Anda di halaman 1dari 33

Referat

DEPRESI PADA PASIEN TUBERKULOSIS

Oleh:

Oleh:
Nyimas Irina Silvani, S.Ked 04084821517063

Pembimbing:
dr. Tumpak Saragih, Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA DAERAH JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah yang berjudul “DEPRESI
PADA PASIEN TUBERKULOSIS” sebagai salah satu tugas yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Tumpak Saragih,
SpKJ selaku pembimbing yang telah membantu dalam penulisan dan memberi masukan
sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan. Semoga tugas ilmiah ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi
siapa saja yang membacanya.

Jambi, Juni 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL................................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi.......................................................................................................................... 3
2.1.1. Definisi............................................................................................................... 3
2.1.2. Epidemiologi....................................................................................................... 3
2.1.3. Etiologi dan Patofisiologi.................................................................................... 3
2.1.4. Gejala dan Penggolongan Diagnostik................................................................. 6
2.1.5. Beck Depression Inventory (BDI) ..................................................................... 11
2.2 Tuberkulosis Paru......................................................................................................... 11
2.2.1. Definisi............................................................................................................... 11
2.2.2. Patogenesis......................................................................................................... 11
2.2.3. Manifestasi Klinis............................................................................................... 14
2.2.4. Terapi.................................................................................................................. 15
2.3 Hubungan Tuberkulosis Paru dengan Depresi……...................................................... 17
2.4 Faktor yang Memengaruhi Gangguan Kejiwaan pada Penderita TB........................... 18
2.5 Penatalaksanaan............................................................................................................ 22
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 27

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor BDI........................................................................................ 11


Tabel 2. Regimen Pengobatan Tuberkulosis................................................ 15

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis......................................................... 13


Gambar 2. Algoritma Pengobatan Farmakoterapi Episode Depresi........... 25

v
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kronis menular terkait sistem organ traktus respiratorius yang


paling sering terjadi di dunia saat ini adalah tuberkulosis (TB) yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. TB Paru ditularkan melalui udara
(airborne diease), dimana kuman TB menular melalui droplet ketika penderita TB
paru aktif batuk, bersin, atau bicara. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant selama beberapa tahun
(Riskiyani et al., 2013).
Diperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit TB ini. Pada
tahun 2009 terdapat sekitar 9,4 juta insiden kasus TB secara global. Prevalensi di
dunia mencapai 14 juta kasus atau sama dengan 200 kasus per 100.000 penduduk
(Tirtana dan Musrichan, 2011). Data WHO menunjukkan di Indonesia setiap
tahunnya ditemukan 539.000 kasus baru TB BTA positif dengan kematian
101.000 jiwa. Menurut catatan Departemen Kesehatan sepertiga penderita tersebut
ditemukan di RS dan sepertiga lagi di puskesmas, sisanya tidak terdeteksi dengan
baik (Depkes, 2010).
Tingginya angka kejadian TB paru di dunia khususnya Indonesia
menimbulkan permasalahan yang berpotensi menyebabkan terjadinya depresi
yang disebabkan adanya perasaan rendah diri, penolakan atau isolasi sosial di
tengah masyarakat karena rasa takut untuk tertular, kurangnya dukungan keluarga,
ditambah dengan kenyataan terapi TB yang lama dan kompleks, komplikasi
penyakit, serta banyak kekhawatiran lain. Depresi merupakan satu masa
tergangunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan
gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya,
serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Faktor penyebab depresi terbagi atas faktor biologi, faktor genetik, dan
faktor psikososial. Namun yang paling banyak dilakukan penelitian adalah faktor
psikososial. Penyebab depresi dari faktor psikososial antara lain dikarenakan

vi
peristiwa kehidupan dan stres lingkungan, faktor psikoanalitik, dan psikodinamik
(Kaplan, 2010). Freud juga menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi
diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang
hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk
melepaskan diri terhadap objek yang hilang. Depresi menjadi suatu efek yang
dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya.
Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang
dicita-citakannya akan mengakibatkan keputusasaan.
Berdasarkan pemaparan tersebut penulis tertarik untuk mencari hubungan
terjadinya depresi pada pasien TB agar nantinya dapat bermanfaat dalam
mengidentifikasi gangguan mental dan respon psikologis terhadap penyakit fisik
pasien guna menganjurkan intervensi terapeutik yang paling tepat untuk
kebutuhan pasien.

vii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi
2.1.1. Definisi
Menurut Kaplan (2010), depresi merupakan salah satu gangguan
mood yang ditandai dengan hilangnya perasaan kendali dan pengalaman
subjektif adanya penderita berat. Mood adalah keadaan emosional internal
yang meresap dari seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi
emosional saat itu.
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai
dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap
sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan
energi, dan penurunan konsentrasi (WHO, 2010).

2.1.2. Epidemiologi
Gangguan depresi adalah suatu gangguan yang sering terjadi, dengan
prevalensi seumur hidup kira-kira 15% dan kemungkinan sekitar 25%
terjadi pada wanita. Terlepas dari kultur atau negara, prevalensi gangguan
depresi berat dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Rata-
rata usia onset untuk gangguan depresi berat kira-kira 40 tahun, 50% dari
semua pasien mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun. Beberapa data
epidemiologi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan depresi
berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari 20
tahun (Emirza, 2013).

2.1.3. Etiologi dan Patofisiologi


a. Faktor Biologis
Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin merupakan dua
neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.
Pada model binatang, hampir semua terapi antidepresan somatik yang
efektif adalah disertai dengan penurunan kepekaan reseptor pascasinaptik
adrenergik-beta dan 5-hydroxytryptamine tipe 2 (5-HT2) setelah terapi
jangka panjang.

viii
Noreprinefrin. Dalam beberapa penelitian diduga adanya peranan
langsung sistem noradrenergik dalam depresi. Jenis bukti lain juga
melibatkan reseptor adrenergik alfa-2 dalam depresi, karena aktivasi
reseptor tersebut menyebabkan penurunan jumlah noreprinefrin yang
dilepaskan. Reseptor adrenergik-alfa2 juga berlokasi pada neuron
serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan.
Serotonin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan
beberapa pasien yang bunuh diri memliki konsentrasi metabolit serotonin di
dalam cairan serebrospinalis yang rendah dan konsentrasi tempat ambilan
serotonin yang rendah di trombosit, beberapa pasien depresi juga memiliki
respons neuroendokrin yang abnormal, sebagai contoh hormon
pertumbuhan, prolaktin, dan hormon adrenokortikotropin (ACTH) terhadap
provokasi dengan agen serotonerik.
Dopamin. Walaupun noreprinefrin dan serotonin adalah amin
biogenik adalah yang paling sering dihubungkan dengan patofisiologi
depresi, dopamin juga telah diperkirakan memiliki peranan dalam depresi.
Data menyakan bahwa aktvitas dopamin mungkin menurun pada depresi
dan meningkat pada mania.
Regulasi neuroendokrin. Hipotalamus adalah pusat regulasi sumbu
neurohormonal dan hipotalamus sendiri menerima banyak masukan (input)
neuronal yang menggunakan transmiter amin biogenik. Berbagai disregulasi
telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood. Kelainan
neuroendokrin yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood
adalah penurunan sekresi nokturnal melatonin, penurunan pelepasan
prolaktin, penurunan kadar FSH dan LH, dan penurunan kadar testosteron
pada laki-laki.
Sumbu adrenal. Hubungan antara hipersekresi kortisol dan depresi
adalah salah satu pengamatan paling tua dalam psikiatri biologi. Neuron di
nukleus paraventrikular (PVN; paraventricular nucleus) melepaskan
corticotropin-releasing hormon (CRH), yang menstimulasi pelepasan
hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH
selanjutnya menstimulasi pelepasan kortisol dari korteks adrenal. Kortisol

ix
memberikan umpan balik (feed back) pada jaringan kerja melalui reseptor
kortisol di hipokampus dan menyebabkan penurunan pelepasan ACTH.
Suatu penelitian menemukan bahwa pasien depresi mungkin memiliki
fungsi reseptor kortisol yang abnormal di hipokampus. Banyak peneliti
menemukan bahwa hiperkortisolemia dapat merusak neuron hipokampus,
suatu siklus yang melibatkan stres, stimulasi pelepasan kortisol, dan
ketidakmampuan untuk menghentikan pelepasan kortisol dapat
menyebabkan bertambahnya kerusakan pada hipokampus yang telah
mengalami kerusakan. Beberpa penelitian mengatakan bahwa stres kronik
merupakan faktor pemicu terjadinya depresi, dimana stres itu sendiri tidak
hanya berdampak pada perilaku namun juga pada sistem endokrin, imunitas,
dan sistem neurotransmiter. Ditemukan adanya hubungan erat antara stres
dan perubahan pada HPA axis dan sistem pusat noreprinefrin. Depresi dapat
terjadi akibat dari adanya disfungsi pada area otak yang dimodulasi oleh
HPA axis seperti pada korteks frontalis, hipokampus, amygdala, dan basal
ganglia. Ditemukan juga bahwa area-area pada otak tersebut mempunyai
sensitivitas yang tinggi terhadap efek stres yang dikarenakan kejadian pada
masa lampa di kehidupan (Kaplan, 2012).
b. Faktor genetik
Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan
mood, tetapi jalur penurunan sangat kompleks. Tidak hanya sulit untuk
mengabaikan efek psikososial, tetapi juga, factor nongenetik kemungkinan
juga berperan sebagai penyebab berkembangnya gangguan mood setidak-
tidaknya pada beberapa orang.
Penelitian menunjukkan anak biologis dari orang tua yang terkena
gangguan mood berisiko mengalami gangguan mood walaupun anak
tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat. Penelitian pada anak kembar
menunjukkan anak kembar monozigot lebih besar kemungkinan mengalami
gangguan depresi daripada anak kembar dizigot (Tomb, 2004).

c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan klinis
yang telah lama direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan

x
stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada
episode selanjutnya, hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien
dengan gangguan depresi berat. Teori yang diajukan untuk menjelaskan
pengamatan tersebut adalah bahwa stres yang menyertai episode pertama
menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Beberapa klinisi
mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memainkan peranan primer atau
utama dalam depresi.
Satu data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya
adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stressor lingkungan
yang paling berhubungan dengan onset satu episode depresi adalah
kehilangan pasangan.
Beberapa artikel teoritik dan dari banyak laporan,
mempermasalahkan hubungan fungsi keluarga dan onset dalam perjalanan
gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi didalam keluarga
mungkin mempengaruhi kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan
penyesuaian pasca pemulihan.

2.1.4. Gejala dan Penggolongan Diagnostik


Menurut PPDGJ-III, gejala dari episode depresif yaitu:
a. Gejala utama
1) Afek depresif,
2) Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saat kerja) dan
menurunnya aktivitas.
b. Gejala lainnya
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.

xi
6) Tidur terganggu.
7) Nafsu makan berkurang.
Penegakan diagnosis berdasarkan PPDGJ-III adalah sebagai berikut.
a. Episode depresif ringan
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
seperti tersebut di atas.
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya : (1) sampai
dengan (7).
3) Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya.
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar
2 minggu.
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya.
b. Episode depresif sedang
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
seperti pada episode depresi ringan.
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya.
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
c. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
di antaranya harus berintensitas berat.
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
4) Epsiode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya
2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat

xii
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam
kurun waktu kurang dari 2 minggu.
5) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.
d. Episode depresif berat dengan gejala psikotik
1) Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut episode
depresif berat tanpa gejala psikotik.
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood congruent).

Adapun klasifikasi depresi menurut WHO dalam Lubis (2009):


a. Berdasarkan tingkat penyakit
1) Mild depression/minor depression atau depresi ringan dan
dysthmic disorder. Terjadi setelah adanya kejadian yang membuat
stress secara spesifik, mood menjadi rendah dan hilang timbul.
Seseorang tersebut akan merasa cemas dan tidak bersemangat.
Untuk mengurangi depresi ringan ini, dibutuhkan perubahan gaya
hidup. Tanda dari depresi ringan: yakni terdapat5 gejala pada
episode depresi namun tidak lebih dari 5 gejala depresi, muncul
selama 2 minggu berturut-turut, dan gejala itu bukan karena
pengaruh obat-obatan atau penyakit.
2) Dysthmic disorder adalah bentuk depresi yang kurang parah namun
dapat menimbulkan gangguan depresi ringan dalam jangka waktu
lama sehingga seseorang tidak bisa bekerja secara optimal. Gejala

xiii
depresi ringan ada dysthmic disorder dirasakan minimal dalam
jangka waktu 2 tahun.
3) Moderate depression atau depresi sedang
Mood yang rendah berlangsung terus dan juga mengalami gejala
fisik walaupun berbeda-beda tiap orang. Untuk mengatasinya
diperlukan perubahan gaya hidup dan bantuan dari orang lain.
4) Severe depression / major depression atau depresi berat
Seseorang akan mengalami gangguan dalam kemampuan untuk
bekerja, tidur, makan dan menikmati hal yang menyenangkan.
Membutuhkan bantuan medis secepat mungkin. Tanda dari depresi
berat yakni terdapat 5 atau lebih gejala yang ditunjukkan dalam
kriteria diagnosis Depressive Major dan berlangsung selama 2
minggu berturut-turut.

b. Berdasarkan klasifikasi nosologi


1) Depresi psikogenik
Terjadi karena pengaruh psikologis seseorang, biasanya akibat
kejadian yang dapat membuat seseorang sedih atau stress berat.
Berdasarkan gejala dan tanda, dibagi menjadi:
(a) Reactif depression
Timbul sebagai reaksi dari suatu pengalaman hidup yang
menyedihkan. Ditandai oleh apati dan retardasi atau oleh
kecemasan dan agitasi. Depresi ini lebih mendalam daripada
kesedihan biasa dan berlangsung lama tapi jarang melampaui
beberapa minggu.
(b) Exhaustion depression
Timbul setelah bertahun-tahun masa laten, akibat tekanan
perasaan yang berlarut-larut, goncangan jiwa yang berturut atau
pengalaman berulang yang menyakitkan.
(c) Neurotic depression
Timbul akibat konflik-konflik psikologis masa anak-anak
(seperti keadaan perpisahan dengan ibu pada masa bayi,

xiv
hubungan orangtua-anak yang tidak menyenangkan) yang
selama ini disimpan dan membekas dalam jiwa penderita. Jauh
sebelum timbulnya depresi sudah tampak adanya gejala-gejala
kecemasan, tidak percaya diri, gagap, sering mimpi buruk,
eneuresis, banyak berkeringat, gemetar, berdebar-debar,
gangguan pencernaan seperti diare dan spasme.
2) Depresi endogenik
Diturunkan secara genetiik, biasanya timbul tanpa didahului oleh
masalah psikologis atau fisik tertentu tapi bisa juga dicetuskan oleh
trauma fisik maupun psikis. Sebagian besar depresi endogen
merupakan depresi unipolar.

3) Depresi somatogenik
Timbulnya depresi somatogenik diduga akibat faktor-faktor
jasmani, terbagi atas:
a) Depresi organik
Disebabkan oleh perubahan morfologi otak seperti
arteriosklerosis serebri, demensia senelis, tumor otak, dan
defisiensi mental. Gejalanya dapat berupa kekosongan
emosional disertai ide-ide hipokondrik. Biasanya disertai dengan
psychosyndrome akibat kelainan lokal atau difusi di otak dengan
gejala kerusakan memori jangka pendek, disorientasi waktu,
tempat, dan situasi, disertai tingkah laku eksplosif dan mudah
terharu.
b) Depresi simtomatik
Disebabkan oleh penyakit fisik seperti infeksi (hepatitis,
influenza, pneumonia), penyakit endokrin (diabetes melitus,
hipotiroid), akibat tindakan pembedahan, pengobatan jangka
panjang dengan obat antihipertensi, pada fase penghentian
kecanduan narkotika, alkohol, dan obat penenang.

2.1.5. Beck Deppresion Inventory (BDI)

xv
Merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis depresi dengan
menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Di dalam
kuesioner terdapat 21 pertanyaan yang terdiri atas emosi, tingkah laku,
kognitif, afektif, dan gejala somatis depresi.
Tabel 1. Skor BDI

Klasifikasi Skor Total Tingkat Depresi

Ringan 1-10 Normal

11-16 Gangguan mood ringan

Sedang 17-20 Batas depresi klinis

21-30 Depresi sedang

Berat 31-40 Depresi berat

Lebih dari 40 Depresi ekstrem

Sumber: Beck, T. Aron. 1996. Beck Depression Inventory. San Antonio: The
Psychological Corporation Harcourt Brace & Company.

2.2 Tuberkulosis Paru


2.2.1. Definisi
Tuberkulosis Paru adalah suatu infeksi kronik jaringan paru, yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

2.2.2. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Ukuran yang sangat kecil dari kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) saat terhirup oleh manusia dapat mencapai alveolus. Masuknya
kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer
gohn.

xvi
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis)
dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi
tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi
yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan

xvii
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik
(Price and Wilson, 2006).

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis

2.2.3. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis tuberkulosis dapat bermacam-macam bahkan
banyak pasien TB paru ditemukan tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak antara lain

xviii
1. Batuk/batuk darah yang terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat
batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
lanjut berupa batuk darah terjadi karena terdapat pembuluh darah yang
pecah.
2. Demam, yang biasanya dirasakan pasien tidak terlalu tinggi dan hilang
timbul yang menyebabkan penderita merasa tidak pernah lepas dari
demam. Gejala demam yang juga khas yaitu demam yang meningkat
ketika menjelang malam dan diikuti keringat pada malam hari.
3. Sesak napas, baru dirasakan pada pasien TB paru yang sudah sangat
lanjut dimana infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada, merupakan gejala yang sangat jarang ditemukan. Gejala ini
timbul setelah penyakit mengenai pleura. Peradangan yang terjadi
menimbulkan nyeri yang terlokalisir ketika pleura bergesekan akibat
pergerakan dinding dada saat bernapas.
5. Malaise, merupakan salah satu gejala khas TB paru yang merupakan
proses radang yang menahun berupa timbulnya anoreksia, penurunan
berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam.
Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul
secara tidak teratur (Sudoyo et al., 2009).
Dalam penampilan klinis, tuberkulosis paru sering asimptomatik dan
penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada
pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif. Diagnosis pasti TB
paru ditegakkan melalui pemeriksaan sputum BTA.

2.2.4. Terapi
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan tambahan

xix
yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk
memastikan kepatuhannya. WHO juga telah menetapkan resimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi empat kategori berbeda
menurut definisi kasus tersebut.

Tabel 2. Resimen Pengobatan Tuberkulosis

Resimen Pengobatan
Kategori Pasien TB
Fase Awal Fase Lanjutan

1 TBP sputum BTA 2 SHRZ (EHRZ) 6 HE


positif baru bentuk
2 SHRZ (EHRZ) 4 HR
TBP berat, TBP ekstra-
paru (berat), TBP 2 SHRZ (EHRZ) 4 H3R3
BTA-negatif

2 Relaps 2 SHZE/1 HRZE 5 H3R3E3


kegagalan pengobatan
2 SHZE/1 HRZE 5 HRE
kembali ke default

3 TBP sputum BTA- 2 HRZ/2 H3R3Z3 6 HE


negatif ,
2 HRZ/2 H3R3Z3 2 HR/4H
TP ekstra-paru
(menengah berat) 2 HRZ/2 H3R3Z3 2 H3R3/4H

4 Kasus kronis (masih Tidak dapat diaplikasikan


BTA-positif setelah (mempertimbangkan menggunakan
pengobatan ulang yang obat-obatan barisan kedua)
disupervisi)
Singkatan: TB = TB; TBP = Tuberkulosis Paru; S = Streptomisin; H = Isoniazid; R
= Rifampisin; Z = Pirazinamide; E = Etambutol.
Sumber: (Sudoyo et al., 2009).

Regimen Pengobatan Saat Ini (metode DOTS)


a. Kategori 1
Pasien TB paru dengan sputum BTA positif dan kasus baru, TB paru
lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberkulosis,
miliaris, perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral,
spondilitis dengan gangguan neurologik, sputum BTA negatif tetapi

xx
kelainan di paru luas, tuberkulosis usus dan saluran kemih. Pengobatan
fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap hari selama dua
bulan. Sputum BTA yang awal positif setelah dua bulan diharapkan
menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4 HR atau 4
H3R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih tetap positif selama dua
bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat
apakah sputum sudah negatif atau tidak.
b. Kategori 2
Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif.
Pengobatan fase inisisal terdiri dari 2HRZES/1HRZE, yaitu R dengan
H, Z, E setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan
pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif, fase lanjutan bisa
segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12,
fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-4
sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan
dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan. Obat dilanjutkan memakai
resimen fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5HRE.
c. Kategori 3
Pasien TB paru dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak
luas dan kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori 1). Pengobatan fase
inisial terdiri dari 2HRZ atau 2H3R3E3Z3, yang diteruskan dengan fase
lanjutan 2HR atau H3R3.
d. Kategori 4
Pasien dengan tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami
resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat.
Untuk seumur hidup diberi H saja (WHO) atau sesuai rekomendasi
WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB) (Sudoyo et
al., 2009).

2.3 Hubungan Tuberkulosis Paru dengan Depresi


Berdasarkan Jurnal Tuberkulosis Indonesia (2010) pasien yang sedang
mengalami pengobatan sebagai MDR-TB pasti mengalami kegelisahan dan

xxi
ketakutan. Sebuah survei dari 100 pasien tuberkulosis di rumah sakit Afrika
Selatan menunjukkan bahwa 68% memiliki beberapa derajat depresi klinis: 22
pasien depresi ringan, 38 pasien depresi sedang, dan 8 pasien depresi berat.
Penelitian lain, telah menunjukkan bahwa antara 24% dan 36% dari orang sakit
memenuhi kriteria untuk depresi. Temuan ini tampaknya menunjukkan bahwa
hubungan antara depresi dan tuberkulosis lebih kuat dibandingkan antara depresi
dan penyakit medis lainnya.
Prevalensi komorbiditas depresi dengan tuberkulosis antara 25 dan 33%,
resiko meningkat dengan keparahan penyakit. dan ini sering menghadirkan
tantangan manajemen untuk dokter. Semakin banyak penelitian dan literatur yang
menunjukkan bahwa depresi berat berkaitan dengan meningkatnya kejadian
inflamasi. Pada pasien tuberkulosis dengan depresi terlihat peningkatan
konsentrasi plasma sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1) juga
meningkat di cairan serebrospinal (CSF), tumor nekrosis factor (TNF),
interleukin-6 (IL-6), dan proteinfase akut lainnya, seperti C-reactive protein
(CRP), haptoglobin dan neopterin. Peningkatan sitokin proinflamasi tersebut
selama proses respon imun berkaitan dengan akitvasi enzim indoleamine (2,3)
dioxygenase (IDO). IDO adalah enzim yang mengubah asam amino esensial
triptofan menjadi kyneurenine pada jalur biosíntesis nicotinamide-adenine
dinucleotide. Oleh karena triptofan merupakan prekursor dari biosintesis
neurotransmitter 5-hidroksitriptamine (serotonin), maka konsentrasi triptofan
yang rendah berkaitan dengan penurunan bioavailibilitas dari serotonin yang
kemudian menjadikan seseorang rentan terkena depresi
(Christmas,2011:Lee,2003).
Penyebab lain terjadinya depresi pada pasien tuberkulosis adalah faktor
psikososial, kronis psikogenik dan nyeri somatik, lama pengobatan, dan efek
samping obat (isoniazid), seringnya rawat inap dan ketergantungan dirawat
dirumah sakit merupakan faktor yang berhubungan dengan depresi di kalangan
pasien tuberkulosis.
Diagnosis tuberkulosis juga merupakan salah satu yang dapat menyebabkan
depresi sehingga dapat menimbulkan tekanan dan ketakutan pada saat mereka
menyadari bahwa hidupnya, aktivitasnya, mungkin dibatasi oleh kondisi ini. Oleh

xxii
karena perubahan fisik yang terjadi, hilangnya pendapatan dalam kaitan dengan
pembatasan pekerjaan, atau ketergantungan akan bantuan dari keluarga dan para
teman sering mempengaruhi seseorang, sehingga dibutuhkan dukungan sosial dari
keluarga maupun orang sekitarnya. Aspek pada tuberkulosis yang dapat
berdampak pada kualitas hidup, sebagai contoh, standar anti-TB terapi terdiri dari
empat obat dan memakan waktu sedikitnya 6 sampai 9 bulan untuk
menyelesaikan, dengan risiko serius reaksi yang merugikan. Di beberapa
komunitas, pasien TB dianggap sebagai sumber infeksi dan adanya penolakan
sosial dan isolasi mengarah kepenurunan kualitas hidup jangka panjang pasien
tuberkulosis. Selain itu, depresi dapat menjadi faktor negatif yang sangat penting
bagi kepatuhan pengobatan pada pasien dengan tuberkulosis dan dapat
menghambat adaptasi terhadap kondisi penyakit, yang merupakan faktor penting
dalam kelangsungan hidup orang dengan penyakit kronis (Ulosoji,2011).

2.4. Faktor yang Memengaruhi Gangguan Kejiwaan pada Penderita TB


Jenis Kelamin
Dari penelitian Peterson menyatakan bahwa depresi lebih banyak
diderita oleh perempuan daripada laki-laki. Menurut Sandra Witelson dalam
penelitiannya bahwa Corpus Calosum pada laki-laki lebih kecil daripada
perempuan, demikian juga dengan komponen yang disebut Commisura
anterior. Kedua hal tersebut menyebabkan laki-laki tidak begitu
berpengaruh terhadap emosi dan stressor yang terjadi padanya. Laki-laki
juga lebih suka menumpahkan masalah dan emosi dengan kegiatan daripada
memendamnya serta akan merasa malu jika mereka sampai menangis jika
ada masalah (Sari, 2009).
Sedangkan menurut Patci et al. (2013), laki-laki memiliki
kemungkinan besar untuk mengalami depresi pada saat menderita penyakit
TB Paru. Kondisi depresi tersebut dikarenakan menurunnya kemampuan
individu untuk bekerja dan berhubungan dengan masyarakat, khususnya
apabila mengingat bahwa laki-laki merupakan kepala dalam rumah tangga.
Hal ini dapat menyebabkan mereka cenderung rendah diri yang dikarenakan
rasa takut menularkan penyakit kepada orang lain termasuk anggota

xxiii
keluarga, serta adanya opini negatif dalam masyarakat tentang penyakit TB
Paru sendiri.

Usia
Menurut Sihotang et al. (2012), laki-laki pada usia produktif
cenderung memiliki semangat tinggi untuk bekerja keras terutama melihat
posisinya sebagai kepala rumah tangga. Sehingga pada umumnya laki-laki
usia produktif 30-55 tahun rentan mengalami penurunan sistem kekebalan
tubuh sehingga mudah terkena penyakit.

Imunitas & Neurotransmitter


Gunawan dan Sumadiono (2009) memaparkan, seseorang yang
mengidap penyakit kronis termasuk TB paru akan mengalami penurunan
sistem imun dan terdapat hubungan antara stres dan sistem imun. Stresor
pertama kali akan ditangkap oleh panca indera dan diteruskan ke pusat
emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Stres akan dialirkan ke organ
tubuh melalui saraf otonom. Organ yang dialir stres adalah kelenjar
hormone sehingga terjadilah perubahan keseimbangan hormon yang
selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional pada berbagai organ
target. Stres dapat menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal
melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis),
HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-
Pituitary-Ovarial Axis). Di sini, sistem imun menerima sinyal dari otak dan
sistem neuroendokrin melalui sistem saraf autonom dan hormon, sebaliknya
dia juga mengirim informasi ke otak lewat sitokin. Fenomena tersebut
menunjukkan bahwa sistem saraf mengontrol sistem imun, dan sebaliknya.
Menurut Istanti (2009), Penderita TB Paru sebaiknya mewaspadai
depresi. Penyakit TB Paru dapat mempengaruhi keseimbangan
sistem monoamine di otak. Ini adalah suatu sistem yang mengatur kerja
neurotransmitter di otak yang bernama dopamin, serotonin dan
norephinephrine.  Ketidakseimbangan serotonin dalam otak inilah yang

xxiv
dapat membuat  pasien Tuberkulosis paru menjadi sangat rentan terhadap
depresi.

Lama Waktu Menderita & Lama Pengobatan TB


Lama seseorang menderita Tuberkulosis Paru banyak berpengaruh terhadap
kehidupan sehari-hari. Sesorang yang telah didiagnosis dengan penyakit TB
Paru akan secara langsung maupun tidak langsung mengubah pola
kesehariannya. Berbagai masalah kesehatan terkait TB Paru yang
dideritanya akan bermunculan, serta kenyataan harus mengonsumsi obat
sepanjang hidupnya menyebabkan lama kelamaan sebagian dari penderita
Tuberkulosis Paru akan mengalami depresi.
Pasien yang mengalami TB Paru selama 10-12 bulan cenderung
mengalami depresi ringan, sedangkan yang menderita selama 1-3 bulan
cenderung mengalami depresi sedang. Ini menunjukkan bahwa depresi lebih
banyak muncul pada masa awal menderita TB Paru. Banyak faktor yang
menyebabkan penderita menjadi depresi pada masa masa awal menderita
TB Paru:
1) Informasi TB Paru yang beredar tidak jarang membuat penderitanya
yang baru didiagnosis menderita TB Paru berasumsi buruk mengenai
dirinya sendiri. Mereka menganggap penyakit TB Paru memiliki
peluang sedikit untuk bertahan hidup. Kerap kali penderita
mengkhawatirkan tentang berapa lama dia bisa sembuh, dan bagaimana
dia akan beradaptasi dengan keluarga dan masyarakat. Hal ini yang
pada akhirnya membuat penderita menjadi depresi.
2) Perubahan pola hidup pada penderita TB Paru juga menjadi pemicu
terjadinya depresi. Banyak yang harus diubah ketika seseorang telah
terdiagnosis TB Paru, antara lain: pola makan, pola tidur, aktivitas
sehari-hari, dan lain-lain. Penderita TB Paru akan menjalani perubahan
pola makan yang dikarenakan pantangan terhadap makanan tertentu.
Selain itu, penderita TB Paru juga akan mengalami perubahan pola
tidur yang dikarenakan gejala batuk yang semakin berat dirasakan pada
malam hari sehingga mengganggu pola tidur penderita.

xxv
3) Kenyataan bahwa dirinya harus mengkonsumsi obat setiap hari secara
tepat waktu dapat menjadi beban bagi penderita.
4) Anggapan diri sebagai beban bagi orang lain terutama keluarga.
Jika terdapat faktor-faktor di atas yang dialami pasien semakin
banyak, maka semakin tinggi pula tingkat depresi yang dialami.
Pasien cenderung mengalami shock saat pertama kali terdiagnosis
menderita TB Paru. Sering kali ada periode penolakan lalu diikuti oleh
pengunduran diri dan depresi yang mengarah ke persepsi terdistorsi tentang
penyakit. Pasien menunjukkan emosi yang kuat seperti rasa takut, cemburu,
kemarahan, mengucilkan diri, adanya rasa bersalah, atau rasa malu. Bunuh
diri juga dapat terjadi, terutama ketika seluruh keluarga mencoba untuk
memisahkan penderita di lembaga yang jauh.
Kubler (1969) memaparkan, ada 5 tahapan yang berkaitan dengan
proses kesedihan yang dialami manusia. Kelima tahapan itu adalah
penolakan, kemarahan, perundingan, depresi, dan penerimaan. Pertama,
pada tahap penolakan, Kubler menyatakan bahwa pasien akan
memanfaatkan sikap penolakan di tahap awal penderitaan mereka.
Penolakan berfungsi sebagai penyangga setelah adanya berita buruk yang
tidak terduga. Ketika tahap penolakan tidak dapat dipertahankan lagi,
digantikan oleh kemarahan, iri hati, dan kebencian yang merupakan tahapan
kedua. Tahapan ketiga adalah tahap perundingan yang merupakan periode
dimana pasien mencoba bernegosiasi dengan Tuhan. Pasien akan berfikir
apabila mereka tidak mampu menghadapi kenyataan yang menyedihkan dan
kemarahan tidak berhasil membuat keadaan membaik, mereka masih
memiliki kesempatan untuk dapat menunda berbagai kejadian buruk yang
akan menimpanya. Tahapan keempat adalah depresi, yang mana merupakan
tahapan dimana pasien benar-benar larut dalam kesedihan. Pada tahap ini
pasien sering kali mengalami penurunan pola tidur, penurunan nafsu makan,
penurunan aktivitas, hingga datangnya pemikiran untuk bunuh diri. Selama
tahapan ini, pasien mulai mencoba memahami penderitaan yang dialaminya.
Tahapan kelima adalah Penerimaan. Pada tahap ini pasien akan memahami
masalah atau penderitaan yang sedang dihadapinya. Tahap penerimaan

xxvi
sering kali disebut sebagai tahap akhir penyembuhan, dimana pasien akan
belajar untuk dapat melanjutkan hidupnya (Sanchez, 2004).

2.5 Penatalaksanaan
Dalam perjalanan pengobatan TB perlu untuk dilakukan konseling untuk
membantu mengelola masalah emosional pasien yang terkait dengan masalah TB.
Konselor dilatih dalam kemampuan komunikasi dan prinsip-prinsip konseling
dalam layanan TB dan sebaiknya telah memiliki pengetahuan yang luas mengenai
penyakit TB dan pelayanan TB. Konselor tidak boleh digunakan sebagai alasan
bagi dokter untuk menghindari penyampaian informasi dan menjelajahi masalah
psikologis pasien, tetapi dalam konteks “busy-service” dimana konselor
mempunyai lebih banyak waktu untuk tatap muka dengan pasien. Konselor
mampu mendeteksi gangguan mood, kecemasan atau gejala psikotik yang
membutuhkan penanganan dan pengobatan psikiater.
Banyak kesulitan dapat dihindari jika dokter yang menangani pasien TB
dapat memberikan dukungan emosional sepanjang perjalanan penyakit pasien.
Pasien umumnya baru dapat megembangkan kepercayaan dan menyambut
hubungan yang terbuka jika mereka percaya bahwa dokter berlaku jujur tentang
penyakit, pengobatan, dan prognosis dari penyakit yang mereka derita. Banyak
studi telah mengkonfirmasi bahwa pasien ingin sepenuhnya diberitahu sesegera
mungkin mengenai penyakitnya. Setelah diagnosis telah ditetapkan dan dibahas
dengan pasien, penting untuk membiarkan pasien mengekspresikan tekanan yang
diterimanya. Pasien sering merasa terhambat dalam mengatakan kekhawatiran
emosional mereka, merasa percaya tidak ada yang bisa dilakukan untuk mereka
atau dokter dan perawat terlalu sibuk atau tidak cukup tertarik dalam menanggapi
permasalahan mereka. Banyak staf profesional yang sering menjauhkan diri dari
permasalah emosional, hal ini dilakukan sebagai sarana perlindungan diri atau
karena mereka merasa takut tidak mampu mengelola respon emosional pasien.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, dokter perlu bertanya secara
langsung dan terbuka kepada pasien mengenai pemahaman pasien tentang
penyakit yang mereka derita, respon emosional mereka dan kekhawatiran tentang

xxvii
efek dari penyakit terhadap keluarga maupun kehidupan sosial mereka. Ini penting
untuk menunjukkan pendekatan empati terhadap pasien.

Terapi Psikologis
Semua pasien depresi harus mendapatkan psikoterapi dan beberapa
memerlukan tambahan terapi fisik. Kebutuhan terapi khusus bergantung pada
diagnosis, berat penyakit, umur pasien, dan respon terhadap terapi sebelumnya.
Bila seseorang menderita depresi berat, maka diperlukan seorang yang dekat dan
yang dipercayainya untuk membantunya selama menjalani pemeriksaan dan
pengobatan depresi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian psikolog UNDIP Dra. Hastaning Sakti, M.Kes.
Psikolog, Program psikologis ASA (Ajakan Sehat jiwa dan raga) yang merupakan
gabungan psikoterapi transpersonal dengan keterampilan konseling interaktif
(KKI) ternyata terbukti efektif dalam meningkatkan ketaatan minum obat dan
kadar interferon gamma penderita TB. Ketaatan sangat penting dalam pengobatan
Tuberkulosis. Sebab kebosanan meminum obat dan pelayanan yang kurang prima
terhadap para penderita TB berdampak pada sisi medis, imunologis, dan
psikologis pasien.
Kondisi sakit TB yang tidak nyaman di badan, dan rasa takut terhadap
pelayanan kesehatan serta banyaknya obat yang harus diminum merupakan stresor
tersendiri dan bila direspon secara negatif akan mengubah keseimbangan
hormonal. Stres mempengaruhi respon imun dan kesehatan, sehingga bila stres
dikelola dengan baik lewat program ASA, tingkat stres menurun dan ketaatan
meminum obat akan tetap terjaga. Program psikologis ini (ASA) memiliki
keunggulan sebagai tindakan preventif, promotif dan kuratif dengan basis
psikoterapi transpersonal dan pemberdayaan kesehatan masyarakat. Dalam
penelitian lain disebutkan bahwa dukungan sosial mempunyai hubungan yang
positif signifikan, dimana seseorang yang mendapatkan dukungan sosial yang
tinggi akan meningkatkan kualitas hidupnya. Pengobatan diatas bertujuan
mengidentifikasi kekuatan personal dan menghilangkan rasa rendah diri pasien.
Mengatasi rasa ketidakberdayaan dan meningkatkan semangat juang dalam diri

xxviii
pasien dan pasien juga diajarkan untuk mengidentifikasi dan menantang pikiran-
pikiran negatif yang mendasari kecemasan dan depresi.

Pengobatan Fisik pada Depresi


Obat antidepresan terdiri dari beberapa golongan, yaitu golongan ikatan
trisiklik dan tetrasiklik, golongan Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI)
Reversible, golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor, golongan
antidepresan atipikal.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) telah digunakan sebagai
pengganti kelompok trisiklik sebagai obat pilihan pertama. Citalopram dan
sertraline adalah yang paling aman digunakan. Obat-obatan ini telah digunakan
secara luas dalam praktek klinis.

Algoritma pengobatan farmakoterapi episode depresi sedang atau berat


tanpa ada kontrindikasi terhadap antidepresan.

Gambar 2. Algoritma Pengobatan Farmakoterapi Episode Depresi Sedang/


Berat
Pasien depresi yang secra fisik sehat tanpa ada kontraindikasi terhadap antidepresan

SSRI (dipilih tergantung beberapa faktor)

xxix
Terapi gagal, tidak ada respon Respon parsial Remisi penuh

atau timbul efek samping

Menjaga 4 – 9
Dipastikan kepatuhan Tingkatkan dosis, ganti
dengan antidepresan bulan untuk terapi
pengobatan lainnya atau terapi
kombinasi (dengan lanjutan, jika perlu
Diganti dengan alternatif lain Lithium)
( SSRI yang lain, 12 – 36 bulan
antidepresan non- SSRI)

Remisi penuh

Menjaga 4 – 9

bulan untuk terapi

lanjutan, jika perlu

12 – 36 bulan

Dikutip dari Yuniastuti. 2013. Evaluasi Terapi Obat Antidepresan pada Pasien Depresi di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Tahun 2011-2012. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Indonesia. Hal: 1-10.

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan psikiatrik pada penderita TB merupakan gangguan yang


melibatkan pikiran dan tubuh. Hal ini menunjukan adanya faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis penderita TB. Komponen emosional memainkan
peranan penting pada ganggun psikosomatis. Kebanyakan gangguan psikiatrik

xxx
yang terjadi pada penderita TB adalah gangguan afektif atau depresi. Penderita
TB mengalami banyak kekhawatiran akan penyakit yang diderita dan
kemungkinan untuk menularkan ke orang lain. Pengobatan yang lama dan
keharusan patuh meminum obat menimbulkan depresi pada penderita TB
sehingga berakhir pada gangguan psikiatrik.
Penatalaksanaan terhadap gangguan psikiatri pada penderita TB meliputi
konseling dengan dokter umum ataupun psikiater. Obat-obatan antidepresi juga
dapat membantu mengatasi gejala depresi yang terjadi. Penanganan penyakit TB
membutuhkan pendekatan multidisiplin antara bidang penyakit penyakit dalam
dengan kejiwaan sehingga perlu kerjasama antar bagian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. Beck Depression Inventory II (BDI-II).


www.thoracic.org

Christmas DM.et al. 2011. Biological pathway linking inflammation and


depression: activation of indoleamine 2,3-dioxygenase, Dove Press Journal,
Neuropsychiatric Disease and Treatment.

xxxi
Ciraulo, D. A., Shader, R. I. & Greenblatt, D. J. 2011. Clinical Pharmacology and
Therapeutics of Antidepressants. Department of Psychiatry, Boston
University School of Medicine. England.

Gunawan, B. & Sumadiono. 2009. Stres dan Sistem Imun Tubuh. Yogyakarta: Sub
Bagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada.

Kubler, E & Ross. 1969. On Death and Dying. New York: McMillan Co.

Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.


Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Hlm. 64-65.

Pachi, Bratis, Mousses, dan Tselebis. 2013. Psychiatric Morbidity and Other
Factors Affecting Treatment Adherence in Pulmonary Tuberculosis
Patients. Greece: Psychiatric Department, Sotiria General Hospital of Chest
Disease.

Price, Sylvia A dan Lorraine Wilson. Tuberculosis Paru. Dalam: Patofisiologi


Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Bab 43, Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006;
852-64.

Sadock, B. J. & Sadock, V. A. 2012. Kaplan & Sadock’s Pocket Handbook of


Clinical Psychiatry. New York: Lippincott William & Wilkins, a Wolter
Kluwer.

Sanchez, J. R. 2004. Pastoral & Clinical Implications of The Death & Dying
Stage Model in Caring Process. Puerto Rico: Inter American University of
Puerto Rico.

Sihotang, R. H., Lampus, B., dan Pandelaki, A. J. 2012. Gambaran Penderita TB


Paru yang Berobat Menggunakan DOTS di Puskesmas Bahu Malalayang.
Manado: Ilmu Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.

Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syam, Riskiyani, dan Rachman. 2013. Dukungan Sosial Penderita Tuberkulosis


Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ajangale Kabupaten Bone. Makassar:
Bagian PKIP Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hassanudin.

Tirtana, B. T. & Musrichan. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Keberhasilan Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan
Resistensi Obat Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah. Semarang:
Universitas Diponegoro.

xxxii
Tomb DA, Buku Saku Psikiatri.Edisi 6, Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2004. Hal : 47-63

Ulosoji M I., 2011.Prevalence of depression in tuberkulosis patients in


comparison withnon-tuberkulosis family contacts visiting the DOTSclinic
in a Nigerian tertiary care hospital and its correlation withdisease
pattern,Mental health in fam Med Radcliffe publishing,Dec : 8 (4) 235 -
241

xxxiii

Anda mungkin juga menyukai