Anda di halaman 1dari 29

DrLaporan Kasus Internsip:

EPILEPSI

Oleh:
dr. Ninda Afrini

Dokter Pendamping:
dr. Zulkarnaini ZA

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD TEUKU UMAR
ACEH JAYA
2022

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat
dan hidayah-Nya, tugas presentasi laporan kasus telah dapat diselesaikan. Selanjutnya
shalawat beserta salam penulis haturkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Adapun judul tugas ini adalah “Epilepsi” Tugas ini diajukan sebagai salah satu
tugas dalam menjalani Program Dokter Intersip Indonesia di RSUD Teuku Umar. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dokter pendamping RSUD Teuku Umar dr.
Zulkarnaini ZA yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian laporan
kasus ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan.Penulis tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun agar
tercapai hasil yang lebih baik kelak. Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat
bermammfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran
khususnya. Semoga ALLAH SWT selalu Memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya basgi
kita semua.

Aceh Jaya, 22 Juli 2022

dr.Ninda Afrini

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
LEMBAR PENILAIAN............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... iii
ABSENSI..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR................................................................................ v
DAFTAR ISI............................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3


2.1 Definisi .................................................................................... 3
2.2 Fisiologi Impuls Saraf ............................................................. 3
2.3 Epidemiologi ........................................................................... 6
2.4 Etiologi .................................................................................... 6
2.5 Klarifikasi................................................................................. 7
2.6 Patofisiologi............................................................................. 8
2.7 Manifestasi Klinis.................................................................... 8
2.8 Diagnosis.................................................................................. 13
2.9 Tatalaksana............................................................................... 19
2.10 Prognosis................................................................................ 23

BAB III LAPORAN KASUS..................................................................... 24


3.1 Identitas Diri............................................................................. 24
3.2 Anamnesis................................................................................ 24
3.3 Pemeriksaan Fisik.................................................................... 25
3.4 Pemeriksaan Penunjang........................................................... 27
3.5 Diagnosis.................................................................................. 28
3.6 Tatalaksana............................................................................... 28
3.7 Prognosis.................................................................................. 29
3.8 Follow Up................................................................................. 29

iv
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 31
4.1 Analisa Kasus .......................................................................... 31

BAB V KESIMPULAN............................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 33

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


International League Against Epilepsy merupakan sebuah organisasi kesehatan
internasional yang berfokus pada bidang epilepsi dan memiliki sejarah yang panjang
dan kontribusi yang besar dalam Kemajuan pengetahuan, dorongan penelitian,
promosi pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan advokasi terkait dengan penyakit dan
penderita epilepsi. Oleh karena itu klasifikasi menurut ILAE dapat menjadi pedoman
yang tepat dalam menentukan diagnosis.

Sebelum membahas penyakit ini, terlebih dahulu diingatkan kembali mengenai


batasan dari epilepsi. Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
(seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten
yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-
neuron secara paroksismal dan disebabkan oleh berbagai etiologi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi2,10
2.1.1 Definisi Bronchopneumonia

Bronchopneumonia menurut adalah radang paru-paru yang mempunyai penyebaran


bercak, teratur dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan
meluas ke parenkim paru. Bronchopneumonia merupakan peradangan parenkim
paru yang disebabkan oleh bakteri, virus,jamur, ataupun benda asing yang ditandai
dengan gejala panas yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat dan dangkal, muntah,
diare, serta batuk kering, dan produktif
(Hidayat,2009).

Bronchopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang mempunyai


pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi dalam
bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan disekitarnya. Pada
bronchopneumonia terjadi konsolidasi area bercak.
Bronchopneumonia adalah suatu cadangan pada parenkim paru yang meluas sampai
bronkioli atau dengan kata lain peradangan yang terjadi pada jaringan paru melalui
cara penyebaran langsung melalui saluran pernafasan atau melalui hematogen
sampai ke bronkus (Sujono dan Sukarmin,2013).

2.1.2 Klasifikasi Bronchopneumonia


Pneumonia diklasifikasikan berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis sebagai
berikut:

2
1. pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris dengan
opasitas lobus atau lobularis.
2. Pneumonia atipikal,ditandai gangguan respirasi yang meningkat lambat
dengan gambaran infiltrate paru bilateral yang difus.
3. Pneumonia aspirasi, sering pada bayi dan anak
Klasifikasi pneumonia berdasarkan kuman penyebab adalah sebagai berikut:
1. Pneumonia bakteralis /topical,dapat terjadi pada semua usia,beberapa
kumantendensi menyerang semua orang yang peka,misal :
a. klebsiela pada orang alkoholik.
b. stapilokokus pada influenza.
2. Pneumonia atipikal,sering mengenai anak dan dewasa muda dan disebabkan oleh
Mycoplasma dan Clamidia.
3. Pneumonia karena virus,sering pada bayi dan anak.
4. Pneumonia karena jamur,sering disertai imfeksi sekunder terutama pada orang
dengan daya tahan lemah dan pengobatannya lebih sulit.(Riyadi,2011)

Klasifikasi pneumonia berdasarkan prediksi infeksi adalah sebagai berikut:

1. Pneumonia lobaris mengenal satu lobus atau lebih, disebabkan karena obstruksi
bronkus,misalnya aspirasi benda asing,proses keganasan.
2. Bronchopneumonia, adanya bercak-bercak infiltrate pada paru dan disebabkan
oleh virus atau bakteri (Riyadi,2011).

2.1.3 AnatomiSaluran Pernafasaan

Saluran pernafasaan dibagi menjadi dua, yaitu saluran pernafasaan atas dan saluran
pernafasaan bawah yaitu:
a. Saluran pernafasaan bagian atas
Saluran pernafasan bagian atas terdiri dari hidung, kavitas nasalis, faring, laring,
dan epiglotis, yang berfungsi menyaring, menghangtkan, dan melembabkan udara
yang dihirup (Marni, 2014).
1) Hidung
Bagian ini terdiri atas nares anterior dan rongga hidung. Nares anterior (saluran
didalam lubang hidung) yang memuat kelenjar subaseus dengan ditutupi bulu kasar

3
yang bermuara ke rongga hidung. Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang
mengandung pembuluh darah.udara yang masuk melalui hidung akan disaring oleh
bulu-bulu yang ada di vestibulum dan akan dihangatkan serta
dilembabkan. Menurut Scanlon dan Sanders, menyatakan bahwa kavitas nasalis
terdapat pada tenggorok, dispisahkan oleh septum nasi, yang merupakan lempeng
tulang yang terbuat dari tulang etmoidalis dan vomer. Udara yang melewati kavitas
nasalis dihangatkan dan dilembabkan, sehingga udara yang dicapai paruparu hangat
dan lembab. Dalam kavitas nasalis bagian atas terdapat
reseptorolfaktorius, yang berfungsi mendeteksi adanya uap kimia di inhalasi (Marni,
2014).

2) Faring

Merupakan pipa yang memiliki otot, mulai dasar tengkorak sampai esophagus,
terletak dibelakang hidung (nasofaring). Faring terdiri atas nasofaring, orofaring,
fan laringofaring. Palatum molle terangkat pada saat menelan untuk menutup
nasofaring dan mencegah makanan saliva naik, bukan turun. Nasofaring ini hanya
untuk jalanya udara, faring juga berfungsi untuk jalan udara dan makanan, tetapi
tidak pada saat bersamaan. Orofaring berada dibelakang mulut, merupakan
kelanjutan rongga mulut. Sedangkan laringofaring adalah bagian yang paling bawah
faring, bagian anterior menuju laring dan bagian posterior menuju esofagus (Marni,
2014).

3) Laring

Saluran pernafasaan setelah faring yang terdiri atas bagian tulang rawan, yang
berfungsi untuk berbicara, sehingga sering disebut kotak suara. Selain untuk
berbicara, laring juga berfungsi sebagai jalan udara anatara faring dan trakea
(Marni, 2014).

4) Epiglotis
Merupakan katup tulang rawan yang berfungsi membantu menutup laring ketika
orang sedang makan, untuk mencegah makanan masuk kedalam laring (Marni,

4
2014).

b. Saluran pernafasaan bawah

Saluran pernafasaan bawah terdiri dari trakea, tandan bronkus, segmen bronkus
dan bronkiolus, yang berfungsi mengalirkan udara dan memproduksi surfaktan
(Marni, 2014).
1) Trakea
Trakea (batang tenggorok) merupakan tabung berbentuk pipa seperti huruf C, yang
dibenuk oleh tulang rawan yang terletak mulai laring sampai ketepi bawah kartilago
krikoid vetebra torakalis V, dengan panjang kurang lebih 9cm. Trakea terususun
atas 16-20 lingkaran tidak lengkap yang berupa cincin. Trakea ini dilapisi oleh
selaput lendir yang terdiri epitelium bersilia yang dapat mengeluarkan debu atau
benda asing (Marni, 2014).
2) Bronkus
Bronkus merupakan percabangan dari trakea, dimana bagian kanan lebih pendek
dan lebar dibanding bronkus kiri. Bronkus kanan memiliki tiga lobus, yaitu lobus
atas, dan lobus bawah. Sednagkan bronkhus kiri lebih panjang, memiliki dua lobus,
yaitu lobus atas dan lobus bawah. Kemudian saluran setelah bronkhus
adalah bagian percabangan yang disebut bronkhiolus (Marni, 2014).
3) Paru-paru
Paru merupakan organ utama dalam sistem pernafasaan. Paru terletak dalam
rongga torak setinggi selangka sampai dengan diagfragma. Paru terdiri atas
beberapa lobus yang diselaputi oleh pleura parietalis dan pleura viseralis, serta
dilindungi oleh cairan pleura yang berisi cairan surfaktan. Paru sebagai alat
pernafasaan utama terdiri atas dua bagian, yaitu paru kanan dan kiri. Pada bagian
tengah organ ini terdapat organ jantung beserta pembuluh darah yang berbentuk
kerucut, dengan bagian puncak disebut apeks. Paru memiliki jaringan yang elastis,
berpori, serta berfungsi sebagai tempat pertukaran gasoksegen dan karbon dioksida
(Alimul, 2008).

Paru manusia terbentuk sejak dalam rahim, pada saat paru mempunyai panjang
3mm. Sedangkan alveoli mulai berkembang setelah bayi dilahirkan, dan jumlahnya
terus meningkat hingga anak berusia delapan tahun. Ukuran alveoli bertambah

5
besar sesuai dengan perkembangan dinding thoraks. Paru merupakan organ utama
pada sistem pernafasaan.Paru terdiri dari beberapa lobus yang diselaputi oleh
pleura, yaitu pleura parietalis, dan viseralis, selain itu juga paru dilindungi oleh
cairan pleura yang berisi cairan surfaktan. Pleura adalah membran serosa yang
halus, membentuk kantong tempat paru berada. Sebagai organ utama pada sistem
pernafasaan, paru terdiri dari dua bagian, yaitu paru kanan dan paru kiri. Bagian
tengah dari organ tersebut terdapat organ jantung berserta pembuluh darah yang
berbentuk kerucut, bagian puncaknya disebut apeks. Paru memiliki jaringan yang
bersifat elastis, berpori dan memliliki fungsi pertukaran gas oksigen dan
karbondioksida (Marni, 2014).

2.1.4 Etiologi Bronchopneumonia


Secara umum bronchopneumonia diakibatkan penurunan mekanisme pertahanan
tubuh terhadap virulensi organisme pathogen. Orang normal dan sehat mempunyai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yang terdiri atas: reflek
glottis dan batuk,adanya lapisan mucus, gerakan silia yang menggerakkan kuman
keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat. Timbulnya bronchopneumonia
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, mikobakteri, mikoplasma, dan
riketsia. (Sandra M.Nettiria) antara lain:
1. Bakteri : streptococcus, staphylococcus,H.influenza,Klebsiella.
2. Virus : legionella Pneumoniae
3. Jamur : aspergillus Spesies,Candida Albicans
4. Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung ke dalam paru-paru.
Terjadi karena kongesti paru yang lama. Penyebab tersering bronchopneumonia
pada anak adalah pneumoniakokus sedang penyebab lainnya antara lainya antara
lain:
Streptococus pneumonia, stapilokokus aureus haemophillus influenza, jamur (seperti
candida albicans), dan virus. Pada bayi dan anak kecil ditemukan staphylococcus
aureus sebagai penyebab yang berat, serius dan sangat progresif dengan mortalitas
tinggi (Sujono dan Sukarmin,2013).
Penyakit pneumonia biasanya disebabkan karena beberapa factor,

di antaranya adalah:

6
1. Bakteri (pneumokokus, streptokokus, stafilokokus, H.influenza,

Klebsiela mikoplasma pneumonia)

2. Virus (virus adena, virus parainfluenza, virus influenza)

3. Jamur/fungi (histoplasma, capsulatum, koksidiodes)

4. Protozoa (pneumokistis karinti)

5. Bahan kimia (aspirasi makanan/susu/isi lambung), keracunan

hidrokarbon (minyak tanah dan bensin) (Riyadi,2011).

2.1.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala bronchopneumonia adalah sebagai berikut:

1. Biasanya didahului infeksi traktus respiratoris atas.

2. Demam (39℃-40℃) kadang-kadang disertai kejang karena demam

yang tinggi.

3. Anak sangat gelisah dan adanya nyeri dada yang terasa ditusuk-tusuk

yang dicetuskan oleh bernafas dan batuk.

4. Pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan

sianosis sekitar hidung dan mulut.

5. Kadang-kadang disertai muntah dan diare.

7
6. Adanya bunyi tambahan pernapasan seperti ronchi dan wheezing.

7. Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya

serius.

8. Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mucus yang

menyebabkan atelektasis absorbs. (Wijayaningsih,2013)


Bronchopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi di

saluran pernafasan bagian atas selama beberapa hari. Pada tahap awal,

penderita bronchopneumonia mengalami tanda dan gejala yang khas

seperti menggigil, demam, nyeri dada pleuritis, batuk produktif, hidung

kemerahan, saat bernafas menggunakan otot aksesorius dan bisa timbul

sianosis. Terdengar adanya krekles di atas paru yang sakit dan terdengar

ketika terjadi konsolidasi (pengisian rongga udara oleh eksudat)

Bronchopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratorius

bagian atas selama beberapa hari.Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak

sampai 39-40℃ dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi.

Anak sangat gelisah, dyspnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai

pernafasan cuping hidung serta sianosis sekitar hidung dan mulut, merintih

8
dan sianosis. Kadang-kadang diserti muntah dan diare. Batuk biasanya

tidak ditemukan pada permulaan penyakit, tetapi setelah beberapa hari

mula-mula kering kemudian menjadi produktif. Hasil pemeriksaan fisik

tergantung dari luas daerah auskultasi yang terkena. Pada perkusi sering

tidak ditemukan kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar

ronchi basah nyaring halus atau sedang. Bila sarang bronchopneumonia

menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar keredupan dan

suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Anak yang lebih

besar dengan pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang sakit

dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Tanda pneumonia berupa retraksi

( penarikan dinding dada bagian bawah kedalam saat bernafas bersama

dengan peningkatan frekuensi nafas ) perkusi pekak, fremitus melemah,


suara nafas melemah dan ronchi. Pada neonatus dan bayi kecil tanda

pneumonia tidak selalu jelas. Efusi pleura pada bayi akan menimbulkan

pekak perkusi. (Sujono dan Sukarmin,2013).

2.1.6 Patofisiologi

Kuman masuk kedalam jaringam paru-paru melalui saluran pernafasan dari


atas untuk mencapai bronchioles dan kemudian alveolus sekitarnya. Kelainan
yang timbul berupa bercak konsolidasi yang tersebar pada kedua paru-

9
paru,lebih banyak pada bagian basal.Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat
inhalasi mikroba yang ada di udara, aspirasi organisme dari nasofarinks atau
penyebaran hematogen dari focus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke
paru melalui saluran nafas masuk ke bronkioli dan alveoli, menimbulkan
reaksi perdangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein
dalam alveoli dan jaringan interstisial. Kuman pneumokokus dapat meluas
melalui poruskohn dari alveoli ke seluruh segmen atau lobus.Eritrosit
mengalami perembesan dan beberapa leukosit dari kapiler paru-paru.Alveoli
dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin
serta relative sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar.Paru
menjadi tidak berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah.Pada tingkat
lebih lanjut, aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relative
sedikit eritrosit. Kuman pneumokokus di fagositosis oleh leukosit dan sewaktu
resolusi berlangsung,makrofag masuk ke dalam alveoli dan menelan leukosit
bersama kuman pneumokokus didalamnya.Paru masuk dalam tahap
hepatisasi abu-abu dan tampak berwarna bau-abu kekuningan. Secara
perlahan-lahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin dibuang dari
alveoli. Terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa
kehilangan kemampun dalam pertukaran gas. Akan tetapi apabila proses
konsolidasi tidak dapat berlangsung dengan baik maka setelah edema dan
terdapatnya eksudat pada alveolus maka membrane dari alveolus akan
mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan gangguan proses diffusi
osmosis oksigen pada alveolus. Perubahan tersebut akan berdampak pada
penurunan jumlah oksigen yang dibawa oleh darah. Penurunan itu yang
secara klinis penderita mengalami pucat sampai sianosis. Terdapatnya cairan
purulent pada alveolus juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pada
paru, selain dapat berakibat penurunan kemampuan mengambil oksigen dari
luar juga mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru. Penderita akan
berusaha melawan tingginya tekanan tersebut menggunakan otot-otot bantu
pernafasan (otot interkosta) yang dapat menimbulkan peningkatan retraksi
dada. Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)
mikroorganisme yang terdapat dalam paru dapat menyebar ke bronkus.
Setelah terjadi fase peradangan lumen bronkus bersebukan sel radang akut,
terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh

10
dengan netrofil (bagian leukosit) yang banyak pada saat awal peradangan dan
bersifat fagositosis dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan
mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga dapat
timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi eksudat dapat terjadi karena
absorbsi yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh,
mengandung banyak kumanpenyebab (streptokokus, virus dll). Selanjutnya
eksudat berubah menjadi purulen, dan menyebabkan sumbatan pada lumen
bronkus. Sumbatan tersebut dapat mengurangi asupan oksigen dari luar
sehingga penderita mengalami sesak nafas. Terdapatnya peradangan pada
bronkus dan paru
juga akan mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan peningkatan
gerakan silia pada lumen bronkus sehingga timbul peningkatan reflek batuk.
Perjalanan patofisiologi diatas bisa berlangsung sebaliknya yaitu
didahului dulu dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang menjadi
infeksi pada paru. (Sujono dan Sukarmin,2013).
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan
oleh virus penyebab bronkopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan
sehingga terjadi peradangan bronkus dan alveolus dan jaringan sekitarnya.
Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan secret, sehingga terjadi
demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme
tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu:

a. Stadium 1(4-12 jam pertama/kongesti)


Disebut hyperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler ditempat infeksi.

b. Stadium 2/hepatisasi (48 jam berikutnya)


disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit,dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merah dan pada peraban seperti hepar, pada stadium ini udara

11
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

c. Stadium 3/hepatisasi kelabu(3-8hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

d. Stadium 4/resolusi (7-11 hari)


Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. Inflamasi pada
bronkus ditandai adanya penumpukan secret, sehingga terjadi demam, batuk
produktif, ronchi positif, dan mual

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi bronchopneumonia adalah sebagai berikut:

1. Atelektasis

Adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru


merupakan akibat kurangnya mobilisasi reflek batuk hilang apabila
penumpukan secret akibat berkurangnya daya kembang paru-paru terus
terjadi dan penumpukan secret ini menyebabkan obstruksi bronkus
instrinsik.

2. Empisema

12
Adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.

3. Abses paru

Adalah penumpukan pus dalam paru yang meradang.

4. Infeksi sistemik

5. Endokarditis

Adalah peradangan pada katup endokardial.

6. Meningitis

Adalah infeksi yang menyerang pada selaput otak.(Ngastiyah,2012)

2.1.8 Penatalaksanaan

Pnatalaksanaan yang dapat diberikan pada anak dengan bronkopneumonia:

a. Pemberian obat antibiotic penisilin 50.000 U/kg BB/hari,ditambah


dengan kloramfenikol 50-70 mg/kg BB/hari atau diberikan antibioticyang
mempumyai spectrum luas seperti ampisilin.pengobatanini diteruskan sampai
bebas demam 4-5 hari. Pemberian obat kombinasi bertujuan untuk
menghilang penyebab infeksi yang kemungkinan lebih dari 1 jenis juga untuk
menghindari resistensi antibiotic.

b. Koreksi gangguan asam basa dengan pemberian oksigen dan cairan


intravena, biasanya diperlukan campuran glukosa 5% dan NaCl 0,9%
dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan Kcl 10 mEq/500ml/botol
infuse.

c. Karena sebagian besar pasien jatuh ke dalam asidosis metabolic akibat

13
kurang makan dan hipoksia, maka dapat diberikan koreksi sesuai dengan
hasil analisis gas darah arteri.

d. Pemberian makanan enteral bertahap melalui selang nasogastric pada


penderita yang sudah mengalami perbaikan nafasnya.

e. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier seperti
pemberian terapi nebulizer dengan flexolid dan ventiolin. Selain bertujuan
mempermudah mengeluarkan dahak juga dapat meningkatkan
lebar lumen bronkus (Sujono dan Sukarmin,2013

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Yanti
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 35 tahun
Alamat : Sampoinet
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
No. MR : 03 07 38
TMRS : 17 Mei 2022
Tanggal Pemeriksaan : 17 Mei 2022

3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
2. Keluhan Tambahan : Kejang
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran yang dialami sejak 2
jam SRMS, disertai dengan kejang seluruh badan terus menerus, setelah kejang
sempat tidak sadar selama 1 jam. Mengorok (-). Menurut keluarga pasien tadi
malam sempat kejang 1 kali dan langsung sadar, muntah (+). Demam (-) batuk (-)

14
sesak nafas (-). Pasien ada riwayat dengan keluhan yang sama tahun yang lalu
dirawat di ZA,
4. Riwayat penyakit dahulu :
- Kejang (+) pernah dirawat di RSUZA 6 tahun yang lalu selama 1 bulan
5. Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga mengeluhkan keluhan yang sama
6. Riwayat Pengobatan : Tidak ada
7. Riwayat Kebiasaan dan Sosial :
Pasien sehari-harinya adalah seorang Ibu rumah tangga.

3.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Present
1. Keadaan umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Sopor (E1M4V1)
3. Pengukuran Tanda vital
Tekanan Darah : 110/84 mmHg
Nadi : 83 kali/menit, reguler
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36.8 ° C
B. Status Generalis
1. Kulit : Warna : Sawo matang (tidak ada petekie)
Sianosis : tidak ada
Turgor : normal
Kelembaban : cukup
Pucat : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
2. Kepala : Bentuk : normosefali
Rambut : Warna : hitam
Mata : Bentuk : Eksoftalmus (-/-)
Palpebra : edem (-/-)
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut

15
Konjungtiva : pucat (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : Diameter : isokor, normal
Reflek cahaya : (+/+)
Kornea : jernih/jernih
Telinga : Bentuk: simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : tidak ada
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan : cuping hidung (-)
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut : Bentuk : simetris
Bibir : mukosa bibir basah
Gusi : pembengkakan tidak ada, berdarah tidak ada
Gigi-geligi : normal
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan
Faring : Hiperemi : tidak ada
Edema : tidak ada
Tonsil : Warna : kemerahan
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
3. Leher :
Vena Jugularis, Pulsasi : R+2 cmH2O
Pembesaran kelenjar : pembesaran KGB (-)
Pembesaran Tiroid (-)
4. Toraks :
1. Dinding dada/paru :

16
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi : tidak ada
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi :
Suara Napas Dasar :Vesikuler (+/+)
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
2. Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi :
Batas Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan : ICS V linea parasternal dekstra
Batas Kiri : ICS VI 2 jari lateral linea axilla anterior sinistra
Auskultasi : BJ 1 > BJ 2, bising (-)
5. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk : datar, simetris, benjolan (-)
Palpasi : Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa : tidak ada

Perkusi : Timpani/pekak : timpani


Asites : Tidak ada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
6. Ekstremitas :
Akral hangat
Sianosis (-)
Edema (-)
7. Refleks : Refleks fisiologis : Patella (+/+)
Bisep (+/+)
Refleks patologis : Babinsky (-/-)
8. Pemeriksaan rangsang meningeal :
Kaku kuduk : (-)

17
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai
(17/05/2022) Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 11,5 12-16 g/dl
Eritrosit 4,02 (4,7-6,1)
106/l
Leukosit 5,72 (4,0-10,0)
103/l
Trombosit 242 (100-300)
103/l
Lemak
Kolesterol Total 202 <220mg/dl
Kolesterol HDL 61 >45mg/dl
Trigliserida 64 40-140mg/
dl
MetabolismeKarbohidrat
Glukosa Darah (Sewaktu) 202 <200mg/dl
Ginjal
Uream 37 15-45mg/dl

3.5 Diagnosis
Status Epileptikus
3.6 Tatalaksana
1. Farmakologi
 O2 4lpm nk
 IVFD Nacl 0.9% 10 tpm s/s Dextros 5%
 Inj. Ceftriaxone Igr/ 12 jam

18
 Inj. Diazepam ½amp (extra) – Bila masih kejang inj Diazeapam 1amp + Nacl
0,9% 2cc bolus pelan1
 Drip paracetamol 1gr/ 12 jam
 Fenitoin 3x10mg (via NGT)
 Depacote syr 3xc1
 Asam folat 3x1

2. Planing
 Rawat HCU
 Pasang NGT dan Kateter
 Pantau kejang
 Pantau jalan nafas, bila SPO2 < 60 lapor
 Pantau KGD/12 jam

3.7 Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Fungsionam: Dubia ad malam

3.8 Follow Up
Hari/Tgl Subjektif Objektif Assesment Terapi
Jumat Kejang (+) > Samnolen GCS Status Depacote syr
18 Mei 10x E2 M5 V2= 9 Epileptikus 3x5 cc
2022 Durasi <30 D TD: selanjutnya
Jarak 2 menit 110/80mmHg 3x10 cc
T: 36,50C, HR : Diazepam
90x/I, RR: 22x/i 2x1 amp
Kaku kuduk (-) Drip fenitoin
Reflex 100mg kec
patologis (-) 5cc/jam
- Inj lanjut
Sabtu Kejang (+) > GCS E3 M5 Depacote syr
19 Mei 3x V2= 10 TD: 3x5 cc
2022 Durasi <20 D 120/80mmHg selanjutnya

19
Jarak 3 jam T: 36,50C, HR : 3x10 cc
97x/I, RR: 20x/i Diazepam
Kaku kuduk (-) 2x1 amp
Reflex Drip fenitoin
patologis (-) 100mg kec
5cc/jam
- Inj lanjut
Minggu Kejang (+) > GCS E3 M5 Depacote syr
20 Mei 2x V2= 10 TD: 3x5 cc
2022 Durasi <20 D 120/80mmHg selanjutnya
Jarak 3 jam T: 36,50C, HR : 3x10 cc
97x/I, RR: 20x/i Diazepam
Kaku kuduk (-) 2x1 amp
Reflex Drip fenitoin
patologis (-) 100mg kec
5cc/jam
- Inj lanjut
Senin Kejang (-) GCS E3 M5 PAPS
21 Mei V3= 11 TD:
2022 120/85mmHg
T: 36,50C, HR :
97x/I, RR: 20x/i
Kaku kuduk (-)
Reflex
patologis (-)

20
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisa Kasus1,2,11,12


Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran yang dialami sejak 2 jam
SRMS, disertai dengan kejang seluruh badan terus menerus, setelah kejang sempat
tidak sadar selama 1 jam. Mengorok (-). Menurut keluarga pasien tadi malam sempat
kejang 1 kali dan langsung sadar, muntah (+). Demam (-) batuk (-) sesak nafas (-).
Pasien ada riwayat dengan keluhan yang sama tahun yang lalu dirawat di ZA,
Berdasarkan klinis, pasien tampak kejang seluruh badan disertai dengan
penurunan kesadaran. Berdasarkan teori kejang dipicu oleh perangsangan sebagian
besar neuron secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi
fungsi motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional)
secara lokal atau umum.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang
berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi
adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada
pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip
dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop
kardiovaskular.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi
seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema
mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang
terbatas. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang.
Pasien juga mendapat terapi fase stabilitas dan OAE selama kejang. Prognosis
pasien ini baik total (2), berdasarkan STESS.

21
BAB V
KESIMPULAN

Epilepsi merupakan kumpulan berbagai gejala dan tanda klinis, ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermitten yang
diakibatkan oleh terjadinya lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron –
neuron secara paroksismal.

International League Against Epilepsy mendefinisikan status epileptikus sebagai


aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.

Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu


klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi kejang menjadi 2
golongan utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan umum
(generalized-onset seizures).

Ketepatan diagnosis pada pasien dengan status epilepsi bergantung terutama pada
penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Untuk
mempermudah anamnesis, berikut perlu dintanyakan kepada pasien maupun saksi Family
history, Past history ,Systemic history, Alcoholic history, Drug history dan Focal
neurological symptoms and signs.

EEG merupakan tes untuk membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu
pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal.

Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki secepat


mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya dilakukan
dua tahap tindakan yakni stabilitas pasien dan menghentikan kejang dengan obat anti
kejang.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for


Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
2. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The A
treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000;
83:415-19.
3. Cavazos JE, Spitz M. Status Epilepticus.
http://emedicine.medscape.com/article/1164462 [diakses tanggal 07 Oktober 2013]
4. French, J.a. Pedley, T. A. Initial Management of Epilepsy. The new England
Journal of Medicine. 2008.
5. Guyton, Arthur C. 1987. Fisiologi Kedokteran. 148 – 168. Edisi ke 5. EGC. Jakarta.
6. Gretchen MB, et al. Guidelines for the Evaluation and Management of Status
Epilepticus. Neurocrit Care 2012 DOI 10.1007/s12028-012-9695-z
7. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94.
8. Heafield MT. Managing Status Epilepticus. BMJ. Edisi 8 April 2000.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1117894/ [diakses tanggal 08 Oktober
2013]
9. Huff JS. Status Epilepticus. http://emedicine.medscape.com/article/793708 [diakses
tanggal 06 Oktober 2013]
10. Ilae. Status Epilepticus. http://www.ilae-epilepsy.org/visitors/Documents/10-
statusepilepticus.pdf [ diakses tanggal 08 Oktober 2017]
11. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
12. Lee J, et al. Guideline for the management of convulsive status epilepticus in infants
and children. Issue: BCMJ, Vol. 53, No. 6, July, August 2011, page(s) 279-285
13. Lowenstein DH. Seizures and Epilepsy. In : Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine
15th Edition CD ROM. McGraw-Hill. 2001.
14. Paul E. Marik, MD, FCCP; and Joseph Varon, MD, FCCP. The Management of
Status Epilepticus. CHEST 2004; 126:582–591

23
15. Price, A. Silvia; Wilson, M. Lorraine, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, 901 – 929, 1021 – 1022, EGC, Jakarta, 1995.

24

Anda mungkin juga menyukai