SINDROM NEFROTIK
Disusun Oleh :
Rafa Alwanah 16360098
Aldion Fredyk Winkardo 16360129
Ni Made Astie Rafitha 16360295
Gusty Riantami 16360287
Pembimbing :
dr. Tawarta Keliat, Sp.PD
0
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah
laporan kasus yang berjudul “Sindrom Nefrrotik” dapat selesai disusun. Laporan
kasus ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna
memenuhi persyaratan penilaian Kepanitraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam di
RSUD Kabanjahe.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Tawarta Keliat, Sp.PD
selaku pembimbing dibagian Ilmu Penyakit Dalam. Dan semoga laporan kasus ini
dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
1
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ........................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ................................................................................ 2
DAFTAR ISI .............................................................................................. 3
BAB I. LAPORAN KASUS .............................................................. 3
BAB 11. PENDAHULUAN ................................................................. 10
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 11
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI DINJAL ........................... 11
1. Anatomi Ginjal ............................................................. 11
2. Fisiologi Dasar Ginjal .................................................. 13
B. SINDROMA NEFROTIK ................................................. 14
1. Definisi ......................................................................... 14
2. Insidens ......................................................................... 15
3. Etiologi dan Klasifikasi ................................................ 16
4. Manifestasi Klinis ........................................................ 19
5. Patofisiologi ................................................................. 21
6. Pemeriksaan penunjang ................................................ 25
7. Diagnosa Banding ........................................................ 26
8. Penatalaksanaan ........................................................... 26
9. Komplikasi ................................................................... 33
10. Prognosis ...................................................................... 36
BAB IV. KESIMPULAN ...................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 38
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Yudi Aprianta Karo
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 17 tahun
Alamat : Kutamale
Agama : Kristen
Bangsa : Karo
Tgl Masuk RS : 18-09-2017
No. Rekam Medik : 151099
II. ANAMNESA
Keluhan Utama :
Bengkak pada seluruh tubuh dan sesak terutama saat aktifitas
Telaah :
Bengkak pada seluruh tubuh sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Bengkak diawali pada daerah kelopak mata sejak 10 hari
yang lalu, terutama pada pagi hari saat bangun tidur. Bengkak berkurang
saat siang dan sore hari. Kemudian bengkak menyebar ke daerah wajah,
lengan, tungkai, perut dan seluruh tubuh. Keluhan bengkak ini disertai
dengan sesak, terutama saat beraktivitas. Namun os masih bisa
beraktivitas ringan. Os juga mengeluhkan demam, lemas, dan sakit pada
sela sela jari tangan dan kaki. Mual tidak ada, muntah tidak ada.
Riwayat adanya bercak merah diwajah tidak ada. Selama bengkak BAK
berkurang, warna normal, dan sedikit berbusa. BAB normal.
3
Riwayat Alergi :
Alergi terhadap obat-obatan, makanan, cuaca tertentu disangkal.
Riwayat Habituasi :
Tidak ada
c. Keadaan pernafasan :
Frekuensi : 24 kali per menit
Pemeriksaan Thorax
c. Paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada pernapasan tertinggal
Palpasi : Stem fremitus dextra et sinistra (+) simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : SP : Vesikuler (+)
ST : Wheezing (-), Ronkhi (-)
d. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung relatif
4
Atas : ICS II linea parasternalis dextra
Kiri : ICS IV linea midclavicularis
sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternalis
dextra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 : regular dan normal
Gallop (-), murmur (-)
e. Abdomen
Inspeksi : Asites (+)
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-)
Perkusi : Thympani
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
f. Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+/+), Oedem (+/+)
Inferior : Akral hangat (+/+), Oedem (+/+)
V. ANJURAN
- Darah lengkap
- Kadar albumin
- Cek fungsi hati (bilirubin total, bilirubin direk, SGOT, SGPT)
- Cek fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat)
- Protein urin kuantitatif
- Profil lipid (kolestrol total, kolestrol HDL, kolestrol LDL)
VI. RESUME
Anamnesis : Oedem pada seluruh tubuh sejak 3 hari lalu, yang diawali
pada daerah preorbital kemudian menyebar ke wajah, ekstremitas superior
et inferior (+/+), perut, dan seluruh tubuh. Sesak (+) terutama saat
beraktivitas. Demam (+), lemas (+) dan sakit pada sela sela jari tangan dan
kaki. BAK berkurang dan sedikit berbusa.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vitas sign : Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Heart Rate : 80 kali per menit
Respiratory Rate : 24 kali per menit
Temperature : 380 C
Status generalisata :
5
Konjuntiva anemis (+/+), oedema preorbital (+/+), asites (+), edema pada
ekstremitas atas dan bawah (+/+)
Hasil lab : Hipoalbuminemia, disfungsi ginjal (ureum dan kreatinin
meningkat), asam urat tinggi.
Pemeriksaan Laboratorium tgl 20/09/2017
Parameter Hasil Nilai normal
Asam urat 8,2 mg/dl Lk 3,4 – 7,0 mg/dl, Pr 2,4 – 5,7 mg/dl
IX. PENATALAKSANAAN
a. Non farmakologi :
6
- Bed rest
- Diet MBRG
- Diet rendah kolesterol
b. Farmakologi :
- IVFD RL 8-10 gtt/i
- Inj Furosemid 1amp/12 jam
- Inj Ranitidine 1amp/12 jam
- Inj Levofloxacin 1vial/hari
- Inj Methylprednisolon/12 jam
- KSR 1x1 6 mg
- Simvastatin 40 mg 1x1
- Pct 500 mg 2x1
- Tanapres 5 mg 1x1
- Transfusi albumin
Rumus = (kebutuhan albumin – albumin sekarang) x 0,8 x BB
= (3,2 – 1,8) x 0,8 x 78
= 87,36 ( 3 fls albumin yang 20%)
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanatiam : dubia ad bonam
7
BAB II
PENDAHULUAN
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
9
kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari
150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi
glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan duktus koletivus. Di
lapisan dalam, medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus,
lengkung (ansa) Henie, vasa rekita dan duktus koligens terminal.
Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis
utama yang keluar dari aorta. Arteri renalis utama membagi menjadi medula ke
batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang
membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel
otot yang terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel
lacis dan bagian distal tubulus (mukula densa) yang berdekatan dengan
glomerulus, membentuk aparatus jukstaglomeruler yagn mengendalikan
sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman kapiler glomerulus,
yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen
glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar dari pada
arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta)
ke tubulus dan medula.
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (glomerulus dan
tubulus terkait). Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat
lahir, tetapi maturasi fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena
tidak ada nefron baru yang dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron
secara progresif dapat menyebabkan insufisiensi ginjal.
Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai
mekanisme penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium
yang mempunyai sitoplasma sangat tipis yang berisi banyak lubang
(fenestrasi). Membrana basalis glomerulus (BMG) membentuk lapisan
berkelanjutan antara endotel dan sel mesangium pada satu sisi dengan sel epitel
pada sisi yang lain.
Membran mempunyai 3 lapisan. (1) lamina densa yang sentralnya
padat-elektron, (2) lamina rara interna, yang terletak di antara lamina densa
10
dan sel-sel endotelian ; dan (3) lamina rara eksterna, yang terletak di antara
lamina densa dan sel-sel epitel. Sel epitel viteviscera menutupi kapiler dan
menonjolkan “tonjolan kaki” sitplasma, yang melekat pada lamina rara
eksternal. Di antara tonjolan kaki ada ruangan atau celah filtrasi. Mesangium
(sel mesangium dan matriks) teletak di antara kapiler-kapiler glomerulus pada
sisi endotel membrana basalis dan menbentuk bagian tengah dinding kapiler.
Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung pada kepiler
glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran darah
glomerulus, filtrasi dan pembangunan makromolekul (seperti kompleks imun)
dari glomerulius, melalui fagositosis intraseluler atau dengan pengakutan
melalui saluran interseluler ke daerah jukstagomerulus. Kapsula Bowman,
yang mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membrana basalis, yang
merupakan kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus dan tubulus
proksimalis, dan (2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel
epitel viscera.
11
Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah
merah oleh sumsum tulang.
Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Degenerasi insulin
Menghasilkan prostaglandin
B. SINDROM NEFROTIK
1. DEFINISI
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan
merupakan komplek gejala klinik yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
- Edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan
periorbital.
- Proteinuria massif ( ≥ 40 mg/m2 LPB/jam)
- Hipoalbuminemia, albumin ≤ 3 gr/dl
- Hiperlipidemi, khususnya hiperchlolesterolemi ; sebagai batas biasanya
ialah bila kadar cholesterol plasma total ≥ 250 mg/dl
- Lipiduria ; dapat berupa lemak bebas didalam darah, sel epitel bulat yang
mengandung lemak (“ovel fat bodies”).
Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Namun
beberapa berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yang masif
serta hipoalbuminemi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis sindrom
nefrotik.
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara
lain :
12
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2
LBP/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6
bulan pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun
pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6
bulan pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari
selama 4 minggu.
2. INSIDENS
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut
sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus-kasus ini
adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif
autosom. Kelompok responsif steroid sebagai besar terdiri dari anak-anak
dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di jakarta
di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. Kelompok
tidak responsif steroid atau resisten steroid terdiri dari anak-anak dengan
kelainan glomerulus lain. Disebut sindrom nefrotik sekunder apabila penyakit
dasarnya adalah penyakit sistemik karena obat-obatan, alergen dan toksin dll.
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita
(2:1) dan kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan
terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa.
SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun dan di Indonesia
dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun.
13
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-
4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.
14
kelainan membrana basalis. Kelainan ini jarang memberikan respon
terhadap steroid dan prognosis mortalitas lebih kurang 50%.
Gambar
3.2 Histopatologi
Glomerulonefritis Membranosa
15
Gambar 3.3 Glomerulonefritis membranoproliferatif, penipisan membran
basal kapiler perifer telah ditandai dengan pewarnaan trichrome
masson.
5. Lain-lain
Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.
16
nefrosis, yaitu penyakit yang terutama mengenai tubulus, tidak ada yang
menyebabkan SN.
Menurut tinjauan dari Robson pada lebih dari 1400 kasus, beberapa
jenis glomerulonefritis primer merupakan penyebab dari 78% sindrom nefrotik
pada orang dewasa dan 93% pada anak-anak. Pada 22% orang dewasa keadaan
ini disebabkan oleh gangguan sistemik (terutama diabetes, amiloidosis, dan
thrombosis vena renalis), dimana ginjal terlibat secara sekunder atau karena
mengalami respon abnormal terhadap obat atau alergen lain.
4. MANISFESTASI KLINIS
Gejala utama yang ditemukan adalah :
1. Proteinuri massif ( ≥40 mg/m2 LPB/jam)
2. Hipoalbuminemia ≤3 gr/dl
3. Edema generalisata, edema terutama jelas dikaki, namun dapat ditemukan
edema muka, ascites dan efusi pleura.
4. Hiperlipidemia. umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
5. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan
arteri.
Kadang-kadang tidak semua tidak semua gejala tesebut diatas
ditemukan. Ada yang berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria
yang masif serta hipoalbuminemia sudah cukup untuk menengakkan diagnosis
SN
.
Edema
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi.
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya
edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun
edema persisten dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah
klinik utama bagi mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang
edemanya tidak dapat segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua
17
kelopak mata. Edema dapat menetap atau bertabah, baik lambat atau cepat atau
dapat menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital
sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi
menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit
yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Edema berpindah dengan perubahan
posisi dan akan lebih jelas dalam posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema
yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan.
Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan
asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi plerura.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare
sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini
rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah
edema submukosa di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau
edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-
kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan
adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan
fisik dan pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan
penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding
perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah
kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan
beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya
protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan
pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.
Gangguan fungsi psikososial
18
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada
penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan
ini memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.
5. PATOFISIOLOGI
Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Dalam keadaan normal
membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik
(change barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut
terganggu. Selain konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya
protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria
selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin.
Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar
seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan
struktur MBG.
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
19
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer
(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate
density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
1)Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor
kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan
tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa
kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga
volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat
gerak cairan masuk ke ruang interstisial. kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
20
konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus
ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
(natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik
dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi
vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan
kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan
ekskresi natrium.
proteinuria
hipoalbuminemia
Volume plasma↓
Sistem RAA
ADH↑
ANP N/↓
21
EDEMA
Gambar 3.4 Skema mekanisme underfill
Defek tubulus primer
Retensi Na
Volume plasma↑
ADH↓/N
ANP ↑
aldosteron↓
Tubulus resisten
terhadap ANP
22
EDEMA
Gambar 3.5 Skema mekanisme Overfill
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari
Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
trombosit, hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara
klasik atau dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus
Sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA
(Ana nuclear antibody) dan anti ds-DNA
Indikasi biopsi ginjal :
23
- Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid
7. DIAGNOSA BANDING
a. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema
hepatal, edema Quincke.
b. Glomerulonefritis akut
c. Gagal ginjal kronis
d. Lupus sistemik eritematosus.
8. PENATALAKSANAAN
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya,
sebaiknya penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat
pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang tua. Perawatan pada sindrom
nefrotik relaps dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai
komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak
perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang
dianggap kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan
terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein normal
sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 2gram/kgBB/hari.
Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energy protein (MEP) dan
hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2gram/hari) hanya
diperlukan jika anak menderita edema.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan
24
pemberian prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m 2 LPB/hari
(maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi.
Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednisone dalam dosis penuh inisial diberikan
selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid dalam 2 minggu pertama,
remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah
pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama,
maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis
40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1
kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid
dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
(Gambar 1)
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien,
tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50%
diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat
dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednisone dosis alternating
selama 4 minggu, kemudian diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
25
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan,
dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
26
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu), dilanjutkan dengan prednisone alternating 40
mg/m2 LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid
2-3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu
27
dosis tunggal selama 12 minggu dan prednisone alternating 40
mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-
tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering-off 2 bulan).
3. Levamisol
28
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini
juga mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi
sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5
mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4-12 bulan.
4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai
dengan steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid
kurang efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hari.
Siklosporin dapat menyebabkan kelainan histologis bahkan pada
penderita yang ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang
sering ditemukan yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi, gejala
gastrointestinal, dan hipertensi.
29
(ampisillin atau amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuria maka
dianggap sebagai relaps.
g. Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid 1-
2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma
10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1
mg/kgBB/kali
Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia (1,5g/dL)
berikan albumin atau plasma darah
9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul pada penderit SN tergantung faktor-faktor
sebagai berikut : histopatologi renal, lamanya sakit, umur dan jenis kelamin
penderita.
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan tubuh
yaitu gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG, abnormalitas
komplemen, penurunan konsentrasi transferin dan seng, serta pungsi
leukosit yang berkurang. Infeksi yang sering terjadi berupa pertonitis
primer, selulitas infeksi saluran kemih, bronkpneumonia dan infeksi virus.
Dapat diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian
immunoglobulin G intravena. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya
disebabkan oleh kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu
sefalosporin generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-
14 hari.
2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi
pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan
tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini
disebabkan oleh faktor-faktor :
30
perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini peningkatan faktor
V.X.VII. Fibrinogen dan fakto von Willebrand.
perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemia, hiperlipodemia
perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid
peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Faktor VIII
dan memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosis besar
kostikosteroid akan meningkatkan AT III dan mencegah agregasi
trombosit.
Diuretik akan menurunkan volume plasma sehingga meninggikan angka
hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi fibrinogen
akan meningkat.
3. Perubahan metabolisme lemak
Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL
seta apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapat normal atau
turun. Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat
mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner. Aorta dan
arteria renalis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakit jantung
eskemik ataupun trombosis arteri renalis. Pada sindrom nefrotik sensitive
steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut sementara, cukup dengan
pengurangan diit lemak.
4. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom
nefrotik resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium
500mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan
kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena.
5. Hipovolemia
31
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik
relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi,
takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan
sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal
ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.
6. Gagal Ginjal Kronis (GGK)
Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan
pada penderita SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal.
diperkirakan akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari
GG pada penderita SN cukup serius. 18% meninggal. 20% dapat bertahan tapi
tidak ada perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan dialisis.
10. PROGNOSIS
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa faktor antara
lain umur, jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan
histopatologi ginjal. prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur lebih
tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat penyulitnya,
32
biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai respons
terhadap kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan lesi dan mempunyai
prognosis paling buruk pada glomerulonefritis proliferatif. Prognosis baik bila
penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik terhadap
pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Sebab kematian pada
sindroma nefrotik berhubungan dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma
uremia, infeksi sekunder (misalnya pneumonia).
33
BAB IV
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmed M.S.& Wong C.F., 2007. Rituximab and nephrotic syndrome: a new
therapeutic hope? Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 17–19
2. Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic dalam Anthony S.F., Eugene B.,
Dennis L., Kasper S.L. H., Don L.L., Joseph L.,(Eds). Principles of Internal
Medicine. Edisi 17, Volume II. Mc Graw Hill Companies Inc.1874-75
3. Cohen E.P., 2009. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com.
4. Effendi I.& Pasaribu R., 2006.Edema Patofisiologi dan Penanganan dalam
Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15
5. Hartoko B., 2008. Art of Therapy. Yogyakarta. Pustaka Cendikia Press
Yogyakarta. Hal. 69-70
6. Himawan S., 1979. Patologi Anatomi . Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal.
264-65
7. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.
Sindrom nefrotic dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1.
Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal. 525-27
8. Orth S.R.& Berhard E., 1998. The Nephrotic Syndrome. NEJM. Volume 338.
No.17. Hal 1202-11.
9. Pardede S.O., 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia kedokteran.
No.134. Hal. 32-37
10. Polanco N., Gutie E., Covarsı A., Ariza F., Carren., et all.,2010. Spontaneous
Remission of Nephrotic Syndrome in Idiopathic Membranous Nephropathy.
Journal of the American Society of Nephrology doi:
10.1681/ASN.2009080861
11. Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S.,
Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
35
III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Hal. 1174 – 81
12. Wilson L.M., 1995. Gagal Ginjal Kronik dalam Price S.A.& Wilson L.M.,
(Ed). Patofisiologi. Konsep Klinis Proses - Proses penyakit. Edisi IV. Jilid II.
Hal.832-33
36