Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN TUTORIAL

“Dok saya malu dengan sisik di wajah saya….”

Oleh Kelompok 2
Tutor : dr. Badariyatud Dini SP.BP.RE (K).

Ketua Kelompok : Ahmad Taufiqurrohman Al- (200701110033)


Rasyid Anggota :
Sekretaris 1 : Luqiyatun Nadlifah (200701110032)
Sekretaris 2 : Aridin Gustaf (200701110008)
Anggota : Ayuma Laila Fauza (200701110005)
Zulfa Kamalia (200701110006)
Syifaus Shodry (200701110007)
Sabila Rosyidah Wibawa P (200701110030)
Ainul Fardiah Sumatika (200701110031)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................................................ i
Skenario ................................................................................................................................. 1

1. BAB I : KATA SULIT ............................................................................................... 2

2. BAB II : RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 4

3. BAB III : BRAINSTORMING ..................................................................................... 9

4. BAB IV : PETA MASALAH ..................................................................................... 10

5. BAB V : TUJUAN PEMBELAJARAN ..................................................................... 11

6. BAB VI : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 23

7. SOAP............................................................................................................................... 25

8. BAB VII : PETA KONSEP ......................................................................................... 31

9. BAB VIII : DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 32

i
SKENARIO TUTORIAL

“Dok saya malu dengan sisik di wajah saya….”

Seorang laki-laki bernama Bapak Fajar berusia 37 tahun datang ke poliklinik Ummi dengan
keluhan kulit kering disertai dengan bercak kemerahan pada wajah sejak 1 bulan terakhir.
Keluhan disertai dengan sedikit rasa gatal, terutama jika sedang berkeringat atau sedang
terpapar sinar matahari terus menerus. Keluhan tersebut awalnya timbul di sekitar alis
kemudian menyebar ke kelopak mata, sekitar hidung dan sekitar mulut. Lalu sejak seminggu
ini keluhan juga timbul di telinga kanan dan kiri, dan jika digaruk lama kelamaan akan menjadi
basah dan sisiknya menjadi kekuningan. Pasien bekerja sebagai mandor bangunan, sering
bekerja dibawah terik matahari dan sering berkeringat. Pasien mengaku belum mengobati
keluhannya dan cenderung membiarkan, namun lama kelamaan merasa tidak percaya diri
karena bercak merah dan sisik semakin nampak. Pasien mengaku bahwa baru saja divonis
menderita HIV. Pasien belum menikah namun memang memiliki riwayat sering berganti-ganti
pasangan seksual.

Dari hasil pemeriksaan fisik pada regio malar, regio periorbita dekstra et sinistra, perioral, regio
meatus akustikus eksterna dekstra et sinistra didapatkan makula eritematous dengan batas tidak
jelas tertutup skuama tipis berwarna putih kekuningan, didapatkan ekskoriasi dan erosi.
Kemudian pasien diberi obat oles oleh dokter dan dijadwalkan untuk kembali kontrol satu
minggu kemudian untuk evaluasi hasil terapi.

1
BAB I
KATA SULIT

1. Regio Malar: Regio yang berada di daerah pipi dan tulang zigomatic yang membentuk
tonjolan pipi.

2. Regio periorbital: Terdiri atas alis mata, kelopak mata atas dan bawah, glabella, dan
perikantus yang rentan terhadap tanda-tanda awal penuaan.

3. Regio meatus akustikus eksterna:


 Regio telingan yang berfungsi untuk menghantarkan suara ke membran tiphani.
 Berada sepanjang concha hingga membrana tympani sekitar 2,5 cm dan dilapisi
oleh kulit yang memiliki rambut atau kelenjar keringat yang memproduksi
cerumen (kotoran telinga).

4. Erosi:
 Lesi yang cenderung basah,batas tegas,depres lession,terjadi akibat hilangnya
semua/sebagian epidermis. Biasanya terjadi akibat koagula yang pecah.
 Kehilangan jaringan tidak sampai startum basalis yang diiringi cairan serosa.

5. Makula eritematus:
 Perubahan warna kulit yang tidak disertai perubahan permukaan kulit
(datar,kemerahan).
 Makula (perubahan warna kulit dengan batas tegas tanpa disertai cekungan),
eritematus (muncul bercak merah akibat pelebaran pembuluh darah kulit yang
dipicu oleh peradangan).
 Bentuk kelainan kulit primer (pada awal penyakit).

6. HIV:
 HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh yang dapat melemahkan kemampuan tubuh melawan infeksi
dan penyakit. Virus yang merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan
menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh
akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.
 Penyakit yang disebabkan HIV adalah AIDS (sekumpulan gejala yang timbul
akibat penurunan sistem imun akibat serangan virus HIV).

7. Ekskoriasi:
 Lecet kulit yang disebabkan hilangnya stratum basalis sampai stratum pailary
yang ditandai dengan keluarnya serum serta darah.

2
 Ruam sekunder berupa kehilangan epidermis dan dermis bagian atas dari
lapisan kutis yang disertai keluarnya cairan berupa serum dan darah, bisa karena
efek garukan yang dalam.

8. Skuama:
 Sisik di kulit karena stratum korneum terlepas dari kulit.
 Jenis efloresensi sekunder (akibat perubahan yang terjadi pada efloresensi
primer).
 Bisa dilihat dari ukuran,warna,ketebalan,dan perlekatannya. 2 Tipe, namun
dalam skenario termasuk pitiriasis alba (putih,tipis).

3
BAB II
RUMUSAN MASALAH

1. Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin dan usia terhadap gejala yang diderita
oleh px?
2. Mengapa px mengalami keluhan berupa kulit kering dan disertai becak kemerahan pada
wajah selama 1 bulan terakhi?
3. Mengapa keluhan disertai sedikit rasa gatal terutama jika sedag berkeringat atau sedang
terpapar sinar matahari terus-menerus?
4. Mengapa keluhan yang px alami awalnya timbul disekitar alis kemudian menyebar ke
kelopak mata,sekitar hidung,dan sekitar mulut?
5. Mengapa keluhan gatal yang dirasakan px jika digaruk terus-menerus akan menjadi
basah dan sisiknya menjadi kekuningan?
6. Apa hubungan riwayat pekerjaan dengan keluhan yang diderita px?
7. Mengapa bercak dan sisik semakin nampak ketika dibiarkan dan tidak diobati?
8. Apa hubungan px yang belum menikah dan berganti px dengan penyakit yang diderita
oleh px?
9. Mengapa px diberikan obat oles dan dijadwalkan kembali kontrol 1 minggu kemudian
untuk evaluasi tahap terapi?
10. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik pada px?
11. Apa ddx yang dialami oleh px?

4
BAB III
BRAINSTORMING

1. Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin dan usia terhadap gejala yang
diderita oleh px?
 Jenis kelamin: Laki-laki mengalami peningkatan insiden dua kali lebih besar
dibandingkan perempuan, dikaitkan dengan stimulasi hormon androgen,
sehingga terjadi aktivitas kelejar sebasea (biasanya DS terjadi pada area tubuh
yang banyak mengandung kelenjar sebasea; scalp atau kulit kepala, wajah, dan
badan) untuk memproduksi sebum yang lebih. Peningkatan sebum dapat
menginduksi proliferasi Malassezia dan memicu terjadinya dermatitis seboroik.
 Usia: Pada usia lanjut salah satunya akan terjadi penurunan jumlah lipid di
stratum korneum dan penipisan epidermis serta dermis. Hal ini dapat
mengakibatkan kerentanan yang lebih tinggi terhadap rangsangan eksternal.
Selain itu daya tahan tubuh yang semakin menurun dapat mengakibatkan orang
dengan lanjut usia menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit, seperti
dermatitis seboroik.

2. Mengapa px mengalami keluhan berupa kulit kering dan disertai becak


kemerahan pada wajah selama 1 bulan terakhi?
 Kulit bersisik tampak kering dan pecah,bisa terjadi di tangan kaki,wajah yang
disertai gatal dan kemerahan. Bisa terjadi karena gejala penyakit tertentu seperti
penyakit-penyakit dermaitis. Riwayat HIV dan infeksi jamur menyebabkan
reaksi inflmasai dengan aktivasi kelenjar sebasea dan peningkatan sebum
sehingga kulit kering dan bercak merah di wajah.
 Kulit kering dikarenakan menurunnya kelembapan kulit px.

3. Mengapa keluhan disertai sedikit rasa gatal terutama jika sedang berkeringat
atau sedang terpapar sinar matahari terus-menerus?
 Lesi yang muncul terpapar sinar matahari langsung sehingga cenderung
berminyak, minyak/keringat tersebut dapat mengenai tempat yang
menimbulkan gatal. Apabila digaruk dapat timbul ruam merah dan bersisik.
 Pada waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi
penguapan keringat dari kelenjar keringat (sehingga suhu tubuh dapat dijaga
tidak terlalu panas), namun dalam kondisi lembab tersebut membuat jamur lebih
cepat berkembang sehingga menimbulkan rasa gatal.
 Saat berkeringat suhu tubuh meningkat, dimana tubuh akan melakukan
kompenasasi. Saat terjadi kompensasi yang aktif tubuh bingung melakukan hal
tersebut, justru tubuh menganggap sebagai ancaman sehingga mengeluarkan
histamin (bercak merah dan merangsang ujung saraf bebas untuk melakukan
garukan).

5
4. Mengapa keluhan yang px alami awalnya timbul disekitar alis kemudian
menyebar ke kelopak mata,sekitar hidung,dan sekitar mulut?
 Menyebar karena digaruk, daerah tersebut memiliki banyak kelenjar sebasea
sehingga produksi keringat meningkat. Alis sebagai tempat penahan keringat
yangmana terdapat mikroorganisme (sebagai tempat berkembangnya).
 Distribusi nya mengikuti daerah berminyak dan banyak rambut (kepala, leher,
kulit kepala, bulu mata, alis, dll).
 Keluhan gatal tersebut menyebar ke area tubuh dengan aktivitas kelenjar
sebasea yang tinggi, sebum berperan aktif dengan keluhan px (untuk menjaga
evaporasi berlebih sehingga kulit tidak kering).
 Terjadinya reaksi hipersensitivitas dimanai reaksi komplemen yang akan
mengeluarkan sel histamin, sel CD4 rusak sehingga mediator inflamasi
emmproduksi berlebih (histamin dikeluarkan terus menerus dan menimbulkan
gatal).

5. Mengapa keluhan gatal yang dirasakan px jika digaruk terus-menerus akan


menjadi basah dan sisiknya menjadi kekuningan?
 Gatal yang digaruk menimbulkan lesi, bila terus menerus akan mengeluarkan
cairan yang akan membentuk plak. Daerah lesi dalam skenario pada daerah
berambut dari kelenjar glandula , sehingga selain serum dan darah akan keluar
lipid yang bercampur dan menjadi sisik kekuningan.
 Saat garukan terjadi kerusakan barier kulit, sehingga keluar lipid yang
bercampur dengan kelenjar sebasea sehingga terjadi eritema.

6. Apa hubungan riwayat pekerjaan dengan keluhan yang diderita px?


 Mandor memiliki risiko terkena bahan kimia dari luar, hal ini menyebakan
reaksi inflamasi lokal di kulit sehingga terjadi infeksi.
 Keringat yang seharusnya bisa menguap, terhambat prosesnya dikarenakan
udara dari luar kepala susah masuk, terhalang oleh helm yang menutupi kepala
tersebut. Akibatnya terjadi penumpukan sebum dan keringat di kulit kepala.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, apabila terlalu banyak sebum yang
dibiarkan menumpuk di permukaan tubuh, Malassezia spp. akan tumbuh dan
berkembang biak dengan baik sehingga dapat memicu terjadinya kejadian
dermatitis seboroik.
 Para pekerja yang bekerja diluar dan terpapar sinar matahari berisiko terkena
dermatitis seroboik. Pekerjaan yang mengeluarkan keringat tersebut
mempengaruhi kelembapan kulit yang membuat spora normal berkembang biak
secara berlebihan, hal tersebut juga menjadi risiko dermatitis seboroik.
 Respon tubuh saat peningkatan suhu menyebabkan produksi sebum meningkat.
dan meperparah gejala px.

7. Mengapa bercak dan sisik semakin nampak ketika dibiarkan dan tidak diobati?

6
 Jamur yang tidak diobati bisa melebar dan menginfeksi daerah lain, warna luar
menjadi tanda ruam dan komplikasi sehingga semakin gatal. Pekerjaan yang
beringat dan menghasilkan sebum berlebih yang membuat area tersebut menjadi
semakin gatal dan ingin digaruk memperparah gejala).

8. Apa hubungan px yang belum menikah dan berganti px dengan penyakit yang
diderita oleh px?
 Ganti-ganti pasangan menyebabkan HIV, sedangkan DS adalah salah satu
manifestasi kulit yang sering muncul pada penderita HIV/ AIDS. Pada penderita
HIV diperkirakan terjadi perubahan kadar sitokin yang mengakibatkan DS.
Kadar Interferon-α dan Tumor Necrosis Factor meningkat pada penyakit infeksi
HIV. Sitokin ini mengakibatkan perubahan metabolisme lipid, meningkatkan
kadar trigliserid dan kolesterol dalam serum. Perubahan metabolisme lipid
tersebut diduga dapat meningkatkan sensitivitas terhadap mediator inflamasi
yang dihasilkan oleh Malassezia.
 HIV menyebabkan pertahan respon imun tubuh berkurang, sehingga penyakit
semakin parah.

9. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik pada px?


 Makula eritematosa batas tidak jelas tertutup skuama tipis berwarna putih
kekuningan didapatkan ekskoriasi dan erosi pada regio malar, regio periorbital
dextra et sinistra, perioral, regio meatus akustikus eksterna dekstra et sinistra.
Dari hasil yang didapatkan pada pemeriksaan fisik karakteristik lesi pasien
mengarah pada karakteristik lesi dermatitis seboroik berupa lesi makula
kemerahan serta skuama berwarna kuning berminyak atau menyerupai dedak
yang menempel berbentuk plak. Lesi mudah terlihat terutama pada area lipatan
nasolabial (perioral), alis, kelopak mata bagian atas (periorbital), dahi, post
auricular, meatus akustikus eksterna, dan aurikula. Distribusi lesi umumnya
simetris sesuai dengan skenario bahwa lesi terdapat pada sisi kanan dan kiri dari
area sekitar mata dan meatus akustikus eksterna.

10. Mengapa px diberikan obat oles dan dijadwalkan kembali kontrol 1 minggu
kemudian untuk evaluasi tahap terapi?
 Terapi lini pertama adalah obat topikal, berupa corticosteroid, inhibitor
kalsineurin, antifungi, dan keratolitik. Corticosteroid sangat efektif untuk
mengurangi eritema, skuama, dan pruritus secara cepat; gunakan potensi lemah
lebih dulu untuk menghindari efek samping dan rebound phenomena. Inhibitor
kalsineurin (tacrolimus dan pimecrolimus) menghambat kalsineurin, mencegah
sitokin inflamasi pada sel limfosit T. Inhibitor kalsineurin tidak menyebabkan
telangiektasia dan atrofi kulit seperti pada pemberian corticosteroid, dan dapat
digunakan sebagai terapi pemeliharaan untuk mencegah relaps atau eksaserbasi,
namun obat golongan ini diduga terkait dengan risiko kanker.

7
 Dermatitis seboroik ini penyakit kronis dan sering kambuh, bisa ditekan namun
tidak sembuh permanen. Sehingga membutuhkan pengobatan yang rutin.

11. Apa ddx dan wdx yang dialami oleh px?


 ddx: Dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis atopik
Diagnosis dermatitis seboroik dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
-Dari anamnesis pasien didapatkan keluhan utama: Kulit kering dg bercak
kemerahan yang gatal dan jika digaruk akan menimbulkan sisik
kekuningan pada daerah sekitar alis, kelopak mata, sekitar hidung dan mulut,
dan timbul di telinga kanan dan kiri yang merupakan daerah predileksi
terjadinya dermatitis seboroik. Selain itu pasien memiliki riwayat penyakit HIV
yang merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya dermatitis seboroik.
Pasien juga bekerja sebagai mandor yang sering berkeringat karena terpapar
sinar matahari dimana fluktuasi suhu serta kelembaban merupakan faktor yang
dapat mencetuskan munculnya dermatitis seboroik.
-Dari pemeriksaan fisik didapatkan temuan klinis berupa lesi makula
eritematous dengan batas tidak jelas yang tertutup skuama tipis kekuningan
pada regio malar, regio periorbita dekstra et sinistra, perioral, regio meatus
akustikus eksterna dekstra et sinistra hal tersebut sesuai dengan karakteristik
lesi pada dermatitis seboroik biasanya muncul sebagai bercak kemerahan dan
bersisik, berminyak pada area lipatan nasolabial (perioral), alis, kelopak mata
bagian atas (periorbital), dahi, post auricular, meatus akustikus eksterna, dan
aurikula. Distribusi lesi umumnya simetris sesuai dengan skenario bahwa lesi
terdapat pada sisi kanan dan kiri dari area sekitar mata dan meatus akustikus
eksterna.
-Pada skenario tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, namun pada kasus
dermatitis seboroik jika diagnosis tidak pasti bisa dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa biopsi yang akan menunjukkan adanya parakeratosis pada
epidermis, ostia folikel, dan spongiosis. Pemeriksaan penunjang lainnya yang
dapat dilakukan pada kasus dermatitis seboroik yaitu pemeriksaan
histopatologi. Pada pemeriksaan histopatologi penderita HIV akan terdapat
gambaran keratinosit yang rusak, kerusakan setempat dari dermoepidermal.
pada dermis tampak banyak pembuluh darah dengan didnding yang menebal,
dan banyak ditemukan sel plasma.
 wdx: Dermatitis seboroik
Rawan untuk pasien imunocompromised atau hiv, skuama kekuningan, erosi,
ekskoriasi, pasien HIV rawan terinfeksi. Karena:
-Predileksi utama di daerah kulit kepala rambut, seperti wajah (alis, lipat
nasolabial, dan side burn), telinga dan liang telinga, dada bagian atas-tengah,
dan punggung.
-Lesi berupa skuama kuning berminyak, eksematosa ringan, kadang disertai
rasa gatal

8
-Tanda awal berupa menculnya ketombe.
-Lesi yang berat berupa cradle crap (seluruh kepala tertutup oleh krusta, kotor,
berbau).
-Psoriasis hampir sama dalam pmx histologi. Pada dermatitis seboroik
spongiosus minimal dan dilatasi pembuluh pada pebuluh darah.

9
BAB IV
PETA MASALAH

10
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dermatitis seboroik.


2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi dermatitis seboroik.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi dermatitis seboroik.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi dermatitis seboroik
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan faktor risiko dermatitis seboroik
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis dermatitis seboroik.
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kriteria diagnosis dermatitis seboroik.
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang dermatitis seboroik.
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis banding dermatitis seboroik
10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tatalaksana dermatitis seboroik
11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi dan prognosis dermatitis
seboroik.
12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pencegahan dan KIE dermatitis
seboroik
13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan integrasi islam terkait scenario.

11
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dermatitis dan


dermatitis seboroik
 Dermatitis
Dermatitis adalah istilah umum yang menggambarkan iritasi kulit yang sering
terjadi. Dermatitis memiliki banyak penyebab dan bentuk dan biasanya melibatkan
gatal, kulit kering atau ruam. Atau mungkin menyebabkan kulit melepuh,
mengeluarkan cairan, kerak atau mengelupas. Tiga jenis umum dari kondisi ini adalah
dermatitis atopik (eksim), dermatitis seboroik dan dermatitis kontak.
 Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik adalah kelainan papuloskuamosa yang berpola pada area yang
kaya sebum di kulit kepala, wajah, dan badan. Ketika terlokalisasi ke kulit kepala, itu
biasa disebut sebagai ketombe. Selain sebum, dermatitis ini berkaitan dengan
organisme Malassezia, kelainan imunologis, dan aktivasi komplemen. Hal ini biasanya
diperparah oleh perubahan kelembaban, perubahan musim, trauma (misalnya,
menggaruk), atau stres emosional. Tingkat keparahannya bervariasi dari ketombe
ringan hingga eritroderma eksfoliatif. Dermatitis seboroik dapat memburuk pada
penyakit Parkinson dan AIDS. Peningkatan keringat pada penyakit Parkinson mungkin
berhubungan dengan dermatitis seboroik.

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi dermatitis


seboroik
 Tingkat prevalensi dermatitis seboroik adalah 3-5%, dengan distribusi di seluruh
dunia. Di Amerika Serikat saja, $300 juta dihabiskan setiap tahun untuk perawatan
ketombe yang dijual bebas. Ketombe, bentuk paling ringan dari dermatitis ini,
mungkin jauh lebih umum dan terjadi pada sekitar 15-20% populasi.
 Ras/Suku: dermatitis seboroik terjadi pada orang dari semua ras.
 Jenis Kelamin: dermatitis seboroik cenderung lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita.
 Biasanya terjadi pada usia 40 tahun, namun tidak terlalu parah, tetapi banyak kasus
yang terjadi pada fase orang tua. jarang terjadi pada bayi, atau biasa disebut sebagai
cradle cap atau sebagai erupsi fleksural atau eritroderma.

3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi dermatitis seboroik


Organisme Malassezia mungkin bukan penyebab tetapi merupakan kofaktor
yang terkait dengan depresi sel T, peningkatan kadar sebum, dan aktivasi jalur

12
komplemen alternatif. Orang yang rentan terhadap dermatitis ini juga mungkin
memiliki disfungsi penghalang kulit. Karena dermatitis seboroik jarang terjadi pada
anak-anak praremaja, dan tinea kapitis jarang terjadi setelah masa remaja, ketombe
pada anak lebih mungkin menunjukkan infeksi jamur. Kultur jamur harus diselesaikan
untuk konfirmasi. Berbagai obat dapat memicu atau menginduksi dermatitis seboroik.
Obat-obat ini termasuk auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine,
cimetidine, ethionamide, fluorouracil, gold, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa,
lithium, methoxsalen, methyldopa, phenothiazine, psoralen, stanozolol,
thiothiothalixen.

4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi dermatitis seboroik


 Patofisiologi DS dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
 Kelenjar sebasea mensekresi lipid pada permukaan kulit.
 Kolonisasi Malassezia pada area kulit yang mengandung lipid.
 Malassezia mensekresi lipase, menghasilkan asam lemak bebas dan lipid
peroksida yang mengaktifkan respons inflamasi.
 Sistem imun menghasilkan sitokin seperti IL-1α, IL-1ß, IL-2, IL-4, IL-8, IL-
10, IL- 12, dan TNF-α, menstimulasi keratinosit untuk diferensiasi dan
proliferasi.
 Kerusakan barrier kulit menyebabkan lesi eritema, pruritus, dan skuama (Nadia
Puspa, 2022).
 Mikrobiota sebagai Penyebab Utama
Spesies Malassezia yang merupakan flora normal kulit manusia dianggap berperan
pada proses patogenesis DS. Hal ini terlihat dari distribusi lesi DS yang tersebar pada
area kelenjar sebasea yang merupakan daerah koloni Malassezia. Selain itu,
penggunaan obat antifungi dapat menurunkan koloni Malassezia, mampu mengurangi
keluhan pada DS, dan bahwa pityriasis versicolor dan Pityrosporum folikulitis
umumnya disertai DS. Spesies Malassezia yang sering dijumpai adalah M. globosa dan
M. restricta. M. globosa mampu menstimulasi sitokin lebih banyak daripada M.
restricta. Populasi Malassezia diduga dipengaruhi fungsi kelenjar sebasea yang berbeda
pada tiap individu, komposisi lipid, dan fungsi imun. Adanya perubahan pada inang
seperti disfungsi epidermis mengganggu mikrobioma kulit, membantu proliferasi
Malassezia. DS dapat merupakan hasil reaksi imun terhadap Malassezia atau
produknya. Metabolit jamur ini menginfiltrasi ke barrier epidermis dan menyebabkan
inflamasi, yang menyebabkan kerusakan barrier dan gangguan mikrobiota kulit lebih
lanjut akibat sitokin yang dihasilkan. Hasil akhirnya adalah Malassezia dan produknya
makin mudah berpenetrasi ke dalam epidermis dan kembali menyebabkan siklus
inflamasi.
 Kelenjar Sebasea dan Lipid

13
Kelenjar sebasea adalah kelenjar holokrin yang tersebar di seluruh tubuh, kecuali
telapak tangan, telapak kaki, dan punggung kaki. Konsentrasi tertinggi pada wajah,
punggung, dan dada. Peran kelenjar sebasea pada DS ditunjukkan dengan area
predileksi DS dan terjadi saat tingginya aktivitas kelenjar sebasea, seperti pada bayi dan
remaja/dewasa muda. Aktivitas kelenjar sebasea distimulasi oleh androgen dan
kortikosteroid adrenal. Androgen sangat penting untuk regulasi kelenjar sebasea,
sehingga DS lebih banyak pada laki-laki. Pada wanita, DS lebih disebabkan karena
penggunaan kosmetik. Lapisan lipid permukaan kulit diproduksi oleh sebosit dan
keratinosit. Keratinosit menghasilkan lipid yang bergabung ke struktur stratum
korneum, sedangkan sebosit mensekresikan ke permukaan kulit; keduanya memiliki
komposisi yang berbeda. Sebum mengandung squalene, wax esters, dan trigliserida.
Pada kulit pasien DS, tidak selalu didapatkan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea,
namun didapatkan perubahan komposisi lipid permukaan kulit. Malassezia bergantung
pada lipid eksogen karena tidak memiliki gen untuk sintesis asam lemak (kecuali M.
pachydermatis). Lipase dan fosfat yang dihasilkan Malassezia menghidrolisis lipid
kelenjar sebasea, menghasilkan penurunan trigliserida dan peningkatan asam lemak
bebas. Malassezia menggunakan asam lemak jenuh, sedangkan asam lemak tak
jenuh yang iritatif seperti asam oleat dibiarkan dan diduga menjadi pencetus utama
inflamasi dan memediasi terjadinya skuama seperti dandruff pada individu yang rentan.
Asam lemak bebas meningkatkan pertumbuhan Malassezia, dan menyebabkan
hiperproliferasi stratum korneum, sehingga kulit bersisik, dan diferensiasi korneosit
yang tidak sempurna, akhirnya merusak fungsi barrier kulit. Kerusakan barrier
epidermis mempermudah penetrasi metabolit iritatif ke dalam kulit.
 Imunologi dan Biologi Molekuler
Malassezia diduga menginduksi maturasi sel dendritik, stimulasi sel T helper 2,
berbagai jalur inflamasi, dan sekresi sitokin. Banyak penanda inflamasi meningkat pada
DS, yaitu IL-1α, IL-1ß, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12, TNF-α, beta-defensin, IFN-
γ, nitric oxide, dan histamin. Penelitian lain menunjukkan peningkatan sel T yang
menghasilkan IL-17. Selain itu, terjadi kerusakan pada keratin 1, 10, dan 11, seramid,
dan lipid sfingoid yang penting untuk integritas barrier kulit. Dugaan penyebab lain
adalah inflamasi yang diinduksi oleh stres oksidatif melalui reactive oxygen species.
 Pengaruh Genetik
Studi terbaru menunjukkan adanya kerentanan genetik terlihat dari subtipe human
leukocyte antigen (HLA) yang cenderung meningkatkan risiko DS. Adanya masalah
ekspresi gen yang menginduksi inflamasi dan memetabolisme lipid juga ditemukan
pada DS.
 Hubungan dengan Penyakit Sistemik
Dua penyakit yang paling berhubungan dengan DS adalah HIV dan penyakit
Parkinson. Prevalensi DS pada pasien HIV sebesar 20%-83%, menunjukkan bahwa
disregulasi imun mengganggu mikrobiota dan respons inflamasi, menyebabkan DS.
Limfopenia CD4 menyebabkan proliferasi Malassezia yang tidak terkontrol pada kulit.

14
Inflamasi DS pada pasien HIV lebih berat dan generalisata, dengan skuama yang lebih
kuning, tebal, dan berminyak. Sekitar 60% pasien penyakit Parkinson mengalami DS.
Densitas Malassezia ditemukan hampir 2 kali lipat pada pasien Parkinson dibandingkan
pasien bukan Parkinson, mungkin disebabkan hiperaktivitas sistem parasimpatis,
sehingga terjadi peningkatan produksi sebum. Imobilitas fasial juga menyebabkan
akumulasi sebum, yang meningkatkan virulensi Malassezia karena produksi asam
lemak bebas seperti asam oleat menjadi makin banyak. M. globosa yang paling banyak
menghidrolisis sebum, paling dominan pada penyakit Parkinson. Peningkatan α-
melanocyte-stimulating hormone juga turut berperan pada terjadinya DS. Terapi
levodopa dapat memperbaiki kondisi kulit dengan cara mengurangi kadar sebum
melalui penghambatan α-melanocyte stimulating hormone. Prevalensi DS juga
meningkat pada kelainan neurologi lain, seperti kelainan mood, penyakit Alzheimer,
siringomielia, epilepsi, infark serebrovaskular, post-ensefalitis, retardasi mental,
poliomielitis, cedera nervus trigeminal, dan alkoholisme.

5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan faktor risiko dermatitis seboroik


Kejadian dermatitis seboroik berkaitan dengan beberapa faktor risiko yang
dimiliki oleh masing-masing individu seperti aktivitas kelenjar sebasea, hormone
androgenik, infeksi mikologis, dan gangguan neurologis dapat memiliki efek besar
pada pengembangan kondisi (Picardo dan Cameli, 2014). Teori yang menyatakan jenis
kelamin merupakan salah satu faktor risiko dari dermatitis seboroik dituliskan oleh
Lausarina (2018). Bas dkk (2016) mengatakan bahwa laki-laki mengalami peningkatan
insiden dua kali lebih besar dibandingkan perempuan, dikaitkan dengan stimulasi
hormon androgen. Produksi hormon androgen lebih tinggi pada laki-laki, sehingga
produksi sebum lebih banyak pada laki-laki akibat dari peningkatan aktivitas kelenjar
sebasea. Peningkatan sebum dapat menginduksi proliferasi Malassezia dan memicu
terjadinya dermatitis seboroik (Sanders, 2018). Survey yang dilakukan oleh Foley dan
kawan-kawan terhadap 1.116 anak di Australia, didapatkan prevalensi DS pada anak
laki-laki sebesar 10% dan 9,5% pada anak perempuan (Astindari dkk., 2014).

6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis dermatitis


seboroik
 Bentuk dermatitis seboroik ada 2 yakni dermatitis seboroik infantil dan dermatitis
seboroik dewasa. Karakteristik lesi dermatitis seboroik berupa lesi berbatas tegas,
skuama berwarna kuning kemerahan kecoklatan serta berminyak atau skuama
menyerupai dedak yang menempel dan berbentuk plak. Lesi paling sering timbul
pada daerah kepala, telinga, wajah, parasternal, dada, dan daerah intertrigo.
Gambaran klinis dari dermatitis seboroik bervariasi tergantung pada area kulit yang
terlibat. Keluhan gatal paling sering muncul pada dermatitis seboroik di daerah kulit
kepala dan liang telinga.

15
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kriteria diagnosis dermatitis
seboroik.

16
Diagnosis DS umumnya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisis, yaitu berdasarkan adanya lesi eritroskuamosa di daerah predileksi
yang kronis dan berulang. Anamnesis mengenai kondisi, penyakit penyerta, riwayat
keluarga, serta gaya hidup sehari- hari dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Untuk kasus DS berat, rekalsitran, dan resisten terhadap pengobatan,
kecurigaan adanya penyakit penyerta antara lain HIV/AIDS, perlu dipikirkan. Tidak
diperlukan pemeriksaan khusus untuk menegakkan diagnosis; pemeriksaan
laboratorium dan biopsi dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Tidak ada
hasil laboratorium abnormal yang konsisten pada DS. Namun, pada kasus-kasus yang
menyerupai penyakit lain atau kasus berat memerlukan pemeriksaan penunjang yang
berguna untuk memperkuat diagnosis, mengetahui faktor yang ikut berperan atau
memperberat penyakit tersebut, menjelaskan aspek etiopatogenesis dan epidemiologi
sehingga membantu dalam menentukan terapi spesifik.

8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang dermatitis seboroik.
Tidak ada hasil laboratorium abnormal yang konsisten pada DS. Namun, pada
kasus-kasus yang menyerupai penyakit lain atau kasus berat memerlukan pemeriksaan
penunjang yang berguna untuk memperkuat diagnosis, mengetahui faktor yang ikut
berperan atau memperberat penyakit tersebut, menjelaskan aspek etiopatogenesis dan
epidemiologi sehingga membantu dalam menentukan terapi spesifik. Pemeriksaan
mikroskopis langsung dengan larutan KOH digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding penyakit akibat infeksi maupun infestasi misalnya tinea kapitis, kandidiasis,
dan dermatitis karena demodex. Spesimen diambil dari kerokan kulit superfisial. Pada
pemeriksaan KOH dapat ditemukan spora berbentuk bulat atau oval akibat keterlibatan
Malassezia spp., namun hasil KOH positif tidak menjadi kriteria diagnosis DS karena
DS tidak disebabkan semata-mata oleh pertumbuhan Malassezia spp. yang berlebih,
melainkan merupakan respons abnormal pejamu terhadap Malassezia spp. di kulit.
Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH digunakan hanya untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan histopatologik terkadang diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosis banding, misalnya psoriasis. Histopatologi DS stadium
akut menunjukkan infiltrat perivaskular superfisial dan sel radang perifolikular,
terutama terdiri atas limfosit dan histiosito. Terdapat spongiosis, hiperplasia
psoriasiformis, dan parakeratosis di sekeliling muara folikel atau follicular ostia
(shoulder parakeratosis). Pada lesi kronis, ditemukan terutama hiperplasia
psoriasiformis, parakeratosis, dan dilatasi venula pada permukaan pleksus yang
menyerupai psoriasis. Pada psoriasis, stratum granulosum biasanya hilang atau menipis
akibat diferensiasi keratinosit secara cepat. Penelitian Park JH. dkk. antara tahun 2004-
2013 yang terdiri atas 15 kasus psoriasis dan 20 kasus DS, menemukan bahwa pada DS
ditemukan follicular plugging, shoulder parakeratosis, dan eksositosis limfosit yang
menonjol. Secara histopatologik, ketombe menunjukkan hiperplasia epidermal,
parakeratosis, dan Malassezia spp. di sekitar sel parakeratotik. Pada ketombe
ditemukan sedikit atau tidak ada infiltrasi neutrofil sedangkan pada DS ditemukan
banyak infiltrasi limfosit dan sel NK (natural killer). Temuan ini mendukung teori

17
bahwa ketombe dan DS merupakan spektrum penyakit yang sama, namun berbeda
dalam tingkat keparahan dan lokasi.

9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis banding dermatitis


seboroik

 Dermatitis Kontak Alergi: (DKA)

Merupakan reaksi imunologis yang cenderung melibatkan kulit sekitarnya dan


dapat menyebar pada area sekitarnya. Penyakit kulit ini merupakan salah satu masalah
dermatologi yang paling sering dan menghabiskan biaya. Pada DKA reaksi imunnya
cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat
menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang
menyeluruh. Dermatitis kontak alergi tidak berhubungan dengan atopi (Tersinanda &
Rusyati, 2013).

 Dermatitis Kontak Iritan : (DKI)

Merupakan peradangan pada kulit akibat efek sitotosik langsung dari bahan
kimia, fisik, atau agen biologis pada sel-sel epidermis tanpa adanya produksi dari
antibodi spesifik. DKI disebabkan oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor
endogen yang menyebabkan terjadinya DKI antara lain yaitu genetic, jenis kelamin,
umur, etnis, lokasi kulit, dan riwayat atopi. Faktor eksogen meliputi sifat-sifat kimia
iritan (pH, keadaan fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi,
bahan pembawa dan kelarutan), karakteristik paparan (jumlah, konsentrasi, durasi,
jenis kontak, paparan simultan terhadap iritan lainnya, dan interval setelah paparan
sebelumnya), faktor lingkungan (suhu, dan kelembapan), faktor mekanik (tekanan,
gesekan, atau abrasi), dan radiasi ultraviolet (UV) (Wijaya et al., 2016).

 Dermatitis Atopik: (DA)

Merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada praktek umum, dan
paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit kulit ini diturunkan
secara genetik, ditandai oleh infl amasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan
episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup
pasien maupun keluarga dan orangorang terdekat pasien. Patogenesis DA belum
sepenuhnya dipahami tetapi diduga merupakan interaksi faktor genetik, disfungsi
imun, disfungi sawar epidermis, dan peranan lingkungan serta agen infeksius.
Fungsi sawar epidermis terletak pada stratum korneum sebagai lapisan kulit terluar.
Stratum korneum berfungsi mengatur permeabilitas kulit dan mempertahankan
kelembaban kulit, melindungi kulit dari mikroorganisme dan radiasi ultraviolet,
menghantarkan rangsang mekanik dan sensorik. Pada penderita DA ditemukan
mutasi gen filagrin sehingga mengganggu pembentukan protein yang esensial untuk
pembentukan sawar kulit (Movita, 2014).

18
10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tatalaksana dermatitis seboroik.
Tujuan terapi dermatitis seboroik tidak hanya untuk meredakan tanda dan
gejalanya tetapi juga untuk menghasilkan struktur dan fungsi kulit yang normal.
Dermatitis seboroik dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan
sehingga terapi bertujuan untuk memperbaiki gejala kulit serta kualitas hidup.
A. Terapi Topikal

Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi


kolonisasi M. furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana Dermatitis
Seboroik dengan obat-obatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp.

 Terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala (Skalp)

Terapi topikal adalah pendekatan lini pertama pada terapi dermatitis seboroik skalp.
Terapi topikal yang digunakan adalah substansi yang memiliki fungsi anti jamur,
pengatur sebum, keratolitik dan/atau anti inflamasi. Agen tersebut tersedia dalam
berbagai formulasi seperti krim, emulsi, foam, salep dan sampo.

 Kortikosteroid

Kortikosteroid bersifat anti inflamasi, imunosupresif dan antiproliferasi sehingga


dapat menghambat proliferasi keratinosit dan fibroblas dan menyebabkan
vasokonstriksi. Pemilihan kortikosteroid berdasarkan tipe, lokasi, keparahan dan
perluasan penyakit serta usia pasien. Kortikosteroid dianggap sebagai pendekatan terapi
lini pertama dan kedua pada DS skalp/ kulit kepala dan non skalp/ kulit tidak berambut.
Tujuan utama pengobatan dengan kortikosteroid adalah mengontrol dengan cepat tanda
dan gejala DS, namun data terbatas. Relaps terjadi lebih cepat dan lebih sering ketika
menggunakan KS daripada agen anti jamur dan terapi topikal non steroid lainnya.

 Ketokonazole

Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat fungistatik, fungisidal
dan anti inflamasi. Ia menghambat pertumbuhan jamur melalui penghambatan
lanosterol 14 dimetilase sehingga menghambat sintesis ergosterol.

 Siklopiroksolamin

Siklopiroksolamin adalah anti jamur berspektrum luas yang merupakan derivat


hidroksipiridon. Agen ini menghambat ambilan dan penggunaan substansi yang
diperlukan sintesis membran sel jamur dengan mengubah permeabilitasnya.
Siklopiroksolamin juga memiliki sifat anti inflamasi karena menghambat pelepasan
prostaglandin dan leukotrien.

 Pyroctone olamine (octopirox)

19
Pyroctone olamine juga dikenal sebagai octopirox dan efektif untuk terapi infeksi
jamur. Pyroctone olamine adalah bahan aktif yang dapat meredakan inflamasi kulit
kepala dan menurunkan pembentukan skuama pada kulit dengan penghambatan jamur.
Pyroctone olamine secara fungsional dapat mengganggu pembelahan sel ragi dan
transfer material (inhibisi kanal natrium kalium) dan juga menghambat pertumbuhan
jamur.

 Bisabolol (Butyrospermum parkii)

Bisabolol atau Butyrospermum parkii biasa dikenal dengan nama shea butter.
Bahan ini memiliki sifat anti inflamasi sekaligus sifat anti jamur sehingga sering
digunakan dalam pengobatan dermatitis seboroik. Namun bisabolol kurang begitu
poten bila diberikan secara mono terapi sehingga biasanya dikombinasikan dengan
agen lain.

 Glycyrrhetic acid

Glycyrrhetic acid memiliki sifat anti inflamasi, anti iritasi, anti alergi dan antivirus.

 Asam salisilat

Asam salisilat adalah sejenis asam beta hidroksi yang dapat melepaskan sisik keras
dan tebal dari kulit kepala melalui aktivitas keratolitik sehingga efektif untuk terapi
dermatitis seboroik.

 Zinc pyrithione

Zinc pyrithione, anti jamur fungistatik yang bekerja dengan meningkatkan kadar
tembaga dalam sel jamur dan merusak ikatan protein besi sulfur sehingga mengganggu
metabolisme jamur. Malassezia yang menjadi target didapatkan terutama pada
infundibulum folikuler. Sementara agen ini bekerja pada infundibulum folikuler kulit
kepala serta bertahan pada folikel rambut hingga 10 hari.

 Terapi dermatitis seboroik kulit tidak berambut

Pada dermatitis seboroik non skalp umumnya sediaan topikal yang digunakan
berbentuk krim, foam atau salep.

 Penghambat kalsineurin

Penghambat kalsineurin topikal memiliki sifat imunomodulator dan anti inflamasi


yang membuatnya berguna untuk terapi DS. Keduanya adalah macrolide lactone yang
menghambat enzim kalsineurin dan menekan pelepasan sitokin proinflamasi.
Pimekrolimus menghambat sintesis dan pelepasan sitokin proinflamasi dari limfosit T
dan degranulasi sel mast. Takrolimus memodulasi respon T helper 2, menghambat
transkripsi IL-2.

20
 Salep tacrolimus dan pimekrolimus

Dua obat tersebut sama efektifnya dalam mengurangi gejala eritema, mengelupas
dan gatal, tetapi masa remisi yang lebih panjang tampak pada kelompok pimekrolimus.

B. Terapi sistemik

Penggunaan obat sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut, area


keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan neurologis.
Tujuan dari terapi sistemik adalah menurunkan gejala akut sedangkan penggunaan
terapi topikal sebagai pencegahan dan pemeliharaan. Efek obat-obatan anti jamur
adalah secara langsung melawan Malassezia dan anti inflamasi. Anti jamur sistemik
yang diindikasikan dalam terapi DS adalah golongan triazol (itrakonazol dan
flukonazol), diazol (ketokonazol) dan allilamin (terbinafin). Azol dan terbinafin
menghambat sintesis ergosterol (suatu komponen kunci membran sel). Diazol dan
triazol menghambat enzim 14 α sterol dimetilase, yang menyebabkan akumulasi 14 α
metil sterol menghasilkan penghambatan pertumbuhan jamur. Terbinafin juga
menghambat sintesis enzim skualan 2,3 epoksidase yang mempengaruhi metabolisme
ergosterol dan akumulasi skualan yang menyebabkan kematian sel jamur. Terbinafin
memiliki mekanisme tambahan seperti modulasi neutrofil, efek scavenger pada reactive
oxygen species (ROS) dan modulasi sekresi sebum.

 Ketokonazole

Ketokonazol adalah anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk terapi DS,
saat ini sudah tidak digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya. Saat ini
ketokonazol hanya digunakan secara topikal saja.

 Itrakonazole

Itrakonazol saat ini dianggap sebagai pilihan pertama untuk terapi sistemik DS baik
kasus akut maupun relaps. Itrakonazol mengalami metabolisme sitokrom P450 pada
hati. Ia bersirkulasi di plasma sebagai metabolit aktif. Obat yang dimetabolisme oleh
sitokrom P450 berinteraksi dengan obat-obatan yang lainnya sehingga dapat
meningkatkan toksisitasnya ataupun menurunkan efikasinya. Itrakonazol memiliki
tingkat keamanan yang baik pada dosis 200 mg/hari. Hepatotoksisitas, nyeri
epigastrium, gangguan irama jantung, hipokalemia, hipertrigliseridemia dan
peningkatan transaminase adalah efek samping yang paling sering dijumpai selama
terapi itrakonazol.

 Flukonazole

Flukonazol memiliki karakteristik dapat diserap dengan baik oleh traktus


gastrointestinal tidak dipengaruhi oleh keasaman atau makanan. Flukonazol secara
signifikan meningkatkan konsentrasi plasma beberapa obat seperti warfarin,

21
siklosporin, takrolimus dan teofilin. Rifampisin menurunkan kadar flukonazol dalam
darah.

 Terbinafin

Terbinafin adalah molekul lipofilik sehingga dapat tersimpan pada kulit untuk
memelihara konsentrasi efektif obat bahkan setelah terapi dihentikan. 15 Terbinafin
memiliki profil farmakologi yang aman dan ditoleransi baik dengan insiden efek
samping yang rendah. Efek samping yang dapat terjadi antara lain nyeri epigastrium,
hepatotoksisitas, neutropenia, ruam dan sindrom Steven Johnson.

11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi dan prognosis


dermatitis seboroik.
 Komplikasi
Dermatitis seboroik biasanya berlangsung jinak, dan komplikasi yang serius sangat
jarang terjadi. Daerah intertriginosa dan kelopak mata rentan terhadap infeksi bakteri
sekunder, terutama selama acute flares, dan regio yang menggunakan popok sangat
rentan terhadap pertumbuhan berlebih dengan Candida spp.
Eritroderma telah dilaporkan pada neonatus imunosupresi dengan ISD secara umum,
tetapi lebih sering muncul pada orang dewasa dengan HIV/AIDS. Namun, penelitian
belum secara tegas menetapkan bahwa dermatitis seboroik menyebabkan eritroderma,
mengingat predileksinya cenderung untuk kulit yang kaya akan kelenjar sebasea
(Dessinioti et al., 2013).

 Prognosis
Dermatitis seboroik adalah kondisi kronis dan hanya dapat dikontrol dengan
perawatan. Tingkat keparahannya dapat dikurangi dengan merawat kulit seseorang dan
mengendalikan faktor risiko yang memperburuk kondisi lebih lanjut. Dermatitis
seboroik adalah penyakit kulit inflamasi umum dengan morfologi papuloskuamosa di
daerah yang kaya akan kelenjar sebasea, terutama kulit kepala, wajah, dan lipatan
tubuh. Varian infantile (Infantile Seborrheic Dermatitis) dan dewasa (Adult Seborrheic
Dermatitis) mencerminkan kejadian bimodal kondisi tersebut. ISD biasanya
mempengaruhi kulit kepala dan ringan dan sembuh sendiri, sedangkan ASD
menyajikan pola penyakit kulit kronis yang ditandai dengan kekambuhan dan
remisi. ASD sangat dapat dikontrol tetapi tidak dapat disembuhkan. (Tucker et al.,
2022).

12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pencegahan dan KIE dermatitis
seboroik
 Bayi
1. Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi dan rajin
merawat kulit kepala bayi.

22
2. Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya muncul pada
bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik seiring dengan pertambahan usia.
3. Memberikan informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan tetapi dapat
terkontrol dengan mengontrol emosi dan psikisnya. (Panduan Praktik Klinik, 2017)

 Dewasa
1. Menghindari faktor pemicu/pencetus misalnya Dermatologi Non Infeksi:
 Penggunaan pendingin ruangan (air conditioner) atau udara dengan
kelembapan rendah di lingkungan kerja.
 Hindari garukan yang dapat menyebabkan lesi iritasi.
 Hindari bahan-bahan yang dapat menimbulkan iritasi.
 Mengkonsumsi makanan rendah lemak.
 Tetap menjaga higiene kulit
2. Mencari faktor-faktor predisposisi yang diduga sebagai penyebab.
3. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit
(tujuan pengobatan, hasil pengobatan yang diharapkan, lama terapi, cara
penggunaan obat, dan efek samping obat yang mungkin terjadi).
4. Edukasi mengenai pentingnya perawatan kulit dan menghindari pengobatan
diluar yang diresepkan. (PERDOSKI, 2017).

13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan integrasi islam terkait scenario.
Surat Ar-Rum Ayat 41-42
ِ ‫ع ِملُوا لَ َعلَّ ُه ْم يَ ْر‬
‫ج‬ َ ‫ض الَّذِي‬ ِ َّ‫ت أ َ ْيدِي الن‬
َ ‫اس ِليُذِيقَ ُه ْم بَ ْع‬ ْ ‫س َب‬ ِ َ‫ساد ُ فِي ْالبَ ِر َو ْالب‬
َ ‫حْر ِب َما َك‬ َ َ‫ظ َه َر ْالف‬
َ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

 Penyakit AIDS karena HIV


Penyakit ini amat berbahaya dan dapat menyerang perempuan dan laki-laki. AIDS
telah merenggut jutaan nyawa manusia, atau menjadikan mereka pasien abadi di rumah-
rumah sakit dan tempat karantina hingga mati. Penyakit ini menyebar di seluruh dunia
tanpa terkecuali. Penyakit AIDS mencul karena fenomena seks bebas, sodomi,
homoseksualitas, narkotika, dan praktik pembuatan tato. Seolah-olah penyakit ini
diciptakan sebagai azab di dunia bagi orang yang durhaka kepada Allah dan melenceng
dari syariat-Nya. Penyakit AIDS ini tidak hanya menyebar melalui hubungan seks
bebas atau kecanduan narkotika, bisa juga melalui praktik berganti-ganti pasangan.
Dengan kata lain, virus ini berkaitan erat dengan perilaku seksual seseorang.

23
SOAP

S (Subjective)
Nama: Tn. Fajar
Jenis Kelamin: Laki-laki
Usia: 37th
Keluhan Utama: Kulit kering disertai dengan bercak kemerahan pada wajah sejak 1 bulan
terakhir.
RPS: Keluhan disertai dengan sedikit rasa gatal, terutama jika sedang berkeringat atau sedang
terpapar sinar matahari terus menerus. Keluhan tersebut awalnya timbul di sekitar alis
kemudian menyebar ke kelopak mata, sekitar hidung dan sekitar mulut. Lalu sejak seminggu
ini keluhan juga timbul di telinga kanan dan kiri, dan jika digaruk lama kelamaan akan menjadi
basah dan sisiknya menjadi kekuningan.
RPD: HIV
RPK:- -
RS:
 Pasien bekerja sebagai mandor bangunan, sering bekerja dibawah terik matahari dan
sering berkeringat.
 Pasien belum menikah dan sering gonta-ganti pasangan.
Riwayat Alergi:-
Riwayat Obat:-
O (Objective)
Tanda Vital: -
Pemeriksaan Fisik: Regio malar, regio periorbita dekstra et sinistra, perioral, regio meatus
akustikus eksterna dekstra et sinistra didapatkan makula eritematous dengan batas tidak jelas
tertutup skuama tipis berwarna putih kekuningan, didapatkan ekskoriasi dan erosi.

\
A1 (Initial Assesment)
DDx (Differential Diagnosis): Dermatitis kontak, dermatitis atopic.

P1 (Planning Diagnosis)
Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan mikroskopis dengan larutan KOH.

24
A2 (Assesment)
WDx (Working Diagnosis): Dermatitis seboroik.
P2 (Planning)
Tatalaksana Farmakologis:
 Anti jamur topical (Krim Ketokenaole 2%) 2x sehari selama 4 minggu/AIFp (non-
steroidal anti-inflammatory agent with antifungal properties)/Krim piroctone olamine
2x sehari selama 4 minggu.
 Kortikosteroid topical kelas II; salep aklometasoen 0.05% 2x sehari.

Tatalaksana non-Farmakologis:
 Mengonsumsi makanan rendah lemak.
 Tetap menjaga hygiene kulit dan lingkungan.

Planning Monitoring (PMo):


 Memantau perkembangan lesi dan tanda-tanda infeksi lain.
 Memantau keluhan px.

Planning Follow Up:


 Px diminta untuk berkonsultasi perkembangan lesi dan keluhan lain setiap 1 minggu.

KIE:
 Menghindari faktor pemicu/pencetus misalnya Dermatologi Non Infeksi:
 Penggunaan pendingin ruangan (air conditioner) atau udara dengan
kelembapan rendah di lingkungan kerja.
 Hindari garukan yang dapat menyebabkan lesi iritasi.
 Hindari bahan-bahan yang dapat menimbulkan iritasi.
 Mengkonsumsi makanan rendah lemak.
 Tetap menjaga higiene kulit
 Mencari faktor-faktor predisposisi yang diduga sebagai penyebab.
 Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit (tujuan pengobatan,
hasil pengobatan yang diharapkan, lama terapi, cara penggunaan obat, dan efek
samping obat yang mungkin terjadi).
 Edukasi mengenai pentingnya perawatan kulit dan menghindari pengobatan diluar
yang diresepkan.

25
BAB VII
PETA KONSEP

26
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1. Marc Zachary Handler, MD., 2019. Medscape [Online]. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/1108312 . [Accessed 13 November 2020].
2. [Adalsteinsson JA, Kaushik S, Muzumdar S, Guttman-Yassky E, Ungar J. An update
on the microbiology, immunology and genetics of seborrheic dermatitis. Experimental
Dermatol. 2020;29:481-9.]
3. [Suh DH. Seborrheic dermatitis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH,
Margolis DJ, McMichael AJ, et al. editors. Fitzpatrick’s dermatology. 9th ed. Vol 1.
New York: McGraw-Hill Education; 2019. pp. 428-36.]
4. Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, J., PENELITIAN Hubungan Antara Jenis Kelamin
Dengan Angka Kejadian Dermatitis Seboroik, A., Silvia, E., Effendi, A., Nurfaridza,
I., & Abdul Moeloek Lampung, H. (2020). The Correlation between Gender and
Incidence Rate off Seborrheic Dermatitis. Juni, 11(1), 37–46.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.216
5. (Yudhistira, 2019)Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, J., PENELITIAN Hubungan Antara
Jenis Kelamin Dengan Angka Kejadian Dermatitis Seboroik, A., Silvia, E., Effendi, A.,
Nurfaridza, I., & Abdul Moeloek Lampung, H. (2020). The Correlation between
Gender and Incidence Rate off Seborrheic Dermatitis. Juni, 11(1), 37–46.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.216
6. Yudhistira, S. (2019). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関
連指標に関する共分散構造分析Title. 1–36.
7. Movita, T. (2014). Tatalaksana Dermatitis Atopik. Cermin Dunia Kedokteran, 41(11),
828–831.
8. Tersinanda, T. Y., & Rusyati, L. M. M. (2013). e-Jurnal Medika Udayana. E-Jurnal
Medika Udayana, 2(8), 1446–1461.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/6113/4604
9. Wijaya, I., Darmada, I., & Rusyati, L. (2016). Edukasi Dan Penatalaksanaan Dermatitis
Kontak Iritan Kronis Di Rsup Sanglah Denpasar Bali Tahun 2014/2015. E-Jurnal
Medika Udayana, 5(8), 2014–2017.
10. Tucker D, Masood S. Seborrheic Dermatitis. [Updated 2022 May 8]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
11. Dessinioti C, Katsambas A. Seborrheic dermatitis: etiology, risk factors, and
treatments: facts and controversies. Clin Dermatol. 2013 Jul-Aug;31(4):343-351
12. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Velegraki A. The Malassezia genus
in skin and systemic diseases. Clin Microbiol Rev. 2012 Jan;25(1):106-41.
13. Schwartz JL, Clinton TS. Darier's disease misdiagnosed as severe seborrheic dermatitis.
Mil Med. 2011 Dec;176(12):1457-9.
14. Panduan Praktik Klinik. (2017). Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
15. PERDOSKI. (2017). PANDUAN PRAKTIK KLINIS KULIT DAN KELAMIN
INDONESIA.

27
28

Anda mungkin juga menyukai