Anda di halaman 1dari 20

Pengertian Autopsi

Autopsi berasal kata dari Auto = sendiri dan Opsis = melihat. Yang dimaksudkan
dengan Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, meliputi pemeriksaan terhadap
bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau
adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan
penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan
dengan penyebab kematian. Jika pada pemeriksaan ditemukan beberapa jenis kelainan
bersama-sama, maka dilakukan penentuan kelainan mana yang merupakan penyebab
kematian, serta apakah kelainan yang lain turut mempunyai andil dalam terjadinya kematian
tersebut.

Berdasarkan tujuannya, dikenal dua jenis Autopsi, yaitu Autopsi klinik dan Autopsi
Forensik/Autopsi Mediko-legal.

Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita penyakit, dirawat
di Rumah Sakit tetapi kemudian meninggal.

Tujuan dilakukannya Autopsi klinik adalah untuk:

a. Menentukan sebab kematian yang pasti.


b. Menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan sesuai dengan
diagnosis postmortem.
c. Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan diagnosis klinis dan gejala-
gejala klinik.
d. Menentukan efektifitas pengobatan.
e. Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit.
f. Pendidikan para mahasiswa kedokteran dan para dokter.

Untuk Autopsi klinik ini mutlak diperlukan izin dari keluarga terdekat mayat yang
besangkutan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, yang terbaik adalah melakukan
Autopsi klinik yang lengkap, meliputi pembukaan rongga tengkorak, dada dan perut/panggul,
serta melakukan pemeriksaan terhadap seluruh alat-alat dalam/organ.

Namun bila pihak keluarga berkeberatan untuk dilakukannya Autopsi klinik lengkap,
masih dapat diusahakan untuk melakukan Autopsi klinik parsial, yaitu yang terbatas pada
satu atau dua rongga badan tertentu. Apabila ini masih ditolak, kiranya dapat diusahakan
dilakukannya suatu needle necropsy terhadap organ tubuh tertentu, untuk kemudian
dilakukan pemeriksaan histopatologik.

Autopsi forensik atau Autopsi medikolegal dilakukan terhadap mayat seseorang


berdasarkan peraturan undang-undang, dengan tujuan :

a. Membantu dalam hal penentuan identitas mayat.


b. Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian serta memperkirakan
saat kematian.
c. Mengumpulkan serta mengenali benda-benda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab serta identitas pelaku kejahatan.
d. Membuat laporan tertulis yang objektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum.
e. Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan identitas serta
penentuan terhadap orang yang bersalah.
Untuk melakukan Autopsi forensik ini, diperlukan suatu Surat Permintaan
Pemeriksaan/Pembuatan visum et repertum dari yang berwenang, dalam hal ini pihak
penyidik. Izin keluarga tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseorang yang menghalang-
halangi dilakukannya autopsi forensik, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan
undang-undang yang berlaku.
Dalam melakukan Autopsi forensik, mutlak diperlukan pemeriksaan yang lengkap,
meliputi pemeriksaan tubuh bagian luar, pembukaan rongga tengkorak, rongga dada dan
rongga perut/panggul.

Teknik Autopsi

Hampir setiap Bagian Ilmu Kedokteran Forensik mempunyai teknik autopsi sendiri-
sendiri, namun pada umumnya teknik autopsi masing-masing hanya berbeda sedikit/
merupakan modifikasi dari 4 teknik autopsi dasar. Perbedaan terutama dalam hal
pengangkatan keluar organ, baik dalam hal urutan pengangkatan maupun jumlah/kelompok
organ yang dikeluarkan pada satu saat, serta bidang pengirisan pada organ yang diperiksa.

1. Teknik Virchow
Teknik ini mungkin merupakan teknik autopsi yang tertua. Setelah dilakukan
pembukaan rongga tubuh, organ-organ dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa.
Dengan demikian kelainan-kelainan yang terdapat pada masing-masing organ dapat segera
dilihat, namun hubungan anatomik antar beberapa organ yang tergolong dalam satu sistem
menjadi hilang. Dengan demikian, teknik ini kurang baik bila digunakan pada autopsi
forensik, terutama pada kasus penembakan dengan senjata api dan penusukan dengan
senjata tajam, yang perlu dilakuakn penentuan saluran luka, arah serta dalamnya penetrasi
yang terjadi.
2. Teknik Rokitansky
Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan beberapa
irisan in situ, baru kemudian seluruh organ-organ tersebut dikeluarkan dalam kumpulan-
kumpulan organ (en bloc). Teknik ini jarang dipakai, karena tidak menunjukkan
keunggulan yang nyata atas teknik lainnya. Teknik ini pun tidak baik digunakan untuk
autopsi forensik.
3. Teknik Letulle
Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher, dada, diafragma dan perut dikeluarkan
sekaligus (en masse). Kepala diletakkan di atas meja dengan permukaan posterior
menghadap ke atas. Dengan pengangkatan organ-organ tubuh secara en masse ini,
hubungan antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh.
Kerugian teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa pembantu, serta agak sukar dalam
penanganan karena panjangnya kumpulan organ-organ yang dikeluarkan sekaligus.
4. Teknik Ghon
Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher dan dada, organ pencernaan bersama hati
dan limpa, organ urogenital diangkat keluar sebagai 3 kumpulan organ (bloc).
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI menggunakan teknik autopsi yang
merupakan modifikasi dari Teknik Letulle. Organ tidak dikeluarkan en masse, tetapi
dalam 2 kumpulan. Organ leher dan dada sebagai satu kumpulan, organ peru serta
urogenital sebagai kumpulan yang lain.

Tanda Pasti Kematian

a. Lebam mayat (livor mortis)


Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya
tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu
(livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras.
Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh
darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca kematian, makin lama
intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum
waktu ini, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah jika
posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila
penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah
mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga
sejumlah darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah
yang baru. Kadang-kadang dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman akibat
pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh bertimbunnya sel-
sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan
otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut. Mengingat pada
lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah, maka keadaan ini digunakan untuk
membedakannya dengan resapan darah akibat trauma. Bila pada daerah tersebut dilakukan
irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar
pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang.
b. Kaku mayat (rigor mortis)
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat
seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan
energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat
ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis,
maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak
kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah
dalam (sentripetal).
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum
mati, suhu tubuh yang tinggi dan suhu lingkungan yang tinggi.
Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan
memperkirakan saat kematian. Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku
mayat;
1. Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada
saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku mayat
yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer.
Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat
setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum
meninggal. Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa
hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus
tenggelam, tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh diri.
2. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot
berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai
pada korban mati terbakar. Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek
sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap petinju
(pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap
semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadat jaringan lemak subkutan dan
otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.
c. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke
benda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.
Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh suhu keliling, aliran dan kelembaban
udara, bentuk tubuh,posisi tubuh, pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu diketahui untuk
perkiraan perkiraan saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu
keliling yang rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus,
posis terlentang, tidak berpakaian atau berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua
serta anak kecil.
d. Pembusukan (decomposition)
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja
bakteri. Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan
steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel pascamati dan
hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan.
Pembusukan baru tampak kira-kira 4 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada
perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri
serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-
met-hemoglobin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut dan
dada, dan bau busukpun mulai tercium. Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan
gas pembusukan nyata, yaitu kira-kira 36-48 jam pasca mati.
Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26,5 derajat Celcius
hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak bakteri
pembusuk, dan media tempat mayat tersebut juga turut berperan. Mayat yang terdapat di
udara akan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau
dalam tanah. Perbandingan kecepatan pembusuan mayat yang berada dalam
air:tanah:udara adalah 1:2:8. Bayi baru lahir umumnya lebih lambat membusuk, karena
hanya memilki sedikit bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat pada
bayi akan menghambat pertumbuhan bakteri.
e. Adiposera atau lilin mayat.
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau
berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati.
Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk oleh
hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh pasca
mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, dan jaringan saraf yang
termumifikasi. Adiposera terapung di air, bila dipanaskan mencair dan terbakar dengan
nyala kuning, larut di dalam alkohol panas dan eter. Adiposera akan membuat gambaran
permukaan luar tubuh dapat bertahan hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat
dan perkiraan sebab kematian masih dimungkinkan.
Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan
lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang
membuang elektrolit.
f. Mummifikasi
Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat
sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan.
Jaringan berubah menjadi keras dan kering, berwarna gelap, berkeriput dan tidak
membusuk karena kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang kering.
Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh
yang dehidrasi dan waktu yang lama (12-14 minggu). Mumifikasi jarang dijumpai pada
cuaca yang normal.

Livor Mortis Dan Intoksikasi Organofosfat


Livor mortis sering berwarna merah padam, tetapi bervariasi, tergantung oksigenasi
sewaktu korban meninggal. Bila terjadi bendungan/hipoksia, livor mortis yang lebih gelap
karena adanya hemoglobin tereduksi dalam pembuluh darah kulit. Livor mortis merupakan
indikator yang kurang akurat dalam menentukan mekanisme kematian. Kematian dengan
sebab wajar oleh karena gangguan coroner atau penyakit lain memiliki livor mortis yang
lebih gelap.
Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan kolinesterase dalam
sel darah merah dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja enzim terjadi karena organofosfat
melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil. Enzim tersebut
secara normal menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim dihambat,
mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan
nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer.
Organofosfat bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun pernafasan. Intoksikasi
insektisida golongan organofosfat menyebabkan terjadinya kegagalan pernafasan, salah satu
efek dari organofosfat ialah bronkospasme/bronkokonstriksi, sehingga oksigen tidak dapat
masuk ke dalam paru- paru. Hal ini menyebabkan asfiksia karena kadar CO2 lebih tinggi
daripada kadar O2 dalam darah.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna livor mortis merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi livor mortis
lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah
sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas.
Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang
kadang- kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah
pecah yaitu kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra
dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi
dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh
darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat
merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah
dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot. Tardieu’s
spot ini timbul karena permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.
Otapiapia
Otapiapia adalah insektisida yang disiapkan secara lokal, terdiri dari berbagai
kekuatan terdiri dari organofosfat dan minyak tanah. Otapiapia sering dikaitkan dengan
kejadian keracunan. Keracunan adalah masuknya zat racun ke tubuh, baik melalui saluran
cerna, napas, maupun kulit dan mukosa sehingga menimbulkan gejala keracunan. Keracunan
masih sering terjadi pada anak.1

1. Organofosfat

Organofosfat adalah zat kimia sintesis yang terkandung pada pestisida untuk
membunuh hama (serangga, jamur, atau gulma). Organofosfat juga digunakan dalam produk
rumah tangga, seperti pembasmi nyamuk, kecoa, dan hewan pengganggu lainnya.
Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena menghambat enzim kolinesterase. Enzim
ini berfungsi agar asetilkolin terhidrolisis menjadi asetat dan dan kolin. Organofosfat mampu
berikatan dengan sisi aktif kolinesterase sehingga kerja enzim ini terhambat. Asetilkolin
terdapat di seluruh sistem saraf. Asetilkolin berperan penting pada sistem saraf autonom yang
mengatur berbagai kerja, seperti pupil mata, jantung, pembuluh, darah. Asetilkolin juga
merupakan neurotransmiter yang langsung memengaruhi jantung serta berbagai kelenjar dan
otot polos saluran napas.2
Gejala keracunan organofosfat akan timbul dalam waktu 6-12 jam setelah paparan.
Gejalanya bervariasi, dari yang ringan hingga kematian. Gejala awal adalah ruam dan iritasi
pada kulit, mual/rasa penuh di perut, muntah, lemas, sakit kepala, dan gangguan penglihatan.
Gejala lanjutan, seperti keluar ludah berlebihan, keluar lendir dari hidung (terutama pada
keracunan melalui hidung), berkemih berlebihan dan diare, keringat berlebihan, air mata
berlebihan, kelemahan yang disertai sesak napas, dan akhirnya kelumpuhan otot rangka,
sukar berbicara, hilangnya refleks, kejang, dan koma.2

2. Kerosene (Minyak Tanah)

Secara kimiawi minyak tanah terdiri dari rangkaian hidrokarbon yang terletak antara
nonan dan heksadekan. Berat ringannya gejala yang ditimbulkan oleh keracunan minyak
tanah, bergantung pada apakah minyak tanah selain tertelan, juga sebagian teraspirasi ke
dalam paru atau tidak. Aspirasi ini dapat timbul tidak hanya pada saat tertelan, tetapi juga bila
kemudian minyak tanah yang sudah ditelan itu dimuntahkan kembali. Bila minyak tanah ini
diaspirasi ke dalam paru, dapat menimbulkan keracunan akut, perdarahan dan
bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini dapat berlangsung beberapa
menit sampai beberapa jam. Menurut Cohen (1953) perubahan dalam paru akibat keracunan
minyak tanah dapat diikuti secara radiologis. Brunner (1964) mengatakan bahwa kelainan
paru yang kadang-kadang sangat luas dapat terjadi tanpa didapatkannya gejala klinis lain.
Kematian yang dapat timbul akibat keracunan minyak tanah ialah sebagai akibat asfiksia
karena edema dan konsolidasi paru. Sebagai akibat sistemik keracunan minyak tanah ini,
terjadi depresi susunan saraf pusat. Minyak tanah yang diinhalasi atau dihirup menyebabkan
efek sistemik yang lebih kuat daripada minyak tanah yang diminum. Hal ini disebabkan
penyerapan minyak tanah dari usus terjadi secara lambat dan tidak lengkap. Kadang-kadang
minyak tanah yang terminum dapat menyebabkan kelainan pada paru.Hal ini disebabkan oleh
minyak tanah yang sampai ke paru melalui aliran darah. Kadang-kadang dengan dosis minum
yang lebih besar, kelainan paru tidak terjadi. Menurut Gerarde (1963) hal ini disebabkan
karena sebagian besar minyak tanah diekskresi melalui paru.3

Gejala keracunan minyak tanah dapat dibagi dalam gejala inhalasi dan gejala akibat
minyak tanah yang terminum. Gejala inhalasi dapat menimbulkan euforia yang menyerupai
intoksikasi alkohol.3

a. Gejala iritatif terhadap faring, esofagus, lambung dan usus halus dapat menyebabkan
perasaan terbakar pada mulut, tenggorok, esofagus dan ulkus pada mukosa.
b. Gejala fibrilasi ventrikel, walaupun jarang terjadi. Fibrilasi ventrikel ini disebabkan
karena minyak tanah menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin eksogen
dan endogen (epinefrin, norepinefrin).
c. Gejala pada susunan saraf pusat berupa mengantuk atau koma yang terjadi segera
setelah terminum minyak tanah.
d. Gejala pada paru berupa bronkopneumonia. Bronkopneumonia ini bukan disebabkan
oleh minyak yang diabsorbsi melalui oral atau ekskresi minyak tanah-melalui paru,
tetapi akibat aspirasi trakeobronkial.

Pada keracunan minyak tanah yang berat dapat pula dilihat kelainan pada urin berupa
albuminuria. Kematian biasanya timbul sebagai akibat asfiksia.3
Pembusukan yang terjadi pada keracunan
Proses pembusukan yang kedua disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan
fermentasi. Setelah kematian, flora normal traktus gastrointestinal menyebar keseluruh tubuh
menyebabkan pembusukan. Sebagian besar oksigen dalam tubuhmenurun, menyebabkan
lingkungan menjadi anaerob sehingga mudah dirusak oleh bakteri yang berperan dalam
pembusukan. Sebagian besar bakteri pada tubuh terdapat pada caecum, oleh karena itu tanda-
tanda eksternal pembusukan pertama kali terlihat di abdomen. Mikroorganisme penyebab
utama pembusukan adalah Clostridium Welchii yang biasanya terdapat pada usus besar.
Apabila Clostridium Welchii mulai tumbuh pada satu organ parenkim, maka sitoplasma dari
organ sel tersebut akan mengalami desintegrasi dan nukleusnya akan dirusak sehingga sel
menjadi lisis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan strukturnya.
Secara mikroskopis bakteri dapat dilihat menggumpal pada ronggarongga jaringan, dimana
bakteri tersebut banyak memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang tadinya
kecil dapat cepat membesar menyerupai honey combed appearance. Lesi ini dapat dilihat
pertama kali pada hati.4
Pada orang yang sudah mati semua sistem pertahanan tubuh hilang sehingga
mikroorganisme pembusuk tersebut dapat leluasa memasuki pembuluh darah dan
menggunakan darah sebagai media untuk berkembang biak. Bakteri tersebut menyebabkan
hemolisa, pencairan bekuan-bekuan darah yang terjadi sebelum atau sesudah mati, pencairan
trombus atau emboli, perusakan jaringanjaringan dan pembentukan gas-gas pembusukan.
Proses tersebut mulai tampak kurang lebih 48 jam sesudah mati.4
Tanda awal pembusukan akan tampak warna kehijauan didaerah dinding abdomen
bawah, lebih banyak terlihat pada fossa illiaca kanan tepatnya didaerah caecum, karena
daerah tersebut banyak mengandung cairan dan bakteri serta letaknya dekat dengan dinding
perut. Pewarnaan akan menyebar keseluruh abdomen kemudian ke daerah dada, pada saat ini
akan tercium bau pembusukan. Warna hijau disebabkan karena terjadi suatu morbling, yaitu
hasil dari hemolisis pembuluh darah dengan reaksi dari hemoglobin dan hidrogen sulfida
sehingga menyebabkan pembuluh darah berwarna coklat kehijau-hijauan. Selain banyak
ditemukan pada abdomen dan paru, bakteri pembusukan juga banyak ditemukan pada sistem
vena, sehingga gambaran marbling ini terlihat jelas pada bahu, dada bagian atas, abdomen
bagian bawah dan paha. Apabila proses pembusukan cepat, gambaran pembuluh balik yang
seperti jaring-jaring tersebut akan tampak dalam waktu 24 jam.4
Terjadi pula pelebaran pembuluh darah superficial disebabkan karena desakan gas
pembusukan yang ada didalamnya sehingga pembuluh darah serta cabang-cabangnya tampak
lebih jelas, seperti pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent mark). Lapisan
permukaan epidermis dapat dengan mudah terlepas disebut ‘skin slippage’.4
Awal minggu kedua terjadi pembentukan gas dalam tubuh yang dimulai dari lambung
dan usus. Pembentukan gas ini menyebabkan naiknya tegangan abdomen dan perut akan
tampak menggelembung. Tekanan pada abdomen akibat pembentukan gas, akan
menyebabkan keluarnya cairan merah kehitaman dari mulut dan hidung. Sebagian besar
cairan berasal dari saluran pernafasan dan lambung. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh
tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 -
114 kg sesudah mati. Gas dalam jaringan tubuh akan menimbulkan kesan seperti krepitasi,
yaitu apabila daerah tersebut diraba akan teraba derik udara. Pada daerah scrotum, penis dan
buah dada gelembung pembusukan biasanya akan tampak jelas.4
Tiga atau empat minggu kemudian kuku, rambut kepala, aksila dan pubis mudah
dicabut dan dilepaskan karena danya disintegrasi pada akarnya. Wajah akan tampak
menggembung, mata akan tertutup erat karena penggembungan pada kedua kelopak mata,
bibir akan menggembung dan mencucur, lidah akanmenggembung dan terjulur keluar
sehingga mayat sulit dikenali identitasnya.4
Tekanan intra abdominal dapat menyebabkan pengeluaran urin dan feses. Prolaps
uteri dan pengeluaran fetus setelah kematian pada wanita hamil disebabkan juga oleh tekanan
intra abdominal. Tekanan pada rongga dada meningkat karena adanya gas pembusukan
didalam rongga abdomen, sehingga menyebabkan udara dan cairan pembusukan yang berasal
dari trakea dan bronkus terdorong keluar, bersama dengan keluarnya cairan darah melalui
mulut dan hidung.4
Proses pembusukan akan berlanjut dengan menciutnya organ-organ dalam akan tetapi
tetap dapat dikenali. Pembusukan organ dalam akan terjadi dengan kecepatan yang berbeda,
salah satu faktor yang berperan dalam kecepatan pembusukan adalah banyak sedikitnya darah
yang terdapat pada organ dalam tersebut. Organ dalam yang paling cepat membusuk ialah
otak, hati, lambung, usus halus, limpa, rahim wanita hamil atau nifas. Perubahan warna pada
dinding lambung terutama di fundus dapat dilihat dalam 24 jam pertama setelah kematian.
Difusi cairan dari kandung empedu kejaringan sekitarnya, menyebabkan perubahan warna
pada jaringan sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat dilihat gambaran honey
combs appearance, limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek, serta otak menjadi lunak.
Organ yang lambat membusuk ialah esofagus, jantung, paru-paru, difragma, ginjal dan
kandung kemih. Organ yang paling lambat mengalami pembusukan adalah prostat pada laki-
laki dan rahim pada wanita yang tidak dalam keadaan hamil atau nifas, karena strukturnya
yang berbeda dengan jaringan lain yaitu jaringan fibrous, sehingga pada keadaan dimana
telah terjadi pembusukan lanjut, kedua organ dalam tersebut dapat dipakai sebagai petunjuk
menentukan jenis kelamin mayat tersebut.4
Tahap terakhir dari pembusukan adalah skeletonization, yaitu menyisakan sedikit atau
bahkan tidak ada jaringan lunak, sehingga hanya terlihat tulang. Proses ini dapat bertahan
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hingga akhirnya terjadi penghancuran tulang.
Skeletonization lebih tergantung pada keadaan lingkungan daripada pembusukan secara
alami. Mikrooganisme dalam tanah, cuaca dan keasaman tanah berpengaruh terhadap
keutuhan tulang. Ketika pembususkan tubuh sampai pada tahap ini, penentuan waktu
kematian bisa sangat sulit.4
Mayat orang mati mendadak lebih lambat proses pembusukannya daripada yang mati
karena penyakit kronis. Demikian pula pada mayat orang yang mati karena keracunan kronis
dari zat asam karbol, arsen, antimo dan zink klorida akan lebih cepat proses pembusukannya.
Jika kematian karena infeksi atau septikemia, akan mempercepat pembusukan karena
bakteri.4

Patofisiologi
Insektisida ini bekerja dengan menghambat dan menginaktivasikan enzim
asetilkolinesterase. Enzim ini secara normal menghancurkan asetilkolin yang dilepaskan oleh
susunan saraf pusat, gangglion autonom, ujung-ujung saraf parasimpatis, dan ujung-ujung
saraf motorik. Hambatan asetilkolinesterase menyebabkan tertumpuknya sejumlah besar
asetilkolin pada tempat-tempat tersebut.5
Asetilkholin itu bersifat mengeksitasi dari neuron – neuron yang ada di post sinaps,
sedangkan asetilkolinesterasenya diinaktifkan, sehingga tidak terjadi adanya katalisis dari
asam asetil dan kholin. Terjadi akumulasi dari asetilkolin di sistem saraf tepi, sistem saraf
pusatm neomuscular junction dan sel darah merah, Akibatnya akan menimbulkan
hipereksitasi secara terus menerus dari reseptor muskarinik dan nikotinik.5
Didalam kasus kita ini menyangkut keracunan baygon, perlu diketahui dulu bahwa
didalam baygon itu terkandung 2 racun utama yaitu Propoxur dan transfluthrin. Propoxur
adalah senyawa karbamat yang merupakan senyawa Seperti organofosfat tetapi efek
hambatan cholin esterase bersivat reversibel dan tidak mempunyai efek sentral karena tidak
dapat menembus blood brain barrier. Gejala klinis sama dengan keracunan organofosfat
tetapi lebih ringan dan waktunya lebih singkat. Penatalaksanaannya juga sama seperti pada
keracunan organofosfat.5
Dampak terbanyak dari kasus ini adalah pada sistem saraf pusat yang akan
mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran dan depresi pernapasan. Fungsi kardiovaskuler
mungkin juga terganggu, sebagian karena efek toksik langsung pada miokard dan pembuluh
darah perifer, dan sebagian lagi karena depresi pusat kardiovaskular di otak. Hipotensi yang
terjadi mungkin berat dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan ginjal,
hipotermia terjadi bila ada depresi mekanisme pengaturan suhu tubuh. Gambaran khas syok
mungkin tidak tampak karena adanya depresi sistem saraf pusat dan hipotermia, Hipotermia
yang terjadi akan memperberat syok, asidemia, dan hipoksia.5
Pemeriksaan khusus pada jenazah bayi
Selain pemeriksaan-pemeriksaan yang telah dijelaskan di atas, khusus pada jenazah
bayi perlu diperhatikan beberapa hal, sehingga pemeriksaan dapat memberi terang perkara
dengan memberikan jawaban sebagai berikut:6

1. Perkiraan umur dalam kandungan dengan cara:6


a. Mengukur panjang badan dari puncak kepala sampaitumit. Hasil pengukuran
dalam sentimeter dimasukanke dalam rumus De Haas sehingga didapatkan
perkiraanumur bayi dalam kandungan.
b. Mengukur panjang badan dari puncak kepala sampaibokong.
c. Mengukur berat badan bayi.
d. Mengukur lingkar kepala bayi.
e. Memeriksa opasitas kulit, apakah pembuluh darahbesar tampak samar atau jelas.
f. Memeriksa pertumbuhan dan jumlah lanugo pada dahi,punggung, dan bahu.
g. Memeriksa keadaan rambut kepala apakah kasar danmudah dipilah atau halus dan
sukar dipilah.
h. Memeriksa pertumbuhan alis, apakah sudah dapatdikenali dan sudah tumbuh
sampai ke tepi.
i. Memeriksa daun telinga dengan cara dilipat, apakahcepat kembali atau lambat
kembali ke posisi semula.
j. Memeriksa aerola mammae, apakah sudah menonjol
k. dan diameternya sama dengan atau lebih besar dari 0,7sentimeter.
l. Memeriksa jari-jari apakah kuku-kuku sudah melewatiujung-ujung jari.
m. Memeriksa kemaluan, bila laki-laki apakah testis sudahturun ke scrotum, bila
perempuan apakah labia mayorasudah menutupi labia minora.
n. Memeriksa telapak kaki, apakah garis-garis telapak kakisudah melebihi 2/3 bagian
depan kaki.
2. Viabilitas (kemampuan hidup terpisah di luar kandungan ibu).

Selain tanda-tanda maturitas seperti yang telah dijelaskandalam perkiraan umur dalam
kandungan, perlu juga dilakukan pemeriksaan untuk memperkirakan tanda-tanda cacat
genetik yang dapat dikenali dari pemeriksaan luar. Bila bayi belum matur atau matur namun
terdapat cacat genetik berat, maka bayi tersebut dinyatakan tidak viable.6

3. Tanda-tanda bayi sudah dirawat.


Bayi yang belum dirawat menunjukan belum adanya rasa kasih sayang dari ibu
terhadap anaknya. Hal ini pentingdalam kasus pembunuhan anak sendiri terkait
dengankeadaan psikis atau kejiwaan ibu, seperti tercantum dalamKUHP pasal 341 dan 342.
Tanda bayi belum dirawat antaralain:6

a. Tubuhnya masih berlumuran darah.


b. Vernix caseosa (lemak bayi) masih melekat pada tubuh seperti dahi, belakang telinga,
lipat leher, lipat ketiak, lipat paha, dan bokong.
c. Tali pusat masih tersambung antara perut dan plasenta, apabila terpotong, ujungnya
menunjukan tepi potongan yang tidak teratur saat diapungkan di dalam air.
d. Bayi belum diberi pakaian.

4. Tanda-tanda kekerasan.
5. Hubungan bayi dengan ibunya.
Ambil sampel darah atau rambut atau kuku untukpemeriksaan golongan darah dan
DNA.
6. Tanda-tanda lahir hidup.
7. Penyebab kematian.

Pemeriksaan luar tidak dapat menentukan lahir hidup dan penyebab kematian,
sehingga untuk menentukan kedua haltersebut, kasus ini perlu dirujuk untuk dilakukan otopsi
oleh dokter spesialis forensik.6

Prevalensi insektisida di dunia


Pestisida merupakan substansi kimia yang mempunyai daya bunuh yang tinggi,
penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat diketahui untuk membunuh atau mengendalikan
berbagai hama tanaman. Tetapi pestisida ibarat tombak bermata dua. Di satu sisi pestisida
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan hasil produksi petani.
Tetapi di sisi lain pestisida adalah racun yang merusak manusia dan lingkungan apabila tidak
tepat dalam menggunakannya. Multan Pakistan, selama tahun 1996-2000 terdapat 578 pasien
yang keracunan, diantaranya 370 pasien karena keracunan pestisida (54 orang meninggal).
Pada umumnya korban keracunan pestisida merupakan petani atau pekerja pertanian, 81%
diantaranya berusia 14-30 tahun. Menurut WHO (2012), diperkirakan bahwa rata-rata 4429
ton bahan aktif organoklorin, 1375 ton organofosfat, 30 ton karbamat dan 414 piretroid
digunakan setiap tahun untuk pengendalian vektor global selama periode 2000–2009 di enam
wilayah WHO. Menurut Data WHO pada tahun 2000, negara yang paling banyak menggunakan
pestisida adalah negara maju seperti: Amerika Utara, Uni Soviet, Jepang, Australia, dan negara-
negara di Eropa yang mencapai 80%. Sebanyak 35% dari total penggunaan pestisida terdapat di
negara Amerika Utara.
Teori tentang otapiapia

Keracunan organofosfat ditemui dalam penelitian ini adalah insektisida dari racun tikus,
bahan ini dipasarkan secara luas di Nigeria dan biasanya digunakan juga untuk pembasmi
terhadap nyamuk, kecoa dan tikus. Apabila tidak disimpan dengan baik-baik ,bila
terkontaminasi pada makanan dapat mengakibatkan keracunan. Bahan ini secara lokal disebut
'Otapiapia', Murah dan tersedia di rumah. Biasa digunakan pada keluarga dengan latar
belakang sosial ekonomi rendah. Bahan ini sendiri adalah salah satu bahan kimia yang mudah
terjangkau di rumah sehingga menyebabkan keingintahuan anak-anak pada bahan ini
sehingga bisa mengakibatkan keracunan.

Perlu untuk menyebutkan bahwa penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak dalam
masyarakat kelas social ekonomi rendah lebih mungkin untuk memiliki keracunan dengan
obat-obatan dibandingkan dengan negara-negara berkembang, mencegah kecerobohan dari
produk-produk farmasi di rumah merupakan bahaya bagi anak-anak yang mungkin tertarik
oleh warna atau memori dari rasa manis dari beberapa bahan kimia. Pada sifatnya sendiri
anak-anak sangat eksploratif, sehingga mereka mempunya rasa ingin tahu untuk mencoba
makanan, obat-obatan, kimia lainnya yang terdapat di rumah tangga. Sehingga hal ini dapat
dicegah dengan menjauhkan mereka dari bahan-bahan kimia dalam rumah tangga untuk
mencegah keracunan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa 82,5% kasus keracunan terjadi
di kelas sosial ekonomi rendah.

Ciri keracunan otapiapia

Salah satu ciri karena keracunan makanan, yaitu pasien datang dengan syok hipovolemik.
Diare dan muntah menyebabkan dehidrasi juga menjadi penyebab kematian anak-anak.
Pengobatan dini bisa mencegah kematian dalam kasus ini, dimana dapat disosialisasikan
tentang bahaya diare dan muntah-muntah dan kembali menekankan pada penanganan
rehidrasi oral pada rumah tangga. Gejala-gejala yang batuk dan sesak napas (95%), demam
(82%), gelisah (68%) dan diare (12%). Tanda-tanda itu hiperpireksia (90%), dyspnoea dan
krepitasi (90%), ronki (24%), gangguan kesadaran (9%),
Pemeriksaan peristiwa keracunan
Investigasi pada kasus keracunan dilakukan pada kasus pemeriksaan postmortem. Terkadang,
diagnosis klinis karena kasus keracunan sulit ditentukan karena tidak ada gejala dan tanda
yang spesifik pada kematian ini.
Pemeriksaan peristiwa keracunan meliputi :
1. Pemeriksaan TKP
Pemeriksaan di tempat kejadian merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
membantu dalam menentukan cara keracunan dan penyebab keracunan. Dalam kasus
keracunan organofosfat, ditemukannya bahan organofosfat di tempat kejadian dapat
membantu menentukan penyebab keracunan. Jika di tempat kejadian terdapat muntahan
korban, maka muntahan tersebut dapat membantu menetukan penyebab keracunan, pada
keracunan organofosfat makan akan dijumpai muntahan yang berbau pelarut insektisida.
Penting untuk dilihat juga pada tempat kejadian apakah terdapat wadah yang digunakan
korban untuk meminum zat racun seperti organofosfat jika kasus tersebut merupakan
kasus bunuh diri.Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang kondisi korban
sebelum menelan racun atau sebelum ditelankan racun. Pada kasus kecelakaan, misalnya
pada anak-anak perlu ditanyakan dimana zat racun disimpan.
2. Pemeriksaan korban
Keracunan organofosfat dapat diduga bila gejala-gejala keracunan cepat timbul, bila
gejala baru timbul setelah 6 jam maka itu tidak bisa dikatakan keracunan organofosfat.
Gejala-gejala yang timbul bersifat progresif, makin lama makin memberat dan gejala-
gejala tersebut tidak bisa dikelompokkan adalam suatu sindroma tertentu, dan
pengobatan biasa tidak menolong.
Pada korban yang meninggal dapat dilakukan :
o Pemeriksaan luar

 Wajah dan orificium (bibir, hidung, telinga, vagina)


Warna wajah menentukan tanda adanya keracunan, misal pada mata
muncul petekie kemerahan pada konjungtiva. Cairan vitreous yang keruh dapat
muncul pada pemeriksaan oftalmoskop.Adanya ulserasi dan garis hitam muncul
pada bibir karena sifat insektisida yang korosif. Pada beberapa zat campuran
organofosfat seperti sianida, endrin, kloroform, paraldehyde, kamfor, dll akan
membuat keluar darah dari mulut dan hidung.
 Bau
Membaui korban dengan kasus keracunan dapat memberikan petunjuk
mengenai racun apa yang telah ditelan oleh korban. Pada kasus keracunan
organofosfat mungkin akan tercium bau zat pelarut misalnya bau minyak
tanah. Sumber bau yang menjadi petunjuk penyebab keracunan dapat berasal
dari pakaian, lubang hidung, dan mulut serta rongga badan.Pada kasus
keracunan insektisida, terdapat beberapa jenis bau yang khas. Sebagai contoh,
intoksikasi organofosfat mengeluarkan bau bawang.
 Kulit
Pemeriksaan postmortem pada kulit perlu memperhatikan ada tidaknya
titik pendarahan pada kuku, antecubiti, pergelangan kaki, tangan.
 Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak zat racun yang
disebabkan tercecernya racun yang ditelan atau oleh karena
muntahan.Penyebaran bercak perlu diperhatikan, karena dari penyebaran itu
kadang-kadang dapat diperoleh petunjuk tentang intensi atau kemauan korban,
yaitu apakah racun itu ditelan atas kemauannya sendiri atau dipaksa. Dalam
hal korban dipegangi dan dicekoki racun secara paksa, maka bercak-bercak
akan tersebar pada daerah yang luas. Selain itu pada pakaian mungkin melekat
bau racun.
 Lebam mayat dan perubahan warna kulit
Warna lebam mayat yang tampak pada pemeriksaan luar merupakan
cerminan manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.Warna lebam mayat
yang tidak biasa dapat menjadi petunjuk dari zat racun yang tertelan atau
ditelan.Pada kasus keracunan organofosfat tidak ditemukan lebam mayat yang
khas.Begitu juga dengan perubahan warna kulit.Pada keracunan organofosfat
tidak ditemukan tanda-tanda perubahan warna kulit yang khas.
 Pada kasus keracunan akut hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia

 Keluar buih dari mulut dan hidung


o Pemeriksaan dalam

 Pada kasus keracunan organofosfat yang akut, pada pemeriksaan dalam dapat
ditemukan edema paru-paru, dan perbendungan organ-organ tubuh, mukosa
lambung mengalami inflamasi disertai perdarahan petekie.
 Pada kasus keracunan organofosfat dengan keracunan kronik dapat ditemukan
nekrosis sentral dan degenerasi bengkak keruh pada hati ; vakuolisasi, girolisis
dan retikulasi basofilik yang jelas pada otak dan medula spinalis ; perlemakan
pada miokardium ; degenerasi sel tubuli ginjal.
 Pada kasus keracunan organofosfat dapat ditemukan penurunan aktifitas enzim
asetilkolinesterase dalam jaringan otak pada pemeriksaan laboratorium lanjutan.
Pemeriksaan Toksikologi
o Pengambilan dan pengumpulan bahan

Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh merupakan
bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan.Racun bisa ditemukan dalam
lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan ginjal. Pada keracunan
organofosfat bahan pemeriksaan toksikologi dapat diambil dari :
 Darah
 Jaringan hati
 Jaringan otak
 Limpa
 Paru-paru
 Lemak badan
Dafpus: PATTERN OF ACCIDENTAL CHILDHOOD POISONING IN UNIVERSITY OF
MAIDUGURI TEACHING HOSPITAL: A SUDANOSAHELIAN REGION OF
NORTHERN NIGERIA Mava Yakubu1 , Baba Usman Ahmadu. Vol 4 | Issue 2 | 2013 | 59-
63.

Daftar Pustaka

1. Jurnal asli
2. http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/keracunan-organofosfat
3. http://dokterpost.com/diagnosis-dan-terapi-keracunan-minyak-tanah/
4. http://eprints.undip.ac.id/44476/3/BAB2KTI.pdf
5. https://www.academia.edu/30254856/Makalah_keracunan
6. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal. Progam
Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit
Pusat Sanglah. Denpasar; 2017. h. 16-8

Bagian Kedokteran Forensik FK UI. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke 2.

Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar FK UI. Teknik Autopsi Forensik Cetakan ke 4. 2000. Jakarta: Bagian
Kedokteran Foensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.1-3
2.

Anda mungkin juga menyukai