Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

DERMATITIS SEBOROIK

Oleh :
Theophilia Gracia Decy Shakita Aipassa
1802611001

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


PROGRAM PENYESUAIAN DOKTER UMUM
DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019

i
ii

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, laporan kasus yang berjudul “Dermatitis Seboroik” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV selaku
Ketua SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi FK Universitas Udayana,
RSUP Sanglah, Denpasar,
2. dr. IGAA Dwi Karmila, SpKK selaku Koordinator Pendidikan Dokter SMF
Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar,
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Januari 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 2
2.1 Definisi ........................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi .................................................................................. 2
2.3 Etiologi dan Patogenesis................................................................. 2
2.4 Gejala Klinis.................................................................................... 4
2.6 Diagnosis ........................................................................................ 5
2.7 Diagnosis Banding ......................................................................... 5
2.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 8
2.9 Prognosis ........................................................................................ 9
BAB III LAPORAN KASUS ................................................................. 11
3.1 Identitas Pasien ............................................................................... 11
3.2 Anamnesis ...................................................................................... 11
3.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 12
3.4 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 13
3.5 Resume ........................................................................................... 13
3.6 Diagnosis Banding ......................................................................... 14
3.7 Diagnosis Kerja .............................................................................. 14
3.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 14
3.9 Prognosis ........................................................................................ 14
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................... 16
BAB V SIMPULAN............................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia, terhitung sekitar 15%
dari total berat badan dewasa. Kulit merupakan struktur integritas yang
berkelanjutan dengan membrane mukus yang melapisi keseluruhan tubuh
manusia. Kulit terdiri atas tiga lapisan utama yaitu epidermis, dermis, dan lapisan
jaringan subkutan. Setiap bagian memiliki struktur dan fungsi yang berbeda beda.
Secara umum kulit memiliki fungsi vital termasuk perlindungan terhadap bahan
eksternal baik fisik, kimia, dan biologis, pencegahan keluarnya cairan yang terlalu
banyak dari tubuh, dan berfungsi dalam termoregulasi. Permasalahan atau
gangguan pada kulit baik akibat bahan kimia, biologis, ataupun fisik dapat
mempengaruhi fungsi dan menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien. Salah satu
permasalahan yang dapat muncul pada kulit adalah dermatosis eritoskuamosa.
Dermatosis eritoskuamosa adalah penyakit kulit yang terutama ditandai
dengan adanya eritema dan skuama, termasuk diantaranya yaitu: psoriasis,
pitiriasis rosea, eritroderma, lupus eritematosus, dermatofitosis dan dermatitis
seboroik . Salah satu yang akan banyak dibahas adalah dermatitis seboroik yang
sering dikaitkan dendan jamur malasesia, gangguan imunologis, kelembaban
lingkungan, perubahan cuaca, ataupun trauma, dengan penyebaran lesi dimulai
dari derajat ringan sampai bentuk eritroderma.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous kronis umum yang mudah
dikenali. Penyakit ini dapat timbul pada bayi dan dewasa dan seringkali
dihubungkan dengan peningkatan produksi sebum (sebaseus atau seborrhea) kulit
kepala dan daerah folikel kaya sebaseus pada wajah dan leher.Kulit yang terkena
berwarna merah muda, bengkak, dan ditutupi dengan sisik berwarna kuning-
coklat dan krusta.

2.2 Epidemiologi
Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-5% pada populasi
umum. Lesi ditemukan pada kelompok remaja dengan ketombe sebagai bentuk
yang lebih sering dijumpai. Pada kelompok imunokompromais, angka kejadian
dermatitis seboroik lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak
36% pasien HIV mengalami dermatitis seboroik. Umumnya diawali sejak usia
pubertas dan memuncak pada umur 40 tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai
bentuk yang ringan, sedangkan pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit
kepala (cradle cap). Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan.

2.3 Etiologi dan Patogenesis


Banyak teori yang membahas penyebab dermatitis seboroik, namun
penyebab pastinya masih belum diketahui. Berikut adalah beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya dermatitis seboroik, yaitu:
1. Aktivitas kelenjar sebaseus.
Kelenjar sebaseus menempel pada folikel rambut, mensekresikan sebum
ke kanal folikel dan permukaan kulit. Kelenjar sebaseus tersebar di seluruh
tubuh kecuali pada telapak tangan dan kaki dimana kelenjar sebaseus sama

2
sekali tidak ada, sedangkan kelenjar sebaseus yang terbesar dapat
ditemukan di daerah wajah dan kulit kepala.
Belum diketahui secara pasti apa fungsi sebum, namun diduga untuk
mengurangi kehilangan air dari permukaan kulit, sehingga kulit menjadi
halus dan lembut. Sebum juga mempunyai efek bakterisidal ringan dan
fungistatik.
Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada kelenjar sebum yang aktif
dan berhubungan dengan produksi sebum. Insiden dermatitis seboroik
yang tinggi pada bayi dipengaruhi oleh hormon androgen maternal dan
setelah efek hormone androgen hilang, produksi sebum akan menurun
sampai masa pubertas.

2. Efek Mikroba
Malassezia merupakan jamur yang bersifat lipofilik dan jarang ditemukan
pada manusia. Peranan Malassezia sebagai factor etiologi dermatitis
seboroik masih diperdebatkan. Dermatitis seboroik hanya terjadi pada
daerah yang bnyak lipid seaseusnya, lipid sebaseus merupakan sumber
makanan malaseia. Malassezia bersifat komensal dan berikatan dengan
lipid sebaseus dan membentuk dermatitis seboroik.

3. Kerentanan Individu
Kerentanan individu berhubungan dengan respon pejamu abnormal dan
tidak berhubungan dengan Malassezia. Kerentanan pada pasien dermatitis
seboroik disebabkan oleh berubahnya kemampuan sawar kulit untuk
mencegah penetrasi asam lemak. Asam oleat yang merupakan komponen
utama dari asam lemak pada sebum manusia dapat menstemuilasi
deskuamasi, makan jika ada penetrasi dari bahan-bahan tersebut dengan
sawar kulit yang menurun akan menyebabkan inflamasi dan pembentukan
skuama.

3
4. Kelainan Neurotransmitter
Dermatitis seboroik sering dikaitkan dengan berbagai kelainan neurologis,
serta adanya kemungkinan pengaruh dari sistem saraf. Kondisi neurologis
termasuk Parkinson, postencephalitic, epilepsy, poliomyelitis dan
quadriplegia. Stress emosional memperburuk penyakit dermatitis seboroik.
Penelitian mengatakan bahwa penyakit Parkinson merupakan penyakit
yang mencetus timbulnya dermatitis seboroik karena adanya peningkatan
produksi sebum yang mempengaruhi pertumbuhan Malassezia.

5. Faktor Fisik
Pergantian musim, kelembaban dan suhu dapat menyebabkan penyakit ini,
terutama pada kelembaban rendah dan suhu dingin. Perawatan wajah
dengan PUVA (radiasi ultraviolet plus ultraviolet) dan trauma pada wajah
seperti kebiasaan menggaruk juga dilaporkan dapat memicu terjadinya
dermatitis seboroik.

6. Obat –obatan
Beberapa obat-obatan yang memicu munculnya dermatitis seboroik
diantaranya adalah buspiron, klorpromazin, simetidin, griseoflurin,
haloperidol, interferon alfa, litium, metoksalen, metildopa, fenotiazine,
psoralen.

2.4 Gejala Klinis


Lokasi yang terkena seringkali di daerah kulit kepala berambut, wajah,
(alis dan lipat nasolabial), telinga, liang telinga, bagian atas tengah dada,
punggung, lipat gluteus, inguinal, genital, ketiak.
Dapat ditemukan skuama kuning berminyak, eksematosa ringan dan
kadang kala disertai rasa gatal yang menyengat. Ketombe merupakan tanda awal
manifestasi dermatitis seboroik. Dapat dijumpai kemerahan perifolikular yang
pada tahap lanjut menjadi plak eritematosa berkonfluensi, bahkan dapat
membentuk rangkaian plak di sepanjang batas rambut frontal yang disebut korona
seboroika. Pada fase kronis dapat dijumpai kerontokan rambut.

4
Lesi dapat juga dijumpai di area retroaurikular dan liang telinga. Bila
terjadi di liang telinga, lesi berupa otitis externa. Bila terjadi pada kelopak mata,
sebagai blepharitis. Bentuk varian lain ditubuh yang dapat dijumpai, lesi seperti
pitiriasiform atau anular, pada keadaan yang amat parah dermatitis seboroik dapat
menjadi eritroderma.
Tabel berikut adalah perbedaan manifestasi klinis dermatitis seboroik pada
bayi dan orang dewasa.
Tabel 1. Predileksi Manifestasi Klinis Dermatitis Seboroik
Predileksi Dermatitis Seboroik
Bayi Kulit kepala ( cradle cap), dada, fleksura, area popok, penyakit
Leiner.
Dewasa Kulit kepala, wajah, kelopak mata (blepharitis), dada

2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, berupa
morfologi khas lesi eksema dengan skuama kuning berminyak di area predileksi.
Pada kasus sulit, perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ada gambaran khas atau
patognomonik pada dermatitis seboroik. Pada pasien yang imunokompeten,
pemeriksaan histologi menunjukan fokus parakeratosis pada lapisan epidermis;
gundukan krusta dengan neutrophil pyknotic yang menutupi folikel dan adanya
spongiosis ringan sampai sedang. Pada lapisan dermis terdapat infiltrasi inflamasi
lymphohistiositik. Pada keadaan kronis, gambaran histologi dari dermatitis
seboroik mungkin sulit dibedakan dari psoriasis, namun adanya sedikit spongiosis
merupakan indikasi diagnosis dermatitis seboroik.
Pada pasien imunokompromais, seperti pasien dengan HIV/AIDS,
perubahan histopatologi berbanding lurus dengan keparahan penyakit. Dapat
ditemukan parakeratosis yang lebih luas dan di epidermis terdapat nekrotik
keratinosit, spongiosis tidak terlalu terlihat dan adanya infiltrasi inflamasi yang
lebih tebal pada daerah dermoepidermal yang mengandung banyak sel plasma dan
leukosit.

2.6 Diagnosis Banding

5
Diagnosis banding dermatitis seboroik meliputi psoriasis, rosacea, tinea
versicolor, pityriasis rosea, tinea korporis, sifilis sekunder dan sistemik lupus
erythematous. Sebagian besar kondisi ini dapat dibedakan secara klinis; namun
sifilis dan SLE harus melakukan konfirmasi laboratori. Dermatitis kontak alergi
juga dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, terutama jika presentasi
dermatitis seboroik atipikal dan adanya pruritus yang signifikan.
Tabel 2. Diagnosis banding Dermatitis Seboroik
Diagnosis Banding Sermatitis Seboroik
Diagnosis Petunjuk Diagnostik
Skuama lebih tebal dan berlapis
transparan seperti mika, lebih dominan
pada daerah ekstensor seperti siku dan
Psoriasis
lutut. Dapat ditemukan perubahan pada
kuku (pitting nail), arthritis dan riwayat
keluarga penderita psoriasis.
Predileksi pada wajah (daerah hidung,
pipi dan area sekitar mulut) dengan
Rosacea predominan telangiectasia dan
papulopustul dengan minimal atau tidak
ada sisik.
Dermatitis kontak alergi dapat dicurigai
pada pasien dengan dermatitis seboroik
yang tidak menanggapi terapi standar,
terutama jika pruritus adalah gejala
utama. Dermatitis kontak alergi dapat
terjadi secara bersamaan atau menjadi
Dermatitis Kontak Alergi komplikasi dari dermatitis seboroik
pada pasien yang alergi terhadap
komponen obat topikal untuk dermatitis
seboroik atau produk perawatan kulit
dan rambut. Patch test mungkin
diperlukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis
Dermatitis Atopi Adanya kecenderungan stigmata atopi

6
(asma, rinitis alergi, dermatitis atopi)
Lesi dermatitis seboroik annular atau
arciform pada wajah dapat dianggap
sebagai tinea fasialis; tinea fasialis
Tinea fasialis
dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
mikroskopik KOH (KOH) negatif dan
kultur jamur negatif.
Sifilis sekunder yang disebut juga
sebagai “the great imitator” dapat
memicu erupsi pityriasiform atau
psoriasiform yang menyebar luas yang
dapat dianggap sebagai dermatitis
Sifilis Sekunder
seboroik. Tanda-tanda tambahan seperti
palmoplantar dan lesi mukosa atau
adenopati perifer harus dicari, dan tes
serologis yang sesuai diperintahkan
ketika diperlukan.
Dermatitis seboroik pada wajah
mungkin dianggap keliru sebagai erupsi
kupu-kupu pada lupus erythematosus
sistemik akut (SLE) atau plak diskoid
kulit pasien SLE. Namun erupsi akut
SLE jarang melibatkan daerah sulkus
nasolabial atau melintasi jembatan
hidung. Lesi diskoid menunjukkan
Sistemik Lupus Erymatosus
atrofi dan kadang-kadang menimbulkan
jaringan parut, dan juga terdapat sisik
yang menempel yang mungkin
memiliki pada dasarnya. Pemeriksaan
histologis dan pengujian serologis
untuk autoantibodi antinuklear harus
dilakukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis.

7
2.7 Penatalaksanaan
Dermatitis seboroik adalah kondisi kronis. Tujuan utama terapi adalah untuk
menghilangkan tanda-tanda penyakit yang terlihat dan mengurangi gejala
yang terkait, seperti eritema dan pruritus. Pengobatan berulang atau jangka
panjang seringkali diperlukan. Pengobatan yang tersedia termasuk agen
antijamur topikal, agen antiinflamasi topikal, dan beberapa agen topikal
dengan antimikroba non-spesifik dan agen anti-inflamasi.
Tata laksana yang dilakukan antara lain:
1. Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya
keluhan, misalnya stress emosional dan kurang tidur. Pasien juga
disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak.
2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum di
kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak.
3. Farmakoterapi dilakukan dengan:
a. Topikal:
Bayi:
 Pada lesi kulit kepala bayi diberikan asam salisilat 2%
dalam minyak kelapa atau vehikulum yang larut air atau
kompres minyak kelapa hangat 1 kali sehari selama
beberapa hari.
 Dilanjutkan dengan krim hidrokortison 1% atau lotion
selama beberapa hari.
 Selama pengobatan, rambut harus tetap dicuci.
Dewasa:
 Pada lesi di kulit kepala, diberikan shampoo selenium
sulfide 1.8 atau shampoo ketoconazole 2%, zinc prirtion
(shampoo anti ketombe) atau pemakaian preparat ter
( liquor carbonis detergent) 2-5% dalam bentuk salep
dengan frekuensi 2-3 kali seminggu selama 5-15 menit per
hari.
 Pada lesi di badan diberikan kortikosteroid topical: Desonid
krim 0.05% selama 2 minggu.

8
 Pada kasus dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih
berat diberikan kortikosteroid kuat misalnya bethametasone
valerat krim 0.1%
 Pada kasus dengan infeksi jamur, perlu dipertimbangkan
pemberian ketokonazol krim 2%.

b. Oral sistemik
 Antihistamin sedative yaitu: klorfenamin maleat 3 x 4mg
per hari selama 2 minggu, cetirizine 1 x 10 mg per hari
selama 2 minggu.
 Antihistamin non sedative: loratadine 1 x 10 mg selama 2
minggu.
4. Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional dapat
digunakan terapi sinar ultraviolet-B atau pemberian itrakonazol 100mg/
hari selama 21 hari.
5. Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada dermatitis
seboroik yang luas, dapat diberikan prednisolone 30mg/hari untuk respon
cepat.

2.8 Prognosis
Prognosis dermatitis seboroik bergantung pada usia dan kepatuhan pasien
terhadap pengobatan. Pada bayi, prognosis baik dimana penyakit ini dapat hilang
dengan sendirinya pada saat memasuki usia 6 bulan hingga 1 tahun, namun dapat
muncul kembali ketika memasuki masa pubertas. Pada remaja ataupun dewasa,
dermatitis seboroik cenderung kronis dan memiliki kecenderungan untuk sembuh
lalu kambuh secara tiba – tiba sehingga pengobatan yang tepat diperlukan untuk
mengontrolnya. Secara keseluruhan, pengobatan yang tepat dapat memberikan
perbaikan dan kadang menghilangkan dermatosis yang disebabkan oleh dermatitis
seboroik, namun tidak ada pengobatan yang permanen dan keluhan cenderung
datang kembali saat pengobatan dihentikan

9
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : MC
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 32 tahun
Tanggal Lahir : 9 Maret 1986
Alamat : Denpasar
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Kristen
Status Pernikahan : Belum menikah
Tanggal Pemeriksaan : 21 Januari 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Bercak merah di wajah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah pada tanggal 21
Januari 2019 dengan keluhan timbul bercak merah di wajah. Pasien mengatakan
sudah mengeluhkan gatal sejak 4 minggu yang lalu. Bercak merah awalnya
pertama muncul pada pipi lalu beberapa hari setelahnya menyebar ke seluruh
wajah dan dilapisi oleh lapisan kekuningan yang mudah dilepas dengan garukan.
Lapisan kuning tersebut akan tumbuh kembali walaupun sudah di lepaskan.
Pasien mengaku tidak mencuci muka selama keluhan terjadi. Pasien juga
mengeluhkan gatal pada daerah yang terdapat bercak merah tersebut, gatal dapat
ditoleransi tanpa garukan dan intensitas gatal tidak berubah. Kontrol ini
merupakan kontrol kedua pasien. Pasien sebelumnya sudah pernah mendapatkan
obat dari dokter kulit dan kelamin di RSUP Sanglah dan setelah itu keluhan
dirasakan sedikit membaik namun bercak merah tersebut masih ada sehingga
pasien memutuskan untuk kembali kontrol. Pasien menyangkal penggunaan

10
minyak oles ataupun obat-obatan oles pada wajah. Riwayat demam, penurunan
berat badan, diare berulang, bersin – bersin di pagi hari disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke RSUP Sanglah 2 minggu yang lalu dan diberikan obat diberikan
obat anti radang untuk 1 minggu dan cetirizine tablet yang diminum pada malam
hari.
Riwayat Alergi
Pasien menyangkal memiliki riwayat alergi terhadap obat ataupun makanan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit serupa sekitar 1 tahu yang lalu dimana adanya
bercak merah besar yang dilapisi lapisan kekuningan muncul di bagian dada, dan
mengaku sembuh setelah meminum loratadin untuk beberapa hari.
Pasien memiliki riwayat ketombe yang hilang timbul, jika sedang berketombe,
pasien menggunakan shampoo ketomed.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat alergi maupun penyakit kulit lainnya pada keluarga pasien disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan garmen yang setiap harinya
bekerja dari jam 8 pagi sampai larut malam. Pasien tinggal di rumah kontrakan
bersama dengan kakaknya. Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal. Di
lingkungan sekitar pasien, tidak ada yang mengalami hal yang serupa.

3.3 Pemeriksaan Fisis


Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Temperatur Aksila : 36,3oC

11
Status General
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+, isokor
THT : Tonsil T1/T1, faring hiperemi (-)
Thorak : Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pul : ves +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen : Distensi (-), BU (+) normal
Ekstremitas : Edema (-/-), hangat (+/+)

Status Dermatologi
Lokasi: Wajah
Efloresensi:
Makula eritema berbatas tidak tegas, geografika, multipel, dengan ukuran
0.8 x 1cm sampai 1 x 2 cm disertai multiple skuama berwarna kekuningan.
Stigmata Atopi : (-)
Mukosa : hiperemis (-)
Rambut : rambut rontok (-), warna hitam
Fungsi kelenjar keringat : tidak dievaluasi
Kelenjar Limfe : tidak ada pembesaran
Saraf : tidak dievaluasi

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Usulan pemeriksaan KOH

3.5 Resume
Pasien laki-laki, berusia 32 tahun, beragama Kristen, kesehariannya
bekerja sebagai buruh di perusahaan garmen, datang ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Sanglah pada tanggal 21 Januari 2019 dengan keluhan utama
timbul bercak merah pada wajahsejak 4 minggu yang lalu. Keluhan tersebut
muncul di pipi lalu menyebar ke seluruh wajah dan disertai gatal. Pasien
mengkonsumsi obat cetirizine dan obat anti radang dengan sedikit perbaikan.

12
Riwayat penggunaan obat-obat tradisional topikal, alergi, penurunan berat
badan, demam, diare berulang disangkal.
Pemeriksaan fisik pasien:.
- Status Present : Dalam batas normal
- Status Generalis : Dalam batas normal
- Status Dermatologis :
Wajah: Makula eritema berbatas tidak tegas, geografika,
multipel, dengan ukuran 0.8 x 1cm sampai 1 x 2 cm disertai
multiple skuama berwarna kekuningan

3.6 Diagnosis Banding


1. Dermatitis Seboroik
2. Tinea Fasialis
3. Dermatitis Kontak Alergi

3.7 Diagnosis Kerja


Dermatitis Seboroik

3.8 Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
 Menjaga kebersihan kulit dengan mencuci muka dengan sabun ringan.
 Menyarankan pasien untuk istirahat yang cukup dan menghindari
faktor resiko penyebab stress.
2. Farmakologi
Topikal :
 Hidrocortisone krim 1%
 Ketoconazole krim 2%
Sistemik :
 Cetirizine tablet 10 mg dengan dosis 1x1
3. Konseling dan Edukasi:
 Memberikan informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan
tetapi dapat terkontrol dengan menghindari faktor-faktor pencetus.

13
 Menjaga kebersihan dan merawat kulit wajah.
 Menjelaskan penggunaan obat.
 Kontrol kembali setelah 2 minggu.

3.9 Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Dubius ad Malam

14
BAB IV
PEMBAHASAN
Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous kronis umum.
Penyakit ini dapat timbul pada bayi dan dewasa dan seringkali dihubungkan
dengan peningkatan produksi sebum (sebaseus atau seborrhea) kulit kepala dan
daerah folikel kaya sebaseus pada wajah dan leher. Kulit yang terkena berwarna
merah muda, bengkak, dan ditutupi dengan sisik berwarna kuning-coklat dan
krusta.
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
kasus ini pasien laki-laki berusia 32 tahun yang mengeluh timbulnya bercak
merah yang muncul awalnya di pipi kemudian meluas ke seluruh wajah disertai
adanya lapisan berwarna kekuningan yang gatal. Pada pasien juga mempunyai
riwayat ketombe yang hilang timbul yang mungkin menjadi gejala awal timbulnya
dermatitis seboroik. Pasien adalah seorang buruh pabrik yang biasa bekerja
sampai larut, ini merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya dermatitis
seboroik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status general dalam
batas normal. Pada pemeriksaan dermatologi didapatkan lesi makula eritema
dengan skuama berwarna kekuningan diatasnya yang merupakan tanda khas pada
seboroik dermatitis.
Untuk menyingkirkan diagnosis lain seperti infeksi jamur tinea fasialis,
makan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang dengan penggunaan KOH. Pada
dermatitis seboroik yang disebabkan oleh jamur Malassezia dengan ciri khas
berbentuk seperti ‘spaggheti and meatballs’, sedangkan pada tinea fasialis akan
ditemukan hifa panjang atau atau artrospora. Diagnosis banding lain seperti
psoriasis dan dermatitis kontak alergi dapat disingkirkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisis.
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan adalah upaya untuk
menghilangkan tanda-tanda penyakit dan mengurangi gejala. Pengobatan berulang
dapat diberikan jika terjadi kekambuhan. Pada kasus ini, pasien diberikan anti-
jamur dan antiinflamasi ringan secara topical untuk lesi di kulit, dan pemberian
antihistamin dengan sedatif 1 kali sehari untuk mengurangi gatal.

15
BAB V
KESIMPULAN

Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuama yang tersebar di


daerah predileksi tempat-tempat kelenjar sebaceous sebagai penghasil sebum.
Munculnya dermatitis seboroik diakibatkan oleh berbagai faktor, termasuk
diantaranya kelembaban lingkungan, jamur Malassezia, perubahan cuaca, trauma,
stress, tidak menjaga kebersihan, dan penggunaan obat-obatan yang meningkatkan
resiko dermatitis seboroik. Lesi dermatitis seboroik dimulai dari yang paling
ringan seperti ketombe sampai munculnya eritroderma.
Diagnosis dermatitis seboroik biasanya dibuat secara klinis berdasarkan
penampilan dan lokasi lesi kulit. Tanda khas lesi kulit pada dermatitis sboroik
adalah macula eritema dengan skuama kekuningan berbatas tidak tegas yang
muncul di bagian yang kaya dengan kelenjar sebasea. Termasuk diagnosis
bandingnya adalah psoriasis, dermatitis kontak alergi dan tinea fasialis yang dapat
dibedakan secara klinis ataupun secara histopatologi.
Terapi yang diberikan pada dermatitis seboroik adalah untuk pasien
menjaga kebersihan, membersihkan krusta scara berkala dan menghindari
makanan berlemak. Pengobatan medikamentosa meliputi topical kortikosteroid
untuk inflamasi dan topical anti-fungal ditambah dengan antihistamin untuk
mengurangi rasa gatal.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. S.L. M, K. B, W. I. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta:


Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Disease of the
Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2011. Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta
4. Jones, J.B. Ecxema, Lichenification, Prurogo and erythoderma. Rooks
Textbook of Dermatology, 8th Edition, vol 1. 2010. Sussex. Wiley-Blacwell
5. Soeprono FF, Schinella RA, Cockerell CJ, Comite SL. Seborrheic-like
dermatitis of acquired immunodeficiency syndrome. A clinicopathologic
study. J Am Acad Dermatol 1986; 14:242.
6. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 10 th edition. New York:
McGrawHill
7. Ljubojevic S, Lipozencic J, Basta-Juzbasic A. Contact allergy to
corticosteroids and Malassezia furfur in seborrhoeic dermatitis patients. J
Eur Acad Dermatol Venereol 2011; 25:647.

17

Anda mungkin juga menyukai