Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

TWIN TO TWIN TRANSFUSION SYNDROME

Oleh:
Muh. Rahmat Bastaman
K1 A1 16 039

Pembimbing:
dr. Nur Indah Purnamasari, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Muh. Rahmat Bastaman
Stambuk : K1A1 16 039
Judul Referat : Twin to Twin Transfusion Syndrome

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian
Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Desember 2021


Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Nur Indah Purnamasari, Sp. OG

ii
TWIN TO TWIN TRANSFUSION SYNDROME
Muh. Rahmat Bastaman, Nur Indah Purnamasari

A. PENDAHULUAN
Twin-Twin Transfusion Syndrome (TTTS) merupakan salah satu
komplikasi serius dari kembar monokorion, keadaan ini terjadi pada 10-20%
dari kembar monokorion. Keadaan ini disebabkan karena adanya
ketidakseimbangan aliran darah yang kronik dari suatu anastomosis dari
arteri-vena antara sirkulasi fetal dengan plasenta.1
Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) adalah komplikasi
monokorionik yang membahayakan kehamilan kembar dan tetap menjadi
tantangan utama bagi spesialis kedokteran kebidanan di seluruh dunia. Pada
TTTS, transfusi terjadi antar kembar melalui anastomosis vaskular yang
menyebabkan ketidakseimbangan hemodinamik pada plasenta. Twin-to-Twin
Transfusion Syndrome (TTTS) merupakan salah satu kelainan perkembangan
janin multifetal monokorionik. Kasus TTTS termasuk kasus yang jarang
ditemukan namun memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi
terhadap janin.1,2
Keadaan ini apabila tidak mendapat penanganan yang tepat maka angka
kematian perinatal dapat mencapai angka 70-90%, dan bayi yang bertahan
biasanya memiliki angka morbiditas yang tinggi karena prematuritas ataupun
mengalami kelainan pada otak.1 Dengan melihat angka morbiditas dan angka
mortalitas yang tinggi ini maka keadaan ini harus mendapat penanganan yang
tepat.2
B. DEFINISI
Twin-Twin Transfusion Syndrome (TTTS) adalah salah satu kondisi
paling mematikan di pengobatan janin dan tetap menjadi tantangan utama
bagi dokter kandungan dan neonatologi di seluruh dunia.3
Twin-Twin Transfusion Syndrome merupakan suatu sindrom yang
terjadi pada kehamilan kembar monozigot. Kembar monozigot merupakan
hasil dari pemisahan satu zigot. Waktu dari terjadinya pemisahan ini sangat

3
menentukan korionisitas. Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) adalah
suatu komplikasi dari kehamilan multipel monokorion yang berisiko tinggi
menyebabkan kematian fetal/neonatus, terutama pada janin usia belum
mampu hidup dan bila janin berhasil hidup maka janin tersebut berisiko
mengalami gangguan jantung, syaraf dan mental.2,3
TTTS merupakan keadaan dimana darah janin ditransfusikan secara
tidak seimbang antara satu janin (donor) dengan janin yang lain (resipien).
Transfusi ini menyebabkan penurunan volume darah janin donor.2
C. FISIOLOGI KEHAMILAN DAN JANIN
Sejak konsepsi perkembangan konseptus terjadi sangat cepat yaitu zigot
mengalami pembelahan menjadi morula (terdiri atas 16 sel blastomer),
kemudian menjadi blastokis (terdapat cairan di tengah ) mencapai uterus, dan
kemudian sel-sel mengelompok., berkembang menjadi embrio (sampai
minggu ke-7). Setelah minggu ke-10 hasil konsepsi disebut janin.4
Dalam beberapa jam setelah ovulasi akan terjadi fertilisasi di ampula
tuba oleh sperma. Embrio akan berkembang sejak usia 3 minggu hasil
konsepsi. Secara klinis pada usia gestasi 4 minggu depan USG belum tampak.
Di minggu ke-6 dari hari pertama haid terakhir hingga usia konsepsi 4
minggu, embrio akan berukuran 2-3 cm sehingga akan tampak denyut jantung
secara USG. Pada akhir minggu ke 8 usia gestasi–6 minggu usia embrio,
embrio akan berukuran 22-24 mm, dimana tampak kepala yang relatif besar
dengan tonjolan jari.4
Sebagian besar dari kehamilan akan menghasilkan satu bayi, hanya 1
dari 80 kehamilan akan terjadi kehamilan kembar yang dapat terjadi dalam 2
cara. Cara yang paling umum (2/3 kasus) adalah 2 sperma yang berbeda akan
membuahi 2 ovum menghasilkan kehamilan kembar dizigotik atau disebut
juga fraternal twin. Pada janin kembar dizigotik akan memiliki dua membran
ketuban dan dua plasenta sehingga sering disebut kehamilan diamniotik,
dikorionik.2 Pada 1/3 kehamilan lainnya, 1 sperma akan membuahi 1 ovum
tetapi akan membelah menjadi 2 embrio menghasilkan kembar monozigotik,
sering disebut juga kembar identik karena memiliki materi genetik yang

4
sama. Kurang lebih 1/3 dari kembar monozigotik tampak seperti fraternal
twin karena pada pemeriksaan ultrasound prenatal didapatkan 2 membran
ketuban dan plasenta yang terpisah. Akan tetapi pada 2/3 kasus kembar
identik.2

Gambar 1. Dizigotik (dikorionik,diamniotik).2

Gambar 2. Monozigotik (monokorionik,diamniotik).2

5
Gambar 3. Monozigotik (monokorionik,monoamniotik).2
Hasil dari proses kembaran monozigot tergantung pada saat pembagian
terjadi. Jika zigot membelah dalam 72 jam pertama setelah pembuahan, dua
embrio, dua amnion, dan dua korion berkembang menjadi kembar dikorionik
diamnion. Dua plasenta yang berbeda atau satu plasenta yang menyatu dapat
berkembang. Jika terjadi pembagian antara hari ke- 4 dan ke-8, hasil
kehamilan yaitu kembar monokorionik diamnion. Sekitar 8 hari setelah
pembuahan, korion dan amnion sudah berdiferensiasi, dan pembelahan
menghasilkan dua embrio dalam kantung amnion yang sama, yaitu kehamilan
kembar monoamnion, monokorionik. Kembar siam terjadi jika kembaran
dimulai belakangan.5

Gambar 4. Mekanisme kembar monozigot. Kotak hitam dan panah biru di


kolom A, B, dan C menunjukkan waktu pembagian.5
Darah Janin
Darah janin mengalami proses pembentukan yang unik yaitu bermula
diproduksi di yolk sac, kemudian di hati dan akhirnya di sumsum tulang

6
eritrosit janin relatif besar dan berinti. Hemoglobin mengalami peningkatan
dari 12 g/dl pada pertengahan kehamilan menjadi 18 g/dl pada aterm. Eritrosit
janin berbeda dengan eritrosit orang dewasa secara struktur dan metabolik
yaitu lebih lentur karena berada dalam viskositas tinggi, dan mempunyai
banyak enzim. Eritropoiesis janin dikendalikan oleh hormon eritropoietin
janin. Terjadi peningkatan pada kondisi perdarahan, persalinan, dan anemia
akibat isoimunisasi. Volume darah diperkirakan 78 ml/kg berat, sedang isi
darah plasenta segera setelah pemotongan tali pusat ialah 45 ml/kg.4
D. EPIDEMIOLOGI
Kehamilan kembar monokorionik berisiko tinggi merugikan
dibandingkan dengan kehamilan kembar dikorionik dan tunggal. Hal ini
terutama karena hampir semua monokorionik kembar berbagi satu plasenta,
dengan anastomosis antar kembar memungkinkan darah mengalir dua arah.
Dibandingkan dengan kehamilan dikorionik, komplikasi prenatal tiga sampai
10 kali lebih sering pada kehamilan monokorionik dibandingkan pada
kehamilan dikorionik.6
TTTS umumnya dinyatakan mempersulit 10% sampai 20% dari semua
monokorionik kehamilan kembar, tetapi tinjauan inklusif telah
mengungkapkan insiden 4% sampai 35% di Amerika Serikat. Kisaran
kejadian TTTS ini yang relatif luas kemungkinan besar mencerminkan
perbedaan kriteria klinis yang digunakan untuk membuat diagnosis. TTTS
parah dilaporkan terjadi pada 5,5% hingga 17,5% kasus.7
Transfusi darah antar kembar yang tidak seimbang dapat menyebabkan
TTTS atau TAPS masing-masing hingga 15% dan 3% di populasi berisiko
tinggi ini. Angka survival antara 50-60%, dengan sekuel neurologis terjadi
pada 20-25% kasus, apabila salah satu bayi meninggal maka angka sekuele
neurologis mencapai 30- 40%.8
E. ETIOLOGI
Janin yang kembar lebih sering terjadi akibat fertilisasi dua buah ovum
yang terpisah (ovum ganda, kembar dizigot atau kembar fraternal). Sekitar
sepertiga di antara kehamilan kembar berasal dari ovum tunggal yang

7
dibuahi, dan selanjutnya membagi diri menjadi dua buah struktur yang
serupa, masing- masing dengan kemampuan untuk berkembang menjadi
ovum tunggal tersendiri (kehamilan monozigot atau kembar identik). Salah
satu atau kedua proses dapat terlibat dalam pembentukan fetus dengan jumlah
yang lebih besar. Sebagai contoh, kembar empat kuadruplet dapat timbul dari
satu, dua, tiga, atau empat buah ovum.9
Twin-Twin Transfusion syndrome disebabkan oleh beberapa penyebab
berikut :
• Terutama didiagnosis pada monokorionik (1 plasenta), diamniotik (2
kantung ketuban) kehamilan yang berbagi plasenta yang sama
• Bayi pendonor dan penerima juga berbagi beberapa koneksi vaskular/
anastomosis seperti: Anastomosis vaskular termasuk koneksi arteri-ke-
arteri ( AA ), koneksi vena-ke-vena (VV),dan koneksi veno-arteri (VA)
• Perkembangan penyakit: mengakibatkan ketidakseimbangan volume
antara kedua janin sehingga terjadi hipervolemia pada kembar penerima
dan hipovolemia pada kembar donor hingga meningkatkan risiko
kematian, gagal organ, komplikasi jantung dan perkembangan saraf
terganggu.10
F. FAKTOR RISIKO
Kembar terjadi pada 1% dari semua kehamilan dengan dua pertiga
(70%) adalah dizigot dan sepertiga (30%) adalah monozigot. Insiden dari
kembar bervariasi yaitu antara lain:5
1. Ras
Frekuensi kehamilan kembar bervariasi pada setiap ras. Penelitian
oleh abel dan kruger (2012) menemukan rata-rata tertinggi pada ibu afrika
amerika (3,5 %) dan rendah pada ibu kulit putih (3 %). Ibu dengan ras
hispanik, asia, dan natif amerika secara komparatif memiliki rata-rata
lebih rendah dari ibu kulit putih.
2. Usia maternal
Frekuensi kembar dizigotik meningkat hampir 4 kali lipat antara usia
materna 15 dan 37 tahun. Hal ini disebabkan pada kisaran umur ini

8
stimulasi maksimal FSH meningkatkan perkembangan folikel multipel.
3. Paritas
Sebuah penelitian sebelumnya menemukan bahwa peningkatan
delapan kali lipat pada kehamilan ganda ketika paritas 4 kali atau kurang
dan peningkatan 20 kali lipat ketika paritas 5 atau lebih dibandingkan
dengan primipara.
4. Hormon gonadotropin
Teori ini didukung oleh fakta bahwa peningkatan fekunditas dan
tingkat kembaran dizigotik yang lebih tinggi telah dilaporkan pada wanita
yang hamil dalam waktu 1 bulan setelah menghentikan kontrasepsi oral,
tetapi tidak selama bulan-bulan berikutnya. Hal ini mungkin karena
pelepasan gonadotropin hipofisis secara tiba-tiba dalam jumlah yang lebih
besar dari biasanya selama siklus spontan pertama setelah menghentikan
kontrasepsi hormonal. Memang, paradoks penurunan kesuburan tetapi
peningkatan kembaran dengan bertambahnya usia ibu dapat dijelaskan
oleh pelepasan FSH hipofisis yang berlebihan sebagai respon terhadap
penurunan umpan balik negatif dari kegagalan ovarium yang akan datang.
5. Riwayat keluarga
Wanita yang merupakan kembar dizigotik melahirkan anak kembar
dengan kecepatan 1 set per 58 kelahiran. Wanita yang bukan kembar,
tetapi suaminya adalah kembar dizigotik, melahirkan anak kembar dengan
kecepatan 1 set per 116 kehamilan.
G. PATOMEKANISME
Patofisiologi TTTS tidak sepenuhnya dipahami, akan tetapi terdapat
adanya anastomosis vaskuler plasenta terlibat dalam perkembangannya.
Terdapat tiga jenis anastomosis plasenta pada monokronik plasenta yaitu
venovenous (VV), arterioarterial (AA), dan arteriovenous (AV).11

9
Gambar 5. Bentuk anastomosis pada monokorionik plasenta.5
TTTS terjadi akibat aliran satu arah melalui anastomosis arteriovena.
Darah terdeoksigenasi dari arteri plasenta donor dipompa kedalam kotiledon
yang dipakai bersama oleh resipien. Jika pertukaran oksigen di vilus korion
telah selesai maka darah teroksigenasi meninggalkan kotiledon melalui suatu
vena plasenta pada kembar resipien. Jika tidak terkompensasi, aliran satu arah
ini menyebabkan ketidakseimbangan volume darah.11,2

Gambar 6. Bentuk anastomosis pada monokorionik plasenta.7


Sindrom transfusi antar kembar secara klinis sering bersifat kronis dan
merupakan akibat perbedaan volume vaskuler signifikan di antara kembar.
Sindrom ini biasanya bermanifestasi pada pertengahan kehamilan ketika janin
donor menjadi oliguria akibat berkurangnya perfusi ginjal. Janin donor
mengalami oligohidramnion, dan janin resepien mengalami hidramnion berat,
diduga akibat meningkatnya produksi urin. Cairan amnion yang hampir tidak
ada dikantong donor menghambat gerakan janin, menghasilkan istilah
deskriptif stuck twin atau sindrom hidramnion-oligohidramnion-“poli-oli.
10
Ketidakseimbangan cairan amnion ini berkaitan dengan hambatan
pertumbuhan, kontraktur, serta hipoplasia paru pada satu kembar, dan
ketuban pecah dini dan gagal jantung pada yang satu jantung pada yang
satunya.11
H. KLASIFIKASI
Pada tahun 1999, Quintero mempostulasikan sistem staging
berdasarkan hasil temuan ultrasonografi, yang mencakup berbagai variasi
klinis yang dapat ditemukan pada TTTS. Berdasarkan staging yang
dipostulasikan oleh Quintero, TTTS dibagi menjadi 5, yaitu :
1. Stage I : Oligohidramnion / polihidramnion, namun vesika urinaria pada
donor masih terlihat.2

Gambar 7. Quintero tahap I dengan ketidaksesuaian cairan amnion.


Kedua kandung kemih masih terlihat.12
2. Stage II : Kriteria pada stage I, dengan urin yang sudah tidak tampak pada
vesika urinaria donor.2

Gambar 8. Quintero stadium II dengan urutan polihidramnion


anhidramnion. Kandung kemih donor tidak terlihat sedangkan kandung

11
kemihnya memanjang di penerima.12

3. Stage III : Kriteria pada stage II ditambah dengan adanya gambaran


doppler velosimetri yang abnormal pada arteri umbilikalis, duktus
venosus atau vena umbilikalis.2

Gambar 9. Quintero stadium III dengan aliran terbalik di duktus venosus


penerima dan aliran terbalik di arteri umbilikalis donor.12

Pemeriksaan aliran darah (Doppler velocimetry) pada tali pusat dan


duktus venosus janin akan tampak gambaran abnormal (pada salah satu
atau kedua janin). Pada arteri umbilikalis akan didapatkan tidak adanya
gambaran aliran diastolik atau terbalik, gambaran ini biasa didapatkan
pada janin donor. Pada duktus venosus, didapatkan diastolik yang hilang
atau terbalik. Gambaran ini biasa didapatkan pada janin resipien dengan
awal kegagalan fungsi jantung. Janin resipien juga menunjukkan gambaran
kebocoran katup jantung sebelah kanan (regurgitasi trikuspid).2
4. Stage IV : Terdapat asites dan hidrops.
Satu atau kedua janin menunjukkan gejala hidrops, yang berarti telah
terjadi kelebihan/penumpukan cairan pada beberapa bagian tubuh janin
seperti pembengkakan pada kulit kepala (scalp edema), abdomen (asites),
sekitar paru-paru (pleural effusion) atau sekitar jantung (pericardial
effusion). Hasil ini sebagai bukti adanya kegagalan fungsi jantung dan
biasanya didapatkan pada janin resipien.2
5. Stage V : Telah terjadi kematian janin dalam rahim baik donor atau
resipien.

12
Gambar 10. Janin resipien (kiri) didapatkan adanya hydrops fetalis dengan
maserasi grade I dan resipien (kanan).2

TTTS berdasarkan berat ringannya penyakit dibagi atas:2


1. TTTS tipe berat: Biasanya terjadi pada awal trimester ke II, umur
kehamilan 16-18 minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5
minggu kehamilan. Ukuran tali pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb
biasanya sama pada kedua janin. Polihidramnion terjadi pada kembar
resipien karena adanya volume overload dan peningkatan jumlah urin
janin. Oligohidramnion yang berat bisa menyebabkan terjadinya fenomena
stuck twin dimana janin terfiksir pada dinding uterus.
2. TTTS tipe sedang: terjadi pada akhir trimester II, umur kehamilan 24-30
minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5
minggu kehamilan, polihidramnion dan oligohidramnion tidak terjadi.
Kembar donor menjadi anemia, hipovolemia dan pertumbuhan terhambat.
Sedangkan kembar resipien mengalami plethoric, hipervolemia dan
makrosomia. Kedua janin bisa berkembang menjadi hidrops.
3. TTTS tipe ringan: terjadinya secara perlahan pada trimester III.
Polihidramnion dan oligohidramnion biasanya tidak terjadi. Konsentrasi
Hb berbeda lebih dari 5 gr%. Ukuran besar janin berbeda lebih dari 20%.
Salah satu variasi dari dari TTTS, dimana salah satu janin tumbuh
dengan normal sedangkan janin yang lain mengalami kegagalan dalam
pembentukan organ jantung dan organ tubuh lainnya. Pada kehamilan ini, tali

13
pusat janin acardiac merupakan percabangan langsung dari tali pusat dengan
aliran darah dari janin normal yang disebut juga dengan “pump twin”, dengan
aliran darah yang terbalik (reversed) sehingga kondisi ini disebut twin
reversed arterial perfusion (TRAP). Pada beberapa kasus aliran darah dari
pump twin berhenti dan pertumbuhan janin acardiac akan berhenti.
Sedangkan pada kasus lainnya aliran darah akan terus berlanjut dengan
pertumbuhan dari janin acardiac, yang mengakibatkan kegagalan fungsi
jantung dan polihidramnion pada pump twin/janin donor.2

Gambar 11. Twin Reversed Arterial Perfusion (TRAP).2


I. DIAGNOSIS
Terdapat perubahan dramatis dalam kriteria yang digunakan untuk
mendiagnosis dan mengklasifikasikan berbagai tingkat keparahan TTTS.
Sebelumnya, dilakukan perhitungan perbedaan berat badan dan perbedaan
hemoglobin pada kembar monokorionik, tetapi banyak kasus yang lambat
ditemukan dengan metode ini. Menurut Society for Maternal-Fetal Medicine
(2013), TTTS didiagnosis berdasarkan dua kriteria: (1) adanya kehamilan
diamnion monokorionik, dan (2) polihidramnion didefinisikan jika kantong
vertikal terbesar > 8 cm pada satu kembar dan oligohidramnion didefinisikan
jika kantong vertikal terbesar < 2 cm pada kembaran lainnya. Hanya 15
persen kehamilan yang diperumit oleh tingkat ketidakseimbangan cairan yang
lebih rendah berkembang menjadi TTTS.5
TTTS merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat, dengan
dimulai pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua. Diagnosis

14
TTTS ditegakkan dengan evaluasi ultrosonografi yang menunjukkan adanya:
1. Kehamilan kembar dengan satu plasenta (monokorionik),
2. Jenis kelamin sama dengan dipisahkan oleh membran ketuban,
3. Pengukuran nuchal translucency >3mm pada umur kehamilan 10-14
minggu
4. Hasil crown-rump length (CRL) yang kurang pada salah satu janin,
5. Polihidramnion pada janin resipien dan oligohidramnion pada janin donor,
jumlah air ketuban diukur dengan maximum vertical pocket (MVP).5
Tabel 1. Keadaan pada trimester pertama dan kedua pada TTTS.13
Temuan pada trimester pertama
1. Crown-rump length yang kurang pada satu janin
2. Ukuran nuchal translucency >3 mm pada umur kehamilan 10-14
minggu atau berbeda >20% diantara bayi
Temuan pada trimester kedua
1 Lingkar perut yang kurang pada satu janin
2 Membran pemisah yang tipis
3 Masuknya velamentous placenta (donor kembar)
4 Echogensiti plasenta (hiperekoik donor)

Kriteria diagnostik ultrasonografi TTTS pada awal trimester ketiga, yaitu:


1. Kehamilan monokorionik
2. Jenis kelamin yang sama
3. Satu massa plasenta
4. Membran pemisah yang tipis
5. Kelainan volume cairan amnion
6. Kantung kencing yang persisten
7. Perkiraan perbedaan berat janin (20% lebih berat kembar besar)
8. Adanya stuck twin
9. Hidrops fetalis (adanya satu atau lebih gejala edema kulit (tebal 5 mm),
efusi pericardial, efusi pleura, asites)
10. Membran pembungkus pada umur kehamilan 14-17 minggu.13

15
Gambar 12. Algoritma diagnosis dengan USG dari kehamilan kembar
Monokorion.13

Diagnosis post-natal TTTS dapat ditegakkan dengan :13


1. Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang >500gr atau
perbedaan>20% pada janin aterm (untuk TTTS kronis).
2. Terdapat perbedaan kadar hemoglobin dan hematokrit dari kedua janin,
janin donor dapat mencapai 8 gr% atau kurang dan janin resipien bisa
mencapai 27%.
3. Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar, dan timus.

16
Gambar 13. Demonstrasi polihidramnion pada kembar resipien pada USG.10
J. DIAGNOSIS BANDING
1. IUGR (selective intrauterine growth restriction)
2. TAPS (Twin Anemia Polycythemia Sequence)
3. Kembar Sumbang akibat Anomali.10
K. TATA LAKSANA
1. Reduksi Amniosentesis
Tindakan ini merupakan pengeluaran cairan ketuban berlebih dari bayi
penerima (resipien), bisa jadi dilakukan secara serial. Biasanya bukan
prosedur kuratif, berpotensi untuk persistensi/kambuh dan sering
digunakan jika kehamilan kembar >26 minggu. Adapun indikasinya
seringkali untuk TTTS tidak rumit, berpotensi membalikkan TTTS tahap
awal Quintero. Keuntungan prosedur ini yaitu dapat mengurangi efek
samping polihidramnion pada penerima kembar, mungkin terapeutik.10

Gambar 14. Reduction amniocentesis.2

17
Resiko prosedur ini yaitu TTTS memburuk, resiko perdarahan,
membran korioamniotik pemisahan, ketuban pecah dini (PROM),
prematuritas, keguguran janin, gangguan neurologis, septostomi (pecahnya
ketuban membran meningkatkan kebutuhan untuk prosedur tambahan),
perdarahan uterus, dan korioamnionitis.10 Pada umumnya tindakan ini
dilakukan pengambilan cairan tidak lebih dari 3 liter pada setiap kali
prosedur dan diselesaikan dalam waktu kurang dari 30 menit. Tindakan ini
sementara waktu dapat mengembalikan keseimbangan dalam jumlah air
ketuban pada kedua kantung amnion janin dan dilakukan pada TTTS
stadium I-II yang timbul pada akhir kehamilan. Akan tetapi tindakan ini
memerlukan pengulangan yang dilakukan setiap beberapa hari sampai
dengan minggu dimana jumlah air ketuban kembali mencapai berlebihan.
Prosedur ini dirasakan tidak efektif pada TTTS stadium III dan IV.2
2. Septostomi
Septostomi adalah tindakan untuk membuat lubang pada membran
diantara membran ketuban kedua janin dengan menggunakan jarum.
Lubang ini akan menyebabkan perpindahan cairan dari kantung ketuban
dengan jumlah air ketuban yang berlebihan (resipien) ke kantung ketuban
dengan jumlah sedikit (donor). Pada penelitian dengan skala besar
didapatkan survival rate sejumlah 80% untuk salah satu janin dan 60%
untuk kedua janin. Risiko septostomi yaitu lilitan tali pusat, sobeknya
membran ketuban, kematian janin.2,10

Gambar 15. Septostomi.2

18
3. Ablasi laser selektif
Ablasi laser selektif dari tali pusat yang sakit co-twin atau co-twin
dengan anomali yang signifikan dalam upaya meningkatkan kelangsungan
hidup saudara kembar lainnya. Risiko prosedur ini yaitu cedera neurologis
pada saudara kembar yang masih hidup dan PROM.10
Pada TTTS stadium II atau lebih, tindakan ablasi laser pada pembuluh
darah pada plasenta yang menghubungkan kedua janin dapat merupakan
tindakan kuratif. Dengan membuat insisi kecil pada kulit yang
memungkinkan untuk memasukkan instrumen dengan panduan
ultrasonografi kedalam kantung ketuban janin resipien. Dengan
menggunakan fetoskop untuk menemukan pembuluh darah yang
menghubungkan kedua janin pada permukaan plasenta kemudian “ditutup”
dengan menggunakan energi laser, dilanjutkan dengan amniocentesis
hingga mencapai volume normal.2

Gambar 16. Ablasi laser selektif pada anastomosis pembuluh darah


plasenta.2
4. Koagulasi selektif tali pusat
Tindakan ini dianggap sebagai standar perawatan yang meningkatkan
kelangsungan hidup selama pengurangan amnion. Indikasi tindakan ini
sering selama 16-26 minggu dari kehamilan. 10 Prosedur selective cord
coagulation ini dilakukan jika ablasi dengan laser tidak dimungkinkan atau
jika salah satu dari janin dalam kondisi mendekati kematian. Dengan
menghentikan aliran darah pada tali pusat janin yang sekarat, janin lainnya

19
dapat terlindungi dari konsekuensi kematian saudaranya. Prosedur ini
dilakukan dengan menggunakan forcep khusus yang dimasukkan kedalam
kantung ketuban janin resipien dengan panduan ultrasonografi. Tali pusat
dikoagulasi dengan menggunakan aliran listrik sehingga aliran darah ke
janin ini akan berhenti dan hubungan antara kedua janin akan terputus,
tetapi akan menghilangkan kesempatan hidup dari salah satu janin.
Komplikasi dari prosedur ini adalah persalinan prematur dan ketuban
pecah dini 20%.2

Gambar 17. Koagulasi selektif tali pusat.2


5. Kateter Ablasi Radiofrekuensi
Prosedur ini dilakukan untuk kondisi sindroma TRAP. Tali pusat dari
janin dengan acardiac biasanya sangat pendek dan sulit ditemukan dengan
ultrasonografi sehingga sulit untuk menghentikan aliran darah ke jantung
janin dengan cara koagulasi tali pusat. Sehingga sebuah pembuluh darah
besar pada acardiac janin biasanya menjadi ujuan utama. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan kateter ablasi radiofrekuensi dimana sebuah jarum
khusus digunakan untuk membakar pembuluh darah besar pada janin yang
abnormal, sehingga menghentikan aliran darah dari janin normal ke janin
acardiac. Komplikasi dari infeksi, persalinan prematur dan ketuban pecah
dini 8% sama dengan prosedur lainnya yang menggunakan jarum dan
kesempatan janin normal bertahan hidup 90%.2

20
Gambar 18. Kateter Ablasi Radiofrekuensi.2
Manajemen post partum:
Perawatan medis kembar setelah lahir diarahkan pada masalah yang
berhubungan dengan prematuritas, anemia, polisitemia, dan hidrops fetalis:
1. Pada kembar donor yang anemia memerlukan transfusi RBC yang
memenuhi syarat atau transfusi tukar parsial.
2. Pada kembar resipien polisitemia memerlukan transfusi tukar parsial
untuk menurunkan kadar hematokrit serum.
3. Pada bayi yang baru lahir dengan hidrops fetalis memerlukan ventilasi
mekanik, torakosentesis, perikardiosentesis, dan parasentesis.10
L. PROGNOSIS
Prognosis Twin-Twin Transfusion Syndrome ini tergantung pada usia
kehamilan saat lahir dan apakah terjadi iskemia otak intrauterin. Semakin
rendah usia kehamilan saat lahir semakin besar risiko neurologis atau infeksi
paru-paru yang berlangsung lama. Pertumbuhan terjadi pada post natal
sebagian besar kembar donor yang lebih kecil. Tanpa manajemen yang
adekuat, TTTS dengan umur kehamilan kurang dari 24 minggu sejumlah
80%-90% kasus dihubungkan dengan kematian salah satu atau kedua janin.
Jika salah satu janin meninggal, maka pembuluh darah yang menghubungkan
kedua janin akan menempatkan janin hidup dengan risiko jangka panjang
terjadi kerusakan otak pada 1/3 kasus. Pada umumnya, semakin lanjut
progresifitas semakin buruk prognosis janin. Jika TTTS timbul pada umur

21
kehamilan awal (sebelum umur kehamilan 16 minggu), terminasi kehamilan
merupakan suatu pilihan dengan pertimbangan prognosis yang buruk.8
Bahkan meskipun dipantau secara teratur dan nampaknya tanpa
komplikasi, kehamilan diamniotik monokorionik meningkat risiko kematian
janin intrauterin yang tak terduga satu kembar, menempatkan co-twin
beresiko mati atau bertahan hidup dengan cedera neurologis yang merupakan
akibat dari ketidakstabilan dalam sirkulasi plasenta bersama.9
M. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat muncul pada TTTS meliputi:9,14
1. Komplikasi neurologis
TTTS dikaitkan dengan peningkatan resiko dari gejala neurologis
diperkirakan sekitar 15% kejadian dapat menyebabkan cerebral palsy.
Morbiditas kelainan neurologis karena kelahiran prematur meliputi
periventrikular leukomalasia (PVL) dan intraventrikular hemoragik. Hal
ini disebabkan iskemia oleh karena ketidakseimbangan hemodinamik
anastomosis plasenta. Polisitemia dan status vaskular pada resipien dan
anemia dan hipotensi pada donor adalah mekanisme kelainan neurologis.
Kematian pada salah satu kembar juga meningkatkan resiko gejala
neurologis pada bayi yang hidup.
Gejala neurologis terkadang ditemukan kelainan saat antenatal atau
gambaran pasca kelahiran, namun kelainan pada temuan ultrasound belum
tentu sama dengan gejala neurologis. Pada ultrasound kranial postnatal
bayi yang selamat 29% memiliki kelainan, 12% bayi yang selamat
ditemukan adanya PVL saat antenatal. Lesi yang didapat saat antenatal
harus dibedakan dengan bayi lahir melipuliti perdarahan dan PVL pada
pencitraan neonatal. Akan tetapi dengan tidak adanya TTTS 23%
kehamilan monokorion juga mengalami kelainan saat postnatal pada
temuan ultrasound.
2. Komplikasi Kardiovaskuler
Kehamilan kembar monokorion memiliki resiko enam kali lipat
terjadinya kelainan jantung kongenital, kelainan ini bahkan lebih tinggi

22
dari pada TTTS yaitu 6,9% dibandingan kehamilan kembar tanpa TTTS
sekitar 2,3%. Kelainan yang dapat terjadi yaitu hipertropi dan dilatasi
biventrikular, regurgitasi trikuspid dan menurunkan fungsi ventrikular.
Overload volume dan hipertensi sistemik pada bayi resipien merupakan
penyabab terjadinya hipertrofi miokardial, hipertrofi kardiomiopati ini
dapat menyebabkan stenosis subvalvular maka terjadi obstruksi pada
saluran keluar ventrikel kanan sehingga pada beberapa kasus dilakukan
valvotomi pada bayi. Meskipun 45% hingga 50% bayi resipien
menunjukkan adanya abnormalitas fungsi jantung akan tetapi sebagian
besar reversibel sekitar 5-10% dari bayi resipien yang memiliki masalah
jantung jangka panjang.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Yang, X., Leung, T.Y., NganKee, W.D., et al. 2010. Effect of selective laser
photocoagulation therapy for twin-twin transfusion syndrome on pulmonary
valve pathology in recipient twins. Hongkong Medical Journal, 6:275-281.

2. Nora, H., 2013. Twin Twin Transfusion Syndrome. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala, 13 (2): 86-95.

3. Spruijt,M.S., Lopriore, E., Steggerda,S., et al. 2020. Twin - Twin Transfusion


Syndrome In The Era Of Fetoscopic Laser Surgery: Antenatal Management,
neonatal outcome and beyond. Expert Review Of Hematology, 13(3): 259–
267.

4. Winjosastro,G.H. Fisiologi Janin. Dalam, Prawirohardjo,S.,Wiknjosastro,H.


2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

5. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., et al. 2014. William Obstetric
24 edition. New York. McGraw Hill Education.

6. Djaafri,F.. Stirnemann,J., Mediouni,I., et al .2017. Twin-twin Transfusion


Syndrome - What We Have Learned From Clinical Trials. ELSEVIER: 1-9.

7. Petersen,O.M.F.,Crombleholme,T.M. 2008. Twin-to-Twin Transfusion


Syndrome: Part 1. Types and Pathogenesis. American Academy Of Pediatric.
1-12.

8. Murakoshi, T., Matsushita, M., Shinno, T., et al. 2012. Fetoscopic Laser
Photocoagulation for the Treatment of Twin-Twin Transfusion Syndrome in
Monochorionic Twin Pregnancies. The Open Medical Devices Journal, 4:
54-59.

9. Yusrawati, Effendy, R. 2014. Twin Twin Transfusion Syndrome. Jurnal


Kesehatan Andalas, 3(2): 278-282.

10. Fetal Diagnosis and treatment Committee. 2019. Prenatal Counseling Series:
Twin-Twin Transfusion Syndrome. American Pediatric Surgical Association.

11. Mosquera, C., Miller, R.S.,Simpson, L.L.2012. Twin - twin transfusion


syndrome. In Seminars in perinatology Seminars. ELSEVIER,36(3):182-189.

24
12. Hoopmann, M., Abele, H., Wallwiener, D., et al. 2010. Management of twin-
twin transfusion syndrome. Gynecological Surgery, 7:329–333.

13. Rusda. M., Roeshadi R.H. 2005. Twin to Twin Transfusion Syndrome.
Departemen Obstetri dan Gynecology, Fakultas Kedokteran USU-RSUP H.
Adam Amlik Medan. Majalah Kedokteran Nusantara, 38(4); 318-322.

14. Gabbe, S.G., Niebyl, J.R., Simpson, J.L., et al. 2017. Obstetric Normal And
Problem Pregnancies. Seventh Edition. Elsevier 7 Edition. China.

25

Anda mungkin juga menyukai