Oleh Kelompok 2
Tutor : dr. Prida Ayudianti SP. KK
i
SKENARIO TUTORIAL
Seorang laki-laki bernama Pak Bejo berusia 41 tahun merupakan pasien rawat inap yang
dikonsulkan dari bangsal Ilmu Penyakit Dalam ke bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS
Karsa Husada Batu dengan keluhan adanya luka keropeng. Luka tersebut semakin menyebar
sejak 3 minggu yang lalu. Awalnya Pak Bejo mengeluh adanya bisul berisi cairan kental warna
kuning yang kadang terasa gatal. Pertama kali muncul pada lutut, kemudian menyebar ke perut
dan lengan. Keluhan gatal membuat Pak Bejo sering menggaruk-garuk sehingga muncul luka
yang lama-kelamaan menimbulkan bekas kehitaman yang semakin meluas. Pak Bejo juga
mengeluhkan nyeri pada luka tersebut. Pak Bejo memiliki riwayat gagal ginjal kronis dan
sudah melakukan hemodialisa sebanyak 15 kali. Selama dirawat di rumah sakit Pak Bejo jarang
mandi. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan Pak Bejo. Tidak ada Riwayat demam
sebelumnya, tidak ada Riwayat alergi dan7 Riwayat digigit serangga disangkal. Riwayat
memiliki kencing manis sejak 10 tahun yang lalu namun tidak rutin berobat. Dan untuk keluhan
lukanya belum mendapatkan terapi apa-apa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/90 mmHg,
nadi 84x/menit, pernafasan 20x/menit dan suhu 36,7ºC. Status generalis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status dermatologi didapatkan pada regio ekstremitas superior dan inferior
dextra, patella dextra et sinistra, regio abdomen ditemukan efloresensi: ulkus dangkal multiple
tertutup krusta tebal kuning-kehitaman, bentuk tidak teratur, batas tegas, tepi ulkus meninggi,
dinding curam, dasarnya jaringan kemerahan disertai eritema di sekelilingnya. Dan jika
diangkat, krusta tersebut lekat. Setelah dilakukan pemeriksaan, kemudian dokter meresepkan
pil dan obat kompres pada Pak Bejo. Dokter memberitahukan bahwa lukanya agak lama untuk
sembuh dan dapat meninggalkan bekas, sehingga Pak Bejo harus bersabar. Dokter juga
memberikan nasihat pada Pak Bejo untuk selalu menjaga kebersihan serta tidak menggaruk
lukanya.
1
BAB I
KATA SULIT
1. Bisul: Infeksi atau inflamasi pada folikel rambut biasanya berisi nanah/
Iritasi di kulit, kurang menjaga kebersihan, daya tahan tubuh menurun, infeksi bakteri
stafilococus dan streptolococus.
3. Krusta: Lesi sekunder karena gesekan atau garukan, merupakan pengeringan cairan
eksudat yang bercampur dengan nanah. Terdapat 3 warna hitam,kuning,dan hijau
karena koagulasi darah atau cairan eksudat yang merupakan bagian dari efloresensi.
4. Eritema: Kondisi muncul bercak merah pada kulit karena pelebaran pembuluh darah
disebabkan karena infeksi atau obat-obatan.
5. Efloresensi: Kelainan kulit dan selaput lendir yang bisa dilihat dengan mata
telanjang, terbagi menjadi primer (saat permulaan penyakit) dan sekunder (saat proses
perjalanan penyakit)
6. Keropeng: Nama lain dari ‘krusta’, merupakan reaksi alami dari tubuh dalam proses
penyembuhan luka. Area kulit yang terinfeksi akan mengelupas perlahan bila jaringan
dibawahnya sembuh secara sempurna yang diperantarai oleh trombosit sebagai
pembekuan luka.
8. Ulkus: Kerusakan kulit atau lapisan mukosa yang ditandai dengan jaringan dermis
dan jaringan epidermis yang digantikan dengan jaringan parut. Bentuk ulkus bulat,
tidak teratur, tepi dan dinding serta dasar dan isi yang bervariasi.
9. Status Dermatologis: Penilaian terhadap kulit baik tekstur, lesi, ruam, dan kecacatan
lain yang dilakukan setelah proses efloresensi.
10. Status Generalis: Pemeriksaan fisik secara menyeluruh dari atas kepala sampai ujung
kaki.
2
BAB II
RUMUSAN MASALAH
3
BAB III
BRAINSTORMING
4. Mengapa px mendapat luka keropeng dan menyebar sampai perut dan lengan
sejak 3 minggu yang lalu?
Bisul > digaruk > pecah > nanah tidak dibersihkan dengan baik > bakteri menyebar.
Riwayat ginjal kronis > tubuh tidak bisa menyaring zat toxin.
Garukan menggunakan kuku pada keropeng yang biasanya terdapat bakteri > infeksi.
Kebersihan yang kurang dijaga > bakteri berkembang.
Riwayat kencing manis > respon imun menurun > tubuh kesulitan menangkal bakteri
4
yang masuk.
6. Bagaimana hubungan antara keluhan px saat ini dengan riwayat gagal ginjal
kronis yang di derita oleh px?
Penurunan fungsi ginjal > melemahnya imunitas tubuh > bakteri mudah menginfeksi
tubuh.
Proses hemodialisa yang tidak bersih juga > bakteri masuk.
Ketidakseimbangan hemodialisasi (fosfat dan ureum) > tidak seimbang > glomerulusu
filtartion rate menurun > gatal.
8. Bagaimana hubungan keluhan px dengan riwayat kencing manis yang tidak rutin
berobat?
Riwayat DM > penyempitan pembuluh darah > oksigen dan nutrisi terhambat > keluhan
px semakin parah (luka px yang berisi nanah juga dapat disebabkan karena adanya
bakteri yang masuk).
9. Mengapa dokter menanyakan riwayat alergi dan gigitan serangga pada px?
Untuk mengetahui etiologi rasa gatal dari px (eksternal/internal) dan mengetahui
tatalaksana selanjutnya.
5
yang masuk.
13. Apakah diagnosis yang tepat untuk px sesuai gejala yang dialami?
wdx : EKTIMA
-Karena dalam skenario px memiliki faktor prediposisi yang mengarah ke
ektima,seperti penyakit kronis sejak 1 tahun yang menurunkan fungsi imun dan
kebiasaan px jarang mandi).
-Berdasarkana anamnesis, pasien memiliki prediposisi penyakit gagal ginjal kronis dan
sudah melakukan hemodialisis 15 kali yang menandakan imun pasien sedang menurun,
Ditemukan juga gambaran khas berupa punch out appearence (ulkus meninggi, dan
berdinding curam) sehingga dapat disimpulkan.
ddx : Impetigo Vesikobulosa.
-Lesi yang dialami pasien sama-sama berada pada permukaan (superficialis).
Perbedaannya adalah pada impetigo vesikobulosa krusta berwarna coklat dan
6
berbentuk bulosa dengan bentuk tengah menyembuh dan pinggir menyebar, dengan
krusta yang mudah diangkat. Luka biasaya menyisakan atap dan pus.
7
BAB IV
PETA MASALAH
8
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN
9
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA
Insiden ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui dengan pasti. Frekuensi
terjadinya ektima berdasarkan umur biasanya lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa, tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan
(sama). Pada anak-anak umumnya terjadi pada usia 6 bulan samai 18 tahun dengan
tingkat higienisitas yang randah (Hunter, 2003).
Ektima umum terjadi pada orang dengan riwayat peyakit DM, pengguna obat
intravena, serta pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV. Ektima ini menyerang pada
tungkai bawah (James, 2016).
Kadar gukosa patologis dapat menyebabkan apoptosis sel endotel dan
meghambat sintesis NO dengan menghambat enzim NO sehingga mengakibatkan
vasodilaatasi in vivo. Selanjutnya, kadar glukosa akan menekan kemotaksis dan
fagositosis berbagai sel imun.
10
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi EKTIMA
Infeksi dimulai saat bakteri mengeluarkan beberapa toksin yang dimediasi oleh
superantigen (SA) kemudian antigen berikatan dengan molekul HLA-DR yaitu MHC-
II (Major Histocompatibility Complex II) pada Antigen Presenting Cell ditandai dengan
adanya vesikel atau pustul diatas kulit sekitar yang mengalami inflamasi kemudian
semakin membesar sehingga pustul dapat pecah menyebabkan kulit mengalami ulserasi
berupa krusta. Apabila krusta diangkat akan memperlihatkan adanya gambaran lesi
berbentuk cawan dengan dasar merah dan pada tepi ulkus meninggi, indurasi, dan
berwarna keunguan (punched out appearance).Pyogenic abses diawali sebagai
inflamasi host terlokalisasi secara akut untuk infeksi bakteri. Selain berfungsi sebagai
penghalang fisik untuk melindungi mikroba, keratinosit memiliki reseptor untuk
mengenali mikroba yang menyerang, dan memberikan sinyal untuk proinflammatory.
Sel inang juga menghasilkan antimicrobial yang memiliki aktivitas langsung untuk
melawan S. Aureus. Abses ini memiliki ciri khas, bagian tengah abses berisi eksudat
11
inflamasi terdiri dari jaringan nekrotik, fibrin, dan bakteri itu sendiri. Ciri khas infeksi
stafilokokus lainnya yaitu Supurasi fokal (abses). Dari setiap fokus, organisme dapat
menyebar melalui limfatik dan aliran darah ke bagian lain tubuh.
Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak akibat dari ketidakseimbangan
antara kemampuan mikroorganisme patogen dan mekanisme pertahanan tubuh
manusia. Perkembangan infeksi bakteri dipengaruhi 3 faktor utama, yaitu: lokasi masuk
dan fungsi barrier kulit, pertahanan host, respons inflamasi terhadap invasi mikroba,
dan sifat patogenik organisme. Ektima merupakan perkemabangan lesi Impetigo
stafilokokal atau streptokokus yang tidak diobati sehingga meluas lebih dalam,
menembus epidermis, menghasilkan suatu ulkus berkrusta yang dangkal.
Pada keadaan normal, Kulit yang intak bersifat resistan terhadap kolonisasi atau
impetiginisasi, kemungkinan karena tidak adanya reseptor fibronektin untuk asam
teikoat pada Staphylococcus aureus dan Group A Streptococcus. Kondisi yang
menyebabkan kerusakan integritas epidermis dapat menjadi port d’entry infeksi bakteri
Staphylococcus aureus dan Group A Streptococcus, termasuk gigitan serangga,
dermatofitosis, herpes simpleks, varisela, abrasi, laserasi, dan luka bakar akibat termal.
Perkembangan lesi ini di awali dengan S. Aureus dan/atau GAS yang memiliki
exfoliatin (extracelullar exfoliative toxin) Staphylococcus aureus tipe A dan B.
Exfoliatin tipe A bekerja sebagai serin protease dari desmoglein 1 (desmosomal
chaderin) mengakibatkan disfungsi molekul dan hilangnya adhesi antar sel keratinosit
pada lapisan epidermis superfisial sehingga akan terbentuk lesi vesikel atau putula.
Didalam perkembangannya toxin exfoliatin ini dapat merusak epidermis yang
memungkinkan organisme untuk menyebar dan menyerang jaringan yang lebih dalam
hingga menembus dermis dan menyebabkan terbentuknya ulkus sehingga
menghasilkan lesi borok "lubang" dengan krusta kuning keabu-abuan dan purulen.
12
TAMBAHAN LO SAAT DISKUSI :
a. Memiliki kondisi kulit yang rusak
Bakteri penyebab ektima sering masuk ke kulit melalui luka kecil, goresan,
gigitan serangga, atau ruam.
b. Memiliki riwayat impetigo
Keadaan impetigo yang tidak diobati dengan tepat dapat berkembang menjadi
ektima.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Manifestasi Klinis EKTIMA
13
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Pemeriksaan Fisik dan Penunjang EKTIMA
Pada pemeriksaan fisik ektima akan ditemukan gejala khas berupa, ditemukan
lesi dalam berupa ulkus, dengan krusta yang sulit diangkat dan tempat predileksinya
biasanya pada tungkai bawah. Dengan efloresensi yang khas, yaitu adanya ulkus
superficial yang disertai adanya krusta tebal coklat kehitaman (Wiratama,2020).
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Kulit Ektima
Lokalisasi : ekstremitas bawah, wajah, dan ketiak.
Efloresensi/ sifat-sifatnya : makula eritematosa lenticular hingga
nummular, vesikel dan pustula miliar hingga nummular, difus, simetris,
serta krusta kehijauan yang sukar dilepas.
2. Gambaran Histopatologis Ektima
Peradangan dalam yang diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN dan
pembentukan abses mulai dari folikel pilosebasea. Pada dermis, ujung
pembuluh darah melebar dan terdapat PMN.
3. Pemeriksaan pembantu/ laboratorium Ektima
Mencari etiologic dari secret/ kerokan kulit
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis ektima
sebagai berikut.
Pewarnaan gram dan biakan pus atau eksudat dari lesi kulit impetigo dan ektima
berguna membantu mengidentifikasi Staphylococcus aureus dan/atau
Streptococcus beta hemolyticus grup A;
Kultur dan resistensi lesi apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris;
Kultur dan resistensi darah, darah perifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein
apabila diduga bakteremia; dan
Biopsi bila lesi tidak spesifik. Lesi Ecthyma akan ditemukan menunjukkan
nekrosis dermal dan inflamasi. Infiltrat perivaskular granulomatosa yang dalam
dan superfisial terjadi bersamaan dengan edema endotel. Kerak yang berat
menutupi permukaan ulkus ektima. (PERDOSKI, 2017) (Sinta,M, 2018)
14
7. Mahasiswa mampu menjelaskan Diagnosis Banding EKTIMA
1. Impetigo Krustosa
Disebut juga sebagai impetigo non bulosa atau impetigo kontangiosa. Impetigo
krustosa merupakan infeksi bakteri lokal yang mengenai epidermis kulit dengan
gambaran klinis vesikula atau pustula yang mudah pecah dan menjadi krusta
berwarna kuning seperti madu. Penyebab tersering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan Group A Streptococcus. Secara umum diawali
dengan adanya predisposisi diantaranya gigitan serangga, bekas garukan, atau
penyakit kulit lainnya.
b. Impetigo Bulosa
Memiliki kesamaan dengan impetigo krustosa karena pada umumnya tidak ada
gejala sistemik. Penyebab tersering impetigo bulosa adalah Staphylococcus
aureus. Pada impetigo bulosa terdapat lesi yang berupa bula yang berisi pus.
Saat pecah, bula ini akan menampilkan bentuk seperti bula koralet dengan dasar
eritematosa. Impetigo bulosa sering menjangkiti bayi baru lahir dan sangat
mudah menular.
c. Folikulitis
Merupakan pioderma yang terjadi di folikel rambut dan paling sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. Folikulitis dapat
dibedakan menjadi dua berdasarkan kedalam invasi dari bakteri yaitu folikulitis
superficial dan deep folikulitis. Fokulitis dapat terjadi pada bagian tubuh yang
berambut.
d. Selulitis
Termasuk pioderma profunda dengan skin and soft-tissue infection (SSTI).
Selulitis dapat terjadi di lapisan dermis dan jaringan subkutan. Selulitis tersering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A, tetapi
beberapa bakteri juga ditemukan pada kultur, seperti Streptococcus grup B pada
bayi baru lahir, pneumococcus, basil Gram negatif pada pasien
imunokompromais, serta mikroorganisme lain. Selulitis seringkali
menimbulkan nyeri lokal dengan berbagai derajat eritema dan gejala sistemik
(seperti demam, menggigil, dan malaise). Makula eritematosa dapat segera
terjadi dan meluas. Nyeri lokal seringkali berat, dan tidak adanya makula
eritematosa meningkatkan dugaan adanya infeksi yang terjadi pada lapisan yang
lebih dalam.(A. Hidayati, 2019)
15
kronis yakni gagal ginjal kronis sehingga perlu dilakukan tinjauan tatalaksana yang
tepat pada kasus. (Fathilla,F. 2019)
Penatalaksanaan Ektima antara lain:
Non Farmakologi
Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi menggunakan sabun antibakteri dan
sering mengganti sprei handuk dan pakaian.
Farmakologi
a. Sistemik
Golongan antistaphilokokus oral (seperti dikloksasili, safeleksin, eritromisin,
klindamisin) dapat digunakan untuk mencegah infeksi stafilokokus auerus
sekunder. antibiotik parenteral digunakan untuk ektima yang luas.
b. Topikal
Terapi topikal dengan salep mupirosin digunakan untuk ektima setempat.
Penatalaksanaan ektima secara sistemik dan meliputi agen yang sama dengan
yang digunakan untuk impetigo stafilokokal (Craft, 2012). Penatalaksanaannya
adalah membersihkan dengan sabun dan air, diikuti dengan pengolesan salep
mupirocin, retapamulin, atau bacitracin, dua kali sehari. Dicloxacillin oral atau
sefalosporin generasi pertama juga diindikasikan, dengan penyesuaian terhadap
sensitivitas organisme jika dilakukan kultur (James et al., 2016).
KOMPLIKASI
16
Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis,
limfadenitis supuratif, dan bakteremia (Tiyas A, Merry. 2015). Komplikasi non
supuratif dari infeksi kulit streptokokus termasuk demam berdarah dan
glomerulonefritis akut. Terapi antibiotik yang segera tampaknya tidak mengurangi
tingkat glomerulonefritis pasca streptokokus. Sindrom syok toksik streptokokus juga
telah dilaporkan. Kemungkinan gejala sisa dari pioderma S aureus sekunder yang tidak
diobati termasuk selulitis, limfangitis, bakteremia, osteomielitis, dan endokarditis
infektif akut. Beberapa strain S aureus menghasilkan eksotoksin yang dapat
menyebabkan sindrom kulit melepuh stafilokokus dan sindrom syok toksik. Ektima
dapat menetap selama beberapa minggu dan dapat terjadi komplikasi berupa skar dan
ulserasi (PERDOSKI. 2017). Ektima juga dapat menetap selama beberapa minggu dan
terjadi komplikasi skar. Infeksi dapat menyebar akibat autoinokulasi, melalui vektor
serangga, atau sequelae dari poststreptokokal (glomerulonefritis). (Craft N. 2012)
PROGNOSIS
Rekurensi abses dan furunkel pada anak sebesar 18-28%
• Quo ad vitam : bonam
• Quo ad sanationam : bonam
• Quo ad functionam : bonam
Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya bonam, bila
dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam. Ektima adalah lesi dengan
masa penyembuhan yang lama tetapi memberikan respon yang baik terhadap antibiotik
dalam beberapa minggu. Faktor-faktor yang memperburuk prognosis, bila terdapat lesi
multiple, pemberian antibiotika yang tidak adekuat, Persisten neutropenia. Lesi
cenderung sembuh secara perlahan, namun meninggalkan bekas luka. Ektima dapat
berlanjut menjadi gangren jika ketahanan tubuh rendah. Beberapa lesi lambat untuk
sembuh, membutuhkan beberapa minggu perawatan antibiotik untuk resolusi.
17
11. Mahasiswa mampu menjelaskan Integrasi Islam yang sesuai dengan scenario
Menurut Yusuf al-Qardhawi kebersihan adalah salah satu unsur penting dalam
perilaku beradab. Islam menganggap kebersihan sebagai suatu sistem peradaban dan
ibadah. Karena itu, kebersihan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seorang
muslim. Contoh konkritnya yaitu dalam hal salat, seorang muslim tidak sah salatnya
jika ia malaksanakan salat dalam keadaan berhadas dan di tempat yang kotor. Islam
sangat memperhatikan kebersihan karena sesungguhnya Allah menyukai kebersihan
sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Baqarah (2): 222:
ۙ ِ س ۤا َء فِى ْال َم ِحي
ْض َو ََل ت َ ْق َربُ ْوه َُّن َ ِْض ۗ قُ ْل ه َُو اَذً ۙى فَا ْعتَ ِزلُوا الن ِ َويَسْـَٔلُ ْونَكَ َع ِن ْال َم ِحي
ُّّٰللاَ يُ ِحبُّ التَّ َّوا ِبيْنَ َويُ ِحب ُ ط َّه ْرنَ فَأْت ُ ْوه َُّن ِم ْن َحي
ّٰ ْث اَ َم َر ُك ُم
ّٰ ّٰللاُ ۗ ا َِّن ْ َحتّٰى َي
َ َط ُه ْرنَ ۚ فَ ِاذَا ت
َ َْال ُمت
َط ِه ِريْن
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu
adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu
dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka
sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah
menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”
Hidup bersih dan sehat merupakan salah satu cara untuk menjaga kesehatan.
Sebagaimana kesehatan merupakan nikmat Allah yang senantiasa harus kita syukuri,
sebab dengan kesehatan kita dapat menikmati kebahagiaan hidup yaitu melakukan
rutinitas dan beribadah dengan baik. Karena itu kebersihan dianggap sebagai salah satu
bukti keimanan.
12. Mahasiswa mampu menjelaskan SOAP
S (Subjective)
Nama: Tn. Bejo
Jenis Kelamin: Laki-laki
Usia: 41th
Keluhan Utama: Luka keropeng
RPS: Luka menyebar disertai gatal dan nyeri pada lesi
Lokasi lesi: ekstremitas superior dan inferior dextra, patella dextra et sinistra, regio
abdomen.
Karakteristik: ulkus dangkal multiple tertutup krusta tebal kuning-kehitaman. bentuk
tidak teratur, batas tegas, tepi ulkus meninggi, dinding curam, dasar jaringan
kemerahan disertai eritema di sekelilingnya, jika diangkat krusta tersebut melekat.
18
Nadi: 84x/menit (N)
Pernapasan: 20x/menit (N)
Suhu: 36,7oC (N)
Pemeriksaan Fisik: Compos mentis (kesadaran normal)
Status Dermatologis:
Lokasi lesi di ekstremitas superior dan inferior dextra, patella dextra et sinistra, regio
abdomen dengan karakteristik ulkus dangkal multiple tertutup krusta tebal kuning-
kehitaman. Bentuk tidak teratur, batas tegas, tepi ulkus meninggi, dinding curam,
dasar jaringan kemerahan disertai eritema di sekelilingnya, jika diangkat krusta
tersebut melekat.
A1 (Initial Assesment)
DDx (Differential Diagnosis): Impetigo krustosa, selulitis.
P1 (Planning Diagnosis)
Pemeriksaan Penunjang:
1. Pewarnaan gram dan biakan pus atau eksudat dari lesi kulit impetigo dan ektima
berguna membantu mengidentifikasi Staphylococcus aureus dan/atau Streptococcus
beta hemolyticus grup A.
2. Kultur dan resistensi lesi apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris.
3. Kultur dan resistensi darah, darah perifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein
apabila diduga bakteremia.
4. Biopsi bila lesi tidak spesifik. Lesi Ecthyma akan ditemukan menunjukkan nekrosis
dermal dan inflamasi. Infiltrat perivaskular granulomatosa yang dalam dan
superfisial terjadi bersamaan dengan edema endotel. Kerak yang berat menutupi
permukaan ulkus ektima.
A2 (Assesment)
WDx (Working Diagnosis): EKTIMA (SKD.4)
P2 (Planning)
Tatalaksana Farmakologis:
Topikal: Kompres terbuka dengan permanganas kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%,
rivanol 1%, larutan povidon iodine 1%; dilakukan 3 kali sehari masing-masing 1⁄2-1 jam
selama keadaan akut.
Sistemik: Kloksasilin/dikloksasilin 4x250-500 mg/hari per oral.
19
Tatalaksana non-Farmakologis:
Mandi menggunakan sabun antibakteri dan sering mengganti sprei handuk dan
pakaian.
KIE:
Menjaga kebersihan dan menginformasikan mengenai penyakit dan
penatalaksanaannya.
Memberikan edukasi terhadap pasien dan keluarga pasien agar menjaga higiene
perorangan yang baik agar dapat membatasi penularan.
Mandi 2 kali sehari dengan sabun.
Menggunakan insect repellent untuk mengurangi reaksi gigitan serangga yang dapat
menyebabkan komplikasi pioderma berupa ektima.
20
BAB VII
PETA KONSEP
21
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA
4. Odom RB, James WD, Berger TG: Ecthyma, Streptococcal skin infections,
Andrew’sDiseases of The Skin, Clinical Dermatology. 9th ed. Philadelphia:
WB Saunders.2000. p.
10. Hidayati, Afif. 2019. Infeksi Bakteri di Kulit. Surabaya: Airlangga University
Press.
11. Fathilla, F., Anggraini, D. I., Sibero, H. T., Kedokteran, F., Lampung, U., Ilmu,
B., Kulit, K., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2019). Tatalaksana Ektima Pada
Pasien dengan Gagal Ginjal Kronis. 8(2), 19–23.
12. Tiyas A, Merry. Buku Ajar Sistem Integumen. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang, 2015.
22
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. New York: McGraw Hill Medical,
2012
17. Craft, Noah, et al. Superficial Cutaneous Infections and Pyoderma. In: Wolff
Klause, Goldsmith Lowell, Katz Stephen, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. P. 1694-
1701.
20. Siregar R.S,ed. Pioderma, Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Jakarta: EGC; 2002. p. 61-2.
22. Wiratama, I., Ismail, S., & Sabir, M. (2020). EKTIMA PADA PEREMPUAN
USIA 73 TAHUN: LAPORAN KASUS. Jurnal Medical Profession (Medpro),
2(1), 14-17.
23