PENDAHULUAN
Skabies adalah infestasi parasit pada kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei var. hominis. Diperkirakan terdapat 300 juta orang di dunia yang terinfeksi oleh
tungau skabies. Skabies dapat mengenai segala kelas sosioekonomi, dengan proporsi wanita
dan anak-anak paling banyak terkena. Juga lebih sering terjadi pada daerah yang urban, yaitu
daerah yang padat penduduknya.
Selain akan membahas skabies secara umum, dalam referat ini juga akan dibahas
mengenai skabies pada immunocompromised, termasuk diantaranya penderita HIV/AIDS,
debilitas, dan geriatri. Di masa sekarang, pasien immunocompromised semakin meningkat.
Berdasarkan hasil statistik kasus HIV/ AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, didapatkan jumlah jumlah kasus HIV dan AIDS yang
dilaporkan 1 Januari hingga 31 Maret 2014 berjumlah 6,626 kasus HIV dan 308 kasus AIDS.
Selain itu menurut PUSDATIN dari Kementerian Sosial, pada 2010 jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia adalah 11,580,117 orang. Dan berdasarkan sensus Badan Pusat
Statistik tahun 2010, angka jumlah geriatri di Indonesia mencapai 18,96 juta jiwa. Angka
yang
tinggi
ini
menimbulkan
keprihatinan
terhadap
banyaknya
individu
yang
immunocompromised di Indonesia.
Skabies berkrusta merupakan manifestasi yang jarang dari skabies dengan karakteristik
proliferasi tidak terkontrol dari tungau yang terdapat pada kulit. Kelainan ini terjadi pada
pasien immunocompromised dan penggunaan yang luas dari agen immunosupresif. Hal ini
merupakan hal yang sangat menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Deteksi dini dan terapi yang
tepat merupakan hal yang sangat penting untuk menghindari wabah atau outbreak dari
skabies ini.
II. 1. Definisi
Skabies adalah infestasi parasit pada kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei var. hominis.
Penyakit ini mempunyai karakteristik berupa erupsi pruritus yang intense. Skabies
dapat dipikirkan apabila terjadi erupsi berupa pruritus generalisata yang tidak berespon
terhadap prednison atau pruritus yang bertambah parah dengan terapi steroid.3
Penularannya melalui kontak kulit dan dapat pula melalui kontak seksual.6
II. 2. Epidemiologi
Tungau skabies termasuk dalam filum Arthropoda, ordo Acarina, yang pertama kali
ditemukan pada tahun 1600, namun tidak diketahui sebagai penyebab erupsi kulit hingga
tahun 1700. Diperkirakan terdapat 300 juta orang di dunia yang terinfeksi oleh tungau
skabies. Skabies dapat mengenai segala kelas sosioekonomi, dengan proporsi wanita dan
anak-anak paling banyak terkena. Juga lebih sering terjadi pada daerah yang urban, yaitu
daerah yang padat penduduknya. Insidens terjadinya skabies telah meningkat dalam dua
dekade terakhir, dan merupakan penyebab dari outbreaks di rumah perawatan, rumah sakit,
dan di penjara.5
Skabies merupakan penyakit yang banyak diderita di negara-negara yang kurang
berkembang. Di beberapa daerah seperti Amerika Selatan dan Sentral, prevalensi hampir
mencapai 100%. Di Bangladesh, jumlah anak-anak dengan penyakit skabies melebihi jumlah
anak yang menderita infeksi pernapasan atas dan diare. Pada negara dengan penyakit
leukemia sel T/ virus limfoma (HTLV-1) yang banyak, hiperinfestasi skabies adalah marker
dari infeksi tersebut.1
II. 3. Etiologi
Skabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dari tungau Sarcoptes scabiei var.
Hominis. Sarcoptei scabiei memiliki 4 pasang kaki dan bulu pada bagian dorsalnya.
Diameternya 0.3 mm, sehingga sulit dilihat oleh mata telanjang. Tungau ini tidak dapat
terbang atau meloncat. Ia menghidupi siklus hidupnya selama 30 hari pada epidermis.5
Tungau betina menggali terowongan di stratum korneum dalam waktu 20 menit dan berjalan
sampai sejauh 5 mm per hari hingga 1 sampai 2 bulan sebelum ia mati.2
Tungau ini menggali sampai ke epidermis tidak lama setelah kontak, dan tidak lebih
dalam dari stratum granulosum, menaruh feses nya di terowongan. Siklus hidup tungau betina
adalah 4-6 minggu, menelurkan 40-60 telur dan menaruh 3 telur di dalam terowongan per
harinya. Telurnya menetas dalam 4 hari. Ia menggali 2-3 mm per hari, biasanya pada malam
hari dan menaruh telurnya pada siang hari. Larva yang menetas bermigrasi ke permukaan
kulit dan menjadi dewasa dalam waktu kurang lebih 3 minggu.2 Jantan dan betina kemudian
berkopulasi. Tungau betina yang hamil akan menggali terowongan kembali pada stratum
korneum dan tungau jantan akan mati. Pada scabies klasik, kurang lebih terdapat 10 betina
per pasien. Dengan hiperinfestasi, terdapat lebih dari 1 juta tungau. Diperkirakan terdapar
300 juta kasus per tahun di seluruh dunia.
Infestasi dengan skabies umumnya terdapat pada fasilitas perawatan umum dan tungau
yang hidup dapat diisolasikan dari debu dan barang-barang. Skabies pada dasarnya ditularkan
melalui kontak personal namun dapat pula ditransmisikan melalui pakaian, sprei, furnitur,
atau handuk. Tungau betina dapat bertahan hidup lebih dari 2 hari di pakaian atau sprei.1
Periode inkubasinya biasanya kurang dari 1 bulan namun dapat juga sampai 2 bulan. Pasien
dengan hiperinfestasi melepaskan banyak tungau kepada lingkungan sekitarnya dan
mempunyai risiko tinggi menularkan orang-orang di sekelilingnya. 1
II. 4. Patogenesis
Hipersensitivitas baik yang langsung maupun yang tipe lambat, keduanya terjadi dalam
proses lesi skabies. Dalam infestasi pertama, pruritus muncul setelah sensitisasi dengan S.
Scabiei terjadi, biasanya dalam 4-6 minggu. Setelah terjadi reinfestasi, pruritus dapat terjadi
dalam 24 jam. Pasien yang immunocompromised atau memiliki penyakit neurologik biasanya
mengalami hiperinfestasi.1
3
Skabies dengan diameter nodul 5-20 mm, berwarna merah, merah muda, atau coklat,
biasanya menggali terowongan yang terlihat di permukaan pada awal lesi. Distribusinya
terdapat di skrotum, penis, aksila, pinggang, bokong, dan areola. Ketika sembuh akan timbul
hiperpigmentasi. 1
Perubahan sekunder seperti ekskoriasi, liken simpleks kronik, prurigo nodularis dapat
terjadi. Hipo dan hiperpigmentasi postinflamasi dapat terjadi pada individu yang deeply
pigmented. Skabies bulosa dapat menyerupai pemfigoid bulosa. Infeksi sekunder biasa
disebabkan oleh S. Aureus.1
Gigitan serangga
Eksema
Impetigo
Folikulitis
Tiga penemuan yang bersifat diagnostik adalah menemukan tungau S. scabiei, telur,
dan feses berwarna coklat-hitam berbentuk oval (scybala).1, 2
Dermatopatologi
Terowongan skabietik terlatak di stratum korneum. Tungau betina dengan telurnya
terdapat pada ujung terowongan. Terjadi spongiosis (edema epidermal) di dekat tungau
dengan pembentukan vesikel. Dermis menunjukan terdapat inflitrat dengan eosinofil. Pada
nodul terdapat terdapat infiltrat inflamasi kronik dengan eosinofil. Pada kasus hiperinfestasi
terdapat penebalan stratum korneum yang dilubangi dengan tungau yang tak terhitung
jumlahnya.1
Lain-lain
Dermoscopy dapat digunakan untuk menemukan tungau secara in-vivo. Metode
polymerase chain reaction juga dapat dipakai untuk mendeteksi DNA tungau yang diperiksa
dari lesi kulit yang berskuama. Biopsi kulit digunakan apabila tungau ditemukan transected
di stratum korneum.5
II. 8. Diagnosis
Terdapat 4 tanda kardinal dari skabies, yaitu :7
1. Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas7
2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan
akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh
anggota keluarganya terkena. Walaupun mengalami infestasi tungu, tetapi tidak
memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier)7
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih
atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada
ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder,
ruam kulitnya menjadi polimorfik (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat
predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu :
sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak,
areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut
bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.7
4. Menemukan tungau, yang dapat dipastikan dengan pemeriksaan mikroskopis
(menemukan tungau, telur, maupun fesesnya).1
Regimen
Krim Permethrin 5% yang diaplikasikan ke seluruh area tubuh.1 Permethrin adalah
pyrethroid sintetis yang mengganggu influks sodium melalui membran sel, yang
menyebabkan paralisis saraf dan kematian tungau.2 Pasien sebaiknya mandi setelah 12 jam
sejak pemakaian. Pemakaian krim lalu diulang satu minggu kemudian.
Losio atau krim Lindane (g-Benzene Hexachloride) 1% diaplikasikan tipis-tipis ke
seluruh area tubuh mulai dari leher ke bawah lalu dicuci seluruhnya setelah 8 jam dan diulang
seminggu kemudian. Lindane sebaiknya tidak dipakai setelah mandi, atau kepada pasien
dengan dermatitis menyeluruh, pasien wanita hamil dan menyusui, atau anak di bawah umur
2 tahun karena bersifat neurotoksik.3 Terdapat tungau yang resisten dengan Lindane, namun
harga yang murah membuat Lindane dijadikan sebagai alternatif untuk pengobatan di banyak
negara.1
Alternatif terapi topikal lain dapat digunakan Crotamiton 10%, sulfur 2-10% in
petrolatum, benzyl benzoate 10% dan 25%, benzyl benzoat dengan sulfiram, malathion 0.5%,
sulfram 25%, ivermectin 0.8%.1
Untuk pengobatan sistemik dapat diberikan oral ivermectin, 200 g/kg, dosis tunggal
dilaporkan sangat efektif dalam 15-30 hari. Dosis dua hingga tiga kali, diberi jarak waktu 1-2
minggu, biasanya dipakai untuk infestasi berat atau pada pasien yang immunocompromised,
serta pada orang tua. Mungkin juga dapat efektif untuk eradikasi kejadian epidemik atau
endemik skabies di institusi, seperti di rumah perawatan, rumah sakit, dan tempat
pengungsian. Namun ivermectin ini tidak disetujui penggunaannya oleh U.S. Food and Drug
9
Administration atau European Drug Agency. Sebaiknya tidak diberikan pada bayi, anak kecil,
dan wanita hamil atau menyusui.1
Untuk skabies berkrusta, dapat diberikan oral ivermectin yang dikombinasikan dengan
topikal salicides. Dilakukan pula dekontaminasi dari lingkungan sekitarnya. 1
Pada gatal post-skabietik, terjadi gatal-gatal menyeluruh yang bertahan selama
seminggu atau lebih karena reaksi hipersensitivitas pada sisa tungau yang sudah mati dan
produk dari tungau tersebut. Untuk gatal-gatal yang berat dan persisten, terutama pada
individual dengan riwayat atopik, pemberian prednison 70 mg pada hari pertama, selama 14
hari yang di tappering off diindikasikan.1
Infeksi bakterial sekunder dapat diterapi dengan salep mupirocin atau antimikrobial
sistemik.1
Skabies nodularis dapat diterapi dengan triamnicolone intralesi dengan dosis 5-10
mg/ml setiap lesinya, dan diulang setiap 2 minggu sekali apabila diperlukan.1
10
III. 1. Definisi
Skabies berkrusta atau disebut juga skabies Norwegia adalah varian skabies dengan
karakteristik berupa proliferasi yang tidak terkontrol dari tungau pada kulit.10 Skabies ini
sering
terjadi
pada
immunocompromised.
individu
dengan
Karakteristik
debilitas,
berupa
orang
dermatitis
tua,
atau
generalisata
pada
pasien
dengan
krusta
hiperkeratosis pada telapak tangan dan telapak kaki yang akan berujung pada fissura yang
dalam.1 Pruritus dapat ditemukan namun tidak berat.8
Skabies berkrusta pertama kali ditemukan oleh Boeck dan Danielssen diantara
penderita penyakit kusta di Norwegia pada tahun 1848. Diberi nama Scabies Norvegi
Boeki oleh von hebra pada tahun 1862. Varian skabies ini mempunyai karakteristik berupa
lesi krusta hiperkeratosis sehingga disebut juga skabies berkrusta.
III. 2. Epidemiologi
Terjadinya infestasi kulit oleh ribuan tungau membuat variasi skabies ini sangat
menular. Skabies berkrusta merupakan sumber dari skabies epidemik. Skabies ini biasa
muncul pada pasien dengan demensia, Down syndrome, dan pasien immunocompromised.3
Pasien dengan penyakit HIV mungkin muncul dengan skabies sebagai tanda awal penyakit
AIDS.2 Pasien dengan disfungsi saraf sensoris, seperti paraplegik, dan pasien dengan leprosy
juga berisiko tinggi.8 Namun terdapat juga laporan yang menyatakan bahwa penduduk lokal
Australia yang immunocompetent juga terkena skabies berkrusta.5
Berdasarkan hasil statistik kasus HIV/ AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, didapatkan jumlah jumlah kasus HIV dan AIDS
yang dilaporkan 1 Januari hingga 31 Maret 2014 berjumlah 6,626 kasus HIV dan 308 kasus
AIDS. Selain itu menurut PUSDATIN dari Kementerian Sosial, pada 2010 jumlah
penyandang disabilitas di Indonesia adalah 11,580,117 orang. Dan berdasarkan sensus Badan
Pusat Statistik tahun 2010, angka jumlah geriatri di Indonesia mencapai 18,96 juta jiwa.
11
III. 3. Patogenesis
Manifestasi klinis pada kulit terjadi karena penggalian terowongan oleh tungau betina
di stratum korneum yang diikuti dengan reaksi hipersensitivitas tipe humoral dan tipe lambat.
Antigen tungau yang memicu respon imun diperkirakan berasal dari saliva nya. Kegagalan
dari sistem imun untuk menekan proliferasi tungau merupakan penyebab dari timbulnya
skabies berkrusta. Skabies berkrusta biasanya muncul pada pasien dengan gangguan respon
imun sel T dan menurunkan kemampuan tubuh untuk mengeliminasi tungau. Beberapa studi
memperlihatkan adanya hubungan antara skabies dengan HLA-A11.10
Hiperkeratosis pada kulit yang terjadi pada skabies berkrusta, kemungkinan
berhubungan dengan peningkatan level dari interleukin-4. Studi terbaru memperlihatkan
bahwa sel T sitotoksik memberi kontribusi kepada ketidakseimbangan respon inflamasi di
dermis pada skabies berkrusta ini. Dengan kombinasi kekurangan sel B, menghasilkan
kegagalan sistem imun kulit untuk memberikan respon yang efektif, sehingga terjadi
pertumbuhan parasit yang tidak terkendali.10
Presentasi dapat bervariasi dari satu pasien dengan pasien lainnya, tergantung dari
derajat imunosupresi dan penyebabnya.10
12
pasien seperti ini, studi imunofluoresensi indirek penting dilakukan untuk membedakan
antara skabies dengan bula dan pemfigus bulosa yang sesungguhnya.10
Id atau reaksi tipe autosensitisasi memiliki karakteristik berupa papul edematosa
urtikaria kecil yang menyebar terutama pada batang tubuh bagian depan, lengan bawah, paha,
dan bokong.1
III. 7. Diagnosis
Diagnosis skabies pada pasien immunocompromised kadang sulit didiagnosis. Pasien
yang datang dengan supresi imun dan gatal tanpa sebab yang jelas patut dicurigai. Pasien
mungkin datang setelah datang ke beberapa dokter dan gagal terapi apabila skabies belum
dicurigai sebagai penyebabnya.
III. 8. Tatalaksana
Pada
pasien
dengan
skabies
berkrusta,
percobaan
untuk
melepaskan
atau
Permethrin cream (5%) diaplikasikan ke seluruh bagian tubuh mulai dari leher ke
bawah dan dicuci setelah 8 sampai 14 jam setelah pemakaian
Dan/ atau
1. Ivermectin
Untuk skabies berkrusta, dapat diberikan oral ivermectin yang dikombinasikan dengan
topikal salicides. Cara kerja ivermectin adalah dengan menghambat transmisi sinyal pada taut
saraf-otot dengan cara menstimulasi pelepasan penghambat neurotransmiter gammaaminobutyric acid (GABA) dari terminal saraf presinaptik. Rekomendasi dosis awal
ivermectin untuk skabies berkrusta adalah 200 g/kg, dengan dosis kedua diberikan 2 minggu
setelahnya untuk kasus yang refrakter.4
15
2. Permethrin
Permethrin adalah derivat sintetik dari pyrethrin. Bekerja dengan cara menghalangi
repolarisasi dari sodium channel neuronal dan menyebabkan paralisis serta kematian tungau.
Permethrin sangat efektif terhadap tungau dan mempunyai toksisitas rendah terhadap
mamalia.10
Topikal permethrin dalam krim 5%, adalah agen topikal scabicidal yang dianjurkan dan
sering dikombinasikna dengan oral ivermectin. Permethrin dioleskan semalaman ke seluruh
bagian tubuh, dengan perhatian khusus ke jari tangan dan kaki, kuku, dan lipatan bokong.
Permethrin adalah topikal scabicidal yang efektis, namun diperlukan pemakaian berulang
diperlukan untuk mengeradikasi tungau.10
III. 9. Komplikasi
Skabies berkrusta dapat memiliki komplikasi berupa infeksi bakteri sekunder oleh
Staphylococcus aureus. Infeksi ini termasuk impetigo, selulitis, dan lymphangitis.
Komplikasi lain berupa limfadenopati generalisata. Walaupun jarang, septikemia dapat
terjadi pada pasien ini.10
16
Skabies adalah infestasi parasit pada kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei var. hominis. Penularannya melalui kontak kulit dan dapat pula melalui kontak
seksual.6 Tungau ini menggali sampai ke epidermis tidak lama setelah kontak, dan tidak lebih
dalam dari stratum granulosum, menaruh feses nya di terowongan. Diagnosis dari skabies
dapat ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal berupa, pruritus nokturna,
menyerang manusia secara berkelompok, terdapatnya terowongan, dan menmukan tungau.
Skabies berkrusta merupakan manifestasi dari skabies dengan karakteristik proliferasi
tidak terkontrol dari tungau yang terdapat pada kulit. Pada pasien immunocompromised,
infestasi ini ditandai dengan lesi berkrusta yang tersebar di seluruh ekstremitas. Kelainan ini
terjadi pada pasien immunocompromised dan penggunaan yang luas dari agen
immunosupresif.
Diagnosis dan terapi pada skabies berkrusta merupakan tantangan baru pada era HIV.
Deteksi dini dan terapi yang tepat merupakan hal yang sangat penting untuk menghindari
wabah atau outbreak dari skabies ini.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K., Johnson R.A., Saavedra A. Scabies. Dalam: Fitzpatricks Color Atlas And
Synopsis Of Clinical Dermatology. Edisi ketujuh. New York: Mc Graw Hill. 2013:
710-6
2. Kenneth A.A. Scabies. Dalam: A Lippincott Manual : Manual of Dermatologic
Therapeutics, Edisi kedelapan. Philadelphia : Lippincott; 2014: 200
3. Buxton Paul K, Morris-Jones R. Scabies. Dalam: ABC of Dermatology. Edisi kelima.
UK: Wiley Blackwell. 2003
4. Bart Currie J., Pearly H. First Documentation of In Vivo and In Vitro Ivermectin
Resistance in Sarcoptes scabiei. Infectious Diseases Society of America. 2004: 39:
e8-e12
5. Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I. Scabies. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ketujuh. New York: Mc Graw Hill. 2008: 2029-32
6. Habif Thomas P. Scabies. Dalam: Skin disease : Diagnosis and Treatment. Edisi
ketiga. New York: Elsevier Saunders. 2011: 334
7. Handoko, Ronny P. Skabies. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. FKUI. 2010: 122-5
8. Noah C. Scabies. Dalam: Visual DX: Essential adult dermatology. Edisi pertama.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2010: 308
18