Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN PEMENUHAN GANGGUAN

RASA NYAMAN NYERI APPENDICITIS


DI RUANG ST YOHANES
RS SANTO VINCENTIUS SINGKAWANG

Disusun Oleh :

HERIADI

NIM. 1490122211

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXIX


INSTITUT KESEHATAN IMMANUEL
TA 2022/2023
A. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus
buntu atau umbai cacing (apendiks). Usus buntu adalah sebenarnya
sekum (cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut
sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya (Nanda, 2015). Appendisitis
adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini
bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan
bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya
(Saputro, 2018).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih
sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Wedjo, 2019).
Apendisitis adalah pembengkakan usus buntu yang menyakitkan.
Apendiks adalah kantong kecil dan tipis dengan panjang sekitar 5 hingga
10 cm (2 hingga 4 inci) yang terhubung ke usus besar, di mana kotoran
terbentuk (NHS 2019b). Apendisitis juga merupakan peradangan pada
usus buntu dengan keadaan darurat medis yang hampir pembedahan selalu
sesegera membutuhkan mungkin untuk mengangkat usus buntu (Minesh
Khatri 2019 dalam Elfira, E., dkk, 2021).
Apendisitis merupakan proses peradangan yang terjadi pada
apendiks (usus buntu) berbentuk vermiformis; itu terjadi ketika ulserasi
mukosa memicu peradangan, yang untuk sementara menyumbat apendiks
(usus buntu) (Lippincott, 2013 dalam Annisa, R., dkk 2022). Klasifikasi
appendisitis terbagi menjadi dua yaitu, appendisitis akut dan appendisitis
kronik (Sjamsuhidajat & de jong, 2010):
1. Appendisitis akut.
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala
appendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
2. Appendisitis kronik.
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik appendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden appendisitis kronik antara 1-5%.

B. Anatomi Dan Fisiologi


1. Anatomi Appendicitis
Appendiks vermiformis atau yang sering disebut sebagai
apendiks adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang mempunyai
otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks
vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada
permukaan aspek postero medial caecum, 2,5 cm dibawah juncture
iliocaecal dengan lainnya bebas. Lumennya melebar di bagian distal
dan menyempit di bagian proksimal (S. H. Sibuea, 2014).
Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah
abdomen di region iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding
anterior abdomen pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior dan umbilicus yang disebut titik Mc
Burney (Siti Hardiyanti Sibuea, 2014). Hampir seluruh permukaan
apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter dari
apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum berjalan continue
disepanjang apendiks dan berakhir di ujung apendiks. Vaskularisasi
dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung dari
apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular,
derivate cabang inferior dari arteri ileocoli yang merupakan trunkus
mesentrik superior. Selain arteri apendikular yang memperdarahi
hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius.
Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocolic
berjalank e vena mesentrik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi
portal (Eylin, 2009).
2. Fisiologis Appendicitis
Secarafisiologis, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per
hari. Lendir normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya
mengalirkan ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
berperan pada pathogenesis apendiks. Immunoglobulin sekreator yang
dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lympoid Tissue) yang terdapat
di sepanjang saluran pencerna termasuk apendiks ialah IgA.
Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh
(Arifin, 2014).

C. Etiologi
Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai
factor pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menimbulkan appendicitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E. histolytica (Jong, 2011). Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendisitis akut
(Jong, 2011).
Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit
ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya : 
1. Faktor Sumbatan
Faktor obstruksi merupakan factor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal,
4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan
oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh
fekalithdapatditemuipada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ;fekalithditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus
sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tan paruptur
dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodesfragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus,
Pseudomonas, Bacteriodessplanicus. Sedangkan kuman yang
menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob
< 10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter
dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak
baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga
dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengankebiasaan dan pola makanansehari-
hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya
banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit
putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat.
Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang
lebih tinggi.
5. Faktor infeksi saluran pernapasan setelah mendapat penyakit saluran
pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah
kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit
infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala
permulaan apendisitis.
D. Patofisiologi
Appendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai
dengan pengamatan epidemiologi bahwa appendisitis berhubungan dengan
asupan serat dalam makanan yang rendah (Burkitt, 2010).
Pada stadium awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi
inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan
melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat
fibrino purulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke
beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau
dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, 2010).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas
kedalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang
menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang
suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi
dan 12 menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi
dibungkus oleh omentum, abses local akan terjadi (Burkitt, 2010).
Invasi & Multiplikasi

APPENDISITIS
Peradangan pada jaringan Mual Muntah Sekresi mucus berlebih pada
lumen apendiks
Kerusakan control suhu ResikoResik
Hipovolemia
terhadap inflamasi Appendiks teregang

Hipertermia Nyeri Akut

Operasi
Resiko Luka Insisi efek Anastesi
perdar resiko jatuh
ahan kurang
Kerusakan Jaringan Pintu masuk Kuman informasi

Peristaltic usus
Ujung syaraf terputus Resiko infeksi Ansietas

Distensi abdomen
Pelepasan
Mual Muntah
Prostaglandin Nyeri Akut

nausea
Spinal cord

Cortex serebri Nyeri dipersepsikan

(Sumber : Nur Arif & Kusuma, 2016


E. Tanda Dan Gejala
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam
ringan
2. mual, muntah Susah buang angin
3. Perut Kembung
4. Anak tidak mau makan
5. Nyeri tekan local pada titik Mc Burney bila dilakukan tekanan
6. Nyeri tekan lepas dijumpai
7. Terdapat konstipasi atau diare
8. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum
9. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal
10. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih
atau ureter
11. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik
12. Laboratorium darah: Jumlah leukosit > 15.000/ul
F. Penatalaksanaan
Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis meliputi :
1. Sebelum Operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala sering
kali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu
dilaksanakan. Klien diminta melakukan tirah baring dan
dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan
darah (leukosit dan hitung jenis), foto abdomen dan toraks tegak
dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada
kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di
daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
b. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi dan abses
intra abdominal luka operasi pada klien apendiktomi. Antibiotik
diberikan sebelum, saat, hingga 24 jam pasca operasi dan melalui
cara pemberian intravena (IV). (Sulikhah, 2014).
2. Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi.
Apendiktomi adalah suatu pembedahan dengan cara membuang
apendiks (Wiwik Sofiah, 2017). Indikasi dilakukannya operasi
apendiktomi yaitu bila telah ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada
keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksan penunjang USG atau
CT scan. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau
spinal dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan untuk
memblokir sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang sering terjadi
pada klien post operasi adalah termanipulasinya organ abdomen
sehingga terjadi distensi abdomen dan menurunnya usus. (Mulya,
2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018) dalam
4 jam pasca operasi klien sudah boleh melakukan mobilisasi bertahap,
dan dalam 8 jam pertama setelah perlakuan mobilisasi dini pada klien
pasca operasi abdomen terdapat peningkatan usus bahkan usus dapat
kembali normal. Kembalinya fungsi usus akan memungkinkan
pemberian diet, membantu pemenuhan kebutuhan eliminasi serta
mempercepat proses penyembuhan.
Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu
operasi apendiktomi terbuka dan laparaskopi apendiktomi.
Apendiktomi terbuka dilakukan dengan cara membuat sebuah sayatan
dengan panjang sekitar 2 – 4 inci pada kuadran kanan bawah abdomen
dan apendiks dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks.
Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus (Dewi, 2015).
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan membuat
3 sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah
pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang
terhubung ke monitor ke dalam tubuh, melalui lubang ini pula sumber
cahaya dimasukkan. Sementara dua lubang lain di posisikan sebagai
jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting. Ahli bedah
mengamati organ abdominal secara visual dan mengidentifikasi
apendiks. Apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat,
kemudian apendiks diangkat dan dikeluarkan melalui salah satu
sayatan (Hidayatullah, 2014).
3. Pasca Operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui
terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan
pernapasan. Klien dibaringkan dalam posisi terlentang. Klien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Puasa
diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.

G. Data Focus
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Diagnostik
F. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1. DS : Appendicitis Nyeri Akut
P : Klien mengatakan nyeri
area perut Sekresi Mukus
Q : Klien mengatakan nyeri Berlebih Pada
seperti di tusuk tusuk Lumen Appendiks
R : Klien mengatakan nyeri
perut area kanan bawah Appendik
S : Skala nyeri 6 Teregang
T : Klien mengatakan nyeri
hilang timbul Nyeri Akut
DO :
 Wajah klien tampak
meringis
 Terdapat nyeri tekan
pada perut bagian bawah
kanan saat palpasi
abdomen
2. DS : Appendisitis Hipertermia
 Klien mengatakan badan
terasa panas dan Peradangan Pada
menggigil Jaringan
DO :
 Klien tampak lemah dan Kerusakan control
menggigil suhu terhadap
 T = 38 0C inflamasi

 Badan teraba hangat


Hipertermia
3. DS : Appendicitis Resiko
 Klien mengatakan mual Hipovolemia
dan muntah Mual Muntah
DO :
 Klien tampak lemah Resiko
 Turgor kulit menurun Hipovolemia

 Muntah 4x
4. DS : Appendicitis Ansietas
 Klien mengatakan cemas
dan takut terhadap Rencana Operasi
penyakitnya mau di
operasi Defisit
DO : Pengetahuan
 Wajah klien tampak
tegang Ansietas
5. DS : Klien mengatakan ada Appendicitis Resiko Infeksi
luka operasi
DO : Adanya luka insisi
 Tampak luka operasi di
area perut kanan bawah Pintu Masuknya
sekitar 4 cm Kuman
 Kebersihan klien kurang
baik Resiko Infeksi

G. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik
yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2017). Berdasarkan
pada semua data pengkajian diagnosa keperawatan utama yang dapat
muncul pada kl appendicitis, antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (inflamasi
appendicitis) .(D.0077)
b. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada
appendicitis). (D.0130)
c. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0080
d. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara
aktif (muntah). (D.0034)
e. Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive (D.0142).
H. PERENCANAAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi Keperawatan Pre Operatif
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
berhubungan dengan keperawatan diharapkan tingkat (I.08238).
agen pencedera nyeri (L.08066) dapat Observasi :
fisiologi (inflamasi menurun dengan Kriteria Hasil : 1. Identifikasi lokasi , 1. Sebagai dasar pengawasan
appendicitis).(D.0077) 1. Keluhan nyeri menurun. karakteristik,durasi, keefektifan intervensi
2. Meringis menurun frekuensi, kualitas
3. Sikap protektif menurun. nyeri, skala nyeri,
4. Gelisah menurun. intensitas nyeri
5. TTV dalam batas normal 2. Identifikasi respon 2. Untuk mengetahui intervensi
nyeri non verbal. yang akan di berikan
3. Identifikasi factor yang 3. Untuk mengetahui intervensi
memperberat dan yang akan diberikan
memperingan nyeri.
Terapeutik :
1. Berikan teknik 1. Untuk mengurangi nyeri yang
nonfarmakologis klien rasakan
untuk mengurangi rasa
nyeri.
2. Fasilitasi istirahat dan 2. Untuk mengurangi nyeri yang
tidur. klien rasakan
3. Kontrol lingkungan 3. Agar klien dapat merasa
yang memperberat nyaman jika lingkungan
rasa nyeri. tenang
Edukasi :
1. Jelaskan strategi 1. Agar dapat memberikan
meredakan nyeri intervensi yang tepat
2. Ajarkan teknik non 2. Agar mengurangi nyeri yang
farmakologis untuk klien rasakan
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian 1. Untuk menghilangkan nyeri
analgetik jika perlu
1.
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
berhubungan dengan keperawatan diharapkan (I.15506).
proses penyakit termoregulasi (L.14134) membaik Observasi :
(Infeksi pada dengan Kriteria Hasil : 1. Identifikasi penyebab 1. Untuk menentukan intervensi
appendicitis). (D.0130) 1. Menggigil menurun. hipertermia. yang tepat
2. Takikardi menurun. 2. Monitor suhu tubuh. 2. Agar dapat memberikan
3. Suhu tubuh normal (36,5- 3. Monitor haluaran intervensi yang tepat
37,5) urine.
4. Turgor kulit membaik Terapeutik :
1. Sediakan lingkungan 1. Agar klien tidak merasa
yang dingin. kepanasan
2. Longgarkan atau 2. Agar klien tidak merasa
lepaskan pakaian. kepanasan
3. Berikan cairan oral 3. Agar kebutuhan cairan klien
terpenuhi
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring 1. Agar klien dapat istirahat
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian 1. Untuk mengurangi demam
cairan dan elektrolit klien
intravena, jika perlu.
3. Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen
berhubungan dengan keperawatan Status cairan hypovolemia (I.03116).
kehilangan cairan (L.0328) membaik dengan Observasi : 1. Untuk menentukan intervensi
secara aktif (muntah). Kriteria Hasil : 1. Periksa tanda dan yang tepat
(D.0034) 1 TTV dalam batas normal gejala hipovolemia. 2. Untuk mengetahui kebutuhan
2 Membrane mukosa lembab. 2. Monitor intake dan cairan klien
3 Turgor kulit membaik. output cairan.
Terapeutik :
1. Berikan asupan cairan 1. Untuk mengetahui kebutuhan
oral cairan klien

Edukasi :
1. Anjurkan 1. Agar kebutuhan cairan klien
memperbanyak terpenuhi
asupan cairan oral.
2. Anjurkan 2. Agar klien tidak mual muntah
menghindari
perubahan posisi
mendadak.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian 1. Untuk mengurangi gejala mual
cairan IV. muntah klien
4. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas
dengan kurang keperawatan tingkat ansietas (I.09314).
terpapar informasi (L.01006) menurun dengan Observasi :
(D.0080) Kriteria Hasil : 1. Identifikasi saat 1. Untuk menentukan intervensi
1. Verbalisasi tingkat ansietas yang tepat
kebingungan menurun. berubah.
2. Verbalisasi khawatir akibat 2. Monitor tanda tanda
menurun. ansietas verbal non 2. Untuk menyiapkan tindakan
3. Prilaku gelisah menurun. verbal. atau terapi yang tepat
4. Prilaku tegang menurun. 3. Temani klien untuk 3. Agar cemas klien berkurang
mengurangi
kecemasan jika
perlu.
4. Dengarkan dengan 4. Agar klien merasa nyaman
penuh perhatian. karena didengarkan semua
keluhan yang dirasakan
5. Gunakan pendekatan 5. Agar klien merasa tenang dan
yang tenang dan tidak cemas lagi
meyakinkan.
6. Jelaskan prosedur, 6. Agar klien tahu apa yang di
termasuk sensasi alami dan mengetahui apa
yang mungkin yang harus dilakukan
dialami.
7. Anjurkan keluarga 7. Agar klien merasa tenang
untuk tetap bersama
klien, jika perlu. 8. Agar klien merasa tenang
8. Anjurkan dengan apa yang di alaminya
mengungkapkan
perasaan dan
persepsi. 9. Untuk mengurangi ketegangan
9. Latih teknik yang dirasakan oleh pasien
relaksasi.

Kolaborasi : 1. Untuk mengatasi kepanikan


1. Kolaborasi atau kecemasan yang tiba-tiba
pemberian obat muncul
antiansietas jika
perlu.

Intervensi Keperawatan Post Operatif

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
berhubungan dengan keperawatan tingkat nyeri (I.08238)
agen pencedera fisik (L.08066) menurun dengan Observasi :
(Prosedur operasi). Kriteria Hasil : 1. Identifikasi lokasi, 1. Sebagai dasar pengawasan
(D.0077) 1. Keluhan nyeri menurun. karakteristik, keefektifan intervensi
2. Meringis menurun. durasi,
3. Sikap protektif menurun. frekuensi, kualitas
4. Gelisah menurun. nyeri, intensitas
5. Frekuensi nadi nyeri, skala nyeri.
membaik. 2. Identifikasi respon 2. Untuk mengetahui intervensi
nyeri non verbal. yang akan di berikan
3. Identivikasi factor 3. Untuk mengetahui intervensi
yang memperberat yang akan diberikan
dan memperingan
nyeri.
Terapeutik :
1. Berikan teknik non 1. Untuk mengurangi nyeri yang
farmakologis klien rasakan
untuk mengurangi
rasa nyeri.
2. Kontrol lingkungan 2. Untuk mengurangi nyeri yang
yang memperberat klien rasakan
rasa nyeri.
3. Pertimbangkan jenis 3. Agar klien dapat merasa
dan sumber nyeri nyaman jika lingkungan tenang
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, 1. Agar dapat memberikan
periode, dan pemicu intervensi yang tepat
nyeri.
2. Jelaskan strategi 2. Agar mengurangi nyeri yang
meredakan nyeri klien rasakan
3. Ajarkan teknik non 3. Untuk mengurangi nyeri
farmakologisuntuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi : 1. Untuk menghilangkan nyeri
1. Kolaborasi pemberian
analgetik bila perlu.
2. Risiko hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen
ditandai dengan efek keperawatan Status cairan hypovolemia (I.03116)
agen farmakologis (L.0328) membaik dengan Observasi :
(D.0034) Kriteria Hasil : 1. Periksatanda 1. Untuk menentukan intervensi
1. Kekuatan nadi dan gejala hipovolemia. yang tepat
meningkat. 2. Monitor intake 2. Untuk mengetahui kebutuhan
2. Membrane mukosa lembap. dan output cairan. cairan klien
3. Frekuensi nadi membaik. Terapeutik :
4. Tekanan darah membaik. 1. Berikan asupan 1. Untuk mengetahui kebutuhan
5. Turgor kulit membaik. cairan oral cairan klien
Edukasi :
1. Anjurkan 1. Agar kebutuhan cairan klien
memperbanyak asupan terpenuhi
cairan oral.
2. Anjurkan menghindari 2. Agar klien tidak mual muntah
perubahan posisi
mendadak.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi 1. Untuk mengurangi gejala mual
pemberian cairan IV. muntah
3. Risiko Infeksi ditandai Setelah dilakukan tindakan Pencegahan
dengan efek prosedur keperawatan tingkat infeksi infeksi (I.14539)
infasive (D.0142). (L.14137) dengan Kriteria Hasil : Observasi :
2. Kebersihan tangan meningkat. 1. Monitor tanda 1. Untuk mengetahui dugaan
3. Kebersihan badan meningkat. dan gejala infeksi
4. Demam, kemerahan, nyeri, infeksi local dan
bengkak menurun. sistemik.
5. Kadar sel darah putih 2. Batasi jumlah 2. Untuk mengurangi resiko
meningkat. pengunjung infeksi
3. Berikan 3. Untuk mengurangi resiko
perawatan kulit infeksi
pada area edema.
4. Cuci tangan 4. Untuk meengurangi resiko
sebelum dan infeksi nosokomial
sesudah kontak
dengan klien dan
lingkungan klien.
5. Pertahankan 5. Mencegah terjadinya resiko
teknik aseptic infeksi
pada klien
beresiko tinggi.
Edukasi :
1. Jelaskan tanda dan 1. Agar klien mengetahui tanda
gejala infeksi. dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci 2. Agar klien mengetahui cara
tangan dengan benar. cuci tangan yang benar
3. Ajarkan etika batuk. 3. Agar klien mengetahui etika
batuk
4. Anjurkan 4. Agar kebutuhan nutrisi
meningkatkan asupan terpenuhi
nutrisi.
5. Anjurkan 5. Agar kebutuhan cairan
meningkatkan asupan terpenuhi
cairan.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian 1. Untuk meningkatkan imun
imunisasi jika perlu. tubuh
I. Daftar Pustaka
Ariska, D. W., & Ali, M. S. (2019). Pengaruh Kebiasaan Konsumsi Junk Food
Terhadap Kejadiaan Obesitas Remaja. Jurnal Kesehatan Surya Mitra
Husada, 1–7.
Burkitt, and R. (2010). Appendicitis. In: Essential Surgery Problems,
Diagnosis, & Management . (4th ed.). London: Elsevier Ltd.
goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A. (2019). Kebiasaan Konsumsi
Makanan Cepat Saji Pada Siswa Kelas Viii Smp Negeri 1 Yogyakarta.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Erwin Hidayat, Laporan praktik klinik semester 6 pada klien 1
Jong, S. & de. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Kiik, S. M. (2018). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Waktu Pemulihan
Peristaltik Usus Pada Ruang ICU BPRSUD Labuang Baji Makassar.
Nurarif, A. H., &amp; Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai
Kasus. Jogjakarta: Mediaction
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
RAdwan, G. M. (2013). Penyakit Hati, Lambung, Usus, dan Ambeien
(Cetakan 1).
Yogyakarta: Nuha Medika.
Sibuea, S. H. (2014). Perbedaan Antara Jumlah Leukosit darah Pada Klien
Appendisitis Akut dengan Appendisitis Perforasi di RSUP Dr. Kariadi
Semarang.
Sjamsuhidajat & de jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta.
Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brurner &
Suddarath (8th ed.). Jakarta: EGC.
Sofiah, Wiwik. (2017). Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami Post Op
Apendiktomi Dengan Resiko Infeksi di RSUD Kota Jakarta
Utara. 8(2), 1–10.
Stang dalam Novita. (2017). GAMBARAN KEBIASAAN KONSUMSI
MAKANAN CEPAT SAJI (FAST FOOD). (1).
Sulikhah, N. M. (2014). Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada
Pasein Operasi Apendiktomi di Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Moewardi. 1–12.

Anda mungkin juga menyukai