Anda di halaman 1dari 39

BAB I.

PENDAHULUAN

Otolaringologi dan oftalmologi memiliki hubungan yang erat dalam perkembangannya.


Pada awalnya keduanya merupakan satu komunitas yang sama, namun kemudian dipisahkan
menjadi spesialisasi yang berbeda. Beberapa penyakit melibatkan kemampuan kedua spesialisasi
karena area anatomis yang berhubungan. Penyakit-penyakit ini diantaranya: komplikasi orbital
dari sinusitis, karsinoma nasofaring, demam faringokonjungtivitis, fraktur, dan banyak lainnya.
Letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata dan kranial sangat berperan pada
infeksi rinosinusitis akut ataupun kronik. Sinusitis yang tidak ditangani dan diabaikan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, terutama pada organ-organ vital di sekitarnya. Bahaya
komplikasi ini bergantung seberapa besar derajat kerusakan jaringan. Komplikasi tersering
adalah perluasan penyakit hingga ke orbita seperti peradangan atau reaksi edema yang ringan
(selulitis preseptal), selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, trombosis sinus
kavernosus.
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima
besar tumor ganas. KNF dapat meluas ke intrakranial dan mengenai saraf-saraf kranialis anterior
(N.I - N. VI) sehingga menimbulkan gejala pada mata. Dengan sifatnya yang nonspesifik dari
gejala hidung, telinga, kerongkongan sampai mata dan juga otak, KNF jarang bisa terdiagnosa
KNF dari awal. Melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan,
deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.
Demam faringkokonjungtivitis disebabkan oleh adenovirus yang merupakan penyebab
umum dari infeksi virus akut di konjungtiva, yang terjadi secara epidemic atau sporadik
sepanjang musim. Pasien yang kebanyakan merupakan anak-anak dapat memiliki gejala demam,
gejala infeksi saluran napas atas, disertai mata merah, gatal, pembengkakan kelopak mata, dan
manifestasi lainnya pada mata. Demam faringokonjungtiva biasanya bersifat akut dan selflimited.
1

Trauma mata pernah tercatat menjadi kelainan mata yang penangannya sering tertunda
sehingga menjadi penyebab terbanyak terjadinya morbiditas visual. Blow out fraktur adalah
fraktur pada dasar orbita tanpa atau disertai fraktur dinding medial orbita akibat trauma. Fraktur
ini dapat memberikan manifestasi gejala periokuler seperti ekimosis dan edema, enophthalmus,
anestesi saraf infraorbita, dan diplopia. Kasus patah tulang dasar orbita (blowout) secara
mendasar bukan merupakan kasus gawat darurat, namun demikian diagnosa yang akurat dan
manajemen yang dihubungkan dengan manifestasi penglihatan harus segera ditegakkan.
Masing-masing spesialis baik dari otolaringologis dan oftalmologis memiliki keahlian
untuk berkontribusi dalam masalah ini. Dalam beberapa kasus, sangatlah baik apabila kedua
spesialis berkonsultasi dan berkontribusi dalam pengetahuan, pengalaman, dan teknik dalam
kasus-kasus ini.

BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. SINUSITIS
Latar Belakang
Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal.1 Sinusitis mungkin
hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau berlanjut menjadi sinusitis kronis jika tanpa
pengobatan yang adekuat.2
Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis
lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita sinusitis
karena pembentukan sinusnya belum sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada berbagai usia
dengan cara lain.2
Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah dengan drainase sinus, pemberian
antibiotik, dan mencegah komplikasi. Sinusitis yang tidak ditangani dan diabaikan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, terutama pada organ-organ vital di sekitarnya. Bahaya
komplikasi ini bergantung seberapa besar derajat kerusakan jaringan. Komplikasi tersering
adalah perluasan penyakit hingga ke orbita, susunan saraf pusat, dan meluas secara sistemik. 2
Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit sinusitis, maka pada
referat ini akan dipaparkan berbagai hal yang berhubungan dengan sinusitis dan komplikasinya. 2

Definisi
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.1,2

Anatomi
Sinus

paranasal

adalah

rongga-rongga

yang

terdapat di dalam os maxilla, os frontale, os sphenoidale,


dan

os

ethmoidale.

Sinus-sinus

ini

dilapisi

oleh

mucoperiosteum dan berisi udara, berhubungan dengan


cavum nasi melalui aperture yang relative kecil. Sinus
berfungsi sebagai resonator suara dan mengurangi berat
tengkorak.
Pada sinusitis yang paling sering terkena adalah
sinus maksila kemudian ethmoid, dan yang jarang frontal
dan sphenoid. Hal ini disebabkan sinus maksila adalah
sinus yang terbesar, letak ostium nya lebih tinggi dari
dasar, dasarnya adalah dasar akar gigi sehingga dapat berasal dari infeksi gigi, dan ostiumnya
terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga sering tersumbat.
1. Sinus maxilla
Sinus maxilla diperdarahi oleh cabang dari arteri maxilla interna, yang termasuk arteri
infraorbital, arteri alveolar, arteri greater palatina, dan arteri sphenopalatina. Sinus
maxilla dipersarafi oleh cabang dari divisi ke 2 nervus trigeminal, nervus infraorbital,
dan nervus greater palatina.
Batas sinus maksila :
- Anterior
: fossa canina
- Posterior
: permukaan infra temporal maksilla
- Media
: dinding lateral rongga hidung
- Superior
: dasar orbita
- Inferior
: prosesus alveolaris dan pallatum
2. Sinus frontalis
Sinus frontalis diperdarahi oleh arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang
merupakan cabang dari arteri ophthalmic. Sinus frontalis dipersarafi nervus supraorbital
dan nervus supratrochlear yang merupakan cabang dari nervus trigeminal divisi pertama.
Dinding tulang tipis membatasi orbita dan fosa serebri anterior
Ostium
: Duktus frontonasal rongga hidung
Dinding posterior dari sinus ini melebar secara inferior obliq dan posterior
dimana nantinya akan bertemu dengan atap dari orbita.
4

3. Sinus sphenoid
Sinus sphenoid diperdarahi oleh arteri sphenopalatine, kecuali untuk planum sphenoidale,
yang diperdarahi oleh arteri ethmoidal posterior. Innervasi sinus sphenoid oleh cabang
dari nervus trigeminal cabang pertama dan kedua.
Batas sinus sfenoid :
- Superior : Fosa serebri media dan hipofisis
- Inferior : atap nasofaring
- Lateral : sinus kavernosus
- Posterior : fosa serebri posterior
4. Sinus ethmoid
Sinuses etmoid diperdarahi oleh arteri etmoidal anterior and posterior yang merupakan
cabang dari arteri ophthalmic (system carotid internal),

begitu juga dengan arteri

sphenopalatina cabang dari arteri maxilla interna terminal (system carotid externa).
Batas sinus etmoidalis :
-

Superior
Atap
Posterior
Lateral

: rongga tengkorak
: fovea etmoid
: sinus sphenoid
: lamina papirasea

Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial anterior dekat dengan midline. Beberapa
sel melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila. Kelompok sel anterior kecil-kecil
dan banyak, drainasenya melalui meatus media, sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui
meatus superior.

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Terdapat beberapa faktor etiologi dan predisposisi sinusitis, antara lain ISPA akibat virus,
bermacam-macam rinitis, polip hidung, kelainan anatomi (seperti septum deviasi atau hipertropi
konka), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia (sindroma Kartagener)
dan penyakit fibrosis kistik.1,2

Patofisiologi

Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal (KOM) letaknya berdekatan dan
bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya tekanan negatif dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi yang mula-mula serous. Kondisi ini
disebut rinosinusitis non-bakterial yang biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan.1,2
Bila kondisi ini berlanjut, sekret yang menumpuk akan menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri, dan sekret akan menjadi purulen. Keadaan ini disebut rinosinusitis
bakterial akut dan memerlukan terapi antibiotik.1,2
Jika terapi gagal, inflamasi akan berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan
berkembang. Mukosa makin membengkak dan akan terus berlangsung sampai akhirnya
perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertropi, polipoid atau membentuk kista dan polip.
Pada keadaan ini dibutuhkan operasi.1,2

Klasifikasi
Berdasarkan lokasinya, sinusitis dapat dibagi menjadi : 4
1.
2.
3.
4.

Sinusitis maksilaris
Sinusitis frontalis
Sinusitis etmoidalis
Sinusitis sfenoidalis

Diagnosis
Diagnosis sinusitis kronis ditegakkan bila gejala yang diderita (pada sinusitis akut) melebihi 12
minggu, dengan ketentuan memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor 2 minor menurut
International Consensus on Sinus Disease 2004.2

Komplikasi
Meskipun komplikasi sinusitis sudah jarang dijumpai pada era antibiotik sekarang ini,
komplikasi serius masih dapat terjadi. Yang harus diingat komplikasi rinosinusitis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak mendapatkan penanganan yang baik dan
adekuat. Letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata dan kranial sangat berperan pada
infeksi rinosinusitis akut ataupun kronik. 2

Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi antara lain karena : 2
1.
2.
3.
4.

Terapi yang tidak adekuat


Daya tahan tubuh yang rendah
Virulensi kuman
Penanganan tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat dilakukan.

Komplikasi dapat terjadi, baik pada sinusitis akut, subakut, atau kronis. Angka kejadian
komplikasi yang rendah menyebabkan insidensinya tidak diketahui pasti. Komplikasi biasanya
berhubungan dengan area di sekitar sinus. CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat
penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium.
Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi. 2

Komplikasi Lokal
Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus. Kista
ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan
biasanya tidak berbahaya. 2,3
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui
atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus
sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf
di dekatnya. 2,3
Mukokel primer (atau disebut kista retensi) berkembang akibat hambatan duktus kelenjar
saliva mayor, terutama pada sinus maksilaris. Mukokel sekunder disebabkan obstruksi ostium
sinus sebagai komplikasi obstruktif dari rinosinusitis, polip, trauma, pembedahan, dan tumor.
Nyeri kepala dan berkurangnya visus merupakan gejala tersering pada mukokel di sinus frontal,
dimana gejala berlangsung perlahan seiring membesarnya mukokel dalam beberapa tahun. 2,3
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai nyeri kepala bagian frontal dan proptosis, serta
bergesernya bola mata ke bawah atau ke atas. Nyeri hidung dan periorbita dalam dapat
ditemukan. Berbeda dengan sinusitis akut atau kronik, obstruksi nasal dan rinorhea justru jarang
didapat. Meskipun diagnosis dapat diduga berdasarkan temuan klinis, pemeriksaan radiografi
perlu dilakukan untuk memperkuat analisis dan mengetahui letak dari mukokel. Pada
pemeriksaan CT scan, mukokel tampak sebagai massa hipodens. Massa dapat mengisi kavum
sinus. Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun
lebih akut dan lebih berat. 2,3

Terapi umum mukokel adalah dengan mengangkat secara total mukokel, dan umumnya
melalui bedah terbuka. Saat ini, teknik endoskopik transnasal digunakan untuk mengatasi
8

komplikasi ini. Marsupialisasi mukokel, dibanding mengangkat total, merupakan konsep terapi
yang mementingkan kemampuan mukosa sinus untuk kembali ke kondisi normal atau mendekati
normal. 2,3

Komplikasi Orbita dan Periorbita


Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis : batas medial sinus etmoid
dan sfenoid, batas superior sinus frontal, dan batas inferior sinus maksila. Sinusitis merupakan
salah satu penyebab utama infeksi orbita. Pada era pre-antibiotik hampir 50 % terjadi komplikasi
ke mata, 17% berlanjut ke meningen, dan 20% terjadi kebutaan. 2

Komplikasi dapat melalui 2 jalur :


Direk/ langsung : melalui defisiensi kongenital ataupun adanya erosi pada tulang barier

terutama lamina papirasea. 2


Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan
langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita. 2

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.


Ethmoiditis sering menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis frontal dan maksila.
Komplikasi ke orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-anak lebih sering.
Intervensi tindakan operatif lebih banyak dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan
dewasa. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi
orbita. 2
Menurut Chandler et al, terdapat 5 klasifikasi komplikasi orbita dan periorbita pada
sinusitis, yaitu: 2,3,5
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan (selulitis preseptal)
Peradangan atau selulitis preseptal menunjukkan infeksi yang terbatas di kulit dan
jaringan subkutan palpebra anterior hingga septum orbita. Kelainan ini merupakan
komplikasi orbita tersering (70% komplikasi sinusitis secara keseluruhan) dan jarang parah.
Kelainan ini dapat menyebabkan sumbatan vena dan drainase limfatik akibat obstruksi sinus.
9

Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan
orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini. 2,3,5
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang menunjukkan adanya
edem palpebra, eritema, dan nyeri tekan. Visus, reaksi pupil, dan gerakan bola mata
umumnya tidak terganggu. CT scan tidak dianjurkan pada kelainan pada tahap ini, kecuali
bila terdapat perubahan visus, gangguan refraksi, ptosis, dan tanda-tanda selulitis post-septal
lainnya. 2,3,5
Penatalaksanaan selulitis preseptal adalah dengan pemberian antibiotik oral spektrum
luas, elevasi kepala, kompres hangat, dan penanganan penyebab yang mendasari. Meskipun
antibiotik intravena merupakan terapi standar untuk anak-anak sebelum adanya vaksinasi
H.influenzae, antibiotik oral spektrum luas saat ini lebih dianjurkan karena kasus yang ringan
dan lebih aman. Pemberian dekongestan hidung, mukolitik, dan irigasi saline dapat
membantu drainase sinus. 2,3,5
2. Selulitis orbita
Selulitis orbita ditandai adanya proses infeksi yang meliputi bagian-bagian di belakang
septum orbita, termasuk tulang-tulang yang membentuk kavum orbita. Isi orbita terlihat
edem difus dengan sel-sel peradangan dan plasma, bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk. Edem orbita disebabkan oleh peningkatan tekanan sinus
venosus yang menyebabkan transudasi cairan melalui dinding pembuluh ke orbita.2,3,5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya edema palpebra, proptosis ringan, dan
kemosis. Nyeri orbita terjadi pada 85% pasien. Pada kasus berat, gerak orbita menjadi sangat
terbatas, meskipun visus belum terganggu. Apabila diduga terjadi selulitis orbita, maka
konsultasi ke ahli mata dapat dilakukan, untuk meninjau kembali akuisitas visual, reaksi
pupil, gangguan lapang pandangan, melihat warna, motilitas ekstraokular, proptosis, posisi
bola mata, tekanan intraokular, dan keadaan saraf II. CT scan dengan kontras dapat
memperlihatkan adanya sejumlah jaringan edematous orbita. 2,3,5
Penanganan kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik intravena dan pemeriksaan
imaging dilakukan untuk melihat sejauh mana kelainan mata terjadi. Apabila antibiotik gagal
(ditandai dengan hilangnya penglihatan secara progresif, demam menetap selama 36 jam,
keadaan klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada perubahan apa pun selama 72
jam paska pemberian antibiotik), maka terapi drainase bedah dapat dilakukan, yang
memenuhi satu dari lima syarat berikut: 2,3,5
CT scan membuktikan adanya pembentukan abses
10

Visus 20/60 (atau lebih buruk) pada evaluasi awal


Komplikasi orbita berat (misalnya kebutaan atau hilangnya refleks pupil) pada

evaluasi awal
Gejala orbita yang semakin berat meskipun mendapat terapi medik
Tidak ada perbaikan selama 48 jam paska pengobatan medik

3. Abses subperiosteal
Abses subperiosteal merupakan komplikasi sinusitis yang sering terjadi di orbita
superomedial atau inferomedial, yang berhubungan dengan sinusitis ethmoidalis. Abses
berkembang setelah infeksi menembus lamina papirasea atau melalui foramen etmoidalis
anterior/ posterior. Terkumpulnya cairan subperiosteal yang meluas dapat menyebabkan
kebutaan, yaitu sebagai akibat langsung penekanan saraf II, peningkatan tekanan intraorbita,
atau proptosis yang menyebabkan peregangan saraf II. Dengan penanganan medik dan
intervensi bedah agresif sekalipun, sekitar 15-30% pasien akan mengalami sekuele gangguan
visus. 2,3,5
Diagnosis kelainan ini memerlukan evaluasi oftalmologik. Secara klinis abses
subperiosteal dicurigai bila pada pasien dengan selulitis orbita, mengalami proptosis dan
gangguan lapang pandang yang semakin berat, akibat peningkatan tekanan intraorbita.
Kehilangan persepsi warna merah/ hijau dapat mendahului penurunan visus. 2,3,5
Penanganan dan penentuan pendekatan pembedahan masih merupakan kontroversi.
Meskipun pemberian antibiotik intravena dapat dimulai pada tahap awal, beberapa ahli THT
tetap menganjurkan drainase sinus secepatnya. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
kasus abses subperiosteal yang responsif terhadap pengobatan konvensional, terutama pada
anak-anak yang lebih muda, karena virulensi kuman lebih rendah. Kriteria inklusi untuk
pengobatan medikamentosa adalah usia lebih muda dari 9 tahun, tidak terdapat sinusitis
frontalis, lokasi abses di medial, tidak terbentuk gas abses, ukuran abses kecil, bukan kasus
berulang, tidak terdapat gangguan saraf optik dan retina, dan tidak terdapat infeksi gigi. 2,3,5
Berdasarkan kriteria Oxford, maka tindakan bedah ditunda dan diberikan penanganan
konservatif, bila memenuhi seluruh kriteria: 2,5
Visus, reaksi pupil, dan keadaan retina normal
Tidak ada oftalmoplegia
Tekanan intraokular kurang dari 20 mmHg
Proptosis maksimal 5 mm
Ukuran abses maksimal 4 mm
11

Drainase operatif dilakukan bila terjadi penurunan visus, defek pupil, demam yang
berlangsung selama 36 jam, klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada perbaikan
setelah pemberian obat-obatan. Pendekatan bedah yang digunakan pada kasus ini meliputi
pendekatan eksternal, endoskopik, dan kombinasi. Ethmoidektomi eksternal dapat dilakukan
untuk drainase abses. Pada anak-anak, sebaiknya dilakukan pendekatan endoskopik untuk
menghindari perdarahan dan inflamasi mukosa akut. Teknik endoskopik meliputi
etmoidektomi, skeletonizing lamina papiracea, drainase orbita. Drainase transkarankular
merupakan salah satu contoh pendekatan kombinasi yang diperkenalkan oleh Pelton pada
tahun 1996. Dengan cara ini, dilakukan insisi di area antara karankula dan lipatan semilunar.
Periosteum orbita diinsisi tajam dan dibuka untuk mengeluarkan abses. Pendekatan ini dapat
diterapkan pada dinding medial orbita pada sisi lamina papiracea. 2,3,5
4. Abses orbita
Terjadinya komplikasi ini menunjukkan sekuele dari sinus paranasal yang berkembang
progresif akibat keterlambatan diagnosis dan terapi, atau akibat kondisi imunologi yang
buruk. Abses orbita dapat terjadi di dalam atau di luar otot, ketika selulitis orbita berubah
menjadi kumpulan pus. Pada keadaan ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur
dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral
yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah. 2,3,5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa proptosis, kemosis, oftalmoplegia
total, dan gangguan visus, yang berlangsung progresif menuju tahap kebutaan irreversibel.
Substansi purulen dapat keluar secara spontan melalui kelopak mata. CT scan menunjukkan
gambaran infiltrasi difus intraconal dan ekstraconal. Gambaran radiologik dapat
menunjukkan proptosis masif, dilatasi ekstraokular, dan pembentukan gas. Pada MRI,
didapatkan gambaran jaringan nekrotik. 2,3,5
Penanganan abses yang berkembang adalah dengan drainase operatif pada sinus dan
abses. Drainase endoskopik abses pada medial orbita dilakukan seperti pada abses
subperiosteal. Insisi periorbita dilakukan untuk penyaliran abses intraorbita. Etmoidektomi
posterior diindikasikan bila terdapat kelainan di etmoid posterior dan abses yang meluas
hingga ke apeks orbita. Tindakan ini dilakukan dengan kerjasama dengan ahli mata. 2,3,5
5. Trombosis sinus kavernosus
12

Komplikasi ini merupakan akibat perluasan infeksi dari kavum sinonasal (sfenoid >
ethmoid > frontal), atau dari bagian sepertiga tengah wajah. Sindrom dapat terjadi sebagai
komplikasi dari selulitis orbita. Perluasan ini dipermudah oleh sinus kavernosus yang bebas
anastomosis dan tidak terdapat sistem katup vena, sehingga infeksi dapat terjadi secara
retrograd dari arah superior dan inferior vena oftalmika. 2,3,5
Diagnosis komplikasi ini relatif sukar, meskipun penting untuk membedakannya dengan
selulitis atau abses orbita, karena dalam perjalanan penyakitnya akan terjadi keadaan yang
mengancam jiwa. Tanda klinis yang terpenting adalah gangguan orbita bilateral, kemosis dan
oftalmoplegia yang progresif, kelainan retina berat, demam melebihi 40oC ,dan protrusi.
Tanda klinis yang sering terlihat pada trombosis sinus kavernosus berkaitan dengan
struktur anatominya, yaitu adanya kerusakan langsung saraf III hingga VI, dan gangguan
aliran vena dari orbita dan mata. Stasis aliran vena akan menyebabkan papiledema,
perdarahan retina, dan kehilangan penglihatan. Perluasan infeksi ke sinus kavernosus
kontralateral (melalui sinus interkavernosus) umumnya terjadi dalam 24 48 jam setelah
infeksi pertama terjadi. Trombosis karotid dapat mengikuti komplikasi ini, dan berakibat
serangan stroke, empiema subdural, abses otak, atau meningitis. 2,3,5
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
Oftalmoplegia
Kemosis konjungtiva
Gangguan penglihatan yang berat
Kelemahan pasien
Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan
saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak
Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi yang mampu melewati
sawar darah otak dan secara langsung dapat membunuh sebagian besar kuman patogen.
Terapi empiris dapat mencakup pemberian ceftriaxone, metronidazol, atau vankomisin.
Pemberian antibiotik biasanya selama 3-4 minggu, atau selama 6-8 minggu bila komplikasi
intrakranial terjadi. 2,3,5
Intervensi bedah dilakukan untuk drainase sinus yang terkena. Observasi dilakukan
sehubungan dengan risiko terjadinya sepsis, trombosis, dan perluasan infeksi. Pemberian
antikoagulan bertujuan untuk mencegah progresivitas trombosis, mengingat kejadian ini
sukar diprediksi. Banyak penelitian membuktikan efektivitas pemberian antikoagulan dan
jarang sekali pemberian tersebut menyebabkan komplikasi perdarahan. Pemberian heparin
13

bersama antibiotik terbukti menurunkan angka morbiditas secara bermakna. Pemberian


kortikosteroid masih belum ditetapkan sebagai terapi tambahan yang efektif. 2,3,5

14

II.2. KARSINOMA NASOFARING


Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima
besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki
tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala
dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas
rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa
Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamosa.6
Dengan sifatnya yang nonspesifik dari gejala hidung, telinga, kerongkongan sampai mata
dan juga otak, KNF jarang bisa terdiagnosa KNF dari awal. Kebanyakan didapatkan
dalam keadaan sudah lanjut. Dalam suatu penelitian dari 4768 pasien, didapatkan bahwa gejalagejala yang membawa pasien ke dokter antara lain massa leher pada 76% pasien, gejala hidung
pada 73% pasien, gejala di telinga pada 62% pasien dan kelumpuhan saraf cranialis dan mata
pada 20% pasien.5

Definisi
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang
cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. 5
Karsinoma nasofaringeal merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis
ruangan di belakang hidung (nasofaring). 5
Epidemiologi
Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia. Survei departemen
kesehatan menunjukkan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk per tahun. Penyakit ini ditemukan
terutama pada usia 50-59 tahun, hanya 30% dari penderita karsinoma nasofaring yang berusia di
bawah 50 tahun. Perbandingan penderita kanker nasofaring antara lelaki dan perempuan adalah
2,4 banding 1 orang.5,6
15

Gejala yang didapat dari kanker nasofaring berada di urutan paling besar yaitu: massa
pada leher dan tidak nyeri (60%), unilateral (44%) dan bilateral (16%). Sumbatan hidung (50%).
Sakit kepala (34%). Gangguan pendengaran (32%), epistaksis (10%). Trismus (4%). Kehilangan
penglihatan (2%). Penurunan penglihatan (2%), diplopia (2%), juling (2%).
Symptom

Case

Painless neck mass

60%

Nasal obstruction

50%

Headache

34%

Hearing loss

32%

Epistaxis

10%

Trismus

4%

Vision loss

2%

Diminution of vision

2%

Diplopia

2%

Squint

2%

Etiologi
Banyak faktor genetik, etnis dan lingkungan yang berperan dalam etiologi penyakit ini.
Faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini adalah letak geografis,
rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial
ekonomi, infeksi kuman/ parasit. Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya
interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Epstein Barr.5
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu, kebiasaan memasak dengan menggunakan bumbu masakan tertentu, makan ikan-ikan
yang diasinkan dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang terlalu panas.

16

Patofisiologi
Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu: 5,8
1. Adanya infeksi EBV
2. Genetik
3. Faktor lingkungan
Virus Epstein-Barr
Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam sel limfosit B.
Infeksi virus Epstein-Barr terjadi pada dua tempat utama, yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor
virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV

berikatan

dengan

protein

CD21

di

permukaan

limfosit

B.

Aktivitas ini

merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan
selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.
Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring
belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan
dalammasuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunoglo
-bulin Receptor).
Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan EBV sehingga virus mengadakan replikasi, atau EBV yang
menginfeksi sel menyebabkan kematian virus sehingga sel menjadi normal kembali, atau dapat
terjadi interaksi antara sel dan virus sehingga menyebabkan terjadinya perubahan sifat sel dan
transformasi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap
karsinoma

nasofaring

pada

kelompok

masyarakat

tertentu

relative

menonjol

dan

memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyteantigen)
dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen

17

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.
Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah
di Asia dan America Utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang
diawetkan

mengandung

sejumlah

besar

nitrospurrolidene (NPYR)

dan nitrospiperidine

faktor karsinogenik

karsinoma nasofaring.

nitrosodimethyamine
(NPIP)

yang

(NDMA),

mungkin

Selain itu

N-

merupakan
merokok dan

perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar
debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi
dari EBV.
Penyebaran KNF dapat berupa : 5
1) Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran
Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii
media dan fosa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N.I - N. VI).
Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor
ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan
neuralgiatrigeminal (parese N. II-N.VI).
2) Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia faringobasilaris
yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll),
di mana di dalamnya terdapat N. IX - XII;disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena
adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII - N. XII beserta nervus simpatikus
servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX - N. XII disebut Sindrom
Retroparotidean/ Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan
akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh.

18

3) Penyebaran ke kelenjar getah bening


Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya
menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring, penyebaran ke
kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening
pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening
diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di
dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar
dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan
sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati
servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
4) Metastasis jauh
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini
merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.

Manifestasi Klinis
Pada dasarnya gejala Karsinoma Nasofaring dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu:5,8
1. Gejala hidung
Gejala hidung merupakan gejala paling dini, tapi seringkali didiagnosis sebagai rinitis
kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Gejala berupa sumbatan baik unilateral
pada tahap awal ataupun bilateral pada tahap lanjut sering didapatkan dengan disertai
rhinorhea. Gejala lainnya dapat berupa epistaksis ringan yang muncul karena ulserasi dari
tumor.
2. Gejala telinga
Gejala telinga dapat berupa rasa penuh di telinga, berdengung atau tinitus, serta kurang
pendengaran tipe hantaran. Gangguan pendengaran terjadi bila massa tumor
menyebabkan oklusi tuba. Dalam salah satu penelitian, didapatkan otitis media serosa
19

dari 41% pasien KNF baru sehingga ketika ada seorang pasien datang dengan keluhan
gejala seperti ini sebaiknya dipertimbangkan KNF.
3. Gejala tumor leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari
karsinoma nasofaring, dapat unilateral maupun bilateral. Khas tumor leher pada kasus ini
adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoid, dibelakang angulus mandibula, di
dalam m.sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah
digerakkan. Massa pada leher juga dapat menyebabkan Retrosphenoidal Syndrome of
Jacod (yaitu kesulitan ekspresi wajah, dan juga masalah pergerakan mata dan rahang) dan
juga Retroparotidian syndrome of Villaret (yaitu kesulitan menelan dan masalah
pergerakan leher).
4. Gejala mata
Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan kelumpuhan
saraf yang berhubungan dengan mata seperti nervus II, III, IV,VI. Penderita biasanya
mengeluh melihat dobel atau diplopia karena kelumpuhan N VI. Kelumpuhan mata/
opthalmoplegia akibat kelumpuhan N III dan N IV, dan apabila mengenai N II akan
menimbulkan kebutaan.
5. Gejala kranial/saraf
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi
kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Gejala-gejala syaraf ini meliputi:

Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius.

Sindroma petrosfenoidal, melibatkan nervus VI, III, IV dan II, gejala yang muncul ant
ara lain, strabismus, penurunan kelopak mata atas, kesulitan membuka mata dan
penurunanketajaman penglihatan.

Parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah, karena terjadi parese

nervus

V yang merupakan saraf sensorik dan motorik.

Sindroma parafaring, melibatkan nervus IX, X, XI, XII, gejala yang

ditimbulkan

antara lain; hilangnya refleks muntah, disfagi, parese lidah dan deviasi uvula ke sisi
yang sehat, hipersalivasi, disfoni, afoni, disfagi, spasme esofagus, nyeri pada faring
dan laring. Pada parese nervus XI terdapat kesukaran memutar kepala atau dagu. 1,2,10

20

Dengan sifatnya yang nonspesifik dari gejala hidung, telinga, kerongkongan sampai mata
dan juga otak, KNF jarang bisa terdiagnosa KNF dari awal. Kebanyakan didapatkan
dalam keadaan sudah lanjut. Dalam suatu penelitian dari 4768 pasien, didapatkan bahwa gejalagejala yang membawa pasien ke dokter antara lain massa leher pada 76% pasien, gejala hidung
pada 73% pasien, gejala di telinga pada 62% pasien dan kelumpuhan saraf cranialis pada 20%
pasien.
Pemeriksaan
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protocol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor :
5,6,8

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


2. Pemeriksaan nasofaring, menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis
histologik atau sitologik.
4. Pemeriksaan patologi anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh WHO :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi


lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi menggunakan foto polos dan CT scan


Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah
nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
7. Pemeriksaan serologi IgA VCA dan IgA anti EA

21

Untuk pemeriksaan mata sendiri jika terdapat pasien yang mengalami karsinoma
nasofaring dengan gejala pada mata yaitu:7,8
a. Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan
Masing-masing mata dievaluasi tersendiri. Karena pemeriksaan binokular tidak akan dapat
memperlihatkan gangguan penglihatan pada salah satu mata. Untuk pasien yang sangat
muda, dapat dipastikan dengan mengikuti suatu sasaran yang bergerak. Fiksasi dikatakan
normal apabila fiksasi tersebut bersifat sentral (foveal) dan dipertahankan terus sementara
mata mengikuti suatu target yang bergerak. Salah satu teknik untuk mengukur kuantitas
ketajaman penglihatan pada anak adalah forced-choice preferential looking.
b. Inspeksi
Inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi konstan atau intermitten,
berpindah-pindah atau tidak, bervariasi atau konstan.7,8
c. Penentuan sudut strabismus.
Uji Prisma & Penutupan
Terdiri dari empat bagian :

Uji penutupan

Uji membuka penutup

Uji penutupan berselang seling

Uji penutupan dengan prisma

Uji Objektif

Metode Hircshberg
Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya, sehingga yang dilihat oleh
pemeriksa adalah refleks pantulan cahaya pada mata
Sumber cahaya arahkan dari sekitar 30 cm ke arah pangkal hidung,
pasien melihat sumber sinar, lihat pantulan cahaya pada pupil.
Bila kedua pantulan cahaya terdapat ditengah pupil berarti posisi bola
mata pasien sentral (orthoposisi/orthoforia)
Bila salah satu pantulan cahaya terdapat di luar pupil tetapi sebelah
medial berarti posisi bola mata pasien juling keluar (ekstropia)

22

Bila salah satu pantulan caahaya terdapat diluar pupil tetapi disebelah
lateral berarti posisi bola mata pasien juling ke dalam (esotropia)

Metode Refleks prisma (Uji Krimsky)


Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya. Sebuah prisma
ditempatkan didepan mata yang berdeviasi. Dan kekuatan prisma yang
diperlukan untuk membuat refleks cahaya terletak ditengah merupakan
ukuran sudut deviasi.

Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi. Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah, serta klavikula.
b. Kemoterapi
c. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi.
d. Imunoterapi
Komplikasi
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat

foramen

laserum

sampai

sinus

kavernosus menekan saraf N. III, IV, VI juga menekan N.II. yang memberikan kelainan :

Neuralgia trigeminus (N. V) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada


wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang
terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra (N. III)

Ophthalmoplegia (N. III, IV, VI )

2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan ke arah rongga hidung kemudian dapat menginflitrasi
sekitarnya. Tumor ke sampung dan belakang menuju kea rah parafaring dan retrofaring
23

dimana terdapat kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N IX, X, XI, dan XII
dengan manifestasi gejala:

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta


gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper/ hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai


gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan/ atrofi otot trapezius, otot sternocleidomastoideus serta


hemiparese palatum mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah

Sindrom Horner : kelumpuhan N. simpaticus servikalis, berupa penyempitan


fissura palpebralis, enoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.
Prognosis
Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate pada pasien kurang dari
50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang lebih tua. Pada penelitian Qin, pasien yang
lebih muda dan wanita memiliki survival rate lebih baik dari pada pria. Qin juga melaporkan
survival rate pada pasien stadium awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik
dari pada stadium lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV).

24

II.3. DEMAM FARINGOKONJUNGTIVA


Latar Belakang
Adenovirus adalah penyebab umum dari infeksi virus akut di konjungtiva, yang terjadi
secara epidemic atau sporadik sepanjang musim. Secara klinis, 4 sindrom dari infeksi okular
adenoviral telah diketahui, yaitu: keratokonjungtivitis epidemik, demam faringokonjungtiva,
konjungtivitis folikular sporadik non spesifik, dan konjungtivitis papilar kronik.9

Etiologi
Adenovirus merupakan kelompok yang terdiri dari 35 DNA virus yang mirip secara
morfologis dan memiliki antigen komplemen yang sama. Tersebar di seluruh dunia, organism
resisten ether ini menyebabkan infeksi pada saluran respiratori atas dan di mata. Demam
faringokonjungtiva biasa disebabkan oleh adenovirus serotype 3 dan 7, namun serotype 2, 4, dan
14 juga sudah diidentifikasi sebagai agen penyebab. 9

Epidemiologi
Transmisi terjadi melalui kontak dengan droplet saluran napas atas yang terinfeksi, atau
lewat kolam renang, dimana terdapat ekskresi fekal dari virus. Gejala muncul 100% dalam
beberapa hari pertama, hingga 0% pada 10-15 hari setelah onset gejala. Periode inkubasi setelah
paparan adalah 5 hingga 12 hari.9
Banyak kasus merupakan self limited dan ringan, walaupun infeksi kronis juga pernah
dilaporkan. Sekuele okular jangka panjang jarang terjadi. Penyakit ini dominan pada anak-anak
dan individu institusional, serta dalam keluarga, sekolah, penjara, kapal, dan organisasi militer
terjadi secara epidemik. 9

25

Tanda dan Gejala


Pasien dapat memiliki riwayat dari paparan dengan individu yang memiliki mata merah
di rumah, sekolah, maupun tempat kerja, atau mereka yang memiliki riwayat gejala baru dari
infeksi saluran napas atas.9
Demam faringokonjungtiva memiliki karakteristik yang berhubungan dengan manifestasi
sistemik. Pasien dapat mengalami demam yang mendadak maupun gradual yang berkisar antara
100-104 oF, yang bertahan hingga 10 hari. Myalgia, malaise, dan gangguan gastrointestinal
sering berhubungan dengan demam. Faringitis dapat ringan atau sangat nyeri. 9
Gejala awal dari konjungtivitis mulai dari rasa gatal dan terbakar hingga iritasi dan
tearing, namun sedikit fotofobia. Pembengkakan dari kelopak mata dapat terjadi dalam 48 jam
pertama. 9
Tanda dari penyakit dapat berupa epifora, hiperemis konjungtiva dan kemosis,
perdarahan subkonjungtiva, reaksi konjungtiva folikuler atau papiler, dan edema kelopak mata.
Crusting ringan di kelopak mata dan discharge dapat terjadi, dan bila muncul, merupakan hal
yang serius. Demam faringokonjungtiva biasanya bilateral, dengan mata satu memiliki onset 1-3
hari sebelum mata sebelahnya. Walaupun penyakit terjadi bilateral, mata yang pertama kali
terlibat biasanya lebih parah. 9

Pemeriksaan
Pada pemeriksaan umum, dapat ditemukan orofaring posterior yang kemerahan, ditutupi
dengan folikel. Limfadenopati servikal baik dengan nyeri tekan maupun tidak, adenopati
preaurikuler yang membesar juga mungkin ditemukan. 9
Pada pemeriksaan mata, konjungtivitis biasanya mengalami hiperemis difus yang
biasanya muncul pada forniks bawah namun dapat menyebar melalui mukosa palpebra ke
konjungtiva bulbar. Kelopak mata bawah dapat terasa nyeri saat dipalpasi dan ecchymotic,
sehingga memberi gambaran seolah terjadi trauma okular. Membran dan pseudomembran
konjungtival jarang namun dapat juga muncul. 9
26

Diagnosis Banding 9
Keratokonjungtivitis epidemik
Keratokonjungtivitis venal
Keratitis pungtata
Walaupun jarang, namun dapat muncul beberapa hari hingga seminggu setelah onset
gejala. Keratitis ini dapat berkembang sesuai stadiumnya dan memilki karakteristik yaitu
sekuens teratur dari keratitis epithelial superficial, keratitis epithelial profunda, dan
infiltrate subepithelial. Keratitis epithelial profunda memiliki karakteristik epithelial fokal
dan lesi putih subepithelial serta infiltrate subepithelial. Meski keseluruhan penyakit ini
merupakan akut dan sementara, pulih dalam beberapa hari hingga 3 minggu, infiltrate
subepithelial dapat bertahan hingga beberapa bulan, dan dapat menyebabkan penurunan

tajam penglihatan.
Konjungtivitis hemoragik akut
Konjungtivitis alergik
Konjungtivitis bacterial
Konjungtivitis viral

Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis demam faringokonjungtiva biasa didasarkan atas penemuan klinis. Virus dapat
dikultur dalam stadium epithelial akut, karena infiltrate stromal yang muncul belakangan
diperkirakan merupakan kompleks imun terhadap antigen viral.9
Tanpa kultus viral yang positif yang diambil 8-10 hari pertama penyakit, bukti diagnosis
selain dari penemuan klinis dapat diambil dari specimen darah; satu specimen diambil 1 minggu
setelah onset gejala dan specimen kedua diambil 2-3 minggu setelahnya. Peningkatan 4 kali lipat
dari antibody humoral terhadap adenovirus, yang diukur melalui fiksasi komplemen,
mengindikasikan infeksi adenoviral.9
Uji diagnostic lain dapat berupa mikroskop electron, imunofluoresens, imunoperoksidase,
polymerase chain reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Tatalaksana

27

Demam faringokonjungtiva biasanya self-limited disease. Tatalaksana biasanya


simptomatik, yaitu: 9
Kompres dingin beberapa kali dalam sehari selama 1-2 minggu
Air mata buatan 4-8 kali sehari selama 1-3 minggu

Vasokonstriktor topical/ antihistamin 4 kali sehari hanya dapat digunakan apabila sangat
gatal, karena dapat menyebabkan rebounding dari gejala dan memiliki insidens tinggi terhadap
toksisitas local dan hipersenstivitas.
Antibiotik topical dapat diberikan 4 kali sehari untuk mencegah superinfeksi bakteri.
Steroid topical dapat menekan tanda inflamasi konjungtiva, mengurangi gejala, dan
resolusi dari infiltrate kornea subepithelial. Namun karena efek sampingnya, steroid topical
hanya dipakai apabila terdapat pseudomembran datau ketika infiltrate subepithelial sangat
mengurangi penglihatan. Terapi dapat diberikan selama satu hingga beberapa minggu dan
dikurangi dalam beberapa bulan.
Keluarga harus diberi pengarahan mengenai penularan dari infeksi ini. Barang-barang
seperti handuk, sarung bantal, dan pakaian, sebaiknya tidak dipakai bersama. Mencuci tangan
sangat penting untuk mencegah penularan. 9

Prognosis
Kebanyakan kasus demam faringokonjungtiva merupakan akut dan self-limited. Infeksi
biasanya sembuh dalam 2-3 minggu. Infiltrat subepithelial dapat bertahan selama beberapa
bulan, dan apabila terdapat dalam axis penglihatan, dapat menyebabkan penurunan penglihatan.
Serotipe adenovirus 8, 19, 29, dan 37 sering berhubungan dengan keratitis. 9

28

II.4. FRAKTUR BLOW OUT


Definisi
Blow out fraktur adalah fraktur pada dasar orbita tanpa atau disertai fraktur dinding medial orbita
akibat trauma. 10

Epidemiologi
Trauma mata pernah tercatat menjadi kelainan mata yang penangannya sering tertunda
sehingga menjadi penyebab terbanyak terjadinya morbiditas visual. Di Amerika Serikat tercatat
lebih dari 2.5 juta orang menderita trauma mata tiap tahunnya. Sedangkan di dunia tercatat
mencapai angka 1.6 juta orang buta karena trauma mata, 2.3 juta mengalami penurunan tajam
penglihatan karena trauma dan 19 juta mengalami kehilangan penglihatan satu mata karena
trauma. 10,11

29

Anatomi Orbita
Orbita secara sistematis digambarkan sebagai pyramid yang berdinding empat yang
berkonvergensi kearah belakang. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak paralel dan
dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita, dinding lateral dan medial membentuk sudut 45,
menghasilkan sudut tegak lurus antara kedua dinding lateral. Orbita berbentuk buah pir, dengan
nervus optikus sebagai tangkainya. Lingkaran anterior lebih kecil sedikit daripada lingkaran di
bagian dalam tepiannya, yang merupakan tepian pelindung paling kuat.
Basis orbital atau orbital rim pada bagian atas terdiri dari lengkung supraorbital dari
tulang frontal, zigoma, dan maksila dibawahnya; zigoma pada bagian lateral, dan prosesus
frontal maksila pada bagian medial. Dinding orbita ini merupakan tulang yang relatif tipis.
Orbita kemudian terbagi lagi dalam empat bagian: atap, dinding medial, dinding lateral dan
lantai (dinding inferior).
Atap orbita hampir seluruhnya terdiri dari dataran orbital dari tulang frontal, dan pada
posteriornya terdiri dari greater wing of sphenoid. Dinding medial, yaitu dinding yang paling
tipis terbentuk dari prosesus frontal maksila dan tulang lakrimal yang sama-sama membentuk
lekuk lakrimal. Di belakang crest lakrimal posterior adalah lamina papyracea tulang ethmoid
yang sangat tipis dan lesser wing of sphenoid dan foramen optik. Dinding inferior yang
berbentuk segitiga terdiri dari tulang zigomatik, prosesus orbital dari tulang palatinal dan
sebagian besar dari dataran orbital maksila yang terletak di anterior pada fisur orbital inferior.
Bagian dari maksila ini merupakan bagian yang paling sering terlibat di fraktur blow-out pada
dinding inferior orbital. Dinding lateral orbita pula terdiri dari prosesus frontal dari zigoma dan
tulang frontal pada anterior, serta greater wing of sphenoid pada posterior.

30

Etiologi
Fraktur tulang dasar orbita, juga dikenal sebagai fraktur tulang dasar yang terisolasi,
diakibatkan oleh suatu trauma pada bola mata dan kelopak mata bagian atas. Objek pada
umumnya merupakan benda tumpul dengan ukuran cukup besar, lebih besar dari rongga orbita,
yang tidak menyebabkan perforasi bola mata dan cukup kecil sehingga tidak mengakibatkan
31

fraktur pada rima orbita. Biasanya disebabkan oleh bola, tinjuan atau dashboard (pada
kecelakaan lalu lintas) yang mengenai mata. Sering diakibatkan oleh trauma akibat olahraga.11

Patofisiologi
Teori Buckling menyebutkan bahwa kekuatan trauma dari depan diteruskan ke posterior.
Statemen ini menjelaskan bahwa kekuatan trauma mengenai tepi orbita kemudian diteruskan ke
dinding orbita sehingga menyebabkan fraktur dasar orbita.10
Teori Retropulsion yang dikembangkan oleh Smith dan Regan, menyatakan bahwa
fraktur dasar orbita disebabkan oleh tekanan dalam orbita yang meningkat secara mendadak.
Tekanan ini bertambah tinggi pada mata yang tertutup.10

Klasifikasi
Secara umum, fraktur orbital dibagi kepada dua kategori yang luas. Yang pertama
merupakan fraktur yang secara relatif eksternal dan melibatkan orbital rim serta tulang-tulang
yang berdekatan, sebagai contoh fraktur pada nasoethmoid (nasoorbital) dan fraktur malar. Yang
kedua adalah fraktur yang melibatkan tulang secara internal di dalam kavitas orbital. Fraktur ini
terjadi tanpa (atau sedikit) penglibatan orbital rim.11
32

Tanpa penglibatan orbital rim, fraktur ini dipanggil pure blow-out. Jika orbital rim
terlibat, fraktur ini dikenal sebagai impure blow-out.11

Gambaran Klinis
Gambaran klinisnya sangat bervariasi tergantung dari keparahan trauma dan interval
waktu antara kejadian fraktur dengan pemeriksaan. Fraktur blow out akut ditandai dengan gejala
berikut ini:11
1. Tanda tanda periokuler yang meliputi ekimosis, edema, dan kadang didapatkan
emfisema subkutan. Tanda yang terakhir tersebut sering dijumpai pada blow out
fracture dasar orbita yang disertai dengan fraktur dinding medial. Biasanya emfisema
kutis tersebut lebih nyata ketika penderita meniup hidung.
2. Enophthalmus biasanya tidak dijumpai pada pada awal kejadian, karena adanya
edema retroorbital atau perdarahan, bahkan kadang dijumpai proptosis ringan.
Enophthalmus bisa terjadi pada hari ke-10 saat hilangnya edema. Tanda yang
mendukung adanya enophthalmus adalah sulkus superior yang dalam dan fissure
palpebra menyempit. Pada enophthalmus yang tidak diterapi dengan pembedahan,
dapat berkembang dalam 6 bulan menjadi degenerasi orbital post traumatik dan
fibrosis.
3. Anestesi saraf infraorbita yang dapat mengenai palpebra inferior, pipi, tepi hidung,
bibir atas, gigi dan gusi atas. Tanda tersebut khas pada blow out fracture dasar orbita
karena blow out fracture biasanya dimulai dari tepi canalis infraorbitalis dan
memanjang ke arah nasal.
4. Diplopia, bisa disebabkan oleh salah satu mekanisme dibawah ini:
Perdarahan dan edema jaringan lemak orbita menyebabkan septum yang
menghubungkan antara m. rectus inferior dan m. oblique ke periorbita
menjadi sangat erat sehingga sebabkan restriksi pergerakan bola mata. Forced
duction test biasanya positif dan didapatkan perbedaan tekanan intraokuli.
Pada kasus ini, pergerakan bola mata membaik seiring dengan hilangnya

perdarahan dan edema.


Terjepitnya muskulus rectus inferior atau muskulus oblique inferior secara
mekanis diantara patahan tulang atau oleh jaringan ikat dan lemak. Diplopia
33

biasanya terjadi pada pandangan ke atas dan pandangan kebawah yang disebut
dengan double diplopia. Diplopia biasanya bisa membaik jika disebabkan
jepitan oleh jaringan ikat dan lemak dibandingkan dengan jepitan oleh patahan

tulang.
Trauma langsung pada otot extraokuli dihubungkan dengan forced duction
test yang negatif. Serat otot biasanya mengalami regerasi dan berfungsi

normal kembali dalam 2 bulan.


Terdorongnya bola mata ke arah vertikal.

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thorax11
Gambaran anteroposterior dari orbita biasanya menunjukkan berbagai macam

angulasi.
Gambaran paling sering digunakan adalah proyeksi Caldwell dan Waters.
Proyeksi Caldwell untuk menggambarkan dasar orbita dan processus zigomaticoorbital di atas piramida petrosus. Lebih diperluas gambaran orbita dengan
menggunakan proyeksi Waters. Sudut ini dari sinar X menempatkan piramida
petrosus di bawah sinus maksilaris, mengikuti evaluasi dari dasar orbita, bagian
yang mengalami prolaps, dan batas udara dan cairan (air-fluid level) dalam sinus
maksilaris. Terdapat korelasi yang buruk antara opasitas jaringan lunak di bawah
rima orbita inferior dan m.rektur inferior yang terjepit dalam gambaran suatu foto

Waters.
Foto lateral sering membingungkan karena struktur anatominya tumpang tindih

dan hanya sedikit menggambarkan fraktur pada dasar orbita.


2. CT scan11
CT scan tanpa kontras menunjukkan gambaran densitas tulang yang tinggi.
Gambaran axial dan koronal dengan baik mengevaluasi orbita dan dasarnya.
Gambaran orbita secara koronal menunjukkan tulang dan jaringan lunak,
menggambarkan detail gambar yang sempurna dari fraktur tulang dasar orbita,
sinus yang berada disebelahnya, dan jaringan lunak yang terjepit.
3. Magnetic resonance imaging (MRI) 11
MRI memungkinkan foto multiplanar dan sempurna untuk mengevaluasi massa
jaringan lunak dan patologi n. optikus.
34

Meskipun MRI menunjukkan detail gambar yang bagus dari daerah orbita, CTscan adalah foto pilihan untuk mengevaluasi trauma orbita sekunder karena dapat
digunakan untuk membedakan detail dari struktur tulang.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang utama adalah konservatif dengan antibiotik apabila fraktur
mengenai sinus maxilaris. Pasien juga dinasehatkan agar tidak sisi atau meniup hidungnya.
Penatalaksanaan berikutnya bertujuan untuk pencegahan diplopia vertikal menjadi permanen dan
atau untuk tujuan kosmetik pada enophthamus yang mengganggu penampilan. 11
Walaupun kadang terjadi overlapping, untuk menentukan penanganan terhadap blow out
fracture pada dasar orbita, maka BOF diklasifikasikan sebagai berikut:13
1) Pecahan kecil dan tidak didapatkan herniasi tidak memerlukan terapi, resiko terjadinya
komplikasi permanent dapat diabaikan
2) Fraktur yang mengenai kurang dari setengah dasar orbita, dengan sedikit atau tanpa
herniasi yang disertai dengan membaiknya diplopia tidak memerlukan terapi jika
enophthalmus yang terjadi kurang dari 2 mm
3) Fraktur mengenai separuh atau lebih dasar orbita dengan jepitan isi orbita yang disertai
diplopia yang nyata dan menetap pada posisi bola mata primer harus dilakukan bedah
dalam 2 minggu, apabila terapi bedah tersebut ditunda, maka hasil terapi tidak
memuaskan karena terjadinya fibrosis sekunder dalam orbita.

Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan adalah :13

Diplopia persisten dalam 30 derajat dari posisi primer pandangan apabila terjadi

penjepitan
Enoftalmus 2 mm atau lebih

35

Fraktur besar (separuh dari dasar orbita), yang kemungkinan besar menyebabkan
enoftalmus yang timbul belakangan.

Penatalaksanaan dengan pembedahan biasanya dilakukan melalui rute infrasiliaris atau


transkonjungtiva, walaupun juga dapat dilakukan melalui pendekatan transantral dan
infraorbita.13

Periorbita di insisi dan diangkat untuk memperlihatkan tempat fraktur di dinding medial
dan dasar. Jaringan yang mengalami herniasi ditarik kembali ke dalam orbita, dan defek ditutup
dengan suatu implant aloplastik secara hati-hati agar tidak merusak berkas neurovascular
infraorbita.13
Komplikasi
Ada 3 faktor yang menentukan resiko terjadinya komplikasi yaitu: 11

Ukuran fraktur
Herniasi isi orbita ke sinus maxilaris
Terjepitnya otot.
36

Blow out fraktur dapat menyebabkan antara lain : 11

Kebutaan
Diplopia
Ekstrusi implant atau migrasi implant yang menekan kantung lakrimalis serta

menyebabkan sumbatan dan dakriosistitis


Perdarahan
Infeksi
Retraksi kelopak bawah
Anastesi infraorbita

Kasus patah tulang dasar orbita (blowout) secara mendasar bukan merupakan kasus
emergency, namun demikian diagnosa yang akurat dan manajemen yang dihubungkan dengan
manifestasi penglihatan harus segera ditegakkan.13
Teknologi

dalam

radiologi

dan

teknik

pembedahan

telah

dihasilkan

dalam

mengembangkan dignosa dan kemampuan manajemen. Tujuan dari terapi adalah untuk
memelihara atau mengembalikan fungsi fisiologis sebaik mungkin dan penampilan estetik pada
daerah trauma. Terapi konservatif mungkin dilakukan pada beberapa instansi, dimana intervensi
yang lebih invasif dan agresif dibutuhkan pada situasi yang lain.13

37

KESIMPULAN

Otolaringologi dan oftalmologi memiliki hubungan yang erat dalam klinis karena
beberapa penyakit melibatkan area anatomis yang saling berhubungan.
Sinusitis yang tidak ditangani dan diabaikan dapat menyebabkan berbagai komplikasi,
terutama pada organ-organ vital di sekitarnya. Komplikasi tersering adalah perluasan penyakit
hingga ke orbita, susunan saraf pusat, dan meluas secara sistemik. Sinusitis ethmoidalis
merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia. Dengan sifatnya yang nonspesifik dari gejala hidung,
telinga, kerongkongan sampai mata dan juga otak, KNF jarang bisa terdiagnosa dari awal.
Kebanyakan didapatkan dalam keadaan sudah lanjut. Untuk itu diperlukan pengenalan terhadap
penyakit ini secara dini agar dapat dilalakukan intervensi lebih awal untuk mencegah komplikasi.
Demam faringokonjungitiva walaupun merupakan sebuah penyakit yang self limited,
namun harus tetap diwaspadai. Transmisi yang terjadi melalui kontak dengan droplet saluran
napas atas yang terinfeksi sehingga keluarga harus diberi pengarahan mengenai penularan dari
infeksi ini. Mencuci tangan sangat penting untuk mencegah penularan.
Trauma mata pernah tercatat menjadi kelainan mata yang penangannya sering tertunda
sehingga menjadi penyebab terbanyak terjadinya morbiditas visual. Kasus patah tulang dasar
orbita (blowout) secara mendasar bukan merupakan kasus emergency, namun demikian diagnosa
yang akurat dan manajemen yang dihubungkan dengan manifestasi penglihatan harus segera
ditegakkan. Teknologi dalam radiologi dan teknik pembedahan telah dihasilkan dalam
mengembangkan dignosa dan kemampuan manajemen.
Masing-masing spesialis baik dari otolaringologis dan oftalmologis memiliki keahlian
untuk berkontribusi dalam masalah ini. Dalam beberapa kasus, sangatlah baik apabila kedua
spesialis berkonsultasi dan berkontribusi dalam pengetahuan, pengalaman, dan teknik dalam
kasus-kasus ini.

38

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2007.
2. Rahmawan A et al. Berbagai Komplikasi Sinusitis dan Penatalaksanaannya. Tinjauan
Pustaka. Banjarmasin: FKUNLAM; 2009.
3. Adams GL et al. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Jakarta: EGC; 1997.
4. Elango S et al. Orbital Complications of Acute Sinusitis. Singapore Med J. 1990; 31: 341344.
5. Roezin A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. Edisi Kelima. Jakarta: FK UI, 2001. Hal. 146-50
6. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma
In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
7. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta:
FK UI, 1987.h. 69-82.
8. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan pustaka
artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18
9. Scott IU, Roy H. Pharyngoconjunctival Fever. Pennsylvania State University College of
Medicine. Downloaded from : http://emedicine.medscape.com/article/1192323-overview
10. Macewen Caroline J. Ocular Injury. Ninewells Hospital and Medical School, Dundee, U.K.
www.rsed.ac.uk. 2009
11. Cohen, Adam J. 2006.

Facial

Trauma,

Orbital

Floor

Fracture

(blowout).

(http://www.emedicine.com/plastic/topic485.htm). Diakses tanggal 13 juni 2007.


12. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 4th Ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.
13. Tenzel, Richard R. 1993. Orbit and Oculoplastics Vol 4. New York : Gower Medical
Publishing.
14. Fletcher EC, Chong V, Shetlar D. Oftalmologi Umum. Vaughan dan Asbury. 17 th Ed. Jakarta:

EGC. 2007

39

Anda mungkin juga menyukai