Anda di halaman 1dari 19

CLINICAL SCIENCE SESSION

RINOLOGI-ALERGI

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Disusun Oleh :

Irmadela 41511914
Kamila Rahma Fauziah 4151191466
Bagus 41511914

Pembimbing:
Nurbaiti Nazarudin, dr., Sp.THT-KL., M.Kes.

BAGIAN ILMU PEYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNJANI


RS TK.II DUSTIRA
CIMAHI 2020
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................ii

BAB I...................................................................................................1

PENDAHULUAN..................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................1

1.2 Tujuan....................................................................................2

1.3 Manfaat..................................................................................2

BAB II..................................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3

2.1 Deviasi Septum Nasi..............................................................3

2.1.1 Definisi...................................................................................3

2.1.2 Klasifikasi...............................................................................3

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko......................................................6

2.1.4 Gejala Klinis...........................................................................6

2.1.5 Pemeriksaan Fisik..................................................................8

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang........................................................8

2.1.7 Tatalaksana...........................................................................9

2.1.8 Komplikasi............................................................................10

2.1.9 Prognosis.............................................................................11

2.2 Furunkel Hidung...................................................................11

2.2.1 Definisi.................................................................................11

2.2.2 Gejala Klinis.........................................................................11

2.2.3 Tatalaksana.........................................................................12

2.2.4 Komplikasi............................................................................12

BAB III...............................................................................................13
iii

KESIMPULAN....................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Telinga, hidung, tenggorokan (THT) merupakan organ penting yang
terdapat pada tubuh manusia karena berhubungan dengan sistem
pendengaran dan pernafasan. Hidung merupakan salah satu organ pelindung
tubuh terpenting terhadap lingkungan yang mempunyai beberapa fungsi yaitu
sebagai indra penghidu, respirasi (menyiapkan udara inhalasi agar dapat
digunakan paru-paru), menyaring udara, menyeimbangkan tekanan,
mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru, dan memodifikasi bicara.
Banyak penyakit dapat terjadi di organ hidung. Berdasarkan etiologinya
kelaianan hidung dapat dibagi menjadi kelainan kongenital, inflamasi/infeksi,
neoplasma, trauma dan lain-lain. 1,2
Penyakit THT merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia.
Pengetahuan tentang penyakit THT dibutuhkan untuk mengatasi masalah
penyakit THT secara cepat dan tepat. Berdasarkan data dari Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI) tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita. Data di bagian Rinologi-Alergi
Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) Rumah
Sakit Hasan Sadikin pada tahun 2011 tercatat 46% kasus rinosinusitis,
sedangkan di poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta tercatat
sepanjang tahun 2014 angka kejadian rinosinusitis kronik sebanyak 204 kasus
(13,01%) dari 1567 pasien rawat jalan.3
Perubahan pada fungsi hidung menimbulkan gangguan mulai dari
ketidaknyamanan dan penyakit ringan yang berlangsung sementara, seperti
infeksi saluran pernapasan atas, hingga gangguan yang mengancam nyawa
seperti atresia koana pada neonatus. Efek perubahan faal hidung dapat terlihat
lokal, pada alergi hidung; efek regional pada deformitas gigi dan pernapasan
mulut sekunder akibat sumbatan hidung kronik; dan efek sistemik, seperti gagal
kardiopulmonar sekunder dari sumbatan hidung kronik. Gejala yang dapat
timbul yaitu lokal ataupun sistemik. Gejala lokal termasuk kongesti atau
sumbatan hidung, rinore, perdarahan, nyeri, anosmia atau perubahan indra
penghidu lainnya, serta sekret postnasal. Oleh karena itu diperlukan
penanganan yang tepat dan cepat. 2,4
Berdasarkan hal tersebut, penting untuk dokter umum mengetahui secara
detail tentang masing-masing penyakit yang dapat terjadi di organ hidung,
sehingga dapat melaksanakan pencegahan, tata laksana, serta mencegah
komplikasi yang dapat timbul dari penyakit atau gangguan pada hidung.4

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
mengenai kelainan-kelainan pada hidung.

1.3 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan bagi
penulis maupun pembaca mengenai kelainan pada hidung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deviasi Septum Nasi


2.1.1 Definisi
Deviasi septum nasi merupakan bentuk septum yang letaknya tidak lurus di
tengah atau suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari
letaknya yang dapat disebabkan karena pertumbuhan tulang dan tulang rawan tidak
seimbang ataupun trauma, yang dapat menyebabkan penyempitan pada salah satu
sisi hdung (bila deviasi terjadi cukup berat). Septum nasi yang normal memiliki
bentuk lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya
septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan
tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat menyebabkan
penyempitan pada salah satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu
fungsi hidung dan menimbulkan komplikasi.5,6

Gambar 2.1 Gambaran deviasi septum nasi

2.1.2 Klasifikasi
Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi
berdasarkan letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain
masih normal
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.7

Gambar 2.2 Klasifikasi deviasi septum nasi menurut mladina

Jin RH dkk mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4,yaitu :


1) Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal
2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
3) Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal
4) Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.
Gambar 2.3 Klasifikasi Deviasi septum Jin RH
Klasifikasi septum deviasi menurut Jin RH berdasarkan berat atau ringannya
keluhan:
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum
yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.

Bentuk deformitas septum nasi berdasarkan lokasi :


1. Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang
dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai
kartilago maupun tulang.
2. Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol
ke salah satu lobang hidung.Septum deviasi sering disertai dengan kelainan
pada struktur sekitarnya
3. Spina dan krista
Penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan
kebelakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina.
Gambar 2.4 Spina septum

4. Sinekia
Deviasi atau krista septum bertemu dan melekat pada konka. Bentuk ini akan
menambah beratnya konka. 5
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya
berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung seperti fraktur os nasal.
Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga terdapat teori
birth moulding. Posisi intra uterin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan
pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran septum.
Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran dapat menambah trauma
pada septum. deviasi septum nasal dapat terlihat pada kasus bibir sumbing dan
langit-langit mulut dan pada mereka yang memiliki kelainan palatum gigi dan
dasar mulut. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga
kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk
pengaman ketika berkendara.
Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan
septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap,
juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Dengan
demikian terjadilah deviasi septum.7
2.1.4 Gejala Klinis
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung.
Sumbatan dapat unilateral dan dapat pula bilateral, disebabkan karena pada sisi
deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka
yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah
rasa nyeri dikepala dan sekitar mata. Selain itu penciuman dapat terganggu,
apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum dapat
menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya
sinusitis. Pada pasien dengan kelainan septum, sisi yang sempit akan
mengalami siklus sumbatan hidung yang berbeda, yang menyebabkan
perbedaan pada tahanan hidung total, sehingga pasien merasakan sumbatan
hidung yang berkala. Deviasi septum juga mengakibatkan kelainan pada sinus
paranasal akibat obstruksi yang menyebabkan gangguan ventilasi pada sinus.
Sehingga dapat menjadi faktor risiko terjadinya sinusitis.Gejala lain yang dapat
timbul adalah nyeri epistaksis. Terjadi perubahan aliran udara yang dapat
mempengaruhi tuba eustachius. Hal ini dapat terjadi karena adanya sumbatan
mekanik yang dapat terjadi secara intralumer dan eksraluminer. Deviasi septum
termasuk ke dalam obstruksi ekstraluminer.5,8
Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut ini :
1. Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
2. Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
3. Perdarahan hidung (epistaksis)
4. Infeksi sinus (sinusitis)
5. Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.
6. Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi dan
anak.
Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya
menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan mencetuskan
terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan menyebabkan
gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi
yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold
telah sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi
septum nasi juga akan menghilang.5
Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa:
A. Dinding Lateral Hidung
Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan kompensasi yang
terjadi padasisi konka septum.
B. Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri dan juga
dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar, pengangkatan lantai
kavum nasi,distorsi palatum dan abnormalitas ortodonti. Sinus maksilaris sedikit
lebih kecil padasisi yang sakit.
C. Piramid Hidung
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi pada
piramid hidung.
D. Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit menyebabkan
efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta. Pengangkatan krusta dapat
menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Lapisan proteksi mukosa akan hilang
dan berkurangnya resistensi terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan
menjadi edema sebagai akibat fenomena Bernouili yang kemudian menambah
derajat obstruksi.
2.1.5 Pemeriksaan Fisik
Deviasi septum dapat mudah terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior.
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena
ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan seksama
juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan besarnya
konka. Piramid hidung, palatum dan gigi juga diperiksa karena struktur-struktur
ini sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum.
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi
septum bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Bila dicurigai

terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan pemeriksaan X-ray paranasal.5,8


2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Cottie
Digunakan untum menegakkan diagnosis sumbatan hidung karena kelainan
katup hidung. Dalam tes ini, pipi pasien ditarik menggunakan telapak tangan
pemeriksa ke arah lateral atau menjauhi garis media sementara pasien bernapas
dengan tenang. Kemudian katup hidung akan terbuka sehingga menyebabkan
peningkatan aliran udara dari lubang hidung yang mengalami penyempitan dan
tes positif.
2. Spatula lidah
Spatula lidah merupakan alat paling sederhana untuk mengukur sumbatan
hidung. Spatula diletakkan di depan hodung dan meminta pasien untuk bernafas
biasa dan menutup mulut. Maka dapat dilihat salah satu lubang hidung dan
dibandingkan dengan hidung sebelahnya.
3. Nasal Inspiratory Peak Flowmetri (NIPF)
NIPF merupakan alat untuk mengukur udara hidung pada saat inspirasi. NIPF
terdiri dari tiga bagian yaitu face mask, konektor dan tabung silinder yang berisi
diafragma yang bergerak apabila ada aliran udara. Alat ini digunakan dengan
meletakan “face mask” menutupi hidung dan mulut. Udara inspirasi dihirup
melalui hidung dengan memastikan mulut tertutup. Pemeriksaan dilakukan
sebanyak 3 kali dengan hasil tertinggi yang didapat akan dipakai. Nilai peak
nasal inspiratory flow akan menurun pada penyakit saluran nafas bawah seperti
asma dan penyakit paru obstruksi kronis (Tabel 2.1)

Gambar 2.5 Pemeriksaan dengan spatula 9

Tabel 2.1 Nilai sumbatan hidung pada PNIF9


<50 Obstruksi hidung berat
50-80 Obstruksi hidung
moderat/sedang
80-120 Obstruksi hidung ringan
>120 Tidak ada obstuksi
Gambar 2.6 Nasal inspiratory flow meter9

4. Nasal Ekspiratory Peak Flowmetri (NEPF)


Tes ini sudah jarang dilakukan karena dapat membuat pasien tidak nyaman pada
tuba eustachius dan menghasilkan sekret atau mukus pada sungkup wajah.9,10
2.1.7 Tatalaksana
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum. Analgesik dapat digunakan untuk mengurangi rasa
sakit, serta dekongestan digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung. Ada
2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan yang
nyata yaitu reseksi submucosa dan septoplasty.
• Submucous septum resection (SMR)
Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi dilepaskan
dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari
septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan muko- periosteum
sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Reseksi submukosa
dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose)
akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum
terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada
anak-anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan.
• Septoplasty
Septoplasty merupakan operasi pilihan pada anak-anak, dapat dikombinasi
dengan rhinoplasty, dan dilakukan bila terjadi dislokasi pada bagian caudal dari
kartilago septum. Operasi ini juga dapat dikerjakan bersama dengan reseksi
septum bagian tengah atau posterior. Pada operasi ini, tulang rawan yang
bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan.
Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada
operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle
nose.5,11
2.1.8 Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan
ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-
operasi, diantaranya:
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau
berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan
darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan
perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat
dari dalam hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki
deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan
2.1.9 Prognosis
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada
pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam
10-20 hari dapat melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien
harus memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga
pasien harus juga menghindari trauma pada daerah hidung

2.2 Furunkel Hidung


2.2.1 Definisi
Furunkel adalah infeksi kelenjar sebasea atau folikel rambut hidung yang
melibatkan jaringan subkutan, menyebabkan terbentuknya abses di sekitar kulit
vestibulum. Penyebab furunkel hidung yang paling sering adalah bakteri
Staphylococcus aureus. Umumnya terjadi banyak terutama pada anak-anak,
namun juga dapat terjadi pada remaja dan dewasa.12

Gambar 2.4 Furunkel hidung. 1

2.2.2 Gejala Klinis


Lesi yang terbentuk menyebabkan rasa nyeri dan inflamasi dan dapat
menyebar hingga kulit ujung hidung dan dorsum nasi yang menyebabkan
kemerahan dan pembengkakan. Keluhan bisul di hidung, disertai dengan rasa
nyeri dan rasa tidak nyaman. Lesi utama biasanya berbentuk pustula kecil yang
dapat membesar sehingga membentuk furunkel atau jika menyatu dengan lesi
yang sama disebur karbunkel. Biasanya infeksi terletak di perbatasan antara
konka dan kulit lubang hidung. Pada lubang hidung biasanya terdapat furunkel
paling sering pada lateral vestibulum nasi yang memiliki rambut hidung. Trauma
yang disebabkan mengorek lubang hidung atau menarik rambut hidung
merupakan faktor predisposisi. Selain itu personal higiene yang buruk dan
sosial ekonomi rendah menjadi faktor predisposisi.12
2.2.3 Tatalaksana
Penatalaksanaan furunkel adalah dengan kompres menggunakan air hangat,
analgetik untuk meredakan rasa nyeri, antibiotik topikal dan sistemik untuk
Staphylococcus, seperti salep Bacitracin, polimiksin B, atau Amoksisilin 3 x 500
mg/hari atau Eritromisin 4 x 250 mg/hari. Apabila timbul area fluktuasi, lakukan
insisi dan drainase, tapi pada furunkel yang belum matang tidak boleh
dioperasi atau dilakukan insisi, karena bahaya terhadap penyebaran infeksi
menuju sinus kavernous melalui tromboflebitis vena. Konseling dan edukasi pada
pasien agar menghindari kebiasaan mengorek bagian dalam hidung, tidak
memencet atau melakukan insisi pada furunkel, serta selalu menjaga
kebersihan.13,14
2.2.4 Komplikasi
Furunkel pada hidung berpotensi menjadi keadaan yang berbahaya ketika
infeksi menyebar ke jaringan lain dari wajah dan bibir atas yang menyebabkan:
1. Selulitis.
2. Abses septal.
3. Proses infektifnya menyebabkan thrombosis sinus cavernosus karena vena-
vena hidung dan wajah tidak mempunyai katup yang melewati vana
phtalmicusdan plexus pterygoid dengan sinus cavernosus,12

Gambar 2.5 Furunkel dan selulitis pada hidung12


BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, George L. Boies : buku ajar penyakit THT ( Boeis fundamentals of


otolaryngology). Edisi 6. Jakarta : EGC, hal; 174, 240-247,1997.
2. Mangkusumo Endang, Wardani Retno. Dalam: Soepardi Efiaty, Iskandar
Nurbaiti, Bashirudin Jeny, dkk. Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
2018.
3. Candra, et al. 2013. Penurunan kadar IL-8 sekret mukosa hidung pada
rhinosinusitis tanpa polip non alergi oleh antibiotik makrolid meningkatkan fungsi
penghidu. Bandung: Fakultas Keokteran Universitas Padjajaran.
4. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic Rhinitis. J American Thoracic
Society. 2011; Vol. 8 p. 108-114.
5. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan hidung. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N. Buku ajar ilmu penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;2007.p.126-27
6. Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New Description Method and Classification System
for Septal Deviation. Department of Otorhinolaryngology, Seoul National
University, College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal Rhinology,
2007; 14 : 27-31. Available at: www.doctorjin.co.kr
%2Fmodule%2Fboard%2Fdownload.php%3Fboardid%3Darticles%26b_idx
%3D59%26idx%3D266&usg=AOvVaw1kZNRJD2EdY-5oA1mPURhR
(Accesed : 2020 May 5)
7. Widjoseno-Gardjito, editor. Kepala dan Leher. Dalam : Sjamsuhidajat R, Wim
de Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta : EGC. 2005 :
hlm 365-366.
8. Soecipto D, Wardani RS. Sumbatan hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N. Buku ajar ilmu penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2007.p.119-22
9. Glenys KS, Valrie JL. Investigative rhinology. London: Taylor&Francis; 2004
p.71-6
10. Ottaviano G, Glenis K. Scadding, Stuart C, Lund VJ. Peak nasal inspiratory
flow; normal range in adult population. Rhinology. 2006;44:32-5.
11. Dhingra, PL. The Septum and Its Deseases. In: Dhingra, PL. Diseases of
Ear, Nose, and Throat 4th ed. India: Elsevier. 2003. p140-143.
12. Benninger MS, Stokken JK. Acute rhinosinusitis: pathogenesis, treatment,
and complications. In: Flint PW, Haughey BH, Lund V, et al, eds. Cummings
Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 6th ed. Philadelphia, PA: Elsevier
Saunders; 2015:chap 46
13. Maqbool M, Maqbool S. Tetbook of Ear Nose and Throat Disease. 11th
ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2007.
14. Byron J, Editor B, Karen H, et al. Head & Neck Surgery -
Otolaryngology. 2001.

Anda mungkin juga menyukai