Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

“APENDISITIS”

DI RUANGAN JANGER, RSD MANGUSADA BADUNG

OLEH:

NAMA : NI MADE AYU PRIYASTINI

NIM : 17.321.2695

KELAS : A11-A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

2019
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
“APENDISITIS”

A. APENDISITIS
Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan
berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan
berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung.
Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks
memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada
appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna
untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak
appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic
(panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus)
1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah
ini.

Appendiks pada saluran pencernaan


Anatomi appendiks Posisi Appendiks

Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri,
netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya.
Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh
tubuh.
1. Definisi
a. Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding
organ, dimana patogenis utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang
disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat).
Patofisiologi Edisi 4 hal 448.
b. Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
c. Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010)

2. Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana,
65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi
dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

e. Faktor infeksi saluran pernapasan


Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza
dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat.
3. Klasifikasi
a. Apendisitis akutadalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada
dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi
dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak
dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer
sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri
pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis
kronik antara 1-5 persen.

d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang
di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi
menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn
lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan
apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.

e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa.
Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut
kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat
bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
f. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi
atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional,
dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh
lebih baik dibanding hanya apendektomi.

g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus
tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan
gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan
residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen
patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor,
dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

APENDISITIS
4. ManifestasiKlinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis antara lain :
a. Nyeri perut.
Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai
dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik
Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk
apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks).
Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri bawah, punggung,
atau di bawah pusar. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya
perforasi.
b. Anoreksia (penurunan nafsu makan)
c. Mual dan muntah
Dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama,
kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali.
d. Keinginan BAB atau kentut.
e. Demamjuga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak
lebih dari 1oC (37,8oC – 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8oC.
Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut
(peritonitis).

Timbulnya gejala yang bergantung pada letak apendiks ketika meradang.


Berikut gejala yang timbul tersebut :
1) Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung
oleh sekum),
a) Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal.
b) Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan
gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan.
c) Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari
dorsal.
2) Bila apendiks terletak di rongga pelvis
a) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala
dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
b) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa
keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

5. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut
fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada
anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
Idiopatik makan tak teratur (makan berserat) Kerja fisik yang keras

Massa keras feses, hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing,

Obstruksi lumen

Penekanan intralumen

Suplay aliran darah menurun

Mukosa terkikis

 Perforasi Peradangan pada appendiks distensi abdomen Perubahan


pola eliminasi
 Abses
 Peritonitis Nyeri
Menekan gaster

Appendiktomy pembatasan intake cairan peningk prod HCL

cemas
Insisi bedah mual, muntah

Resikokurang
Terputusnyakontinuita volume cairan Ketidakseimbangan
sjaringan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Kurang pengetahuan
Resikoterjadinf Nyeri
eksi

6. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan
dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan
biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa,
terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini
menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi
pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-
15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks
yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun
jenis komplikasi diantaranya:
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.

7. Penatalaksanaan
a. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendiktomi.
Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
1) Cara terbuka
2) Cara laparoskopi.
b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik
kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob.
Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat
dilakukan.
Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan
melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi.
Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis
serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah
dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan
tindakan bedah.
c. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan
Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan
Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
(Brunner & Suddart, 1997)

8. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
2) Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan
apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut
kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang
terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada
apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas : dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan uji obturato :dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini
akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.

b. Laboratorium.
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat.
1) Pemeriksaan darah
Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada
kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
2) Pemeriksaan urine.
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini
sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran
kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
appendisitis.
3) Radiologi.
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum.
4) Abdominal X-Ray.
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan
ini dilakukan terutama pada anak-anak.
5) USG. Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai
untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
6) Barium enema.
Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
7) Laparoscopi.
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam
abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di
bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan
peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan
pengangkatan appendix

B. KonsepDasarAsuhanKeperawatan
1. Pengkajian
Wawancara
a. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai:
Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa
waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul
nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh
rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan
klien sekarang.
c. Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
d. Kebiasaan eliminasi: Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya
distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.
2) Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit
yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.
3) Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan
sakit pinggang.
4) Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam
pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
5) Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran
kelenjar getah bening.
f. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
g. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
h. Demam lebih dari 38oC.
i. Data psikologis klien nampak gelisah.
j. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
k. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri
pada daerah prolitotomi.
l. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.

2. Diagnose Keperawatan
a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi)
2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4) Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual,muntah, anoreksia.
b. Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).
2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post
pembedahan).
3) Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d
kurang informasi.

4. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah di susun pada tahap perencanaan. Ukuran intervensi keperawatan yang
diberikan kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk
memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk
mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari.

5. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan pada pasien denganApendisitisberdasarkan kriteria
hasil yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
Guyton & Hall. 2003. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : EGC
Mansjoer A,. dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby..

NANDA, 2012-2014, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Anda mungkin juga menyukai