Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN TUTORIAL

“Lukaku gatal sekali”

Oleh Kelompok 2
Tutor : dr. Prida Ayudianti SP. KK

Ketua Kelompok : Ahmad Taufiqurrohman


Anggota : (200701110033)
Sekretaris 1 : Luqiyatun Nadlifah (200701110032)
Sekretaris 2 : Aridin Gustaf (200701110008)
Anggota : Ayuma Laila Fauza (200701110005)
Zulfa Kamalia (200701110006)
Syifaus Shodry (200701110007)
Sabila Rosyidah Wibawa P (200701110030)
Ainul Fardiah Sumatika (200701110031)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................................................ i
Skenario ................................................................................................................................. 1

1. BAB I : KATA SULIT ............................................................................................... 2

2. BAB II : RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 3

3. BAB III : BRAINSTORMING ..................................................................................... 4

4. BAB IV : PETA MASALAH ....................................................................................... 8

5. BAB V : TUJUAN PEMBELAJARAN ....................................................................... 9

6. BAB VI : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 20

7. BAB VII : PETA KONSEP ......................................................................................... 21

8. BAB VIII : DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 23

i
SKENARIO TUTORIAL

“Lukaku gatal sekali”

Seorang laki-laki bernama Pak Bejo berusia 41 tahun merupakan pasien rawat inap yang
dikonsulkan dari bangsal Ilmu Penyakit Dalam ke bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS
Karsa Husada Batu dengan keluhan adanya luka keropeng. Luka tersebut semakin menyebar
sejak 3 minggu yang lalu. Awalnya Pak Bejo mengeluh adanya bisul berisi cairan kental warna
kuning yang kadang terasa gatal. Pertama kali muncul pada lutut, kemudian menyebar ke perut
dan lengan. Keluhan gatal membuat Pak Bejo sering menggaruk-garuk sehingga muncul luka
yang lama-kelamaan menimbulkan bekas kehitaman yang semakin meluas. Pak Bejo juga
mengeluhkan nyeri pada luka tersebut. Pak Bejo memiliki riwayat gagal ginjal kronis dan
sudah melakukan hemodialisa sebanyak 15 kali. Selama dirawat di rumah sakit Pak Bejo jarang
mandi. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan Pak Bejo. Tidak ada Riwayat demam
sebelumnya, tidak ada Riwayat alergi dan7 Riwayat digigit serangga disangkal. Riwayat
memiliki kencing manis sejak 10 tahun yang lalu namun tidak rutin berobat. Dan untuk keluhan
lukanya belum mendapatkan terapi apa-apa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/90 mmHg,
nadi 84x/menit, pernafasan 20x/menit dan suhu 36,7ºC. Status generalis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status dermatologi didapatkan pada regio ekstremitas superior dan inferior
dextra, patella dextra et sinistra, regio abdomen ditemukan efloresensi: ulkus dangkal multiple
tertutup krusta tebal kuning-kehitaman, bentuk tidak teratur, batas tegas, tepi ulkus meninggi,
dinding curam, dasarnya jaringan kemerahan disertai eritema di sekelilingnya. Dan jika
diangkat, krusta tersebut lekat. Setelah dilakukan pemeriksaan, kemudian dokter meresepkan
pil dan obat kompres pada Pak Bejo. Dokter memberitahukan bahwa lukanya agak lama untuk
sembuh dan dapat meninggalkan bekas, sehingga Pak Bejo harus bersabar. Dokter juga
memberikan nasihat pada Pak Bejo untuk selalu menjaga kebersihan serta tidak menggaruk
lukanya.

1
BAB I
KATA SULIT

1. Bisul: Infeksi atau inflamasi pada folikel rambut biasanya berisi nanah/
Iritasi di kulit, kurang menjaga kebersihan, daya tahan tubuh menurun, infeksi bakteri
stafilococus dan streptolococus.

2. Hemodialisa: Hemo(darah), dialisa(perpisahan zat). Pengganti fungsi ginjal untuk


menyaring darah memisahkan zat sisa metabolisme dan toxic di darah dengan membran
semiperiable buatan sebagai pemisah cairan dalam darah untuk mengontrol tekanan
darah dan menyeimbangkan kadar kimia dalam tubuh (natrium, kalium, kalsium).

3. Krusta: Lesi sekunder karena gesekan atau garukan, merupakan pengeringan cairan
eksudat yang bercampur dengan nanah. Terdapat 3 warna hitam,kuning,dan hijau
karena koagulasi darah atau cairan eksudat yang merupakan bagian dari efloresensi.

4. Eritema: Kondisi muncul bercak merah pada kulit karena pelebaran pembuluh darah
disebabkan karena infeksi atau obat-obatan.

5. Efloresensi: Kelainan kulit dan selaput lendir yang bisa dilihat dengan mata
telanjang, terbagi menjadi primer (saat permulaan penyakit) dan sekunder (saat proses
perjalanan penyakit)

6. Keropeng: Nama lain dari ‘krusta’, merupakan reaksi alami dari tubuh dalam proses
penyembuhan luka. Area kulit yang terinfeksi akan mengelupas perlahan bila jaringan
dibawahnya sembuh secara sempurna yang diperantarai oleh trombosit sebagai
pembekuan luka.

7. Lesi: Kerusakan atau perubahan pada kulit.

8. Ulkus: Kerusakan kulit atau lapisan mukosa yang ditandai dengan jaringan dermis
dan jaringan epidermis yang digantikan dengan jaringan parut. Bentuk ulkus bulat,
tidak teratur, tepi dan dinding serta dasar dan isi yang bervariasi.

9. Status Dermatologis: Penilaian terhadap kulit baik tekstur, lesi, ruam, dan kecacatan
lain yang dilakukan setelah proses efloresensi.

10. Status Generalis: Pemeriksaan fisik secara menyeluruh dari atas kepala sampai ujung
kaki.

2
BAB II
RUMUSAN MASALAH

1. Apakah penyebab keluhan luka keropeng yang dialami oleh px?


2. Bagaiamana px bisa menderita bisul beserta keluhan lain?
3. Mengapa lesi terasa gatal dan nyeri?
4. Mengapa px mendapat luka keropeng dan menyebar sampai perut dan lengan sejak 3
minggu yang lalu?
5. Mengapa luka px yang gatal dapat menimbulkan bekas kehitaman?
6. Bagaimana hubungan antara keluhan px saat ini dengan riwayat gagal ginjal kronis
yang di derita oleh px?
7. Bagaimana hubungan keluhan px dengan kebiasaannya yang jarang mandi?
8. Bagaimana hubungan keluhan px dengan riwayat kencing manis yang tidak rutin
berobat?
9. Mengapa dokter menanyakan riwayat alergi dan gigitan serangga pada px?
10. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik pada px?
11. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan dermatologis pada px?
12. Mengapa dokter memberikan tatalaksana yang disebutkan pada sekanario?
13. Apakah diagnosis yang tepat untuk px sesuai gejala yang dialami?
14. Bagaimana upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada px?

3
BAB III
BRAINSTORMING

1. Apakah penyebab keluhan luka keropeng yang dialami oleh px?


 Riwayat penyakit px yang semakin parah > menyebabkan infeksi dari area sistemik.
 Berasal dari kebiasaan px karena jarang mandi > menimbulkan rasa gatal karena bakteri
> di garuk terlalu kuat > menimbulkan koreng dan menyebar karena px memiliki
riwayat penyakit bawaan.
 Garukan yang terlalu kuat > menimbulkan luka > terjadi hemostasis (penggumpalan
darah trombosit) > terbentuk keropeng.

2. Bagaiamana px bisa menderita bisul beserta keluhan lain?


 Bisul > karena kebersihan kulit yang kurang terjaga, iritasi, pola makan yang tidak
dijaga, imun yang menurun > bakteri masuk melalui lesi.
 Memiliki faktor risiko rawat inap di RS (RS terdapat banyak bakteri seperti
streptolococus) dan jarang mandi > bakteri menumpuk > digaruk > menyebabkan lesi.

3. Mengapa lesi terasa gatal dan nyeri?


 Eksotoksin dari bakteri > aktivasi limfosit T > menghasilkan IL4 dan IgE > sel mast
dan histamin meningkat > rasa gatal.
 Tekanan pada reseptor nyeri saat px menggaruk/ Letak lesi dalam dan dekat ujung-
ujung syaraf/ Terdapat mediator inflamai (histamin dan leukotriene) sehingga reseptor
nyeri menjadi lebih peka/ Adanya nekrotik yang melepas ion K+ sehingga
mendepolarisasi reseptor nyeri.
 Kebiasaan px yang jarang mandi menyebabkan bakteri menyerang syaraf-syaraf
sehingga menimbulkan rasa gatal yang berulang.

4. Mengapa px mendapat luka keropeng dan menyebar sampai perut dan lengan
sejak 3 minggu yang lalu?
 Bisul > digaruk > pecah > nanah tidak dibersihkan dengan baik > bakteri menyebar.
 Riwayat ginjal kronis > tubuh tidak bisa menyaring zat toxin.
 Garukan menggunakan kuku pada keropeng yang biasanya terdapat bakteri > infeksi.
 Kebersihan yang kurang dijaga > bakteri berkembang.
 Riwayat kencing manis > respon imun menurun > tubuh kesulitan menangkal bakteri

4
yang masuk.

5. Mengapa luka px yang gatal dapat menimbulkan bekas kehitaman?


 Bisul di garuk > peradangan pada kulit > menyebabkan luka warna hitam terjadi karena
hiperpigmentasi (dapat hilang seiring waktu berjalan).
 Hiperpigmentasi > karena peningkatan melanin yang berlebih > mengeluarkan sitokin
(PGO2,IL1,IL6,TF-alfa,dll).
 Px menggaruk > peningkatan kolagen yang dibarengi dengan inflamasi pada fase
proliferasi sel > luka.

6. Bagaimana hubungan antara keluhan px saat ini dengan riwayat gagal ginjal
kronis yang di derita oleh px?
 Penurunan fungsi ginjal > melemahnya imunitas tubuh > bakteri mudah menginfeksi
tubuh.
 Proses hemodialisa yang tidak bersih juga > bakteri masuk.
 Ketidakseimbangan hemodialisasi (fosfat dan ureum) > tidak seimbang > glomerulusu
filtartion rate menurun > gatal.

7. Bagaimana hubungan keluhan px dengan kebiasaannya yang jarang mandi?


 Px jarang mandi > bakteri mudah berkembang > inflamasi oleh bakteri pada kulit.
 Px jarang mandi > bakteri mudah berkembang > imunitas dalam tubuh menurun sehingga
> rentan terkena penyakit.

8. Bagaimana hubungan keluhan px dengan riwayat kencing manis yang tidak rutin
berobat?
 Riwayat DM > penyempitan pembuluh darah > oksigen dan nutrisi terhambat > keluhan
px semakin parah (luka px yang berisi nanah juga dapat disebabkan karena adanya
bakteri yang masuk).

9. Mengapa dokter menanyakan riwayat alergi dan gigitan serangga pada px?
 Untuk mengetahui etiologi rasa gatal dari px (eksternal/internal) dan mengetahui
tatalaksana selanjutnya.

10. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik pada px?


 Komposmentis (normal), TD 150/90 (hipertensi derajat 1), Nafas 20x/mnt (normal),
Suhu : 36 (normal).
 Hipertensi dan TD yang menurun terjadi karena kegagalan ginjal menyaring zat toxin

5
yang masuk.

11. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan dermatologis pada px?


 Efloresensi: eks superior dan inferior dextra, patella dextra et sinistra, regio abdomen.
 Ulkus dangkal multiple tertutup, tepi ulkus meninggi, dinding curam, dasarnya
kemerahan eritema di sekitar.
 Krusta tebal kuning-kehitaman, bentuk tidak teratur, batas tegas. Krusta lekat jika
diangkat.
 Dari karakteristik efloresensi yg dialami pasien ini mengarah pada ektima, dimana
karakteristik ektima di antaranya mengenai lapisan epidermis dan dermis membentuk
ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis. Apabila krusta diangkat akan
memperlihatkan adanya gambaran lesi berbentuk cawan dengan dasar merah dan pada
tepi ulkus meninggi, indurasi, dan berwarna keunguan. Daerah predileksi pada ektima
biasanya pada daerah ekstremitas terutama ekstremitas bagian bawah. Namun, dapat
juga ditemukan pada ekstremitas bagian atas. Munculnya lesi pada ektima disebabkan
oleh trauma pada kulit. Pada umumnya pasien datang dengan keluhan adanya bisul
terasa gatal kemudian saat digaruk terus-menerus akan menimbulkan krusta berwarna
coklat kehitaman.

12. Mengapa dokter memberikan tatalaksana yang disebutkan pada sekanario?


 Mengkultur penyebab infeksi pada kulit > menentukan obat seftriaxon (bekerja secara
sistemik), kompres NaCl 0,9% untuk meregenerasi kulit, dan obat anti histamin (CTM)
karena keluhan nyeri dan gatal.
 Antibiotik sefalosporin (gol.3 sensitif bakteri gram+ berdasakan diagnosis ektima)
karena px memiliki riwayat gagal ginjal kronis dan seftriaxon tidak digunakan karena
untuk bakteri spektrum luas. Kompres digunakan untuk mempercepat pengelupasan
kulit.

13. Apakah diagnosis yang tepat untuk px sesuai gejala yang dialami?
 wdx : EKTIMA
-Karena dalam skenario px memiliki faktor prediposisi yang mengarah ke
ektima,seperti penyakit kronis sejak 1 tahun yang menurunkan fungsi imun dan
kebiasaan px jarang mandi).
-Berdasarkana anamnesis, pasien memiliki prediposisi penyakit gagal ginjal kronis dan
sudah melakukan hemodialisis 15 kali yang menandakan imun pasien sedang menurun,
Ditemukan juga gambaran khas berupa punch out appearence (ulkus meninggi, dan
berdinding curam) sehingga dapat disimpulkan.
 ddx : Impetigo Vesikobulosa.
-Lesi yang dialami pasien sama-sama berada pada permukaan (superficialis).
Perbedaannya adalah pada impetigo vesikobulosa krusta berwarna coklat dan

6
berbentuk bulosa dengan bentuk tengah menyembuh dan pinggir menyebar, dengan
krusta yang mudah diangkat. Luka biasaya menyisakan atap dan pus.

14. Bagaimana upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada px?


 Menjaga kebersihan dan mengurangi garukan pada lesi.
 Meminum obat-obatan secara rutin untuk mengurangi perparahan.
 Faktor predisposisi px untuk selalu dipantau .

7
BAB IV
PETA MASALAH

8
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi dan Etiologi EKTIMA


2. Mahasiswa mampu menjelaskan Epidemiologi EKTIMA
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi EKTIMA
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Faktor Risiko EKTIMA
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Manifestasi Klinis EKTIMA
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Pemeriksaan Fisik dan Penunjang EKTIMA
7. Mahasiswa mampu menjelaskan Diagnosis Banding EKTIMA
8. Mahasiswa mampu menjelaskan Tatalaksana EKTIMA
9. Mahasiswa mampu menjelaskan Prognosis dan Komplikasi EKTIMA
10. Mahasiswa mampu menjelaskan KIE dan Pencegahan EKTIMA
11. Mahasiswa mampu menjelaskan Integrasi Islam yang sesuai dengan scenario

12. Mahasiswa mampu menjelaskan SOAP

9
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA

1. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi dan Etiologi EKTIMA

Ektima adalah pioderma ulseratif kulit yang umumnya disebabkan oleh


Streptococcus Beta Haemolyticus. Penyebab lainnya dapat karena Staphylococcus
aureus atau kombinasi dari keduanya yang menyerang lapisan epidermis dan dermis
membentuk ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya timbul pada
tungkai bawah (Siregar, 2002).
Streptococcus merupakan organisme yang biasanya menyebabkan infeksi pada
ektima. Infeksi diawali dengan adanya vesikel atau pustul di atas kulit sekitar yang
mengalami inflamasi, membesar yang kemudian berlanjut pada pecahnya pustule
mengakibatkan kulit mengalami ulserasi dengan ditutupi oleh krusta. Bila krusta
terlepas, tertinggal ulkus superfisial dengan gambaran punched out appearance atau
berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi umumnya ditemukan
pada daerah ekstremitas bawah, tetapi bisa juga didapatkan pada ekstremitas atas. Lesi
yang terjadi pada ektima biasanya disebabkan karena trauma pada kulit, misalnya,
ekskoriasi, varicella atau gigitan serangga. Biasanya pasien datang dengan keluhan
dengan bengkak disertai krusta berwarna coklat kehitaman, yang awalnya hanya
dirasakan gatal lalu digaruk sampai timbul luka (Craft, 2008).
Ektima memiliki nama lain diantaranya Ulcerative pyoderma,
Cutaneouspyoderma, Impetigo, Deep impetigo, Skin streptococci, Grup A beta-
hemolitik streptococci, Ecthymatous ulcer, Group A streptococci (Korbi M et al,2014).

2. Mahasiswa mampu menjelaskan Epidemiologi EKTIMA

Insiden ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui dengan pasti. Frekuensi
terjadinya ektima berdasarkan umur biasanya lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa, tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan
(sama). Pada anak-anak umumnya terjadi pada usia 6 bulan samai 18 tahun dengan
tingkat higienisitas yang randah (Hunter, 2003).
Ektima umum terjadi pada orang dengan riwayat peyakit DM, pengguna obat
intravena, serta pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV. Ektima ini menyerang pada
tungkai bawah (James, 2016).
Kadar gukosa patologis dapat menyebabkan apoptosis sel endotel dan
meghambat sintesis NO dengan menghambat enzim NO sehingga mengakibatkan
vasodilaatasi in vivo. Selanjutnya, kadar glukosa akan menekan kemotaksis dan
fagositosis berbagai sel imun.

10
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi EKTIMA

Ektima bentuk permulaan memiliki kemiripan seperti impetigo superfisialis.


Bakteri streptococcus grup A beta haemoliticus dapat menjadi penyebab dari lesi atau
secondary infection dari luka yang sudah ada sebelumnya. Kerusakan jaringan yang
sudah ada sebelumnya (misalnya ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) atau
gangguan imunitas (misalnya penderita diabetes) mmenyebabkan teradinya penetrasi
oleh Streptococcus pyogenes pada kulit. Infeksi pada mulanya terjadi di epidermis
kemudian pada lapisan dermis yang lebih dalam dan sistem limfatik. Lesi dimulai pada
base yang eritem dengan vesikel, bulla yang kecil, pustul atau vesikulo pustul yang
membesar dalam beberapa hari dan berubah menjadi krusta yang teba lyang merupakan
eksudat kering. Krusta yang terjadi memiliki karakteristik yang khas yaitu melekat dan
sulit untuk lepas. Apabila krusta terlepas, dapat ditemukan ulkus yang berbentuk piring
dengan permukaan kulit yang terdedah, irregular, purulen dan disertai dengan tepi lesi
yang elevasi. Lesi selalunya akan membaik setelah beberapa minggu,menjadi parut dan
jarang sekali menjadi gengren pada resistensi rendah. (Nur Abdillah dan Shinta, 2013)

Infeksi dimulai saat bakteri mengeluarkan beberapa toksin yang dimediasi oleh
superantigen (SA) kemudian antigen berikatan dengan molekul HLA-DR yaitu MHC-
II (Major Histocompatibility Complex II) pada Antigen Presenting Cell ditandai dengan
adanya vesikel atau pustul diatas kulit sekitar yang mengalami inflamasi kemudian
semakin membesar sehingga pustul dapat pecah menyebabkan kulit mengalami ulserasi
berupa krusta. Apabila krusta diangkat akan memperlihatkan adanya gambaran lesi
berbentuk cawan dengan dasar merah dan pada tepi ulkus meninggi, indurasi, dan
berwarna keunguan (punched out appearance).Pyogenic abses diawali sebagai
inflamasi host terlokalisasi secara akut untuk infeksi bakteri. Selain berfungsi sebagai
penghalang fisik untuk melindungi mikroba, keratinosit memiliki reseptor untuk
mengenali mikroba yang menyerang, dan memberikan sinyal untuk proinflammatory.
Sel inang juga menghasilkan antimicrobial yang memiliki aktivitas langsung untuk
melawan S. Aureus. Abses ini memiliki ciri khas, bagian tengah abses berisi eksudat

11
inflamasi terdiri dari jaringan nekrotik, fibrin, dan bakteri itu sendiri. Ciri khas infeksi
stafilokokus lainnya yaitu Supurasi fokal (abses). Dari setiap fokus, organisme dapat
menyebar melalui limfatik dan aliran darah ke bagian lain tubuh.
Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak akibat dari ketidakseimbangan
antara kemampuan mikroorganisme patogen dan mekanisme pertahanan tubuh
manusia. Perkembangan infeksi bakteri dipengaruhi 3 faktor utama, yaitu: lokasi masuk
dan fungsi barrier kulit, pertahanan host, respons inflamasi terhadap invasi mikroba,
dan sifat patogenik organisme. Ektima merupakan perkemabangan lesi Impetigo
stafilokokal atau streptokokus yang tidak diobati sehingga meluas lebih dalam,
menembus epidermis, menghasilkan suatu ulkus berkrusta yang dangkal.
Pada keadaan normal, Kulit yang intak bersifat resistan terhadap kolonisasi atau
impetiginisasi, kemungkinan karena tidak adanya reseptor fibronektin untuk asam
teikoat pada Staphylococcus aureus dan Group A Streptococcus. Kondisi yang
menyebabkan kerusakan integritas epidermis dapat menjadi port d’entry infeksi bakteri
Staphylococcus aureus dan Group A Streptococcus, termasuk gigitan serangga,
dermatofitosis, herpes simpleks, varisela, abrasi, laserasi, dan luka bakar akibat termal.
Perkembangan lesi ini di awali dengan S. Aureus dan/atau GAS yang memiliki
exfoliatin (extracelullar exfoliative toxin) Staphylococcus aureus tipe A dan B.
Exfoliatin tipe A bekerja sebagai serin protease dari desmoglein 1 (desmosomal
chaderin) mengakibatkan disfungsi molekul dan hilangnya adhesi antar sel keratinosit
pada lapisan epidermis superfisial sehingga akan terbentuk lesi vesikel atau putula.
Didalam perkembangannya toxin exfoliatin ini dapat merusak epidermis yang
memungkinkan organisme untuk menyebar dan menyerang jaringan yang lebih dalam
hingga menembus dermis dan menyebabkan terbentuknya ulkus sehingga
menghasilkan lesi borok "lubang" dengan krusta kuning keabu-abuan dan purulen.

4. Mahasiswa mampu menjelaskan Faktor Risiko EKTIMA

Ektima biasanya ditemukan di pasien yang imunnya terkompromisasi, misalnya


pada diabetes, HIV, dan lain-lain. (Ko et al, 1998).
Faktor risiko yang berperan dalam adanya pioderma Streptococcus atau ektima adalah:
 Kelembaban dan suhu yang tinggi
 Lingkungan hidup yang terlalu berkerumun
 Higienitas buruk
(Singh G, 1973) (Allen et al, 1971)
Faktor predisposisi terjadinya ektima ialah higienitas yang kurang baik,
penyakit lain dikulit, dan menurunnya daya tahan tubuh seperti: kekurangan gizi,
anemia, neoplasma, diabetes mellitus, dan penyakit kronik yang memudahkan
terjadinya infeksi bakteri.

12
TAMBAHAN LO SAAT DISKUSI :
a. Memiliki kondisi kulit yang rusak
Bakteri penyebab ektima sering masuk ke kulit melalui luka kecil, goresan,
gigitan serangga, atau ruam.
b. Memiliki riwayat impetigo
Keadaan impetigo yang tidak diobati dengan tepat dapat berkembang menjadi
ektima.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Manifestasi Klinis EKTIMA

Manifestasi klinis diawali dengan vesikel atau vesikulopustul yang membesar


dan dalam beberapa hari menjadi berkrusta tebal dan lekat. Ketika krusta diangkat
terdapat ulkus dengan bentuk seperti piring superfisial dengan dasar yang kemerahan
dan tepi yang meninggi (James et al., 2016; Perdoski, 2017; Stevens et al., 2014). Ulkus
mempunyai suatu bentukan “punch out” ketika krusta kuning-keabu-abuan kotor dan
material purulen dibersihkan. Tepi ulkus berindurasi, meninggi, dan berwarna
keunguan (Gambar 6.1), dan dasar bergranulasi meluas ke dalam dermis. Lesi
ektimatosa yang tidak diobati dapat meluas selama beberapa minggu sampai bulan
dengan diameter 2–3 cm atau lebih. Lesi ektimatosa didapatkan pada kaki, lengan, dan
tangan (Craft, 2012; Perdoski, 2017). Lesi ini cenderung sembuh setelah beberapa
minggu, yang meninggalkan jaringan ikat, namun jarang memburuk menjadi gangren
jika resistansi terhadap terapi rendah dan pada pasien imunokompeten.
Pada beberapa pasien imunokompromais yang mengalami fokal infeksi
piogenik di area manapun seringkali onset ektima lebih awal dan disertai adenopati
lokal (James et al., 2017). Manifestasi klinis ektima yang disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa memiliki bentuk yang khas yaitu awalnya berupa pustul
hemoragis, kemudian berkembang menjadi ulkus nekrosis. Ulkus tersebut terdapat
keropeng hitam dengan halo kemerahan di sekitarnya. Predileksi tersering pada glutea,
perianal, dan ekstrimitas (Vaiman et al., 2015).
Secara singkat:
 Terdapat luka borok sebesar 0,5 hingga 3 cm, dan dapat membesar.
 Borok tertutup kerak berwarna kuning sampai coklat tua, tebal dan agak keras,
terkadang berisi cairan nanah dan darah. (PERDOSKI, 2018)
 Vesikel atau pustula.
 Krusta.
 Ulkus “punchead-out” dengan peninggian dan pengerasan di pinggiran.
 Indurasi (bagian kulit yang menonjol dan tampak kemerahan). (PERDOSKI,
2017)

TAMBAHAN LO SAAT DISKUSI :


- Predileksi (tempat tersering): ekstremitas bawah atau daerah terbuka.
- Apabila krusta diangkat, tampak ulkus bentuk punched out, tepi ulkus meninggi,

13
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Pemeriksaan Fisik dan Penunjang EKTIMA

Pada pemeriksaan fisik ektima akan ditemukan gejala khas berupa, ditemukan
lesi dalam berupa ulkus, dengan krusta yang sulit diangkat dan tempat predileksinya
biasanya pada tungkai bawah. Dengan efloresensi yang khas, yaitu adanya ulkus
superficial yang disertai adanya krusta tebal coklat kehitaman (Wiratama,2020).
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Kulit Ektima
 Lokalisasi : ekstremitas bawah, wajah, dan ketiak.
 Efloresensi/ sifat-sifatnya : makula eritematosa lenticular hingga
nummular, vesikel dan pustula miliar hingga nummular, difus, simetris,
serta krusta kehijauan yang sukar dilepas.
2. Gambaran Histopatologis Ektima
 Peradangan dalam yang diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN dan
pembentukan abses mulai dari folikel pilosebasea. Pada dermis, ujung
pembuluh darah melebar dan terdapat PMN.
3. Pemeriksaan pembantu/ laboratorium Ektima
 Mencari etiologic dari secret/ kerokan kulit
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis ektima
sebagai berikut.
 Pewarnaan gram dan biakan pus atau eksudat dari lesi kulit impetigo dan ektima
berguna membantu mengidentifikasi Staphylococcus aureus dan/atau
Streptococcus beta hemolyticus grup A;
 Kultur dan resistensi lesi apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris;
 Kultur dan resistensi darah, darah perifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein
apabila diduga bakteremia; dan
 Biopsi bila lesi tidak spesifik. Lesi Ecthyma akan ditemukan menunjukkan
nekrosis dermal dan inflamasi. Infiltrat perivaskular granulomatosa yang dalam
dan superfisial terjadi bersamaan dengan edema endotel. Kerak yang berat
menutupi permukaan ulkus ektima. (PERDOSKI, 2017) (Sinta,M, 2018)

TAMBAHAN LO SAAT DISKUSI :


Suatu studi eksperimental menunjukkan bahwa inokulasi beberapa galur
GABHS (grup A beta-hemoliltikus streptokokus) ke permukaan subjek tidak
menghasilkan suatu penyakit kulit kecuali sudah ada riwayat gangguan kulit
sebelumnya. GABHS dan S.aureus memiliki struktur antigen asam teikoat untuk
melakukan adhesi / perlekatan ke sel hospes. Dalam perlekatan ini memerlukan
komponen reseptor sel epitel berupa fibronektin. Reseptor fibronektin ini tidak
tersedia pada kulit yang intak melainkan terdapat pada permukaan kulit yang tidak
sehat.

14
7. Mahasiswa mampu menjelaskan Diagnosis Banding EKTIMA

1. Impetigo Krustosa
Disebut juga sebagai impetigo non bulosa atau impetigo kontangiosa. Impetigo
krustosa merupakan infeksi bakteri lokal yang mengenai epidermis kulit dengan
gambaran klinis vesikula atau pustula yang mudah pecah dan menjadi krusta
berwarna kuning seperti madu. Penyebab tersering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan Group A Streptococcus. Secara umum diawali
dengan adanya predisposisi diantaranya gigitan serangga, bekas garukan, atau
penyakit kulit lainnya.
b. Impetigo Bulosa
Memiliki kesamaan dengan impetigo krustosa karena pada umumnya tidak ada
gejala sistemik. Penyebab tersering impetigo bulosa adalah Staphylococcus
aureus. Pada impetigo bulosa terdapat lesi yang berupa bula yang berisi pus.
Saat pecah, bula ini akan menampilkan bentuk seperti bula koralet dengan dasar
eritematosa. Impetigo bulosa sering menjangkiti bayi baru lahir dan sangat
mudah menular.
c. Folikulitis
Merupakan pioderma yang terjadi di folikel rambut dan paling sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. Folikulitis dapat
dibedakan menjadi dua berdasarkan kedalam invasi dari bakteri yaitu folikulitis
superficial dan deep folikulitis. Fokulitis dapat terjadi pada bagian tubuh yang
berambut.
d. Selulitis
Termasuk pioderma profunda dengan skin and soft-tissue infection (SSTI).
Selulitis dapat terjadi di lapisan dermis dan jaringan subkutan. Selulitis tersering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A, tetapi
beberapa bakteri juga ditemukan pada kultur, seperti Streptococcus grup B pada
bayi baru lahir, pneumococcus, basil Gram negatif pada pasien
imunokompromais, serta mikroorganisme lain. Selulitis seringkali
menimbulkan nyeri lokal dengan berbagai derajat eritema dan gejala sistemik
(seperti demam, menggigil, dan malaise). Makula eritematosa dapat segera
terjadi dan meluas. Nyeri lokal seringkali berat, dan tidak adanya makula
eritematosa meningkatkan dugaan adanya infeksi yang terjadi pada lapisan yang
lebih dalam.(A. Hidayati, 2019)

8. Mahasiswa mampu menjelaskan Tatalaksana EKTIMA

Tatalaksana pada kasus ektima terdiri dari tatalaksana medikamentosa dan


nonmedikamentosa. Tatalaksana medikamentosa terdiri dari sistemik dan topikal,
sedangkan untuk tatalaksana non-medikamentosa berupa edukasi terhadap pasien
maupun keluarga. Pada kasus ini pasien didiagnosis ektima disertai dengan penyakit

15
kronis yakni gagal ginjal kronis sehingga perlu dilakukan tinjauan tatalaksana yang
tepat pada kasus. (Fathilla,F. 2019)
Penatalaksanaan Ektima antara lain:
 Non Farmakologi
Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi menggunakan sabun antibakteri dan
sering mengganti sprei handuk dan pakaian.
 Farmakologi
a. Sistemik
Golongan antistaphilokokus oral (seperti dikloksasili, safeleksin, eritromisin,
klindamisin) dapat digunakan untuk mencegah infeksi stafilokokus auerus
sekunder. antibiotik parenteral digunakan untuk ektima yang luas.
b. Topikal
Terapi topikal dengan salep mupirosin digunakan untuk ektima setempat.

Penatalaksanaan ektima secara sistemik dan meliputi agen yang sama dengan
yang digunakan untuk impetigo stafilokokal (Craft, 2012). Penatalaksanaannya
adalah membersihkan dengan sabun dan air, diikuti dengan pengolesan salep
mupirocin, retapamulin, atau bacitracin, dua kali sehari. Dicloxacillin oral atau
sefalosporin generasi pertama juga diindikasikan, dengan penyesuaian terhadap
sensitivitas organisme jika dilakukan kultur (James et al., 2016).

9. Mahasiswa mampu menjelaskan Prognosis dan Komplikasi EKTIMA

 KOMPLIKASI

16
Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis,
limfadenitis supuratif, dan bakteremia (Tiyas A, Merry. 2015). Komplikasi non
supuratif dari infeksi kulit streptokokus termasuk demam berdarah dan
glomerulonefritis akut. Terapi antibiotik yang segera tampaknya tidak mengurangi
tingkat glomerulonefritis pasca streptokokus. Sindrom syok toksik streptokokus juga
telah dilaporkan. Kemungkinan gejala sisa dari pioderma S aureus sekunder yang tidak
diobati termasuk selulitis, limfangitis, bakteremia, osteomielitis, dan endokarditis
infektif akut. Beberapa strain S aureus menghasilkan eksotoksin yang dapat
menyebabkan sindrom kulit melepuh stafilokokus dan sindrom syok toksik. Ektima
dapat menetap selama beberapa minggu dan dapat terjadi komplikasi berupa skar dan
ulserasi (PERDOSKI. 2017). Ektima juga dapat menetap selama beberapa minggu dan
terjadi komplikasi skar. Infeksi dapat menyebar akibat autoinokulasi, melalui vektor
serangga, atau sequelae dari poststreptokokal (glomerulonefritis). (Craft N. 2012)
 PROGNOSIS
Rekurensi abses dan furunkel pada anak sebesar 18-28%
• Quo ad vitam : bonam
• Quo ad sanationam : bonam
• Quo ad functionam : bonam
Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya bonam, bila
dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam. Ektima adalah lesi dengan
masa penyembuhan yang lama tetapi memberikan respon yang baik terhadap antibiotik
dalam beberapa minggu. Faktor-faktor yang memperburuk prognosis, bila terdapat lesi
multiple, pemberian antibiotika yang tidak adekuat, Persisten neutropenia. Lesi
cenderung sembuh secara perlahan, namun meninggalkan bekas luka. Ektima dapat
berlanjut menjadi gangren jika ketahanan tubuh rendah. Beberapa lesi lambat untuk
sembuh, membutuhkan beberapa minggu perawatan antibiotik untuk resolusi.

10. Mahasiswa mampu menjelaskan KIE dan Pencegahan EKTIMA

Selain penggunaan terapi dengan obat, KIE (komunikasi, informasi, edukasi)


juga sangat penting untuk kesembuhan pasien karena ektima dapat diperparah oleh
berbagai faktor, menggaruk lesi hingga pecah, menurunnya kondisi tubuh penderita,
serta tidak melakukan pengobatan sesuai anjuran dokter. KIE yang diberikan kepada
pasien ini yaitu senantiasa menjaga kebersihan dan menginformasikan mengenai
penyakit dan penatalaksanaannya. Selain itu, juga memberikan edukasi terhadap pasien
dan keluarga pasien agar menjaga higiene perorangan yang baik agar dapat membatasi
penularan (Perdoski, 2017).
Mandi 2 kali sehari dengan sabun dapat mencegah terjadinya ektima. Selain
itu, pencegahan pada iklim tropis juga dengan menggunakan insect repellent untuk
mengurangi reaksi gigitan serangga yang dapat menyebabkan komplikasi pioderma
berupa ektima jika dibiarkan (Vaiman et al., 2015).

17
11. Mahasiswa mampu menjelaskan Integrasi Islam yang sesuai dengan scenario

Menurut Yusuf al-Qardhawi kebersihan adalah salah satu unsur penting dalam
perilaku beradab. Islam menganggap kebersihan sebagai suatu sistem peradaban dan
ibadah. Karena itu, kebersihan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seorang
muslim. Contoh konkritnya yaitu dalam hal salat, seorang muslim tidak sah salatnya
jika ia malaksanakan salat dalam keadaan berhadas dan di tempat yang kotor. Islam
sangat memperhatikan kebersihan karena sesungguhnya Allah menyukai kebersihan
sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Baqarah (2): 222:
ۙ ِ ‫س ۤا َء فِى ْال َم ِحي‬
‫ْض َو ََل ت َ ْق َربُ ْوه َُّن‬ َ ِ‫ْض ۗ قُ ْل ه َُو اَذً ۙى فَا ْعتَ ِزلُوا الن‬ ِ ‫َويَسْـَٔلُ ْونَكَ َع ِن ْال َم ِحي‬
ُّ‫ّٰللاَ يُ ِحبُّ التَّ َّوا ِبيْنَ َويُ ِحب‬ ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْت ُ ْوه َُّن ِم ْن َحي‬
ّٰ ‫ْث اَ َم َر ُك ُم‬
ّٰ ‫ّٰللاُ ۗ ا َِّن‬ ْ ‫َحتّٰى َي‬
َ َ‫ط ُه ْرنَ ۚ فَ ِاذَا ت‬
َ َ‫ْال ُمت‬
َ‫ط ِه ِريْن‬
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu
adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu
dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka
sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah
menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”
Hidup bersih dan sehat merupakan salah satu cara untuk menjaga kesehatan.
Sebagaimana kesehatan merupakan nikmat Allah yang senantiasa harus kita syukuri,
sebab dengan kesehatan kita dapat menikmati kebahagiaan hidup yaitu melakukan
rutinitas dan beribadah dengan baik. Karena itu kebersihan dianggap sebagai salah satu
bukti keimanan.
12. Mahasiswa mampu menjelaskan SOAP

S (Subjective)
Nama: Tn. Bejo
Jenis Kelamin: Laki-laki
Usia: 41th
Keluhan Utama: Luka keropeng
RPS: Luka menyebar disertai gatal dan nyeri pada lesi
 Lokasi lesi: ekstremitas superior dan inferior dextra, patella dextra et sinistra, regio
abdomen.
 Karakteristik: ulkus dangkal multiple tertutup krusta tebal kuning-kehitaman. bentuk
tidak teratur, batas tegas, tepi ulkus meninggi, dinding curam, dasar jaringan
kemerahan disertai eritema di sekelilingnya, jika diangkat krusta tersebut melekat.

 Penyakit lain: DM tidak terkontrol, gagal ginjal kronis (merupakan px hemodialisis).


RPD: -
RPK: -
Riwayat Alergi: -
O (Objective)
Tanda Vital:
 TD: 150/90mmHg (meningkat/hipertensi derajat 1)

18
 Nadi: 84x/menit (N)
 Pernapasan: 20x/menit (N)
 Suhu: 36,7oC (N)
Pemeriksaan Fisik: Compos mentis (kesadaran normal)
Status Dermatologis:
 Lokasi lesi di ekstremitas superior dan inferior dextra, patella dextra et sinistra, regio
abdomen dengan karakteristik ulkus dangkal multiple tertutup krusta tebal kuning-
kehitaman. Bentuk tidak teratur, batas tegas, tepi ulkus meninggi, dinding curam,
dasar jaringan kemerahan disertai eritema di sekelilingnya, jika diangkat krusta
tersebut melekat.

A1 (Initial Assesment)
DDx (Differential Diagnosis): Impetigo krustosa, selulitis.
P1 (Planning Diagnosis)
Pemeriksaan Penunjang:
1. Pewarnaan gram dan biakan pus atau eksudat dari lesi kulit impetigo dan ektima
berguna membantu mengidentifikasi Staphylococcus aureus dan/atau Streptococcus
beta hemolyticus grup A.
2. Kultur dan resistensi lesi apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris.
3. Kultur dan resistensi darah, darah perifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein
apabila diduga bakteremia.
4. Biopsi bila lesi tidak spesifik. Lesi Ecthyma akan ditemukan menunjukkan nekrosis
dermal dan inflamasi. Infiltrat perivaskular granulomatosa yang dalam dan
superfisial terjadi bersamaan dengan edema endotel. Kerak yang berat menutupi
permukaan ulkus ektima.

A2 (Assesment)
WDx (Working Diagnosis): EKTIMA (SKD.4)
P2 (Planning)
Tatalaksana Farmakologis:
 Topikal: Kompres terbuka dengan permanganas kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%,
rivanol 1%, larutan povidon iodine 1%; dilakukan 3 kali sehari masing-masing 1⁄2-1 jam
selama keadaan akut.
 Sistemik: Kloksasilin/dikloksasilin 4x250-500 mg/hari per oral.

19
Tatalaksana non-Farmakologis:
Mandi menggunakan sabun antibakteri dan sering mengganti sprei handuk dan
pakaian.

KIE:
 Menjaga kebersihan dan menginformasikan mengenai penyakit dan
penatalaksanaannya.
 Memberikan edukasi terhadap pasien dan keluarga pasien agar menjaga higiene
perorangan yang baik agar dapat membatasi penularan.
 Mandi 2 kali sehari dengan sabun.
 Menggunakan insect repellent untuk mengurangi reaksi gigitan serangga yang dapat
menyebabkan komplikasi pioderma berupa ektima.

20
BAB VII
PETA KONSEP

21
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu


Pengetahuan, Penerjemah Faizah Firdaus. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

2. Burns T, Breathnach S, Cox N, et al: Ecthyma, Gram-positive bacteria, Rook’s


TextBook of Dermatology. 8 th ed. Wiley-Blackwell Publishing. 2010. p. 30.17.

3. Arenas R, Estrada R : Ecthyma/Erisepelas, Tropical Dermatology. Landes


Bioscience.2001. p. 148-151.

4. Odom RB, James WD, Berger TG: Ecthyma, Streptococcal skin infections,
Andrew’sDiseases of The Skin, Clinical Dermatology. 9th ed. Philadelphia:
WB Saunders.2000. p.

5. Sularsito SA, Djuanda S, Djuanda A, et al: Ektima, Pioderma, Ilmu Penyakit


Kulitdan Kelamin. 6 th ed. Jakarta. Fakultas Indonesia. 2010. p.57-60.

6. Hidayati, Afif. 2019. Infeksi Bakteri di Kulit. Surabaya: Airlangga University


Press.

7. Siregar, R. S. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. EGC, 1992.


8. (Perdoski, 2017; Stevens et al., 2014).
9. Murlisyarini, Sinta., Prawitasari, Suci., Setyowatie, Lita. 2018. Intisari Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. Malang; Universitas Brawijaya Press.

10. Hidayati, Afif. 2019. Infeksi Bakteri di Kulit. Surabaya: Airlangga University
Press.

11. Fathilla, F., Anggraini, D. I., Sibero, H. T., Kedokteran, F., Lampung, U., Ilmu,
B., Kulit, K., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2019). Tatalaksana Ektima Pada
Pasien dengan Gagal Ginjal Kronis. 8(2), 19–23.

12. Tiyas A, Merry. Buku Ajar Sistem Integumen. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang, 2015.

13. Griffiths C, Barker J, Bleiker T, Chalmers R. & Creamer D. 2016. Rook’s


Textbook of Dermatology. 9th Ed: Wiley Blackwell

14. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).


Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia
Tahun 2017

15. Craft N. Superficial Cutaneous Infectioous and Pyoderma. In: Fitzpatrick's


Dermatology in General Medicine. 8th ed. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest

22
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. New York: McGraw Hill Medical,
2012

16. Allen AM, Taplin D, Twigg L. (1971) Cutaneous streptococcl infections in


Vietnam. rch Dermatol. 104():271-80.

17. Craft, Noah, et al. Superficial Cutaneous Infections and Pyoderma. In: Wolff
Klause, Goldsmith Lowell, Katz Stephen, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. P. 1694-
1701.

18. Korbi M, Akkari H, Jribi M, Youssef M, Mohamed M, Belhadjali H, dkk. Un


cas original d’echtyma gangrenosum primitif lié à Escherichia Coli chez une
fille immunocompétente. Ann Dermatol Vénéréologie. Desember
2014;141(12):S453.

19. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).


Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta: PERDOSKI; 2017.

20. Siregar R.S,ed. Pioderma, Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Jakarta: EGC; 2002. p. 61-2.

21. Vaiman M, Lazarovitch T, and Heller L. 2015. Ecthyma Gngrenosum nd


Ecthyma-Like Lesions: Review Article. Eur J Clin Microbiol Infect Dis.,
34(4):633-9

22. Wiratama, I., Ismail, S., & Sabir, M. (2020). EKTIMA PADA PEREMPUAN
USIA 73 TAHUN: LAPORAN KASUS. Jurnal Medical Profession (Medpro),
2(1), 14-17.

23

Anda mungkin juga menyukai