EPISTAKSIS
DISUSUN OLEH:
Siti Maghfirah 210131173
Ziqka Afriza Zuzafni 210131252
PEMBIMBING:
Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. THT-KL
Puji dan syukur Penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
penulisan referat berjudul “Epistaksis”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Haji Pusat Adam
Malik Medan.
Dalam proses penyusunan referat ini, Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. THT-KL selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dan membantu Penulis selama proses penyusunan referat.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulisan referat di kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini dapat
memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di
masa mendatang.
Penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nilai :
Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB III. KESIMPULAN ........................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 33
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar, salah satunya arteri sphenopalatina (Punagi, 2016).
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
merupakan kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian telinga hidung dan
tenggorokan yang mempengaruhi hingga 60% dari populasi di masa hidup mereka,
dan hanya 6% yang membutuhkan perhatian medis (Gilyoma dan Chalya, 2011).
Angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 5–14%. Pada umumnya mereka
mengalami epistaksis 1 kali per-tahun dan ternyata hanya 6-10% yang mencari
pertolongan ke dokter serta hanya 10% di antaranya dirujuk ke dokter spesialis THT
(Viljoen, 2003).
1
2
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90% dapat behenti sendiri. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan
dan bersifat self-limitting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, disamping perlu juga menemukan dan mengobati penyebab
yang mendasarinya (Punagi, 2016).
1.2 TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam
mengenai epistaksis. Selain itu, makalah ini juga berperan sebagai syarat
kelengkapan tugas Program Pendidikan dan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan.
1.3 MANFAAT
Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis mengenai epistaksis sehingga
dapat meningkatkan kualitasnya sebagai seorang tenaga kesehatan yang menangani
secara holistik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung bagian luar disebut nasal pyramid karena bila diproyeksikan dari depan
menyerupai pyramid triangular. Adapun bagian-bagiannya dari atas ke bawah
adalah pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
(apeks/tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior/nares eksterna)
(Sofyan, 2011).
Bagian atas yang berhubungan dengan dahi disebut root, dan bagian bawah
berupa sudut bebas disebut apeks atau up, serta bagian yang menghubungkan
keduanya disebut dorsum nasi. Bagian lateral dari hidung disebut nasafacial
angels, sedangkan bagian yang berhubungan dengan bibir atas disebut naso labial
sulcus. Kedua ala dan septum mengapit kedua lubang hidung luar. Bagian hidung
yang berhubungan dengan luar disebut nares anterior, dan bagian yang
berhubungan dengan belakang disebut nares posterior (Sofyan, 2011).
3
4
Kerangka hidung bagian luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat serta beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Bagian tulang biasanya sempit dan tebal di bagian atas, tetapi lebih lebar di
bagian bawahnya, terdiri dari tulang hidung (as nasalis), processus frontalis as
maksila dan prosesus nasalis as frontalis.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior, beberapa pasang kartilago
alar minor dan tepi anterior septalis/kuadrangularis.
a) Os Nasal
Tampak sempit dan tebal di bagian atas, dan tipis pada bagian bawah.
Tulang ini bersatu di bagian tengah, Adapun batas-batasnya sebelah atas
berartikulasi dengan prosesus nasalis os frontalis, bagian lateralnya
berhubungan dengan prosesus frontalis os maksilla kanan dan kiri, bagian
ventral berhubungan dengan prosesus nasalis os frontalis, lamina
perpendikularis os etmoid dan kartilago septalis.
d) Kartilago Sesamoidea
Terletak pada sisi lateral antara kartilago lateral superior dan kartilago
lateralis inferior. Kartilago ini dapat dijumpai satu atau lebih. Perlekatan
hidung bagian luar pada tulang berbentuk segitiga seperti buah pir disebut
apertura piriformis, dengan batas pada laterosuperiornya dibentuk oleh os nasal
dan prosesus frontalis os maksila, dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris,
os maksila, dan pada tengahnya terdapat bagian yang menonjol disebut spina
nasalis anterior (Sofyan, 2011).
Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung dinamakan nares, sementara
lubang posterior dari hidung ke nasofaring dinamai koana. Tepat setelah nares,
terdapat area kulit yang dinamai vestibulum dan mengandung bulu hidung
(vibirissae).
Permukaan medial tiap ruang hidung dibentuk oleh septum nasi. Sering septum
berdeviasi, yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan nasal. Sisi lateral tiap
kavitas nasalis terdiri dari sejumlah struktur penting secara klinik. Biasanya ada 3
konvolusi mukosa yang tegas yang dinamakan konka. Fungsinya untuk
meningkatkan luas permukaan hidung dan dinamai menurut lokasinya yaitu
inferior, medialis, superior, dan suprema. Di antara konka terdapat lekukan pada
7
Hidung diperdarahi oleh pembuluh darah utama yang berasal dari arteri karotis
interna dan eksterna. Arteri opthalmika merupakan percabangan dari arteri karotis
interna yang bercabang lagi menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Pada
bagian medialnya melintasi bagian atap hidung untuk memperdarahi bagian
superior dari septum hidung dan dinding lateral hidung.
Arteri karotis eksterna bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris
interna, arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis superior dan memperdarahi
hidung bagian anterior.
8
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan bersamaan dengan
arterinya. Aliran darah balik dari hidung dialirkan melalui pembuluh v. ethmoidalis
9
a. Fungsi Respirasi
Udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik
ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring.
Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus (Soejipto et al., 2007).
Saat udara dihirup rongga hidung membantu pernapasan dengan menyiapkan udara
untuk pertukaran oksigen. Karena sifat rongga yang sempit udara yang dihirup
dengan cepat masuk ke area permukaan mukosa yang besar dengan suplai darah
yang kaya pada suhu tubuh. Udara yang di hirup akan mengalami humidifikasi oleh
palut lendir yang berfungsi untuk melindungi epitel pernapasan dan penciuman
dengan memfasilitasi aklimatisasi yang cepat dari udara yang di hirup ke suhu yang
lebih cocok untuk paru-paru (Freeman et al., 2021).
b. Fungsi Pertahanan
Rongga hidung juga membantu pertahanan jaringan pernapasan. Sekresi lendir
menjebak partikel dan antigen yang dibawa ke dalam sistem pernapasan selama
proses inhalasi. Saat terperangkap, patogen akan terikat oleh dimer IgA sekretori
(komponen dari respon imun adaptif) yang mencegah perlekatan patogen ke epitel
di mukosa hidung sehingga menghambat invasi. Sekresi lendir ini juga dapat
mengandung IgE yang terlibat dalam respon alergi. Selain itu, terdapat flora normal
di mukosa hidung yang juga melindungi dari invasi patogen (Freeman et al., 2021).
c. Fungsi Penghidu
Saat udara memasuki rongga hidung, konka berfungsi untuk mengarahkan
sebagian aliran udara ke rongga yang lebih tinggi. Reseptor olfaktorius berada di
atap rongga hidung dekat lempeng cribriform. Reseptor ini mengikat bau yang
dibawa ke hidung selama inhalasi dan mengirim sinyal ke korteks penghidu dan
daerah otak lainnya (Freeman et al., 2021).
d. Fungsi Fonetik
Untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi, maka diperlukan resonansi
oleh hidung. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang
12
e. Refleks Nasal
Saat terjadi iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas
berhenti. Reseptor refleks pada mukosa hidung berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas (Soejipto et al., 2007).
Gambar 2.7. Lokasi dan struktur sel reseptor olfaktorius (Sherwood, 2013)
frontalis. Silia mengandung tempat untuk mengikat odoran, molekul yang dapat
menghidu. Agar dapat dihidu, suatu bahan harus cukup mudah menguap sehingga
sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui udara inspirasi dan cukup
larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mukus yang menutupi mukosa olfaktorius
(Sherwood, 2013).
Pengaktifan sinyal bau dengan reseptor olfaktorius mengaktifkan protein G,
memicu kaskade reaksi intrasel dependen-cAMP yang menyebabkan terbukanya
kanal kation nonspesifik berpintu cAMP. Serat-serat yang berasal dari ujung
reseptor di hidung berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng kribriform dan
segera bersinaps di bulbus olfaktorius.Tiap-tiap bulbus olfaktorius dilapisi oleh
taut-taut saraf kecil mirip bola yang dikenal sebagai glomerulus. Dalam setiap
glomerulus, ujung-ujung sel reseptor yang membawa informasi tentang komponen
bau tertentu akan bersinaps dengan sel mitral. Sel mitral berfungsi
menyempurnakan sinyal bau dan mengirimkannya ke otak untuk proses
selanjutnya.
2.4 EPISTAKSIS
2.4.1 DEFINISI
Epistaksis berasal dari istilah Yunani, epistazein yang berarti perdarahan dari
hidung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi,
kavum nasi atau nasofaring (Kunandam & Bingham, 2016). Epistaksis merupakan
suatu gejala, bukanlah suatu penyakit. Oleh karena itu, sangat penting menentukan
penyebab terjadinya epistaksis (Adam et al., 1997). Epistaksis jarang mengancam
jiwa namun dapat menyebabkan kekhawatiran. Sebagian besar epistaksis adalah
ringan, self-limiting, dan spontan namun beberapa dapat terjadi berulang (Quoc,
2022).
2.4.2 EPIDEMIOLOGI
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% orang diseluruh dunia selama masa hidup
mereka, dan sekitar 6% dari mereka dengan epistaksis datang ke pelayanan kesehatan.
Prevalensi meningkat pada anak-anak kurang dari 10 tahun dan kemudian naik lagi setelah
usia 35 tahun. Umumnya, laki-laki yang sedikit terkena dibanding dengan wanita sampai
usia 50 tahun, tapi setelah 50 tahun tidak ada perbedaan yang signifikan seperti data yang
telah dilaporkan. Epistaksis biasanya dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior,
tergantung pada lokasi asalnya. Epistaksis anterior timbul dari kerusakan pleksus
kiesselbach pada bagian bawah dari septum hidung anterior, dikenal sebagai daerah little,
sedangkan epistaksis posterior timbul dari kerusakan arteri septum nasal posterior.
Epistaksis anterior lebih sering terjadi daripada epistaksis posterior, yaitu sekitar 80% kasus
epistaksis.
Epistaksis jarang berakibat fatal, kematian di Amerika Serikat sekitar 1 dari 200
kunjungan gawat darurat dan terhitung hanya 4 dari 2,4 juta kematian.Meskipun jarang
menjadi penyebab langsung kematian, epistaksis dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan, terutama pada orangtua dan orang-orang dengan penyakit penyerta
kardiovaskular. Epistaksis menimbulkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan
mengalami perburukan klinis jika kehilangan darah yang signifikan. Pasien dengan usia tua
3 kali lebih mungkin untuk membutuhkan perawatan medis daripada pasien anak (Pallin et
al, 2005).
15
2.4.3 ETIOLOGI
b. Sistemik
• Hipertensi
16
c. Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan epistaksis diantaranya:
• Antikoagulan (warfarin)
• Anti agregasi platelet (clopidogrel)
• Topical nasal steroid sprays
• Suplemen/obat alternatif (vitamin E, ginkgo, ginseng)
• Penggunaan zat adiktif (cocaine)
d. Faktor Lingkungan
• Alergi
Alergen dapat menyebabkan keringnya mukosa hidung sehingga mudah
terjadinya iritasi. Pada pasien yang memiliki alergi juga sering menggosok
hidungnya sehingga dapat menyebabkan trauma pada hidung.
• Cuaca kering
Cuaca yang kering dapat menyebabkan iritasi pada mukosa hidung
sehingga mudah terjadinya epistaksis (Quoc, 2022).
e. Idiopatik
Penyebab epistaksis tidak selalu dengan mudah diidentifikasi. Sekitar
10% pasien dengan epistaksis tidak diketahui penyebabbnya bahkan setelah
dilakukan evaluasi menyeluruh (Quoc, 2022).
2.4.4 KLASIFIKASI
a. Epistaksis Anterior
Sekitar 80-90% dari semua kejadian epistaksis terjadi di sepanjang septum
hidung anterior, yang sebagian besar timbul dari Pleksus Kiesselbach.
Perdarahan anterior melibatkan pembuluh darah yang lebih kecil dan lebih
mudah dilakukan penekanan, elektrokauter, pengobatan topikal dan biasanya
berhenti spontan dengan penekanan cuping hidung (Krulewitz & Fix, 2019).
18
b. Epistaksis Posterior
Sekitar 10% episode epistaksis merupakan epistaksis posterior. Epistaksis
posterior berasal dari Pleksus Woodruff’s yang terletak dibagian posterior.
Secara signifikan lebih sulit untuk diidentifikasi dan ditangani. Kondisi ini
lebih menimbulkan risiko aspirasi dan membutuhkan perawatan medis
(Krulewitz & Fix, 2019).
2.4.5 PATOFISIOLOGI
a. Epistaksis Anterior
b. Epistaksis Posterior
2.4.6 DIAGNOSIS
a) Anamnesis
Pada sebagian besar kasus epistaksis sudah dapat didiagnosis cukup dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada saat melakukan anamnesis harus
ditanyakan tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat terjadi perdarahan
21
ruang depan, septum, dan turbinat. Jika sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi di area tersebut, ada kekhawatiran terjadi perdarahan
posterior. Jika perdarahan berlanjut setelah upaya untuk mengontrol
perdarahan anterior dengan kompresi dan balutan, manajemen
kemungkinan sumber posterior harus dimulai (Womack, P. Jason, 2019).
Tempat perdarahan anterior biasanya terlihat pada pemeriksaan langsung.
Jika tidak ada situs yang terlihat dan hanya ada 1 atau 2 mimisan ringan,
pemeriksaan lebih lanjut tidak diperlukan. Jika perdarahan parah atau
berulang dan tidak ada tempat yang terlihat, endoskopi fibroptik mungkin
diperlukan. Pemeriksaan umum harus mencari tanda-tanda gangguan
perdarahan, termasuk petekie, purpura, telangiektasis mukosa perioral dan
mulut serta massa intranasal. Pada epistaksis perlu diperhatikan tanda
bahaya yang dapat mengancam jiwa seseorang disebut red flag. Kondisi
yang menggambarkan red flag adalah adanya tanda-tanda hipovolemia atau
syok hemoragik, riwayat penggunaan obat antikoagulan, tanda-tanda kulit
pada gangguan perdarahan, perdarahan tidak berhenti setelah ditatalaksana
awal dan epistaksis rekuren tanpa penyebab yang jelas.
c) Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Laboratorium
Pada kebanyakan kasus epistaksis pemeriksaan laboraturium tidak perlu
dilakukan terkusus pada kejadian yang tidak berulang serta dijumpai riwayat
trauma. Namun jika dicurigai kehilangan darah yang cukup bermakna,
leukemia ataupun keganasan perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap.
Pemeriksaan PT, aPTT dilakukan jika pasien memiliki riwayat
mengkonsumsi obat anti koagulasi seperti heparin dan warfarin dan apa bila
pasien dicurigai memiliki gangguan koagulopati selain dilakukan
pemeriksaan darah lengkap juga di lakukan pemeriksaan prothrombin time
(PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) dan waktu perdarahan
• Foto kepala sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma
atau infeksi.
23
Gambar 2.11 Endoskopi pada epistaksis posterior (Viewhug & Jhon, 2006)
2.4.8 TATALAKSANA
c. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan
kauterisasi kimia Perak Nitrat (AgNO3) 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau
Polikresulen pada pembuluh darah yang mengalami perdarahan selama 2–3
detik. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua septum karena dapat
menimbulkan perforasi. Prosedur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan.
Metode ini dilakukan pada perdarahan yang lebih masif yang kemungkinan
berasal dari daerah posterior dan kadang memerlukan anestesi lokal. Terdapat
dua macam mekanisme elektrokauter, yaitu monopolar dan bipolar (Husni &
Hadi, 2019).
d. Tampon Hidung
• Tampon Anterior
• Tampon Posterior
e. Ligasi Arteri
Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi
epistaksis. Secara umum, semakin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol
perdarahan semakin efektif. Pembuluh darah yang dipilih antara lain : arteri karotis
eksterna, arteri maksila interna atau arteri etmoidalis (Krulewitz & Fix, 2019).
29
f. Embolisasi
Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat
diembolisasi. Dilakukan angiografi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem
arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Embolisasi juga dapat
dilakukan pada arteri maxilaris interna dan externa. Angiografi
postembolisasi dapat digunakan untuk menilai tingkat oklusi (Krulewitz &
Fix, 2019).
2.4.9 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi oleh karena epistaksis sendiri atau sebagai efek
samping dari penatalaksanaan epistaksis. Dapat terjadinya aspirasi darah ke dalam
saluran napas bawah oleh karena perdarahan yang hebat. Selain itu, dapat juga
menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Tekanan darah yang turun secara
mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Pada kasus
ini, pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepat mungkin (Soejipto
et al., 2007).
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi sehingga perlu
diberikan antibiotik. Saat pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis,
otitis media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus selalu
30
diberikan antibiotik dan tampon harus dilepaskan 2-3 hari. Jika perdarahan masih
berlanjut maka dapat dilakukan pemasangan tampon baru. Pemasangan tampon
posterior dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir dikarenakan
terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Penggunaan kateter Folley tidak boleh dipompa
terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis pada mukosa dan septum hidung.
Selain itu, dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui
tuba Eustachius dan airmata berdarah (bloody tears) akibat mengalirnya darah
melalui duktus nasolakrimalis secara retrograd (Soejipto et al., 2007).
2.4.10 PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk (Punagi, 2016).
2.4.11 PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis
antara lain:
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk
membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teh garam ke dalam
secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud.
d. Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung.
e. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
f. Bersin melalui mulut.
g. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
31
32
33
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L., Boeis, L.R., Higler, P.A., 1997. Epistaksis. Buku Ajar Penyakit THT
BOIES edisi 6. Jakarta :EGC. hal. 224-233.
Andrianto, Petrus, Thaller, Seth R, Granick, Mark S. (1995). Diagram diagnostik
penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan . Jakarta: EGC.
Bestari J Budiman, A. H. (2012). Epistaksis dan Hipertensi : Adakah
Hubungannya? Jurnal Kesehatan Andalas, 75.
Delfitri Munir, Y. H. (2006). Epistaksis . Majalah Kedokteran Nusantara Volume
39 , 275.
Dhingra, P. L., Dhingra, S. 2014. Epistaxis in Diseases of Ear, Nose and Throat
Head & and Neck Surgery, 4th edn. Elsevier. India, pp: 4-5, 70., 4th edn,
Elsevier, India, hal. 176-180
Freeman S. C., Karp D.A., Kahwaji C.I., 2021, ‘Physiology Nasal’, StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing, 2022 Jan-. Available
from: Accessed 15 February 2022, Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526086/.
g%20dan%20SPN.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Galarza, P. L., Marston, G., Downs, B. W. 2021 ‘Anatomy, Head and Neck,
Nose’StatPearls [Internet]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532870/
Gilyoma, J. M. & Chalya, P. L. 2011, ‘Etiological profile and treatment outcome of
epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a prospective
review of 104 cases’, BMC Ear Nose Throat Disorder, vol. 11, no. 8, [Online],
accessed 10 april 2017, Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3175172/#B9
Husni, T, T.R., Hadi, Z. 2019. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis.
Jurnal Kedokteran Neggroe Medika. Vol. 2. No. 2.
34