Anda di halaman 1dari 20

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN TUGAS TAMBAHAN

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL AGUSTUS 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO

ANALISIS SOAL OSCA

OLEH :
Era Utari
K1A1 15 065

PEMBIMBING:

dr. Raja Al Fath Widya Iswara, MH, Sp.FM, MHPE.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
SKENARIO 1
Seorang pria ditemukan meninggal dunia dikamar kos nya. Dari hasil pemeriksaan
tidak ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan. Didapatkan tanda pembusukan.
Analisa terkait kasus.
a. cara kematian,
b. sebab kematian,
c. mekanisme kematian,
d. waktu kematiannya)
Jawaban :
a. Manner of death (cara kematian)
Cara kematian merupakan macam kejadian yang menimbulkan penyebab
kematian. Dibagi menjadi kematian wajar (akibat suatu penyakit) dan kematian
tidak wajar (akibat cedera/luka).
1) Mati Wajar (Natural Death) disebabkan penyakit atau usia tua (> 80 tahun)
2) Mati tidak wajar (Unnatural Death), disebabkan berbagai jenis kekerasan
(pembunuhan, bunuh diri, dan kecelakaan kerja serta kecelakaan lalu lintas),
kematian akibat tindakan medis, tenggelam, intoksikasi dan tindakan lain
yang sejenis.
3) Tidak dapat dijelaskan, umumnya didapatkan pada kasus-kasus dimana
jenazah yang ditemukan sudah dalam kondisi pembusukan dan atau berupa
potongan tubuh atau tulang belulang. 1
Pada kasus ini cara kematian tidak jelas. Dari pemeriksaan luar yang
dilakukan pada jenazah tidak dapat diambil kesimpulan tentang cara kematiannya
karena jenazah sudah dalam kondisi mengalami pembusukan.
b. Cause of death (sebab kematian)
Sebab kematian adalah setiap luka, cedera, atau penyakit yang
mengakibatkan rangkaian gangguan fisiologis tubuh, yang berakhir dengan
kematian seseorang. Dari pemeriksaan dapat diambil kesimpulan luka disebabkan
karena kekerasan tumpul, kekerasan tajam, tembakan atau ledakan granat dan
sebagainnya. ada 2 jenis sebab-akibat, yang pertama penyebab langsung kematian
adalah penyakit atau cedera yang ada pada saat kematian yang menyebabkan
kematian seseorang, sedangkan penyebab kematian terdekat adalah proses
penyakit alami, cedera, atau peristiwa yang menyebabkan serangkaian rangkaian
kejadian yang tidak terputus (tanpa interval waktu). 2
Pada kasus dari pemeriksaan tidak ditemukan tanda kekerasan baik
kekerasan tumpul ataupun kekerasan tajam. Untuk sebab kematian dari jenazah
tidak dapat ditentukan dengan pasti sesuai pemeriksaan yang dilakukan.
c. Mechanism of death (mekanisme kematian)
Mekanisme kematian adalah suatu keadaan gangguan fisiologis dan
biokimiawi yang disebabkan oleh sebab kematian, sehingga menyebabkan
kematian seseorang. Secara umum mekanisme kematian digolongkan menjadi 5
besar yaitu perdarahan, mati lemas, reflex vagal, emboli dan kerusakan organ
vital.2
Kematian disebabkan oleh asfiksia (mati lemas) akibat terhalang masuknya
udara ke paru-paru dengan penutupan hidung dan mulut secara bersamaan, terjadi
edem paru dan hiperaerasi. Dalam plasma merangsang pusat pernapasan di
medulla oblongata lama kelamaan akan menyebabkan depresi pusat pernapasan
dan kemudian pernapasan terhenti. 3
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara dalam saluran pernapasan, gangguan dapat disebabkan karena
adanya obstruksi saluran napasa dan gangguan karena terhentinya sirkukasi.
kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam
darah berkurang disertai dengan peningkat kadar karbondioksida. Pada
pemeriksaan pot-mortem dari pemeriksaan luar dapat ditemukan adanya lebam
mayat, sianosis, busa pada mulut, feses, urin atau cairan sperma, tardieu spot. 2
Pada kasus mekanisme kematian belum dapat dipastikan karena hanya
dilakukan pemeriksaan luar, namun diduga kematian terjadi akibat mati lemas.
Dari pemeriksaan luar yang ditemukan adanya lebam mayat masih jelas terlihat
karena kadar karbondioksida yang tinggi dalam darah dan sianosis yang mudah
terlihat pada daerah ujung jari dan bibir akibat kosentrasi yang berlebihan dari
hemoglobin tereduksi pada darah kecil.
d. Time of death (waktu kematian)
Waktu kematian pada seorang jenazah dapat ditentukan dari lebam mayat,
kaku mayat, penurunan suhu dan pembusukan. Lebam mayat adalah perubahan
warna kulit berupa warna biru kemerahan akibat terkumpulnya darah di dalam
vena kapiler yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi di bagian tubuh yang lebih
rendah di sepanjang penghentian sirkulasi. Lebam mayat mulai terbentuk 30
menit sampai 1 jam setelah kematian somatis dan intensitas maksimal setelah 8-
12 jam postmortem. Lebam mayat hilang pada penekanan di bawah 4 jam.
Sebelum waktu ini, lebam mayat masih dapat berpindah-pindah jika posisi mayat
diubah. Setelah 8-12 jam postmortem lebam mayat tidak akan menghilang dan
dalam waktu 3-4 hari lebam masih dapat berubah.4
Kaku mayat (rigor mortis) adalah suatu keadaan dimana terjadi pemecahan
ATP menjadi ADP dan penumpukan asam laktat yang tidak bisa diresintesis
kembali menjadi ATP karena tidak adanya oksigen yang masuk ke tubuh. Hal ini
mengakibatkan serat otot memendek dan kaku. Kaku mayat dibuktikan dengan
memeriksa persendian. Kaku mayat muncul sekitar 2 jam setelah kematian dan
setelah 12 jam menjadi sempurna pada seluruh tubuh dan sukar dilawan dan
kemudian menghilang akibat terjadi relaksasi sekunder dalam waktu ≥24 jam.5
Pembusukan (decompotition) terjadi akibat proses degradasi jaringan karena
autolisis dan kerja bakteri. Pembusukan mulai muncul setelah lebih dari 24 jam
pasca kematian, berupa warna kehijauan dimulai dari daerah sekum menyebar ke
seluruh dinding perut dan berbabu busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S
dan lain-lain. Gas yang terjadi menyebabkan pembengkakan.6
Terdapat 5 fase dekomposisi tubuh menurut Payne yang dapat dilihat
perubahannya melalui tampilan fisik, yaitu fase segar (fresh), bengkak (bloat),
pembusukan aktif (active decay), pembusukan tahap lanjut (advanced decay), dan
perubahan skeletonisasi. 7
1. Fase segar dimulai saat terjadi kematian dan berlanjut hingga terjadi
pembengkakkan mayat, fase ini terjadi pada 18-24 jam.
2. Fase pembengkakan terjadi karena aktivitas metabolik mikroorganisme yang
menghasilkan produk mengandung gas, sehingga daging mayat
menggembung/inflamasi, fase ini terjadi pada 24-48 jam.
3. Proses pembusukan aktif terjadi ketika tubuh mayat mengalami dekomposisi
secara cepat karena aktivitas serangga, fase ini terjadi pada 2-5 hari.
4. Pembusukan tahap lanjut dicirikan dengan adanya penurunan aktivitas
serangga/ entomologis karena sumber daya sudah dikonsumsi dan daging
mayat telah mengalami likuifaksi. Bagian yang tersisa adalah kulit dan rambut
yang mengering, fase ini terjadi pada >5-7 Hari.
5. serta tulang yang masih berada pada fase 0 skeletonisasi, fase ini terjadi pada
> 1 bulan.
Pada kasus didapatkan tanda-tanda pembusukan fase Bloating: adanya
pembengkakan dari seluruh tubuh jenazah, dapat dilihat dari bagian kepala yang
berambut dimana rambut mudah dicabut, wajah yang menggembung dengan mata
menonjol keluar, bibir yang besar, lidah yang terdorong keluar. kulit kehijauan-
kehitaman, pelebaran pembuluh darah (arborescent mark) seperti percabangan
ranting, pengelupasan kulit arid an adanya gelembung yang berisi gas
pembusukan, perut menggembung, pelir dan kantung pelir membesar, serta
tampak telur belatung dan belatung pada jenazah. Dimana waktu kematian dari
jenazah diperkirakan 2-4 hari sebelum pemeriksaan dilakukan.
SKENARIO 2
Seorang pria datang ke rumah sakit ingin dilakukan visum akibat di pukuli oleh ayah
tirinya, telah dilakukan perawatan luka: dijahit 2 jahitan, diberikan anti nyeri,
diberikan antibiotik (amoxicilin)
a. Analisis kasus terkait (jenis kasus, jenis kekerasan, jenis luka nya, kualifikasi
luka)
b. Legal reason
Jawaban :
a. Analisis Kasus
1. Jenis Kasus : KDRT
Berdasarkan kasus korban mengalami tindakan KDRT. KDRT adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.8
Adapun Lingkup Rumah Tangga adalah: 8
a) Suami, isteri, dan anak
b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana
dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.
2. Jenis kekerasan : Kekerasan tumpul.
Pada kasus korban mengalami kekerasan tumpul, dimana dalam pelayanan
kedokteran forensik klinik korban dengan kasus kekerasan tumpul banyak
dilayani. Kekerasan tumpul adalah suatu ruda paksa yang diakibatkan oleh
benda tumpul pada permukaan tubuh dan mengakibatkan luka. Kekerasan
tumpul dapat menyebabkan: luka memar, luka lecet, luka robek dan patah
tulang.9
3. Jenis luka : Luka Robek
Pada kasus korban mengalami luka robek yang merupakan salah satu dari
jenis kekerasan tumpul. Luka robek merupakan keadaan dimana permukaan
tubuh terkena benda, sehingga menimbulkan reaksi tertarik dan tegang
permukaan tubuh sampai melampaui batas elastisitasnya dan tekanan benda
itu akan merobeknya bagian yang terpenting. 10
Ciri luka robek :
- Bentuk luka yang umumnya tidak beraturan
- Tepi luka tidak rata
- Bila ditautkan tidak dapat rapat sempurna
- Tebing luka tidak rata
- Terdapat jembatan jaringan
- Disekitar luka dapat ditemukan memar.11
4. Kualifikasi luka
Kualifikasi luka/derajat luka menurut KUHP terbagi atas dua yaitu luka
ringan dan luka berat. Sedangkan luka yang tidak memenuhi kriteria luka
ringan ataupun berat masuk kedalam luka sedang. 12
a) Luka ringan/Luka derajat I: luka yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian
b) Luka sedang/luka derajat II: luka yang menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian untuk
sementara waktu
c) Luka berat/Luka derajat III: terdapat 7 kriteria sesuai dengan KUHP pasal
90, yaitu:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang Jatuh sakit atau mendapat luka
yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang
menimbulkan bahaya maut;
2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian;
3) Kehilangan salah satu pancaindera;
4) Mendapat cacat berat (verminking);
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
7) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Kualifikasi luka pada kasus masuk dalam luka sedang, dimana korban
mendapatkan perawatan akibat hal tersebut menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian untuk
sementara waktu. Ketentuan pidana yang menimbulkan luka sedang diatur
dalam Pasal 351 KUHP.
5. Legal reason
Berdasarkan kualifikasi luka pada kasus, sanksi pidana bagi orang atau
pelaku yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan
perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2004 pasal 44
yaitu: 13
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh
lima juta rupiah).
4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling bayak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).
SKENARIO 3
Seorang Perempuan P4A1 datang ke Rumah Sakit Poli Obgyn seorang diri ingin
melakukan pemasangan kontrasepsi mantap berupa ikat kandungan (Tubektomi).
Informed Consent telah dilakukan dan dokter mengiyakan untuk dilakukan operasi
tubektomi.
Analisis kasus terkait Etika (Prinsip Moral Dasar, KODEKI), Disiplin Kedokteran
(Perkonsil), Hukum Kedokteran (KUHP, Undang-Undang, Permenkes)
Jawaban:
a. Analisis etik
1. Prinsip moral dasar: 14
a) Prinsip beneficence, beneficence secara makna kata dapat berarti
pengampunan, kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan
kepentingan orang lain, mencintai dan kemanusiaan. Beneficence dalam
makna yang lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan
orang lain. Prinsip moral beneficence adalah kewajiban moral
untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang
lain (pasien). Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk memperjelas
atau meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima secara luas
sebagai tujuan kedokteran yang tepat.
b) Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang membahayakan
atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum
non nocere” atau “do no harm”. Prinsip ini berhubungan dengan
ungkapan Hipokrates yang menyatakan “saya akan menggunakan terapi
untuk membantu orang sakit berdasarkan kemampuan dan pendapat saya,
tetapi saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau
mencelakakan mereka”.
c) Prinsip autonomy, otonomi (Autonomy) berasal dari Bahasa Yunani
“autos” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti peraturan atau
pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu
wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri atau hukum
sendiri. Namun kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu kondisi
individu yang maknanya bermacam-macam seperti memerintah sendiri,
hak untuk bebas, pilihan pribadi, kebebasan berkeinginan dan menjadi diri
sendiri. Makna utama otonomi individu adalah aturan pribadi atau
perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan
orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang
benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang yang
dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang lain
atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan
rencananya.
d) Prinsip justice, diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau
kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya adalah
memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat sesuai dengan
haknya. Situasi yang adil adalah seseorang mendapatkan manfaat atau
beban sesuai dengan hak atau kondisinya. Situasi yang tidak adil adalah
tindakan yang salah atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada
seseorang yang memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama.
Prinsip justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa
(pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang memerlukan seringkali melebihi
batasan tersebut. Prinsip justice kemudian diperlukan dalam pengambilan
keputusan tersebut.
Pada kasus dokter tersebut melanggar hak autonomi dimana tidak
memberikan informed consent kepada keluarganya terkait persetujuan
tindakan kedokteran berupa tubektomi. Sebelum melakukan tindakan
tubektomi seharusnya seorang dokter perlu melakukan informed consent
terkait persetujuan tindakan kedokteran dengan melibatkan keluarga
khususnya suami pasien dalam pengambilan keputusan pasien. Pada kasus
prinsip beneficience tidak dilanggar karena tindakan tubektomi dilakukan oleh
dokter yang berkompeten sesuai dengan keahliannya. Sedangkan prinsip non-
maleficince dan justice dokter tersebut tidak melanggar prinsip ini, karena
tindakan yang dilakukan untuk kepentingan pasien namun tidak
membahayakan ataupun memperburuk keadaan pasein dan pasien berhak
menentukan apa yang dilakukan terhadap tubuhnya, artinya pasien berhak
untuk mendapat informasi dan pelayanan yang terbaik.
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
KODEKI tahun 2012 terdiri atas 21 pasal yang terbagi menjadi 3 yaitu
ketentuan umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter
terhadap teman sejawat serta kewajiban dokter terhadap diri sendiri. 14
a) Kewajiban umum (Pasal 1 – 13)
1) Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dan atau janji dokter.
2) Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
professional secara independent, dan mempertahankan perilaku
professional dalam ukuran yang tertinggi.
3) Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
4) Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
5) Tiap perbuatan atau nasehat dokter yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/
keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien tersebut.
6) Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat.
7) Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
8) Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang dan penghormatan atas
martabat manusia
9) Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada
saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan.
10) Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya,
dan tenaga Kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan
pasien.
11) Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya
melindungi hidup makhluk insani.
12) Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memeperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan Kesehatan (promotive, preventif, kuratif
dan rehabilitative), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat
13) Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sectoral di
bidang Kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling
menghormati.
b) Kewajiban dokter terhadap pasien (Pasal 14-17)
14) Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
seluruh keilmuan dan keterampilannya untuk kepentingan pasien, yang
ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,
atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada
dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.
15) Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar
senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya,
termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi
lainnya.
16) Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia.
17) Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
c) Kewajiban dokter terhadap teman sejawat (Pasal 18-19)
18) Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
19) Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang
etis.
d) Kewajiban dokter terhadap diri sendiri (Pasal 20-21)
20) Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat
bekerja dengan baik.
21) Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan.12
Berdasarkan kasus, dokter tersebut melanggar KODEKI pasal 11 yang
berbunyi “setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam
melindungi hidup makhluk insani”. Artinya seorang dokter wajib berhati-hati,
mempertimbangkan berbagai aspek diagnosis, pengobatan/perlakuan dan
prognosis pada konteks kehidupan reproduksi pada umumnya serta dalam
menggunakan berbagai kemajuan/kecanggihan teknologi reproduksi apapun
yang dapat menghilangkan atau menurunkan harkat manusia dan martabat
kemanusiaan.
b. Analisis disiplin
Berdasarkan Perkonsil Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional
Dokter dan Dokter Gigi Pasal 3 ayat (2), pelanggaran disiplin professional dokter
dan dokter gigi terdiri dari 28 bentuk: 15
a) Melakukan Praktik Kedokteran dengan tidak kompeten;
b) Tidak merujuk pasien kepada Dokter atau Dokter Gigi lain yang memiliki
kompetensi yang sesuai;
c) Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak
memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut;
d) Menyediakan Dokter atau Dokter gigi pengganti sementara yang tidak
memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan
pemberitahuan perihal penggantian tersebut;
e) Menjalankan Praktik Kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat
membahayakan pasien;
f) Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu
yang dapat membahayakan pasien;
g) Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien;
h) Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik
Kedokteran;
i) Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien
atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya;
j) Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja;
k) Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
l) Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas
permintaan sendiri atau keluarganya;
m) Menjalankan Praktik Kedokteran dengan menerapkan pengetahuan,
keterampilan, atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara Praktik
Kedokteran yang layak;
n) Melakukan penelitian dalam Praktik Kedokteran dengan menggunakan
manusia sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical
clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah;
o) Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal
tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya;
p) Menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau Tindakan
pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan
ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku;
q) Membuka rahasia kedokteran;
r) Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan
yang diketahuinya secara benar dan patut;
s) Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau
eksekusi hukuman mati;
t) Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
u) Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan
terhadap pasien dalam penyelenggaraan Praktik Kedokteran;
v) Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya;
w) Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta pemeriksaan, atau
memberikan resep obatlalat kesehatan
x) Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan pelayanan
yang dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan;
y) Adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat adiktif lainnya;
z) Berpraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik,
dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah atau berpraktik tanpa memiliki
surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
aa) Tidak jujur dalam menentukan jasa medis;
bb) Tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang
diperlukan MKDKI I MKDKI-P untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan
pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Berdasarkan uraian diatas, dokter tersebut melanggar disiplin kedokteran
yaitu Perkonsil Nomor 4 Tahun 2011 Pasal 3 Ayat 2 poin (h) “tidak memberikan
penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien
atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran” dan poin (i) “melakukan
tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
dekat, wali, atau pengampunya”. Persetujuan tindakan medik (informed consent)
dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan, termasuk dengan menggunakan bahasa
tubuh. Setiap tindakan medik perlu mendapatkan penjelasan dan persetujuan
tindakan. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi,
persetujuan harus diberikan oleh pasangannya (suami/istri).

c. Hukum Kedokteran
Berdasarkan kasus tersebut, tindakan yang dilakukan oleh dokter
merupakan pelanggaran hukum karena dokter tersebut telah melanggar
PERMENKES NO. 29 Tahun 2004 pasal 45 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran atau Kedokteran Gigi. Dimana setiap tindakan yang dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap. Penjelasan tentang tindakan kedokteran
harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat dan
persetujuan dari pasangannya terkait tindakan yang akan dilakukan.16
DAFTAR PUSTAKA

1. Vij K. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology Fifth Edition. Elsevier;


India. 2011: 77.
2. Alfanie I, Nirmalasari N, Arizal MH. Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. PT RajaGrafindo Persada: Depok. 2020.
3. Strack GB, McClaine G. How to Improve Your Investigation and Prosecution of
Strangulation Cases. 2001.
4. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara: Tangerang
Selatan. 2008.
5. Budiyanto A, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997.
6. Dahlan, Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum Semarang Badan Penerbit Universitas Dipenegoro. 2004: 107-123.
7. Nurwidayati A. Penerapan Entomologi dalam Bidang Kedokteran Forensik.
Jurnal Vektor Penyakit. 2009. 3(2):55-65.
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
9. Fitriani NE. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan
Luka Berat. 2017
10. Parinduri AG. Trauma Tumpul. Ibnu Sina Biomedika. 2017. 1(2):29-36.
11. Yudianto, A. Ilmu Kedokteran Forensik. Media Pustaka Scopindo: Surabaya.
2020.
12. Kusuma NA, dkk. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan
yang Mengakibatkan Luka Berat. Jurnal Analogi Hukum. 2021. 3(1):11–16.
13. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
15. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 tahun 2011 tentang
Pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
16. PERMENKES NO. 29 Tahun 2004 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai