Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN
Apendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang
dikenal dengan usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical
emergency dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering
ditemui. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran
mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichura dan Enterobius vermicularis. Apendisitis Akut adalah inflamasi
pada dari vermiform appendiks dan ini merupakan kasus operasi intraabdominal
tersering yang memerlukan tindakan bedah (Williams, 2010). Obstruksi yang
disebabkan hiperplasia ringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing
4%, dan sebab lain 1% (Sjamsuhidajat, 2010).
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dibanding negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi makanan berserat
dalam menu sehari-hari. apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Pada
pasien usia tua lebih sering ditemukan apendisitis perforasi, morbiditas pos
operasi, mortalitas, dan perawatan di rumah sakit lebih lama daripada pasien usia
muda.
Diagnosis banding banyak dan bervariasi tergantung dengan usia dan jenis
kelamin. Apendisitis juga menyebabkan banyak komplikasi diantaranya
appendicular infiltrat, appendicular abscess, perforasi, peritonitis, syok septik,
mesenterial pyemia dengan abses hepar, gangguan peristaltik, dan ileus
(Brunicardi, 2015).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Apendiks Vermiformis
Apendiks vermiformis merupakan organ dengan struktur tubular yang
rudimenter. Apendiks vermiformis berkembang dari posteromedial sekum dengan
panjang yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar 5-15cm dan diameter
sekitar 0,5-0,8cm. Apendiks vermiformis merupakan derivat bagian dari midgut
yang terdapat di antara ileum dan colon ascendens. Sekum terlihat pada minggu
ke-5 kehamilan dan apendiks terlihat minggu ke-8 kehamilan, yaitu bagian ujung
dari protuberans sekum. Dalam proses perkembangannya, awalnya apendiks
vermiformis berada pada apeks sekum, tetapi kemudian ber-rotasi dan terletak
lebih medial dekat dengan plica iliocaecalis.
Lumen apendiks vermiformis sempit dibagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Pada bayi, apendiks vermiformis berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Hal ini menjadi sebab rendahnya
insiden apendisitis pada usia itu. Hampir seluruh permukaan apendiks dikelilingi
oleh peritoneum dan mesoappendiks (mesenter dari apendiks vermiformis) yang
merupakan lipatan peritoneum yang berjalan kontinyu di sepanjang apendiks
vermiformis dan berakhir di ujung apendiks vermiformis (Snell, 2006).

Gambar 2.1 Embriologi apendiks vermiformis (Snell, 2006)


2

Pada apendiks vermiformis terdapat tiga taenia coli yaitu taenia libera,
taenia colica, dan taenia omentum yang menyatu dipersambungan sekum dan
berguna untuk mendeteksi posisi apendiks vermiformis. Posisi apendiks
vermiformis terbanyak adalah retrocaecal 65,28%, baik intraperitoneal maupun
retroperitoneal dimana apendiks vermiformis berputar ke atas di belakang sekum
dan 65% terletak intraperitoneal. Selain itu juga terdapat posisi pelvic (panggul)
31,01% (apendiks menggantung ke arah pelvis minor), subcaecal (dibawah
caekum) 2,26%, retroileal (di belakang usus halus) 0,4%, retrokolika, dan preileal.
Gambar 2.2 Variasi letak Apendiks
Vermiformis
Perdarahan apendiks berasal dari
a.apendikularis, yang merupakan arteri
tanpa kolateral, cabang dari a.ileokolika.
Jika

arteri

ini

tersumbat,

misalnya

trombosis pada infeksi, apendiks akan


mengalami gangren. Sistem limfatik apendiks adalah nodus ileokolika, dan sering
terjadi kasus hiperplasia pada apendisitis akut. Persarafan apendiks berasal dari
sistem saraf otonom, dan seperti organ visera lainnya, tidak terdapat nyeri somatik
pada apendiks. Persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X, karena itu pada
tahap awal inflamasi dapat terjadi nyeri lokal di daerah periumbilikal, hal ini
disebabkan oleh saraf otonom yang mengikuti perkembangan embriologi dari
midgut. Jika apendisitis terus berlangsung, dapat menyebabkan iritasi pada

permukaan peritoneum parietal dan terjadi nyeri somatik atau nyeri lokal pada
kuadran kanan bawah abdomen (Snell, 2006).

Gambar 2.2 Pendarahan apendiks


2.2 Fisiologi
Fungsi apendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya dipahami. Salah satu yang dikatakn pentik adalah terjadi produksi
imunglobulin oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan
IgA. GALT ini sama dengan lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya.
Karena jumlahnya yang sedikit dan minimal,pengangkatan apendiks dikatakan
tidak mempengaruhi sistem perhanan mukosa saluran cerna. Apendiks juga
menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran ini akan dialirkan ke
sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks. Hambatan aliran
mukus di muara appendiks tampkanya berperan dalam patogenesis apendisitis.
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan
limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit.

Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan limfoid yang


berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior (Sjamsuhidajat,
2010).
2.3 Apendisitis
2.3.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan
kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan (Craig, 2008).

2.3 Inflamasi Apendiks

2.3.2 Epidemiologi
Apendisitis akut merupakan penyakit urutan keempat penyakit abdomen di
Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien apendisitis akut yang menjalani rawat
inap pada tahun tersebut mencapai 28.949 jiwa (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2007).
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dibandingkan dengan di
negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi makanan
berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur,
hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden pada umur 20-

30 tahun, lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus apendisitis
neonatal dan prenatal. Pada pasien usia tua lebih sering ditemukan apendisitis
perforasi, morbiditas pos operasi, mortalitas, dan perawatan di rumah sakit lebih
lama daripada pasien usia muda (Brunicardi, 2015).
2.3.3 Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen apendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteri yang dicetuskan
oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat (Sjamsuhidajat, 2010).
Beberapa

faktor

yang

mempermudah

terjadinya

radang

apendiks,

diantaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor obstuksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia
jaringan limfoid submukosa, 35% karena statis fekal, 4% karena benda asing dan
sebab lainnya sebanyak 1%, diantaranya karena sumbatan cacing dan parasit.

b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogennesis primer pada apendisitis.
Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks. Pada temuan kultur terbanyak di dapatkan kombinasi anatara

Bacteriodes fragilis dan E. Coli, Splanchicus, Lactobacillus, Pseudomonas,


Bacteriodes spanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
hystolitica. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.
Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis, yaitu:
Tabel 2.1 Bakteri penyebab apendisitis
Bakteri aerob fakultatif

Bakteri anaerob

Escherichia coli

Bacteroides fragilis

Viridans streptococci

Peptostreptococcus micros

Pseudomonas aeruginosa

Enterococcus

Bilophila species
Lactobacillus species

c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif


Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon
biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif
yang terus menerus dan berlebihan memberikan efek merubah suasana flora usus
dan menyebabkan terjadinya hipersekresi usus yang merupakan permulaan dari
proses inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan merangsang
peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.
d. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungankan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan

makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
e. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih
tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun kini, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi
(Sjamsuhidajat, 2010).
2.3.4 Patofisiologi
Sebagian besar apendisitis disebabkan oleh sumbatan yang kemudian
diikuti oleh infeksi. Bila bagian proksimal apendiks tersumbat, lumen tetap
mensekresi mukus dan tertimbun, sehingga tekanan intra lumeniner meninggi.
Tekanan ini akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat
luka pada mukosa. Stadium ini disebut apendisitis akut ringan. Tekanan yang terus
meninggi, edema dan disertai inflamasi menyebabkan hambatan aliran vena yang
akan memperberat edema. Pada lumen apendiks juga terdapat bakteri, sehingga
dalam keadaan tersebut suasana lumen apendiks cocok untuk bakteri
berdiapedesis dan infasif ke dinding lumen dan membelah diri sehingga
menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus, stadium ini disebut apendisitis akut
purulenta.
Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah
arteri juga terganggu, terutama bagian antemesenterial yang mempunyai
vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut

apendisitis gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena


tekanan intra luminar yang tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi
tersebut, mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen.
Stadium ini disebut apendisitis akut perforasi, dimana menimbulkan peritonitis
umum dan abses sekunder. Tapi proses perjalanan apendisitis tidak mulus seperti
diatas, karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara
walling off oleh omentum, lengkung usus halus, sekum, kolon,dan peritoneum,
sehingga terjadi gumpalan massa plekmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut
apendisitis infiltrat.

Apendisitis infiltrat adalah suatu plekmon yang berupa massa yang


membengkak dan terdiri dari apendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan
sedikit atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa
sempurna atau tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau
kondisi penderita yang kurang baik, sehingga appendikuler infiltrat dibagi
menjadi dua:
a. Appendikuler infiltrate mobile
b. Appendikuler infiltrate fixed
Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga
akan terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang tidak sempurna
akan terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum.
Apendisitis yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya dan menimbulkan obstruksi.

Hal ini dapat menimbulkan keluhan

berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat kembali
meradang dan dinyatakan sebagai eksaserbasi akut. Apendisitis terjadi dari proses
inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya

10

gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari (Silbernagl,
2007).

2.7 Diagnosis

Gambar 2.4 Patofisiologi Appendisitis


2.3.5 Manifestasi klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang
tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa

11

memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya kareTna bisa


mempermudah terjadinya perforasi.
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung
oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul
pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks
tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing
karena rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, 2010).

Gambar 2.5 Titik Mc Burney


2.3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Tabel 2.2 Gejala Apendisitis
Gejala apendisitis Akut
Nyeri perut
Anoreksia
Mual

Frekuensi (%)
100
100
90
12

Muntah
Nyeri berpindah
Gejala
sisa
klasik
(nyeri
periumbilikal
kemudian
anoreksia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke regio
inguinal kanan bawah, demam tidak terlalu tinggi)
*Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

75
50
50

b. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Cara berjalan pasien yaitu sambil bungkuk dan memegang perut serta
tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan abnormalitas yang
spesifik. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
appendikular (Way, 2006).
2. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik dan peritonitis umum akibat apendisitis perforasi (Way, 2006).
3. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik mc. burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
Nyeri tekan (+)
Nyeri lepas (+)
Defence muscular lokal (+). Gejala ini menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietalis. Pada apendiks dengan letak retroperitoneal,

defence muscular mungkin tidak ada, yang ada yaitu nyeri pinggang.
Pemeriksaan khusus / tanda khusus :
Rovsing sign
Perut kiri bawah ditekan pada daerah kontralateral titik mc. burney, akan
terasa sakit pada perut kanan bawah.
Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas kontralateral. Palpasi pada kuadran kiri
bawah kemudian dilepaskan secara tiba-tiba, akan terasa nyeri pada

kuadran kanan bawah.


Psoas sign

13

Dilakukan dengan rangsangan m.psoas dengan cara penderita dalam


posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan
diekstensikan atau fleksi aktif pada sendi panggul. Psoas sign (+) bila
terasa nyeri di perut kanan bawah. Nyeri pada cara ini menggambarkan
iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan
retroperitoneal dari phlegmon atau abscess.

Gambar 2.6. Psoas sign

Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah apendiks yang terinflamasi


yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat
dilakukan manuver ini.

Gambar 2.7. Dasar


anatomis psoas sign

Obturator sign
Dilakukan dengan meminta pasien tidur terlentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul. Nilai positif bila tersa nyeri
di perut kanan bawah.

14

Gambar 2.8 Obturator sign

Dasar anatomis terjadinya obturator sign adalah nyeri pada cara ini
menunjukkan peradangan pada M. obturatorius. Di rongga pelvis
apendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak
dengan otot obturator internus saat pemeriksaan.

Gambar 2.9. Dasar


anatomis Obturator sign

4. Rectal toucher. Akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada
apendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewatu dilakukan colok
dubur (Way, 2006).
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah: leukositosis ringan (10.000 18.000 / mm3) yang di
dominasi > 75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), neutrofil (shift to the
left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien
dengan akut apendisitis dan apendisitis tanpa komplikasi. Sedangkan
leukosit > 18.000 / mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi
apendiks dengan / tanpa abses ( Sjamsuhidajat, 2010).

15

Pemeriksaan urin: dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan


bakteri

dalam

urin.

Pemeriksaan

ini

sangat

membantu

dalam

menyingkirkan diagnosa banding seperti infeksi saluran kemih atau batu

ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan apendisitis.
Pemeriksaan laboratorium lain : CRP merupakan reaktan fase akut
terhadap infeksi bakteri yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai
meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada
umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik.
Spesifisitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP tidak dapat

2.

membedakan tipe dari infeksi bakteri (Grace,2006).


Foto polos abdomen
Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosa
banding. Pada apendisitis akut dapat terlihat abnormal gas pattern dari
usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalith dapat mendukung
diagnosa. Local air-fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada
kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang)
bila terjadi perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali pada
kondisi tertentu misalnya; perforasi, obstruksi usus, BSK. Walaupun
demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau harus
dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut
(Sjamsuhidajat, 2010).

3.

USG
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis apendisitis.
Kriteria sonografi untuk mendiagnosis apendisitis akut adalah adanya noncompressible

apendiks sebesar 6mm atau lebih pada diameter

anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan


submukosa, dan cairan atau massa periappendikular. Temuan perforasi
16

apendisitis termasuk cairan pericaecal loculated, phlegmon (sebuah definisi


penyakit lapisan struktur dinding apendiks) atauu abses, lemak pericaecal
menonjol, dan kehilangan keliling dari layer submukosa. False positive
dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii, diverticullum Meckel,
diverticulillitis caecal, penyakit radang usus, penyakit radang panggul,
endometriosis, dan pada pasien yang obese hasilnya tidak akurat. Namun
pada apendisitis juga bisa didapatkan false negative ( Sjamsuhidajat, 2010).

Gambar 2.10 USG apendisitis

4.

Barium Enema
Merupakan pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan kontras Barium
ke dalam colon melalui anus. Barium enema merupakan kontra-indikasi
pada suspek apendisitis akut, karena pada apendisitis akut ada kemungkinan
sudah terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat masuk ke intra
abdomen

dan

menyebabkan

penyebaran

kuman

ke

intraabdomen.

Sedangkan apendisitis kronis merupakan indikasi barium enema. dikatakan


positf bila menunjukkan apendiks yang non-filling sedang indentasi dari
sekum menunjukkan apendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya
inflamasi pericaecal. False negative (partial filling) didapatkan pada 10%
kasus. (Grace, 2006).

17

5.

CT-Scan
Pemeriksaan pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi
pada abdomen dan gejala yang tidak khas untuk apendisitis. Apendiks
dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar >57mm. Inflamasi periappendiceal atau edema terllihat sebagai perkaburan
dari lemak mesenterium (dirty fat), penebalan fascia lokalis, dan
peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah. Temuan
penting adalah arrow-head sign yang disebabkan penebalan sekum
(Grace,2006).

Gambar 2.11. CT Scan


apendisitis

D. Scoring
1. Alvarado Score
Tabel 2.3 Alvarado Score
Gejala

Tanda

Laboratorium

Manifestasi
Adanya migrasi nyeri
Anoreksia
Mual/muntah
Nyeri perut kanan bawah
Nyeri lepas
Febris
Leukositosis
Shift to the left

Total point
Interpretasi nilai;
1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis akut
5-7 : sangat mungkin apendisitis akut
8-10: pasti apendisitis akut

Skor
1
1
1
2
1
1
2
1
10

18

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor>6
maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan (Brunicardi, 2015).
2. Samuel Score
Skoring apendisitis pada anak-anak. Sistem penilaian ini meliputi 9
variable untuk menilai apendisitis akut:
Tabel 2.4 Skoring apendisitis pada anak
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kriteria
Gender
1. Laki-laki
2. Perempuan
Intensitas nyeri
1. Berat
2. Sedang
Perpindahan
1. Ya
2. Tidak
Nyeri pada kuadran perut kanan bawah
1. Ya
2. Tidak
Muntah
1. Ya
2. Tidak
Suhu badan
1. 37,50C
2. 37,50 C
Guarding
1. Ya
2. Tidak
Bising usus
1. Absent / meningkat
2. Normal
Rebound tenderness
1. Ya
2. Tidak

Skoring
2
0
2
0
4
0
4
0
2
0
3
0
4
0
4
0
7
0

19

Sistem ini mempunyai nilai 0 s/d nilai maksimum 32. Dan nilai ini
digunakan untuk mendiagnosa ada atau tidaknya apendisitis akut. Nilai 21
kemungkinan besar apendisitis akut. Jika nilainya 15, kemungkinan untuk
apendisitis akut adalah rendah (Way, 2006).
2.3.7 Diagnosis banding
Beberapa penyakit mempunyai tanda dan gejala yang menyerupai
apendisitis akut dan perlu dipertimbangkan sebagai diagnosa banding. Penyakitpenyakit itu adalah:
1. Gastroenteritis
Pada penyakit ini ditemukan mual, muntah dan diare, gejala yang sama
akan ditunjukkan pada peradangan apendiks yang terletak pelvikal. Pada
anamnesis akan ditemukan mual muntah mendahului rasa sakit (berlawanan
dengan apendisitis akut) juga pada gastroenteritis sakit perut lebih ringan. Panas
dan lekositosis kurang menonjol jika dibandingkan apendicitis akut. Pada

20

pemeriksaan colok dubur apendicitis akut letak pelvikal akan memberikan rasa
nyeri, sedangkan gastroenteritis tidak.
2. Demam dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis, disini didapatkan hasil
tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopeni dan hematokrit yang meningkat.
3. Limfadenitis mesenterika
Ditandai dengan rasa nyeri perut terutama kanan, disertai mual dan nyeri
tekan perut yang samar. Pada anamnesa akan ditemukan mual dan muntah yang
mendahului rasa sakit (pada apendicitis akut mual dan muntah timbul setelah rasa
sakit)

4. Gangguan genitalia wanita


Ovulasi dari ovarium kanan dapat memberikan rasa sakit yang mirip dengan
apendisitis akut. Pada anamnesa akan ditemukan keluhan nyeri yang sama
sebelumnya dan rasa nyeri akan berlangsung saat ovulasi terjadi, yaitu sekitar 1214 hari setelah haid pertama haid terakhir. Pada ovulasi tanda radang tidak ada,
dan nyeri biasanya menghilang kurang dari dua hari.
5. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendicitis akut.
Temperatur biasanya lebih tinggi, dan nyeri lebih difus. Pada wanita biasanya
disertai dengan keputihan.
6. Kehamilan ektopik

21

Pada apendicitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik uteri
tidak seberapa nyata seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik. Nyeri perut
bagian bawah pada apendicitis terletak pada titik McBurney.
7. Kista ovarium yang terpuntir
Nyeri timbul mendadak dengan intensitas yang tinggi serta teraba massa
dalam rongga pelvis, tidak ada demam.
8. Endometriosis eksterna
Nyeri didapatkan ditempat endometriosis berlangsung, nyeri pada saat
menstruasi karena darah tidak dapat keluar.
9. Gangguan traktus urinarius
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas pada batu ureter atau batu ginjal kanan, juga
ditemukan eritrosuria. Pada pielonefritis sering disertai demam tinggi menggigil,
nyeri kostovertebral disebelah kanan dan piuria.
10. Penyakit lain
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan diperut seperti
divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistisis akut,
pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam
tifoid abdominalis. (Sjamsuhidajat, 2010).
2.3.8 Penatalaksanaan
A.

Apendisitis tanpa komplikasi


Pada penelitian observasi yang membandingkan terapi untuk apendisitis

tanpa komplikasi didapatkan pasien yang dilakukan operasi dengan lebih dipilih
daripada konservatif (terapi antibiotik). Karena pada pasien yang dilakukan

22

operasi

lebih

sedikit

menimbulkan

komplikasi.

Tindakan

operasi

bisa

direncanakan 12-24 jam atau tergantung kesiapan tim bedah (Brunicardi, 2015).
B.

Apendisitis dengan komplikasi


Pasien dengan sepsis dan peritonitis generalisata harus segera dilakukan

operasi. Untuk pasien dengan appendicular abses dan peritonitis yang minimal
pilihan terapi konservatif lebih dipilih. Terapi konservatif dilakukan dengan cara
pemberian antibiotik parenteral, drainage perkutan, meminimalisir stimuli
gastrointestinal, dan mencukupi kebutuhan cairan. Tetapi pada pasien anak
disaranakn untuk dilakukan operassi segera (Brunicardi. 2015).
C.

Terapi operatif
Persiapan preoperatif:
- Pasien dipuasakan sedikitnya 4-6 jam sebelum operasi.
- Pemberian antibiotik spektrum luas, gram negatif, dan untuk kuman
anaerob. Biasanya digunakan kombinasi, seperti; cefotaxime dan
clindamycin, cefazolin dan metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena
frekuensi bakteri yang terlibat termasuk; Escheria coli, Pseudomonas
aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan
Bacteroides.
Teknik Operasi Appendiktomi
A. Open Apendictomy
Lapisan kulit yang dibuka yaitu kutis, subkutis, fascia scarpae,
fascia camperi, aponeurosis m.obliquus externus dan internus,
m.transversus

abdominis,

fascia

transversalis,

preperitoneum,

peritoneum (Williams, 2010). Lokasi insisi :

23

Insisi Grid Iron (McBurney Incision)


Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis
insisi parallel dengan otot oblikus eksternal,
melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral
garis yang menghubungkan spina liaka
anterior superior kanan dan umbilikus.

Lanz transverse incision


Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat,
insisi transversal pada garis miklavikulamidinguinal.

Mempunyai

keuntungan

kosmetik yang lebih baik dari pada insisi


grid iron.

Rutherford Morissons incision

(insisi

suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi
McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak
di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

Low Midline Incision


Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi
perforasi dan terjadi peritonitis umum.

24

Insisi paramedian kanan bawah


Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5
cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.

Teknik operasi Appendectomy :


Open Appendectomy
a. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting
Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral
atas ke medial bawah.

Keterangan gambar:
Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi
kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus
abdominis externus.
2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke
lateral bawah.

25

Keterangan gambar:
Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi
searah dengan seratnya ke arah lateral.
3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.

Keterangan gambar:
Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar
tak terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N.
iliohipogastricus dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di
sebelah lateral di antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan
yang terlalu keras akan merobek pembuluh dan membahayakan
saraf.
2. Peritoneum dibuka.

26

Keterangan gambar:
Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar.
Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di
bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini
ialah pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang
sama pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset,
memasang lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat.

3. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri


untuk mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem
dengan klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah
kontaminasi ke jaringan sekitarnya).
Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:
Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya,
diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

27

Keterangan gambar:
Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem
Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat
mesenterium seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem
ujung bebas mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh
terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi.

4. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi
lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah
Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang
pertama diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga
tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam
Caecum).

28

5. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.

6. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:


a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix
diinversikan ke dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan
jahitan Z.
b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko
kontaminasi dan adhesi.
c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung
rapuh, dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.

29

7. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru
dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde).
8. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis (Wibowo, 2008)

b. Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparaskopic dapat dipakai
sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut
abdomen dan suspek apendisitis akut (Brunicardi, 2015).

Gambar 2.12. Posisi operasi Laparoscopic Appendectomy


2.3.9 Komplikasi
-

Durante operasi : perdarahan intraperitoneal, dinding perut, robekan


pada sekum atau usus lain.

30

Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi, hematom, paralitik ileus,


peritonitis, fistel usus, abses intraperitoneal (Brunicardi, 2015).

BAB 3
CASE REPORT
A. PATIENT IDENTITY
Name
: Mr. Fathorrachman
Age
: 40 Years Old
Address
: Bratang I E/4
Job
: Ex. civil servant
Lats education
: S1
MRS
: 03th August, 15.30 PM
Registry number
: 198887
A. ANAMNESIS :
Main complaint :
Lower right abdominal pain
HISTORY OF PRESENT ILLNESS :
Lower right abdominal pain has experienced since 3 day ago. At
first, abdominal pain presented in the stomach and then move to
the lower right abdomen. pain isintermittent. Pain is increase since

31

1 day ago. nausea (+), vomiting (-). body heat since 2 days ago,
intermittent, and temperature is down if taking paracetamol , shiver
(+), defecation 2 days ago, , normal urination, not pain, clear
yellow color. diarrhea ( - ), flatus ( + ), no other complaints, eat and
drink normal

HISTORY OF PAST ILLNESS:


History of such illness is denied, history of any operation in

abdomen is denied. Hipertension (+), DM (-)


SOCIAL HISTORY : ALLERGIES HISTORY : Denied
B. GENERAL STATUS :
General state : adequate
Weight: 68 kg
Blood pressure :120/90 mmHg
HR
: 93 x/minute
RR
: 20x/ minute
Tax
: 36,1 oC
Head/Neck : A-/I-/C-/DThorak s
I

: Normochest, symmetric, retraction (-)

: Movement of the chestwalls symmetric, crepitation (-),


deviated trachea (-), widened intercostals space (-)

: sonor/ sonor

: breath sounds vesicular +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

: Ictus does not seem

: Ictus no palpable, thrill (-)

: heart border normal

: S1S2 single, Gallop (-), Murmur (-)

COR

Abdomen
I

: Flat simetris
32

: Soepel, tenderness in right lower quadran (+),


hipogastrium (+), H/L/R no palpable

: timpani around the abdominal region, shifting dullness (-)

: bowel sounds (+) normal

Ekstremitas

o Warm akral
+
+
o Oedema

+
+

o Cyanosis

o CRT < 2 dtk


C. LOCALIST STATUS
Regio right lower quadran of abdomen
o I : Mass (-), hiperemi (-)
o P : Mc Burney sign (+), Rebound phenomenon (+), Rovsing sign
o
o
o

(+), blumberg sign (-), obturator sign (+), Psoas sign (+)
P : Tympani
A : Bowel sounds (+) N
R Flank : Flank pain -/Flank mass -/Tenderness -/Percussion pain -/RT: TSA (+) N, Ampula not collapse, mass (-), pain (+) at 9-11

oclock
HS : feces (+), mucous (-), blood (-)
D. LABORATORY
03/06/2016
Hb
: 14,6 g/dl
(N: 12,8-16,8)
Leukosit
: 25,500 /mm3 (N: 4.500-13.500)
Hct
: 41.7%
(N: 33-45)
Trombosit
: 189.000
(N: 150.000-440.000)
BUN
: 9 mg/dl
(N : 6-20)
33

E.
F.
G.

H.

Serum Kreatinin : 1.0 mg/dl (N : <1.2)


Kalium
: 3,9 mmol/L (N: 3,6-5.0)
Natrium
: 141 mmol/L (N: 136-145)
Chlorida
: 97 mmol/L (N: 96-106)
Bj
: 1.020
pH
: 5.0
Nitrit
: negative
(N: negative)
Protein
: negative
(N: negative)
Glukosa
: normal
(N: normal)
Keton
: negative
(N: negative)
Urobilin
: normal
(N: normal)
Bilirubin
: negative
(N: negative)
Sedimen
Ery : 0-1
(N: 0-1)
Leko : 1-2
(N: 0-1)
Cylind : negative
(N: negative)
Epithel : 0-1
(N: 0-1)
Bact : negative
(N: negative)
Cryst : negative
(N: negative)
BOF/LLD
: dbn
Thorax AP
: dbn
ECG
: dbn
USG Abdomen : Appendicitis akut
03/06/2016
PPT
: 9,0 C: 10,4 (N: 11-14)
INR
: 0,80
(N: 0,64-1,17)
APTT
: 28,3 C: 24,7 (N: 5-40)
DIAGNOSIS
Appendicitis Perforation
PLANNING DIAGNOSIS: PLANNING THERAPY
- CITO Pro laparotomy appendectomy
- Infusion RL 21tpm/24 hours
- Fasting
- Antibiotic profilaksis
- Inj Ceftriaxon 2 gr
- inj. Metronidazole 500 mg
PLANNING MONITORING
- General state
- Vital sign.
- Patient complaints.
- Urine output

34

DAILY SOAP
Date
Subjective
04/8/16 Pain at
incision
Heat (-)
Nausea (+)
Vomiting
(-)
Minimal
drain
production
Flatus (+)

Objective
General state:
enough
Vital Sign:
Blood pressure :
110/80mmHg
HR:89x/m
RR 20x/m
Tax: 36,8 C
Head/Neck:
A/I/C/D Thorax:
Cor/pulmo:
normal
Abdomen:
flat, dressing +
soepel,
tenderness - - - - ++Tympani
Bowel sounds (+)
N
Extrimity:
normal
Localys status :
Regio Mid
lower
quadrant of
abdomen and
right lower
abdomen
L: post
laparotomy
appendectom
y wound (+),
drain (+),
mass (-),
hyperemia (-)
swelling (-),

Assesment
appendicitis
perforation
(post
laparotomy
day 1)

Planning
Planning diagnosis:
Planning therapy:
Diet high kalori
and high protein
Infus RL 1500/
24 hour.
Injection
ceftriaxone 2x1
g
Injection
metronidazole
3x500 mg
Injection
Ondansetron
3x8 mg
Injection
omeprazole
2x40 mg
Injection
paracetamol 3x1
amp
Planning
monitoring :
General state
Vital sign
Complaints
Urination
Defecation
Laparotomy
wound
wound
(+),drain (+),
pain (+)
blood (-), pus
(- )

35


5/8/16

Pain at
incision
Heat (+)
Nausea (-)
Vomiting
(-)
Minimal
drain
production

F: tenderness
(+)

General state:
enough
Vital Sign:
Blood pressure :
110/80mmHg
HR:87x/m
RR 18x/m
Tax: 36,8 C
Head/Neck:
A/I/C/D Thorax:
Cor/pulmo:
normal
Abdomen:
flat, dressing +
soepel,
tenderness - - - - ++Tympani
Bowel sounds (+)
N
Extrimity:
normal
Localys status :
Regio Mid
lower
quadrant of
abdomen and
right lower
abdomen
L: post
laparotomy
appendectom
y wound (+),
drain (+),
mass (-),
hyperemia (-)
swelling (-),
F: tenderness (+)

appendicitis
perforation
(post
laparotomy
day 2)

Planning diagnosis:
Planning therapy:
Diet high kalori
and high protein
Infus RL 1500/
24 hour.
Injection
ceftriaxone 2x1
g
Injection
metronidazole
3x500 mg
Injection
Ondansetron
3x8 mg
Injection
omeprazole
2x40 mg
Injection
paracetamol 3x1
amp
Planning
monitoring :
General state
Vital sign
Complaints
Urination
Defecation
Laparotomy
wound
wound
(+),drain
(+), pain
(+) blood
(-), pus (-)

36

6/8/16

Decrease
pain at
incision
Heat (-)
Nausea (-)
Vomiting
(-)

General state:
enough
Vital Sign:
Blood pressure :
110/80mmHg
HR:87x/m
RR 18x/m
Tax: 36,8 C
Head/Neck:
A/I/C/D Thorax:
Cor/pulmo:
normal
Abdomen:
flat, dressing +
soepel,
tenderness - - - - -+Tympani
Bowel sounds (+)
N
Extrimity:
normal
Localys status :
Regio Mid
lower
quadrant of
abdomen and
right lower
abdomen
L: post
laparotomy
appendectom
y wound (+),
drain (+),
mass (-),
hyperemia (-)
swelling (-),

appendicitis
perforation
(post
laparotomy
day 3)

Planning diagnosis:
Planning therapy:
Diet high kalori
and high protein
Infus RL 1500/
24 hour.
Injection
ceftriaxone 2x1
g
Injection
metronidazole
3x500 mg
Injection
Ondansetron
3x8 mg
Injection
omeprazole
2x40 mg
Injection
paracetamol 3x1
amp
Planning
monitoring :
General state
Vital sign
Complaints
Urination
Defecation
Laparotomy
wound
wound
(+),drain (+),
pain () blood
(-), pus (-)

37

F: tenderness (-)

7/8/16

Decrease
pain at
incision
Heat (-)
Nausea (-)
Vomiting
(-)

General state:
enough
Vital Sign:
Blood pressure :
110/80mmHg
HR:87x/m
RR 18x/m
Tax: 36,8 C
Head/Neck:
A/I/C/D Thorax:
Cor/pulmo:
normal
Abdomen:
flat, dressing +
soepel,
tenderness - - - - --Tympani
Bowel sounds (+)
N
Extrimity:
normal
Localys status :
Regio Mid
lower
quadrant of
abdomen and
right lower
abdomen
L: post
laparotomy
appendectom
y wound (+),
drain (+),
mass (-),
hyperemia (-)
swelling (-),

appendicitis
perforation
(post
laparotomy
day 4)

Planning diagnosis:
Planning therapy:
Diet high kalori
and high protein
Infus RL 1500/
24 hour.
Injection
ceftriaxone 2x1
g
Injection
metronidazole
3x500 mg
Injection
Ondansetron
3x8 mg
Injection
omeprazole
2x40 mg
Injection
paracetamol 3x1
amp
Aff drain
Planning
monitoring :
General state
Vital sign
Complaints
Urination
Defecation
Laparotomy
wound
Wound (+),
pain () blood
(-), pus (-)

38

F: tenderness (-)

8/8/16

No Pain at General state:


the incision enough
Vital Sign:
Blood pressure :
110/80mmHg
HR:87x/m
RR 18x/m
Tax: 36,8 C

appendicitis
perforation
(post
laparotomy
day 5)

Planning go home
today
Planning therapy :
- ciprofloxacin
3x500 mg
-mefenamic acid
3x500 mg
- Control to surgery
department 3 day in
the future

Head/Neck:
A/I/C/D Thorax:
Cor/pulmo:
normal
Abdomen:
flat, dressing +
soepel,
tenderness - - - - --Tympani
Bowel sounds (+)
N
Extrimity:
normal
Localys status :
Regio Mid
lower
quadrant of
abdomen and
right lower
abdomen
L: post
laparotomy
appendectom
y wound (+),
drain (+),
mass (-),
hyperemia (-)
39

swelling (-),
F: tenderness (+)

DAFTAR PUSTAKA

Williams B A, Schizas AMP. 2010. Management of Complex Appendicitis.


Elsevier. Surgery 28:11. p544048.
http://www.surgeryjournal.co.uk/article/S0263-9319(10)00178-X/abstract
Sjamsuhidajat R. 2010. de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
Brunicardi, FC. 2015. Schwartzs Manual of Surgery. 8th edition. London:
McGraw-Hill
Snell RS. 2006. Anatomi klinik. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acute. Retrieved august 08 2016, from
eMedicine : http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Profil Kesehatan Indonesia
2007. Departemen Kesehatan RI.
Silbernagl S, Lang F.2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC
Way Lawrence W. 2006. Surgical Diagnosis & Treatment. 12th ed. New York :
The Mc Graw- Hill Companies
Grace Pierce A, Borley Neil R. 2006. Surgery at a Glance. 3th ed. Terjemahan
Vidhia Umami. Jakarta : Penerbit Erlangga. p.106-7.
Wibowo S., Puruhito. 2008. Pedoman Teknik Operasi. Surabaya. Airlangga
University Press

40

41

Anda mungkin juga menyukai