Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

THANATOLOGY

Disusun oleh :

Asviaditha Oktory

1102018185

Pembimbing :
dr. Suryo Wijoyo Sp. KF., M.H.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI PERIODE 20
MARET 2023 – 29 APRIL 2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

Thanatologi berasal dari dua buah kata, yaitu “thanatos” yang berarti mati dan
“logos” yang berarti ilmu. Maka arti sesungguhnya dari thanatologi adalah ilmu yang
mempelajari segala macam aspek yang berkaitan dengan mati.

Tanatologi suatu ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan pada manusia setelah


meninggal dunia. Perubahan – perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan menjadi
dua yaitu perubahan yang terjadi fase dini dan fase lanjut. Perubahan yang terjadi secara
cepat antara lain henti jantung, henti nafas, perubahan pada mata, suhu dan kulit.

Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah seseorang benar-


benar sudah meningal atau belum, menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara
kematian, dan mengangkat atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi
dan untuk membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan kelainan-
kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Thanatology
Thanatologi berasal dari kata Thanatos dan Logos, artinya adalah bagian dari ilmu
kedokteran forensik yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah
kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Kematian adalah berhentinya ketiga sistem yaitu kardiovaskular, respirasi, dan
sistem saraf pusat, yang merupakan satu unit kesatuan dan tidak terkonsumsinya
oksigen.
Meliputi definisi, cara melakukan diagnosis, perubahan yang terjadi sesudah mati serta
kegunaanya.

2. Manfaat Thanatology
− Menentukan kematian
Penentuan kematian dapat dilakukan dengan memeriksa ada tidaknya
tanda-tanda pasti kematian, antara lain :
● Lebam mayat.
● Kaku mayat.
● Pembusukan.
Jika tanda-tanda pasti kematian tidak ditemukan, maka korban harus
dianggap masih dalam keadaan hidup sehingga perlu diberikan pertolongan
(misalnya dengan melakukan pernafasan buatan) sampai menunjukkan tanda-
tanda kehidupan atau sampai munculnya tanda pasti kematian yang terjadinya
paling awal, yaitu lebam mayat.
− Menentukan saat kematian
Sehubungan dengan alibi seseorang, pemeriksaan forensik untuk
menentukan saat kematian korban menjadi sangat penting sebab dapat tidaknya
seseorang diperhitungkan sebagai pelaku pembunuhan tergantung dari
keberadaannya ketika tindak pidana itu terjadi.

1
Perubahan eksternal maupun internal yang terjadi pada tubuh seseorang yang sudah
meninggal dunia dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk memperkirakan saat
terjadinya kematian meski sebetulnya range dari variasi terjadinya perubahan-
perubahan itu sangat luas. Perubahan-perubahan yang dapat dijadikan bahan kajian
untuk menentukan saat kematian antara lain :
a. Perubahan eksternal, yaitu :
● Penurunan suhu.
● Lebam mayat.
● Kaku mayat.
● Pembusukan.
● Munculnya larva.
b. Perubahan internal, yaitu :
● Kenaikan kadar Potasium dalam cairan bola mata.
● Kenaikan non protein nitrogen dalam darah.
● Kenaikan ureum darah.
● Penurunan kadar gula darah.
● Kenaikan kadar dekstrosa pada vena cava inferior.
− Memperkirakan penyebab kematian (cause of death)
Perubahan tidak lazim yang ditemukan pada tubuh mayat sering dapat
memberi petunjuk tentang sebab kematiannya.
a. Perubahan warna lebam mayat menjadi :
− Merah cerah (cherry-red) memberi petunjuk keracunan karbon monoksida
(CO).
− Coklat memberi petunjuk keracunan Potassium Chlorate.
− Lebih gelap, memberi petunjuk kekurangan oksigen.
b. Keluarnya urin, feses atau vomitus memberi petunjuk adanya relaksasi sfingter
akibat kerusakan otak, anoksia, atau kejang-kejang.
− Memperkirakan cara kematian (manner of death)
Perubahan yang terjadi pada tubuh mayat juga dapat memberikan petunjuk
tentang cara kematiannya. Distribusi lebam mayat misalnya, dapat memberi
petunjuk apakah yang bersangkutan mati karena bunuh diri atau pembunuhan.

2
Pada mayat dari orang yang meninggal dunia akibat gantung diri (bunuh diri
dengan cara menggantung) biasanya didapati lebam mayat pada ujung kaki, ujung
tangan atau alat kelamin laki-laki. Jika disamping itu juga ditemukan lebam mayat
di tempat lain (misalnya pada punggung) maka hal itu dapat dipakai sebagai
petunjuk cara kematiannya, yaitu dibunuh lebih dahulu dan kemudian digantung.

3. Jenis Kematian
a. Mati klinis/ somatis
Kematian yang terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang
kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan,
yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan lagi refleks-refleks
tubuh, nadi tidak teraba (palpasi), denyut jantung tidak terdengar (auskultasi), tidak
ada gerak pernapasan (inspeksi), dan suara nafas tidak terdengar juga (auskultasi).
b. Mati seluler/molekuler
Kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian
somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda dalam
merespon ketiadaan oksigen, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ
atau jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati
seluler dalam waktu 4 menit, otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-kira
2 jam pasca mati, dan mengalami mati seluler setelah 4 jam, dilatasi pupil masih
terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan sulfas atropin 1% dan
fisostigmin 0.5% akan mengakibatkan miosis hingga 2 jam pasca mati. Kulit masih
dapat berkeringat, sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara menyuntikkan
subkutan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%, spermatozoa masih bertahan hidup
beberapa hari dalam epididimis, kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah
masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.
c. Mati suri (suspended animation apparent death)
Terhentinya ketiga sistem kehidupan di atas, yang ditentukan dengan alat
kedokteran sederhana. Tetapi dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat
dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi pada batas basal

3
metabolik. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat
aliran listrik dan tenggelam.
d. Mati otak/batang otak
Bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible,
termasuk batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem
pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.
e. Mati serebral
Kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible, kecuali batang otak dan
serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan
kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.

4. Perubahan Setelah Kematian


1. Kerja jantung dan peredaran darah berhenti,
2. Pernapasan berhenti
3. Refleks cahaya dan refleks kornea mata hilang,
4. Kulit pucat
5. Relaksasi otot tubuh.
6. Terhentinya aktifitas otak (dengan bantuan Elektro Ensefalo Graf), serta perubahan-
perubahan yang timbul beberapa waktu kemudian setelah mati (pascamati/ post mortem),
yang dapat menjelaskan kemungkinan diagnosis kematian dengan lebih.

o Penurunan suhu tubuh (Algor mortis)


Penurunan suhuh tubuh atau algor mortis terjadi setelah saat seseorang meninggal, tubuh
masih dapat melakukan proses metabolisme sehingga dapat memproduksi kalori yang dapat
mempertahankan suhu tubuh. Hal tersebut terjadi dalam waktu 30-60 menit pertama.
Setelah itu, suhu tubuh akan mengalami penurunan sampai dengan suhu tubuh keliling.
Faktor yang mempengaruhi penurunan suhu tubuh pada saat orang meninggal terdiri dari:
 Faktor lingkungan dan suhu medium
 Suhu tubuh sebelum kematian
 Intensitas dan kuantitas aliran atau pergerakan udara
 Keadaan tubuh

4
 Pakaian yang dikenakan
 Jenis medium
 Lokasi mayat
Saat mati, setelah waktu yang tidak lama, tubuh mulai kehilangan panasnya. Temperatur
lazim pada tubuh dewasa sehat adalah antara 98,4 derajat Fahrenheit, atau saat dipastikan
melalui mulut adalah sekitar 99 derajat Fahrenheit, dan pada axilla sekitar 97 derajat
fahrenheit. Temperatur juga dapat menunjukkan variasi waktu yang berbeda selama tiap
harinya. Temperatur akan lebih rendah pada pagi hari dan akan lebih tinggi pada sore hari.
Latihan akan meningkatkan temperatur tubuh namun ini akan menurun menjadi normal
dalam setengah jam kemudian. Penentuan waktu kematian berdasarkan suhu tubuh
biasanya melibatkan penggunaan rumus.
o Lebam mayat (Livor mortis)
Faktor perubahan pada kulit
Lebam mayat terjadi akibat pengendapan eritrosit karena adanya gaya gravitasi sesuai
dengan tubuh, berwarna biru ungu tetapi masih dalam pembuluh darah. Lebam mayat
akan timbul 20-30 menit dan setelah 6-8 jam lebam mayat masih bisa ditekan dan masih
bisa berpindah tempat.
Warna lebam mayat:

 Warna merah bata atau cherry red, disebabkan oleh intoksikasi karbon monooksida
(CO) dan keracunan HCN.
 Warna kebiruan, menunjukkan mekanisme kematian asfiksia.
 Warna merah terang, akibat keracunan sianida karena akibat kadar oksi- hemoglobin
(HbO2) dalam darah tetap tinggi.
 Pada kasus tenggelam atau pada kasus dimana tubuh korban berada pada suhu
lingkungan yang rendah, maka lebam mayat khususnya yang dekat letaknya dengan
tempat yang bersuhu rendah, akan berwarna merah terang, ini disebabkan karena suhu
yang rendah akan mempengaruhi kurva dissosiasi dan oksi-hemoglobin.
 Warna chocolate brown, disebabkan oleh keracunan Nitro Benzena atau Potassium
Chlorat.
 Warna merah terang atau pink, biasanya pada jenazah yang disimpan di kamar

5
pendingin

Hal yang membedakan lebam mayat dan memar/hematom sebagai berikut:

6
Perbedaan Lebam mayat Memar
Letak Epidermal, karena pelebaran Subepidermal, karena ruptur
pembuluh darah yang tampak sampai pembuluh darah yang letaknya bisa
ke permukaan kulit superfisial atau lebih dalam

Kultikula Tidak rusak Kulit ari rusak

(kuli air)

Lokasi Daerah luas, terutama daerah Dimana saja tidak meluas

tubuh letak rendah

Gambaran Tidak ada elevasi dari kulit Bengkak karena resapan darah

Pinggiran Jelas Tidak jelas

Warna Sama Bervariasi, tegantung dengan onsetnya.


(memar baru berwarna lebih tegas, dari
pada warna lebam mayat di sekitarnya)

Pada pemotongan Darah tampak dalam pembuluh, dan Resapan darah ke jaringan sekitar, susah
mudah mudah dibersihkan. Jaringan dibersihkan dengan air mengalir.
tampak pucat Jaringan subkutan berwarna merah
kehitaman

Dampak setelah Akan hilang walaupun hanya Warnanya berubah sedikit saja jika
diberikan penekanan yang ringan diberikan penekanan

Warna merah Tidak beraturan dan terdapat pada Sama merahnya diseluruh organ tubuh
7 rendah
bagian tubuh yang letaknya
o Kaku mayat (Rigor mortis)
Mekanisme kaku mayat (rigor mortis)
Berhentinya sistem respirasi dan vaskuler menyebabkan jaringan dalam tidak
mendapatkan oksigen atau anoksi sehingga semua fungsi organ yang bergantung
dengan oksigen pada jaringan berhenti, sehingga terjadi kematian. Beberapa saat
setelah kematian, serabut otot berkontraksi dan mempertahankan posisi tersebut
sebelum terjadi relaksasi pasif.1
Kaku mayat (rigor mortis) terjadi akibat proses biokimiawi, berupa pemecahan ATP
menjadi ADP, selama masih ada phospocreatinin (hasil dari pemecahan glikogen),
ADP dapat diubah kembali menjadi ATP (resintese ATP). Jika glikogen otot habis
maka tidak dapat dilakukan resintese ATP, sehingga terjadi penumpukan ADP yang
dapat menyebabkan otot kaku.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kaku mayat
1. Keadaan Lingkungan
Pada keadaan yang kering dan dingin, kaku mayat lebih lambat terjadi dan
berlangsung lebih lama dibandingkan pada lingkungan yang panas dan lembab. Pada
kasus di mana mayat dimasukkan ke dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi
dan berlangsung lebih lama.
2. Usia
Pada anak-anak dan orang tua, kaku mayat lebih cepat terjadi dan berlangsung tidak
lama. Pada bayi prematur biasanya tidak ada kaku mayat. Kaku mayat baru tampak
pada bayi yang lahir mati tetapi cukup usia (tidak prematur).
1. Cara kematian
Pada pasien dengan penyakit kronis, dan sangat kurus, kaku mayat cepat terjadi dan
berlangsung tidak lama. Pada pasien yang mati mendadak, kaku mayat lambat terjadi
dan berlangsung lebih lama.
2. Kondisi otot
Terjadi kaku mayat lebih lambat dan berlangsung lebih lama pada kasus di mana
otot dalam keadaan sehat sebelum meninggal, dibandingkan jika sebelum
meninggal keadaan otot sudah lemah.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal:

8
o Faktor eksternal
- Suhu udara di sekitar
- Aktivitas otot sebelum mati
- Umur
o Faktor internal
- Kemampuan otot mempertahankan tingkat yang adekuat dari ATP
- Persendian glikogen

Hal yang menyerupai kaku mayat:


o Cadaveric spasm, keadaan dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan
kedang-kadang pada seluruh otot setelah terjadi kematian somatic.

9
Rigor Mortis Cadaveric Spasm

Onset Dua jam setelah meninggal. Sesaat sebeum meninggal


Rigor mortis lengkap setelah (intravital) dan menetap
12 jam

Faktor predisposisi - Kelelahan, emosi hebat,

ketegangan, dll

Etiologi Habisnya cadangan Habisnya cadangan glikogen

glikogen secara general pada otot setempat

Pola terjadinya kaku Sentripetal, dari otot-otot Kaku otot pada satu kelompok
otot
kecil kemudian otot besar otot tertentu

Suhu mayat Dingin Hangat

Hubungan medikolegalMengetahui waktu kematian Mengetahui cara kematian/sikap


terakhir masa hidupnya bisa
karena bunuh diri, kecelakaan,

atau pembunuhan

Kematian sel Ada Tidak ada

Relaksasi primer Ada Tidak ada

Timbulnya Lambat Cepat

Lamanya Cepat hilang Lambat hilang (dipertahankan)

Koordinasi otot Kurang Baik

Lokasi otot Menyeluruh Setempat (yang aktif)

Rangsangan sel Tidak ada respon otot Ada respon otot


10
Kaku otot Dapat dilawan dengan sedikit Perlu tenaga kuat untuk
tenaga melawannya
o Pugilistic attitude, proses yang disebabkan oleh heat stiffening yaitu kekakuan otot yang
terjadi akibat koagulasi protein otot oleh panas1,2
o Cold stiffening, merupakan kekuan tubuh akibat tingkat lingkungan yang dingin sehingga
terjadi pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot1,2

o Pembusukan
Pembusukan keadaan dimana bahan-bahan organik terutama protein mengalami
dekomposisi baik yang melalui auatolisis ataupun kerja bakteri pembusuk.
Pembusukan baru tampat kira-kira 24 jam pasca mati dengan tanda berupa warna
kehijauan pada perut dikarenakan sulfmethemoglobin. Secara bertahap warna
kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut hingga dada, dan mulai tercium bau
busuk. Pembuluh darah bawah kulit akan tampak melebar dan berwarna hijau
kehitaman (marbling). Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk
gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk.
Terdapat beberapa tanda pembusukan yaitu:

 Wajah membengkak
 Bibir membengkak
 Mata menonjol
 Lidah terjulur
 Lubang hidung keluar darah
 Lubang mulut keluar darah
 Lubang lainnya keluar isinya seperti isinya
 Badan gembung
 Bulla atau kulit ari terkelupas
 Aborscent pattern/morbling, yaitu vena superfisialis berwarna kehijauan
 Pembuluh darah bawah kulit melebar
 Dinding perut pecah
 Skrotum atau vulva membengkak
 Kuku terlepas
 Rambut terlepas
11
 Organ dalam membusuk
 Larva lalat

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pembusukan mayat terbagi menjadi dua yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal terdiri atas:
 Umur, mempengaruhi otolisis sel dan invasi bakteri usus
 Konstitusi tubuh, kondisi tubuh mayat apakah gendut atau kurus
 Keadaan saat mati, udem, infeksi dan sepsis mempercepat pembusukan sedangkan
dehidrasi memperlambat pembusukan
 Jenis kelamin
Faktor eksternal
 Keberadaan serangga dan hewan pemakan bangkai
 Mikroorganisme/sterilitas, semakin banyak bakteri semakin mempercepat membusuk.
 Suhu optimal, 21-30oC (70-100oF) dapat mempercepat pembusukan. Berhenti pada suhu
100oC (212oF), terutama pada suhu kelilin goptimal yaitu 26,5oC hingga sekira suhu
normal tubuh
 Sifat medium, mayat yang terdapat di udara akan lebih cepat membusuk dibangingkan
dengan yang terdapat didalam air atau didalam tanah.
Golongan alat tubuh berdasarkan kecepatan terjadi pembusukan
 Cepat: otak, lambung, usus, uterus hamil/post partum
 Lambat: jantung, paru, ginjal, dafragma
 Paling lambat: prostat, uterus yang tidak hamil

Beberapa variasi pembusukan:


 Mumifikasi
Mayat yang mengalami pengawetan akibat proses pengeringan dan penyusutan bagian-
bagian tubuh. Kulit menjadi kering, keras dan menempel pada tulang kerangka. Mayat
menjadi lebih tahan dari pembusukan sehingga masih jelas menunjukkan ciri-ciri seseorang.
Fenomena ini terjadi pada daerah yang panas dan lembab, di mana mayat dikuburkan tidak
begitu dalam dan angin yang panas selalu bertiup sehingga mempercepat penguapan cairan
12
tubuh. Jangka waktu yang diperlukan sehingga terjadi mumifikasi biasanya lama, bisa dalam
waktu 3 bulan atau lebih, mayat relatif masih utuh, maka identifikasi lebih mudah dilakukan.
Begitu pula luka-luka pada tubuh korban kadang masih dapat dikenal.
 Adipocera
Fenomena yang terjadi pada mayat yang tidak mengalami proses pembusukan
yang biasa. Melainkan mengalami pembentukan adiposere. Adiposere merupakan
subtansi yang mirip seperti lilin yang lunak, licin dan warnanya bervariasi mulai dari
putih keruh sampai coklat tua. Adiposere mengandung asam lemak bebas, yang dibentuk
melalui proses hidrolisa dan hidrogenasi setelah kematian disebut saponifikasi. Adanya
enzim bakteri dan air sangat penting untuk berlangsungnya proses tersebut. Dengan
demikian, maka adiposere biasanya terbentuk pada mayat yang terbenam dalam air atau
rawa-rawa. Lama pembentukan adiposere ini juga bervariasi, mulai dari 1 minggu sampai
10 minggu. Warna keputihan dan bau tengik seprti bau minyak kelapa. Dapat digunakan
sebagai kepentingan identifikasi ataupun pemeriksaan luka-luka, oleh karena proses
pengawetan alami, meskipun kematian telah lama.

13
DAFTAR PUSTAKA

5. Aflanie I, Nirmalasari N, Arizal MH. Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal. 1st ed.
Rajawali Pers; 2020.
6. S A, S AR, PN B, et al. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Badan
Penerbit Universitas Diponogoro; 2010.
7. Ninla Elmawati Falabiba. Modul Forensik Tanatologi. Modul. 2019;(perubahan pada
mayat paska mati):1-12.
8. Asmadi, E. (2021). [Editor Buku Ajar] Kedokteran Forensik & Medikolegal.
9. Abdul Mun’im Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama.
Binarupa Aksara. Hal. 53-83
10. Atmadja DS. Thanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
1997; p.25-36.
11. Dahlan S, Trisnadi S. Ilmu Kedokteran Forensik : Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum Cetakan IV. Penerbit : Fakultas Kedokteran Unissula. 2005.

14
15

Anda mungkin juga menyukai