Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

EFUSI PLEURA

Pembimbing:
dr. Lenny Evalina Sihotang, Sp.PD

Disusun Oleh:
Putri Auliani Fikriana 200131215
Khairunnisa Lubis 200131001
Janvagrith 200131004
Edwin Utomo 200131123
Rado Reynalda Elisabeth Sitohang 200131135
Novia Febiola Sihite 200131226
Keni Yolani Dalimunthe 200131228

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
i

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

PIMPINAN SIDANG,

dr. Lenny Evalina Sihotang, Sp.PD


ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus berjudul ”Efusi Pleura”. Laporan kasus ini disusun sebagai
salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)
di Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam
penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum sempurna.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulisan laporan kasus di kemudian hari. Semoga laporan kasus ini
dapat bermanfaat bagi segala pihak yang membutuhkannya, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, 12 Oktober 2021

Penulis
iii

DAFTAR ISI

Halaman
Lembar Pengesahan ..................................................................................... i
Kata Pengantar ............................................................................................. ii
Daftar Isi ...................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan Penulisan ......................................................................... 2
1.3 Manfaat Penulisan ....................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura .................................................... 3
2.1.1 Anatomi Pleura .................................................................. 4
2.1.1 Fisiologi Pleura .................................................................. 5
2.2 Efusi Pleura ................................................................................ 6
2.2.1 Definisi ............................................................................... 6
2.2.2 Epidemiologi ...................................................................... 8
2.2.3 Etiologi ............................................................................... 7
2.2.4 Faktor Risiko ...................................................................... 10
2.2.5 Patofisiologi ...................................................................... 10
2.2.6 Klasifikasi Efusi Pleura...................................................... 11
2.2.7 Manifestasi Klinis .............................................................. 12
2.2.8 Diagnosis............................................................................ 13
2.2.9 Diagnosis Banding ............................................................. 16
2.2.10 Tatalaksana ...................................................................... 18
2.2.11 Komplikasi ....................................................................... 21
2.2.12 Prognosis .......................................................................... 22
BAB III. LAPORAN KASUS.................................................................... 23
BAB IV. FOLLOW UP.............................................................................. 35
BAB V. DISKUSI ....................................................................................... 39
BAB VI. KESIMPULAN ........................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 47
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pleura merupakan membran serosa yang melapisi permukaan paru, dibagi menjadi
pleura parietal dan pleura visceral. Pleura parietal melekat pada dinding dada,
sedangkan pleura visceral melekat pada permukaan paru sehingga membentuk rongga
dengan jarak sekitar 10-20 µm. Pada rongga ini terdapat cairan pleura. Pleura memiliki
peran yang signifikan dalam fisiologi pernafasan.1,2

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pada rongga pleura. Akumulasi cairan
pleura tersebut dapat berupa cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura dapat terjadi
akibat perubahan tekanan hidrostatik atau onkotik (umumnya transudat), peningkatan
permeabilitas kapiler dan mesotelial (umumnya eksudat) atau akibat terganggunya
drainase limfatik.3 Efusi pleura sering disebabkan oleh tuberkulosis, keganasan,
pneumonia, dan gagal jantung kongestif.4

Efusi pleura merupakan penyakit pleura yang umum dan mempengaruhi sekitar 1,5
juta pasien setiap tahunnya di Amerika Serikat. Prevalensi efusi pleura diperkirakan
yaitu sebanyak 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara industri. Di Indonesia,
belum ada data nasional yang menggambarkan prevalensi efusi pleura.5,6

Manifestasi klinis efusi pleura tergantung pada penyakit yang mendasari serta
jumlah cairan yang terakumulasi. Gejala efusi pleura yang paling umum yaitu dyspnea.
Sedangkan gejala nyeri pleuritik dapat muncul akibat adanya inflamasi pada pleura,
yang dimediasi oleh pleura parietal (pada pleura visceral tidak terdapat nosiseptor
ataupun serabut saraf nosiseptif). Nyeri yang muncul sering kali berkaitan dengan
siklus respirasi, dan biasanya terasa tajam serta semakin memburuk pada saat inspirasi
dalam, batuk, dan bersin. Selain itu, dapat juga dijumpai gejala batuk kering akibat
2

inflamasi pleura atau kompresi paru akibat efusi yang besar. Efusi pleura juga dapat
menganggu kualitas tidur pasien.7,8

Penegakkan diagnosis efusi pleura dilakukan dengan anamnesis yang mendalam


dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan
radiologis dengan foto thoraks dan USG dapat membantu dalam menentukan lokasi
serta jumlah cairan yang terakumulasi pada rongga pleura. Selain itu, dapat dilakukan
analisis cairan pleura untuk membantu dalam membedakan penyebab efusi pleura.8

1.2 TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dan


pemahaman penulis dan pembaca mengenai efusi pleura. Penulisan makalah ini
sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman


penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk mengenal dan memahami
mengenai efusi pleura.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA

Pleura merupakan struktur pelengkap dari system pernapasan yang berfungsi


sebagai struktur penunjang yang dibutuhkan dalam proses berjalannya system
pernapasan tersebut. Struktur pelengkap lainnya yaitu dinding pada dada yang tersusun
dari iga dan otot, otot abdomen, diafragma maupun pleura itu sendiri.9

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologi Pleura9


4

2.1.1 ANATOMI PLEURA

Pleura adalah suatu membrane serosa yang melapisi permukaan dalam dinding
thoraks di bagian kanan dan kiri, melapisi permukaan superior diafragma kanan dan
kiri, melapisi mediastinum kanan dan kiri (semuanya disebut pleura parietalis),
kemudian pada pangkal paru, membrane serosa ini berbalik melapisi paru (pleura
viseralis) pleura viseralis dapat berinvaginasi mengikuti fisura yang terbagi pada setiap
lobus paru.10

a. Pleura viseralis

Pleura viseralis adalah pleura yang berada pada permukaan paru, terdiri dari satu
lapis sel mesothelial yang tipis < 30µm yang terletak di permukaan bagian luarnya.
Terdapat sel-sel limfosit yang berada diantara celah-celahnya. Endopleura yang
berisikan fibrosit dan histiosit berada di bawah sel-sel mesothelial, dan di bawahnya
merupakan lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastis. Sedangkan
pada lapisan paling bawah terdapat jaringan interstitial subpleura, didalamnya banyak
mengandung pembuluh darah kapiler.10

b. Pleura Parietalis

Pleura parietalis yaitu pleura yang letaknya berbatasan dengan dinding thorax,
memiliki jaringan yang lebih tebal yang tersusun dari sel-sel mesothelial dan juga
tersusun dari jaringan ikat seperti kolagen dan elastis. Sedangakan jika pada jaringan
ikat tersebut banyak tersusun kapiler dari intercostalis dan mamaria interna, pada
pembuluh limfe banyak terdapat reseptor saraf sensoris yang sangat peka terhadap
rangsangan rasa sakit dan juga perbedaan temperature. Yang keseluruhannya tersusun
dari intercostalis pada dinding dada dan alirannya pun akan sesuai dengan dermatom
dada. Sehingga dapat mempermudah dinding dada yang berada di atasnya menempel
dan melepas. Sehingga berfungsi untuk memproduksi cairan pleura. Kedua lapisan
pleura tersebut saling berkaitan dengan hilus pulmonalis yang berfungsi sebagai
penghubung pleura (ligament pulmonalis). Pada lapisan pleura ini terdapat rongga
5

yang dinamakan cavum pleura. Cavum pleura memiliki sedikit kandungan cairan
pleura yang berfungsi untuk menghindari adanya gesekan antar pleura saat sedang
melakukan proses pernapasan.11

Gambar 2.2 Anatomi efusi Pleura9

2.1.2 FISIOLOGI PLEURA

Pleura memiliki fungsi mekanik yaitu melanjutkan tekanan negative thorax ke


daerah paru-paru, sehingga paru dapat mengembang karena elastis. Selain fungsi
mekanik, rongga pleura steril karena mesothelial mampu bekerja melakukan
fagositesis benda asing dan cairan dalam rongga pleura yang diproduksi bertindak
sebagai lubrikans.11

Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan
pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura. Di antara pleura
parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang disebut cavum pleura.
Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada proses respirasi yakni
mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki
tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada
6

mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya. Cairan
dalam rongga pleura ini sangatlah sedikit, sekitar 0,1 ml/kg – 0,2 ml/kg yang mana
untuk melumasi dinding dalam pleura. Bila terjadi gangguan produksidan reabsorbsi
maka akan mengakibatkan terjadinya efusi pleura.11

2.2 EFUSI PLEURA

2.2.1 DEFINISI

Efusi pleura yaitu akumulasi cairan di antara pleura parietal dan viseral, atau
disebut juga rongga pleura. Pada setiap tubuh manusia terdapat sedikit cairan pleura
yang berfungsi untuk lubrikasi rongga pleura yang berperan dalam pergerakan paru
normal pada saat bernafas. Cairan pleura ini diatur oleh tekanan onkotik dan
hidrostatik, serta drainase limfatik, adanya gangguan pada salah satu sistem ini akan
menyebabkan penumpukan cairan pleura.3

2.2.2 EPIDEMIOLOGI

Efusi pleura merupakan penyakit pleura yang umum dan mempengaruhi sekitar 1,5
juta pasien setiap tahunnya di Amerika Serikat. Prevalensi efusi pleura diperkirakan
yaitu sebanyak 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara industri. Berbagai
penyakit dapat dijumpai dengan efusi pleura seperti penyakit yang melibatkan paru
seperti pneumonia, paparan asbestos, penyakit sistemik seperti lupus, artritis
reumatoid, atau dapat berupa manifestasi pleura dari penyakit yang mempengaruhi
organ lainnya seperti penyakit jantung kongestif, pankreatitis, atau penyakit yang
bersifat lokal pada pleura seperti infeksi pleura dan mesotelioma.5

Efusi pleura di negara-negara berkembang sering disebabkan oleh tuberkulosis,


sedangkan di negara-negara maju banyak diakibatkan oleh gagal jantung, keganasan,
dan pneumonia. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Adeoye et al di Nigeria,
tuberkulosis merupakan penyebab tersering efusi pleura (32,9%), diikuti oleh
7

keganasan (29,1%) dan pneumonia (15,0%), dengan sebagian keganasan disebabkan


oleh kanker paru. Secara umum, insidensi efusi pleura antara laki-laki dan perempuan
cukup sama. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan jenis kelamin. Pada
laki-laki, efusi pleura terutama disebabkan oleh TB, sedangkan pada perempuan lebih
sering disebabkan oleh keganasan.4,12

Di Indonesia, belum ada data nasional yang menggambarkan prevalensi efusi


pleura. Namun, terdapat beberapa studi yang telah dilakukan oleh beberapa rumah
sakit. Berdasarkan hasil yang didapat di RS Dokter Kariadi Semarang jumlah
prevalensi penderita efusi pleura sebanyak 66,7% pada perempuan dan 33,3% pada
laki-laki. Sedangkan di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2011 dengan 136
kasus dijumpai prevalensi sebanyak 34,6% pada perempuan dan 65,4% pada laki-laki.6

2.2.3 ETIOLOGI

Akumulasi cairan pleura terjadi ketika adanya ketidakseimbangan antara


pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Dalam keadaan normal, cairan masuk ke
rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietal dan keluar melalui limfatik pada
pleura parietal. Selain itu, cairan juga dapat masuk ke rongga pleura melalui ruang
interstisial paru via pleura visceral atau melalui rongga peritoneum via lubang kecil
pada diafragma. Efusi pleura dapat terjadi ketika terdapat peningkatan cairan pleura
(melalui ruang interstisial paru, pleura parietal, atau rongga peritoneum) atau ketika
terjadi penurunan drainase limfatik.13

Cairan pleura diklasifikasikan sebagai transudate atau eksudat berdasarkan kriteria


Light. Cairan pleura dianggap eksudatif apabila memenuhi salah satu kriteria tersebut,
yaitu:3

1. Rasio protein cairan pleura/protein serum >0,5


2. Rasio lactate dehydrogenase (LDH) cairan pleura/LDH serum >0,6
3. LDH cairan pleura >2/3 batas atas nilai normal LDH serum
8

Efusi pleura transudatif terjadi akibat faktor-faktor sistemik (tekanan hidrostatik


dan onkotik) yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura.
Permeabilitas mikrovaskular pleura tidak berubah pada efusi pleura transudatif.
Penyebab umum dari efusi pleura transudatif mencakup kondisi yang menyebabkan
perubahan tekanan hidrostatik atau onkotik pada rongga pleura seperti pada gagal
jantung kongestif kiri, sindrom nefrotik, sirosis hepatis, dan hipoalbuminemia.3,13

Efusi pleura eksudatif terjadi akibat faktor-faktor lokal yang menyebabkan


perubahan permeabilitas mikrovaskular pleura, sehingga terjadi akumulasi cairan
pleura. Penyebab umum dari eksudat mencakup infeksi paru seperti pneumonia atau
tuberkulosis, keganasan, penyakit inflamasi seperti pankreatitis, lupus, rheumatoid
artritis, post-cardiac injury syndrome, chylothorax (akibat obstruksi limfatik), dan
hemothoraks (darah pada rongga pleura).3,13

Beberapa penyebab lain efusi pleura yaitu emboli paru dapat berupa eksudat atau
transudat, drug-induced (misalnya methotrexate, amiodarone, phenytoin, dasatinib,
umumnya eksudat), post-radiotherapy (eksudat), dan ruptur esofagus (eksudat).3
Etiologi efusi pleura dapat juga dilihat pada tabel 2.1.
9

Tabel 2.1 Etiologi Efusi Pleura2


Transudat
Gagal jantung Sindrom nefrotik Dialisis peritoneal
kongestifa
Sirosisa Ateletaksis Urinothorax
Eksudat
Infeksi Systemic lupus erythematosus Obat-obatan
Bakteria Paska operasi Bromocriptine
Tuberkulosisa Operasi abdomen Dantrolene
Jamur Operasi jantung Hydralazineb
Parasit Transplantasi hepar Methysergide
Virusa Transplantasi paru Methotrexate
Keganasan Penyakit gastrointestinala Nitrofurantoinb
Parua Pankreatitis Phenytoinb
Payudaraa Abses (hepar, splen, dll) Procainamideb
Limfomaa Perforasi esofagus Quinidineb
Mesotelioma Iatrogenik
Lainnyaa Chylothorax/pseudochyl
othorax
Hemothorax
Efusi pleura asbestos
Transudat atau eksudat
Sarkoidosis (E > T) Myxedema
Emboli paru (E > T) Keganasan (E > T) c
Keterangan: E > T, eksudat lebih umum dibandingkan transudate; aPenyebab paling
umum; bBerkaitan dengan drug-induced lupus; cPada keganasan, efusi pleura
transudatif dapat terjadi akibat obstruksi bronkus dan ateletaksis. Namun, pada
sebagian besar keganasan terjadi efusi pleura eksudatif.
10

2.2.4 FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang umum untuk terjadinya efusi pleura yaitu:14,15,16

1. Adanya penyakit paru


2. Merokok
3. Neoplasia (misalnya pasien kanker paru)
4. Konsumsi alkohol berlebih
5. Gagal jantung
6. Sirosis hepatis
7. Penggunaan obat-obatan tertentu seperti dasatinib pada tatalaksana pasien
dengan leukemia mielositik kronis dan obat-obatan yang imunosupresif
8. Paparan asbestos akibat pekerjaan
9. Sebagai komplikasi dari beberapa prosedur operasi

2.2.5 PATOFISIOLOGI EFUSI PLEURA

Dua permukaan pleura tersebut dikenali sebagai pleura parietal dan pleura viseral.
Kedua-dua pleura tersebut terletak berhadapan satu sama lain dan hanya dipisahkan
oleh selaput tipis cairan serosa. Pleura viseral dan parietal berperan penting dalam
homeostasis cairan di rongga pleura. Laju rata-rata produksi dan absorpsi cairan pleura
normalnya adalah 0,2 mL/kg/jam, yang berarti bahwa seluruh volume cairan pleura
secara normal berubah dalam waktu satu jam. Sisi parietal dari pleura menyumbang
sebagian besar produksi cairan pleura, dan untuk sebagian besar resorpsi juga. Efusi
pleura akibat gagal jantung kiri merupakan pengecualian dari aturan ini, di mana cairan
berasal dari pleura visceral.7

Volume cairan pleura ditentukan oleh keseimbangan perbedaan tekanan hidrostatik


dan onkotik yang ada antara sirkulasi sistemik dan pulmonal dan rongga pleura. Cairan
pleura diserap melalui pembuluh limfatik di pleura parietal. Aliran dalam pembuluh-
pembuluh ini dapat meningkat dengan jumlah cairan pleura yang dihasilkan lebih
banyak dari biasanya; dengan demikian, sistem penyerapan limfatik pleura memiliki
11

kapasitas cadangan yang besar. Dalam keadaan sehat, produksi dan resorpsi cairan
pleura berada pada keseimbangan. Efusi pleura merupakan gangguan keseimbangan
ini, mungkin karena peningkatan produksi dan penurunan resorpsi. Tekanan onkotik
yang rendah (misalnya, pada hipoalbuminemia), peningkatan tekanan kapiler paru,
peningkatan permeabilitas, obstruksi limfatik, dan penurunan tekanan intrapleura
negatif adalah semua komponen patofisiologis yang mengarah pada gambaran klinis
yang relevan dan membedakan efusi pleura—transudat vs. Eksudat.7

Efusi pleura dapat terjadi apabila terdapat perubahan homeostasis cairan dan zat
terlarut. Mekanisme yang menyebabkan perubahan ini menentukan apakah efusi itu
akan menjadi efusi eksudatif (kadar protein tinggi) atau transudatif (kadar protein
rendah). Eksudat adalah cairan yang bocor di sekitar sel-sel kapiler dan disebabkan
oleh peradangan, sedangkan transudat adalah cairan yang didorong melalui kapiler
karena tekanan yang tinggi di dalam kapiler. Ketidakseimbangan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik di dalam kapiler menyebabkan efusi transudatif. Perubahan
faktor inflamasi lokal yang memicu akumulasi cairan pleura menunjukkan efusi
eksudatif. Akumulasi cairan berlebih dapat terjadi jika ada produksi berlebihan atau
penurunan penyerapan atau keduanya melebihi mekanisme homeostatis normal.17

Efusi pleura tipe eksudatif terjadi ketika laju filtrasi melebihi aliran getah bening
maksimum dan eksudat terbentuk ketika permeabilitas protein kapiler sistemik
meningkat, menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura. Efusi pleura
eksudatif umumnya disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia, keganasan, penyakit
granulomatosa seperti tuberkulosis atau coccidioidomycosis, penyakit pembuluh darah
kolagen, dan keadaan inflamasi lainnya.18

2.2.6 KLASIFIKASI EFUSI PLEURA


Cairan pleura diklasifikasikan sebagai transudat atau eksudat berdasarkan kriteria
Light yang dimodifikasi. Cairan pleura dianggap efusi eksudatif jika setidaknya salah
satu kriteria terpenuhi.3
12

1) Rasio cairan pleura dengan protein serum lebih dari 0,5.

2) Rasio cairan pleura dengan dehidrogenese laktat (LDH) lebih dari 0,6.

3) LDH cairan pleura dua pertiga atas batas normal LDH serum.

a) Efusi pleura transudat

Penyebab umum transudat termasuk kondisi yang mengubah tekanan hidrostatik


atau onkotik di rongga pleura seperti gagal jantung kiri kongestif, sindrom nefrotik,
sirosis hati, hipoalbuminemia yang menyebabkan malnutrisi dan inisiasi dialisis
peritoneal.3

b) Efusi pleura eksudat

Penyebab umum eksudat termasuk infeksi paru seperti pneumonia atau TBC,
keganasan, gangguan inflamasi seperti pankreatitis, lupus, rheumatoid arthritis,
sindrom cedera pasca-jantung, chylothorax (karena obstruksi limfatik), hemothorax
(darah dalam rongga pleura), dan asbes pleura jinak efusi.3

Beberapa penyebab efusi pleura yang kurang umum adalah emboli paru yang dapat
berupa eksudat atau transudat, akibat obat (misalnya metotreksat, amiodaron, fenitoin,
dasatinib, biasanya eksudat), pasca radioterapi (eksudat), ruptur esofagus (eksudat) ,
dan sindrom hiperstimulasi ovarium (eksudat).3

2.2.7 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi efusi pleura sangat ditentukan oleh penyakit yang mendasarinya. Gagal
jantung kongestif adalah penyebab paling umum. Gejala paling umum yang timbul dari
respon inflamasi pleura adalah nyeri pleuritik, yang diperantarai oleh pleura parietal
(pleura visceral tidak mengandung nosiseptor atau serabut saraf nosiseptif). Rasa sakit
biasanya dirasakan di daerah kelainan patologis, dan sering dikaitkan dengan siklus
pernapasan. Nyeri pleuritik lokal seperti itu membaik atau menghilang segera setelah
efusi pleura muncul. Beberapa pasien menggambarkan sensasi tekanan yang difus dan
13

nyeri di dada—terutama ketika proses patologis secara langsung melibatkan pleura


parietal, misalnya, dalam kasus empiema pleura, tumor ganas primer, atau
karsinomatosis pleura. Efusi pleura dalam situasi ini biasanya tipe eksudatif.19

Gejala efusi pleura yang paling umum adalah dispnea. Tingkat keparahan dispnea
hanya sedikit berkorelasi dengan ukuran efusi. Efusi pleura besar menempati ruang di
dada yang biasanya diisi oleh parenkim paru dan dengan demikian berhubungan
dengan pengurangan semua volume paru-paru. Volume paru-paru juga tidak segera
berubah ketika efusi pleura (bahkan yang besar) dikeringkan. Perbaikan klinis yang
cepat dari dyspnea setelah efusi pleura dikeringkan mungkin mencerminkan transisi ke
kurva panjang-tegangan yang lebih baik dari otot-otot pernapasan, terutama
diafragma.19 Beberapa pasien mengeluh batuk kering, yang dapat dijelaskan sebagai
manifestasi peradangan pleura atau kompresi paru-paru karena efusi yang besar. Efusi
pleura juga dapat secara nyata mengganggu kualitas tidur.20

2.2.8 DIAGNOSIS
Gambaran klinis efusi pleura terutama ditandai oleh penyakit yang mendasarinya,
bisa tanpa gejala. Pada seseorang yang mengalami efusi pleura, gejala klinis dapat
berupa keluhan sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri bisa timbul akibat efusi yang
banyak berupa nyeri pleuritik atau nyeri tumpul yang terlokalisir, pada beberapa
penderita dapat timbul batuk-batuk kering. Keluhan berat badan menurun dapat
dikaitkan dengan neoplasma dan tuberkulosis, batuk berdarah dikaitkan dengan
neoplasma, emboli paru dan tuberkulosa yang berat. Demam subfebris pada
tuberkulosis, demam menggigil pada empiema, ascites pada sirosis hepatis. 37

Untuk menegakkan diagnosis adanya efusi pleura, dalam anamnesis perlu untuk
memastikan gejala yang dirasakan oleh pasien. Gejala efusi pleura tidak khas karena
tergantung dari penyakit yang mendasari / etiologi pada pasien tersebut. Riwayat
demam dapat menunjukkan bahwa efusi disebabkan adanya infeksi. Pada beberapa
kasus, seperti adanya riwayat pneumonia pada saat anamnesis kemungkinan
14

menunjukkan efusi parapneumonik. Riwayat penyakit terdahulu seperti penyakit


jantung, ginjal, atau hati kemungkinan menunjukkan efusi yang transudatif. Pada
pasien – pasien dengan usia yang lebih tua, adanya penurunan berat badan, dan riwayat
merokok kemungkinan mengarah pada efusi pleura dengan etiologi keganasan.8

Efusi pleura yang terjadi karena adanya infeksi dapat disebabkan oleh beberapa
penyakit seperti pneumonia, tuberkulosis, atau infeksi virus. Efusi pleura yang
disebabkan oleh adanya infeksi biasanya memiliki gejala sebagai berikut: demam
persisten, batuk, dyspnea, sputum produktif, dan nyeri dada. Pada pneumonia biasanya
pasien memiliki trias gejala pneumonia yaitu batuk produktif dengan dahak purulen
atau bisa berdarah, sesak napas, dan demam tinggi. Pada infeksi virus, biasanya lebih
bersifat asimptomatik dan bersifat self-limiting disease. Pada tuberkulosis, biasanya
memiliki gejala umum TB berupa demam subfebris berkepanjangan, batuk kronik
lebih dari 3 minggu, nyeri dada, keringat malam hari, dan penurunan berat badan. Pada
pasien ini, gejala yang dirasakan pasien lebih mengarah ke efusi pleura yang
disebabkan oleh tuberkulosis paru. Pada efusi pleura yang disebabkan oleh adanya
keganasan memiliki gejala yang tidak khas yaitu batuk, demam suhu rendah, dan
apabila berada di stadium berat dapat terjadi distres pernapasan. Pada efusi pleura yang
disebabkan karena gagal jantung atau sindrom nefrotik biasanya memilki gejala
dyspnea, tanpa demam, dan disertai edema pada ekstremitas. Pasien efusi pleura
biasanya akan merasa lebih nyaman bila dalam posisi tubuh miring kea rah yang sakit
(trepopneu) Hal ini disebabkan karena pengaruh gravitasi sehingga cairan yang
terakumulasi di rongga pleura akan turun dan proses pengembangan paru dapat
berjalan dengan lebih baik, dibandingkan saat posisi berbaring yang menyebabkan
cairan yang terakumulasi merata pada rongga pleura sehingga lebih menganggu proses
pengembangan paru atau ventilasi.38

Pada pemeriksaan fisik didapati pembesaran dada pada sisi yang terkena, dan
pelebaran sela iga. Fremitus suara melemah sampai menghilang, pada perkusi didapati
15

bedah dan pada auskultasi suara napas melemah sampai menghilang, serta adanya
bising gesek pleura atau pleural rub atau pleural friction rub selama akhir inspirasi
sampai awal ekspirasi (to and fro pattern).28

Untuk membantu menegakkan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan penunjang.


Rontgen thoraks adalah suatu strategi imaging yang paling sederhana untuk
mengkonfirmasi adanya efusi pleura. Rontgen thoraks dapat dilakukan dengan posisi
AP, Lateral, dan dekubitus. Biasanya hasil rontgen thoraks pasien efusi pleura
menunjukkan adanya free-flowing pleural fluid, dan Meniscus Sign (+). Efusi pleura
bilateral umumnya sering terjadi pada efusi transudat dengan etiologi tersering adalah
gagal jantung kongestif, namun efusi eksudat juga dapat terjadi pada kasus – kasus
keganasan. Setelah dapat mengkonfirmasi adanya efusi pleura, maka langkah
selanjutnya adalah mengkonfirmasi penyebab terjadinya efusi pleura dengan
melakukan thoracocentesis dan analisa cairan pleura.39

Tabel 2.2 Analisis cairan pleura secara mikroskopis28

Pada pemeriksaan analisis cairan pleura, selain hasil mikroskopis yang didapat
pada tabel 1 diatas, perlu diperhatikan juga secara makroskopisnya seperti warna dan
baunya. Cairan pleura yang berwarna putih seperti susu maka merupakan cyclothoraks,
kemudian jika cairan pleura berwarna merah menunjukkan adanya trauma ataupun
suatu keganasan. Pada efusi transudat cairan pleura umumnya berwarna kekuningan,
jernih serta tidak berbau, sedangkan pada efusi eksudat maka cairan pleura umumnya
berupa pus atau bercampur darah, keruh dan menggumpal serta kadang dapat berbau.28
16

2.2.9 DIAGNOSIS BANDING

Efusi pleura memiliki diagnosis banding yang luas. Penyebab terseringnya adalah
gagal jantung kongestif, kanker, pneumonia, dan emboli paru. Penegakan diagnosis
yang tertunda dapat dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi,
misalnya, pada pasien dengan pneumonia yang sudah berlarut – larut dan tidak
ditangani dengan tuntas maka akan jatuh pada efusi parapneumonia dan berkembang
mejadi empyema.25

Tabel 2.3 Diagnosis banding efusi pleura transudat dan eksudat40

Diagnosis banding efusi pleura berdasarkan tipe eksudat atau transduat cairan pleura.

a) Eksudat, disebabkan oleh :


1. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui
focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara
hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi
17

disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan,


sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh
TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada
pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan,
dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
2. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,
mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan
ukuran jantung yang tidak membesar. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan
sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum
(needle biopsy).
3. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,
abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai
predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna
purulen (empiema).
4. Efusi pleura karena penyakit kolagen/autoimun: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma.
5. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.

b) Transudat, disebabkan oleh :


1. Gangguan kardiovaskular penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis.
Sedangkan penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma
vena kava superior.
2. Hipoalbuminemia Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein
cairan pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
3. Hidrothoraks hepatic, Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar
untuk menimbulkan dyspneu berat.
18

4. Meigs Syndrom, Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada
penderita-penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang
dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma
dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya
metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya
dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura
melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5. Dialisis Peritoneal Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal.
Efusi terjadi unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari
rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini
terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialysis.
40

2.2.10 TATALAKSANA
Tujuan utama dalam penatalaksanaan efusi pleura adalah meredakan gejala
yang ditimbulkan seperti sesak napas serta pengobatan penyakit atau etiologi yang
mendasarinya. Pilihan terapinya dapat berupa torakosentesis terapeutik,
pemasangan selang dada, terapi fibrinolitik, pleurodesis dan pembedahan
bergantung pada jenis efusi pleura, stadium dan penyakit yang mendasarinya.37
Pengobatan spesifik pada kasus efusi pleura tergantung pada etiologi yang
mendasarinya. Efusi pleura yang terkait dengan penyakit jaringan ikat seperti
rheumatoid arthritis dan lupus eritematosus sistemik diobati dengan steroid dan
proses penyembuhan dapat terjadi dalam 2 minggu. Efusi pleura pada tuberkulosis
diobati dengan terapi OAT (obat anti tuberkulosis) yaitu rifampisin, isoniazid,
pirazinamid dan etambutol selama 2 bulan diikuti dengan rifampisin dan isoniazid
selama 4 bulan. Efusi akibat gagal jantung kongestif biasanya membaik cukup
cepat saat diberi terapi diuretik.27
19

Tabel 2.4 Dosis OAT28

Indikasi kortikosteroid pada TB adalah TB milier, meningitis TB, efusi pleura


berat, efusi pericardium, dan obstruksi saluran napas. Dosisnya adalah Prednison PO
30-60mg 1x sehari, pagi hari. Tapering off perlahan setelah 4 minggu.
Salah satu pilihan terapi pada kasus efusi pleura adalah torakosentesis yang
merupakan teknik drainase menggunakan jarum yang diinsersikan ke dalam rongga
pleura untuk mengevakuasi cairan. Torakosentesis dapat digunakan untuk tujuan
diagnostik maupun terapeutik.28 Torakosentesis diagnostik dilakukan untuk
mendapatkan cairan dengan volume sekitar 50 mL pada kasus efusi dengan
penyebab yang belum jelas. Aspirasi cairan pleura untuk mengevakuasi volume
cairan yang lebih besar diindikasikan untuk meredakan gejala akibat efusi.7
Torakosentesis dengan tujuan diagnostik juga diindikasikan jika pasien
mengalami nyeri dada pleuritik serta kurangnya respon terhadap pengobatan yang
tidak dapat dijelaskan. Pasien dengan efusi bilateral tidak selalu membutuhkan
torakosentesis diagnostik maupun terapeutik, tetapi harus diidentifikasi penyakit
yang mendasarinya dan diobati (gagal jantung kongestif, sindroma nefrotik, dll).
Torakosentesis lebih baik dilakukan dengan dipandu ultrasonografi.7
Kontraindikasi utama torakosentesis untuk hal diagnostik adalah diastasis
hemoragik. Bagaimanapun torakosentesis diagnostik dapat dilakukan dengan
20

mengugnakan jarum berukuran kecil pada hampir semua kasus tergantung pada
urgensi kondisi kasusnya. Penelitian McVay dkk menunjukkan bahwa tidak ada
peningkatan risiko perdarahan jika hasil prothrombin time atau partial
thromboplastin time tidak lebih dari dua kali nilai normal. Demikian pula tidak ada
pen`ingkatan risiko perdarahan dengan jumlah trombosit yang rendah (<
25.000/mm3). Torakosentesis cukup aman dilakukan pada individu yang
menggunakan ventilasi mekanik. Insidensi pneumotoraks meningkat pada
torakosentesis yang dilakukan tanpa dipandu ultrasonografi pada pasien dengan
ventilasi mekanik. Torakosentesis tidak boleh dilakukan di area kulit yang sedang
terkena infeksi seperti pioderma atau herpes zoster.28
Torakosentesis dilakukan dengan posisi pasien duduk dengan di sisi tempat
tidur dengan tangan dan kepala bertumpu pada satu atau lebih bantal di meja
samping tempat tidur. Bangku kaki diletakkan di lantai agar pasien memiliki tempat
untuk mengistirahatkan kakinya.3 Lokasi torakosentesis dilakukan di 1 atau 2 ruang
intercostal di bawah area efusi yang menunjukkan suara pernapasan melemah,
hilangnya fremitus taktil serta didapatkan beda ketika diperkusi. Torakosentesis
dapat dipandu dengan ultrasonografi yang merupakan teknik non invasif yang
aman dan sederhana untuk menentukan adanya cairan pleura ketika hasil
pemeriksaan fisik meragukan atau ketika dari hasil radiografi dan CT scan
menunjukkan efusi kecil atau terlokalisasi.22

Gambar 2.3 Posisi pasien Ketika akan dilakukan torakosintesis28


21

Drainase chest tube terdiri dari insersi perkutan selang yang berukuran kecil
atau besar yang biasanya terbuat dari silicon atau polyurethane ke dalam rongga
pleura. Indikasi utama pemasangan selang dada adalah pasien dengan
pneumotoraks, emfisema, efusi pleura berulang, complicated parapneumonic
effusion, hemotoraks, pasien yang menjalani pleurodesis dan setelah menjalani
pembedahan toraks. Risiko pemasangan chest tube antara lain perdarahan pada
lokasi insisi, perdarahan atau pneumotoraks akibat robeknya adesi pleura atau
jaringan paru, insersi chest tube pada jantung, abdomen atau arteri pulmonalis dan
hipersensitivitas atau alergi terhadap obat-obat analgesia atau anestesi.22
Chest tube harus dihubungkan dengan perangkat drainase. Sistem drainase
dilekatkan dengan chest tube untuk memberikan tekanan negatif pada rongga
pleura, memfasilitasi reekspansi paru dan menghilangkan udara atau cairan dari
rongga pleura.22

Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 secara umum adalah


meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan
meliputi :41

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki


kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada
keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
22

ketonuria, harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder atau tersier.


Bagi pasien yang sudah terdiagnosis diabetes dapat diberikan edukasi kepada
pasien dapat berupa :41
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan air.

2. Periksa kaki setiap hari dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,
kemerahan, atau luka.

3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya

4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan


mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.

5. Potong kuku secara teratur.

6. Keringkan kaki dan sela – sela jari kaki secara teratur setelah dari
kamar mandi.

7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada
ujung – ujung jari kaki.

8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.

9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat
khusus.

10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak
tinggi.

11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan
23

jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Latihan fisik juga
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Program latihan fisik
secara teratur dilakukan 3 – 5 hari seminggu selama sekitar 30 – 45 menit, dengan
total 150 menit per minggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut.41
Terapi farmakologis diberikan dalam bentuk oral maupun bentuk suntikan,
beberapa jenis terapi farmakologisnya adalah :41
1. Obat Antihiperglikemia Oral
a. Pemacu Sekresi insulin :
- Sulfonilurea - Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pancreas.
- Glinid - obat golongan ini cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea, namun
berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
- Metformin - Metformin mempunyai efek utama meng-urangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2.
- Tiazolidinedion(TZD) - Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai
efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer .
24

c. Penghambat Alfa Gukosidase - Obat ini bekerja dengan menghambat kerja


enzim alfa glukosidase di saluran pencernaan sehingga menghambat
absorpsi glukosa dalam usus halus.
d. Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4(DPP-4 Inhibitor) - Dipeptidil
peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang didistribusikan
secara luas dalam tubuh dan meng inhibisi aktivasi dari glucagon-like
peptide-1(GLP-1) sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon
e. Penghambat enzim sodium Glucose co-Transporter 2(SGLT-2 Inhibitor) -
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin.
2. Obat Antihiperglikemia Suntik :
a. Insulin
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic - Inkretin mimetik adalah hormon
peptida yang disekresi gastrointestinal setelah makanan dicerna, yang
mempunyai potensi untuk meningkatkan sekresi insulin melalui
stimulasi glukosa. Agonis GLP-1 mempunyai efek menurunkan berat
badan, menghambat pelepasan glukagon, menghambat nafsu makan,
dan memperlambat pengosongan lambung sehingga menurunkan kadar
glukosa darah postprandial.

2.2.11 KOMPLIKASI

Komplikasi efusi pleura dapat diakibatkan oleh penyakit itu sendiri atau dari
komplikasinprosedur pengobatan.

• Cairan pleura dapat terinfeksi sekunder dan dapat berubah


menjadi abses atau empiema , yang perlu dikeluarkan dengan selang dada.29,36
• Pneumotoraks dapat menjadi komplikasi dari prosedur thoracentesis.26,21,32,23
25

• Edema paru reekspansi dapat berkembang sebagai komplikasi


dari thoracentesis terapeutik.24,31
• Sindrom cedera pasca jantung (PCIS).30,34,35
o Istilah umum untuk demam dan penyakit pleuroperikardial yang terjadi
beberapa hari atau bulan setelah cedera jantung ( infark miokard atau
pembedahan).
o Biasanya hadir dua hingga tiga minggu pasca operasi
§ Sakit dada
§ Gosok perikardial
§ Demam
§ Leukositosis
§ Peningkatan laju sedimentasi eritrosit (ESR)
§ Kombinasi variabel efusi paru dan infiltrat

2.2.12 PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada penyebab efusi pleura. Efusi ringan dapat


disembuhkan tetapi jika penyebabnya adalah keganasan, prognosisnya sangat
buruk. Contoh lain dari efusi pleura adalah kekambuhan yang juga dapat terjadi dengan
gangguan ringan seperti lupus, uremia, dan rheumatoid arthritis. Jika efusi pleura tidak
dikeluarkan dapat menyebabkan dispnea dan bahkan empiema.33
26

BAB III
LAPORAN KASUS

No. Rekam Medik : 141938

Tanggal Masuk: 12/09/2021 Dokter Ruangan: -

Jam: 11:54 Dokter Chief of Ward:

dr. Alexander

Ruang: RKP Dokter Penanggung Jawab Pasien:

dr. Herwindo, Sp.PD

ANAMNESIS PRIBADI
Nama : Ismail Perangin Angin
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Desa Pasar Baru

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Sesak Napas
Telaah : Sesak napas dialami ± sejak 3 minggu ini. Napas berbunyi tidak
dijumpai, trepopnea dijumpai. Sesak napas memberat karena aktivitas. Batuk dialami
2 bulan ini. Batuk berdarah (-), riwayat batuk darah (-), batuk dahak (+). Nyeri dada
dialami 3 minggu ini dengan VAS 5. Demam (-), keringat malam (+). Nafsu makan
menurun (-), BB menurun (-). Riwayat OAT/TB dijumpai sejak 16/08/2021 (R/Z/E)
27

600 mg/ 1000 mg/ 1000 mg. Riwayat merokok IB berat. Riwayat DM (+). Riwayat
asma (-). Riwayat vaksin Covid-19 (-). Riwayat hipertensi (-).

ANAMNESIS ORGAN
Jantung
Angina Pectoris : (-) Edema : (-)

Palpitasi : (-) Lain-lain : (-)

Saluran Pernapasan

Batuk-batuk : (+) Asma, bronkitis : (-)

Dahak : (+) Sesak Nafas : (+)

Saluran Pencernaan

Nafsu Makan : (+) Penurunan BB : (-)

Keluhan Menelan : (-) Keluhan Defekasi : (-)

Keluhan Perut : (-) Lain-lain : (-)

Saluran Urogenital

Nyeri BAK : (-) BAK Tersendat : (-)

Batu : (-) Keadaan Urin : (-)

Haid : (-) Lain-lain : (-)

Sendi dan Tulang

Sakit Pinggang : (-) Keterbatasan Gerak : (-)

Keluhan Persendian : (-) Lain-lain : (-)

Endokrin

Haus/Polidipsi : (-) Gugup : (-)


28

Poliuri : (-) Perubahan Suara : (-)

Polifagi : (-) Lain-lain : (-)

Saraf Pusat

Sakit Kepala : (+) Hoyong : (-)

Lain-lain : (-)

Darah dan Pembuluh Darah

Pucat : (-) Perdarahan : (-)

Petechiae : (-) Lain-lain : (-)

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


STATUS PRESENS

Keadaan Umum Keadaan Penyakit

Sensorium : Compos Mentis Pancaran Wajah : Baik

Tekanan Darah : 158/94 mmHg Sikap Paksa : (-)

Nadi : 89 x/menit Refleks Fisiologis : (+)

Pernafasan : 26 x/menit Refleks Patologis : (-)

Temperatur : 36,5 ℃

Keadaan Gizi

Berat Badan : 86 kg

Tinggi Badan : 165 cm

IMT : 31,58 kg/m2 (Kesan = Obesitas)


29

KEPALA

Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterus (-/-),


pupil

isokor

Telinga : Dalam batas normal

Hidung : Dalam batas normal

Mulut : Dalam batas normal

LEHER

Leher : TVJ R+2 cmH2O, pembesaran KGB (-)

Trakea : Medial

THORAX DEPAN

Inspeksi

Bentuk : Simetris Fusiformis

Pergerakan : Ketinggalan pernafasan pada dada sebelah kanan (+),


penggunaan otot bantu nafas (+)

Palpasi

Nyeri Tekan : (-)

Fremitus Suara : Stem fremitus paru kanan melemah

Iktus : Tidak teraba

Perkusi

Paru
30

Batas Paru-Hati R/A : R: ICS V / A: ICS VI Linea midklavikualris dextra

Peranjakan : ± 1 cm

Jantung

Batas atas jantung : ICS II Linea parasternalis sinistra

Batas kiri jantung : ICS IV Linea midklavikularis sinistra

Batas kanan jantung : ICS IV Linea parasternalis dextra

Auskultasi

Paru

Suara Pernafasan : Melemah pada lapangan paru kanan

Suara Tambahan : Ronki Basah (+/+)

Jantung : S1 S2 kesan normal, Murmur (-), Gallop (-)

THORAX BELAKANG

Inspeksi : Simetris Fusiformis

Palpasi : Stem fremitus paru kanan melemah

Perkusi : Redup pada lapangan paru kanan

Auskultasi : Suara Pernafasan = Melemah pada paru kanan

Suara Tambahan = Ronki basah (+/+)


31

ABDOMEN

Inspeksi : Simetris, tidak membesar

Auskultasi : Normoperistaltik (BU +)

Palpasi : Soepel, hepar/lien/renal tidak teraba pembesaran

Perkusi : Timpani

EKSTREMITAS SUPERIOR DAN INFERIOR

Akral : Hangat

Edema : (-)

Sianosis : (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah Lengkap (CBC) (12/09/2021)

Hemoglobin: 15,2 g/dL MCH: 30,6 pg

Hematokrit: 44,3 % MCHC: 34,3 g%

Leukosit: 10,44 x 103/μL RDW-SD: 40,4 fL

Eritrosit: 4,97 x 106/ μL RDW-CV: 12,2 %

Trombosit: 312 x 103/μL PDW: 9,1 fL

MCV: 89,1 fL MPV: 8,9 fL

Hitung Jenis (12/09/2021) Analisis Gas Darah (12/09/2021)

Neutrofil Segmen: 49,4 % pH: 7,43

Limfosit: 17,7 % pCO2: 33,8 mmHg

Monosit: 8,3 % pO2: 125,5 mmHg


32

Eosinofil: 23,7 % HCO3: 22,2 mmol/L

Basofil: 0,9 % T CO2: 19,1 mmol/L

BE: -2 mmol/L

O2 Saturasi: 99 %

Ginjal (12/09/2021) Elektrolit (12/09/2021)

Ureum: 21,2 mg/dL Natrium (Na): 134 mmol/L

Kreatinin: 0,8 mg/dL Kalium (K): 3,99 mmol/L

Klorida (Cl): 97 mmol/L

Rapid Test Covid-19 Antigen (12/09/2021): Negatif

PCR SARS CoV2 (13/09/2021): Negatif

Tanggal Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu HbA1c


(mg/dL) (%)

12/09/2021 219 -
33

Pemeriksaan EKG (12/09/2021): Normal Sinus Rhythm

Pemeriksaan Foto Toraks (12/09/2021):


- Posisi asimetris. Inspirasi cukup.
- Ukuran jantung sulit dinilai batas kanan jantung tertutupi perselubungan.
- Aorta elongasi. Mediastinum superior tidak melebar.
- Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal.
- Tampak infiltrat kecil-kecil tersebar di kedua paru yang tervisualisasi.
- Tampak perselubungan homogen yang menutupi hampir seluruh hemithorax
kanan dengan Sebagian paru kanan masih terlihat.
- Sinus kostofrenikus dan hemidiafragma kiri baik.
- Tulang-tulang dan jaringan lunak baik

Kesimpulan: Proses spesifik tipe milier disertai efusi pleura kanan.


34

Pemeriksaan USG (12/09/2021):


- Transhepatic view tampak gambaran anechoic
- Longitudinal dan transversal view ICS V LMAD tampak gambaran anechoic
- Kesan: Efusi pleura large dekstra
- Estimasi: 1000cc
35

RESUME

ANAMNESA Keluhan Utama: Sesak napas


Telaah: Sesak napas dialami ± sejak 3 minggu ini. Napas
berbunyi tidak dijumpai, trepopnea dijumpai. Sesak napas
memberat karena aktivitas. Batuk dialami 2 bulan ini. Batuk
berdarah (-), riwayat batuk darah (-), batuk dahak (+). Nyeri dada
dialami 3 minggu ini dengan VAS 5. Demam (-), keringat malam
(+). Nafsu makan menurun (-), BB menurun (-).
- Riwayat OAT/TB dijumpai sejak 16/08/2021 (R/Z/E) 600 mg/
1000 mg/ 1000 mg.
- Riwayat merokok IB berat.
- Riwayat DM (+).
- Riwayat asma (-).
- Riwayat vaksin Covid-19 (-).
- Riwayat hipertensi (-).

STATUS PRESENS Keadaan Umum: Abnormal sedang


Keadaan Penyakit:
Keadaan Gizi: Berdasarkan IMT kesan obesitas

PEMERIKSAAN FISIK VITAL SIGN


Sensorium: Compos Mentis
Tekanan Darah: 158/94 mmHg
Nadi: 89 x/menit
Pernafasan: 26 x/menit
Temperatur: 36,5 ℃
36

STATUS LOKALISATA
Kepala
Mata: Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
isokor
Telinga, hidung, mulut: Dalam batas normal
Leher: Pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O
Toraks
Inspeksi: Ketinggalan pernapasan pada dada sebelah kanan (+),
penggunaan otot bantu napas (+)
Perkusi: Redup pada lapangan paru kanan
Palpasi: Stem fremitus kanan melemah
Auskultasi: Suara pernapasan melemah lapangan paru kanan,
suara tambahan ronki basah (+/+)
Abdomen
Inspeksi: Simetris
Perkusi: Timpani
Palpasi: Soepel, hepar/lien/renal tidak dijumpai pembesaran
Auskultasi: Normoperistaltik
Ekstremitas: Dalam batas normal

LABORATORIUM Neutropenia, limfositopenia, eosinofilia, hiperoksemia,


RUTIN hiperglikemia

KEMIH Tidak dilakukan pemeriksaan

TINJA Tidak dilakukan pemeriksaan

EKG Normal sinus rhythm

ANTIGEN SARS-CoV-2 Negatif

PCR SARS-CoV-2 Negatif


37

FOTO TORAKS Proses spesifik tipe milier disertai efusi pleura kanan

USG Efusi pleura large dextra

DIAGNOSA BANDING - Efusi pleura ec tb miliar + Diabetes Melitus tipe II +


Hipertensi Stage I
- Pneumonia + Diabetes Melitus tipe II + Hipertensi Stage I
- Tumor paru + Diabetes Melitus tipe II + Hipertensi Stage I
- Atelektasis + Diabetes Melitus tipe II + Hipertensi Stage I

DIAGNOSA Efusi pleura ec TB miliar + DM Tipe II + Hipertensi Stage I


SEMENTARA

PENATALAKSANAAN - O2 2-4 L/i


- IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj. Ranitidine 1amp/12 jam
- Inj. Ketorolac 1amp/8 jam
- Ambroxol tab 3x1
- Vit. B Comp 2x1
- Vit B6 1X100 mg
- R: 600 mg (pagi hari 1 jam sebelum sarapan)
- H: 300 mg (pagi hari 1 jam sebelum sarapan)
- Z: 1500 mg (pagi hari 1 jam sebelum sarapan)
- E: 1500 mg (pagi hari 1 jam sebelum sarapan)

RENCANA PENJAJAKAN DIAGNOSTIK/TINDAKAN LANJUT


- Pemeriksaan aspirasi cairan pleura - Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu
- Pemeriksaan HbA1C - Pemeriksaan foto thoraks
- Pemeriksaan kadar gula darah puasa
38

BAB IV

FOLLOW UP

Tanggal S O A P
13 Sesak Sensorium: compos - Efusi - Diet DM 1600 kkal
September napas (+) mentis TD:180/85 pleura - O2 2-4 lpm NC
2021 Batuk (+) mmHg HR: 99 x/i large - IVFD NaCl 0,9%
RR: 26x/i dextra ec 20 gtt/i
Temp: 36,5 ºC TB milier - Injeksi Ceftriaxone 1
SpO₂: 92% room (dalam gr/12 jam IV
air pengobata - Injeksi Ranitidin 50
Mata: konjungtiva n fase mg/12 jam IV
anemis (-/-), sklera awal) - Injeksi ketorolac 10
ikterik (-/-) - DM tipe 2 mg/ 8 jam IV
Leher: TVJ R+2 - Hipetensi - Ambroxol tab 3 x 30
cmH₂0 Stage I mg
Thorax: SP vesikuler - B comp tab 2x1
melemah di lapangan - Vit B6 1x100 mg
paru kanan, ST rhonki - Rifampicin 600 mg
basah (-/+) 1x1
Abdomen: soepel, - Isoniazid 300 mg 1x1
BU normal - Pirazinamid 1500 mg
Ekstremitas: akral 1x1
teraba hangat, edema - Etambutol 1500 mg
pretibial (-/-) 1x1
- Vitamin B6 1x100 mg
- Injeksi novorapid 10-
10-10 IU SC
- Injeksi Levemir 0-0-12
IU SC
- Candesartan tab
1x8mg
39

Hasil Kultur Cairan


Pleura: BJ cairan:
1.015
Makroskopik
Warna: Merah
Kejernihan: Keruh
Rivalta (+)
Bekuan (-)
Mikorskopik Hitung
Jenis sel:
WBC-RF:
0,878x103/µL
RBC-RF:
0.043x103/µL
MN: 77 %
PMN: 23 %
Kimia:
Total protein: 222
mg/dl
Gulkosa: 44 mg/dl
LDH: 943 U/L
pH: 7.0
40

14 Sesak Sensorium: - Efusi pleura - Diet DM 1600 kkal


September napas(+) compos mentis large dextra - O2 2-4 lpm NC
2021 Batuk (+) TD:147/81 ec TB - IVFD NaCl 0,9%
berkurang mmHg milier 20 gtt/i
HR: 91 x/i RR: (dalam - Injeksi Ceftriaxone 1
21x/i pengobatan gr/12 jam IV
Temp: 36 ºC fase awal) - Injeksi Ranitidin 50
SpO₂: 96-97% - DM tipe 2 mg/12 jam IV
room air Hipetensi - Injeksi ketorolac 10
Mata: konjungtiva Stage I mg/ 8 jam IV
anemis (-/-), - Ambroxol tab 3 x 30
sklera ikterik (-/-) mg
Leher: TVJ R+2 - B comp tab 2x1
cmH20 - Vit B6 1x100 mg
Thorax: SP - Rifampicin 600 mg
vesikuler 1x1
melemah di - Isoniazid 300 mg 1x1
lapangan paru - Pirazinamid 1500 mg
kanan, ST rhonki 1x3
basah (+/+) - Etambutol 1500 mg
Abdomen: soepel, 1x3
BU normal - Vitamin B6 1x100 mg
Ekstremitas: akral - Injeksi novorapid 10-
teraba hangat, 10-10 IU SC
edema pretibial - Injeksi Levemir 0-0-12
(-/-) IU SC
Candesartan tab
1x8mg
41

15 Sesak napas Sensorium: - Efusi pleura - Diet DM 1600 kkal


September (+) compos large dextra - O2 2-4 lpm NC
2021 mentis ec TB - IVFD NaCl 0,9%
TD:163/87 milier 20 gtt/i
mmHg (dalam - Injeksi Ceftriaxone 1
HR: 97 x/i pengobatan gr/12 jam IV
RR: 22x/i fase awal) - Injeksi Ranitidin 50
Temp: 36,1 - DM tipe 2 mg/12 jam IV
ºC Hipetensi - Injeksi ketorolac 10
SpO2: 96- Stage I mg/ 8 jam IV
97% - Ambroxol tab 3 x 30
room air mg
Mata: - B comp tab 2x1
konjungtiva - Vit B6 1x100 mg
anemis (-/-), - Rifampicin 600 mg
sklera ikterik 1x1
(-/-) - Isoniazid 300 mg 1x1
Leher: TVJ - Pirazinamid 1500 mg
R+2 cmH20 1x3
Thorax: SP - Etambutol 1500 mg
vesikuler 1x3
melemah di - Vitamin B6 1x100 mg
lapangan - Injeksi novorapid 10-
paru kanan, 10-10 IU SC
ST rhonki - Injeksi Levemir 0-0-12
basah (+/+) IU SC
Abdomen: - Candesartan tab
soepel, BU 1x8mg
normal - Amlodipin tab 1 x 10
Ekstremitas: mg (malam)
akral teraba
hangat,
edema
pretibial (-/-)
42

BAB V

DISKUSI
TEORI PASIEN
Definisi Pasien mengalami sesak napas
dialami ± 3 minggu SMRS.
Efusi pleura yaitu akumulasi cairan di antara
Sesak napas memberat dalam 3
pleura parietal dan viseral, atau disebut juga
rongga pleura. Pada setiap tubuh manusia hari SMRS sehingga os lebih
sering berbaring ke arah kanan.
terdapat sedikit cairan pleura yang berfungsi
Sesak napas memberat saat
untuk lubrikasi rongga pleura yang berperan
dalam pergerakan paru normal pada saat beraktivitas. Sesak napas tidak
bernafas. Cairan pleura ini diatur oleh berkaitan dengan cuaca.
tekanan onkotik dan hidrostatik, serta Riwayat terbangun malam hari
drainase limfatik, adanya gangguan pada karena sesak napas tidak
salah satu sistem ini akan menyebabkan ditemukan. Riwayat tidur
dengan beberapa bantal tidak
penumpukan cairan pleura. Cairan pleura
ditemukan.
diklasifikasikan sebagai transudate atau
Pasien juga mengalami
eksudat berdasarkan kriteria Light. Cairan
batuk yang parah dijumpai
pleura dianggap eksudatif apabila memenuhi
sejak 2 bulan lalu. Batuk
salah satu kriteria tersebut, pasien tidak berdahak dan
yaitu:3 tidak disertai darah.
1. Rasio protein cairan pleura/protein serum >0,5
Riwayat batuk darah tidak
2. Rasio lactate dehydrogenase (LDH) cairan dijumpai.
pleura/LDH serum >0,6
3. LDH cairan pleura >2/3 batas atas nilai normal
LDH serum
43

Efusi pleura transudatif terjadi akibat Pasien juga menderita


faktor-faktor sistemik (tekanan hidrostatik nyeri dada kanan dijumpai
dan onkotik) yang mempengaruhi sejak 3 minggu ini. Os
pembentukan dan penyerapan cairan mengeluhkan nyeri dada
pleura. Permeabilitas mikrovaskular pleura seperti tertusuk-tusuk.
tidak berubah pada efusi pleura transudatif. Nyeri dada memberat
Penyebab umum dari efusipleura terutama saat menarik
transudatif mencakup kondisi yang napas.
menyebabkan perubahan tekanan Riwayat berkeringat
hidrostatik atau onkotik pada rongga pleura malamdijumpai(+). Riwayat
seperti pada gagal jantung kongestif kiri, penurunan berat badan (-).
sindrom nefrotik, sirosis hepatis, dan Riwayat merokok (+) IB :
Berat. Riwayat DM dijumpai
hipoalbuminemia.3,13
sejak tahun ini dan
Efusi pleura eksudatif terjadi akibat faktor- mengonsumsi obat metformin.
faktor lokal yang menyebabkan perubahan Riwayat TB Paru dijumpai.
permeabilitas mikrovaskular pleura, sehingga Riwayat konsumsi OAT
terjadi akumulasi cairan pleura. Penyebab dijumpai yaitu <28 dosis OAT.
umum dari eksudat mencakup infeksi paru Riwayat asma tidak
seperti pneumonia atau tuberkulosis, dijumpai. Riwayat vaksin
keganasan, penyakit inflamasi seperti covid-19 tidak dijumpai.
pankreatitis, lupus, rheumatoid artritis, post- Riwayat hipertensi
cardiac injury syndrome, chylothorax (akibat dijumpai.
obstruksi limfatik), dan hemothoraks (darah
pada rongga pleura).3,13
Beberapa penyebab lain efusi pleura yaitu
emboli paru dapat berupa eksudat atau
transudat, drug-induced (misalnya
methotrexate, amiodarone, phenytoin,
dasatinib, umumnya eksudat), post-
radiotherapy (eksudat), dan ruptur esofagus
(eksudat).3
44

Faktor risiko
Faktor risiko yang umum untuk terjadinya Pada anamnesis,didapatkan
efusi pleura yaitu:14 pasien merupakan seorang laki-
laki berusia 49 tahun, sudah
1. Adanya penyakit paru, menikah dan bekerja sebagai
2. Merokok, wiraswasta.
Pasien merupakan penderita TB
3. Neoplasia (misalnya pasien kanker paru), Paru Kasus Baru dan
4. Konsumsi alkohol berlebih, mengonsumsi obat OAT selama <
28 hari. Pasien juga penderita DM
5. Gagal jantung sejak 1 tahun yang lalu dan sedang
mengonsumsi Metformin.
6. Sirosis hepatis
7. Penggunaan obat-obatan tertentu seperti
dasatinib pada tatalaksana pasien dengan
leukemia mielositik kronis dan obat-obatan
yang imunosupresif,
8. Paparan asbestos akibat pekerjaan
9. Sebagai komplikasi dari beberapa prosedur
operasi

Diagnosis Pasien mengalami sesak napas


dialami ± 3 minggu SMRS.
Untuk menegakkan diagnosis adanya Sesak napas memberat dalam
efusi pleura, dalam anamnesis perlu untuk 3 hari SMRS sehingga os lebih
memastikan gejala yang dirasakan oleh sering berbaring ke arah
pasien. Gejala efusi pleura tidak khas kanan. Sesak napas memberat
karena tergantung dari penyakit yang saat beraktivitas. Sesak napas
mendasari / etiologi pada pasien tersebut. tidak berkaitan dengan cuaca.
Riwayat demam dapat menunjukkan Riwayat terbangun malam hari
bahwa efusi disebabkan adanya infeksi. karena sesak napas tidak
Pada beberapa kasus, seperti adanya ditemukan. Riwayat tidur
dengan beberapa bantal tidak
riwayat pneumonia pada saat anamnesis
ditemukan.
kemungkinan menunjukkan efusi
Pasien juga mengalami batuk
parapneumonik. Riwayat penyakit yang parah dijumpai sejak 2
terdahulu seperti penyakit jantung, ginjal, bulan lalu. Batuk pasien tidak
atau hati kemungkinan menunjukkan efusi berdahak dan tidak disertai
yang transudatif. Pada pasien – pasien
45

dengan usia yang lebih tua, adanya darah. Riwayat batuk darah tidak
penurunan berat badan, dan riwayat dijumpai.
merokok kemungkinan mengarah pada Pasien juga menderita nyeri
efusi pleura dengan etiologi keganasan.27 dada kanan dijumpai sejak 3
Efusi pleura yang terjadi karena adanya minggu ini. Os mengeluhkan
infeksi dapat disebabkan oleh beberapa nyeri dada seperti tertusuk-
penyakit seperti pneumonia, tuberkulosis, tusuk. Nyeri dada memberat
atau infeksi virus. Efusi pleura yang terutama saat menarik napas.
disebabkan oleh adanya infeksi biasanya VAS = 5.
memiliki gejala sebagai berikut: demam Riwayat berkeringat malam
persisten, batuk, dyspnea, sputum dijumpai(+). Riwayat
produktif, dan nyeri dada. Pada pneumonia penurunan berat badan (-).
Riwayat merokok (+) IB : Berat.
biasanya pasien memiliki trias gejala
Riwayat DM dijumpai sejak
pneumonia yaitu batuk produktif dengan
tahun ini dan mengonsumsi obat
dahak purulen atau bisa berdarah, sesak metformin. Riwayat TB Paru
napas, dan demam tinggi. Pada infeksi dijumpai. Riwayat konsumsi
virus, biasanya lebih bersifat asimptomatik OAT dijumpai yaitu <28 dosis
dan bersifat self-limiting disease. Pada OAT.
tuberkulosis, biasanya memiliki gejala Riwayat asma tidak dijumpai.
umum TB berupa demam subfebris Riwayat vaksin covid-19 tidak
berkepanjangan, batuk kronik lebih dari 3 dijumpai. Riwayat hipertensi
minggu, nyeri dada, keringat malam hari, dijumpai.
dan penurunan berat badan. Pada pasien Pada pemeriksaan fisik,
ini, gejala yang dirasakan pasien lebih dilakukan inspeksi thoraks dan
mengarah ke efusi pleura yang disebabkan didapatkan hasil
oleh tuberkulosis paru. Pada efusi pleura
yang disebabkan oleh adanya keganasan Simetris Fusiformis, ketinggalan
memiliki gejala yang tidak khas yaitu bernapas (+), retraksi interkostal
batuk, demam suhu rendah, dan apabila (+). Pada perkusi thoraks
berada di stadium berat dapat terjadi distres dijumpai SF paru kanan melemah
pernapasan. Pada efusi pleura yang dan redup pada lapang paru
disebabkan karena gagal jantung atau kanan. Pada pemeriksaan
sindrom nefrotik biasanya memilki gejala auskultasi thoraks, dijumpai suara
dyspnea, tanpa demam, dan disertai edema paru menghilang pada lapang paru
pada ekstremitas. Pada pemeriksaan fisik kanan dan suara tambahan Ronki
didapati pembesaran dada pada sisi yang basah (+/-).
terkena, dan pelebaran sela iga. Fremitus Pada pemeriksaan radiologis, xray
suara melemah sampai menghilang, pada thoraks posisi posteroanterior
perkusi didapati bedah dan pada auskultasi (PA) didapatkan hasil aorta
suara napas melemah sampai menghilang, elongasi, proses spesifik tipe
serta adanya bising gesek pleura atau milier effusi pleura kanan.
pleural rub atau pleural friction rub selama Kadar gula darah pasien juga
46

akhir inspirasi sampai awal ekspirasi (to diatas batas normal dengan KGD
and fro pattern).28 Untuk membantu sewaktu: 219 mg/dL.
menegakkan diagnosis dibutuhkan Hb-A1c : 10,5 %
pemeriksaan penunjang. Rontgen thoraks Pada pemeriksaan analisa cairan
adalah suatu strategi imaging yang paling pleura didapatkan cairan
sederhana untuk mengkonfirmasi adanya berwarna Merah keruh. Rivalta
efusi pleura. Rontgen thoraks dapat tes (+) dan kadar WBC-RF:
dilakukan dengan posisi AP, Lateral, dan 0,878 x103/µL dan kadar LDH:
dekubitus. Biasanya hasil rontgen thoraks 943 U/ L.
pasien efusi pleura menunjukkan adanya
free-flowing pleural fluid, dan Meniscus
Sign (+).Setelah dapat mengkonfirmasi
adanya efusi pleura, maka langkah
selanjutnya adalah mengkonfirmasi
penyebab terjadinya efusi pleura dengan
melakukan thoracocentesis dan analisa
cairan pleura.40

Pada pemeriksaan analisis cairan pleura,


selain hasil mikroskopis yang didapat pada
tabel 1 diatas, perlu diperhatikan juga
secara makroskopisnya seperti warna dan
baunya. Cairan pleura yang berwarna putih
seperti susu maka merupakan
cyclothoraks, kemudian jika cairan pleura
berwarna merah menunjukkan adanya
trauma ataupun suatu keganasan. Pada
efusi transudat cairan pleura umumnya
berwarna kekuningan, jernih serta tidak
berbau, sedangkan pada efusi eksudat
maka cairan pleura umumnya berupa pus
atau bercampur darah, keruh dan
menggumpal serta kadang dapat berbau.28
47

Penatalaksanaan
Aktivitas : Tirah baring Diet
Tujuan utama dalam penatalaksanaan efusi : Diet DM
pleura adalah meredakan gejala yang
ditimbulkan seperti sesak napas serta Terapi suportif :
pengobatan penyakit atau etiologi yang
• Oksigen 2-4 lpm nasal canule
mendasarinya. Pilihan terapinya dapat berupa
torakosentesis terapeutik, pemasangan selang • IVFD NaCl 0,9% 20gtt/I
dada, terapi fibrinolitik, pleurodesis dan (makro)
pembedahan bergantung pada jenis efusi
pleura, stadium dan penyakit yang Medikamentosa:
mendasarinya.37
Pengobatan spesifik pada kasus efusi • Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12
pleura tergantung pada etiologi yang jam IV
mendasarinya. Efusi pleura yang terkait
dengan penyakit jaringan ikat seperti • Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam
rheumatoid arthritis dan lupus eritematosus IV
sistemik diobati dengan steroid dan proses
penyembuhan dapat terjadi dalam 2
minggu. Efusi pleura pada tuberkulosis
diobati dengan terapi OAT (obat anti • Injeksi ketorolac 10 mg/ 8 jam
tuberkulosis) yaitu rifampisin, isoniazid, IV
pirazinamid dan etambutol selama 2 bulan
diikuti dengan rifampisin dan isoniazid • Ambroxol tab 3 x 30 mg
selama 4 bulan. Efusi akibat gagal jantung
kongestif biasanya membaik cukup cepat • B comp tab 2x1
saat diberi terapi diuretik.27
• Vit B6 1x100 mg

• Rifampicin 600 mg 1x1

• Isoniazid 300 mg 1x1

• Pirazinamid 1500 mg 1x3

• Etambutol 1500 mg 1x3

• Vitamin B6 1x100 mg
48

• Injeksi novorapid 10-10-10 IU


SC

• Injeksi Levemir 0-0-12 IU SC

• Candesartan tab 1x8mg

• Amlodipine tab 1x10mg


(malam)

Indikasi kortikosteroid pada TB adalah TB


milier, meningitis TB, efusi pleura berat, efusi
pericardium, dan obstruksi saluran napas.
Dosisnya adalah Prednison PO 30-60mg 1x
sehari, pagi hari. Tapering off perlahan setelah 4
minggu.
Salah satu pilihan terapi pada kasus efusi
pleura adalah torakosentesis yang
merupakan teknik drainase menggunakan
jarum yang diinsersikan ke dalam rongga
pleura untuk mengevakuasi cairan.
Torakosentesis dapat digunakan untuk
tujuan diagnostik maupun terapeutik.28

Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus


tipe 2 secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes.
Tujuan penatalaksanaan meliputi :41

1. Tujuan jangka pendek:


menghilangkan keluhan DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah
dan menghambat progresivitas
49

penyulit mikroangiopati dan


makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.
Penatalaksanaan DM dimulai dengan
menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi
medis dan aktivitas fisik) bersamaan
dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau
suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat
diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, atau
adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke
pelayanan kesehatan sekunder atau tersier.
Bagi pasien yang sudah terdiagnosis
diabetes dapat diberikan edukasi kepada
pasien dapat berupa :41
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki,
termasuk di pasir dan air.

2. Periksa kaki setiap hari dan dilaporkan pada


dokter apabila kulit terkelupas, kemerahan,
atau luka.
50

3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum


memakainya

4. Selalu menjaga kaki dalam


keadaan bersih, tidak basah,
dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang
kering.

5. Potong kuku secara teratur.

6. Keringkan kaki dan sela – sela jari


kaki secara teratur setelah dari
kamar mandi.

7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun


yang tidak menyebabkan lipatan pada
ujung – ujung jari kaki.

8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan


secara teratur.

9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki,


gunakan alas kaki yang dibuat khusus.

10. Sepatu tidak boleh terlalu


sempit atau longgar, jangan
gunakan hak tinggi.

11. Hindari penggunaan bantal atau botol


berisi air panas/batu untuk menghangatkan
kaki
51

Prinsip pengaturan makan pada penyandang


DM hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,
terutama pada mereka yang menggunakan obat
yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri. Latihan fisik juga
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DM tipe 2. Program latihan fisik secara teratur
dilakukan 3 – 5 hari seminggu selama sekitar
30 – 45 menit, dengan total 150 menit per
minggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih
dari 2 hari berturut-turut.41
Terapi farmakologis diberikan dalam
bentuk oral maupun bentuk suntikan, beberapa
jenis terapi farmakologisnya adalah :41
1. Obat Antihiperglikemia Oral
a. Pemacu Sekresi insulin :
- Sulfonilurea - Obat golongan ini
mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pancreas.
- Glinid - obat golongan ini cara kerjanya
mirip dengan sulfonilurea, namun berbeda
lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa
52

penekanan pada peningkatan sekresi insulin


fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat
ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
- Metformin - Metformin mempunyai efek
utama meng-urangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki
ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama
pada sebagian besar kasus DM tipe 2.
- Tiazolidinedion(TZD) - Tiazolidinedion
merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma
(PPAR- gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan
hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer .
c. Penghambat Alfa Gukosidase - Obat ini
bekerja dengan menghambat kerja
53

enzim alfa glukosidase di saluran


pencernaan sehingga menghambat
absorpsi glukosa dalam usus halus.
d. Penghambat enzim Dipeptidyl
Peptidase-4(DPP-4 Inhibitor) -
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah
suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh
dan meng inhibisi aktivasi dari
glucagon-like peptide-1(GLP-1)
sehingga dapat memperbaiki toleransi
glukosa, meningkatkan respons insulin,
dan mengurangi sekresi glukagon
e. Penghambat enzim sodium Glucose co-
Transporter 2(SGLT-2 Inhibitor) - Obat
ini bekerja dengan cara menghambat
reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal
dan meningkatkan ekskresi glukosa
melalui urin.
2. Obat Antihiperglikemia Suntik :
a. Insulin
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic -
Inkretin mimetik adalah hormon
peptida yang disekresi
gastrointestinal setelah makanan
dicerna, yang mempunyai potensi
untuk meningkatkan sekresi insulin
melalui stimulasi glukosa. Agonis
54

GLP-1 mempunyai efek


menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon,
menghambat nafsu makan, dan
memperlambat pengosongan
lambung sehingga menurunkan
kadar glukosa darah postprandial.
55

BAB VI

KESIMPULAN

Pasien laki-laki berusia 49 tahun bernama bapak I didiagnosis dengan Efusi Pleura
LargeDextra ec. TB Milier ( Pengobatan fase awal )+ DM Tipe 2 + Hipertensi Stage
I. Pasien dirawat diRumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan dan
didatalaksana dengan tirah baring, diet DM dan diberi terapi suportif berupa
Oksigen 2-4 lpm nasal canule dan IVFD NaCl 0,9% 20gtt/I (makro) dan diberi
medikamentosa berupa Injeksi Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12 jam IV, Injeksi Ranitidin
50 mg/12 jam IV, Injeksi ketorolac 10 mg/ 8 jam IV, Ambroxol tab 3 x 30 mg, B
comp tab 2x1, Vit B6 1x100 mg, Rifampicin 600 mg 1x1, Isoniazid 300 mg 1x1,
Pirazinamid 1500 mg 1x3, Etambutol 1500 mg 1x3, Vitamin B6 1x100 mg, Injeksi
novorapid 10-10-10 IU SC, Injeksi Levemir 0-0-12 IU SC, Candesartan tab 1x8mg,
Amlodipin tab 1 x 10 mg (malam)
56

DAFTAR PUSTAKA

1. Charalampidis C, Youroukou A, Lazaridis G. Pleura Space Anatomy. Journal


of Thoracic Disease. 2015;7(1):27-32.
2. Ali J, Summer WR, Levitzky MG. Pulmonary Pathophysiology A Clinical
Approach. 3rd ed. New York: McGraw-Hill, 2010.
3. Krishna R, Rudrappa M. Pleural Effusion. [Updated 2021 Aug 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448189/
4. Adeoye PO, Johnson WR, Desalu OO, Ofoegbu CP, Fawibe AE, Salami AK,
et al. Etiology, clinical characteristics, and management of pleural effusion.
Niger Med J. 2017;58(2):76-80.
5. Dancel R, Schnobrich D, Puri N, Franco-Sadud R, Cho J, Grikis L, Lucas BP,
El-Barbary M, Society of Hospital Medicine Point of Care Ultrasound Task
Force. Soni NJ. Recommendations on the Use of Ultrasound Guidance for
Adult Thoracentesis: A Position Statement of the Society of Hospital Medicine.
J Hosp Med. 2018;13(2):126-135.
6. Dwianggita P. Etiologi Efusi Pleura pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali Tahun 2013. Intisari Sains Medis.
2016;7(1):57-66.
7. Jany B, Welte T. Pleural Effusion in Adults-Etiology, Diagnosis, and
Treatment. Dtsch Arztebl Int. 2019;116(21):377-386.
8. Karkhanis VS, Joshi JM. Pleural effusion: diagnosis, treatment, and
management. Open Access Emerg Med. 2012;4:31-52.
9. Bambang S. Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran UNISSULA.
Anatomi Fisiologi Pleura. 2011.
10. Djojodibroto D. Respirologi (Respiratory Medicine) edisi Bahasa Indonesia
Monica Ester. Jakarta: EGC.
11. Wijaya AS, Putri YM. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa. 2013. Yogyakarta: Nuha Medika.
12. Khan FY, Alsamawi M, Yasin M, Ibrahin AS, Hamza M, Lingawi M, et al.
Etiology of pleural effusion among adults in the State of Qatar: a 1-year
hospital-based study. Eastern Mediterranean Health Journal. 2011;17(7):611-
618.
13. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. United States: McGraw-Hill
Education, 2018.
14. West HJ. Malignant Pleural Effusions. JAMA Oncol. 2015;1(2):260.
15. Zablockis R, Petruskeviciene R, Nargela RV. Causes and risk factors of pleural
empyema and complicated parapneumonic pleural effusion. Medicina
(Kaunas). 2010;46(2):113-119.
57

16. Cheny YL, Lin CT, Wang HB, Chang H. Pleural effusion complicating after
Nuss procedure for pectus excavatum. Ann Thorac Cardiovasc Surg.
2014;20(1):6-11.
17. Porcel JM. Biomarkers in the diagnosis of pleural disease: a 2018 update. Ther
Adv Respir Dis. 2018;12:1-11.
18. Guinde J, Georges S, Bourinet V, Laroumagne S, Dutau H, Astoul P. Recent
developments in pleurodesis for malignant pleural disease. Clinical Respiratory
Journal. 2018;12(10):2463-2468.
19. Thomas R, Jenkins S, Eastwood PR, Lee YCG, Singh B. Physiology of
breathlessness associated with pleural effusions. Curr Opin Pulm Med.
2015;21(4):338-45.
20. Marcondes BF, Vargas F, Paschoal FH, Cartaxo AM, Teixeira, Genofre EH.
Sleep in patients with large pleural effusion: impact of thoracentesis. Sleep
Breath. 2012;16(2):483-9.
21. Barnes TW, Morgenthaler TI, Olson EJ, Hesley GK, Decker PA, Ryu JH
(2005). "Torasentesis yang dipandu secara sonografis dan laju
pneumotoraks" . USG Jclin . 33(9): 442–
6. doi : 10.1002/jcu.20163 . PMID 16281263
22. Colt, H. 2013, “Drainage techniques”, in Light, R.W., Lee, Y.G.C., editors,
Textbook of Pleural Disease, 3rd edn, pp 534
23. Díaz G, Castro DJ, Pérez-Rodríguez E (2000). "Faktor yang berkontribusi
terhadap pneumotoraks setelah thoracentesis" . Dada . 117 (2): 608–
9. PMID 10669716 .
24. Doelken P, Huggins JT, Pastis NJ, Sahn SA (2004). "Manometri pleura: teknik
dan implikasi klinis" . Dada . 126 (6): 1764
9. doi : 10.1378/dada.126.6.1764 . PMID 15596671 .
25. Jany, B., Welte, T. 2019, ‘Pleural Effusion in Adults—Etiology, Diagnosis, and
Treatment’, Dtsch Arztebl Int, 116(21), pp. 377-386
26. Josephson T, Nordenskjold CA, Larsson J, Rosenberg LU, Kaijser M
(2009). "Jumlah yang terkuras pada torakosentesis dengan panduan ultrasound
dan risiko pneumotoraks" . Akta Radiol . 50 (1): 42–
7. doi : 10.1080/02841850802590460 . PMID 19052935
27. Karkhanis, V.S., Joshi, J.M. 2012, ‘Pleural effusion: diagnosis, treatment and
management’, Dove Medical Press, pp 31-52
28. Light, R.W. 2013, ‘Pleural Disease’, 6th edn, Lippincott Williams & Wilkins,
Philladelphia, pp. 1-4.
29. Molander V, Diakopoulou M, Orre L, Ferrara G (2013). "Empiema kronis:
pentingnya mencegah komplikasi dalam pengelolaan efusi pleura" . Perwakilan
Kasus BMJ . 2013 . doi : 10.1136/bcr-2013-
200454 . PMC 3762540 . PMID 23946529
30. Namba R, Yamamoto Y, Nawa T, Endo K (2009). "[Sebuah kasus sindrom
cedera postcardiac dengan pleuritis berulang setelah trauma tumpul
dada]" . Nihon Kokyuki Gakkai Zasshi . 47 (12): 1161–5. PMID 20058698
58

31. Okubo T, Kawada M, Suzuki Y, Kawarada Y, Kitashiro S, Okushiba S


(2013). "[Edema paru reekspansi setelah thoracentesis]" . Kyobu Geka . 66 (6):
456–9. PMID 23.917.048
32. Ponrartana S, Laberge JM, Kerlan RK, Wilson MW, Gordon RL
(2005). "Manajemen pasien dengan pneumotoraks "ex vacuo" setelah
thoracentesis" . Acad Radiol . 12 (8): 980–
6. doi : 10.1016/j.acra.2005.04.013 . PMID 16087092 .
33. Rachana Khrisna, Mohan Rudrappa (2021).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448189/
34. Remetz MS, Cleman MW, Cabin HS (1989). "Komplikasi paru dan pleura
penyakit jantung". Clin Chest Med. 10 (4): 545–92. PMID 2.689.066 .
35. Stelzner TJ, Raja TE, Antony VB, Sahn SA (1983). "Manifestasi
pleuropulmonary dari sindrom cedera postcardiac" . Dada . 84 (4): 383–
7. PMID 6617272
36. Sziklavari Z, Neu R, Hofmann HS, Ried M (2015). "[Efusi pleura persisten
setelah operasi toraks]" . Chirurg . 86 (5): 432–6. doi : 10.1007/s00104-014-
2863-2 . PMID 25920472
37. McGrath E. Diagnosis of Pleural Effusion: A Systematic Approach.
American Journal of Critical Care 2011; 20: 119-128.
38. Cruz AT, Starke JR. Clinical manifestations of tuberculosis in children
2007;8(2):107-17.
39. Selvi, Liemena. 2014. Comparison of Diagnostic Examination appearance
Tuberculosis Antigen Rapid Test Kit Between Sputum Tuberculosis And Lung
Patient Serum, pp. 109-121.
40. Light RW, Lee YG. 2008 Textbook of Pleural Disease, 2nd edition, Hudder
& Arnold, UK, pp. 26; 341-362.
41. Soelistijo Soebagijo Adi dkk.2019, Pegelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. Pp. 16-34.

Anda mungkin juga menyukai