Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus Internsip

EPILEPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalani Program Internsip


Pada Rumah Sakit Umum Teungku Peukan
Aceh Barat Daya

Disusun Oleh:
dr. Afliana Wahyuni

Pembimbing:
dr. Yuhyi Fajrina, Sp.N

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN I 2023

RUMAH SAKIT UMUM TEUNGKU PEUKAN


ACEH BARAT DAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya, laporan kasus internsip ini dapat diselesaikan.
Selanjutnya shalawat beserta salam penulis haturkan kepangkuan Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun judul laporan kasus ini adalah “Epilepsi” Tugas ini diajukan
sebagai salah satu tugas dalam menjalani Program Dokter Internsip Indonesia di
Rumah Sakit Umum Teungku Peukan Aceh Barat Daya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. Yuhyi


Fajrina, Sp.N yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Penulis tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang
membangun agar tercapai hasil yang lebih baik kelak.

Blangpidie, Desember 2023

dr. Afliana Wahyuni

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 4
BAB II LAPORAN KASUS.......................................................................... 5
2.1.Identitas Pasien ... ......................................................................... 5
2.2.Anamnesis ..................................................................................... 5
2.3.Pemeriksaan Fisik ... ...................................................................... 6
2.4.Pemeriksaan Penunjang ... ............................................................ 10
2.5.Diagnosis ... ................................................................................. 13
2.6.Penatalaksanaan ... ....................................................................... 13
2.7.Planning ... ................................................................................... 13
2.8.Followup Ruangan ... ................................................................... 14
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 17
3.1.Definisi ....................................................................................... 17
3.2.Epidemiologi ............................................................................... 18
3.3.Etiologi ....................................................................................... 19
3.4.Klasifikasi ... ............................................................................... 19
3.5.Patofisiologi ................................................................................ 22
3.6.Diagnosis .................................................................................... 25
3.7.Penatalaksanaan .......................................................................... 30
3.8.Komplikasi ... .............................................................................. 31
3.9.Prognosis .................................................................................... 31
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai,


terdapat pada segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita.
Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan
menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua,
kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.1
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia
penelitian epidemiologi tentang epilepsi belum pernah di lakukan, namun
bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan, maka dapat
diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta
akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi dan
40% masih dalam usia reproduksi. 2
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau
penyakit yangtimbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang
umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak
hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa
penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi
merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi
penderita epilepsi.1
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis
dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan
dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik penderita maupun
keluarganya. 2,3

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. MI
Umur : 35 tahun
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Dusun Bahagia
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Kejang
Keluhan Tambahan
Lemas, jantung berdebar, dan terdengar suara bisikan
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang denga keluhan kejang berulang sejak 10 hari yang lalu.
Frekuensi kejang >5x/hari. Riwayat terjatuh di kamar mandi (+). Pre iktal : pasien
merasa jantung berdebar – debar. Iktal : Kedua tangan dan kaki kaku kelojotan
dengan durasi selama 2 menit, kedua mata melihat keatas, dan tidak sadar (+).
Post iktal : sadar kembali dan pasien akan tertidur. Pasien mengeluh terdengar
suara bisikan yang mengatakan bahwa dirinya akan meninggal sejak 1 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat kejang sejak kelas 5 SD yang diawali
dengan sakit gigi. Keluarga pasien mengaku terus berobat namun tidak teratur.
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan :
Pasien pernah mengkonsumsi obat namun lupa nama obatnya. Riwayat
alergi dan penyakit bawaan disangkal.
Riwayat Keluarga dan sosial
Riwayat keluhan yg sama dialami oleh keluarga pasien disangkal.

5
2.3 Pemeriksaan Fisik
Kesan : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 150/90 mmHg
Nadi : 89x/menit, regular, kuat angkat
Pernapasan : 18x/menit, regular
Saturasi Oksigen : 99%
Suhu : 36,7C

Status General

 Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Normal
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Edema : Tidak ada
 Kepala dan Leher
Ukuran : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata
Wajah : Simetris
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 2mm/2mm, kornea dan lensa jernih, refleks cahaya langsung
(+/+), dan refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Normotia, sekret (-/-), massa (-/-)
Hidung : NCH (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir pucat, tidak ada sianosis pada mukosa bibir, bibir simetris,
tidak ada trismus, hipersalivasi (+)
Leher : tidak ada tortikolis, massa (-), pembesaran KGB (-)
 Thoraks
Inspeksi : Simetris, kesan normochest, retraksi (-)
Palpasi : nyeri (-/-), fremitus normal

6
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V, midclavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I > BJ II, Reguler, Bising (-)
 Abdomen
Inspeksi : Simetris, ikterik (-), distensi (-)
Palpasi : Nyeri Tekan epigastrium (+), soepel (+), hepatosplenomegali (-)
Asites : Tidak ada
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran
Auskultasi : Peristaltik (meningkat)
 Anus : Tidak ada keluhan, tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas: edema (-), sianosis (-), akral hangat (+)
 Status Neurologis
Kesadaran : E4M6V5
Mata : Pupil Isokor, bulat, ukuran 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
TRM : Kaku Kuduk (-), Laseque Test (-), Kernig Sign (-)

 Nervus Kranialis
Nervus Cranialis Kanan Kiri

Nervus I

Fungsi Penciuman Dalam batas normal Dalam batas normal

Nervus II

Visus Dalam batas normal Dalam batas normal

Lapangan Pandang Dalam batas normal Dalam batas normal

7
Nervus III

Ukuran 3 mm 3 mm

Bentuk Pupil Bulat Bulat

Reflek Cahaya Positif Positif

Nervus III, IV, VI

Lateral Dalam batas normal negatif


Dalam
positbatas normal

Atas Dalam batas normal Dalam batas normal

Bawah Dalam batas normal Dalam batas normal

Medial Dalam batas normal Dalam batas normal

Diplopia Dalam batas normal Dalam batas normal

Nervus V

Membuka Mulut Dalam batas normal Dalam batas normal

Menggigit dan mengunyah Dalam batas normal Dalam batas normal

Nervus VII

Mengerutkan dahi Dalam batas normal Dalam batas normal

Menutup Mata Dalam batas normal Dalam batas normal

Sudut bibir Dalam batas normal Dalam batas normal

Nervus VIII

Pendengaran Dalam batas normal Dalam batas normal

Nervus IX dan X

Bicara Dalam batas normal

Reflek menelan Dalam batas normal

8
Nervus XI

Memutar kepala Dalam batas normal Dalam batas normal

Nervus XII

Posisi lidah didalam mulut Posisi di tengah

Menjulurkan lidah Dalam batas normal

Motorik
Gerakan Columna Vertebralis : simetris
Bentuk Columna Vertebralis : kesan simetris
Sensibilitas
Rasa nyeri : Dalam batas normal
Rasa Raba : Dalam batas normal
Anggota Gerak Atas
Motorik : 5555/5555
Bisceps refleks : +/+
Trisceps refleks : +/+
Sensibilitas : Dalam batas normal
Anggota Gerak Bawah
Motorik : 5555/5555
Patella refleks : +/+
Achilles refleks : +/+
Sensibilitas : Dalam batas normal

Reflek Patologis

Babinski refleks : -/-


Chaddok refleks : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Fungsi saraf otonom
BAB dan BAK lancar, tidak ada gangguan.

9
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal 15 November 2023

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


Hematologi Rutin
Hemoglobin 14,7 11-16 gr/dl
Leukosit 7,2 5-10 x 103/mm3
Eritrosit 4,9 3,5-5,5 x 106/mm3
Trombosit 248 150-450 x 103/mm3
Hematokrit 42,7 38-46%
Kimia Klinik
GDS 109 70-121 mg/dl
Profil Lipid
Kolesterol Total 191 < 200 md/dl
Trigliserida 183* < 150 md/dl
Fungsi Ginjal
Ureum 13* 17- 43 md/dl
Kreatinin 0,8 0,7-1,3 mg/dl
Asam Urat 8,5* 3,5 – 7,2 mg/dl
Fungsi Hati
SGOT 18 0 – 45 u/dl
SGPT 34 0 – 35 u/l

10
Tanggal 15 November 2023
EEG

11
12
Technician Comments :
- Perekaman dilakukan selama 45 menit saat bangun.
- Irama dasar berupa gelombang alfa dengan frekuensi 9-10 SPD dengan
amplitudo sedang-rendah sampai 40nV. Simetris di kedua hemisfer.
Reaktivitas terhadap buka tutup mata baik.
- Pada stimulasi fotik tidak tampak gelombang patologis. Stimulasi
hiperventilasi tidak dilakukan.
- Tak tampak gelombang tidur selama keseluruhan perekaman
- Tampak gelombang epileptiform descharge (spike and wave complex) di
temporal kanan dengan fase reversal di T4-T6. Terdapat perekaman iktal
selama 1 menit berupa gelombang multispike.
Interpretation :
- EEG abnormal berupa aktivitas epileptiform fokal di temporal kanan

2.5 Diagnosis
- Epilepsi
2.6 Penatalaksanaan
- IVFD Asering 20gtt/i
 Medikamentosa
- Inj. Piracetam 1 gram/12 jam IV
- Phenitoin sodium cap 3x100 mg
- Flunarizin tab 2x10 mg
- Asam Folat tab 2x 1 mg
- Amlodipin tab 1x 10 mg
- Risperidone tab 2x 2 mg

2.7 Planning
- Pantau Keadaan Umum
- Pantau tanda-tanda Vital

13
2.8. Followup Ruangan
16/11/2023 S : Pasien masih mengeluh kejang
O:
 Kesadaran = compos mentis (CM)
 TD : 150/80 mmHg
 HR = 76 x/menit
 RR = 20 x/menit
 Suhu = 36,5 ˚C
A : Epilepsi
P:
 IVFD Asering 20 gtt/i
 Inj. Piracetam 1 gram/12 jam IV
 Phenitoin sodium cap 3x100 mg
 Flunarizin tab 2x10 mg
 Asam Folat tab 2x 1 mg
 Amlodipin tab 1x 10 mg
17/11/2023 S : Pasien masih mengeluh kejang.
Pasien mendengar bisikan yang mengatakan bahwa dirinya akan
meninggal (+). Sering lupa (+).
O:
 Kesadaran = compos mentis (CM)
 TD : 150/80 mmHg
 HR = 80 x/menit
 RR = 18 x/menit
 Suhu = 36,3 ˚C
A:
 Epilepsi
 F 06.8 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi
otak dan penyakit fisik lain

14
P:
 IVFD Asering 20 gtt/i
 Inj. Piracetam 1 gram/12 jam IV
 Phenitoin sodium cap 3x100 mg
 Flunarizin tab 2x10 mg
 Asam Folat tab 2x 1 mg
 Amlodipin tab 1x 10 mg
 Risperidone tab 2x 2 mg
18/11/2023 S : Pasien tidak mengeluh kejang.
Pasien mendengar bisikan yang mengatakan bahwa dirinya akan
meninggal (-). Sering lupa (-).
O:
 Kesadaran = compos mentis (CM)
 TD : 160/90 mmHg
 HR = 84 x/menit
 RR = 20 x/menit
 Suhu = 37,0 ˚C
A:
 Epilepsi
 F 06.8 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi
otak dan penyakit fisik lain
P:
 IVFD Asering 20 gtt/i
 Inj. Piracetam 1 gram/12 jam IV
 Phenitoin sodium cap 3x100 mg
 Flunarizin tab 2x10 mg
 Asam Folat tab 2x 1 mg
 Amlodipin tab 1x 10 mg
 Risperidone tab 2x 2 mg
19/11/2023 S : Pasien tidak mengeluh kejang.
Pasien mendengar bisikan yang mengatakan bahwa dirinya akan

15
meninggal (-). Sering lupa (-).
O:
 Kesadaran = compos mentis (CM)
 TD : 140/100 mmHg
 HR = 80 x/menit
 RR = 20 x/menit
 Suhu = 36,7 ˚C
A:
 Epilepsi
 F 06.8 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi
otak dan penyakit fisik lain
P:
 IVFD Asering 20 gtt/i
 Inj. Piracetam 1 gram/12 jam IV
 Phenitoin sodium cap 3x100 mg
 Flunarizin tab 2x10 mg
 Asam Folat tab 2x 1 mg
 Amlodipin tab 1x 10 mg
 Risperidone tab 2x 2 mg
20/11/2023 S : Pasien tidak mengeluh kejang.
O:
 Kesadaran = compos mentis (CM)
 TD : 140/ 80 mmHg
 HR = 80 x/menit
 RR = 20 x/menit
 Suhu = 36,0 ˚C
A:
 Epilepsi
P : PBJ
 Phenitoin sodium cap 3x100 mg
 Amlodipin tab 1x 5 mg

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi

Definisi Konseptual.

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan terus


menerus untuk menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali
bengkitan epileptik.15

Definisi Operasional

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu
kondisi/gejala sebagai berikut:

1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan


jarak waktu antar bangkitan pertana dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila
terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan refleks.
3. Sudah ditegakan diagnosis sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten) 15

Epilepsi dianggap dapat diatasi pada individu dengan sindrom epilepsi


tergantung usia tetapi sudah melewati batas usia tertentu atau mereka yang tetap bebas
bangkitan selama 10 tahun terakhir tanpa obat antiepilepsi (OAE) selama 5 tahun.
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan


saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan
sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada
kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu

17
kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang
(lebih dari satu episode). 3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE)
dan International Bureau for epilepsy (IBE), epilepsi didefinisikan sebagai
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis
dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epileptik sebelumnya.
Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala
yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau
sinkron yang terjadi diotak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas
muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik. Status epileptikus merupakan kejang
yang terjadi >30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan
kesadaran diantara dua serangan kejang.4

3.2 Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di
negara maju ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di negara berkembang
mencapai 100/100.000. 5
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak
mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya
sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi
terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun.
Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai
umur 50 tahun, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan
terjadinya penyakit cerebrovaskular. Pada 75% pasien, epilepsi terjadi
sebelum umur 18 tahun. 6

18
3.3 Etiologi

Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, dan


imun serta kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke
dalam lebih dari satu kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hirarki dan mungkin
tergantung pada keadaan pasien.

1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pada pemeriksaan pencitraan yang


dikaitkan dengan pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara lain
stroke, trauma, infeksi atau yang berkaitan dengan genetik seperti malformasi
perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural memerlukan pemeriksaan
MRI dengan meggunakan protokol spesifik epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga dimana bangkitan
merupakan gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh Childhood Absence
Epilepsy atau Juvenile Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosistiserkosis,
tuberkulosis, HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sklerosis subakut,
toksoplasmosis serebral, dan infeksi kongenital seperti virus Zika dan virus
Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki korelasi struktural.
4. Metabolik: identifikasi penyebab metabolik sangat penting sehubungan dengan
terapi spesifik dan pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang berhubungan
dengan reaksi autoimun; contoh: epilepsi pada multiple sklerosis.
6. Tidak diketahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya
berdasarkan usia awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.15

3.4 Klasifikasi

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan


klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor- faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan
situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut
bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram. 3

19
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah : 3
1.Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikis
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum

2.Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


a. Bangkitan lena (absence)
Lena (absence) sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa
di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya
percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat.
Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti
dengan serangan tonik-klonik.
b. Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan
tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis. Muncul akibat adanya
gerakan involuntar sekelompok otot yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
c. Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot
ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Berupa pergerakan tonik

20
satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang
menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk
dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7
tahun.
d. Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa
dimenifestasikan oleh kepala yang terangguk- angguk, lutut lemas, atau kehilangan
total dari tonus otot dan pasien bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya
penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini
jarang terjadi.
e. Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang disebabkan oleh
hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti sentakan
bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa
predominasi pada satu anggota tubuh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya
dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
f. Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik epilepsi
serangan ini ditandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama
beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba
penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian
diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan
tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa
menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan
biasanya akan tertidur setelahnya.3

21
3.5.Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih


dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi
aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion
channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas
neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan
intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran
neuron.9

Gambar 3.1. Patofisiologi Epilepsi

22
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada
korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya
epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi
dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi
sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang
membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap
sel- sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada
hippocampus, yang bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk
terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial
luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan
aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga
merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di
korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron
abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan
cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis
serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar
neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai
aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-
macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung
pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian
dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi. 9
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :

1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang


peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap

23
orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan
dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini


dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung
jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya
bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan


epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang
yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi


sebagai hal dasar.9 Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang
selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR)
disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara
farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa
faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan
pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan
voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus
frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari
resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran
natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem
komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama
neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi.
Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam
hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric

24
acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik),
serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan
epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.

3.6. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Tentukan tipe bangkitan
2. Tentukan tipe epilepsi
3. Tentukan sindrom epilepsi
Dalam praktis klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis epilepsi
adalah sebagai berikut;
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal hal terkait
dibawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca-bangkitan
1. Sebelum bangkitan/gejala prodormal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan perilaku, perasan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain – lain.

2. Selama bangitan/iktal
a. Ada/tidaknya aura
b. Deskripsi bangkitan; deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh,
vokalisasi, automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua lengan
dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat dan lain lain. Akan lebih baik jika saksi dapat
menirukan gerakan atau memiliki video saat pasien mengalami
bangkitan.
- Apakah terdapat lebih dari satu tipe bangkitan?
- Apakah terdapat perubahan tipe dari bangkitan sebelumnya?
- Waktu terjadinya bangkitan: saat tidur, saat terjaga, bermain
video game, berkemih, atau sewaktu – waktu.

25
3. Pasca-bangkitan/post-ictal: bingung, langsung sadar, nyeri kepala,
tidur, gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan (paralisis Todd).
4. faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stres psikologis,
alkohol.
5. faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antar bangkitan , awareness antar bangkitan.
6. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya.
7. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang
menjadi penyebab serta komorbiditas .
8. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
9. Riwayat pre-natal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
a. trauma kepala
b. tanta- tanda infeksi
c. kelaina kongenital
d. kecanduan alkohol atau NAPZA
e. kelainan pada kulit (neurooculocutaneus), dan
f. tanda – tanda keganansan.
Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda – tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan bangkitan, seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran
pasca-iktal, afasia pasca-iktal.15
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium perlu memeriksa kadar glukosa, kalsium,
magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Hal yang memudahkan
timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hipokalemia, hipomagnesia,
hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula
diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan
otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,
toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak,
metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11

26
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsi. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan foto
polos kepala.
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatri
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
Adanya gelombang tidak teratur yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelomang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majenuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu
mempunyai gambaran EEG gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/tajam/lambat dab
paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

27
Gambar 3.2. Pembentukan EEG

Gambar 3.3. Profil EEG pada pasien Epilepsi

28
3.7 Penatatalaksanaan

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup


penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan
dan kematian.10
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi
yakni:13,14
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien
dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai
tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap sampai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan
tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :

1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga


pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida
dan neurotransmitter yang voltage dependen

3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan eksitabilitas


glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.

4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang


konduktan kalsium (T) dan kalium.
5. Levetiracetam : Tidak diketahui
6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N

29
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas channel

9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated


chloride, modulasi efek reseptor GABA.

10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi


glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun
bebas dari bangkitan kejang.

Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE


yakni:
1. Syarat umum yang meliputi :
 Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan
pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas
bangkitan.
 Gambaran EEG normal
 Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan.
 Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian
dimulai dari 1OAE yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
 Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
 Epilepsi simtomatik
 Gambaran EEG abnormal
 Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
 Penggunaan OAE lebih dari 1
 Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
 Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

30
3.8 Komplikasi

Komplikasi medis dan neurologi


1. Minor (gejala menghilang dalam 3 bulan) :
a. Kebocoran LCS, infeksi, aseptik meningitis, DVT, emboli paru, pneumonia,
hematom intrakranial, gangguan metabolik.
2. Mayor (gejala menghilang lebih dari 3 bulan)
a. Hidrosefalus, abses intra kranial
b. Pada pasien anak dan reseksi ekstra temporal sering terjadi:gangguan lapang
pandang (13%), hemianopia (2%), dan afasia (4%)
Komplikasi neuropsikologi dan psikiatri
1.Lobektomi Temporal anterior
a. Gangguan memori verbal pada reseksi sisi kiri sebesar 44% dan sisi kanan 20%
b. Gangguan memori visuospasial (20%)
c. Gangguan penamaan (34%) pada sisi kiri
d. Fluensi verbal dapat meningkat (27%)
2. Gangguan distimik interiktal (18%), psikosis (1%) 15

3.9 Prognosis

Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,


faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada 50-70%
penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50%
pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik
dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.
Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)
dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling
tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh
penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi. 6

31
BAB IV
KESIMPULAN
Epilepsi merupakan kelainan otak di mana karakteristik predominannya adalah
terjadinya interupsi pada fungsi otak normal secara berulang dan tidak dapat
diprediksi. Kelainan yang terjadi itu disebut sebagai serangan epileptik (epileptic
seizures). Serangan epileptik didefinisikan sebagai gejala dan tanda suatu kejadian
yang bersifat transien akibat aktivitas neuronal otak yang berlebihan dan abnormal.
Diperkirakan 70 juta penduduk dunia mengalami epilepsi. Rata-rara insidensi
epilepsi adalah 50,4 per 100.000 populasi per tahun. Secepatnya dalam dua minggu
seluruh pasien dengan serangan epileptik harus diperiksa oleh spesialis saraf
(neurologi) untuk diagnosis dini dan tata laksana segera. Pasien dengan epilepsi
harus rutin dilakukan pemantauan atau kontrol kondisi penyakitnya.
Kepatuhan minum obat pada pasien epilepsi merupakan salah satu faktor penting
terhadap keberhasilan terapi. Panjangnya waktu pengobatan kasus epilepsi seringkali
menyebabkan pasien bosan untuk mengkonsumsi rutin obat antiepilepsinya, apalagi
bila frekuensi kejangnya masih ada meskipun telah rutin mengkonsumsi obat.
endahnya kepatuhan pada pasien epilepsi dewasa dalam menggunakan OAE
berkontribusi pada morbiditas (contohnya aktivitas kejang yang persisten),
mortalitas, tambahan biaya perawatan Kesehatan. World Health Organization
(WHO) telah menyimpulkan bahwa meningkatkan efektivitas intervensi kepatuhan
memiliki dampak yang jauh lebih besar pada kesehatan penduduk daripada perbaikan
dalam perawatan medis tertentu.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. SEAR Epidemiological. 2014; Available from:


http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134_pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In :
Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. pl
19-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). Pedoman Tatalaksana Eoilepsy.Jakarta: Penerbit Perdossi:2012.
4. Heilbroner,Peter.Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology :
Essentials for General Practice.1st ed.2007
5. World Health Organization. Atlas epilepsy. 2014; Available from:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion,pdf
6. World Health Organization. Atlas epilepsy. 2014; Available from:
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. World Health Organization. Pengobatan epilepsi. 2014;
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-
epilepsi-pada-anak-2
8. Shorvon.SD.HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing L td.2005
9. Price dan Wilson, 2006.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit.Ed:6.Jakarta:EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: MeGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005 15,
PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008 16.
http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat;2009.p.439.
13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farkaologi dan terapi.5th ed.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2005
14. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006
15. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). Pedoman Tatalaksana Epilepsy.Jakarta: Penerbit Perdossi:2019.

33

Anda mungkin juga menyukai