Anda di halaman 1dari 26

KEPERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG AJAL

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI STADIUM AKHIR

Dosen pengampu:

Athi Linda Yani, S.Kep.Ners., M.Kep.

Disusun oleh:

Kelompok 4

Indah Permatasari (7316032)


Shintia Amelia Vernanda (7318004)
Lisa Munika (7318008)
Alna Apriliana (7318016)
Ega Safira (7318020)
Siti Maufiroh (7318024)
Elfina Wahyuningtias (7318026)
Imroatul Muta’fiah (7318028)
Nadhira (7318039)
Brian Handika Rama Pangesti (7318040)

PRODI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan
rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah mengenai “ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI STADIUM AKHIR” dengan baik dan tepat
waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN PALIATIF
DAN MENJELANG AJAL.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
memberikan wawasan bagi kami. Kritik yang baik dari pembaca sangat kami harapkan untuk
menyempurnakan makalah selanjutnya.

Semoga dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam
hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI STADIUM AKHIR”.

Jombang, 23 Oktober 2020

penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

A. Latar Belakang....................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................5

C. Tujuan.................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................6

A. Pengertian...........................................................................................................................6

B. Etiologi................................................................................................................................6

C. Manifestasi Klinis...............................................................................................................7

D. Klasifikasi...........................................................................................................................9

E. Patofisiologi......................................................................................................................10

F. Komplikasi........................................................................................................................11

G. Penatalaksanaan................................................................................................................12

H. Masalah Perawatan Paliatif...............................................................................................15

I. Asuhan Keperawatan........................................................................................................17

BAB III PENUTUP..................................................................................................................24

Kesimpulan..............................................................................................................................24

Saran.........................................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................26

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Amerika Serikat 27.257 orang meninggal pada tahun 2002 dari penyakit hati
kronis dan sirosis. Tingkat kematian dari penyakit hati kronis dan sirosis adalah yang
tertinggi penduduk asli-Amerika (22,5 per 100.000) di mana lebih banyak dua kali lipat
dari orang kulit putih (9.2) dan Afrika-Amerika (7.2). Angka di antara perempuan (5,8)
dari semua etnis adalah setengah dari laki-laki (12,4). Telah terjadi hal yang signifikan
penurunan tingkat kematian di antara semua orang dari puncak pada 1970-an dan 1980-
an (Kung, Hoyert, Xu, & Murphy,2008). Meskipun tren ini telah dikaitkan dengan
Generasi Perang Dunia II melewati populasi kolam renang dan arus masuk "Baby
Boomers”. Beberapa percaya bahwa, sebagian, perubahan ini dapat dikaitkan dengan
perbaikan dalam melaporkan penyebab kematian.
Kematian akibat penyakit hati secara keseluruhan mencapai puncaknya usia 45–54
tahun di mana itu adalah urutan keempat penyebab kematian, di belakang neoplasma,
penyakit jantung, dan kecelakaan, masing-masing. Di antara orang-orang itu 35-44 dan
untuk usia 55-64 tahun, penyakit hati menempati urutan ketujuh penyebab utama
kematian. Setelah usia 65 tahun, penyakit lever turun ke 70 karena penyakit berkorelasi
dengan usia lanjut mendominasi (Jemal, et al., 2008).
Kanker hati dan saluran empedu intrahepatik diperkirakan membunuh 18.410
orang Amerika pada tahun 2008 dengan tren peningkatan yang mengkhawatirkan selama
dekade terakhir (Jemal et al.,2008). Persentase orang yang meninggal karena kanker hati
meningkat dengan bertambahnya usia. Hati dan kanker saluran empedu adalah penyebab
kanker kelima kematian di antara pria dan menyumbang 4% dari kanker meninggal.
Bentuk kanker ini menyebabkan 2% kematian dari neoplasma di kalangan wanita dan
merupakan penyebab utama kesembilan kematian akibat kanker (Pusat Kesehatan
Nasional Statistik, 2007).
Virus hepatitis menjadi penyebab utama hati kegagalan di Amerika Serikat dan di
seluruh dunia. Vaksinasi telah menyebabkan penurunan insiden yang tajam hepatitis A
dan B tetapi tidak ada vaksinasi atau pengobatan untuk hepatitis C belum berkembang.
Akibatnya, hepatitis C sekarang menjadi penyebab utama penyakit hati kronis yang
mempengaruhi sekitar 4,1 juta orang di Indonesia AS dan merupakan penyebab utama
transplantasi hati. Penggunaan narkoba IV, perilaku seksual berisiko tinggi, pemberian
produk darah, tato, hemodialisis, dan jarum cedera tongkat adalah beberapa penyebab
utama penularan hepatitis C.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit hati stadium akhir?

C. Tujuan
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit hati
stadium akhir.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Hati adalah organ padat terbesar di tubuh dan memiliki dua primer fungsi. Pertama,
sebagai organ penting pencernaan yang menghasilkan bahan kimia yang memecah
makanan. Kedua, sebagai organ utama untuk daur ulang sel darah merah. Hati adalah
organ terbesar di tubuh dan beristirahat di kuadran kanan atas perut dan sebagian aspek
inferior sering dapat diraba tepat di bawah tulang rusuk. Hati menerima sekitar 20% dari
oksigennya yang kaya aliran darah dari arteri hepatik. Penting untuk memahami penyakit
hati stadium akhir (ESLD) adalah mengetahui hal itu 80% sisa aliran adalah darah yang
kaya nutrisi dari lambung, usus, dan limpa melalui portal vena (Keith, 1985).
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung secara progresif, ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus regeneratif (Sudoyo, 2007). Sirosis hepatis merupakan penyakit
kronis pada hepar dengan inflamasi dan fibrosis hepar yang mengakibatkan distorsi
struktur hepar dan hilangnya sebagian besar fungsi hepar. Perubahan besar yang terjadi
karena sirosis adalah kematian sel-sel hepar, terbentuknya sel-sel fibrotik - (sel mast),
regenerasi sel dan jaringan parut yang menggantikan sel-sel normal. Perubahan ini
menyebabkan hepar kehilangan fungsi dan distorsi strukturnya (Baradero, Dayrit &
Siswadi, 2008).

B. Etiologi
Hati adalah organ yang kokoh dan tahan banting 80% -90% kehilangan fungsi
sebelum gejala muncul (McGrew, 2001). Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh banyak
keadaan, antara lain; konsumsi alkohol, virus hepatitis B dan C, gangguan imunologis, zat
hepatotoksik, dan lain-lain.
Penyakit hati biasanya dibagi menjadi obstruktif dan hepatoseluler. Penyakit hati
obstruktif paling sering disebabkan oleh batu yang menghalangi empedu saluran. Ini
adalah masalah akut yang diperbaiki melalui pembedahan. Penyebab ESLD bersifat
hepatoseluler dan dapat dibagi menjadi kimiawi, infeksius, dan asal neoplastik. Berbagai
macam bentuk virus hepatitis tersebut agen infeksi utama. Alkohol adalah yang utama
penyebab sirosis diikuti dengan obat-obatan seperti asetaminofen, dan bahan kimia
industri seperti aseton. Kelelahan dan pruritus seringkali merupakan tanda pertama dari
kegagalan ketidakmampuan hati untuk memproses bilirubin. Kelebihan bilirubin
terakumulasi di kulit, pertama-tama menyebabkan gatal penyakit kuning kemudian.
Sirosis kimiawi dan alkoholik. Banyak obat yang diresepkan, herbal, dan over- the-
counter menekankan penuaan hati. Acetaminophen, dianggap sebagai pembunuh nyeri
jinak di luar komunitas medis, dapat, jika digunakan dalam kombinasi dengan obat resep
yang diasimilasi di hati, menjadi kombinasi yang mematikan bagi orang tua. Sekarang
overdosis acetaminophen adalah penyebab utama akut gagal hati di Amerika Serikat dan
peningkatan insidennya telah dikaitkan dengan (1) bunuh diri yang disengaja gerakan, (2)
pergeseran dari penggunaan aspirin sebagai analgesik dan antipiretik, serta (3) penggunaan
APAP di semakin banyak produk kombinasi yang dijual bebas dan resep (Fontana, 2008).

C. Manifestasi Klinis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala (sirosis kompensata) meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat
badan menurun, pada laki-laki timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar,
hilangnya dorongan seksualitas. Jika sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala yang
timbul meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam tak begitu tinggi, adanya
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis, gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, hematemesis, melena, sulit konsentrasi,
agitasi sampai koma (Sudoyo, 2007).
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis:
gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal hepatoselular adalah ikterus, edema
perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris, angioma spidernevi, ensefalopati
hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan hipertensi portal adalah
splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi sirkulasi kolateral lainnya.
Asites dapat dianggap sebagai manifestasi kegagalan hepatoselular dan hipertensi portal
(Price & Wilson, 2005).
a. Manifestasi kegagalan hepatoselular
Menurunnya ekskresi bilirubin menyebabkan hiperbilirubin dalam tubuh, sehingga
menyebabkan ikterus dan jaundice. Ikterus intermiten merupakan gambaran khas
sirosis biliaris dan terjadi jika timbul peradangan aktif hati dan saluran empedu
(kolangitis) (Price & Wilson, 2005).
Peningkatan rasio estradiol/testosteron menyebabkan timbulnya angioma
spidernevi yaitu suatu lesi vaskuler yang dikelilingi beberapa vena kecil sering
ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Perubahan metabolisme estrogen juga
menimbulkan eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan. Ginekomastia berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki,
kemungkinan akibat peningkatan androstenedion (Sudoyo, 2007).
Gangguan hematologi yang sering terjadi adalah perdarahan, anemia, leukopenia,
dan trombositopenia. Penderita sering mengalami perdarahan gusi, hidung, menstruasi
berat dan mudah memar. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya faktor pembekuan
darah. Anemia, leukopenia, trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme.
Limpa tidak hanya membesar tetapi juga aktif menghancurkan sel-sel darah dari
sirkulasi sehingga menimbulkan anemia dengan defisiensi folat, vitamin B12 dan besi.
Asites merupakan penimbunan cairan encer intraperitoneal yang mengandung
sedikit protein. Hal ini dapat dikaji melalui shifting dullness atau gelombang cairan.
Faktor utama terjadinya asites ialah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus
(hipertensi portal) dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbuminemia
(Price & Wilson, 2005).
Edema terjadi ketika konsentrasi albumin plasma menurun. Produksi aldosteron
yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium
(Smeltzer & Bare, 2002).
b. Manifestasi hipertensi portal
Akibat dari hati yang sirotik, darah dari organ-organ digestif dalam vena porta
yang dibawa ke hati tidak dapat melintas sehingga aliran darah tersebut akan kembali
ke sistem portal yaitu dalam limpa dan traktus gastrointestinal. Adanya peningkatan
resistensi terhadap aliran darah melalui hati akan menyebabkan hipertensi portal
(Smeltzer & Bare, 2002). Hipertensi portal didefiniskan sebagai peningkatan tekanan
vena porta yang menetap di atas nilai normal yaitu 6-12 cmH2O (Price & Wilson,
2005). Pembebanan berlebihan pada sistem portal ini merangsang timbulnya aliran
kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises).
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal
dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh darah portal ke dalam pembuluh darah
dengan tekanan yang lebih rendah (Smeltzer & Bare, 2002). Saluran kolateral penting
yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada esofagus bagian bawah.
Pirau darah melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut
(varises esofagus). Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding
abdomen dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar
umbilikus (kaput medusa). Sistem vena rektal membantu dekompensasi tekanan portal
sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid
interna (Price & Wilson, 2005).

D. Klasifikasi
Ada tiga jenis sirosis hepatis, yaitu:
1. Sirosis Laennec
Sirosis Laennec disebabkan oleh alkoholisme kronis. Perubahan pertama pada hati
yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap di dalam sel-sel hati
(infiltrasi lemak) dan alkohol menimbulkan efek toksik langsung terhadap hati.
Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik yang
mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan, menurunnya pengeluaran
trigliserida dari hati dan menurunnya oksidasi asam lemak (Price & Wilson, 2005).
Sirosis alkohol memiliki tiga stadium:
a) Perlemakan hati alkoholik
Stadium pertama dari sirosis alkohol yang relatif jinak, ditandai oleh penimbunan
trigliserida di hepatosit dan terjadi pada 90% pecandu alkohol kronis (Corwin,
2009). Alkohol dapat menyebabkan penimbunan trigliserida di hati yang dapat
meluas hingga mengenai lobulus hati. Hati menjadi besar, lunak, berminyak dan
berwarna kuning (Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto, 2008).
b) Hepatitis alkoholik
Stadium kedua sirosis alkohol dan diperkirakan diderita oleh 20- 40% pecandu
alkohol kronis (Corwin, 2009). Kerusakan hepatosit mungkin disebabkan oleh
toksisitas produk akhir metabolisme alkohol, terutama asetaldehida dan ion
hidrogen. Nekrosis sel hati (dalam bentik degenerasi ballooning dan apoptosis) di
daerah sentrilobiler dan juga terdapat pembentukan badan Mallory (agrerat
eosinofilik intraselular flamen intermediet), reaksi neutrofil terhadap hepatosit
yang bergenerasi, inflamasi porta, dan fibrosis (sinusoidal, perisentral, periportal)
(Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto, 2008).
c) Sirosis alkoholik
Pada stadium ini, sel hati yang mati diganti oleh jaringan parut. Pita-pita fibrosa
terbentuk dari aktivasi respon peradangan yang kronis dan mengelilingi serta
melilit di antara hepatosit yang masih ada. Peradangan kronis menyebabkan
timbulnya pembengkakan dan edema interstisium yang membuat kolapsnya
pembuluh darah kecil dan meningkatkan resistensi terhadap aliran darah yang
melalui hati yang menyebabkan hipertensi portal dan asites (Corwin, 2009). Hati
mengalami transformasi dari hati yang berlemak (fatty liver) dan membesar
menjadi hati yang tidak berlemak (nonfatty), mengecil dan berwarna cokelat
(Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto, 2008).

Sirosis Laennec ditandai dengan lembaran-lembaran jaringan ikat yang tebal


terbentuk pada tepian lobulus, membagi parenkim menjadi nodulnodul halus. Nodul ini
dapat membesar akibat aktivitas regenerasi sebagai upaya hati mengganti sel yang
rusak. Pada stadium akhir sirosis, hati akan menciut, keras dan hampir tidak memiliki
parenkim normal yang menyebabkan terjadinya hipertensi portal dan gagal hati.
Penderita sirosis Laennec lebih beresiko menderita karsinoma sel hati primer
(hepatoselular) (Price & Wilson, 2005).

2. Sirosis Pascanekrotik
Sirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbercak pada jaringan hati, sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya. Hepatosit dikelilingi dan
dipisahkan oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan di selingi dengan
parenkim hati normal, biasanya mengkerut dan berbentuk tidak teratur dan banyak
nodul (Price & Wilson, 2005).

3. Sirosis Biliaris
Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pascahepatik. Statis empedu
menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dan kerusakan sel-sel hati.
Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, hati membesar, keras, bergranula
halus dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan utama dari
sindrom ini. Terdapat dua jenis sirosis biliaris: primer (statis cairan empedu pada
duktus intrahepatikum dan gangguan autoimun) dan sekunder (obstruksi duktus
empedu di ulu hati) (Price & Wilson, 2005).

E. Patofisiologi
Sirosis hepatis dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sirosis laennec, sirosis pascanekrotik,
dan sirosis biliaris. Sirosis Laennec disebabkan oleh konsumsi alkohol kronis, alkohol
menyebabkan akumulasi lemak dalam sel hati dan efek toksik langsung terhadap hati yang
akan menekan aktivasi dehidrogenase dan menghasilkan asetaldehid yang akan
merangsang fibrosis hepatis dan terbentuknya jaringan ikat yang tebal dan nodul yang
beregenerasi. Sirosis pascanekrotik disebabkan oleh virus hepatitis B, C, infeksi dan
intoksitifikasi zat kimia, pada sirosis ini hati mengkerut, berbentuk tidak teratur, terdiri
dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh jaringan parut dan diselingi oleh jaringan hati.
Sirosis biliaris disebabkan oleh statis cairan empedu pada duktus intrahepatikum,
autoimun dan obstruksi duktus empedu di ulu hati. Dari ketiga macam sirosis tersebut
mengakibatkan distorsi arsitektur sel hati dan kegagalan fungsi hati.
Distorsi arsitektur hati mengakibatkan obstruksi aliran darah portal ke dalam hepar
karena darah sukar masuk ke dalam sel hati. Sehingga meningkatkan aliran darah balik
vena portal dan tahanan pada aliran darah portal yang akan menimbulkan hipertensi portal
dan terbentuk pembuluh darah kolateral portal (esofagus, lambung, rektum, umbilikus).
Hipertensi portal meningkatkan tekanan hidrostatik di sirkulasi portal yang akan
mengakibatkan cairan berpindah dari sirkulasi portal ke ruang peritoneum (asites).
Penurunan volume darah ke hati menurunkan inaktivasi aldosteron dan ADH sehingga
aldosteron dan ADH meningkat di dalam serum yang akan meningkatkan retensi natrium
dan air, dapat menyebabkan edema.
Kerusakan fungsi hati; terjadi penurunan metabolisme bilirubin (hiperbilirubin)
menimbulkan ikterus dan jaundice. Terganggunya fungsi metabolik, penurunan
metabolisme glukosa meingkatkan glukosa dalam darah (hiperglikemia), penurunan
metabolisme lemak pemecahan lemak menjadi energi tidak ada sehingga terjadi keletihan,
penurunan sintesis albumin menurunkan tekanan osmotik (timbul edema/asites),
penurunan sintesis plasma protein terganggunya faktor pembekuan darah meningkatkan
resiko perdarahan, penurunan konversi ammonia sehingga ureum dalam darah menigkat
yang akan mengakibatkan ensefalopati hepatikum. Terganggunya metabolik steroid yang
akan menimbulkan eritema palmar, atrofi testis, ginekomastia. Penurunan produksi
empedu sehingga lemak tidak dapat diemulsikan dan tidak dapat diserap usus halus yang
akan meingkatkan peristaltik. Defisiensi vitamin menurunkan sintesis vitamin A, B, B12
dalam hati yang akan menurunkan produksi sel darah merah.

F. Komplikasi
1. Varises Esofagus Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi
portal terdapat pada esofagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena
kava menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esofagus). Varises ini terjadi
pada sekitar 70% penderita sirosis lanjut. Perdarahan ini sering menyebabkan
kematian. Perdarahan yang terjadi dapat berupa hematemesis (muntah yang berupa
darah merah) dan melena (warna feces/kotoran yang hitam) (Price & Wilson, 2005).
2. Peritonitis bacterial spontan Cairan yang mengandung air dan garam yang tertahan di
dalam rongga abdomen yang disebut dengan asites yang merupakan tempat sempurna
untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri. Secara normal, rongga abdomen
juga mengandung sejumlah cairan kecil yang berfungsi untuk melawan bakteri dan
infeksi dengan baik. Namun pada penyakit sirosis hepatis, rongga abdomen tidak
mampu lagi untuk melawan infeksi secara normal. Maka timbullah infeksi dari cairan
asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intraabdominal. Biasanya
pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen (Sudoyo, 2007).
3. Sindrom hepatorenal Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal
yang mengakibatkan penurunan filtrasi glomerulus. Pada sindrom hepatorenal terjadi
gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguria, peningkatan ureum, kreatinin tanpa
adanya kelainan organik ginjal (Sudoyo, 2007).
4. Ensefalopati hepatikum Intoksikasi otak oleh produk pemecahan metabolisme protein
oleh kerja bakteri dalam usus. Hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena
terdapat penyakit pada sel hati. NH3 diubah menjadi urea oleh hati, yang merupakan
salah satu zat yang bersifat toksik dan dapat mengganggu metabolisme otak (Price &
Wilson, 2005).
5. Karsinoma hepatoselular Tumor hati primer yang berasal dari jaringan hati itu sendiri.
Sirosis hati merupakan salah satu faktor resiko terjadinya karsinoma hepatoselular.
Gejala yang ditemui adalah rasa lemah, tidak nafsu makan, berat badan menurun
drastis, demam, perut terasa penuh, ada massa dan nyeri di kuadran kanan atas
abdomen, asites, edema ekstremitas, jaundice, urin berwarna seperti teh dan melena
(Wijayakusuma, 2008).

G. Penatalaksanaan
Salah satu pengobatan untuk asites adalah paracentesis drainase cairan berlebih di
rongga perut. Tujuan utama paracentesis adalah dekompresi organ dada dan rongga perut.
Pasien akan dapat bernapas dengan sedikit ketegangan dan mereka akan merasakannya
kurang kembung dan karena itu bisa makan. Kiprahnya mungkin ditingkatkan.
Paracentesis bukannya tanpa risiko sekunder infeksi dan potensi tusukan pada organ perut.
Parasentesis yang terlalu agresif dapat menyebabkan pergeseran cairan ekstraseluler dan
hipotensi ortostatik. Pertama, sampel cairan diperiksa untuk infeksi, darah, dan tumor.
Satu kilogram cairan dapat dibuang dalam sebuah pengaturan rawat jalan jika asites
disertai dengan edema perifer. Tanpa edema perifer komorbid, tidak lebih dari 0,5 kg
harus dikeringkan. Lebih agresif atau Paracentesis "volume besar" hingga 5 l cairan
membutuhkan rawat inap dan suplementasi albumin parenteral (Garcia & Sanyal, 2001).
Lima puluh persen pasien dengan asites atau ensefalopati akan mati dalam 2 tahun onset
(Sanchez & Talwalkar, 2006).
Ensefalopati portal-sistemik (PSE). Amonia adalah produk sampingan dari
metabolisme protein. Membatasi protein masuk dietnya kontroversial. Di satu sisi adalah
mereka yang merekomendasikan memulai diet protein rendah setelah PSE telah
dikonfirmasi oleh peningkatan kadar amonia di darah arteri dan status mental berubah
(McGrew, 2001). Penatalaksanaan farmakologis meliputi 15-30 ml laktulosa diberikan
tiga kali sehari untuk mengurangi protein penyerapan di usus. Jika laktulosa saja efektif
mengurangi gejala ensefalopati, rezim ini dilanjutkan. Jika ensefalopati berlanjut,
neomisin bisa ditambahkan untuk mengurangi aktivitas bakteri di usus (AbiyAssi &
Vlahcevic, 2001). Pasien kesulitan tinggal dengan rejimen neomisin dan laktulosa karena
sakit perut, kram, dan diare. Asites kemungkinan besar kembali, membutuhkan banyak
prosedur.
Spesialis lain di ESLD percaya bahwa jangka Panjang Pembatasan protein kontra
produktif karena keadaan malnutrisi lanjut yang menyertai ESLD (Bashir & Lipman,
2001). Suplementasi vitamin dan mineral adalah kebutuhan khusus pada sirosis alkoholik.
Pembatasan diet natrium tidak lebih dari 800 mg atau 2 g garam per hari dapat membantu
mengurangi cairan penyimpanan. Diet di ESLD harus menggunakan pendekatan tim
terdiri dari pasien, keluarga, tenaga kesehatan, dan ahli gizi.
Varises esofagus. Pengobatan varises esofagus adalah terbatas karena intervensi
bedah bersifat invasive dan belum terbukti meningkatkan tingkat kelangsungan hidup
secara keseluruhan. Pendekatan non-invasif adalah dengan mengurangi portal hipertensi
menggunakan beta-blocker nonselektif seperti propranolol (Inderal) atau nadolol
(Corgard). Dosis yang lebih tinggi yang biasanya digunakan untuk mengobati hipertensi
adalah dibutuhkan dan dosis disesuaikan ke atas sampai istirahat detak jantung berkurang
25%, tetapi tidak di bawah 55 detak per min. Keuntungan nadolol adalah dapat diberikan
dosis harian tunggal 40–320 mg. Propranolol dengan dosis antara 10–480 mg dapat dibagi
selama hari ini. Penggunaan beta-blocker telah terbukti mengurangi risiko perdarahan
sebesar 45% dan kematian terkait perdarahan sebesar 50%. Intervensi bedah menggunakan
laser untuk membakar Varises merupakan inovasi terbaru, tetapi bisa berakibat fatal
pendarahan. Skleroterapi dan banding endoskopi saat ini pengobatan lini pertama untuk
varises yang berdarah (Hegab & Luketic, 2001).
Manajemen nyeri. Kontrol dan kenyamanan nyeri adalah masalah utama pasien dan
keluarga pada pasien dengan penyakit terminal (Cleary & Carbone, 1997). Agresif
kemoterapi itu mahal, seringkali tidak berpengaruh pada kursus penyakit, dan terapi itu
sendiri menghasilkan ketidaknyamanan. Nyeri pada tahap lanjut ESLD bisa setara dengan
kanker paru-paru atau usus besar stadium akhir (Roth et al., 2000). Tanpa kontrol nyeri
medis yang tepat, pasien dapat beralih ke obat bebas yang mungkin menjadi hepatotoksik
atau menggunakan alkohol. Kodein atau kodein analog tanpa asetaminofen dan morfin
kemudian pilihan awal (Stravitz et al., 2007). Sebagai pasien mengalami kesulitan
menelan atau mempertahankan obat-obatan oral, penggunaan Fentanyl transdermal atau
pompa morfin dapat digunakan. Anggota keluarga kemungkinan besar akan khawatir
bahwa orang yang mereka cintai akan menjadi "kecanduan" ini obat pereda nyeri atau
menjadi "dikotori". Pasien dan keluarga perlu berulang kali diyakinkan kenyamanan itu
adalah prioritas dan kecanduan itu sangat jarang.
Diphenhydramine (Benadryl), hydroxyzine (Vistaril), atau promethazine (Phenergan)
sering bekerja secara sinergis dengan obat nyeri selain mengurangi mual, mengurangi
keparahan kulit gatal, tetapi manfaat utamanya bagi pasien ESLD adalah pengobatan ini
sifat obat penenang (Larson & Curtis, 2006). Seringkali dengan berkembang asites dan
sesak napas, pasien menjadi semakin gelisah dan cemas sekalipun nyeri terkontrol dengan
baik. Anggota keluarga mungkin menjadi takut dengan orang yang dicintai yang sedang
berjuang bernafas atau siapa yang bingung. Dalam kasus ini, memang demikian lebih
mungkin untuk memanggil paramedis atau membawa pasien ke ruang gawat darurat. Agen
anti ansietas seperti lorazepam (Ativan), alprazolam (Xanax), atau diazepam (Valium)
adalah penting dalam mengurangi gejala ini. Diazepam memiliki file keuntungan menjadi
murah dan datang dengan IV atau IM bentuk suntik. Saat menemukan kombinasi obat
yang tepat untuk mengontrol rasa sakit, kecemasan, urtikaria, dan mual mungkin
memerlukan beberapa trial and error, tidak ada kesabaran harus menderita kesakitan
(Tremblay & Breitbart, 2001).

H. Masalah Perawatan Paliatif


Perawat berada dalam posisi yang sangat penting untuk menilai kapasitas keluarga
dalam memberikan perawatan (Groen, 1999). Mungkin masalah yang belum terselesaikan
tentang rasa bersalah dan tuduhan seputar penyalahgunaan alkohol pasien. Pasangan dan
anak-anak mungkin membutuhkan konseling untuk menangani masalah ini. Lingkaran
pengasuh harus bersedia membantu pasien menghindari alkohol. Begitu pula dengan
kebutuhan keluarga diinformasikan tentang perjalanan alami proses penyakit dan
perubahan apa yang harus diharapkan. Harus ada rencana tertulis tentang langkah-langkah
yang harus diambil jika terjadi keadaan darurat atau kerusakan cepat pada pasien
keinginan terpenuhi. Minimal setiap anggota keluarga hendaknya membaca dan
membahas arahan lanjutan ini.
Rujukan ke perawatan paliatif terlambat untuk sebagian besar pasien yang sakit parah,
tidak hanya mereka dengan ESLD (Medici et al.,2008). Karena satu-satunya pengobatan
yang efektif untuk ESLD adalah transplantasi hati, pasien ini dapat berada dalam registrasi
transplantasi dan menerima perawatan hospis pada saat yang sama waktu. Sayangnya,
banyak di antara mereka yang menunggu transplantasi akan mati dan peran perawatan
paliatif adalah untuk mengontrol gejala saat terjadi.

Langkah pertama untuk berpantang alkohol mungkin detoksifikasi di fasilitas khusus.


Dengan penyakit lanjut pasien mungkin secara hemodinamik tidak stabil dengan
kekurangan nutrisi dan mineral yang parah. Ini perlu distabilkan sebelum pasien dapat
kembali ke keluarga atau pengasuhan jangka panjang. Kebanyakan antarmuka fasilitas
detoksifikasi dengan Alcoholics Anonymous (AA) dan pengaturan untuk tindak lanjut
dengan AA harus ditetapkan sebelum pasien dipulangkan. Pasien yang lebih tua mungkin
memiliki lebih banyak gejala penarikan alkohol yang parah dengan peningkatan
halusinasi, gangguan tidur, dan kebingungan.

Pecandu alkohol yang lebih tua sering kekurangan gizi karena alkohol telah menjadi
sumber kalori yang signifikan. SEBUAH ahli gizi adalah bagian penting dari lingkaran
pengasuh, terutama jika keputusan dibuat untuk membatasi protein. "Meals On Wheels"
bisa mengantarkan makanan ke rumah pasien yang mengikuti diet khusus. Vitamin dan
Suplementasi mineral dikhususkan untuk menghindari bahan kimia yang bersifat
hepatotoksik. Vitamin K ekstra mungkin diperlukan untuk memperbaiki penyimpangan
perdarahan. Aspirin seharusnya dihindari dan asupan garam dikurangi.
Pasien lanjut usia alkoholik berisiko tinggi terkena air terjun. Karena peningkatan
waktu protrombin, tindakan pencegahan perdarahan seperti penggunaan sikat gigi yang
lembut adalah salah satu bagiannya dari perubahan gaya hidup. Pasien perlu ditimbang
setiap hari pada skala yang sama dan laporkan keuntungan mendadak sebesar lebih dari 2
kg dalam sehari. Pasien perlu diperiksa setiap hari untuk nyeri, gatal, demam, edema,
sesak yang meningkat nafas, dan perubahan status mental (Martin, 1992).

Dalam kasus edema serebral yang menyebabkan ensefalopati, perawat perawatan


paliatif adalah penghubung penting dalam lingkungan untuk pasien gagal hati. O’Neal,
Olds, dan Webster (2006) mengembangkan dan menjelaskan protokol untuk administrasi
manitol ketika pasien gagal hati akut di ICU berkembang tanda-tanda ensefalopati.
Protokol mereka menggabungkan intervensi praktik berbasis bukti, sebuah kriteria untuk
pasien penilaian, serta model keperawatan kolaboratif dan obat-obatan.

Kekhawatiran Keluarga dan Pertimbangan – Ketakutan Pengasuh

Kematian akibat penyakit hati seringkali prosesnya yang lambat. Roth et al. (2000)
mempelajari 575 pasien dengan ESLD. Dua pertiga dari pasien ini meninggal dalam 2
tahun. Delapan puluh sembilan persen dari pasien dinilai kualitas hidup mereka adil untuk
orang miskin dengan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
sebagai sumber utama ketidakpuasan. Delapan puluh delapan persen dari studi itu pasien
memiliki pengasuh keluarga di rumah dan dua orang pertiga membutuhkan layanan
kesehatan rumah profesional. Satu sepertiga dari tabungan keluarga dihancurkan oleh
biaya perawatan kesehatan untuk pasien sekarat.

Lingkaran pengasuh perlu didukung oleh ahli kesehatan. Dukungan dari anggota
keluarga adalah juga sangat penting terutama dalam budaya tertentu. Namun, tindakan
pengendalian nyeri dan kenyamanan merupakan tujuan universal. Dalam sebuah studi
tentang perawatan paliatif pilihan, Phillips et al. (2000) tidak menemukan perbedaan
antara ras sehubungan dengan keputusan untuk mundur atau menahan dukungan hidup
untuk pasien sekarat. Pendeta harus juga dimasukkan sebagai bagian dari lingkaran
pemberi perawatan sejak dini dalam proses penyakit sementara pasien berorientasi dan
dapat memiliki interaksi yang berarti. Di banyak kelompok etnis, nasional, dan agama,
pendeta bisa menjadi jembatan antara keluarga dan penyedia layanan kesehatan.
Sirosis alkohol dan hepatitis dari penggunaan narkoba atau kontak seksual
kemungkinan besar akan menimbulkan masalah rasa bersalah dan menyalahkan yang akan
sulit untuk diselesaikan karena pasien memburuk dengan cepat. Sedangkan sirosis
alkoholik lebih banyak asal umum ESLD hari ini, hepatitis kemungkinan besar
mengakibatkan kematian banyak orang dewasa yang lebih tua di masa depan. Lingkaran
kepedulian, termasuk profesional kesehatan dan keluarga, perlu berkumpul di sekitar
pasien-sekarang daripada memikirkan tindakan pasien di masa lalu.

Anak-anak dari orang tua pecandu alkohol yang sekarat kemungkinan akan
menyimpan kenangan akan pengabaian atau bahkan pelecehan. Pasangan mungkin juga
menjadi korban pengabaian atau pelecehan. Model kodependen mungkin sangat sulit
untuk dipertahankan jika pasangan lain lemah dan tidak mampu menyediakan semakin
menuntut perawatan sehari-hari dari pasangannya. Anggota keluarga perlu diberitahu
tentang perubahan status mental yang terjadi saat kematian sudah dekat. Dalam studi Roth,
kurang dari 10% pasien menunjukkan kebingungan 6 bulan sebelum kematian,
bagaimanapun, dalam bulan terakhir kehidupan sepertiga menunjukkan mental yang serius
perubahan status.

I. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian pada pasien sirosis hepatis menurut Doenges (2000) sebagai berikut:
1. Demografi
a. Laki-laki beresiko lebih besar daripada perempuan
b. Pekerjaan: riwayat terpapar toksin
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat hepatitis kronis
b. Penyakit gangguan metabolisme: DM
c. Obstruksi kronis ductus coleducus
d. Gagal jantung kongestif berat dan kronis
e. Penyakit autoimun
f. Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP
3. Pola Fungsional
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala: Kelemahan, kelelahan.
Tanda: Letargi, penurunan massa otot/ tonus.
b. Sirkulasi
Gejala: Riwayat Gagal Jantung Kongestif (GJK) kronis, perikarditis, penyakit
jantung rematik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati), disritmia,
bunyi jantung ekstra, DVJ; vena abdomen distensi.
c. Eliminasi
Gejala: Flatus.
Tanda: Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan/ tak
adanya bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat.
d. Makanan/ cairan
Gejala: Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tak dapat mencerna, mual/
muntah.
Tanda: Penurunan berat badan/ peningkatan (cairan), kulit kering, turgor buruk,
ikterik: angioma spider, napas berbau/ fetor hepatikus, perdarahan gusi.
e. Neurosensori
Gejala: Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian, penurunan
mental. Tanda: Perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat/ tak
jelas.
f. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas.
Tanda: Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri sendiri.
g. Pernapasan
Gejala: Dispnea.
Tanda: Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru
terbatas (asites), hipoksia.
h. Keamanan
Gejala: Pruritus.
Tanda: Demam (lebih umum pada sirosis alkohlik), ikterik, ekimosis, petekie.
i. Seksualitas
Gejala: Gangguan menstruasi, impoten.
Tanda: Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan,
pubis)
4. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak lemah
b. Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan)
c. Sclera ikterik, konjungtiva anemis
d. Distensi vena jugularis dileher
e. Dada:
1) Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki)
2) Penurunan ekspansi paru
3) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan
4) Disritmia, gallop
5) Suara abnormal paru (rales)
f. Abdomen:
1) Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen
2) Penurunan bunyi usus
3) Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras
4) Nyeri tekan ulu hati
g. Urogenital:
1) Atropi testis
2) Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum)
h. Integumen: Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis
i. Ekstremitas: Edema, penurunan kekuatan otot
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu:
1) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan
anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia
mungkin ada sebagai akibat hiperplenisme.
2) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
3) Albumin serum menurun
4) Pemeriksaan kadar elektrolit: hipokalemia
5) Pemanjangan masa protombin
6) Glukosa serum: hipoglikemi
7) Fibrinogen menurun
8) BUN meningkat
b. Pemeriksaan diagnostik
Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu:
1) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
2) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
3) USG
4) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
5) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
6) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.

b. Diagnosa
1. Nyeri kronis b/d kondisi kronis yang dialami.
2. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru, asites.
3. Hipervolemia b/d ascites, edema.
4. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik.
5. Ansietas b/d penyakit kronis progresif.
6. Ketidakberdayaan b/d diagnosis penyakit terminal

c. Intervensi
No Diagnosa Outcome Intervensi
1. Nyeri kronis Luaran: Intervensi:
Tingkat nyeri Manajemen nyeri
Kriteria hasil: Tindakan:
- Keluhan nyeri - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
- Meringis frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Sikap protektif - Identifikasi skala nyeri
- Gelisah - Identifikasi nyeri pada kualitas hidup
- Kesulitan tidur - Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi music, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/ dingin, terapi bermain).
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan).
- Fasilitasi istirahat dan tidur.
- Jelaskan strategi meredakan nyeri.
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
2. Pola nafas tidak efektif Luaran: Intervensi:
Pola napas Manajemen jalan napas
Kriteria hasil: Tindakan:
- Dispnea - Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
- Penggunaan otot bantu usaha napas)
napas - Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling,
- Pemajangan fase mengi, wheezing, ronkhi kering)
ekspirasi - Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
- Frekuensi napas - Posisikan semi-fowler atau fowler
- Kedalaman napas - Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Berikan oksigen, jika perlu
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
3. Hipervolemia Luaran: Intervensi:
Keseimbangan cairan Manajemen hypervolemia
Kriteria hasil: Tindakan:
- Asupan cairan - Periksa tanda dan gejala hypervolemia (mis.
- Kelembaban membrane Ortopnea, dispnea, edema, JVP/ CVP
mukosa meningkat, refleks hepatojugular positif, suara
- Edema napas tambahan)
- Dehidrasi - Identifikasi penyebab hypervolemia
- Tekanan darah - Monitor intake dan output cairan
- Mata cekung - Batasi asupan cairan dan garam
- Turgor kulit - Ajarkan cara membatasi cairan
- Kolaborasi pemberian diuretic
- Kolaborasi pemberian continuous renal
replacement therapy (CRRT), jika perlu.
4. Intoleransi aktivitas Luaran: Intervensi:
Toleransi aktivitas Manajemen energi
Kriteria hasil: Tindakan:
- Frekuensi nadi - Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
- Keluhan Lelah mengakibatkan kelelahan.
- Dispnea saat aktivitas - Monitor kelelahan fisik dan emosional.
- Dispnea setelah aktivitas - Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
- Frekuensi napas melakukan aktivitas.
- Lakukan Latihan rentang gerak pasif dan/ atau
aktif.
- Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau berjalan.
- Anjurkan tirah baring.
- Ajarkan melakukan aktivitas secara bertahap.
- Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan.
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan.
5. Ansietas Luaran: Intervensi:
Tingkat ansietas Reduksi ansietas
Kriteria hasil: Tindakan:
- Verbalisasi kebingungan - Identifikasi saat tingkah ansietas berubah (mis.
- Verbalisasi khawatir Kondisi, waktu, stressor)
- Perilaku gelisah - Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
- Perilaku tegang nonverbal)
- Konsentrasi - Ciptakan suasana terapeutik untuk
- Pola tidur menumbuhkan kepercayaan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
dengarkan dengan penuh perhatian
- Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan.
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
kecemasan.
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien, jika perlu.
- Anjurkan mengungkapan perasaan dan
persepsi.
- Latih teknik relaksasi
- Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika
perlu.
6. Ketidakberdayaan Luaran: Tindakan:
Keberdayaan Promosi harapan
Kriteria hasil: Intervensi:
- Pernyataan mampu - Identifikasi harapan pasien dan keluarga dalam
melaksanakan aktivitas pencapaian hidup.
- Pernyataan frustasi - Sadarkan bahwa kondisi yang dialami memiliki
- Ketergantungan pada nilai penting.
orang lain - Berikan kesempatan kepada pasien dan
- Perasaan tertekan keluarga terlibat dengan dukungan kelompok.
(depresi) - Ciptakan lingkungan yang memudahkan
mempraktikkan kebutuhan spiritual.
- Anjurkan mempertahankan hubungan
terapeutik dengan orang lain.
- Latih menyusun tujuan yang sesuai dengan
harapan.
- Latih cara mengembangkan spiritual diri.
- Latih cara mengenang dan menikmati masa
lalu (mis. Prestasi, pengalaman).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis pada hepar dengan inflamasi dan fibrosis
hepar yang mengakibatkan distorsi struktur hepar dan hilangnya sebagian besar fungsi
hepar. Perubahan besar yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-sel hepar,
terbentuknya sel-sel fibrotik - (sel mast), regenerasi sel dan jaringan parut yang
menggantikan sel-sel normal. Perubahan ini menyebabkan hepar kehilangan fungsi dan
distorsi strukturnya. Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh banyak keadaan, antara lain;
konsumsi alkohol, virus hepatitis B dan C, gangguan imunologis, zat hepatotoksik, dan
lain-lain.
Sirosis hepatis dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sirosis laennec, sirosis pascanekrotik,
dan sirosis biliaris. Sirosis Laennec disebabkan oleh konsumsi alkohol kronis, alkohol
menyebabkan akumulasi lemak dalam sel hati dan efek toksik langsung terhadap hati yang
akan menekan aktivasi dehidrogenase dan menghasilkan asetaldehid yang akan
merangsang fibrosis hepatis dan terbentuknya jaringan ikat yang tebal dan nodul yang
beregenerasi. Sirosis pascanekrotik disebabkan oleh virus hepatitis B, C, infeksi dan
intoksitifikasi zat kimia, pada sirosis ini hati mengkerut, berbentuk tidak teratur, terdiri
dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh jaringan parut dan diselingi oleh jaringan hati.
Sirosis biliaris disebabkan oleh statis cairan empedu pada duktus intrahepatikum,
autoimun dan obstruksi duktus empedu di ulu hati. Dari ketiga macam sirosis tersebut
mengakibatkan distorsi arsitektur sel hati dan kegagalan fungsi hati.
Pada perawatan pasien dengan penyakit hati stadium akhir, perawat berada dalam
posisi yang sangat penting untuk menilai kapasitas keluarga dalam memberikan
perawatan. Mungkin masalah yang belum terselesaikan tentang rasa bersalah dan tuduhan
seputar penyalahgunaan alkohol pasien. Pasangan dan anak-anak mungkin membutuhkan
konseling untuk menangani masalah. Lingkaran pengasuh harus bersedia membantu
pasien menghindari alkohol. Begitu pula dengan kebutuhan keluarga diinformasikan
tentang perjalanan alami proses penyakit dan perubahan apa yang harus diharapkan. Harus
ada rencana tertulis tentang langkah-langkah yang harus diambil jika terjadi keadaan
darurat atau kerusakan cepat pada pasien keinginan terpenuhi. Minimal setiap anggota
keluarga hendaknya membaca dan membahas arahan lanjutan ini.

B. Saran
Setelah mengetahui tentang penyakit hati stadium akhir, diharapkan kepada
mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan dapat mengerti, memahami dan
menjelaskan tentang penyakit hati stadium akhir. Bukan hanya itu, sebagai mahasiswa
keperawatan diharapkan juga untuk lebih banyak menggali kembali tentang penyakit hati
stadium akhir, terutama mengenai asuhan keperawatan pada penyakit hati stadium akhir.
DAFTAR PUSTAKA

Davis, R. B., Duncan, L., Turner, L. W., Young, M. (2001). Percep- tions of HIV
and STD risk among low-income adults: A pilot study. Applied Nursing
Research, 14(2), 105–109.

Desbiens, N. A., & Wu, A. W. (2000). Perspectives and reviews of support


findings: Pain and suffering in seriously ill hos- pitalized patients.
Journal of the American Geriatrics Society, 48(Suppl. 5), S176–S182.

Doyon, S., & Klein-Schwartz, W. (2008). Hepatotoxicity despite early


administration of intravenous N-acetylcysteine for acute acetaminophen
overdose. Academic Emergency Medicine, 15, 1–6.

Duncan, G. E., Li, S. M., & Zhou, X. H. (2004). Prevalence and trends of a
metabolic syndrome phenotype among US adoles- cents. Diabetes Care,
27, 2438–2443.

W. R., Menon, K.V. N., et al. (2005). MELD accurately predicts mortality in patients
with alcoholic hepatitis. Hepatology, 41, 353–358.

Anda mungkin juga menyukai