OLEH :
Era Utari
K1A1 15 065
PEMBIMBING:
Kualifikasi luka pada kasus masuk dalam luka sedang, dimana korban
mendapatkan perawatan akibat hal tersebut menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian untuk
sementara waktu. Ketentuan pidana yang menimbulkan luka sedang diatur
dalam Pasal 351 KUHP.
5. Legal reason
Berdasarkan kualifikasi luka pada kasus, sanksi pidana bagi orang atau
pelaku yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan
perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2004 pasal 44
yaitu: 13
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh
lima juta rupiah).
4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling bayak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).
SKENARIO 3
Seorang Perempuan P4A1 datang ke Rumah Sakit Poli Obgyn seorang diri ingin
melakukan pemasangan kontrasepsi mantap berupa ikat kandungan (Tubektomi).
Informed Consent telah dilakukan dan dokter mengiyakan untuk dilakukan operasi
tubektomi.
Analisis kasus terkait Etika (Prinsip Moral Dasar, KODEKI), Disiplin Kedokteran
(Perkonsil), Hukum Kedokteran (KUHP, Undang-Undang, Permenkes)
Jawaban:
a. Analisis etik
1. Prinsip moral dasar: 14
a) Prinsip beneficence, beneficence secara makna kata dapat berarti
pengampunan, kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan
kepentingan orang lain, mencintai dan kemanusiaan. Beneficence dalam
makna yang lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan
orang lain. Prinsip moral beneficence adalah kewajiban moral
untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang
lain (pasien). Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk memperjelas
atau meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima secara luas
sebagai tujuan kedokteran yang tepat.
b) Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang membahayakan
atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum
non nocere” atau “do no harm”. Prinsip ini berhubungan dengan
ungkapan Hipokrates yang menyatakan “saya akan menggunakan terapi
untuk membantu orang sakit berdasarkan kemampuan dan pendapat saya,
tetapi saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau
mencelakakan mereka”.
c) Prinsip autonomy, otonomi (Autonomy) berasal dari Bahasa Yunani
“autos” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti peraturan atau
pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu
wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri atau hukum
sendiri. Namun kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu kondisi
individu yang maknanya bermacam-macam seperti memerintah sendiri,
hak untuk bebas, pilihan pribadi, kebebasan berkeinginan dan menjadi diri
sendiri. Makna utama otonomi individu adalah aturan pribadi atau
perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan
orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang
benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang yang
dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang lain
atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan
rencananya.
d) Prinsip justice, diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau
kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya adalah
memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat sesuai dengan
haknya. Situasi yang adil adalah seseorang mendapatkan manfaat atau
beban sesuai dengan hak atau kondisinya. Situasi yang tidak adil adalah
tindakan yang salah atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada
seseorang yang memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama.
Prinsip justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa
(pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang memerlukan seringkali melebihi
batasan tersebut. Prinsip justice kemudian diperlukan dalam pengambilan
keputusan tersebut.
Pada kasus dokter tersebut melanggar hak autonomi dimana tidak
memberikan informed consent kepada keluarganya terkait persetujuan
tindakan kedokteran berupa tubektomi. Sebelum melakukan tindakan
tubektomi seharusnya seorang dokter perlu melakukan informed consent
terkait persetujuan tindakan kedokteran dengan melibatkan keluarga
khususnya suami pasien dalam pengambilan keputusan pasien. Pada kasus
prinsip beneficience tidak dilanggar karena tindakan tubektomi dilakukan oleh
dokter yang berkompeten sesuai dengan keahliannya. Sedangkan prinsip non-
maleficince dan justice dokter tersebut tidak melanggar prinsip ini, karena
tindakan yang dilakukan untuk kepentingan pasien namun tidak
membahayakan ataupun memperburuk keadaan pasein dan pasien berhak
menentukan apa yang dilakukan terhadap tubuhnya, artinya pasien berhak
untuk mendapat informasi dan pelayanan yang terbaik.
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
KODEKI tahun 2012 terdiri atas 21 pasal yang terbagi menjadi 3 yaitu
ketentuan umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter
terhadap teman sejawat serta kewajiban dokter terhadap diri sendiri. 14
a) Kewajiban umum (Pasal 1 – 13)
1) Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dan atau janji dokter.
2) Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
professional secara independent, dan mempertahankan perilaku
professional dalam ukuran yang tertinggi.
3) Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
4) Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
5) Tiap perbuatan atau nasehat dokter yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/
keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien tersebut.
6) Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat.
7) Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
8) Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang dan penghormatan atas
martabat manusia
9) Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada
saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan.
10) Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya,
dan tenaga Kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan
pasien.
11) Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya
melindungi hidup makhluk insani.
12) Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memeperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan Kesehatan (promotive, preventif, kuratif
dan rehabilitative), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat
13) Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sectoral di
bidang Kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling
menghormati.
b) Kewajiban dokter terhadap pasien (Pasal 14-17)
14) Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
seluruh keilmuan dan keterampilannya untuk kepentingan pasien, yang
ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,
atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada
dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.
15) Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar
senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya,
termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi
lainnya.
16) Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia.
17) Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
c) Kewajiban dokter terhadap teman sejawat (Pasal 18-19)
18) Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
19) Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang
etis.
d) Kewajiban dokter terhadap diri sendiri (Pasal 20-21)
20) Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat
bekerja dengan baik.
21) Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan.12
Berdasarkan kasus, dokter tersebut melanggar KODEKI pasal 11 yang
berbunyi “setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam
melindungi hidup makhluk insani”. Artinya seorang dokter wajib berhati-hati,
mempertimbangkan berbagai aspek diagnosis, pengobatan/perlakuan dan
prognosis pada konteks kehidupan reproduksi pada umumnya serta dalam
menggunakan berbagai kemajuan/kecanggihan teknologi reproduksi apapun
yang dapat menghilangkan atau menurunkan harkat manusia dan martabat
kemanusiaan.
b. Analisis disiplin
Berdasarkan Perkonsil Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional
Dokter dan Dokter Gigi Pasal 3 ayat (2), pelanggaran disiplin professional dokter
dan dokter gigi terdiri dari 28 bentuk: 15
a) Melakukan Praktik Kedokteran dengan tidak kompeten;
b) Tidak merujuk pasien kepada Dokter atau Dokter Gigi lain yang memiliki
kompetensi yang sesuai;
c) Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak
memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut;
d) Menyediakan Dokter atau Dokter gigi pengganti sementara yang tidak
memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan
pemberitahuan perihal penggantian tersebut;
e) Menjalankan Praktik Kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat
membahayakan pasien;
f) Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu
yang dapat membahayakan pasien;
g) Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien;
h) Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik
Kedokteran;
i) Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien
atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya;
j) Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja;
k) Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
l) Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas
permintaan sendiri atau keluarganya;
m) Menjalankan Praktik Kedokteran dengan menerapkan pengetahuan,
keterampilan, atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara Praktik
Kedokteran yang layak;
n) Melakukan penelitian dalam Praktik Kedokteran dengan menggunakan
manusia sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical
clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah;
o) Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal
tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya;
p) Menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau Tindakan
pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan
ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku;
q) Membuka rahasia kedokteran;
r) Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan
yang diketahuinya secara benar dan patut;
s) Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau
eksekusi hukuman mati;
t) Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
u) Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan
terhadap pasien dalam penyelenggaraan Praktik Kedokteran;
v) Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya;
w) Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta pemeriksaan, atau
memberikan resep obatlalat kesehatan
x) Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan pelayanan
yang dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan;
y) Adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat adiktif lainnya;
z) Berpraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik,
dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah atau berpraktik tanpa memiliki
surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
aa) Tidak jujur dalam menentukan jasa medis;
bb) Tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang
diperlukan MKDKI I MKDKI-P untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan
pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Berdasarkan uraian diatas, dokter tersebut melanggar disiplin kedokteran
yaitu Perkonsil Nomor 4 Tahun 2011 Pasal 3 Ayat 2 poin (h) “tidak memberikan
penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien
atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran” dan poin (i) “melakukan
tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
dekat, wali, atau pengampunya”. Persetujuan tindakan medik (informed consent)
dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan, termasuk dengan menggunakan bahasa
tubuh. Setiap tindakan medik perlu mendapatkan penjelasan dan persetujuan
tindakan. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi,
persetujuan harus diberikan oleh pasangannya (suami/istri).
c. Hukum Kedokteran
Berdasarkan kasus tersebut, tindakan yang dilakukan oleh dokter
merupakan pelanggaran hukum karena dokter tersebut telah melanggar
PERMENKES NO. 29 Tahun 2004 pasal 45 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran atau Kedokteran Gigi. Dimana setiap tindakan yang dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap. Penjelasan tentang tindakan kedokteran
harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat dan
persetujuan dari pasangannya terkait tindakan yang akan dilakukan.16
DAFTAR PUSTAKA