
periode postoperasi awal, serta pemberian obat-obatan harus dilakukan secara titrasi.

Mengatur posisi pasien dengan tepat merupakan hal yang penting dalam
pembedahan tulang belakang. Beberapa komplikasi yang merupakan akibat dari
posisi yang tidak tepat yaitu: emboli udara, paralise saraf perifer, kebutaan,
tetraplegi, sindroma kompartemen, nekrosis karena tekanan pada kulit, perdarahan
yang banyak dan trombosis vena. Posisi prone akan meningkatkan functional
residual capacity (FRC), perubahan pada pergerakan diafragma dan memperbaiki
ventilationperfusion matching yang dapat memperbaiki oksigenasi secara signifikan.
Teknik ini telah digunakan pada pengobatan hipoksemia yang sukar disembuhkan
dan awal dari acut respiratory distress syndrome, 70–80% pasien terjadi perbaikan
oksigenasi.

Hal-hal yang harus di perhatikan pada saat memposisikan pasien

1. Jalan nafas sebaiknya di amankan sebelum merubah posisi menjadi prone.


Resiko yang harus di hadapi ketika posisi pasien di ubah dari posisi supine
ke prone adalah terjadinya ekstubasi yang tidak di inginkan.
2. Kabel monitor sebaiknya di tempatkan sedemikian rupa sehingga tidak
tersangkut. Diskoneksi merupakan cara yang paling aman dan menghindari
komplikasi.

27
3. Sebuah bantal atau penyangga yang lembut dapat di letakkan di area dada
dan kemaluan, dan letakkan bantal yang bulat seperti donat di area wajah
untuk menghindari nyeri akibat kompresi intra operasi.

4.2 Saran

Penggunaan obat anestesi pada pasien usia lanjut banyak hal yang harus
diperhatikan terutama teknik anestesi umum, sangat penting untuk titrasi dosis obat
dan lebih bijaksana untuk menggunakan obat – obatan kerja pendek. Ini dikarenakan
penurunan sistem fisiologis pada pasien usia lanjut.

28
DAFTAR PUSTAKA

http://ferryfawziannor.blogspot.com/2011/07/hernia-nukleus-pulposus-hnp.html

http://www.inasnacc.org/images/Artikel/vol2no22013juni/5BettyLapKasus.pdf

http://fitrah-fahmi.blogspot.com/2011/12/definisi-hernia-nukleus-pulposus-
hnp.html

http://ivan-atjeh.blogspot.com/2011/12/anestesi-dan-posisi-pasien.html

http://www.inasnacc.org/images/vol1no2April2012/5.DwiSatriyanto.pdf

C:\Users\ASUS\Desktop\Downloads\laminektomiHNP.pdf

29

Anda mungkin juga menyukai