Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

EPISTAKSIS

DISUSUN OLEH:
Siti Maghfirah 210131173
Ziqka Afriza Zuzafni 210131252

PEMBIMBING:
Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. THT-KL

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU


KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM HAJI PUSAT ADAM MALIK MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
penulisan referat berjudul “Epistaksis”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Haji Pusat Adam
Malik Medan.
Dalam proses penyusunan referat ini, Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. THT-KL selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dan membantu Penulis selama proses penyusunan referat.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulisan referat di kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini dapat
memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di
masa mendatang.

Medan, 17 April 2022

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Pembimbing

(Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. THT-KL)


NIP 1271155407720001

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................i


LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................vi
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 2
1.3 Manfaat ................................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
2.1 Anatomi Hidung................................................................................... 3
2.1.1 Hidung Bagian Luar ................................................................ 3
2.1.2 Hidung Bagian Dalam............................................................. 6
2.1.3 Vaskularisasi Hidung .............................................................. 7
2.1.4 Persarafan Hidung ................................................................... 9
2.2 Fungsi Hidung .................................................................................... 11
2.3 Fisiologi Penghidu ............................................................................. 12
2.4 Epistaksis ........................................................................................... 14
2.4.1 Definisi .................................................................................. 14
2.4.2 Epidemiologi ......................................................................... 14
2.4.3 Etiologi .................................................................................. 15
2.4.4 Klasifikasi ............................................................................. 17
2.4.5 Patofisiologi .......................................................................... 18
2.4.6 Diagnosis ............................................................................... 20
2.4.7 Diagnosis Banding ................................................................ 23
2.4.8 Tatalaksana............................................................................ 23
2.4.9 Komplikasi ............................................................................ 29
2.4.10 Prognosis ............................................................................... 30
2.4.11 Pencegahan............................................................................ 30

iii
BAB III. KESIMPULAN ........................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 33

iv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Hidung bagian luar........................................................................ 3


Gambar 2.2 Kerangka hidung luar................................................................... 4
Gambar 2.3 Hidung interna, pemotongan lateral............................................. 7
Gambar 2.4 Arteri pada kavum nasi................................................................. 8
Gambar 2.5 Vena pada kavum nasi................................................................. 9
Gambar 2.6 Persarafan hidung......................................................................... 10
Gambar 2.7 Lokasi dan struktur sel reseptor olfaktorius................................. 12
Gambar 2.8 Mekanisme penghidu di bulbus olfaktorius.................................. 13
Gambar 2.9 Epistaksis anterior........................................................................ 19
Gambar 2.10 Epistaksis posterior...................................................................... 20
Gambar 2.11 Endoskopi pada epistaksis posterior............................................ 23
Gambar 2.12 Cara penekanan hidung saat epistaksis........................................ 25
Gambar 2.13 Pemasangan tampon anterior...................................................... 26
Gambar 2.14 Pemasangan tampon posterior..................................................... 27
Gambar 2.15 Tampon posterior........................................................................ 27
Gambar 2.16 Kateter Folley.............................................................................. 28

v
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Perbedaan epistaksis anterior dan posterior......................................... 18


Tabel 2.2 Rekomendasi obat topikal.................................................................... 25

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar, salah satunya arteri sphenopalatina (Punagi, 2016).

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
merupakan kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian telinga hidung dan
tenggorokan yang mempengaruhi hingga 60% dari populasi di masa hidup mereka,
dan hanya 6% yang membutuhkan perhatian medis (Gilyoma dan Chalya, 2011).
Angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 5–14%. Pada umumnya mereka
mengalami epistaksis 1 kali per-tahun dan ternyata hanya 6-10% yang mencari
pertolongan ke dokter serta hanya 10% di antaranya dirujuk ke dokter spesialis THT
(Viljoen, 2003).

Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluakan ingus


dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti
kecelakaan lalulintas. Disamping itu juga dapat disebabkan oleh iritasi gas yang
merangsang, benda asing dan trauma pembedahan. Infeksi hidung dan sinus
paranasal seperti rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan
lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor
seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma. Hipertensi dan kelainan
pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis sering menyebabkan
epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik (Delfitri Munir, 2006).

1
2

Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90% dapat behenti sendiri. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan
dan bersifat self-limitting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, disamping perlu juga menemukan dan mengobati penyebab
yang mendasarinya (Punagi, 2016).

1.2 TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam
mengenai epistaksis. Selain itu, makalah ini juga berperan sebagai syarat
kelengkapan tugas Program Pendidikan dan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan.

1.3 MANFAAT
Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis mengenai epistaksis sehingga
dapat meningkatkan kualitasnya sebagai seorang tenaga kesehatan yang menangani
secara holistik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI HIDUNG

2.1.1 Hidung Bagian Luar

Hidung bagian luar disebut nasal pyramid karena bila diproyeksikan dari depan
menyerupai pyramid triangular. Adapun bagian-bagiannya dari atas ke bawah
adalah pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
(apeks/tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior/nares eksterna)
(Sofyan, 2011).
Bagian atas yang berhubungan dengan dahi disebut root, dan bagian bawah
berupa sudut bebas disebut apeks atau up, serta bagian yang menghubungkan
keduanya disebut dorsum nasi. Bagian lateral dari hidung disebut nasafacial
angels, sedangkan bagian yang berhubungan dengan bibir atas disebut naso labial
sulcus. Kedua ala dan septum mengapit kedua lubang hidung luar. Bagian hidung
yang berhubungan dengan luar disebut nares anterior, dan bagian yang
berhubungan dengan belakang disebut nares posterior (Sofyan, 2011).

Gambar 2.1 Hidung bagian luar (Sofyan, 2011)

3
4

Hubungan antara dorsum dengan puncak hidung menentukan bentuk hidung


luar, bila bentuk lurus disebut tipe Grecian nose, yang membentuk sudut tipe roman
nose, dan yang melekuk/pesek dinamakan tipe pug nose. Variasi dari tipe hidung
ini bersifat individual dan familial. Sedangkan perbandingan lebar kedua ala dengan
panjang hidung, kemudian dikalikan 100 disebut nasal indeks. Bila <47 disebut
hidung sempit (lephtorhine), biasanya pada ras kulit putih. Bila nasal indek >35
disebut Platyrhine, biasanya pada ras kulit hitam dan diantara keduanya disebut
messorhine (intermediate), yang terdapat pada ras kulit kuning (Sofyan, 2011).
Pada kulit hidung dijumpai kelenjar lemak (glandula sebasea) dan kelenjar
keringat (glandula sudorifera), kearah tip kulit tebal dan banyak mengandung
kelenjar lemak serta lebih erat berhubungan dengan kartilago hidung bila
dibandingkan dengan kulit di atasnya. Pada daerah rhinion, kulit di atasnya lebih
tipis.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan hidung luar:
• Rhinion ialah ujung bawah dari sutura di antara os nasal
• Nasion ialah titik pertemuan sutura frontonasalis
• Supra tip ialah daerah pada dorsum nasi antara rhinion dan tip
• Filtrum ialah cekungan dangkal hidung dan bibir atas yang memanjang

Gambar 2.2 Kerangka hidung luar (Sofyan, 2011)


5

Kerangka hidung bagian luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat serta beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Bagian tulang biasanya sempit dan tebal di bagian atas, tetapi lebih lebar di
bagian bawahnya, terdiri dari tulang hidung (as nasalis), processus frontalis as
maksila dan prosesus nasalis as frontalis.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior, beberapa pasang kartilago
alar minor dan tepi anterior septalis/kuadrangularis.

a) Os Nasal
Tampak sempit dan tebal di bagian atas, dan tipis pada bagian bawah.
Tulang ini bersatu di bagian tengah, Adapun batas-batasnya sebelah atas
berartikulasi dengan prosesus nasalis os frontalis, bagian lateralnya
berhubungan dengan prosesus frontalis os maksilla kanan dan kiri, bagian
ventral berhubungan dengan prosesus nasalis os frontalis, lamina
perpendikularis os etmoid dan kartilago septalis.

b) Kartilago Lateralis Superior


Terletak antara os nasal dan apeks sepanjang dorsum nasi, tampak celah
diantara kartilago ini dengan septum. Pada bagian kranial saling berhubungan
di garis tengah, demikian dengan septum, sehingga kartilago ini sering disebut
kartilago nasoseptal. Tulang rawan ini berbentuk triangular. Adapun batas-
batasnya adalah bagian superior berhubungan dengan os nasal dan prosesus
frontalis os maksila, bagian inferior berhubungan dengan permukaan kartilago
lateralis inferior yang dipisahkan oleh jaringan fibrosa dan memungkinkan
pergerakan alas nasi. Pinggir bebas dari kartilago ini tampak dari kavum nasi
bila diangkat dengan retraktor sebagai lumen nasi atau lumen vestibuli disebut
juga nasal valve atau katup hidung, yang terletak diantara vestibulum dan
kavum nasi.
6

c) Kartilago Lateralis Inferior/Kartilago Alaris Mayor


Bentuk dan ukurannya bervariasi pada setiap individu, umumnya
berbentuk tapal kuda, dan menjaga agar apertura nasalis tetap terbuka.
Kartilago ini terdiri dari crus medial dan crus lateral. Crus medial lebih lemah,
terletak pada tepi kaudal septum nasi dan sebagian lagi pada membrane
kolumella, sedangkan krus lateral lebih kuat dan lebar dan membentuk rangka
ala nasi. Kartilago ini berguna untuk mempertahankan bentuk hidung dari
lobulus hidung atau sepertiga bawah hidung luar. Mobilitas lobulus hidung
penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan bersin.

d) Kartilago Sesamoidea
Terletak pada sisi lateral antara kartilago lateral superior dan kartilago
lateralis inferior. Kartilago ini dapat dijumpai satu atau lebih. Perlekatan
hidung bagian luar pada tulang berbentuk segitiga seperti buah pir disebut
apertura piriformis, dengan batas pada laterosuperiornya dibentuk oleh os nasal
dan prosesus frontalis os maksila, dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris,
os maksila, dan pada tengahnya terdapat bagian yang menonjol disebut spina
nasalis anterior (Sofyan, 2011).

2.1.2 Hidung Bagian Dalam

Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung dinamakan nares, sementara
lubang posterior dari hidung ke nasofaring dinamai koana. Tepat setelah nares,
terdapat area kulit yang dinamai vestibulum dan mengandung bulu hidung
(vibirissae).
Permukaan medial tiap ruang hidung dibentuk oleh septum nasi. Sering septum
berdeviasi, yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan nasal. Sisi lateral tiap
kavitas nasalis terdiri dari sejumlah struktur penting secara klinik. Biasanya ada 3
konvolusi mukosa yang tegas yang dinamakan konka. Fungsinya untuk
meningkatkan luas permukaan hidung dan dinamai menurut lokasinya yaitu
inferior, medialis, superior, dan suprema. Di antara konka terdapat lekukan pada
7

dinding hidung (metaus), tempat sinus berdrainase ke dalam kavitas nasalis


(Adrianto et al, 1995).

Gambar 2.3 Hidung interna, pemotongan lateral (Netter, 2011)

2.1.3 Vaskularisasi Hidung

Hidung diperdarahi oleh pembuluh darah utama yang berasal dari arteri karotis
interna dan eksterna. Arteri opthalmika merupakan percabangan dari arteri karotis
interna yang bercabang lagi menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Pada
bagian medialnya melintasi bagian atap hidung untuk memperdarahi bagian
superior dari septum hidung dan dinding lateral hidung.
Arteri karotis eksterna bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris
interna, arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis superior dan memperdarahi
hidung bagian anterior.
8

Arteri maksilaris interna bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri nasalis


posterior dan arteri palatine mayor di fossa pteriogopalatina. Arteri sfenopalatina
memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah
septum dan bagian dinding lateral hidung.
Terjadi anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor, arteri
ethmoidalis anterior dan arteri labialis superior pada bagian anterior septum hidung
yang membentuk plexus kiesselbach atau sering juga disebut little’s area.
Pada dinding lateral hidung terjadi anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri
nasalis posterior dan arteri faringeal asendens yang membentuk plexus woodruff.
Epistaksis anterior sering terjadi di daerah plexus kiesselbach. Epistaksis
anterior lebih mudah dilihat sumber perdarahannya sehingga lebih mudah untuk
ditangano dibanding dengan epistaksis posterior. Epistaksis dibatasi oleh ostium
sinus maksilaris (Bestari, 2012).

Gambar 2.4 Arteri pada kavum nasi (Paulsen, 2012)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan bersamaan dengan
arterinya. Aliran darah balik dari hidung dialirkan melalui pembuluh v. ethmoidalis
9

anterior dan posterior menuju v. sfenopalatina lalu ke pleksus pterygoideus dalam


fossa infratemporalis yang akhirnya bermuara pada sinus kavernosus. Karakteristik
vena yang tidak memiliki katup merupakan salah satu hal yang dapat meningkatkan
risiko penyebaran infeksi ke intracranial (Maulida, 2018).

Gambar 2.5 Vena pada kavum nasi (Paulsen, 2012)

2.1.4 Persarafan Hidung


Mukosa hidung mendapatkan persarafan sensorik dari cabang-cabang n.
trigeminus yaitu n. oftalmikus dan n. maksilaris. Nervus oftalmikus mencabangkan
n. nasosiliaris yang akan bercabang lagi menjadi n.etmoidalis anterior yang
mempersarafi bagian anterior dan superior kavum nasi. Nervus maksilaris
menginervasi hidung melalui ganglion sfenopalatina. Gangion sfenopalatina
merupakan ganglion yang menerima serabut saraf sensoris dari n. maksilaris,
serabut parasimpatis n.petrosus superfisialis mayor, dan serabut simpatis dari n.
10

petrosus profundus. Karena susunan tersebut, ganglion ini memberikan inervasi


sensorik dan vasomotor atau otonom pada hidung. Ganglion yang terletak di
posterosuperior dari konka nasalis media ini mempersarafi sebagian besar kavum
nasi. Nervus olfaktorius memegang peranan dalam fungsi menghidu. Serabut
sarafnya berasal dari bulbus olfaktorius di otak dan turun ke kavum nasi melalui
lamina kribosa. Saraf ini mempersarafi sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius yang terletak di sepertiga atas hidung.
Persarafan lain yang penting pada hidung ilaha nervus fasialis yang
mempersarafi otot-otot hidung dan saraf penciuman, yang bertanggung jawab atas
indera penciuman (Galarza et al, 2021).

Gambar 2.6 Persarafan Hidung (Netter, 2016)


11

2.2 FUNGSI HIDUNG

a. Fungsi Respirasi
Udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik
ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring.
Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus (Soejipto et al., 2007).
Saat udara dihirup rongga hidung membantu pernapasan dengan menyiapkan udara
untuk pertukaran oksigen. Karena sifat rongga yang sempit udara yang dihirup
dengan cepat masuk ke area permukaan mukosa yang besar dengan suplai darah
yang kaya pada suhu tubuh. Udara yang di hirup akan mengalami humidifikasi oleh
palut lendir yang berfungsi untuk melindungi epitel pernapasan dan penciuman
dengan memfasilitasi aklimatisasi yang cepat dari udara yang di hirup ke suhu yang
lebih cocok untuk paru-paru (Freeman et al., 2021).

b. Fungsi Pertahanan
Rongga hidung juga membantu pertahanan jaringan pernapasan. Sekresi lendir
menjebak partikel dan antigen yang dibawa ke dalam sistem pernapasan selama
proses inhalasi. Saat terperangkap, patogen akan terikat oleh dimer IgA sekretori
(komponen dari respon imun adaptif) yang mencegah perlekatan patogen ke epitel
di mukosa hidung sehingga menghambat invasi. Sekresi lendir ini juga dapat
mengandung IgE yang terlibat dalam respon alergi. Selain itu, terdapat flora normal
di mukosa hidung yang juga melindungi dari invasi patogen (Freeman et al., 2021).

c. Fungsi Penghidu
Saat udara memasuki rongga hidung, konka berfungsi untuk mengarahkan
sebagian aliran udara ke rongga yang lebih tinggi. Reseptor olfaktorius berada di
atap rongga hidung dekat lempeng cribriform. Reseptor ini mengikat bau yang
dibawa ke hidung selama inhalasi dan mengirim sinyal ke korteks penghidu dan
daerah otak lainnya (Freeman et al., 2021).

d. Fungsi Fonetik
Untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi, maka diperlukan resonansi
oleh hidung. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang
12

sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Proses pembentukan kata-kata


dibantu oleh hidung dimana pada saat pembentukan konsonan nasal (m,n,ng),
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara
(Soejipto et al., 2007).

e. Refleks Nasal
Saat terjadi iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas
berhenti. Reseptor refleks pada mukosa hidung berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas (Soejipto et al., 2007).

2.3 FISIOLOGI PENGHIDU

Gambar 2.7. Lokasi dan struktur sel reseptor olfaktorius (Sherwood, 2013)

Fungsi penciuman hidung diperantarai oleh reseptor-reseptor olfaktorius yang


berupa sel-sel saraf bersilia yang terletak di dalam epitel olfaktorius pada rongga
hidung, dimana akson-aksonnya akan bersatu dalam bungkusan-bungkusan kecil
yang masuk ke tengkorak melalui foramina lamina kribriformis dari tulang
etmoidalis dan menempel ke bulbus olfaktorius di permukaan inferior lobus
13

frontalis. Silia mengandung tempat untuk mengikat odoran, molekul yang dapat
menghidu. Agar dapat dihidu, suatu bahan harus cukup mudah menguap sehingga
sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui udara inspirasi dan cukup
larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mukus yang menutupi mukosa olfaktorius
(Sherwood, 2013).
Pengaktifan sinyal bau dengan reseptor olfaktorius mengaktifkan protein G,
memicu kaskade reaksi intrasel dependen-cAMP yang menyebabkan terbukanya
kanal kation nonspesifik berpintu cAMP. Serat-serat yang berasal dari ujung
reseptor di hidung berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng kribriform dan
segera bersinaps di bulbus olfaktorius.Tiap-tiap bulbus olfaktorius dilapisi oleh
taut-taut saraf kecil mirip bola yang dikenal sebagai glomerulus. Dalam setiap
glomerulus, ujung-ujung sel reseptor yang membawa informasi tentang komponen
bau tertentu akan bersinaps dengan sel mitral. Sel mitral berfungsi
menyempurnakan sinyal bau dan mengirimkannya ke otak untuk proses
selanjutnya.

Gambar 2.8 Mekanisme penghidu di bulbus olfaktorius (Sherwood, 2013)


14

2.4 EPISTAKSIS

2.4.1 DEFINISI

Epistaksis berasal dari istilah Yunani, epistazein yang berarti perdarahan dari
hidung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi,
kavum nasi atau nasofaring (Kunandam & Bingham, 2016). Epistaksis merupakan
suatu gejala, bukanlah suatu penyakit. Oleh karena itu, sangat penting menentukan
penyebab terjadinya epistaksis (Adam et al., 1997). Epistaksis jarang mengancam
jiwa namun dapat menyebabkan kekhawatiran. Sebagian besar epistaksis adalah
ringan, self-limiting, dan spontan namun beberapa dapat terjadi berulang (Quoc,
2022).

2.4.2 EPIDEMIOLOGI
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% orang diseluruh dunia selama masa hidup
mereka, dan sekitar 6% dari mereka dengan epistaksis datang ke pelayanan kesehatan.
Prevalensi meningkat pada anak-anak kurang dari 10 tahun dan kemudian naik lagi setelah
usia 35 tahun. Umumnya, laki-laki yang sedikit terkena dibanding dengan wanita sampai
usia 50 tahun, tapi setelah 50 tahun tidak ada perbedaan yang signifikan seperti data yang
telah dilaporkan. Epistaksis biasanya dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior,
tergantung pada lokasi asalnya. Epistaksis anterior timbul dari kerusakan pleksus
kiesselbach pada bagian bawah dari septum hidung anterior, dikenal sebagai daerah little,
sedangkan epistaksis posterior timbul dari kerusakan arteri septum nasal posterior.
Epistaksis anterior lebih sering terjadi daripada epistaksis posterior, yaitu sekitar 80% kasus
epistaksis.

Epistaksis jarang berakibat fatal, kematian di Amerika Serikat sekitar 1 dari 200
kunjungan gawat darurat dan terhitung hanya 4 dari 2,4 juta kematian.Meskipun jarang
menjadi penyebab langsung kematian, epistaksis dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan, terutama pada orangtua dan orang-orang dengan penyakit penyerta
kardiovaskular. Epistaksis menimbulkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan
mengalami perburukan klinis jika kehilangan darah yang signifikan. Pasien dengan usia tua
3 kali lebih mungkin untuk membutuhkan perawatan medis daripada pasien anak (Pallin et
al, 2005).
15

2.4.3 ETIOLOGI

Secara umum penyebab epistaksis dibagi menjadi lokal, sistemik, obat-obatan,


faktor lingkungan dan idiopatik (Tabassom & Cho, 2021).
a. Lokal
• Deviasi Septum
Deviasi Septum adalah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan turbulensi udara sehingga terjadi krusta dan pembuluh darah
dapat mengalami ruptur (Punagi, 2016).
• Trauma
Perdarahan dapat terjadi oleh karena trauma ringan misalnya benturan
ringan, bersin, mengeluarkan ingus yang terlalu keras, mengorek hidung,
atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti jatuh, kecelakaan lalu
lintas atau kena pukul. Selain itu, spina septum yang tajam juga dapat
menyebabkan perdarahan. Benda asing yang berada di hidung juga dapat
menyebabkan perdarahan seperti pemakaian pipa nasogastrik (Punagi,
2016).
• Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rinitis dan sinusitis. Selain itu, infeksi spesifik juga daapt menyebabkan
epistaksis seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra
(Soejipto et al., 2007).
• Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Sering terjadi
pada angiofibroma yang daapt menyebabkan epistaksis berat (Soejipto et
al., 2007).

b. Sistemik
• Hipertensi
16

Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan


pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis.
Terjadinya kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan
mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis (Quoc, 2022).
• Migrain
Pleksus Kiesselbach merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular
yang terlibat dalam patogenesis terjadinya migrain (Kunandam &
Bingham, 2016).
• Kelainan darah
Kelainan darah dapat menyebabkan epistaksis antara lain leukemia,
trombositopenia dan hemofilia (Soejipto et al., 2007).
• Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
telengiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic telengiectasis
Osler-Rendu-Weber disease), hemofilia dan Von Willenbrand disease
(Kunandam & Bingham, 2016).
• Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever), demam tifoid, influenzadan morbili (Soejipto et al.,
2007).
• Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah menggumpal sehingga terjadinya
sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
hipoksia dan kematian sel serta dapat meningkatkan tekanan intravaskuler
yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi
epistaksis (Punagi, 2016).

c. Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan epistaksis diantaranya:

• NSAIDs (ibuprofen, naproxen, aspirin)


17

• Antikoagulan (warfarin)
• Anti agregasi platelet (clopidogrel)
• Topical nasal steroid sprays
• Suplemen/obat alternatif (vitamin E, ginkgo, ginseng)
• Penggunaan zat adiktif (cocaine)

d. Faktor Lingkungan
• Alergi
Alergen dapat menyebabkan keringnya mukosa hidung sehingga mudah
terjadinya iritasi. Pada pasien yang memiliki alergi juga sering menggosok
hidungnya sehingga dapat menyebabkan trauma pada hidung.
• Cuaca kering
Cuaca yang kering dapat menyebabkan iritasi pada mukosa hidung
sehingga mudah terjadinya epistaksis (Quoc, 2022).

e. Idiopatik
Penyebab epistaksis tidak selalu dengan mudah diidentifikasi. Sekitar
10% pasien dengan epistaksis tidak diketahui penyebabbnya bahkan setelah
dilakukan evaluasi menyeluruh (Quoc, 2022).

2.4.4 KLASIFIKASI

Epistaksis diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan lokasi perdarahan, yaitu


epistaksis anterior dan epistaksis posterior.

a. Epistaksis Anterior
Sekitar 80-90% dari semua kejadian epistaksis terjadi di sepanjang septum
hidung anterior, yang sebagian besar timbul dari Pleksus Kiesselbach.
Perdarahan anterior melibatkan pembuluh darah yang lebih kecil dan lebih
mudah dilakukan penekanan, elektrokauter, pengobatan topikal dan biasanya
berhenti spontan dengan penekanan cuping hidung (Krulewitz & Fix, 2019).
18

b. Epistaksis Posterior
Sekitar 10% episode epistaksis merupakan epistaksis posterior. Epistaksis
posterior berasal dari Pleksus Woodruff’s yang terletak dibagian posterior.
Secara signifikan lebih sulit untuk diidentifikasi dan ditangani. Kondisi ini
lebih menimbulkan risiko aspirasi dan membutuhkan perawatan medis
(Krulewitz & Fix, 2019).

Tabel 2.1 Perbedaan epistaksis anterior dan posterior (Dhingra, 2014)

Epistaksis anterior Epistaksis posterior

Insiden Lebih sering Jarang

Lokasi Sebagian besar berasal Sebagian besar dari


dari pleksus bagian posterosuperior
Kiesselbach / little’s rongga hidung; sering
area atau bagian sulit untuk melokalisasi
anterior dinding lateral titik pendarahan

Usia Sebagian besar terjadi > 40 tahun


pada anak-anak atau
dewasa muda

2.4.5 PATOFISIOLOGI

Epistaksis disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di dalam mukosa hidung.


Ruptur dapat terjadi secara spontan, diprakarsai oleh trauma, penggunaan obat-
obatan tertentu, dan/atau sekunder dari komorbiditas atau keganasan
lainnya. Peningkatan tekanan darah pasien dapat meningkatkan durasi
episode. Obat antikoagulan, serta gangguan pembekuan darah, juga dapat
meningkatkan waktu perdarahan (Tabassom & Cho, 2021).
19

a. Epistaksis Anterior

Gambar 2.9 Epistaksis anterior (Swift et al., 2013)

Sebagian besar epistaksis terjadi di bagian anterior hidung (pleksus


Kiesselbach/Little’s area) dan etiologi pembuluh darah biasanya dapat
ditemukan pada pemeriksaan hidung yang cermat (Tabassom & Cho, 2021).
Pleksus ini dibentuk oleh percabangan dari arteri karotis interna (arteri
ethmoidal anterior dan posterior) dan arteri karotis eksternal (sphenopalatina,
labial superior dan arteri palatine mayor). Epistaksis anterior biasanya ringan
dan kebanyakan terjadi pada anak-anak, seringkali berulang dan dapat berhenti
sendiri (Soejipto et al., 2007).
20

b. Epistaksis Posterior

Gambar 2.10 Epistaksis posterior (Swift et al., 2013)

Perdarahan dari rongga hidung posterior ini biasanya diduga karena


perdarahan dari pleksus Woodruff’s yang merupakan cabang terminal posterior
dan superior dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Ini
sering sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan perdarahan dari kedua
lubang hidung atau ke nasofaring, di mana ia tertelan atau batuk, menunjukkan
hemoptisis. Ini dapat menghasilkan aliran darah yang lebih besar ke faring
posterior dan memiliki risiko lebih tinggi untuk kompromi jalan napas atau
aspirasi karena meningkatnya kesulitan dalam mengendalikan perdarahan
cermat (Tabassom & Cho, 2021). Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan arteriosklerosis karena pecahnya arteri
sfenopalatina (Soejipto et al., 2007).

2.4.6 DIAGNOSIS

a) Anamnesis
Pada sebagian besar kasus epistaksis sudah dapat didiagnosis cukup dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada saat melakukan anamnesis harus
ditanyakan tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat terjadi perdarahan
21

sebelumnya, ada atau tidaknya penyakit penyerta dan riwayat pemakaian


obat obatan seperti warfarin atau aspirin. Harus diperhatikan jumlah
kehilangan darah, bila tidak berat kemungkinan bukan merupakan masalah
sistemik dan apabila lokasi perdarahan anterior sudah dapat ditentukan tidak
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kejadian epistaksis kebanyakan
terjadi oleh karena trauma ringan pada bagian septum anterior hidung
seperti kebiasaan mencongkel hidung oleh karena itu saat melakukan
anamnesis harus menanyakan kemungkinan-kemungkinan tersebut (Lubis
& Saragih, 2007). Gejala terkait sebelum onset penting ditanyakan termasuk
sensasi sumbatan di hidung dan nyeri hidung atau wajah. Waktu dan jumlah
mimisan sebelumnya serta resolusinya harus diidentifikasi. Riwayat medis
sebelumnya harus diketahui, adanya kelainan perdarahan yang diketahui
(termasuk riwayat keluarga) dan gangguan pada trombosit atau koagulasi,
kanker, sirosis hati, HIV, menstruasi dan kehamilan. Riwayat penggunaan
obat yang dapat memicu perdarahan seperti aspirin, NSAID, obat
antiplatelet (misalnya, clopidogrel), heparin dan warfarin. Apabila pasien
sering mengalami atau memiliki riwayat perdarahan hidung berulang, serta
mudah memar atau tanda perdarahan lainnya harus dicurigai bahwa pasieb
memiliki penyebab sistemik dan dianjurkan oemeriksaan hematologis
(Jason et al, 2018).
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan penilaian tanda-tanda vital, status
mental, dan patensi jalan napas. Tanda-tanda vital harus ditinjau untuk
indikasi penurunan volume intravaskular (takikardia, hipotensi) dan
hipertensi yang nyata. Dengan perdarahan aktif, pengobatan dilakukan
bersamaan dengan evaluasi. Selama perdarahan aktif, pemeriksaan sulit
dilakukan, jadi upaya pertama dilakukan adalah menghentikan perdarahan.
Saat memeriksa hidung menggunakan spekulum hidung dan head lamp yang
terang atau kaca kepala, yang membuat satu tangan bebas untuk
memanipulasi alat isap atau alat lainnya. Pleksus kiesselbach harus
diperiksa terlebih dahulu untuk mengetahui adanya perdarahan, diikuti oleh
22

ruang depan, septum, dan turbinat. Jika sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi di area tersebut, ada kekhawatiran terjadi perdarahan
posterior. Jika perdarahan berlanjut setelah upaya untuk mengontrol
perdarahan anterior dengan kompresi dan balutan, manajemen
kemungkinan sumber posterior harus dimulai (Womack, P. Jason, 2019).
Tempat perdarahan anterior biasanya terlihat pada pemeriksaan langsung.
Jika tidak ada situs yang terlihat dan hanya ada 1 atau 2 mimisan ringan,
pemeriksaan lebih lanjut tidak diperlukan. Jika perdarahan parah atau
berulang dan tidak ada tempat yang terlihat, endoskopi fibroptik mungkin
diperlukan. Pemeriksaan umum harus mencari tanda-tanda gangguan
perdarahan, termasuk petekie, purpura, telangiektasis mukosa perioral dan
mulut serta massa intranasal. Pada epistaksis perlu diperhatikan tanda
bahaya yang dapat mengancam jiwa seseorang disebut red flag. Kondisi
yang menggambarkan red flag adalah adanya tanda-tanda hipovolemia atau
syok hemoragik, riwayat penggunaan obat antikoagulan, tanda-tanda kulit
pada gangguan perdarahan, perdarahan tidak berhenti setelah ditatalaksana
awal dan epistaksis rekuren tanpa penyebab yang jelas.
c) Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Laboratorium
Pada kebanyakan kasus epistaksis pemeriksaan laboraturium tidak perlu
dilakukan terkusus pada kejadian yang tidak berulang serta dijumpai riwayat
trauma. Namun jika dicurigai kehilangan darah yang cukup bermakna,
leukemia ataupun keganasan perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap.
Pemeriksaan PT, aPTT dilakukan jika pasien memiliki riwayat
mengkonsumsi obat anti koagulasi seperti heparin dan warfarin dan apa bila
pasien dicurigai memiliki gangguan koagulopati selain dilakukan
pemeriksaan darah lengkap juga di lakukan pemeriksaan prothrombin time
(PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) dan waktu perdarahan
• Foto kepala sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma
atau infeksi.
23

• Pemeriksaan foto kepala


Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat gambaran sinus paranasal, detail
tulang kepala, dasar kepala dan struktur tulang wajah pada epistaksis yang
dicurigai akibat fraktur nasal dan trauma wajah, serta penting untuk
mengidentifikasi neoplasma atau infeksi.
• Endoskopi hidung
Endoskopi untuk mengidentifikasi pendarahan atau menyingkirkan
kemungkinan penyakit lainnya (Punagi, 2016).

Gambar 2.11 Endoskopi pada epistaksis posterior (Viewhug & Jhon, 2006)

2.4.7 DIAGNOSIS BANDING


Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan
di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba
eustachius (Punagi, 2016).
24

2.4.8 TATALAKSANA

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber


perdarahan, hentikan perdarahan dan cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.

2.4.8.1 Perbaiki Keadaaan Umum

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,


pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan maka dapat diatasi terlebih
dahulu misalnya dengan mengatasi jalan napas dan memasang infus. Jalan napas
dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah sehingga perlu dibersihkan atau
diisap terlebih dahulu (Soejipto et al., 2007).

2.4.8.2 Cari Sumber Perdarahan

Untuk menghentikan perdarahan maka dicari terlebih dahulu sumber


perdarahannya seperti epistaksis anterior atau epistaksis posterior. Adapun alat
dibutuhkan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat pengisap. Pasien
dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari
hidung sehingga dapat dimonitor. Jika keadaan lemah sebaiknya setengah duduk
atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Cegah darah mengalir ke saluran napas
bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi
agar tegak dan tidak bergerak-gerak (Soejipto et al., 2007).

2.4.8.3 Hentikan Perdarahan

• Penekanan ala nasi


Penekanan ala nasi kanan dan kiri bersamaan selama 5-30 menit. Setiap 5-10
menit sekali dilakukan evaluasi apakah perdarahn telah terkontrol atau belum.
Penderita sebaiknya tetap tegak namun tidak hiperekstensi dan bernapas
melalui mulut untuk menghindari darah mengalir ke saluran napas bawah.
25

Gambar 2.12 Cara penekanan hidung saat epistaksis

• Vasokonstriktor dan anastesi topikal


Jika darah tidak berhenti dengan penekanan pada ala nasi maka dilakukan
pemasangan tampon sementara dengan pemberian kapas yang telah dibasahi
dengan vasokonstriktor topikal untuk menghentikan perdarahan dan obat
anastesi untuk mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan
selanjutnya. Tampon dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vasokonstriksi biasanya dapat dipastikan kembali apakah perdarahan berasal
dari bagian anterior atau posterior hidung (Soejipto et al., 2007).

Tabel 2.2 Rekomendasi obat topikal (Krulewitz & Fix, 2019)


Rekomendasi Obat Topikal
Vasokonstriktor Topikal
• 0,05% oxymetazoline (Afrin)
• 0,5% phenylephrine hydrochloride
• 1:1000 epinephrine
• 4% cocaine
Anastesi Topikal
26

• 4% lidocaine, 0,1% epinephrine, 0,4% tetracaine (LET) solution


• 4% lidocaine

c. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan
kauterisasi kimia Perak Nitrat (AgNO3) 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau
Polikresulen pada pembuluh darah yang mengalami perdarahan selama 2–3
detik. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua septum karena dapat
menimbulkan perforasi. Prosedur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan.
Metode ini dilakukan pada perdarahan yang lebih masif yang kemungkinan
berasal dari daerah posterior dan kadang memerlukan anestesi lokal. Terdapat
dua macam mekanisme elektrokauter, yaitu monopolar dan bipolar (Husni &
Hadi, 2019).

d. Tampon Hidung
• Tampon Anterior

Gambar 2.13 Pemasangan tampon anterior (Jason et al., 2018)

Bila telah dilakukan kauterisasi namun perdarahan masih terus berlangsung


maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior. Untuk tampon anterior dapat
digunakan tampon Boorzalf atau tampon sinonasal atau tampon pita (ukutan 1,2 cm
x 180 cm), yaitu tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberi pelumas vaselin
putih (petrolatum) dan asam borat 10%, atau dapat menggunakan salep antibiotik.
Pasang dengan menggunakan spekulum hidung dan pinset bayonet yang diatur
27

secara bersusun dari inferior ke superior dan seposterior mungkin untuk


memberikan tekanan yang adekuat. Tampon boorzalf harus dilepaskan dalam 2 hari
untuk mencegah infeksi hidung sedangkan apabila menggunakan bismuth dan pasta
parafin iodoform dapat dipertahankan sampai 4 hari (Husni & Hadi, 2019).

• Tampon Posterior

Gambar 2.14 Pemasangan tampon Posterior (Jason et al., 2018)

Gambar 2.15 Tampon Posterior (Jason et al., 2018)


28

Epistaksis dari bagian posterior dapat dilakukan pemasangan tampon posterior


yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus
atau bulat 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah
di sisi berlawanan. Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi,
digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai
tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Tampon perlu didorong dengan
bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila
masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi.
Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya.
Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon
(Soejipto et al., 2007).

Gambar 2.16 Kateter Folley (Krulewitz & Fix, 2019)

e. Ligasi Arteri
Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi
epistaksis. Secara umum, semakin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol
perdarahan semakin efektif. Pembuluh darah yang dipilih antara lain : arteri karotis
eksterna, arteri maksila interna atau arteri etmoidalis (Krulewitz & Fix, 2019).
29

f. Embolisasi
Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat
diembolisasi. Dilakukan angiografi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem
arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Embolisasi juga dapat
dilakukan pada arteri maxilaris interna dan externa. Angiografi
postembolisasi dapat digunakan untuk menilai tingkat oklusi (Krulewitz &
Fix, 2019).

2.4.8.4 Mencegah Berulangnya Perdarahan

Setelah epistaksis dapat diatasi maka perlu dicari penyebabnya untuk


menghindari berulangnya epistaksis. Penanganan penyakit yang menjadi penyebab
epistaksis seperti hipertensi, trombositopenia, koagulopati, keganasan, fraktur
maksilofasial membantu dalam penanganan epistaksis dan pencegahan rekurensi
(Husni & Hadi, 2019). Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap,
pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis, pemeriksaan foto
polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis (Soejipto et al., 2007).

2.4.9 KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi oleh karena epistaksis sendiri atau sebagai efek
samping dari penatalaksanaan epistaksis. Dapat terjadinya aspirasi darah ke dalam
saluran napas bawah oleh karena perdarahan yang hebat. Selain itu, dapat juga
menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Tekanan darah yang turun secara
mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Pada kasus
ini, pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepat mungkin (Soejipto
et al., 2007).
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi sehingga perlu
diberikan antibiotik. Saat pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis,
otitis media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus selalu
30

diberikan antibiotik dan tampon harus dilepaskan 2-3 hari. Jika perdarahan masih
berlanjut maka dapat dilakukan pemasangan tampon baru. Pemasangan tampon
posterior dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir dikarenakan
terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Penggunaan kateter Folley tidak boleh dipompa
terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis pada mukosa dan septum hidung.
Selain itu, dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui
tuba Eustachius dan airmata berdarah (bloody tears) akibat mengalirnya darah
melalui duktus nasolakrimalis secara retrograd (Soejipto et al., 2007).

2.4.10 PROGNOSIS

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk (Punagi, 2016).

2.4.11 PENCEGAHAN

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis
antara lain:

a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk
membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teh garam ke dalam
secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud.
d. Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung.
e. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
f. Bersin melalui mulut.
g. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
31

h. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan


seperti aspirin atau ibuprofen.
i. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa.
j. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi (Punagi, 2016).
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu gejala dari


penyakit. Oleh karena itu, sangat penting mencari penyebab terjadinya epistaksis.
Secara umum penyebab epistaksis dibagi menjadi lokal, sistemik, faktor
lingkungan, obat-obatan dan idiopatik. Epistaksis berdasarkan lokasinya dibagi
menjadi dua yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior
bersumber dari pleksus Kiesselbach (Little’s area) sedangkan epistaksis posterior
bersumber dari pleksus Woodruf’s. Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah
perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan dan cari
faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.

32
33

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boeis, L.R., Higler, P.A., 1997. Epistaksis. Buku Ajar Penyakit THT
BOIES edisi 6. Jakarta :EGC. hal. 224-233.
Andrianto, Petrus, Thaller, Seth R, Granick, Mark S. (1995). Diagram diagnostik
penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan . Jakarta: EGC.
Bestari J Budiman, A. H. (2012). Epistaksis dan Hipertensi : Adakah
Hubungannya? Jurnal Kesehatan Andalas, 75.
Delfitri Munir, Y. H. (2006). Epistaksis . Majalah Kedokteran Nusantara Volume
39 , 275.
Dhingra, P. L., Dhingra, S. 2014. Epistaxis in Diseases of Ear, Nose and Throat
Head & and Neck Surgery, 4th edn. Elsevier. India, pp: 4-5, 70., 4th edn,
Elsevier, India, hal. 176-180
Freeman S. C., Karp D.A., Kahwaji C.I., 2021, ‘Physiology Nasal’, StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing, 2022 Jan-. Available
from: Accessed 15 February 2022, Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526086/.
g%20dan%20SPN.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Galarza, P. L., Marston, G., Downs, B. W. 2021 ‘Anatomy, Head and Neck,
Nose’StatPearls [Internet]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532870/
Gilyoma, J. M. & Chalya, P. L. 2011, ‘Etiological profile and treatment outcome of
epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a prospective
review of 104 cases’, BMC Ear Nose Throat Disorder, vol. 11, no. 8, [Online],
accessed 10 april 2017, Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3175172/#B9
Husni, T, T.R., Hadi, Z. 2019. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis.
Jurnal Kedokteran Neggroe Medika. Vol. 2. No. 2.
34

Jason, P. W. M., Jill, K. M., Marissa, J. S. D. 2018. ‘Epistaxis: Outpatient


Management’. Rutgers University Robert Wood Johnson Medical School,
New Brunswick, New Jersey, vol. 98(98), hal. 240
Jason, P. W. M., Jill, K. M., Marissa, J. S. D. 2018. ‘Epistaxis: Outpatient
Management’. Rutgers University Robert Wood Johnson Medical School,
New Brunswick, New Jersey, vol. 98(98), pp. 240
Krulewitz, N, A., Fix, M. L. 2019. Epistaxis. Division of Emergency Medicine,
University of Utah, USA, hal. 30
Kunandam, T., Bingham, B. 2016. Epistaxis. Logan Turner’s Diseases Of The Nose
Throat and Ear Head and Neck Surgery. ed. Hussain S. CRC press. London.
Lubis, B., Saragih, R. A. C. 2007. ‘Tata Laksana Epistaksis Berulang pada Anak’.
Sari Pediatri, vol. 9, pp. 75-76
Maulida A. R., Dewi A. M. K., dan Naftali Z., 2018, 'Perbandingan Efektivitas
Irigasi Hidung Dengan Spuit dan Nasal Wash Bottle Terhadap Derajat
Sumbatan Hidung: Studi Pada Petugas Gerbang Tol'. Jurnal Kedokteran
Diponegoro, vol.7, no. 2, pp.1542-1553
Netter, F. H. 2011, Atlas of Human Anatomy. 5 ed, hal .36.
Netter, F. H., 2016, Atlas Anatomi Manusia, Singapore : Elsevier.
Pallin, D. J, Chng, Y. M., McKay, M. P, et al. 2005. ‘Epidemiology of epistaxis in
US emergency departments’. Ann Emerg Med, vol. 46, pp.77–81
Paulsen, F., Waschke, J., 2012. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia, 23rd ed. Penerbit
Buku Kedokteran (EGC), Jakarta
Punagi, A. Q. 2016. Epistaksis. Sistem Trauma dan Kegawatdaruratan. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar, hal. 1-30
Punagi, A. Q. 2016. Epistaksis. Sistem Trauma dan Kegawatdaruratan. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar, pp. 1-30
Quoc A Nguyen, MD. 2022. Epistaxis. Medscape [Internet]. Medscape Publishing:
2022 April. Available from: Accessed 15 February 2022, Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview
Sherwood, L. 2013. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
35

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RS. 2007. Hidung. Dalam:


Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Retno, S. W. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI. hal. 118-122.
Sofyan, F. 2011, ‘Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal’, Repository USU,
Accessed 25 January 2022, Available at
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/28893/Anatomi%2
0hidun
Swift, A. C., Bleier, B. S., Bhalla, R. K., Schlosser, R. J. 2013. Epistaxis: etiology,
investigation and management. In Rhinology and skull base surgery from lab
to the opening room: an evidence based approach. Thieme Medical publisher,
New York,USA, hal. 507-523
Tabassom A, Cho JJ. 2021. Epistaxis. Statpearl [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing, 2022, 18 Sept. Available from: Accessed 15 February
2022, Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK435997/
Teuku Husni T. R., Z. H., 2019. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala,
RSUD Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh. Pendekatan Diagnosis dan
Tatalaksana Epistaksis, juni, 2(2), pp. 26-31.
Viewhug, T. L., Jhon, B. R. 2006. Epistaxis : Diagnosis and Treatment. USA:
American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons,pp. 511-8
Viljoen, J. 2003, ‘Epistaxis in children: approach and management: main topic’,
CME: Your SA Journal of CPD, vol.21, no. 11, pp.664-669.
Womack JP, Jill K, Stabile MJ. Epistaxis: Outpatient Management. American
Family Physician. 2018; 98(4): 240-245. PMID: 30215971

Anda mungkin juga menyukai