Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus Internsip:

RETENSIO URIN

Oleh:
dr. Muhammad Arief Fazillah

Dokter Pembimbing:
dr. Muhammad Ridha, Sp.B

Dokter Pendamping:
dr. Zulkarnaini ZA

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD TEUKU UMAR
ACEH JAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat dan hidayah-
Nya, tugas presentasi laporan kasus telah dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat beserta salam
penulis haturkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari
alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun judul tugas ini adalah “Retensio Urin” Tugas ini diajukan sebagai salah satu tugas
dalam menjalani Program Dokter Intersip Indonesia di RSUD Teuku Umar.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. Muhammad Ridha,
Sp.B yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dokter
Pendamping RSUD TEUKU UMAR (dr. Zulkarnaini ZA) yang telah memberi masukan dan
arahan dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun agar tercapai hasil yang lebih baik
kelak

Calang,10 Desember 2021

dr. M. Arief Fazillah

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3

2.1 Identitas Umum Pasien ............................................................................. 2

2.2 Anamnesis ................................................................................................ 2

2.2.1 Keluhan Utama ........................................................................................ 2

2.2.2 Keluhan Tambahan .................................................................................. 2

2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang ..................................................................... 2

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu ........................................................................ 3

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga ..................................................................... 3

2.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 3

2.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 5

2.1 Anatomi Sistem Urinaria .......................................................................... 5

2.2 Retensi Urine ............................................................................................ 8

2.2.1 Definisi ...................................................................................................... 8

2.2.2 Etiologi...................................................................................................... 8

2.2.3 Patofisiologi ............................................................................................ 10

2.2.4 Klasifikasi ............................................................................................... 11

2.2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik .......................................................... 12

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 13

2.2.7 Penatalaksanaan ...................................................................................... 13

iii
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 15

BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Retensi urin adalah suatu keadaan di mana air seni tidak dapat keluar dari
vesika urinaria sebagian atau seluruhnya sehingga tertimbun di dalamnya.
Timbulnya retensi urin dapat disebabkan oleh beberapa faktor, meliputi faktor
mekanik, neurogenik, miogenik, psikogenik dan obat-obatan. Faktor mekanik
merupakan penyebab paling banyak yaitu akibat adanya obstruksi distal dari vesika
urinaria (infravesical obstruction) misalnya obstruksi karena adanya batu, tumor,
atau kelainan anatomi pada traktus urinarius. Retensi urin menyebabkan stasis dari
urin dengan akibat dilatasi organ diproksimal sumbatan, infeksi dan timbul batu
pada traktus urinarius. Stasis urin merangsang pertumbuhan kuman sehingga terjadi
infeksi pada vesika urunaria (sistitis). Akibat infeksi yang naik dan hidroureter
karena refluks, maka bisa terjadi pielonefritis dan hidronefrosis yang pada tahap
lanjut akan mengakibatkan gagal ginjal kronik.
Secara garis besar penyebab retensi dapat dapat diklasifikasi menjadi 5 jenis
yaitu akibat obstruksi, infeksi, farmakologi, neurologi, dan faktor trauma. Obstruksi
pada saluran kemih bawah dapat terjadi akibat faktor intrinsik, atau faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari sistem saluran kemih dan bagian yang
mengelilinginya seperti pembesaran prostat jinak, tumor buli-buli, striktur uretra,
phimosis, paraphimosis, dan lainnya. Sedangkan faktor ekstrinsik,sumbatan berasal
dari sistem organ lain, contohnya jika terdapat massa di saluran cerna yang
menekan leher buli-buli, sehingga membuat retensi urine.
Dari semua penyebab, yang terbanyak adalah akibat pembesaran prostat
jinak dengan presentase 50% dan dijumpai pada pasien dengan usia 60-70 tahun.
Pada wanita juga sering terjadi akibat salah satu komplikasi yaitu proses persalinan,
baik pervaginam ataupun sectio caecaria. Pada tahun 1998 dr. Kartono dkk dari
FKUI-RSCM jakarta melansir bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu
melahirkan yang terpasang kateter selama 6 jam dan 7,1% untuk pemasangan
kateter 24 jam. Penyebab lainnya diakibatkan oleh infeksi yang menghasilkan
peradangan, kemudian terjadilah edema yang menutup lumen saluran uretra. Reaksi
radang paling sering terjadi adalah prostatitis akut, yaitu peradangan pada kelenjar
prostat dan menimbulkan pembengkakan pada kelenjar tersebut.
1
BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas Umum Pasien


Nama : Tn.Nasib Efendi
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 31-12-1984
Umur : 36 Tahun
Alamat : Puloe Ie
No. CM : 05 27 34
Tanggal Masuk : 06/12/2021
Jam Masuk : 02:20 Wib

Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama


BAK tertahan

2.2.2 Keluhan Tambahan


Nyeri saat BAK

2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rujukan dari PKM datang dengan keluhan BAK tertahan sejak 6 jam
SMRS. Sebelumnya pasien mengatakan bahwa BAK menetes, namun 30 menit
sebelum dibawa ke puskesmas sudah tidak dapat keluar lagi. Keluhan ini disertai
dengan nyeri saat BAK (+), BAK berdarah (-), BAK tidak lampias (+), Riwayat
BAK berpasir (+) dan pasien mengaku pernah mengalami keluhan yang sama sejak
2 bulan yang lalu.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah dilakukan operasi batu ginjal 2 bulan yang lalu.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan sama sepertipasien

2
2.2.5 Riwayat Penggunaan Obat
Tidak ada

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum: Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
GCS : Eye (4), Motorik (6), Verbal (5)

2. Tanda vital :
Tensi : 158/87 mmHg
Nadi : 92x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
Suhu : 36,7°C, aksila
Respirasi : 20 x/menit, torakoabdominal

3. Kepala : normocepal, CA -/- , SI -/- , pupil isokor


4. Leher : peningkatan JVP (-). KGB membesar (-)
5. Thoraks :
a. Paru
Inspeksi : jejas -, Simetris, jenis pernapasan torako abdominal.
Palpas : Fremitus vocal +/+, Nyeri Tekan –
Perkusi : Sonor (+/+) pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, ronki(-/-),


wheezing (-/-).
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba pada ICS V, 1 jari lateral midklavikula sinistra
Auskultasi : S1-S2 tunggal, tidak ada murmur dan gallop
6. Abdomen : datar, jejas -, laserasi -, supel bising usus (+) normal, perkusi timpani,
hepar dan lien tidak membesar, NT suprapubik (+) dan terasa keras.
7. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik. Deformitas , motorik & sensorik
tidak ada kelainan

3
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
6/12/2021
HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 8,1 g/dL 12-17
Eritrosit 3,79 x 106/mm3 4-6
Leukosit 11,3 x 103/mm3 5-10
Trombosit 449 x 103/mm3 150-450
MCV 70,4 fL 80-96
MCH 21,4 pg 28-33
MCHC 30,3 % 33-36

b. Radiologi

 Foto Polos Abdomen

4
Diagnosis
Retensi Urine
Diagnosis Banding
Retensi Urine ec
1. Striktur Uretra
2. BPH
3. BSK
4. ISK

Penatalaksanaan
Non Farmakologi
- Cystotomy Emergncy (+)
Farmakologi
- Ivfd Rl 20gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 J
- Inj. Ranitidin 1 amp/12 J
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 J
- Harnal 1x1
- Nefrolite 3x1

Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanactionam: Dubia ad Bonam

5
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Sistem Urinaria


Organ Sistem Urinaria terdiri dari :
1. Ginjal
2. Ureter
3. Vesika urinaria (Bladder)
4. Uretra

Sistem urinaria dibagi menjadi 2 yaitu Upper Urinary Tract dan Lower
Urinary Tract. Pada Upper Urinary Tract terdiri dari ginjal dan ureter sedangkan
pada Lower Urinary Tract terdiri dari vesika urinaria dan Uretra yang merupakan
penyebab tersering terjadinya gangguan dalam miksi berupa kencing tidak lancar.

Vesika urinaria (bladder)

Gambar 3.1 Vesica Urinaria


Vesika urinaria (bladder) disebut juga kandung kemih terdiri atas 2 bagian,
yaitu daerah fundus dan leher kandung kemih. Bagian leher kandung kemih disebut
juga uretra posterior karena berhubungan dengan uretra. Mukosa kandung kemih
dilapisi oleh epitel transisional yang mengandung ujung-ujung saraf sensoris. Di
bawahnya terdapat lapisan sub mukosa yang sebagian besar tersusun dari jaringan
ikat dan jaringan elastin. Otot polos kandung kemih adalah otot detrusor yang terdiri
dari lapisan otot longitudinal pada lapisan luar dan dalam sedangkan otot sirkuler
pada bagian tengahnya. Otot detrusor melanjutkan

6
perjalanannya ke arah uretra membentuk suatu "pipa" yang disebut bladder neck.
Kandung kemih berbentuk oblik untuk menghindari urin kembali keatas.

Uretra

Uretra merupakan organ yang berfungsi untuk menyalurkan urin keluar dari
tubuh. Fungsi uretra pada pria dan wanita berbeda. Pada wanita, uretra berfungsi
hanya untuk menyalurkan urin keluar dari tubuh dengan panjang + 4 cm.
Sedangkan pada pria, uretra sebagai pengalihan urin dan sebagai organ reproduksi
dengan penjang 18-20 cm. Sementara itu, sfingter uretra dibentuk oleh serat-serat
otot lurik. Peranannya adalah untuk menahan upaya berkemih sementara waktu atau
segera menghentikan proses berkemih bila dikehendaki.

3.2 Fisiologi Miksi


Secara fisiologis, kandung kemih dapat menimbulkan rangsangan pada
saraf apabila volume urin pada kandung kemih berisi + 250 - 450 ml (dewasa) dan
200-250 ml (anakanak). Secara normal, urin orang dewasa diproduksi oleh ginjal
secara terus menerus pada kecepatan + 120 ml/jam (1200 ml/hari) atau 25 % dari
curah jantung. Volume urin normal minimal adalah 0,5-1 ml/kgBB/jam, dimana
produksi urin dikatakan abnormal atau jumlah sedikit diproduksi oleh ginjal
(oliguria) adalah sekitar 100 – 500 ml/hari.
Fisiologi fungsi berkemih juga tergantung pada status dehidrasi individual.
Untuk rata-rata individu dewasa dengan aktivitas ringan, National Research
Council Amerika Serikat merekomendasikan kebutuhan air sebanyak 1 mL/kkal
kebutuhan energi orang dewasa. Kebutuhan energi orang dewasa sekitar + 2000
kkal, sehingga normalnya perlu intake 2000 mL air per hari.
Kandung kemih adalah organ penampung urin. Selain itu, berfungsi pula
mengatur pengeluarannya. Proses berkemih dimulai dari tekanan intramural otot
detrusor. Tekanan ini dahulu dianggap semata-mata akibat persarafan, akan tetapi
pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa tekanan intramural otot detrusor
lebih ditentukan oleh keadaan fisik kandung kemih (berisi penuh atau tidak),
dimana stimulasi ini diterima oleh stretch receptor pada kandung kemih.

7
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas
ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam
kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg. Dengan demikian, kontraksi otot
detrusor adalah langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel
otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik
berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh karena itu,
potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel
otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan
segera.Jika kandung kemih terisi cukup dan mengembang, sementara tekanan
intravesika tetap, maka sesuai dengan hukum Laplace, tekanan intramural otot
detrusor akan meningkat.
Peningkatan sampai titik tertentu akan merangsang stretch receptor,
sehingga timbul impuls dari medulla spinalis sakralis 2-3-4 yang akan diteruskan
ke pusat refleks berkemih di korteks serebri lobus frontalis pada area detrusor
piramidal. Penelitian terakhir menyatakan bahwa kontrol terpenting terutama
berasal dari daerah yang disebut Pontine Micturition Centre. Sistem ini ditunjang
oleh sistem refleks sakralis yang disebut Sacralis Micturition Centre. Jika jalur
persarafan antara pusat berkemih pontin dan sakralis dalam keadaan baik, maka
proses berkemih akan berjalan dengan baik juga.
Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi
antara sistem saraf otonom dan somatik. Jalur persarafan yang terdiri dari refleks
fungsi detrusor dan reflex sfingter uretra meluas dari lobus frontalis samapi ke
medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab dari gangguan fungsi berkemih
neurogenik dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai tingkatan jalur persarafan.
Proses berkemih menghasilkan serangkaian kejadian berupa relaksasi otot lurik
uretra (rhabdosfingter), kontraksi otot detrusor kandung kemih dan pembukaan dari
leher kandung kemih dan uretra.
Selain saraf otonom dan somatik, proses berkemih fisiologis juga
dipengaruhi oleh rasa tenang dan rasa takut nyeri. Perasaan subyektif ini melibatkan
emosi yang diatur oleh system limbik pada sistem saraf pusat. Tingkah laku
merupakan fungsi sistem saraf pusat yang melibatkan emosi. Tingkah laku khusus
yang berhubungan dengan emosi, dorongan motoric dan sensoris bawah sadar, serta
perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan rasa tenang diatur oleh sistem saraf
pusat yang dilakukan oleh struktur sub kortikal yang terletak di
8
daerah basal otak yang disebut sistem limbik. Struktur sentral serebri basal
dikelilingi korteks serebri yang disebut korteks limbik. Korteks limbik berfungsi
sebagai daerah asosiasi untuk pengendalian fungsi tingkah laku tubuh dan
penyimpan informasi yang menyimpan informasi mengenai pengalaman seperti
rasa tenang, rasa nyeri, nafsu makan, bau, dan sebagainya.

Retensi Urine

2.3.1 Definisi Retensi Urine


Retensi Urine adalah suatu keadaan dimana pasien tidak dapat kencing total
yang disertai dengan rasa tidak enak di abdomen dengan buli yang teraba atau dapat
diperkusi dan berisi urine lebih dari 150 ml.
Retensi urin adalah suatu keadaan penumpunkan urine di kandung kemih dan
tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna.
Retensi urin adalah kesulitan berkemih atau miksi karena kegagalan
mengeluarkan urin dari kandung kemih atau akibat ketidakmampuan kandung
kemih untuk mengosongkan kandung kemih sehingga menyebabkan distensi
kandung kemih atau keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap. Dimana dari beberapa literature lama waktu dari
ketidakmampuan berkemih spontan serta volume residu urin berbeda-beda.
Dari beberapa definsi diatas maka dapat kita simpulkan bahwa retensi urin
adalah suatu keadaan dimana seorang individu tidak dapat berkemih secara
sempurna baik terjadi secara akut maupun kronis. Retensi urin sering dialami oleh
pria yang berusia tua dengan usia lebih dari 60 tahun, sedangkan insidensi pada
wanita cenderung lebih jarang.

2.3.2 Etiologi Retensi Urine


Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf,
yaitu :
1) Supravesikal
Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–4 dan Th1-
L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian atau
seluruhnya, misalnya : retensi urin karena gangguan persarafan atau diabetes
mellitus.

9
2) Vesikal
Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan batu
saluran kemih, misalnya : retensi urin akibat iatrogenik, cedera/inflamasi,psikis.

3) Intravesikal
Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada leher
vesika urinaria, misalnya : retensi urin akibat obstruksi.

10
Penyebab Retensi Urine

2.3.3 Patofisiologi Retensi Urine


Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai
tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Proses
berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan urine
dan pengosongan kandung kemih. Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi,
buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin
miksi yang hebat disertai mengejan. Retensi urine dapat terjadi menurut lokasi,
faktor obat dan faktor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi uretra, trauma dan
lain sebagainya. Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa
kerusakan pusat miksi di medulla spinalis menyebabkan kerusakan simpatis dan
parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksidengan otot
detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi

11
otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang,
intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur,
batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi
dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi
proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga
menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa kecemasan, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot
perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik.
Dari semua faktor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian
terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya
terjadi distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah
satunya berupa kateterisasi urethra

2.3.4 Klasifikasi Retensi Urine


Menurut Newman,(2011). Retensi urin diklasifikasikan menjadi :
 Retensi urin akut / AUR (Acute Urinary Retention)
Retensi urin yang terjadi tiba- tiba atau ditandai dengan perasaan ingin
berkemih namun ada ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih
walaupun kandung kemih dalam keadaan penuh. Retensi urine yang bersifat akut
juga dapat ditandai dengan pancaran berkemih yang kurang dan beberapa pasien
ada pula yang mengeluh nyeri abdomen bawah yang mungkin disebabkan akibat
distensi kandung kemih.
Retensi urin yang bersifat akut ini sering dialami pasien post pembedahan,
yang dikenal dengan isitilah POUR (Post Operation Urinary Retention). Kondisi
retensi urin akut merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan dan harus segera
dilakukan bladder dekompresi, karena bila tidak, akan berkembang menjadi ruptur
bladder atau gagal ginjal akut.
 Retensi urin kronis /CUR (Chronic Urinary Retention)
Retensi urin kronik adalah ketidak mampuan dalam mengosongkan kandung
kemih secara sempurna yang terjadi secara terus menerus. Pada beberapa

12
kasus, pasien masih dapat berkemih namun membutuhkan kontraksi otot- otot
detrusor dari bladder sehingga istilahnya adalah mengejan. Namun ada juga yang
sama sekali tidak dapat mengeluarkan urin. Meskipun dengan residual urin
sebanyak 75-100 ml, pasien yang mengalami retensi urin kronis tidak mengeluhkan
gejala. Keluhan baru dirasakan pasien setelah terjadi komplikasi seperti
hidronefrosis akibat refluk urin, pyelonephritis, infeksi saluran kemih sampai
terjadi insufisiensi ginjal.
2.3.5 Diagnosis Retensi Urine
Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah dengan diagnosis
retensi urin pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah (Lower Urinary
Tract Symptoms/LUTS) dapat ditegakkan dari, maka anamnesisdan pemeriksaan fisik
yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologik, jumlah urine yang
dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urine,
pengukuran volume residu urine, sangat dibutuhkan. Fungsi berkemih juga harus
diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat
berkemih, atau dengan voiding cystourethrography. Dikatakan normal jika volume
residu urine adalah kurang atau sama dengan 50ml, sehingga jika volume residu urine
lebih dari 200ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun
volume residu urine antara 50-200 ml dapat dicurigai adanya retensi urine, sehingga
telah disepakati bahwa volume residu urine normal adalah 25% dari total volume vesika
urinaria.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis yang didapati pada pasien dengan retensi urine adalah :
- Mengedan bila miksi
- Rasa tidak puas sehabis miksi
- Frekuensi miksi bertambah
- Nokturia atau pancaran kurang kuat
- Ketidak nyamanan daerah pubis
- Distensi vesika urinaria

13
Pemeriksaan Penunjang

Polos Abdomen
Foto polos abdomen merupakan modalitas pencitraan radiologi non-invasif pada abdomen
dengan menggunakan x-ray. Foto polos abdomen digunakan dalam penilaian organ abdomen,
seperti saluran pencernaan, ginjal, dinding abdomen, dan tulang. Pemeriksaan foto polos abdomen
diindikasikan pada penyakit terkait organ abdomen, baik emergensi maupun non-emergensi.
Penyakit emergensi yang membutuhkan pemeriksaan foto polos abdomen, seperti kecurigaan
obstruksi dan perforasi, eksaserbasi akut inflammatory bowel disease, pankreatitis akut, benda
asing abdomen, dan trauma abdomen.

Keadaan non-emergensi yang mungkin membutuhkan pemeriksaan foto polos abdomen,


antara lain massa abdomen, batu saluran kemih, batu ginjal, evaluasi udara bebas
intraperitoneal/retroperitoneal dan gas usus setelah tindakan, serta pemantauan aliran kontras
melalui usus. Foto polos abdomen membutuhkan dosis radiasi yang lebih tinggi (56 nrem) dari
rontgen thorax (8 nrem). Dosis yang lebih tinggi ini dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker
pada pasien yang menjalani pemeriksaan foto polos abdomen, yaitu 22 per 1 juta orang.

14
USG
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen merupakan prosedur pencitraan yang
dilakukan untuk mendiagnosis penyakit seperti batu empedu, batu ginjal, batu saluran kemih,
aneurisma aorta abdominalis, neoplasma hepar, dan karsinoma pankreas. Pemeriksaan ini
memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk menghasilkan gambaran organ-organ di dalam rongga
abdomen tanpa bersifat invasif. Indikasi pemeriksaan USG abdomen adalah untuk menegakkan
diagnosis penyakit pada ginjal, kandung empedu, batu kandung kemih, hepar, aorta abdominalis,
limpa, pankreas dan organ gastrointestinal. Kelainan yang diperiksa dapat berupa perforasi organ,
perdarahan, inflamasi, batu, atau tumor. Pasien dengan kelainan di organ-organ tersebut biasanya
datang dengan keluhan nyeri perut, nyeri pinggang, trauma abdomen, massa abdomen, atau
hematuria.
selain untuk menegakkan diagnosis penyakit, USG abdomen juga dapat digunakan sebagai
pemandu tindakan biopsi dan pembedahan. Teknik yang digunakan dalam pemeriksaan USG
abdomen umumnya tergantung pada organ yang hendak diperiksa dan abnormalitas yang ingin
dicari. Pemeriksaan USG abdomen tidak memiliki kontraindikasi signifikan karena prosedur ini
tidak melibatkan radiasi, bersifat noninvasif, dan mudah dilakukan

15
BNO-IVP
Intravenous pyelography (IVP) sering juga disebut sebagai intravenous urography (IVU)
atau excretory urography (EU). Pemeriksaan radiologi ini dilakukan untuk mengevaluasi parenkim
ginjal, sistem pelviokaliks, ureter, dan vesika urinaria. Prosedurnya dilakukan dengan sinar X-ray
dan injeksi kontras intravena. Kontras yang diinjeksi ke dalam vena akan mengisi saluran kemih
dan menunjukkan gambaran opaque.
Pada pemeriksaan ini, kontras disuntikkan melalui vena dan kemudian difoto menggunakan
sinar x. Kontras tersebut berguna agar urine menjadi terlihat pada sinar x dan bila ada halangan
atau hambatan pada saluran kemih maka akan terdeteksi.Media kontras yang digunakan adalah
yang berbahan iodium, dimana jumlahnya disesuaikan dengan berat badan pasien, yakni 1-2 cc/kg
berat badan. Teknik intravenous pyelography diawali dengan puasa pada pasien, pengambilan foto
X-ray pilot untuk memeriksa kondisi saluran kemih sebelum prosedur, dan pemeriksaan level
kreatinin serum. Setelah itu, prosedur dilakukan dengan injeksi kontras intravena dan pengambilan
foto serial. IVP memiliki keterbatasan seperti waktu pemeriksaan yang lama, paparan radiasi, dan
risiko alergi terhadap kontras, sehingga saat ini computed tomography (CT) lebih banyak
digunakan.

16
Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur aliran dan kekuatan
aliran urine selama buang air kecil. Ini adalah tes urine non invasif yang umum digunakan untuk
mendiagnosis gejala, seperti nyeri saat buang air kecil atau inkontinensia urine. Hasil dari
uroflowmetri dapat membantu dengan penilaian fungsi kandung kemih dan sfingter atau untuk
menguji penghalang dalam aliran normal urine.

Fungsi berkemih diperiksa dengan alat uroflowmetri untuk melihat volume residu urin
normal adalah kurang atau sama dengan 150 ml, sehingga jika volume residu urin lebih dari 150
ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urin. Volume residu urin normal adalah
maksimal 25 % dari total volume vesika urinaria. Kapasitas kandung kemih normal orang dewasa
adalah ± 1000 ml. Namun keadaan over distensi dapat mencapai volume + 2000-3000 ml. Fungsi
berkemih dikatakan masih normal bila volume urin minimal 0,5 - 1 ml / kgBB /jam.
Uoflowmetri dilakukan dengan buang air kecil ke dalam corong khusus. Corong ini
terhubung ke perangkat pengukuran yang menghitung jumlah urine yang dilewati, laju aliran dalam
hitungan detik, dan lama waktu yang dibutuhkan untuk benar-benar mengosongkan kandung
kemih.

17
2.3.6 Penatalaksanaan Retensi Urine
Ketika kandung kemih menjadi distensi maka diperlukan kateterisasi, dengan
kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung
kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus
normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan
dalam waktu 4 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter
kembali untuk memastikan bahwa residu urine minimal. Bila kandung kemih
mengandung lebih dari 100 ml urine, drainasekandung kemih dilanjutkan lagi.
Selain itu tindakan yang dapat membantu untuk mengeluarkan urin adalah cystotomi
atau kateterisasi suprapubik. Dimana Kateterisasi suprapubik ini merupakan prosedur
pemasangan kateter secara tegak lurus langsung ke dalam vesika urinaria pasien yang
mengalami retensi urine akibat adanya sumbatan pada saluran uretra seperti striktur
uretra, ruptur uretra, benign prostatic hyperplasia (BPH), atau massa di leher buli.
Tindakan ini dilakukan bila kateterisasi uretra dikontraindikasikan atau tidak bisa
dijalankan. Kateter suprapubik tersebut memiliki bentuk selang elastis berbahan silikon
atau lateks dengan ukuran 8–10 F untuk pasien pediatrik dan 12–18 F untuk pasien
dewasa.
Prosedur ini merupakan tindakan paling invasif untuk mengatasi retensi urine karena
memerlukan insisi dinding abdomen hingga ke dalam vesika urinaria, sehingga indikasi
yang tepat perlu benar-benar diperhatikan. Apabila retensi urine yang terjadi secara
berkepanjangan, maka dapat terjadi penurunan kemampuan elastisitas vesica urinaria dan
terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang menyebabkan terjadinya reflux, sehingga
penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal dan ureter atau dapat juga
dilakukan foto BNO-IVP.
Ketika terjadi retensi urin, pertama kali diupayakan cara non invasif seperti upaya
bladder training dengan menggunakan hidroterapi Sitz bath agar fungsi eliminasi
berkemih dapat terjadi secara spontan. Apabila upaya ini tidak berhasil, maka diperlukan
penangananan bladder training dengan kateterisasi dengan memasang kateter foley dalam
kandung kemih selama 24 - 48 jam. Secara umum penanganan retensi urin diawali dengan
kateterisasi. Namun, studi terakhir menyatakan bahwa penanganan awal secara non
invasif berupa hidroterapi dapat diupayakan terlebih dahulu. Apabila residu urin lebih
dari 150 ml, antibiotik profilaksis perlu diberikan untuk kateterisasi dalam jangka panjang
atau berulang

18
Setiap pasien dengan retensi urine akut memerlukan tindakan segera.
Penatalaksanaan awal adalah bertujuan untuk mengurangi nyeri dan retensi urin yang
akan beresiko pada disfungsi ginjal. Tindakan utama adalah dengan pemasangan kateter
uretra yang standar. Pada awal pemasangan kateter dapat diberikan gel lidokain ke dalam
uretra sebelum memasang kateter 16 FR atau 18 Fr untuk memberikan lubrikasi dan
anestesi. Pada kondisi striktur uretra mungkin perlu dipikirkan untuk dilakukan kateter
suprapubik atau aspirasi buli perkutaneus. Prosedur ini dapat dilakukan dengan panduan
USG. Setelah dilakukan dekompresi bladder maka pasien harus tetap menggunakan
indwelling kateter selama kurang dari 30 hari sampai retensi urin dapat disingkirkan. Pada
kasus retensi urin kronis, pasien harus menjalani tes pengosongan urin atau void trial
dengan pemasangan indwelling kateter sebelum mendapatkan terapi definitif.

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Retensi urin adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat berkemih secara
spontan. Retensi urin bisa dibagi menjadi 2 keadaan yaitu akut dan kronik. Retensi urin
yang akut adalah ketidakmampuan berkemih yang tiba-tiba dan disertai rasa sakit
meskipun kandung kemih terisi penuh, berlangsung kurang dari 24 jam. Berbeda dengan
kronis, tidak ada rasa sakit karena sedikit demi sedikit menimbunnya, dan berlangsung
lebih dari 24 jam. Kondisi yang terkait adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung
kemih penuh, terjadi tiba-tiba, disertai rasa nyeri, dan keadaan ini termasuk kedaruratan
dalam urologi. Apabila tidak dapat berkemih sama sekali maka harus segera dilakukan
pemasangan kateter.

Normalnya produksi urin dalam waktu 24 jam adalah sebanyak 1000-1500cc.


sedangkan kapasitas buli-buli secara umum adalah sebanyak 300cc dan dalam sehari
manusia dapat berkemih 4- 5kali. Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang
diikuti dengan kontraksi otot-otot destruser. Pengosongan kandung kemih secara
keseluruhan dikontrol didalam pusat miksi yaitu diotak. Terjadinya gangguan
pengosongan kandung kemih akibat dari adanya gangguan fungsi di susunan saraf pusat
dan perifer atau didalam genital dan traktus urinarius bagian bawah. Dalam hal ini
terdapat penyebab akut dan kronik dari retensi urine. Pada penyebab akut lebih banyak
terjadi kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot detrusor, atau ganglion
parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada kasus yang retensi urine kronik,
perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan reflux
ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal.

Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya


kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;
ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada
suprapubik saat berkemih. Suatu penelitian melaporkan bahwa gejala yang paling
bermakna dalam memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran kencing
yang lemah, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna, mengedan saat berkemih,
dan nokturia.

20
Pada kasus pasien ini dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang dialami seperti sulit kencing, disuria,
frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan perasaan sangat ingin kencing sampai terasa
sakit. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi dan palpasi. Inspeksi daerah meatus
uretra eksterna, lihat pembengkakan atau fistel di sekitar area genitalia. Dari hasil
anamnesis ditegakkan pasien mengalami retensi urin akut, dimana hal ini didukung oleh
teori yang menyebutkan bahwa terjadi secara tiba-tiba dalam 24 jam dan manifestasi
klinis pada pasien yaitu nyeri hebat pada regio suprapubik, rasa ingin kecing namun
tertahan, tidak bisanya dilakukan pemasangan kateter untuk mengeluarkan urin yang
tertampung dalam vesika urinaria. Hal ini jauh berbeda dengan tipe kronis yang tidak
menimbulkan gejala segera dan berlangsung secara progresif sehingga dapat
menimbulkan komplikasi lain.
Pemeriksaan penunjang bisa dari radiologi atau laboratorium, berguna untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi yang paling awal digunakan adalah
foto polos abdomen. Hal ini dikarekan untuk menilai organ abdomen, seperti saluran
pencernaan, ginjal, dinding abdomen, tulang dan juga bagian vesica urinaria atau kandung
kemih. Pemeriksaan foto polos abdomen ini diindikasikan pada penyakit terkait organ
abdomen, baik emergensi maupun non-emergensi. Dan pada kasus pasien ini dilakukan
karena adanya suatu keadaan non emergency untuk menilai keadaan kandung kemih
pasca dilakukan tindakan pemasangan cystotomy emergency untuk mengurangi rasa nyeri
pada pasien.
Selanjutnya bisa dilakukan modalitas yang lebih spesifik seperti BNO IVP yang
mana diperlukan persiapan khusus oleh pasien. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengevaluasi parenkim ginjal, sistem pelviokaliks, ureter, dan vesika urinaria.
Prosedurnya dilakukan dengan sinar X-ray dan injeksi kontras intravena. Kontras yang
diinjeksi ke dalam vena akan mengisi saluran kemih dan menunjukkan gambaran opaque.
Dari hasil pemeriksaan ini dapat dengan jelas dilihat saluran dari ginjal menuju vesika
urinaria, sehingga dapat dinilai apakah terdapat gambaran sumbatan atau batu ginjal,
selang ureter, kandung kemih dan berakhir di urethra jika tidak adanya kelainan yang
menghambat.

21
Pada pasien ini juga dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi abdomen, yang
merupakan prosedur pencitraan untuk mendiagnosis penyakit seperti batu empedu, batu
ginjal dan batu saluran kemih. Pemeriksaan ini memanfaatkan gelombang ultrasonik
untuk menghasilkan gambaran organ-organ di dalam rongga abdomen tanpa bersifat
invasif. Kelainan yang diperiksa dapat berupa perforasi organ, perdarahan, inflamasi,
batu, atau tumor.
Pada kasus Pasien ini bisa dilakukan karena terdapat indikasi pemeriskaan yang
mengarah pada penyakit batu saluran kemih atau lainnya dengan klinis pasien terdapat
riwayat operasi batu 2 bulan sebelumnya dan tidak bisa BAK 6 jam sebelum masuk rumah
sakit yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri hebat diregio suprapubik.
Dan yang terakhir untuk membantu menegakkan diagnosis dapat dilakukan juga
pemeriksaan uroflowmetri. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengukur aliran dan
kekuatan aliran urine selama buang air kecil. Ini adalah tes urine non invasif yang umum
digunakan untuk mendiagnosis gejala, seperti nyeri saat buang air kecil atau inkontinensia
urine. Hasil dari uroflowmetri dapat membantu dengan penilaian fungsi kandung
kemih dan sfingter atau untuk menguji penghalang dalam aliran normal urine.
Pada kasus diatas diapat dicurigai beberapa penyebab terjadinya retensi urin seperti
Striktur Urethra, BPH dan Batu Saluran Kemih. Pada kasus yang diakibatkan oleh
striktur urethra bisa dilakukan pemeriksaan retrograde uretrogram. Pemeriksaan ini
berguna untuk mengetahui panjang dan lokasi dari striktur. Pemeriksaan darah lengkap
dan analisis urine dikerjakan untuk memantau perkembangan pasien dan mengeksklusi
penyakit lain. Manajemen pasien striktur tergantung dari lokasi striktur, panjang atau
pendek striktur, dan kedaruratannya. Jenis-jenis intervensi untuk mennyembuhkan
striktur uretra adalah dilatasi uretra, uretrotomi interna, pemasangan stent dalam uretra,
uretroplasti, dan terapi multiple rekonstruksi.
Dari semua pilihan tersebut, uretroplasti adalah gold standard, karena memiliki
angka kesuksesan terapi yang tinggi. Namun jika striktur masih dalam tahap ringan bisa
digunakan stent atau balon kateter untuk membuka lumen, walaupun resiko
kekambuhannya juga tinggi. Karena itu persiapan pre-operasi dan intra-operasi sangat
penting dilakukan untuk mencegah komplikasi dan kekambuhan penyakit.

22
Pada kasus yang dicurigai akibat adanya pembesaran prostate atau BPH tetap tindakan awal
dilakukan keteterisasi secara umun dan dilanjutkan dengan pembedahan yaitu TURP (Transurethral
Resection Of The Prostate). Penatalaksanaan awal adalah bertujuan untuk mengurangi nyeri dan
retensi urin yang akan beresiko pada disfungsi ginjal.Tindakan utama adalah dengan pemasangan
kateter uretra yang standar. Pada awal pemasangan kateter dapat diberikan gel lidokain ke dalam
uretra sebelummemasang kateter 16 FR atau 18 Fr untuk memberikan lubrikasi dan anestesi.

TURP merupakan gold standard untuk penanganan BPH dengan gejala gejala sedang sampai
berat, karena dibandingkan dengan prosedur bedah terbuka maka TURP lebih sedikit menimbulkan
trauma dan komplikasi seperti striktura uretra serta memerlukan masa pemulihan yang lebih
singkat. Secara umum TURP juga dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan
laju pancaran urin hingga 100%.
Pada kasus lainnya bisa disebabkan oleh batu saluran kemih ataupun neurologic bledder.
Batu kandung kemih sering ditemukan secara tidak sengaja pada penderitadengangejala obstruktif
dan iritatif saat berkemih. Tidak jarang penderitadatang dengan keluhan disuria, nyeri suprapubik,
hematuria dan buang airkecil berhenti tiba-tiba. Kasus batu kandung kemih di Indonesia
diperkirakan insidensinya lebih tinggi dikarenakan adanya beberapa daerah yang termasuk daerah
stone belt. Beberapa faktor resiko pada kasus pasien ini juga sesuai dengan teori yaitu obstruksi
23
intravesika, neurogenic bladder, infeksi saluran kemih, adanya benda asing (riwayat batu ginjal)
dan divertikel kandung kemih. Sedangkan pada kelainan neurogenic bladder dapat membentuk
batu karena adanya faktor risiko tambahan seperti bakteriuria, hidronefrosis, refluks
vesikoureter,jaringan parut ginjal, rekonstruksi traktus urinarius bawah, dan defekmedula spinalis
setinggi torakal.
Penyebab tersering adalah urine yang stasis dan infeksi saluran kemih. Pemasangan
kateter menetap dan operasi interposisi segmen usus digunakan untuk tatalaksana
disfungsi buli yang keduanya dapat menyebabkan infeksi saluran kemih. Walaupun batu
dapat terbentuk disetiap tingkat saluran kemih, pada kasus seperti ini batu ini sering
timbul dibuli, terutama bila terdapat riwayat operasi augmentasi buli.Diagnosis batu pada
kondisi ini sulit ditentukan dan dapat tertunda akibat gejala asimptomatik karena
gangguan sensoris dan disfungsi vesikouretra.
Pada kasus ini dilakukan tindakan pemasangan kateterisasi suprapubik emergency
atau cystotomy. Dimana cystotomy ini adalah tindakan operasi dengan membuat jalan
antara buli-buli dan dinding perut anterior. Pada umumnya pasien dengan kasus retensi
urin ini dapat dilakukan pemasangan kateter seperti biasanya, akan tetapi ada beberapa
yang menyebabkan terhalangnya masuk sehingga selang kateter gagal mencapai kandung
kemih dan terindikasi adanya suatu sumbatan atau jaringan yang menutup jalur masuk.
Untuk indikasi pemasangan kateterisasi suprapubik atau cystotomy ini berupa gagalnya
kateterisasi secara umum dan telah dilakukan dengan berbagai ukuran, mulai dari yang
normal dewasa dan terkecil untuk anak-anak. Sedangkan untuk syarat pemasangan ini
kondisi pasien sangat mendukung dimana buli – buli tampak penuh dan secara
pemeriksaan palpasi teraba, tidak adanya sikatrik bekas operasi di area bawah abdomen.

24
BAB V
KESIMPULAN

Demikian telah dilaporkan suatu kasus retensi urin dari seorang pasien laki-laki,
Tn. NE usia 36 tahun dengan keluhan sulit buang air kecil. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada pasien ini dilakukan tindakan
Cystotomi emergency untuk mengurangi nyeri dan membantu pasien untuk berkemih.
Fungsi sistem saluran kemih yang paling utama adalah menjaga keseimbangan
cairan dalam tubuh dengan mengeluarkan lewat urine. Jika tejadi sumbatan dalam sistem
saluran kemih maka urine tak bisa dikeluarkan dan ini akan berimbas pada sistem organ
tubuh yang lain. Maka dari itu sumbatan saluran kemih, atau sering disebut retensi urine
merupakan salah satu kedaruratan medis yang harus cepat ditangani agar tidak
menimbulkan keadaan yang lebih serius.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar


urologi.,Edisi ke – 2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 852.
2. Rasjad C. Hernia. Dalam : Sjamsuhidajat R, Jong WD, editor. Buku
AjarIlmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. ECG;2004;hal. 523-38
3. Selius Brian, Subedi Rajesh. Urinary retention in adults: diagnosis and initial management.
American Family Physician. 2008; 77. P. 643-650.
4. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16th ed, TheMcGraw Hill Companies
2004, hal 367-374
5. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8thed.,WB Saunders,
Philadephia 2002, hal 1297-1433
6. Kalejaiye, O., & Speakman, M. J. (2009). Managemen of Acute and
Chronic Retention In Men. European Association of Urology(8), 523-529
7. Newman, D. K. (2011). Managing Urinary Retenstion In The Acute Care Setting.
Pennsylvania: Verathon

8. Purnomo B. Basuki. Dasar-dasar urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto; 2011

9. Aguilera PA., Choi T., Durham BA. 2004. Ultrasound-guided suprapubic cystostomy catheter
placement in the emergency department. The Journal of Emergency Medicine. http://www.jem-
journal.com/article/S0736-4679(03)00380-9/abstract

10. Remedios D, France B, Alexander M. Making the best value of clinical radiology: iRefer
Guidelines. Clinical Radiology. 2017 Sep 1;72(9):705-7

11. ames B, Kelly B. The abdominal radiograph. The Ulster medical journal. 2013
Sep;82(3):179.
12. Corder CJ, LaGrange CA. Suprapubic Bladder Catheterization. StatPearls Publishing. 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482179/
13. Shlamovitz GZ. Suprapubic Catheterization. Medscape. 2016.
https://emedicine.medscape.com/article/145909-overview.
14. Robinson J. Insertion, care and management of suprapubic catheters. Nurs Stand. 2008;23:49–
58. doi:10.7748/ns2008.10.23.8.49.c6717

26
27
28
29
30

Anda mungkin juga menyukai