Anda di halaman 1dari 23

BAB I

Pendahuluan

Terdapat 4 pasang sinus paranasal, yang terbesar sinus maksila, sinus


frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakkan, hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga didalam tulang.
Semua sinus memiliki muara kedalam rongga hidung. Sinusitis merupakan
peradangan yang terjadi pada mukosa sinus paranasal. Sinusitis dapat menjadi
berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita, intra kranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati. Komplikasi sinusitis
telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotic. Komplikasi berat
biasanya terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronis eksarsebasi akut, berupa
komplikasi orbita atau intra kranial. Kelainan intracranial yang terjadi dapat
berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis
sinus kavernosus. Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul
akibat sinusitis frontal. (1)

Komplikasi intracranial yang terjadi karena sinusitis sudah jarang


ditemukkan pada praktik klinis sehari-hari. Komplikasi intracranial yang dapat
terjadi dapat meliputi kebocoran cairan serebrospinal, thrombosis sinus
kavernosus, abses epidural, abses subdural dan abses cerebral. Insiden komplikasi
intracranial dari sinusitis telah menurun selama beberapa dekade terakhir,
dilaporkan angka kejadiannya kurang dari 3%.(2)

Sir Percival Pott adalah seorang ahli bedah dari rumah sakit Bartholomew
di London menerbitkan sebuah literatur pada tahun 1760 yang didalamnya beliau
mendeskripsikan sebuah kelainan yaitu a puffy, circumscribed, indolent tumor of
the scalp, and a spontaneous separation of the pericranium from the scull (sic.)
under such a tumor yang lebih dikenal dengan sebutan Potts puffy tumor. Pada
mulanya kelainan tersebut diketahui merupakan suatu komplikasi dari trauma
kepala, namun ternyata kelainan tlebih sering ditimbulkan sebagai komplikasi dari
sinusitis frontal. Nyeri kepala dan pembengkakkan daerah dahi biasanya

1
merupakan gejala awal yang paling sering muncul sehingga infeksi intrakranial
lain sering sulit dibedakan dari Potts puffy tumor, maka dari itu pemeriksaan
radiologi otak wajib dilakukan untuk menegakkan diagnosis. (3)

2
BAB II

Sinus Paranasal dan Meninges

2.1 Anatomi sinus paranasal

Terdapat 4 pasang sinus paranasal, yang terbesar sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakkan, hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga didalam tulang. Semua sinus
memiliki muara kedalam rongga hidung.

Sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan pada fetus
perkembangannya dimulai saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan etmoid sudah ada ketika bayi lahir, sedangkan sinus
fronal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak dengan suai 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga idung. Semua sinus iniuumnya akan berkembang secara
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

a. Sinus maksila

Sinus ini merupakan sinus paranasal terbedar. Saat lahir volumenya 6-8 ml,
sinus akan berkembang dengan cepat dan mencapapi ukuran maksimal dengan
volume 15 ml.

Dinding anterior : permukaan fasial os maksila (fosa kanina)

Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila

Dinding medial : dinding lateral rongga hidung

Dinding superior : dasar orbita

Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum

Ostium sinus maksila berada berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

3
Dari segi klinis perlu diperhatikan beberapa hal tentang sinus maksila, yaitu

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
sehingga infeksi dari gigi geligi akan mudah naik dan menyebabkan
sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak ebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drenasenya sangat bergantung dari gerak silia. Sehingga pembengkakkan
daerah ini akibat radang atau infeksi akan menghalangi drenase sinus
maksila dan menyebabkan sinusitis

b. Sinus frontal

Sinus ini terletak di os frontal dan mulai terbentuk saat usia fetus 4 bulan.
Sesudah lahir, sinusfrontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
mencapapi kuran maksimal sebelum umur 20 tahun.

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya
2 cm. sinus frontal memiliki struktur yang bersekat-sekat dan tepi sinus berliku-
liku. Maka dari itu, jika pada gamabaran rontgen tidak ditemui gambaran sekat-
sekat atau lekuk-lekuk, foto tersebut menunjukan adanya suatu proses infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh suatu dinding tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus dapat menjalar sampai daerah tersebut. Sinus
frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.

c. Sinus etmoid

Belakangan ini, sinus etmoid dianggap penting karena dapat menyebabkan


infeksi sinus-sinus lainnya. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel
yang menyerupai sarang tawon. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior.

4
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat bagian sempit yang tersambung
dengan sinus frontal, bagian ini disebut resesus frontal.

Dinding superior : berbatasan dengan lamina kribrosa.

Dinding lateral : lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasinya


dengan sinus etmoid dengan rongga orbita

Dinding posterior : berbatasan dengan sfenoid

d. Sinus sfenoid

Sinus ini terletak dalam os sfenoid dibelakang sinus etmoid posterior. Batas-batas
sinus etmoid adalah:

Dinding superior : fosa serebri media dan kelenjar hipofisis

Dinding inferior : atap nasofaring

Dinding lateral : sinus kavernosus dan arteri karotis interna yang sering
tampak sebagai indentasi

Dinding posterior : fosa serebri posterior di daerah pons

Sistem mukosiliar

Dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lender seperti pada
mukosa hidung. Silia dalam sinus bergerak untuk mengalirkan lender ke ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah ada polanya. Pada dinding lateral
hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus.

Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior dialirkan ke nasofaring


di depan muara tuba Eustachius. Lender yang berasal dari kelompok sinus
(1)
posterior dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba.

5
Gambar 1. Sinus paranasal

Dikutip dari: Singh A (4)

2.2 Sinusitis

Sinusitis di definisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.


Kelainan ini biasanya dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebur sebagai
rinosinuitis. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus etmoid dan
maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang terkena infeksi dan sinus sfenoid
lebih jarang lagi.

Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke


orbita, intra kranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit
(1)
diobati Sinusitis kronik terjadi jika inflamasi mukosa sinus paranasalterjadi
denga durasi lebih dari 12 mnggu dan/atau dalam 6 bulan terakhir kambuh lebih
dari 3 episode. Gejala utama yang dapat ditemukan dari anamnesis berupa lendir

6
hidung mukopurulen, lendir di belakang hidung, hidung tersumbat, nyeri daerah
wajah dana hiposmia samapai anosmia. Gejala tambahan dapat berupa nyeri
kepala, halitosis, nyeri daerah gus atau gigi rahang atas, batuk, nyeri telinga dan
kelelahan. (5)

Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya


antibiotic. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis
kronis eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita atau intra kranial.

Kelainan orbita yang disebabkan oleh komplikasi sinusitis paling sering


berasal dari sinus etmoid. Penyebaran terjadi melalui tromboflebitis atau
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul berupa edema palpebral, selulitis
orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis
sinus kavernosus.

Kelainan intracranial yang terjadi dapat berupa meningitis, abses


ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis sinus kavernosus.
Osteomielitis dan abses subperiosteal palinh sering timbul akibat sinusitis frontal.
(1)

2.3 Anatomi lapisan otak

Jaringan saraf pusat bersifat sangat halus dan jika rusak tidak dapat diganti,
sehingga jaringan yang rapuh ini harus dilindungi dengan baik. Terdapat 4 hal
yang dapat melindungi sususan saraf pusat dari cedera, yaitu:

1. Susunan saraf pusat dibungkus oleh struktur tulang yang keras. Kranium
membungkus otak dan kolumna vertebralis mengelilingi medulla spinalis
2. Antara tulang tersebut dan jaringan saraf terdapat 3 membran protektif dan
nutriti yaitu meninges.
3. Otak mengapung dalam suatu bantalan cairan khusus yaitu cairan
serebrospinal.

7
4. Terdapat sawar darah otak sangat selektif yang membatasi akses bahan-
bahan didalam darah masuk ke jaringan otak

Tiga membrane meninges, yang disebutkan diatas berfungsi untuk


membungkus, melindungi dan memberi makan susunan saraf pusat. Lapisan
tersebut dari luar kedalam terdiri dari dura mater, arachnoid mater dan pia mater.
(6)

Gambar 2. Lapisan Meninges

Dikutip dari: Vyas J (7)

Duramater adalah pembungkus inelastic kuat yang terdiri dari dua lapisan.
Lapisan ini biasanya melekat erat, tetapi dibeberapa tempatkeduanya terpisah
untuk membentuk rongga berisi darah, sinus dural, atau rongga yang lebih besar,
sinus venosus. Darah vena yang berasal dari otak mengalir ke sinus ini untuk
dikembalikan ke jantung. Cairan serebrospinal juga masuk kembali ke dalam
darah di salah satu dari sinus-sinus ini.

Arakhnoid mater adalah lapisan halus kaya pembuluh darah. Ruang antara
lapisan arachnoid dan pia mater dibawahnya, ruang subarachnoid, terisi oleh
cairan serebrospinal. Penonjolan jaringan arachnoid, vili arachnoid, menembus
celah-celah di dura di atasnya dan menonjol ke dalam sinus dura. Cairan

8
serebrospinal di reabsorbsi menembus permukaan vilus-vilus ini untuk masuk ke
sirkulasi darah didalam sinus.

Lapisan terdalam adalah pia mater yang merupakan lapisan yang paling rapuh.
Lapisan ini memiliki banyak pembuluh darah dan melekat erat ke permukaan otak
dan medulla spinalis mengikuti setiap tonjolan dan lekukan. Di daerah tertentu,
lapisan ini masuk jauh kedalam otak untuk membawa pembuluh darah berkontak
dengan sel-sel ependim yang melapisi ventrikel. Hubungan ini penting dalam
pembentukan CSS. (6)

9
BAB III

Potts puffy tumor

3.1 Definisi

Potts puffy tumor adalah osteomielitis pada kepala bagian frontal yang
disertai dengan abses subperiosteal pada tulang frontal. Lesi ini terbentuk ketika
infeksi dari abses yang ada pada ruang subperiosteal mengikis tulang kepala
sampai pada ruang epidural. Kelainan ini ditemukan oleh Sir Pervical Pott pada
tahun 1760, Pott juga menyebutkan lesi ini menyebabkan pembengkakkan yang
terlihat pada kulit kepala, maka dari itu kelainan ini disebut Potts puffy tumor.
Awalnya, kelainan ini ditemukan sebagai komplikasi dari trauma kepala, namun,
ternyata tumor ini dapat timbul juga akibat komplikasi dari sinusitis frontal. (8)

3.2 Epidemiologi

Potts puffy tumor jarang ditemukan pada anak usia dibawah 12 tahun.
Kelainan ini biasanya terjadi pada remaja atau pada orang dewasa.

Menurut Germiller, abses epidural ada komplikasi intracranial terbanyak


yang terjadi akibat komplikasi dari sinusitis. (9)

Insiden dari Potts puffy tumor menurun secara signifikan setelah


antibiotik banyak digunakan. Sebelum era pemakaian antibiotic, angka
mortalitasnya dapat mencapai 100%, namun dengan teknik pencitraan terkini,
antibiotic yang adekuat dan teknik operasi yang ada, mortalitasnya menurun, yaitu
antara 6-20% (10)

3.3 Patofisiologi

Potts puffy tumor atau abses pada ruang epidural adalah infeksi supuratif
dari ruang epidural, yaitu ruang antara durmatater dan tulang tengkorak. Hal ini

10
dapat terjadi akibat penyebaran infeksi dari sinus paranasal, telinga tengah, mata
atau tulang mastoid. Perjalanan penyakit ini dapat berasal dari penetrasi langsung
melalui trauma kepala (misalnya dari gigitan serangga atau trauma ketika terkena
pukulan) atau kontaminasi tindakan operasi, penyebaran dari osteomyelitis,
infeksi tromboflebitis dan penyebaran secara hematogen.

Organisme yang biasanya menjadi penyebab kelainan ini adalah


streptococcus yang berasal dari sinusitis atau staphylococcus yang berasal dari
trauma kepala. Virulensi dari organisme dan imunitas dari host akan berpengaruh
secara signifikan terhadapat kondisi dari setiap individu. Jika organisme tersebut
sudah masuk kedalam ruang epidural, akan terjadi hyperemia dan deposit dari
fibrin yang diikuti oleh akumulasi materi purulen dan terjadi granulasi kronis serta
pembentukan jarinan fibrosa.(10) Obstruksi yang terjadi pada sinus frontal yang
disebabkan oleh edema akan menyebabkan menurunnya kandungan oksigen pada
sinus, yang dapat mengakibatkan tumbuhnya mikroorganisme anaerob. (3)

Infeksi yang terjadi pada mukosa sinus frontal dapat menyerang langsung
jaringan tulang disekitarnya. Infeksi yang progresif akan mengakibatkan
kerusakan pembuluh darah dan neksrosis pada jaringan tulang. Osteitis dapat
menyerang seluruh lapisan tulang sampai kearah posterior menuju dura dan ruang
epidural, sedangkan ke arah anterior menuju perikranium. Tabula anterior dari
sinus frontal lebih tipis dibandigkan tabula posterior, maka dari itu pada bagian
tersebut lebih rentan terjadi akumulasi abses. Bahkan, jika bagian inferior dari
sinus frontal terlibat, dapat terjadi kompilkasi orbita berupa selulitis ataupun
(11)
abses. Pada anak maupun dewasa, arachnoid memiliki sifat yang relative
impermeable, maka dari itu infeksi yang terjadi biasanya tidak menyebar ke dalam
ruang sub arachnoid (12)

Tromboflebitis tanpa infeksi tulang juga merupakan sumber yang potensial


untuk Potts puffy tumor dan sering berhubungan dengan timbulnya komplikasi
intrakranial. Drainase vena dari mukosa sinus frontal akan menuju ke vena
diploic, dimana vena ini akan berjalan ke arah posterior menuju dura dan ke arah

11
anterior menuju perikranial. Maka dari itu tromboflebitis dapat menyebabkan
abses epidural, empyema subdural, meningitis, atau abses lobus frontal. Abses
lobus frontal ini juga dapat berkembang menjadi Potts puffy tumor. (3)

3.4 Gejala klinis

Gejala yang timbul akibat Potts puffy tumor biasanya tidak terlalu tampak
dan berbahaya. Biasanya gejala akan timbul setelah beberapa minggu sampai
beberapa bulan.

Penderita biasanya akan mengalami sakit kepala yang bersifat difus atau
terlokalisir pada satu bagian kepala. Nyeri kepala biasanya disertai dengan
demam persisten yang dialami selama atau setelah pengobatan sinusitis
atau infeksi di telinga tengah. Nyeri kepala juga dapat disertai dengan
keluarnya cairan purulent dari telinga ataupun sinus, pembengkakkan
periorbital dan inflamasi pada kulit kepala. (13)
Abses epidural biasanya bertambah besar secara lambat, sehingga tanda-
tanda adanya kelainan ini akan muncul setelah infeksi sampai pada ruang
subdural. Penderita akan mengeluh kaku leher, mual, muntah, kejang dan
hemiparesis. (10)
Gejala dan tanda juga akan muncul ketika terjadi peningkatan tekanan
intra karnial, seperti mual, muntah dan papilledema. Pada kasus yang
jarang, abses dapat berkembang dekat dengan tulang petrous dan
melibatkan nervus trigeminal dan abdusen, pasien akan mengeluhkan
nyeri ipsilateral dan kelemahan pada otot mata (otot rectus lateral) yang
biasa dikenal dengan sindroma Gradenigo. (10)
Abses epidural juga perlu dicurigai pada pasien yang tidak mengalami
perbaikan gejala dari sinusitis frontal setelah terapi adekuat, pasien dengan
gejala neurologis setelah trauma atau operasi daerah tulang kepala
walaupun riwayat operasi dan trauma sudah dialami beberapa tahun lalu.
Gejala dapat timbul secara akut berupa deficit neurologis dan ensefalopati.
(10)

12
Gambar 3. Laki-laki 16 tahun dengan Potts Puffy Tumor
Dikutip dari : Forgie S (14)

Gambar 4. Gambaran Potts Puffy Tumor sebelum dan sesudah terapi


Dikutip dari: Jung J (13)

3.5 Laboratorium

Hasil laboratorium tidak menunjang untuk diagnosis kelainan ini.


Pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan lekositosis dan
peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR). (10)

13
3.6 Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan otak akan mempersempit kemungkinan diagnosis


sehingga memungkinkan pemberian terapi empiris sampai ditetapkannya
diagnosis spesifik. (10)
Pencitraan radiologi pada tulang kepala mungkin menunjukkan adanya
sinusitis, mastoiditis atau osteomyelitis. (10)
Angiografi cerebral dapat menunjukkan adanya masa avascular yang
mendorong dura menjauhi tulang tengkorak (10)
CT Scan merupakan standar untuk pemeriksaan abses intra kranial.
Pemeriksaan ini akan menunjukkaan gambaran abses yang muncul sebagai
gambaran lentiform dengan densitas yang rendah. CT scan juga akan
menunjukkan destruksi tulang pada pasien dengan mastoiditis dan juga
memungkinkan untuk mengevaluasi jaringan lunak disekitarnya. (10)
Dengan menggunakan CT Scan, dapat disingkirkan kemungkinan lain
seperti mukokel dan keganasan. Pada mukokel, perluasan dapat
menyebabkan erosi diskitar struktur tulang, namun tidak didapatkan
osteomyelitis dan inflamasi pada jaringan lunak. Pada keganasan sinus
paranasal, terdapat bentuk yang aneh disekitar daerah destruksi tulang dan
terdapat infiltrasi jaringan lunak.(15)
MRI merupakan prosedur pilihan untuk menunjukkan abses epidural
(10,16)

14
Gambar 5. (A) CT Scan Axial menunjukan sinusitis frontal dengan defek
pada tulang anterior kanan. (B) CT Scan koronal menunjukkan sinusitis
maxilla dan ethmoid (C) Lesi subperiostium pada tulang frontal kanan (D)
Pembengkakan pada daerah dahi
Dikutip dari :Jung J (13)

Gambar 6. CT Scan sinus paranasal menunjukkan opafikasi sinus frontal, erosi


dinding anterior sinus frontal (panah hitam) dan sklerosis tulang frontal
Dikutip dari: Lim J (15)

15
Gambar 7. CT Scan axial otak dengan abses subperiosteal dan abses epidural
Dikutip dari: Suwan P (11)

3.7 Tatalaksana

Tatalaksana awal tergantung pada gejala klinis yang muncul.

Jika terjadi kejang dan defisit neurologis, dibutuhkan intubasi, terapi


antikonvulsan, hiperventilasi dan satabilisasi hemodinamik sebelum uji diagnostik
dilakukan. Jika terdapat kejang, pemantauan harus dilakukan 12-18 bulan
berikutnya untuk mencegah kekambuhan dari kejang.(17) Steroid dan
antikonvulsan dapat diberikan untuk terapi dari edema otak dan mengurangi risiko
kejang (18)

Jika pasien dalam keadaan stabil atau gejala yang muncul tidak parah,
dapat dilakukan CT Scan segera, namun pemantauan status neurologis harus tetap
dilakukan.

Teapi antibiotik

Terapi empiris sesuai etiologi harus dilakukan meskupun hasil dari kultur
dan uji sensitivitas belum selesai. Misalnya, jika abses tersebut diduga timbul
akibat komplikasi dari sinusitis yang melibatkan bakteri stafilokokus, aerob dan
anaerob, penggunan lebih dari 1 antibiotik mungkin diperlukan. Agen
antistafilokokus juga merupakan pilihan yang tepat untuk infeksi yang timbul
setelah operasi bedah otak. Antibiotik tersebut harus diberikan selama 8 minggu

16
jika tidak dilakukan tindakan bedah, dan 4-6 minggu untuk pasien yang sudah
dilakukan tindakan drainase abses. (10, 16)
Faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan antibiotik pada kasus
abses epidural adalah kemampuannya untuk masuk melalui cairan serebrospinal
dan spectrum luas dalam melawan bakteri. (12)

Penisilin G yang diberikan bersamaan dengan kloramfenikol merupakan


lini pertama terapi empiris untuk terapi abses intracranial di unit gawat
darurat, golongan ini mencakup bakteri anaerob dan sterptokokus,
Kloramfenikol merupakan terapi pilihan lain. Golongan ini mencakup
bakteri anaerob, diantaranya Bacteroides fragilis, Enterobacteriaceae, dan
Haemophilus. (10)
Cefotaxim yang dikombinasi dengan metronidazole dapat menggantikan
kombinasi penisilin G dan kloramfenikol. Cefotaxkim dapat mencakup
terapi untuk streptokukus, stafilokokus, Enterobacteriaceae, dan
Haemophilus. Namun antibiotik dalam golongan sefalosporin generasi III
ini disarankan tidak digunakkan secara tunggal, karena ada beberapa
bakteri anaerob yang tidak dapat dilawan oleh antibiotik ini. (12)
Metronidazol dapat melawan bakteri anaerob dan protozoa. Regimen ini
telah terbukti efisien untuk terapi abses epidural yang sumber infeksinya
berasal dari telinga. (10)

Kortikosteorid seperti dexametason juga dapat diberikan untuk mendapatkan efek


anti inflamasi untuk mengurangi edema otak dan menurunkan tekanan intra
kranial. Namun, kortikosteroid daapat menurunkan efektifitas dari antibiotic
dengan mengurangi penetrasi antibiotic ke dalam abses dan dapat memperlambat
penyembuhan abses. (10)

17
Terapi Bedah

Pada kasus abses dengan ukuran yang kecil dan gejala yang ringan,
pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat sudah cukup untuk menyembuhkan
tanpa disertai terapi bedah.

Tujuan utama dari terapi adalah eradikasi infeksi dan pencegahan


komplikasi lebih lanjut. Eksplorasi bedah, dekompresi dan debridement yang
disertai terapi antibiotic merupakan terapi andalan dalam menangani abses
epidural.

Jika teknik burr holes tidak dapat memfasilitasi drainase yang cukup
adekuat atau ketika debridement dengan drainase dibutuhkan, maka kraniotomi
dapat dilakukan. Menurut Eviatar, drainase pada abses epidural yang timbul
akibat sinusitis yang berada di anterior tulang tengkorak dapat dilakukan secara
endoskop melalui ruang hidung. (2)

Teknologi terbaru mengenai operasi dengan endoskop masih sedikit


dilakukan dan dibahas di literartur. Hal ini masih kontroversial karena kerumitan
struktur anatomi akan membuat sulitnya endoskop masuk ke area operasi. Aturan
umum dalam pemilihan teknik operasi sinus adalah memilih operasi dengan
tingkat infasiv seminimal mungkin yang bisa dilakukan oleh operator.
Keuntungan utama dari operasi dengan endoskop adalah keamanan dan
keefektifannya, dan hasil akhirnya mirip dengan operasi eksternal. Keuntungan
lainnya, operasi endoskopi memiliki angka morbiditas yang lebih rendah dan
waktu pulih yang lebih cepat. (13)

Sumber lain mengatakan bahwa lokasi dari abses dapat ditentukan melalui
CT scan disertai dengan pengetahuan yang teliti mengenai topografi lapang
operasi berdasarkan hasil dari CT scan. Lokasi dapat ditentukkan melalui
potongan sagital, coronal, dan axial. (2)

18
Dapat disimpulkan, pasien dengan Potts puffy tumor sebaiknya dirawat
dan diterapi secara tepat dan cepat dengan tindakan bedah berupa drainase dan
debridement dan antibiotic intravena dosis tinggi yang dapat menembus cairan
serebro spinal dan spectrum yang luas dalam melawan streptokokus, stafilokokus
dan bakteri anaerob. (12)

3.8 Prognosis

Angka mortalitas dan morbiditas menurun beberapa tahun kebelakang


karena sudah tersedia antibiotik yang tepat dan juga pencitraan yang baik berupa
CT scan da MRI.

Prognosis yang baik akan didapatkan pada penderita usia muda, tidak ada
perubahan status mental, tidak terdapat defisit neurologis dan tidak memiliki
faktor komorbid.

Prognosis akan buruk jika terdapat herniasi (angka mortalitasnya meningkat


sampai 50%), tidak terdapatnya gambaran CT Scan pada pasien dengan gangguan
status mental, sakit kepala dan defisit neurologis. (10)

3.9 Pencegahan

Keseriusan komplikasi sinusitis menimnulkan pertanyaan apakah penyebaran


infeksi ini dapat dicegah dengan penggunaan antibiotic secara dini pada
rinosinusitis akut. Namun sebaliknya, penggunaan antibiotik yang sering
digunakan untuk terapi infeksi saluran napas atas yang biasanya disebabkan oleh
virus menimbulkan masalah tambahan yaitu peningkatan angka resistensi
antibiotik.

Dalam sebuah studi menunjukan bahwa komplikasi sinusitis terjadi pada


pasien rinosinusitis akut yang diterapi dengan antibiotic maupun yang tidak.
Karena keterbatasan data, belum ada data yang mendukung bahwa pengobatan
dini infeksi saluran pernapasan atas dapat mengurangi komplikasi sinusitis.
Kesulitan dalam mencegah komplikasi intrakranial juga dikarenakan pasien
dengan komplikasi intrakranial biasanya tidak menunjukan gejala dari sinusitis.

19
Secara ringkas disimpulkan oleh The British Rhinological Society of
complications of acute rhinosinusitis bahwa walaupun terapi antibiotik sudah
diberikan, komplikasi dari rhinosinusitis masih terjadi secara sporadis, hal ini
menunjukan bahwa pemberian antibiotik di fasilitas kesehatan primer belum dapat
memberikan keuntungan secara maksimal dalam pencegahan komplikasi
rhinosinusitis. (18)

20
BAB IV

Kesimpulan

Pottss puffy tumor merupakan salah satu komplikasi intrakranial yang


dapat terjadi akibat sinusitis frontalis. Komplikasi berbahaya ini berupa abses
subperiosteal yang dapat mengikis tulang dan menimbulkan abses di ruang
epidural. Kelainan ini dapat didiagnosis dengan moda pencitraan radiologi CT
scan. Tatalaksananya mencakup terapi antibiotik dan terapi bedah untuk drainase
dan debridement. Seiring dengan berkembangnya jaman, kelainan ini semakin
jarang ditemukan karena sinusitis dapat ditangani dengan tersedianya antibiotik
yang adekuat.

21
Daftar pustaka

1. Soperadi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu


Kesehatam Telinga, Hidungm Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 7.
Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.
2. Eviatar E, Lavi R, Fridental I, Gavriel H. Endonasal Endoscopic Drainage
of Frontal Lobe Epidural Abscess. Israel Medical Association Journal
2008;10:239240
3. Kountakis S, Senir B, Draf W. The Frotal Sinus. Edisi 2. Berlin:
Springer; 2016
4. Singh A. Paranasal Sinus Anatomy: Overview, Gross Anatomy,
Microscopic Anatomy [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 6
January 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1899145-overview#showall
5. Trimartani. Panduan Praktis Klinis, Panduan Praktik Klinis Tindakan,
Clinical Pathway. Jakarta: Pengurus Pusat PERHATI-KL; 2015.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia - Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.
7. Vyas J. Meninges of the brain: MedlinePlus Medical Encyclopedia Image
[Internet]. Medlineplus.gov. 2017 [cited 7 January 2017]. Available from:
https://medlineplus.gov/ency/imagepages/19080.htm
8. Haider H, Mayatepek E, Schaper J, Vogel M. Pott's puffy tumor: a
forgotten differential diagnosis of frontal swelling of the forehead. 2012.
9. Germiller JA, Monin DL, Sparano AM, Tom LW. Intracranial
complications of sinusitis in children and adolescents and their outcomes.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2006 Sep. 132(9):969-76.
10. Ramachandran T. Intracranial Epidural Abscess: Background,
Pathophysiology, Epidemiology [Internet]. Emedicine.medscape.com.
2014 [cited 5 January 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1165292-overview
11. Suwan P, Mogal S, Chaudhary S. Potts Puffy Tumor: An Uncommon
Clinical Entity. Case Reports in Pediatrics. 2012;2012:1-4.
12. Feder H. Pott Puffy Tumor: A Serious Occult Infection. Pediatrics.
1987;79;625
13. Jung J, Lee H, Park I, Lee H. Endoscopic Endonasal Treatment of a Pott's
Puffy Tumor. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology.
2012;5(2):112.
14. Forgie SMarrie T. Pott's Puffy Tumor. The American Journal of Medicine.
2008;121(12):1041-1042.

22
15. Lim J, Kang H. Pott's Puffy Tumor Arising from Frontal Sinusitis. Journal
of the Korean Society of Radiology. 2010;62(2):101.
16. Emejulu J. Potts puffy tumour report of a grotesque case. Annals of
Neurosurgery, 2010; 10(1): 1-4
17. Shehu BMahmud M. Potts puffy tumour : A case report. Annals of
African Medicine. 2008;7(3):138.
18. Johnson , JRosen C. Bailey's head and neck surgery-otolaryngology. 5th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams&. Wilkins; 2014.

23

Anda mungkin juga menyukai