Pembimbing:
dr. Fredrico Patria, SpOG (K)
Oleh:
Ibrahim Rizal Latuconsina
1102013129
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 18 DESEMBER 2019 – 28 MARET 2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan angka kematian ibu dan perinatal tertinggi.
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh WHO, diketahui di Indonesia kasus kematian ibu
sebanyak 240 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008.1 Menurut SDKI (2009), diketahui
bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berada pada peringkat ke 12 dari 18 negara
anggota ASEAN dan SEARO (South East Asian Nation Regional Organization). Menurut
WHO (2005),3 penyebab kematian maternal termasuk pendarahan, infeksi, preeklampsia,
persalinan macet, dan aborsi tidak aman. Penyebab utama kematian ibu di Indonesia dikenal
dengan trias klasik yakni pendarahan, preeklampsia/eklampsia, dan infeksi.
Dinegara maju, 16% kematian ibu disebabkan oleh penyakit hipertensi. Meskipun telah
dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi yang dapat
menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan.
Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang
terjadi pada kehamilan.
Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering
terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi
seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab
lainnya
2
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan sistolik ≥ 140/90 mmHg. Pengukuran
tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.1
Hipertensi didefinisikan bila keadaan sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg atau
tekanan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg dengan patokan korotkoff V untuk menilai
tekanan diastol. 2
II. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia berdasarkan Report of the National High Blood Pressure
Education Program Working Group on High Blood Presuure in Pregnancy tahun 2001 ialah
:1
1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu
atau hipertensi yang pertama kali terdiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan
menetap sampai 12 minggu pascapersainan.
2. Preeklamsia-eklamsia
a. Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah usia kehamilan 20 minggu
disertai dengan proteinuria.
b. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau
koma.
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi kronik disertai
tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
4. Hipertensi gestasional (transient hypertension) adalah hipertensi yang timbul pada
kehamilan tanpa disertai dengan proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi tanpa
proteinuria.
3
III. Faktor Resiko
Terdapat banyak faktor resiko untuk dapat terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokan dalam faktor resiko sebagai berikut:
1. Primigravida, primipaternitas.
Dari kejadian delapan puluh persen semua kasus hipertensi pada kehamilan, 3 – 8 persen
pasien terutama pada primigravida, pada kehamilan trimester kedua. Catatan statistik
menunjukkan dari seluruh incidence dunia, dari 5%-8% pre-eklampsia dari semua
kehamilan, terdapat 12% lebih dikarenakan oleh primigravidae. Faktor yang
mempengaruhi pre-eklampsia frekuensi primigravida lebih tinggi bila dibandingkan
dengan multigravida, terutama primigravida muda. Persalinan yang berulang-ulang
akan mempunyai banyak risiko terhadap kehamilan, telah terbukti bahwa persalinan
kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling aman. Pada The New England Journal
of Medicine tercatat bahwa pada kehamilan pertama risiko terjadi preeklampsia 3,9% ,
kehamilan kedua 1,7% , dan kehamilan ketiga 1,8%.
2. Hiperplasentosis.
Penempelan plasenta yang lebih luas intrauterine, biasa terjadi pada, mola hidatidosa,
kehamilan multiple, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
3. Umur yang ekstrim.
Faktor usia berpengaruh terhadap terjadinya preeklampsia. Usia wanita remaja pada
kehamilan pertama atau nulipara umur belasan tahun (usia muda kurang dari 20 thn).
Studi di RS Neutra, di Colombia Porapakkha, di Bangkok, Efiong. di lagos dan
wadhawan dan lainnya, di Zambia, cenderung terlihat insiden preeklampsia cukup tinggi
di usia belasan tahun, yang menjadi masalah adalah mereka tidak mau melakukan
pemeriksaan antenatal. Hubungan peningkatan usia terhadap preeklampsia adalah sama
dan meningkat lagi pada wanita hamil yang berusia diatas 35 tahun. Usia 20 – 30 tahun
adalah periode paling aman untuk melahirkan, akan tetapi di negara berkembang sekitar
10% sampai 20% bayi dilakirkan dari ibu remaja yang sedikit lebih besar dari anak-
anak. Padahal dari suatu penelitian ditemukan bahwa dua tahun setelah mestruasi yang
pertama, seorang anak wanita masih mungkin mencapai pertumbuhan panggul antara 2
– 7% dan tinggi badan 1%.
4
Hipertensi karena kehamilan paling sering mengenai wanita nulipara. Wanita yang lebih
tua, yang dengan bertambahnya usia akan menunjukkan peningkatan insiden hipertensi
kronis, menghadapi risiko yang lebih besar untuk menderita hipertensi karena kehamilan
atau superimposed pre-eclampsia. Jadi wanita yang berada pada awal atau akhir usia
reproduksi, dahulu dianggap rentan. Misalnya, Duenhoelter dkk. (1975) mengamati
bahwa setiap remaja nuligravida yang masih sangat muda, mempunyai risiko yang lebih
besar untuk mengalami preeklampsia. Spellacy dkk. (1986) melaporkan bahwa pada
wanita diatas usia 40 tahun, insiden hipertensi kerena kehamilan meningkat tiga kali
lipat ( 9,6 lawan 2,7% ) dibandingkan dengan wanita kontrol yang berusia 20-30 tahun.
Hansen (1986) meninjau beberapa penelitian dan melaporkan peningkatan insiden
preeklampsia sebesar 2-3 kali lipat pada nulipara yang berusia di atas 40 tahun bila
dibandingkan dengan yang berusia 25 – 29 tahun.
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsi/eklampsi.
Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa
terdapat 83 (50,9%) kasus preeklapmsia mempunyai riwayat preeklapmsia, sedangkan
pada kelompok kontrol terdapat 12 (7,3%) mempunyia riwayat preeklampsia berat
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil.
Salah satu faktor predisposing terjadinya pre-eklampsia atau eklampsia adalah adanya
riwayat hipertensi kronis, atau penyakit vaskuler hipertensi sebelumnya, atau hipertensi
esensial. Sebagian besar kehamilan dengan hipertensi esensial berlangsung normal
sampai cukup bulan. Pada kira-kira sepertiga diantara para wanita penderita tekanan
darahnya tinggi setelah kehamilan 30 minggu tanpa disertai gejala lain. Kira-kira 20%
menunjukkan kenaikan yang lebih mencolok dan dapat disertai satu gejala preeklampsia
atau lebih, seperti edema, proteinuria, nyeri kepala, nyeri epigastrium, muntah,
gangguan visus ( Supperimposed preeklampsia ), bahkan dapat timbul eklampsia dan
perdarahan otak.
6. Obesitas.
Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga menyebabkan
kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam badan sekitar
15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula jumlah darah
yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula fungsi pemompaan jantung.
Sehingga dapat menyumbangkan terjadinya preeklampsia.
5
IV. Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Banyak
teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang memuaskan
tentang penyebabnya sehingga disebut sebagai “penyakit teori”
Ada beberapa teori yang diyakini dapat menyebabkan terjadinya preeklampsia, yaitu :
Pada hamil normal, terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi
trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi
gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan
resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran
darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin dengan baik.1,2
6
Gambar 2.1 Perbandingan invasi trofoblas normal dan preeklampsia
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.
Pada kehamilan normal, plasenta juga melepaskan debris trofoblas sebagai sisa-sisa
proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai
bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal,
jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam
tahap normal.
Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stres
oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin
7
banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi
stres oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin
meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh
lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan
mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag atau granulosit yang lebih besar pula sehingga
terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.
8
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.
Keadaan ini disebut ‘disfungsi endotel’. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:
Gangguan metabolisme prostaglandin (karena salah satu fungsi sel endotel adalah
memproduksi prostaglandin) yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2);
suatu vasodilator kuat
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi ini untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboxan (TXA2) suatu
vasokonstriktor kuat
Perubahan khas pada sel endotel kapiler gomerulus
Peningkatan permeabilitas kapilar
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat
Peningkatan faktor koagulasi.
4. Faktor imunologi
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang
bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang
berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi.
Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer
(NK) ibu.
Selain itu adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas kedalam
9
jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel Natural killer. Pada plasenta hipertensi
dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah
plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar
jaringan desidua menjadi lunak sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-
G juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.
5. Faktor nutrisi
Penelitian John dkk (2002) menunjukkan bahwa pada populasi dengan diet tinggi buah-
buahan dan sayuran yang memiliki aktivitas antioksidan dikaitkan dengan penurunan tekanan
darah. Selain itu Zhang dan rekan (2002) melaporkan bahwa kejadian preeklampsia dua kali
lipat pada wanita yang sehari-hari asupan asam askorbatnya kurang dari 85 mg. Villar dan
rekan (2006) menunjukkan bahwa suplementasi kalsium pada populasi dengan asupan kalsium
yang rendah memiliki efek yang kecil untuk menurunkan angka kematian perinatal, namun
tidak berpengaruh pada kejadian preeklampsia. Namun dalam beberapa percobaan lain,
suplementasi dengan antioksidan vitamin C dan E tidak menunjukkan efek yang
menguntungkan untuk mencegah preeklampsia.
6. Faktor genetik
Preeklampsia adalah suatu gangguan multifaktorial poligenik. Dalam penelitian Ward
dan Lindheimer (2009) menyebutkan risiko insiden untuk preeklampsia 20 sampai 40 persen
untuk anak perempuan dari ibu dengan preeklampsia, 11 sampai 37 persen untuk saudara
perempuan preeklampsia, dan menjadi 22 sampai 47 persen ketika kembar.
V. Patofisiologi
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari cabang – cabang
arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang
akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri
basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan
otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi
dan vasodilatasi arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya
aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin
10
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada pre
eklamsia terjadi kegagalan remodelling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan keras
sehingga arteri spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi, sehingga aliran darah utero
plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
11
2. Teori intoleransi imunologik ibu dan janin
Pada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat
asing.Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) yang dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga akan
mempermudah invasis sel trofoblas kedalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta ibu yang
mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi penurunan HLA-G yang akan mengakibatkan
terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Kemungkinan terjadi Immune-
Maladaptation pada pre eklamsia.
4. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih menentukan
terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotype
janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami pre eklamsia, 26% anak perempuannya akan
mengalami pre eklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami pre eklamsia.
12
Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan
rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan proses apoptosis pada pre
eklamsia, dimana pada pre eklamsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi
debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon
inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan mengaktifasi sel endotel dan sel
makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi inflamasi menimbulkan
gejala – gejala pre eklamsia pada ibu.
VI. Diagnosis
13
Nyeri kepala yang presisten atau ganggua serebral atau visual lainnya.
Nyri epigastrik yang presisten.
Eklamsia
Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan dengan
preeklamsia
Hipertensi superimposed preeklamsi
Proteinuria baru ≥ 300mg/24 jam pada perempuan hipertensi, tetapi tidak ditemukan
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit <
100.000 µL.
Hipertensi kronis
TD ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosis kehamilan 20 minggu,
tidak disebabkan penyakin trofoblastik gestasional.
Hipertensi pertama didiagnosis setelah kehamilan 20 minggu dan menetap selama 12
minggu pascapersalinan.
1. Preeklamsia
Preeklamsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan
postpartum. Preeklamsi dibagi menjadi dua yaitu preeklamsia ringan dan preeklamsia berat.
1.1Preeklamsia Ringan
Definisi :
Preeklamsia ringan adalah suatu sindrom spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ
yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah akibat aktivasi endotel.
Diagnosis :
Hipertensi : sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg.
Proteinuria ≥ 300mg/24 jam atau ≥1+ dipsrik.
Edema lokal tidak dimasukan dalam kriteria preeklamsia kecuali edema pada lengan,
muka dan perut, dan edema generalisata.
14
Tatalaksana :
Tujuan perawatan preeklamsia untuk mencegah kejang, perdarahan intrakranial,
mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat :
Rawat jalan ( ambulatoir )
- Banyak istirahat ( berbaring/tidur miring), tetapi tidak mutlak untuk tirah
baring. Pada usia kehamilan diatas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring
menghilangkan tekanan rahim pada vena kafa inferior, sehingga meningkatkan
aliran darah balik dan akan menmbah curah jantung sehingga meningkatkan
aliran darah keorgan-organ vital
- Berikan diet cukup protein, rendah karbonhidrat, lemak, garam secukupnya dan
roboransia pranatal.
- Tidak diberikan obat-obatan baik diuretik, antihipertensi, dan sedatif.
Rawat inap ( rawat di Rumah sakit )
Indikasi rawat inap:
- Hipertensi dan proteinuria menetap selama > 2 minggu
- Adanya gejala atau tanda satu atau lebih preeklamsia berat
- Pemeriksaan kesejahteraan janin : USG dan Doppler.
- Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian
mata, jantung, dll
Perawatan obstetrik
- Preterm (< 37 minggu) : jika tekanan darah mencapai nnormotensif, persalinan
ditunggu sampai aterm
- Aterm (> 37 minggu) : persalinan ditunggu sampai onset persalinan atau
dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal
persalinan.
15
1.2 Preeklamsia berat
Definisi :
Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan diastolik ≥ 110 disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam.
Diagnosis
Digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut :
- TD ≥ 160/110 mmHg
- Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif
- Oliguria
- Kenaikan kadar kreatinin plasma
- Gangguan visus dan serebral
- Nyeri epigastrium
- Edema paru-paru dan sianosis
- Hemolisis mikroangiopatik
- Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3
- Gangguan fungsi hepar
- Pertumbuhan janin intrauterine terhambat
- Sindrom HELLP
Tatalaksana
16
Penanganan umum berupa :
1. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan diastolik 90
mmHg
2. Pasang infus Ringer Laktat
3. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload cairan
4. Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria
5. Infus cairan dipertahankan 1,5 – 2 L/jam
6. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian
ibu dan janin.
7. Observasi tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam
8. Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Krepitasi merupakan tanda edema paru.
Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan dan berikan diuretik misalnya furosemide
40 mg intravena.
9. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7
menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan,
dibagi menjadi 2 unsur, yaitu sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat obatan atau
terapi medisinalis, dan sikap terhadap kehamilannya.
17
Berikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
terjadi kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat
asam. Diit yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.2
Pemberian obat anti kejang, misalnya MgSO4 atau obat anti kejang yang lain
(diazepam, fenition). Pemberian magnesium sulfat lebih efktif dibandingkan
dengan fenitoin. Magnesium sulfat menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskuler.
Transmisi neuromuskuler membutuhkan kalsium pada sinaps, pada pemberian
magnesium sulfat magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsang tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan
magnesium). Kadar kalsium darah yang tinggi dalam darah dapat menghambat
kerja magnesium sulfat. Cara pemberian magnesium sulfat:
a. Loading dose : 4 gram MgSO4, intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit
b. Maintenance dose : diberikan infus 6 gram dalam larutan RL/6jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram
i.m tiap 4-6 jam.
Syarat syarat pemberian MgSO4 antara lain :
Pemberian MgSO4 dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan efek flushes
(panas) pada 50% penderita. Bila terjadi refrakter terhadap MgSO4, maka diberikan
salah satu obat berikut: sodium tipoental, sodium amobarbital, diazepam atau fenitoin.
Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru, payah jantung
kongestif atau edema anasarka, diuretik yang dipakai adalah furosemide.
Pemberian diuretik dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
18
memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.
Pemberian obat antihipertensi. Antihipertensi yang digunakan di Indonesia
adalah nifedipine sebagai antihipertensi lini pertama, dengan dosis awal 10-20
mg, diulangi tiap 30 menit bila perlu, dosis maksimum 120 mg per 24 jam.
Nifedipine tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat
cepat, sehingga hanya boleh diberikan per oral. Sebagai antihipertensi lini kedua
digunakan sodium nitropruside dengan dosis 0,25 mikrogram i.v/kg/menit
diberikan per infuse, ditingkatkan 0,25 mikrogram i.v/kg/5 menit, atau
diazokside 30 -60 mg iv/ 5 menit atau infus 10 mg/menit di titrasi. Jenis obat
anti hipertensi yang masih dalam penelitian antara lain calcium channel blocker
(asrapiridin, nimodipin), serotonin reseptor antagonis ketan serin.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu,
diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam. Obat ini juga diberikan
pada sindrom HELLP.
Janin:
19
Adanya tanda tanda fetal distress
Adanya tanda tanda IUGR
Terjadinya oligohodramnion
Laboratorik:
Untuk penanganan sindrom HELLP pada dasarnya sama dengan pengobatan pada
preeklampsia – eklampsia berat, ditambah dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi yang
secara teoritis dapat berguna untuk meningkatkan angka keberhasilan induksi persalinan
dengan memberikan temporarisasi singkat dari status klinis maternal dan dapat meningkatkan
jumlah trombosit dan mempertahankannya secara konvensional agar dapat dilakukan anestesi
regional untuk persalinan vaginal maupun abdominal.1
20
2. Eklampsia
Definisi
Eklamsi ialah preeklamsi yang disertai dengan kejang tonik-klonik disusul dengan koma.
Tatalaksana Eklamsi
Terapi Medikamentosa
Tatalaksana kejang
a. Tempatkan penderita di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu terang(tidak
diperkenalkan ditempatkan di ruangan gelap, sebab bila terjadi sianosis tidak dapat
diketahui)
b. Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisitrendelenburg, dan
posisi kepala lebih tinggi
c. Rendahkan kepala ke bawah : diaspirasi lendir dalam orofaring guna mencegah aspirasi
pneumonia
d. Sisipkan spatel-lidah antara lidah dan gigi rahang atas
e. Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur
f. Rail tempat tidur harus dipasang dan terkunci dengan kuat
Tatalaksana koma
21
b. Usahakan jalan nafas atas tetap terbuka
c. Hindari dekubitus
d. Perhatikan nutrisi
Konsultasi ke bagian lain perlu dilakukan bila terjadi penyulit sebagai berikut :
a. Edema paru
b. Oliguria renal
c. Diperlukannya kateterisasi arteri pulmonalis
Pengelolaan eklampsia
Cara persalinan
Bila sudah diputuskan untuk melakukan tindakan aktif terhadap kehamilannya, maka dipilih
cara persalinan yang memenuhi syarat pada saat tersebut.
22
3. Hipertensi Kronik
Definisi
Etiologi
Diagnosis
23
Klasifikasi
Pemeriksaan Laboratorium
a. Ultrasonografi :
b. Hipertensi kronik dalam kehamilan dengan penyulit kardiovaskuler atau penyakit ginjal
perlu mendapat perhatian khusus.
Pengobatan Medikamentosa
24
a. Risiko rendah hipertensi :
- Ibu sehat dengan desakan diastolik menetap ≥ 100 mmHg
- Dengan disfungsi organ dan desakan diastolik ≥ 90 mmHg
b. Obat antihipertensi :
- Pilihan pertama : Methyldopa : 0,5 – 3,0 g/hari, dibagi dalam 2-3 dosis.
- Pilihan kedua : Nifedipine : 30 – 120 g/hari, dalam slow-release tablet
(Nifedipine harus diberikan per oral)
Sindrom HELLP
Definisi
Sindroma hemolisis, elevated liver enzymes and low platelet adalah suatu komplikasi pada
preeklampsia – eklampsia berat. Kehamilan yang dikomplikasikan dengan sindroma HELLP
juga sering dikaitkan dengan keadaan – keadaan yang mengancam terjadinya kematian ibu,
termasuk DIC, edema pulmonaris, ARF, dan berbagai komplikasi hemoragik. Insiden
terjadinya sindroma ini sebanyak 9,7 % dari kehamilan yang mengalami komplikasi
preeklampsia – eklampsia. Sindroma ini dapat muncul pada masa antepartum (70 %) dan juga
post partum (30 %).
Diagnosis
a. Didahului tanda dan gejala yang tidak khas; malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah
(mirip tanda dan gejala infeksi virus)
25
b. Adanya tanda dan gejala preeklampsia
c. Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya peningkatan LDH, AST dan bilirubin
indirek
d. Tanda kerusakan atau disfungsi sel hepatosit; peningkatan ALT, AST, LDH
e. Trombositopenia
26
Dosis yang digunakan untuk antepartum adalah dexametasone 2 x 10 mg sampai
persalinan. Sedangkan untuk post partum adalah 2 x 10 mg sebanyak 2 kali, dilanjutkan dengan
2 x 5 mg sebanyak 2 kali, setelah itu dihentikan.
Terapi Medikamentosa
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri
(terminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau
perabdominam,
27
Daftar Pustaka
28