Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seorang dokter pasti akan dihadapkan pada kasus kematian, dalam melaksanakan

profesinya, baik kematian wajar maupun kematian tidak wajar. Pada kasus kematian

tidak wajar, dokter atas permintaan penyidik menetukan apakah korban masih hidup

ataukah sudah mati, pada korban yang masih hidup dapat secepatnya mendapatkan

perawatan sedangkan pada korban mati perlu ditentukan perkiraan saat kematiannya.1

Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter yang diminta

untuk membantu dalam pemeriksaan kedokteran forensik, oleh penyidik diharapkan

dapat menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh korban, bilamana kelainan tersebut

timbul, apa penyebabnya, serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan korban.

Dalam hal korban meninggal, dokter diharapkan dapat menjelaskan penyebab kematian

yang bersangkutan, bagaimana mekanisme terjadinya kematian tersebut, serta membantu

dalam perkiraan saat kematian dan perkiraan cara kematian. Untuk dapat

memperkirakan saat kematian perlu diketahui perubahan yang terjadi pada tubuh

seseorang dan factor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.2

Untuk kesemuanya itu, dalam bidang Ilmu Kedokteran Forensik dipelajari

berbagai macam bidang ilmu, yang salah satunya adalah Tanatologi. Tanatologi adalah

salah satu bagian dari Ilmu Kedokteran kehakiman yang mempelajari kematian serta

perubahan-perubahan yang terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.2


2

Pentingnya memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan adalah

untuk mempermudah proses penyidikan dimana penyidik dapat lebih terarah dan selektif

dalam melakukan pemeriksaan terhadap para pelaku tindak pidana.


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI TANATOLOGI

Tanatologi berasal dari kata Thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan

logos (ilmu). Tanatologi merupakan ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan

dengan kematian, yaitu : definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh

setelah terjadi kematian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.

Dalam arti luas kadang-kadang juga mengenai ilmu yang mempelajari problem-problem

medis dan psikologis yang berhubungan dengan persoalan kematian penderita dan

keluarga yang ditinggalkan.2 Tanatology juga merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari perubahan-perubahan pada tubuh seorang yang telah meninggal.

Pengetahuan ini berguna untuk : 1

- Menentukan apakh seseorang benar-benar telah meninggal dunia atau belum.

- Menentukan berapa lama seseorang telah meninggal.

- Membedakan perubahan-perubahan post mortal dengan kelainan-kelainan

yang terjadi pada waktu masih hidup.

Mati mempunyai dua stadium : 1

1. Somatic death atau systemic death atau clinical death

2. cellular death atau molecular death


4

Dalam stadium somatic death fungsi pernapasan dan peredaran darah telah

berhenti, sehingga terjadi anoxia yang lengkap dan menyeluruh dalam jaringan-jaringan.

Akibatnya proses aerobik dalam sel-sel berhenti, sedangkan proses anaerobic masih

berlangsung.1

Sistem persarafan, kardiovaskular dan sistem pernafasan adalah ketiga system

yang memungkinkan kehidupan seseorang dapat berlangsung. Ketiga system utama

tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, adanya gangguan pada salah

satu system akan menimbulkan gangguan pada system yang lain. Tanda-tanda yang

menunjukkan bahwa pada seseorang itu telah meninggal dunia adalah : terhentinya

denyut jantung, terhentinya pergerakan pernafasan, kulit tampak pucat, melemasnya

otot-otot tubuh serta terhentinya aktifitas otak.2

DEFINISI MATI

Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu :

1. Mati Somatis (Mati Klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga system

penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, system kardiovaskuler, dan system

pernafasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan refleks-

refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada

gerakan pernafasan, serta suara nafas tidak terdengar pada auskultasi.2,3

2. Mati suri (Suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga

system kehidupan dia tas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan

peralatan kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga system
5

tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat

tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.2,3

3. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang

timbul beberapa saat setelah kematian somatic. Daya tahan hidup masing-masing

organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap

organ atau jariangan tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi

organ. Sebagai gambaran, dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami

mati seluler dalam waktu empat menit; otot masih dapat dirangsang (listrik)

sampaikira-kira dua jam pasca mati, dan mengalami mati seluler setelah empat jam;

dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan sulfas

atropine 1% ke dalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1% atau

fisostigmin 0,5% akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam pasca mati. Kulit masih

dapat berkeringat sampai lebih dari delapan jam pasca mati dengan cara

menyuntikkan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%; spermatozoa masih bertahan

hidup beberapa hari dalam epididimis; kornea masih dapat ditransplantasikan dan

darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.2,3

4. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali

batak otak dan serebellum, sedangkan kedua system lainnya yaitu system pernafasan

dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat.2,3

5. Mati otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi

neuronal intracranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebellum.

Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang
6

secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat

dihentikan.2,3

TANDA-TANDA KEMATIAN (Mechanism of Death)

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang

berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan

tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya

kerja jantung dan peredaran darah terhenti, pernafasan berhenti, refleks cahaya dan

refleks kornea mata hilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul

perubahan pasca mati yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti.

Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian.3

Tanda kematian tidak pasti berupa :3

1. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, dan

auskultasi)

2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.

3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena

mungkin terjadi spasme agonal, sehingga wajah tampak kebiruan.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah

menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang tampak lebih

muda. Kelemasan otot sesaat kematian disebut relaksasi primer. Hal ini

mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan

bokong pada mayat yang terlentang.


7

5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.

Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap

6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih

dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

Tanda pasti kematian berupa :3

1. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)

2. Lebam mayat (livor mortis)

3. Kaku mayat (rigor mortis)

4. Perubahan pada kulit

5. Perubahan pada mata

6. Pembusukan (decomposition, putrefaction)

7. Adiposera atau lilin mayat

8. Mummifikasi

Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis),2,3,4,5

Setelah sesorang meninggal, maka produksi panas akan berhenti, sedang

pengeluaran panas berlangsung terus, dengan akibat suhu jenazah akan turun. Cara

pengukuran penurunan suhu jenazah adalah dengan thermo couple.1

Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari badan ke

benda yang lebih dingin, malalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.

Berdasarkan penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan berbentuk kurva sigmoid,

dimana pada jam-jam pertama penurunan suhu akan berlangsung dengan lambat,
8

demikian pula bila suhu tubuh mayat telah mendekati suhu lingkungan. Tubuh terdiri

dari lapisan yang tidak homogen, maka lapisan yang berada di bawah kulit akan

menyalurkan panasnya ke arah kulit, sedangkan lapisan tersebut juga menerima panas

dari lapisan yang berada dibawahnya. Keadaan tersebut yaitu dimana terjadi pelepasan

atau penyaluran panas secara bertingkat dengan sendirinya membutuhkan waktu, hal ini

menerangkan mengapa pada jam-jam pertama setelah terjadinya kematian somatik

penurunan suhu berlangsung lambat.

Bila telah tercapai suatu keadaan yang dkenal sebagai temperature gradient,

yaitu suatu keadaan dimana telah terdapat perbeadaan suhu yang bertahap di antara

lapisan-lapisan yang menyusun tubuh, maka penyaluran panas dari bagian tubuh ke

permukaan dapat berjalan dengan lancar, penurunan suhu tubuh mayat akan tampak

jelas. Proses metabolisme sel yang masih berlangsung beberapa saat setelah kematian

somatik dimana juga terbentuk energi, merupakan faktor yang menyebabkan mengapa

penurunan suhu mayat pada jam-jam pertama berlangsung dengan lambat.

Oleh karena suhu mayat akan terus menurun, maka akan dicapai suatu keadaan

dimana perbedaan antara suhu mayat dengan suhu lingkungan tidak terlalu besar, hal ini

yang menerangkan mengapa penurunan suhu mayat pada saat mendekati suhu

lingkungan berlangsung lambat.

Kecepatan turunnya suhu dipengaruhi oleh : 1

1. Suhu udara : makin besar perbedaan suhu udara dengan suhu tubuh jenazah,

maka penurunan suhu jenazah makin cepat.

2. Pakaian : makin tebal pakaian makin lambat penurunan suhu jenazah.


9

3. Aliran udara dan kelembaban : aliran darah mempercepat penurunan suhu

jenazah.

4. Keadaan tubuh korban : apabila tubuh korban gemuk, yang berarti mengandung

banyak jaringan lemak, maka penurunan jenazah lambat.

5. Aktifitas : apabila sesaat sebelum korban meninggal korban melakukan aktifitas

yang hebat, maka suhu tubuh waktu meninggal lebih tinggi.

6. Sebab kematian : bila korban meninggal karena keradangan (sepsis), suhu tubuh

waktu meninggal malah meningkat.

Apabila korban meninggal di dalam air, maa penurunan suhu jenazah tergantung pada :1

a. Suhu air

b. Aliran air

c. Keadaan air

Pengukuran suhu mayat dilakukan dengan memasukkan thermometer kedalam

rectum atau dapat pula dalam alat dalam seperti otak atau hati yang tertentunya baru

dapat dilakukan bila dilakukan bedah mayat. Bila yang dipergunakan thermometer air

raksa konversional, maka pembacaan hasil dilakukan setelah sekurang-kurangnya 3

menit, thermometer dimasukkan dalam rektum sedalam 10 cm. bila thermometer

elektronis, pembacaan hasil pengukuran dapat dilakukan segera.

Perbedaan saat kematian dapat dihitung dari pengukuran suhu mayat perrektal.

(Rectal temperature/ RT). Saat kematian (dalam jam) dapat dihitung rumus Post Mortem

Interval (PMI) oleh Glaister Dan Rentoul :

Formula untuk suhu dalam oCelcius


10

PMI =37 oC-RT oC+3

Formula untuk suhu dalam ofahrenheit

PMI = 98,6o F-RToF

1,5

Suhu tubuh normal adalah sebesar 98,6 oF, sedangkan rata-rata penurunan suhu

per jam dimana suhu lingkungan 70o F (21o C) adalah 1,5. Rata-rata penurunan suhu

pada jam-jam pertama adalah 2o F, 1o F setelah tercapainya keseimbangan antara suhu

tubuh dengan lingkungan.

Lebam Mayat (Livor mortis)2,3,4

Lebam mayat memiliki nama lain, diantaranya post mortem hypostasis, lividitii,

staining, atau sugilasi. Apabila seseorang meninggal, peredaran darahnya berhenti dan

timbul stagnasi sebagai akibat gravitasi maka daah mencari tempat yang terendah. 1

Lebam mayat terjadi saat kegagalan sirkulasi, ketika arteri rusak dan aliran balik vena

gagal mempertahankan darah mengalir melalui saluran pembuluh darah kapiler, maka

darah dengan butir sel darahnya saling tumpuk memenuhi saluran tersebut dan sukar

dialirkan di tempat lain seperti pada fenomena kopi tubruk. Gaya gravitasi meyebabkan

darah yang terhenti tersebut mengalir ke area terendah. Sel darah merah (eritrosit) adalah

yang paling terkena efeknya, dimana akan bersedimentasi melalui jaringan longgar,

tetapi plasma akan berpindah ke jaringan longgar yang menyebabkan terbentuknya

edema setempat, dimana timbul blister pada kulit. Dari luar akan terlihat bintik-bintik

berwarna merah kebiruan 1, atau adanya eritrosit pada daerah terendah terlihat dengan
11

timbulnya perubahan warna kemerahan pada kulit yang disebut Lebam Mayat. Lebam

mayat mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah dan

menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih

bisa hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah.

Tidak hilangnya lebam mayat dikarenakan telah terjadi perembesan darah akibat

rusaknya pembuluh darah ke dalam jaringan di sekitar pembuluh darah itu.

Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah

masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru.

 Distribusi Lebam Mayat

Bentuk dari lebam mayat tergantung posisi tubuh pasca mati. Sering posisi mayat

terlentang dengan bahu, pantat, dan punggung menekan permukaan tanah. Hal ini

menyebabkan tekanan pada aliran darah di area-area tersebut, sehingga lebam tidak

timbul pada daerah tersebut dan kulit tetap berwarna sama. Bila tubuh dalam posisi

vertikal setelah mati, dalam kasus penggantungan, lebam mayam terbanyak terletak di

kaki, tungkai kaki, ujung jari tangan, dan lengan bawah.

Bagian pucat terjadi juga pada daerah penunjang atau daerah tertekan lainnya

sehingga meniadakan adanya lebam mayat dan membentuk pola. Sebagai contoh, daerah

pucat yang tidak rata akibat penekanan daerah tubuh mayat oleh tepi sprei, tekanan oleh

ikat pinggang yang ketat,bahkan kaos kaki. Pada korban yang terkena arus listrik, yang

mengambil tempat di air (biasanya bak mandi) lebam mayat terbatas dalam bentuk

horisontal menurut batas air.


12

 Warna Lebam Mayat

Lebam mayat sering berwarna merah padam, tetapi bervariasi, tergantung

oksigenasi sewaktu korban meninggal. Bila terjadi bendungan atau hipoksia, mayat

memiliki warna lebam yang lebih gelap karena adanya hemoglobin tereduksi dalam

pembuluh darah kulit. Lebam mayat merupakan indikator kurang akurat dalam

menentukan mekanisme kematian, dimana tidak ada hubungan antara tingkat kgelapan

lebam mayat dengan kematian yang disebabkan oleh asfiksia. Kematian dengan sebab

wajar oleh karena gangguan koroner atau penyakit lain memiliki lebam yang lebih gelap.

Terkadang area lebam mayat berwarna terang dan dilanjutkan dengan area lebam mayat

yang lebih gelap. Hal ini akan berubah seiring dengan memanjangnya interval posterior

mortem. Sering kali warna lebam mayat merah terang atau merah muda. Kematian yang

disebabkan oleh hipotermi atau terpapar udara dingin selama beberapa waktu seperti

tenggelam, dimana warna lebam mayat dapat menentukan penyebab kematian tetapi

relatif tidak spesifik oleh karenamayat yang terpapar udara dingin setelah mati (terutama

bila mayat yang berada dalam lemari es mayat) dapat terjadi perubahan lebam dari

merah padam menjadi merah muda.

Mekanismenya belum pasti, tetapi sangatlah jelas merupakan hasil dari

perubahan hemoglobin tereduksi menjadi oksihemoglobin. Hal ini dapat dimengerti

pada kasus hipotermi, dimana metabolisme reduksi dari jaringan gagal mengambil

oksigen dari sirkulasi darah.


13

Diketahui bahwa warna lebam mayat yang merah padam berubah menjadi merah

muda pad batas horisontal anggota tubuh bagian atas, warna lebam pada anggota tubuh

bagian bawah tetap gelap, sehingga perubahan secara kuantitatif lebam dapat ditentukan,

dimana hemoglobin lebih mudah mengalami reoksigenasi karena eritrosit kurang

mengendap pada bagian lebam.

Perubahan lainnya pada warna lebam lebih berguna. Yang paling sering adalah

merah terang (Cherry pink), oleh karena karboksihemoglobin (CO-Hb) terletak pada

seluruh jaringan, warna ini khas dan sering merupakan indikasi pertama adanya

keracunan karbonmonoksida (CO). Keracunan sianida (CN) memiliki ciri khas tertentu,

yaitu warna lebam mayat merah kebiruan yang disebabkan terjadinya bendungan dan

sianosis (kurang O2, karena pelepasan O2 ke jaringan dihambat). Bila ahli forensik tidak

teliti terhadap penyebab dari riwayat dan bau sianida (CN-bau amandel), sangatlah susah

menggunakan lebam mayat sebagai satu-satunya indikasi penyebab kematian. Lebam

mayat yang berwarna merah kecoklatan pada methemoglobinemia dan dapat memiliki

warna yang bervariasi pada keracunan anilin dan klor. Kematian yang disebabkan oleh

sepsis akibat Clostridium perfringens sebagai agen infeksi, bercak berwarna pucat

keabuan dapat terkadang terlihat pada kulit, walaupun hal ini tidak timbul pada lebam.

Pemeriksaan laboratorium sederhana yaitu tes resistensi alkali dapat juga

dilakukan, yaitu dengan menetesi contoh darah yang telah diencerkan dengan

NaOH/KOH 10%. Pada CO : warna tetap beberapa saat oleh karena resistensi,

sedangkan pada CN : warna segera menjadi coklat oleh karena terbentuk hematin alkali.
14

Pada anemia berat, lebam mayat yang terjadi sedikit, warna lebih muda dan terjadinya

biasanya lebih lambat. Pada polisitemia sebaliknya lebih cepat terjadi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan lebam mayat adalah :

viskositas darah, termasuk berbagai penyakit yang mempengaruhinya, kadar Hb, dan

perdarahan (hipovolemia).

Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah, maka

keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah akibat trauma

(ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan

air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan pada

resapan darah tidak menghilang. Lamanya darah dalam keadaan tetap mencair, bila

koagulasi darah terganggu, sehingga lebam mayat lebih ceapt muncul. Baila darah

cvepat mengalami koagulasi, lebam mayat lebihlambat terbentuk.1

Kaku Mayat (Rigor Mortis)2,3,4

Setelah kematian, otot-otot tubuh akan melalui tiga fase. Pertama, terjadi inisial

flaksid atau flaksid primer segera setelah kematian somatik, yaitu relaksasi tubuh dan

mata tapi masih berespon terhadap rangsangan kimia dan listrik. Tahapan kedua, yaitu

onset rigiditas otot yang disebut kaku mayat. Tidak ada lagi respon terhadap rangsang

kimia dan listrik. Terakhir, fase flaksid sekunder, ketika kaku mayat hilang dan terjadi

pembusukan, terbentuk kaku mayat karena kombinasi aktin dan myosin otot akibat

kurangnya ekstensibilitas otot.


15

Pada otot orang hidup terdapat cadangan glikogen. Glikogen oleh enzim diubah

menjadi asam laktat dengan berupa energi dalam ikatan senyawa fosfat. Energi ini

kemudian berikatan dengan ADP menjadi ATP. ATP digunakan untuk memisahkan

ikatan aktin dan myosin sehinggan terjadi relaksasi otot. Bila cadangan glikogen dalam

otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan myosin menggumpal dan otot

menjadi kaku.

Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai

tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot

kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahawa kaku mayat ini

menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam, lewat 36 jam pasca mati klinis, tubuh

mayat mulai lemas kembali sesuai urutan terbentuknya kekakuan . ini disebut dengan

relaksasi sekunder. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi

jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada pada posisi teregang, maka saat kaku mayat

terbentuk akan terjadi pemendekan otot.

Faktor yang mempercepat terjadinya rigor mortis, yaitu :1

1. Suhu sekitar

Bila suhu sekitanya tinggi, rigor mortis akan cepat timbul dan cepat hilang,

sebaliknya bila suhu skitanya rendah, rigor mortis lebih lama serta lebih lama hilang.

Pada suhu di abwah 100ºC tidak akan terbentuk rigor mortis.

2. Keadaan otot saat meninggal


16

Apabila korban meninggal dalam keadaan konvulsi atau lelah, rigor mortis akan

cepat timbul. Dan apabila korba meninggal secara mendadak atau dalam keadaan

relaks, timbulnya rigor mortis lebih lambat.

3. Umur dan gizi

Pada anak-anak timbulnya rigor mortis relative cepat daripada orang dewasa. Dan

apabila keadaan gizi korban jelek, timbulnya rigor mortis juga lebih cepat.

Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai pada kaku mayat :

1. Cadaveric spasm (instantneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi

pada saat kematian menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku

mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului tanpa relaksasi

primer malainkan mayat langsung mengalami kelakuan secara terus-menerus

sampai terjadi relaksasi sekunder. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan

glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau

emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Lokasi kaku biasanya setempat dan

pada kelompok otot-otot tertentu misalnya otot lengan bawah tau tangan. Lebih kaku

dari pada rigor mortis. Kordinasi otot bagus, ada pengaruh faktor psikis atau emosi

dan aktivitas setempat. Salah satu kematian intravital. Kasus yang bias kita temukan

mayat mengalami cadaveric spasme, yaitu bunuh diri dengan pistol atau senjata

tajam, mati tenggelam, mati mendaki gunung, pembunuhan dimana korban

menggenggamkan robekan pakaian pembunuh.


17

Table 1. Perbedaan Cadaveric spasm dengan kaku mayat

Cadaveric Spasm Kaku mayat


Waktu terjadinya Cenderung intravital Post mortal
Relaksasi primer Tidak ada Ada
Timbulnya Cepat Lambat
Derajat waktu Tinggi (seperti kontraksi) Kurang
Lamanya Lambat hilang Cepat
Koordinasi otot Baik Kurang
Lokasi otot-otot Setempat (yang aktif) Menyeluruh

2. Heat stiffening, yaitu kekakuan pada otot akibat koagulasi protein otot oleh

panas. Otot-otot bewarna merah muda, kaku, tetapi rauh (mudah robek). Keadaan ini

dapat dijumpai pada mati terbakar. Pada Heat stiffening serabut-serabut ototnya

memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk

seperti petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti

tertentu bagi sikap sesame hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.

3. Cold stiffening. Yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi

pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi ditekuk akan terdengar bunyi

pecahnya es dalam rongga sendiri.


18

Perubahan pada Kulit 1

- Hilangnya elastitas kulit

- Adanya lebam mayat yang berwarna merah kebiruan

- Terdapatnya kelainan yang dikenal sebagai Cutis Anserina sebagai akibat

kontraksi Mm. Erektor Pillae.

Perubahan pada Mata1

- Reflex cornea dan reflex cahaya hilang

- Cornea menjadi keruh, sebagai akibat tertutup oleh lapisan tipis secret mata

yang mengering. Keadaan ini diperlamnat bila kelopak mata tertutup.

- Bulbus oculi melunak dan mengkerut akibat turunnya tekanan intra oculer.

- Pupil dapat berbentuk bulat, lonjong atau ireguler sebagai akibat menjadi

lemasnya otot-otot iris.

- Perubahan pada pembuluh darah retina. Setelah orang meninggal, aliran

darah dalam pembuluh darah retina berhenti dan mengalami segmentasi.

Tanda ini timbul beberapa menit setelah orang meninggal.

Pembusukan (Decompositin,Putrefaction)2,3,4

Pembusukan adalah proses degradasi jarring terjadi akibat autolisis dan kerja

bakteri. Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan
19

steril, tanpa pengaruh bakteri. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang

dilepaskan sel pasca mati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan,

misalnya di dalam freezer.

Setelah orang meinggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk ke

jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh.

Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama adalah Clostridium welchii..

Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan HCN, serta asam amino

dan asam lemak. Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna

kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh

dengan bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh

terbentuknya sulf-methemoglobin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan menyebar

ke seluruh perut dan dada, dan bau busukpun mulai tercium. Penbuluh darah bawah kulit

akan tampak melebar dan berwarna hijau kehitaman. Selanjutnya kulit ari akan

terkelupas dan membentuk gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk.

Pembentukan gas dalam tubuh, dimulai di dalam lambung dan usus, akan

mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya cairan kemerahan dari mulut dan hidung.

Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan mengakibatkan terabanya derik

(krepitasi). Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi

ketegangan terbesar terdapat di daerah dengan jaringan longgar, seperti skrotum dan

payudara. Tubuh berada dalam sikap seperti petinju (pugilistic attitude), yaitu kedua

lengan dan tungkai dalam sikap setengah fleksi akibat terkumpulnya gas pembusukan di

dalam rongga sendi. Selanjutnya rambut menjadi mudah dicabut, kuku mudah lepas,
20

wajah menggembung dan berwarna hijau keunguan, kelopak mata membengkak, pipi

tembem, bibir tebal, lidah membengkak daring terjulur di antara gigi. Keadaan seperti

ini sangat berbeda dengan wajah asli korban, sehingga tidak dapat dikenali lagi oleh

keluarga.

Faktor - faktor yang mempengaruhi proses pembusukan mayat, yaitu :1

Faktor dari luar :

1. Sterilisasi

2. Suhu sekitar

Proses pembusukan terjadi pada suhu optimal 70°F sampai 100°F (21°C-38°C).

Apabila suhu sekitar rendah, proses pembusukan terhambat, sebab pertumbuhan

bakteri berhenti. Sedangkan suhu 100°F proses pembusukan semakin lambat dan

berhenti pada suhu 212°F.

3. Kelembaban

Makin tinggi kelembaban makin capat proses pembusukan.

4. Medium

Udara : air : tanah = 8 : 2 : 1 (di udara 8 kali lebih cepat pembusukannya

dibandingkan dengan di dalam udara, dan di air 2 kali lebih cepat pembusukannya

dibandingkan dengan di dalam tanah)

Faktor dari dalam :

1. Umur

Bayi lahir yang balum pernah diberi makan, umunyalebih tahan terhadap proses

pembusukan. Anak-anak dan orang yang tua sekali, karena mengandung sedikit
21

jaringan lemak, sehingga tubuh lebih cepat menjadi dingin, maka proses

pembusukan lebih cepat daripada orang dewasa muda.

2. Keadaan tubuh pada waktu meninggal

Apabila pada waktu meninggal tubuh dalam keadaan oedematous, akan lebih cepat

membusuk, sedangkan bila tubuh dalam dehidrasi, akan lebih lambat membusuk .

3. Sebab kematian

Proses pembusukan akan lebih cepat apabila korban meninggal karena keradangan

atau jika tubuh korban mengalami mutilasi, sebaliknya proses pembusukan akan

lebih lambat bila korban meninggal akibat keracunan dengan arsenikum, antimony,

atau carbolic acid yang chronis sebab bahan racun itu memiliki sifat sebagai

pengawet.

4. Jenis kelamin

Wanita yang baru melahirkan dan kemudian meninggal lebih cepat membusuk.

Lilin Mayat (Adiposera)2,3,4

Adiposera terjadi karena hidrogenisasi asam lemak tidak jenuh (asam palmitat,

asam stearat, asam oleat). Asam lemak tak jenuh itu diduga dibuat oleh Clostridium

welchii dengan membentuk enzim lesitinase yang mengubah lemak menjadi asam

lemak. Asam lemak tak jenuh yang cair itu kemudian dihidrogenisasi menjadi asam

lemak jenuh yang relatif padat

Syarat terjadinya adiposera :

1. Suhu rendah, kelembaban tinggi


22

2. Lemak cukup

3. Aliran udara rendah

4. Waktu yang lama

Tubuh yang mengalami adiposera akan tampak putih kelabu, perabaan licin

dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah, keju, amoniak, manis dan tengik.

Adiposera dapat terbentuk di sembarang lemak tubuh, bahkan di dalam hati, akan tetapi

lemak superfisial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan berbentuk bercak,

dapat terlihat di pipi, payudara, bokong, dan ekstremitas. Jarang seluruh lemak tubuh

berubah menjadi adiposera.

Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan hingga

bertahun-tahun, sehingga identitas mayat dan perkiraan sebab kematian masih

dimungkinkan. Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah

kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang

mengalir yang membuang elektrolit. Udara yang dingin menghambat pembentukan,

sedangkan suhu yang hangat akan mempercepat pembentukan. Invasi bakteri endogen

ke dalam jaringan pasca mati juga akan mempercepat pembentukannya. Pembusukan

akan terhambat oleh karena adanya adiposera, karena derajat keasaman dan dehidrasi

jaringan bertambah.
23

Mummifikasi2,4

Mummifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup

cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan

pembusukan.

Syarat terjadinya mummifikasi :

1. Suhu relatif tinggi

2. Kelembaban udara rendah

3. Aliran udara baik

4. Waktu yang lama (12-14 minggu)

Yang terlihat pada mummifikasi adalah penyusutan bentuk tubuh, kulit padat

hitam seperti kertas perkamen. Mummifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang normal.

PERKIRAAN SAAT KEMATIAN1,3,4,6

Sampai sekarang belum ada cara yang dapat dipakai untuk menetukan dengan

tepat saat kematian seseorang, jadi selalu masih ada “range” hanya saja, makin sempit

“range” ini makin baik. Perkiraan saat kematian atau lamanya mati seorang mayat

adalah salah satu tujuan akhir dipelajarinya tanatologi ini. Selain perubahan pada mayat

tersebut di atas, beberapa perubahan lain yang dapat digunakan untuk memperkirakan

saat kematian adalah :

1. Perubahan pada mata

Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sclera di kiri dan kanan kornea

akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di
24

tepi kornea (taches noires sclerotiques). Kekeruhan pada kornea terjadi lapis demi

lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan

meneteskan air, namun kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam lagi

tidak dapat dihilangkan dengan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-

kira 6 jam pasca mati.

Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kekeruhan yang

menyeluruh pada kornea terjadi kira-kira 10-12 jam pasca mati dan dalam beberapa

jam saja fundus tidak tampak jelas.

Setelah kematian, tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil

pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan

lamanya mati, diameter pupil berkisar 2-9 mm, dengan rata-rata berkisar 4-5 mm.

Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca

mati. Mulai sejak kematian hingga 30 menit pasca mati, tampak kekeruhan pada

macula dan mulai memucatnya discus optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati,

macula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama dua jam pertama pasca mati,

retina pucat dan daerah disekitar discus menjadi kuning. Warna kuning juga tampak

di sekitar macula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vascular koroid akan

tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakan merah dengan pola segmentasi

yang jelas, tetapi kira-kira tiga jam pasca mati akan menjadi kabur dan setelah lima

jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas discus

kabur dan hanya pembuluh darah besar yang mengalami segmentasi yang dapat

dilihat dengan latar belakang kuning kelabu. Dalam waktu 7-10 jam pasca mati,
25

pengkaburan akan mencapai tepi retina dan batas discus akan sangat kabur. Pada 12

jam pasca mati, discus hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi beberpa

segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati, tidak ditemukan lagi

gambaran pembuluh darah retina dan discus, hanya macula saja yang tampak

berwarna coklat gelap.

2. Perubahan Dalam lambung

Bila ditemukan lambung tak berisi makanan, rectum penuh dnegan feces dan

kandung seni penuh, berarti korban meninggal waktu masih pagi sebelum bangun.

Pengosongan lambung yang terjadi dalam 3-5 jam setelah makan terakhir.

Dalam ½ - 1 jam masih berupa bolus (makanan hamper lumet atau setengah cerna).

Namun kecepatan pengosongan lambung ini dipengaruhi oleh penyakit-penyakit

saluran cerna, konsistensi makanan dan kandungan lemaknya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengosongan isi lambung :

a. Motility lambung dan aktifitas getah lambung

b. Jumlah makanan dalam lambung dan isi dari lambung

c. Sifat makanan

d. Emosi

e. Keadaan fisik si korban

3. Perubahan rambut

Panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan

saat kematian. Rambut pada orang hidup mempunyai kecepatan tumbuh 0,5 mm/hari

dan setelah meninggal tidak tumbuh lagi. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria
26

yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat

terakhir ia mencukur. Pemeriksaan rambut jenggot ini harus dilakukan dalam 24 jam

pertama sebab lebih dari 24 jam kulit mengkerut dan rambut dapar lebih muncul

diatas kulit dagu sehingga seolah-olah rambut masih tumbuh.

4. Pertumbuhan kuku

Pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm/hari dapat digunakan

untuk memperkirakan saat kematian, bila dapat diketahui saat terakhir korban

tersebut memotong kuku. Kuku akan terlepas setelah 21 hari.

5. Perubahan pada cairan serebrospinal

Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum

lewat 10 jam. Kadar nitrogen non protein kurang 80 mg% menunjukkan kematian

belum 24 jam, kadar keratin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing-masing

menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam.

6. Perubahan dalam cairan vitrus

Terjadi peningkatan kalium yang cukup akurat untuk memperkirakan saat

kematian antara 24 jam hingga 100 jam pasca mati.

7. Kadar semua komponen darah

Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisa

darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa

hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta

gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati.


27

Hingga saat ini belum diketahui perubahan dalam darah yang dapat digunakan

untuk memperkirakan saat kematian dengan lebih tepat.

8. Metode Entomologik

Dilakukan melalui pemeriksaan belatung pada mayat yang telah rusak. Larva

ditentukan dulu spesiesnya; Musca domestica, Sarcophaga cranaria, atau lainnya.

Kemudian ukur panjangnya (catat apabila ada lebih dari satu generasi larva). Larva

Musca domestica biasanya mencapai panjang 8 mm pada hari ke-7, berubah menjadi

kepompong pada hari ke-8, menjadi lalat pada hari ke-14.

Larva Sarcophaga cranaria mencapai panjang 20 mm pada hari ke-9, menjadi

kepompong pada hari ke- 10 dan menjadi lalat pada hari ke-18.

9. Reaksi Supravital

Reaksi supravital merupakan reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis

yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada tubuh seseorang yang hidup.

Beberapa uji dapat dilakukan pada mayat yang masih segar, misalnya rangsang

listrik dapat menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90-120 menit pasca mati, dan

mengakibatkan sekresi kelenjar sampai 60-90 menit pasca mati, sedangkan trauma

masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.
28

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tanatologi adalah cabang Ilmu Kedokteran Kehakiman yang mempelajari

kematian serta perubahan-perubahan yang terjadi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Tanatologi dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian

serta sebab kematian secara tidak langsung dimana hal ini sangat membantu proses

penegakan hukum. Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati

somatic (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral serta mati batang otak. Tanda

pasti kematian adalah penurunan suhu tubuh, lebam mayat, kaku mayat, perubahan pada

kulit, perubahan pada mata, pembusukan, adiposera, dan mummifikasi.


29

DAFTAR PUSTAKA

1. Apuranto Hariadi, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medikolegal. BAgian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universita Airlangga, Surabaya. 2007.

2. Idries, Abdul Mun’im. Saat Kematian dalam Ilmu Kedokteran Forensik.


Binarupa Aksara, Jakarta. 1997.

3. Budiyanto Arif, Wibisana Widiatmaka, Siswandi Sudiono, et al. Tanatologi


dalam Ilmu Kedokteran Forensik. FK UI, Jakarta. 1997.

4. Sampurna Budi, Zulhasmar Samsu. Tanatologi dan Perkiraan Saat Kematian


dalam Peranan Ilmu Forensik dalamPenegakan Hukum, Sebuah Pengantar. Jakarta.
2004.

5. Knight Bernard. The Pahtophysiologyof Death dalam Forensic Pathology.


Oxford University Press, United States of America. 1996.

6. Vincent, J Dimoid, Dominick DiMaio. Time of Death dalam Forensic Pathology.


CRC Press, United States of America. 2001.
30

Referat

TANATOLOGI

oleh :

Kelompok XVII-H :
Delvi I. Mayasari (I1A003090)
Atma Antariksa (I1A003045)
Edna Wahyuni (I1A098015)
M. Anhar dani (I1A003078)
M. Silahuddin A. (I1A001008)
Nensy Anggreiny (I1A003044)
Nina Puspitasari (I1A003009)
Supianti Agustina (I1A003052)

Pembimbing :
dr. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN


FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
31

September, 2009

Anda mungkin juga menyukai