Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN

SYSTEM PERNAFASAN : PPOK

Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah Keperawatan Gerontik

OLEH
KELOMPOK 2 :

1. Atika Miftahul Jannah 1811311014

2. Hamelda Fajri Weirpa 1811311016

3. Intan Fitria Arifin 1811311018

4. Mimi Srima Anisa 1811311020

5. Rini Agustina Susanti 1811311022

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan kerunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Asuhan
Keperawatan pada lansia dengan gangguan system Pernafasan: PPOK”.
Dalam kesempatan ini kelompok menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang
sebesar-besarnya atas segala bimbingan, pengarahan, saran-saran, bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak dari awal hingga selesainya makalah ini. Maka dari itu dengan segala
kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya.
Kelompok menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini
disebabkan oleh beberapa kendala seperti waktu dan sumber bacaan yang kami dapatkan.
Untuk itu saran dan kritikan diharapkan guna kesempurnaan makalah ini dan semoga dapat
bermanfaat bagi semua yang berkempentingan khususnya bagi kami.

Padang,12 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II KERANGKA TEORI
2.1 Defenisi PPOK 2
2.2 Faktor Resiko PPOK 2
2.3 Patofisiologi 4
2.4 Manifestasi Klinik 4
2.5 Diagnosis 4
2.6 Penatalaksanaan 7
2.7 Komplikasi 14
2.8 Pencegahan 15
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis………………………….15

BAB III SKENARIO DAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUS


3.1 Pengkajian 21
3.2 Analisis Data 22
3.3 Diagnosa Keperawatan 23
3.4 Intervensi Keperawatan 23
BAB IV KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan 26
4.2 Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia angka harapan hidup semakin meningkat. Pada tahun 1980 angka
tersebut 54 tahun untuk wanita dan laki-laki 50,9 tahun. Pada tahun 1985 meningkat lagi
61,5 tahun untuk wanita dan 57,9 tahun untuk laki-laki sedangkan pada tahun 1990 telah
mencapai 64,7 tahun untuk wanita dan 62,9 tahun untuk laki-laki (Sumampouw, 2002).
Jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa pada tahun 2025.
Hampir seperempat dari jumlah penduduk itu, atau sekitar 62,4 juta jiwa tergolong
kelompok manusia lanjut usia (lansia). Bahkan, jika menggunakan model proyeksi
penduduk PBB, jumlah lansia pada 2050 menjadi dua kali lipat atau sekitar 120 juta jiwa
lebih (Atmaji, 2007).
Menurut penjelasan Akhmadi, 2009 lansia adalah periode dimana organisme telah
mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran
sejalan dengan waktu. Pada lansia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Ada beberapa pendapat mengenai “usia
kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan
kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses
menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lansia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep dari asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan system
pernafasan : PPOK ?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada lansia yang mengalami gangguan system
pernafasan : PPOK ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Konsep dari asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan system
pernafasan : PPOK
2. Mengetahui Asuhan Keperawatan Pada lansia yang mengalami gangguan system
pernafasan : PPOK

1
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Definisi
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai
penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap
tingkat keparahan pasien. PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi
abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu
penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus,
penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa
merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan
keduanya.Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema
bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut
PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.
2.2 Faktor Risiko
PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase
eksaserbasi akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi
perburukan yang mendadak dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh suatu
faktor pencetus dan ditandai dengan suatu manifestasi klinis yang memberat.
Secara umum resiko terjadinya PPOK terkait dengan jumlah partikel gas yang
dihirup oleh seorang individu selama hidupnya serta berbagai faktor dalam individu
itu sendiri.
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok
merupakan salah satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan
faktor resiko utama dalam terjadinya PPOK. Asap rokok yang dihirup serta
merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada kejadian PPOK karena
mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak lama telah
disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis
kronis dan emfisema.

2
2. Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat
diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan
yang khas termasuk penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu
kapas tekstil telah diketahui sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara
kronis.
3. Polusi Udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada
orang-orang yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan
mereka yang tinggal di daerah pedesaan, yang berhubungan dengan
meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan.
4. Infeksi Berulang Saluran Respirasi
Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial
dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama
infeksi saluran nafas bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa
anak-anak juga telah dinyatakan sebagai faktor predisposisi potensial pada
perkembangan akhir PPOK.
5. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap
berbagai stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah
satu ciri- ciri dari asma. Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK juga
memiliki ciri- ciri jalan nafas yang hiperesponsif. Pertimbangan akan
tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan PPOK dalam kepekaan jalan
nafas, obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal mengarahkan kepada
perumusan hipotesis Dutch yang menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis,
dan emfisema merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang
dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik untuk menghasilkan
gambaran patologis yang nyata.
6. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya
PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi
defisiensi α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik
memiliki pengaruh terhadap kecenderungan untuk berkembangnya PPOK.
α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat penting untuk

3
perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri,
leukosit PMN, dan monosit.

2.3 Patofisiologi
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan
fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara
anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru dikarenakan
adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan
struktural pada paru. Dalam keadaan normal, radikal bebas dan antioksidan
berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan
pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal
bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari
berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu
partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran
pernapasan dan mengendap hingga terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada
lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia.
Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan
iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa
akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih.
Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya
hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang
produktif.

2.4 Manifestasi klinis


1) Sesak napas yang hebat
2) Timbulnya bunyi mengi pada saat bernapas
3) Bibir terlihat lebih pucat atau tampak kebiruan
4) Batu berdahak atau tidak berdahak yang berulang
5) Bentuk dada terlihat seperti tong kulit
6) Perubahan kulit menjadi kemerahan
7) Mudah merasa lelah
8) Nafsu makan menurun dan berat tidak stabil

2.5 Diagnosis
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis (anamnesis dan

4
pemeriksaan fisik) dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Poin penting yang dapat ditemukan pada anamnesis pasien PPOK diantaranya:
 Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang, dapat dengan
produksi sputum pada awalnya sedikit dan berwarna putih kemudian menjadi
banyak dan kuning keruh.
 Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok, riwayat paparan zat
iritan dalam jumlah yang cukup banyak dan bermakna.
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada
masa kecil, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR)
 Sesak napas yang semakin lama semakin memberat terutama saat melakukan
aktivitas berat (terengah-engah), sesak berlangsung lama, hingga sesak yang
tidak pernah hilang sama sekali dengan atau tanpa bunyi mengi.
b. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi
1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang berusaha
mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam paru akibat gagal nafas
kronis.
2. Penggunaan alat bantu napas
Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi dinding dada, hipertropi
otot bantu nafas, serta pelebaran sela iga
3. Barrel chest
Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter antero-
posterior dan transversal pada rongga dada akibat usaha memperbesar
volume paru.
4. Pink puffer
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit
kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lips breating.
5. Blue bloater
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu
pasien tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema

5
tungkai dan ronki basah di basal paru.
 Palpasi : Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga
melebar. Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.
 Perkusi : Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap,
batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
terutama pada emfisema.
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan
atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi
memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)
Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat
perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting
untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam
berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal
udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital
capacity (FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan
pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut
dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Uji ini dilakukan
saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut). Dari hasil
pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat digunakan
untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat
obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:
1. Stage I : Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio
FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.

2. Stage II : Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80%
dari nilai prediksi.
3. Stage III : Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-
50% dari nilai prediksi.
4. Stage IV : Sangat Berat

6
Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30%
ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.
 Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran
hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler
(memanjang tipis vertikal).
 Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat
penting dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tanda-
tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral,
pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure.Analisa
gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi,
dan untuk memantau keseimbangan asam basa.
 Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
 Pemeriksaan Darah rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor
pencetus seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut,
polisitemia pada hipoksemia kronik.
 Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui
komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi
pulmonal.
2.6 Penatalaksanaan
Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat, seperti:
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan

7
atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus
otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi
pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru.
Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi dinamis saat istirahat
dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada kasus
PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi
perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.
2. Beta2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran pernafasan
dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana akan meningkatkan
siklus AMP dan memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan
bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist dengan kerja pendek (SABA) dan
kerja panjang (LABA), dimana efek SABA biasanya muncul dalam 4-6 jam.
Penggunaan SABA secara regular dapat meningkatkan FEV1 dan memperbaiki
gejala. Untuk dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat
keuntungan apabila digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol
dibandingkan konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12
jam atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi
SABA.
3. Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada
reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting
antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok
reseptor neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi.
Long acting muscarinic antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor
muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan reseptor
muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator.
4. Methylxanthines
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering
digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi
oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal
respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek

8
perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian
salmeterol saja.
5. Anti-inflamasi
- Inhaled corticosteroid (ICS)
Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS menunjukkan respon yang
terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist, theophylline atau macrolide
dapat mempengaruhi sensitivitas kortikosteroid pada PPOK. Pada pasien
dengan PPOK kategori sedang-berat, kombinasi ICS dengan LABA lebih
efektif dalam memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan menurunkan
eksaserbasi.
- Terapi inhaler triple
Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA, LAMA, dan ICS,
dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi paru, pada risiko
eksaserbasi.
- Oral glukokortikoid
Sistemik glukokortikoid pada akut eksaserbasi menunjukkan laju
kegagalan terapi, laju kekambuhan, serta memperbaiki fungsi paru dan
sesak. Oral glukokortikoid memberikan efek terapi pada akut eksaserbasi,
namun tidak berperan pada kondisi kronis karena memiliki komplikasi
sistemik yang tinggi.
- Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitors
Prinsip kerjanya adalah dengan menurunkan inflamasi dengan
menghambat pemecahan siklus intraseluler AMP. Roflumilast merupakan
obat oral yang dikonsumsi 1 kali sehari tanpa aktivitas bronkodilator.
Efeknya adalah menurunkan eksaserbasi sedang dan berat yang telah diobati
dengan kortikosteroid sistemik pada pasien bronchitis kronis, PPOK
berat sampai sangat berat, dan riwayat eksaserbasi.
6. Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular
dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3
kali per minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun
dapat menurunkan risiko eksaserbasi.
7. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan

9
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.
2.6.1 Penatalaksanaan Pada Keadaan Stabil
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk menurunkan
gejala, menurunkan frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan meningkatkan
toleransi terhadap aktivitas dan status kesehatan.
A. Terapi farmakologi
1. Populasi A, menggunakan bronkodilator dengan pilihan pertama SAMA
atau SABA (jika diperlukan). Pilihan kedua digunakan LAMA atau LABA
atau SAMA dan SABA. Sedangkan untuk pilihan alternative digunakan
theophylline.
2. Populasi B menggunakan pilihan pertama LAMA atau LABA, pilihan kedua
digunakan LAMA dan LABA, serta pilihan alternative digunakan SABA
dan/atau SAMA dan theophylline.
3. Populasi C dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA, pilihan
kedua menggunakan LAMA dan LABA, sedangkan pilihan alternative
dapat menggunakan PDE4-inhibitor, SABA dan/atau SAMA, serta
theophylline.
4. Populasi D dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA. Pilihan
kedua menggunakan beberapa pilihan obat yaitu ICS dan LAMA atau
ICS+LABA dan LAMA atau ICS+LABA dan PDE4- inhibitor atau LAMA
dan LABA atau LAMA dan PDE4-inhibitor. Sedangkan untuk pilihan
alternative dapat menggunakan corbocysteine, SABA dan/atau SAMA, serta
theophylline.
B. Terapi non-farmakologi
1. Edukasi dan self managemen
Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien tetap berpikir
positif dalam mengahadapi penyakitnya. Berdasarkan GOLD 2017, Kelompok
A,B,C, dan D, dapat memodifikasi faktor risiko, termasuk merokok, mengatur
aktivitas fisik dan mengatur tidur dan pola hidup sehat. Sedangkan khusus
untuk Kelompok B dan D, harus dapat melakukan penanganan terhadap gejala
sesak, teknik konservasi energi dan management stress. Kelompok C dan D
dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap faktor pemicu, monitoring dan

10
menangani gejala buruk, dan mempunyai rencana serta mengatur komunikasi
dengan tenaga kesehatan. Kelompok D harus mulai melakukan diskusi paliative
dengan tenaga kesehatan.
2. Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru
Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas. Oleh karena itu
perlu memilih aktivitas agar tidak terjadi eksaserbasi melalui beberapa
program. Program rehabilitasi paru, khusunya pada kelompok B, C, D dapat
mencegah proses teradinya eksaserbasi. Program rehabilitasi termasuk
pelatihan aktivitas fisik, konseling nutrisi, berhenti merokok, dan edukasi.
Program latihan fisik dapat mengurangi gejala yang muncul saat melakukan
aktivitas berat serta dapat meningkatkan efek kerja obat LABA/LAMA.
3. Vaksinasi
Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23 direkomendasikan pada
pasien dengan umur > 65 tahun. PPSV23 juga direkomendasikan pada pasien
PPOK umur muda dengan penyakit komorbid gagal jantung kronik atau
penyakit paru lainnya.
4. Terapi oksigen
Indikasi:
 PaO2 <7,3 kPa (55mmHg) atau SaO2 <88% dengan atau tanpa hiperkapnia
2 kali dalam 3 minggu atau
 PaO2 7,3 kPa (55 mmHg)- 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO 2 88%, jika
terdapat hipertensi pulmonal, edema perifer yang mengarah pada gagal
jantung kongestive, atau policitemia (HCT>55%). Terapi ini harus
dievaluasi 60-90 hari dengan analisa gas darah
5. Terapi ventilasi
Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia yang terjadi setiap hari
dan sering hospitalisasi, dimana terapi sistemik tidak menunjukkan perbaikan.
6. Intervensi bronkoskopi dan operasi Indikasi dilakukan tindakan ini adalah:
a. Pasien dengan enfisema heterogen atau homogen dan signifikan refrakter
hiperfentilasi, dimana tindakan dilakukan untuk menurunkan volumen
paru.
b. Pasien dengan bulla yang besar, dapat disarakan operasi bullektomi
c. Pasien PPOK sangat berat tanpa kontraindikasi, disarankan melakukan

11
transplantasi paru.
2.6.2 Penatalaksanaan Pada Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti kejadian kompleks dengan peningkatan
inflamasi saluran pernafasan, peningkatan produksi mukus dan
terperangkapnya udara dalam saluran pernafasan. Hal tersebut menimbukan
gejala sesak sebagai gejala khas eksaserbasi. Eksaserbasi akut dibagi menjadi
tiga:
1. Tipe I ( eksaserbasi berat), memilki 3 gejala di atas. Harus segera
hospitalisasi dan berhubungan dengan gagal nafas akut.
2. Tipe II (eksaserbasi sedang) memiliki 2 gejala di atas. Terapi dengan
SABDs dan antibiotik dan/atau oral kortikosteroid
3. Tipe III (eksaserbasi ringan) memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran pernapasan atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline. Terapi
dengan bronkodilator kerja pendek.
Penyebab eksaserbasi akut dapat berupa primer karena infeksi trakeobronkial
(biasanya karena virus); sekunder : pneumonia, gagal jantung kanan, atau kiri,
atau aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang
tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat,
penyakit metabolic (DM, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan
memburuk/polusi udara, aspirasi berulang, stadium akhir penyakit respirasi
(kelelahan otot respirasi).
Indikasi pasien harus dirawat di rumah sakit tergantung pada derajat eksaserbasi
dan gejala klinis pasien, dengan mengikuti kriteria :
1. Tidak terdapat gagal pernapasan : RR 20-30x/menit, tidak menggunakan otot
pernapasan aksesoris, tidak terdapat perubahan status mental, hipoksemia
membaik dengan tambahan oksigen melalui masker venturi 28-35%, tidak
terdapat peningkatan PaCO2.
2. Gagal nafas akut-tidak mengancam nyawa: RR >30x/menit, menggunakan
bantuan otot pernapasan, tidak terdapat perubahan status mental,
hipoksemia membaik dengan tambahan oksigen melalui masker venturi 34-
40%, hiperkarbia, PaCO2 meningkat 50-60 mmHg.

12
3. Gagal nafas akut-mengancam nyawa : RR>30x/menit, menggunakan
bantuan otot pernapasan, perubahan akut status mental, hipoksemia tidak
membaik dengan tambahan oksigen melalui masker venturi >40%,
hiperkarbia, PaCO2 meningkat >60 mmHg, asidosis (pH≤ 7,25).

A. Terapi farmakologi
1. Bronkodilator
Beta2-agonist kerja pendek dengan atau tanpa antikolinergik kerja
pendek merupakan terapi bronkodilator utama pada pasien PPOK dengan
eksaserbasi. Tidak terdapat perbedaan efek yang signifikan antara
penggunaan metered dose inhaler (MDI) dan nebulizer. Pasien yang tidak
mendapatkan nebul secara berlanjut dapat menggunakan MDI inhaler 1
semprot setiap 1 jam untuk 2-3 dosis dan setiap 2-4 jam berdasarkan respon
pasien.
2. Glukokortikoid
Sistemik glukokortikoid pada pasien PPOK dapat menurunkan waktu
eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru. Selain itu juga memperbaiki
oksigenasi, risiko kejadian berulang, kegagalan terapi dan lamanya dirawat
di rumah sakit. Terapi prednisolon oral memiliki efektivitas yang sama
dengan terapi intravena dan nebul budesonide dapat sebagai alternatif
kortikosteroid oral pada terapi PPOK eksaserbasi.
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik berdasarkan gejala klinis infeksi bakteri seperti
peningkatan produksi dan konsistensi sputum. Antibiotik dapat diberikan
apabila pasien memiliki gejala cardinal seperti sesak , peningkatan volume
dan konsistensi sputum, terdapat 2 gejala dari 3 gejala, terdapat peningkatan
konsistensi sputum sebagai salah satu gejala dari 2 gejala atau memerlukan
ventilasi mekanik (invasive atau noninvasive). Lama pemberian antibiotik
adalah 5-7 hari. Pada pasien dengan eksaserbasi yang berulang, keterbatasan
aliran udara, dan/atau eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanik,
hasil kultur yang menunjukkan bakteri gram negatif, dapat menunjukkan
gejala resisten terhadap antibiotik tersebut.
4. Terapi pendukung
Terapi ini diberikan berdasarkan kondisi pasien seperti kebutuhan

13
keseimbangan cairan, diuretik, antikoagulan apabila terdapat indikasi atau
penyakit komorbid diikuti dengan edukasi berhenti merokok. Pada
pasien yang dirawat di rumah sakit, PPOK dengan eksaserbasi meningkatkan
risiko terjadinya deep vein thrombosis, emboli paru, sehingga diperlukan
pemeriksaan lanjutan.
5. Terapi oksigen
Terapi oksigen harus dititrasi pada pasien dengan hipoksemia dengan
saturasi target 88-92%. Ketika memulai terapi oksigen, analisa gas darah
harus dilakukan untuk mengetahui oksigenasi tanpa retensi karbodioksida
dan/atau asidosis yang memburuk. Pemberian oksigen dengan masker
venturi menunjukkan hasil yang akurat dibandingkan dengan nasal prongs.
6. Terapi ventilasi
Pemberian terapi ventilasi pada kasus PPOK eksaserbasi dapat secara
noninvasive (nasal atau facial mask) atau invasive (oro-tracheal tube atau
tracheostomy), Ventilasi mekanik noninvasive diberikan pada pasien gagal
nafas akut yang sudah hospitalisasi dan mengalami PPOK eksaserbasi.
Ventilasi mekanik invasive diberikan dengan indikasi kegagalan terapi
ventilasi mekanik non- invasive sebagai terapi pertama pada gagal nafas
akut, PPOK eksaserbasi. Efek samping yang ditimbulkan berupa risiko
infeksi pneumonia (multi- resisten organisme), barotrauma dan volutrauma.
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah:
a. Gagal nafas
 Gagal nafas kronis
Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO 2 dan PCO2, bronkodilator
adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu
tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan pursed lips breathing.
 Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan
atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran
menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi

14
kronis ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal jantung kanan.

2.8 Pencegahan
a. Mencegah terjadinya PPOK dengan menghindari asap rokok, hindari polusi
udara, hindari infeksi saluran pernapasan berulang.
b. Mencegah perburukan PPOK dengan berhenti merokok, gunakan obat-obatan
adekuat, mencegah eksaserbasi berulang. Strategi yang dianjurkan oleh Public
Health Service Report USA adalah: ask, lakukan identifikasi perokok pada
setiap kunjungan; advice, terangkan tentang keburukan/dampak merokok
sehingga pasien didesak mau berhenti merokok; assess, yakinkan pasien untuk
berhenti merokok; assist, bantu pasien dalam berhenti merokok; dan arrange,
jadwalkan kontak usaha berikutnya yang lebih intesif, bila usaha pertama masih
belum memuaskan.
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis
1. Pengkajian
a. Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku,
bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis,
nomor registrasi.
b. Keluhan utama : Biasanya pasien PPOK mengeluh sesak nafas dan batuk
yang disertai sputum.
c. Riwayat kesehatan sekarang : Biasanya pasien PPOK mengeluhkan sesak
napas, kelemahan fisik, batuk yang disertai dengan adanya sputum.
d. Riwayat kesehatan dahulu : Biasanya ada riwayat paparan gas berbahaya
seperti merokok, polusi udara, gas hasil pembakaran dan mempunyai riwayat
penyakit seperti asma (Ikawati 2016).
e. Riwayat kesehatan keluarga : Biasanya ditemukan ada anggota keluarga
yang mempunyai riwayat alergi (asma) karna asma merupakan salah satu
penyebab dari PPOK.
f. Pemeriksaan Fisik
1) Gambaran umum

15
Biasanya kesadaran pasien compos mentis dan Secara sistemik dari
kepala sampai ujung kaki
a. Kepala : Biasanya rambut tidak bersih karena pasien dengan PPOK
mengalami penurunan toleransi terhadap aktifitas termasuk perawatan
diri.
b. Mata : Biasanya mata simetris, sklera tidak ikterik
c. Telinga : Biasanya telinga cukup bersih,bentuk simetris dan
fungsi pendengaran normal
d. Hidung : Biasanya hidung simetris, hidung bersih
e. Leher : Biasanya tidak ditemukan benjolan
f. Paru
 Inspeksi : Biasanya terlihat klien mempunya bentuk dada barrel
chest penggunaan otot bantu pernafasan
 Palpasi : Biasanya premitus kanan dan kiri melemah
 Perkusi : Bisanya hipersonor
 Auskultasi : Biasanya terdapat ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat keparahan obstruktif
g. Jantung
 Inspeksi : bisanya ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : biasanya ictus cordis teraba
 Auskultasi : biasanya irama jantung teratur
h. abdomen
 inspeksi : biasanya tidak ada asites
 palpasi : biasanya hepar tidak teraba
 perkusi : biasanya timphany
 auskultasi : biasanya bising usus normal
i. ekstremitas : biasanya didapatkan adanya jari tabuh (clubbing
finger) sebagai dampak dari hipoksemia yang berkepanjangan
( Muttaqin, 2012).
g. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pengukuran fungsi paru
a) Kapasitas inspirasi menurun dengan nilai normal 3500 ml b)
Volume residu meningkat dengan nilai normal 1200 ml

16
b) FEV1 (forced expired volume in one second) selalu menurun :
untuk menentukan derajat PPOK dengan nilai normal 3,2 L
c) FVC (forced vital capacity) awalnya normal kemudian
menurun dengan nilai normal 4 L
d) TLC (Kapasitas Paru Total) normal sampai meningkat sedang
dengan nilai normal 6000 ml
2) Analisa gas darah.
PaO2 menurun dengan nilai normal 75-100 mmHg, PCO2 meningkat
dengan nilai normal 35-45 mmHg dan nilai pH normal dengan nilai
normal 7,35-7,45
3) Pemeriksaan Laboratorium
a) Hemoglobin (Hb) meningkat dengan nilai normal pada wanita 12-
14 gr/dl dan laki-laki 14-18 gr/dl , hematocrit (Ht) meningkat dengan
nilai normal pada wanita 37-43 % dan pada laki-laki 40-48 %
b) Jumlah darah merah meningkat dengan nilai normal pada

3 3
wanita 4,2-5,4 jt/mm dan pada laki-laki 4,6-6,2 jt/mm

c) Eosonofil meningkat dengan nilai normal 1-4 % dan total IgE


serum meningkat dengan nilai normal < 100 IU/ml
d) Pulse oksimetri , SaO2 oksigenasi meningkat dengan nilai
normal > 95 %.
e) Elektrolit menurun
4) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman / kultur adanya infeksi campuran .
kuman pathogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus pneumonia,
hemophylus influenzae.
5) Pemeriksaan radiologi Thoraks foto (AP dan lateral)
Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung dan
bendungan area paru (Muttaqin, 2012)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang biasa ditemukan pada pasien dengan PPOK menurut
NANDA (2015) adalah sebagai berikut :
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus berlebihan,
batuk yang tidak efektif ditandai dengan tidak ada batuk, suara nafas

17
tambahan, perubahan pola nafas, perubahan frekuensi naafas, sianosis,
dispnea, sputum dalam jumlah berlebihan dll.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi ditandai
dengan gas darah arteri abnormal, warna kulit abnormal, pola pernafasan
abnormal, penurnan kadari CO2, dispnea, hipoksia, dll
3) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan,
penggunaan otot bantu pernafasan ditandai dengan pola nafas abnormal,
perubahan ekskursi dada, bradipnea, penurunan tekanan ekspirasi, inspirasi,
ventilasi semenit, kapasitas vital, dispnea, pernafasan cuping hidung, dll
4) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai O2 ke
sel dan jaringan kurang
5) Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan kurang asupan makanan

3. Rencana Keperawatan

NO DIAGNOSA NOC NIC

1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan nafas


1 bersihan jalan nafas keperawatan diharapakan a) Posisikan pasien untuk
berhubungan dengan manajemen diri : penyakit memaksimalkan
mukus berlebihan, paru obstruktif kronis ventilasi

batuk yang tidak efektif dengan kriteria hasil : b) Lakukan fisioterapi

ditandai dengan tidak a) Secara konsisten dada sebagai mana

menunjukkan mestinya
ada batuk, suara nafas
menerima diagnosis c) Buang secret dengan
tambahan, perubahan
b) Secara konsisten memotivasi pasien
pola nafas, perubahan
mencari informasi untuk melakukan batuk
frekuensi naafas,
tentang cara mecegah atau menyedot lender
sianosis, dispnea,
komplikasi d) Instruksikan bagaimana
sputum dalam jumlah
c) Secara konsisten agar bias melakukan
berlebihan dll.
menunjukkan batuk efektif
Definisi : e) Auskultasi suara nafas
menjalankan aturan
Ketidakmampuan f) Posisikan untuk
pengobatan sesuai
membersihkan meringankan sesak
resep
sekresi atau
d) Secara konsisten nafas

18
obstruksi dari menunjukkan
saluran nafas berpartisipasi dalam
untuk aturan berhenti

mempertahankan merokok

bersihan jalan nafas


2 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Manajemen Asam Basa
2 gas berhubungan tindakan keperawatan a) Pertahankan kepatenan
dengan ventilasi- diharapakan jalan nafas
perfusi ditandai keseimbangan elektrolit b) Posisikan klien untuk

dengan gas darah dan asam basa dengan mendapatkan ventilasi

arteri abnormal, kriteria hasil : yang adekuat


c) Monitor
warna kulit abnormal, a) frekuensi pernafasan
kecenderungan pH
pola pernafasan tidak ada deviasi dari
arteri, PaCO2
abnormal, penurnan kisaran normal
dan HCO3 dalam
kadari CO2, dispnea, b) irama pernafasan
rangka
hipoksia, dll tidak ada deviasi dari
mempertimbangkan
kisaran normal
jenis
Definisi : c) serum pH tidak ada
ketidakseimbangan
Kelebihan atau deficit deviasi dari kisaran
yang terjadi ( misalnya,
oksigenasi dan/atau normal
respiratorik atau
eliminasi d) serum karbondioksida
metabolic) dan
karbondioksida pada tidak ada deviasi dari
kompensasi mekanisme
membrane alveolar- kisaran normal fisiologis yang terjadi
kapiler (misalnya, kompensasi
paru atau ginjal dan
penyangga fisiologis)
3 Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan Terapi oksigen
3 nafas berhubungan tindakan keperawatan a) Pertahankan kepatenan
dengan keletihan otot diharapkan status jalan nafas
pernafasan, pernafasan : ventilasi b) Siapkan peralatan

penggunaan otot dengan kriteria hasil : oksigen dan berikan

bantu pernafasan a) Frekuensi pernafasan melalui system

19
ditandai dengan pola tidak ada deviasi dari humidifier
nafas abnormal, kisaran normal c) Berikan oksigen
perubahan ekskursi b) Irama pernafasan tambahan seperti yang

dada, bradipnea, tidak ada deviasi dari diperintahkan

penurunan tekanan kisaran normal d) Monitor aliran oksigen


e) Monitor efektifitas
ekspirasi, inspirasi, c) Suara perkusi nafas
terapi oksigen
ventilasi semenit, tidak ada deviasi dari
kapasitas vital, kisaran normal
dispnea, pernafasan
cuping hidung, dll
Defenisi: Inspirasi dan
atau ekspirasi yang
tidak memberi ventilasi
adekuat.

20
BAB III
SKENARIO DAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
KASUS
Tn. S 67 tahun, datang ke RS dengan keluhan sesak nafas sejak ± 1 hari yang lalu.
Sesak dirasakan tidak berkurang dari kemarin. Keluhan sesak sudah dirasakan saat pasien
melakukan pekerjaan ringan seperti jalan di sekitar rumah. Keluhan sesak disertai dengan
batuk berdahak yang kadang-kadang muncul tapi tidak disertai dengan nyeri dada. Pasien
merasa lemah dan lelah, serta merasa tidak nyaman setelah beraktivitas. Pasien mengatakan
sudah sering merasakan sesak seperti ini sejak ± 2 tahun yang lalu dan ini merupakan
kunjungan yang ke-3 ke rs. Setiap kunjungan ke pasien diterapi uap (nebulizer) dengan obat
fluxotide dan ventolin. Pasien mengatakan setiap setelah diuap, pasien merasakan nafas lebih
lega dan terasa lebih ringan. Pasien memiliki riwayat merokok sejak ± 25 tahun yang lalu
dengan jumlah rata-rata rokok yang dihisap seharinya mencapai 5 bungkus (80 batang).
Namun, pasien mengatakan sudah berhenti merokok sejak tahun 2010. Tn.S mengatakan
sudak pensiun dari pekerjaannya. Pada pemeriksaan didapatkan penampilan kurus
(underweight).Tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 96 x/menit, frekwensi nafas 32 x/menit,
suhu 36,7 ˚C, indeks massa tubuh 18 Kg/m2 . Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan adanya
pelebaran sela iga, fremitus taktil melemah simetris paru kiri dan kanan, perkusi hipersonor,
dan suara nafas vesikuler melemah simetris pada paru kiri dan kanan. Jantung, abdomen,
punggung, dan ekstremitas dalam batas normal. Status neurologis, reflek fisiologis normal,
refleks patologis tidak ditemukan. Pemeriksaan Laboratorium menunjukkan hasil PCO3 46,00
mmHg, Ph 7,47,Po2 69,00 mmHg
3.1 Pengkajian
A. Data Umum
Nama : Tn. S
Umur :67 Tahun
Jenis Kelamin :Laki-laki
Pekerjaan : Pensiunan
B. Alasan Masuk

21
Sesak nafas sejak lebih kurang satu hari yang lalu, walaupun melakukan pekerjaan
ringan seperti berjalan di sekitar rumah. Sesak dirasakan tidak berkurang dari kemarin

C. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Kesehatan Sekarang


Sesak nafas sejak ± 1 hari yang lalu. Sesak dirasakan tidak berkurang dari
kemarin. Keluhan sesak sudah dirasakan saat pasien melakukan pekerjaan ringan
seperti jalan di sekitar rumah. Keluhan sesak disertai dengan batuk berdahak yang
kadang-kadang muncul tapi tidak disertai dengan nyeri dada
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan sudah sering merasakan sesak seperti ini sejak ± 2 tahun yang
lalu dan ini merupakan kunjungan yang ke-3 ke RS. Pasien memiliki riwayat
merokok sejak ± 25 tahun yang lalu dengan jumlah rata-rata rokok yang dihisap
seharinya mencapai 5 bungkus (80 batang). Namun, pasien mengatakan sudah
berhenti merokok sejak tahun 2010
D. Pemeriksaan fisik
a. IMT : 18
b. Keadaan umum : Kurus
c. Tanda-tanda vital : TD = 120/80 mm, N= 96 x/menit, RR= 32 x/menit, S= 36,7
˚C
d. Dada : Palpasi :Adanya pelebaran sela iga, fremitus taktil melemah simetris paru
kiri dan kanan.
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah simetris pada paru kiri dan kanan
E. Pemeriksaan Laboratorium
PCO3 : 46,00 mmHg
Ph: 7,47
Po2 : 69,00 mmHg

3.2 Analisa Data


No Data Masalah Etiologi
1 DS : Gangguan Pertukaran Ketidakseimbangan

22
- Keluhan sesak nafas sejak ± 1 Gas Ventilasi-Perfusi
hari yang lalu
- Keluhan sesak yang kadang-
kadang muncul tapi tidak disertai
dengan nyeri dada

DO :

- Frekuensi nafas 32 x/menit


- Perkusi hipersonor
- Suara nafas vesikuler melemah
simetris pada paru kiri dan kanan.
- PCO3 : 46,00 mmHg
- Ph: 7,47
- Po2 : 69,00 mmHg
2 DS : Intoleransi Aktivitas Ketidakseimbangan
- Pasien merasa lemah dan lelah, serta antara suplai dan
merasa tidak nyaman setelah kebutuhan oksigen
beraktivitas
- Sesak saat beraktivitas ringan
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Pertukaran Gas b.d Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi d.d dipsnea, Pola
napas abnormal (D.0003)
2. Intolerasi aktivitas b.d Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dan
kelemahan d.d mengeluh lelah, merasa lemah, sesak setelah beraktivitas, dan merasa
tidak nyaman setelah beraktivitas. (D.0056)

3.4 Intervensi Keperawatan

No SDKI SLKI SIKI

1. Gangguan Luaran utama : Pertukaran Intervensi utama : Pemantauan

Pertukaran Gas b.d Gas (L.01003) Respirasi (I.01014)

ketidakseimbangan Kriteria Hasil : Tindakan;

ventilasi perfusi d.d  Dyspnea tidak ada Observasi


dyspnea,pola napas  Bunyi nafas tambahan tidak  Monitor frekuensi, irama,
abnormal. (D.0003) ada kedalaman dan upaya napas
 Monitor pola napas

23
 Pola napas membaik  Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan
napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil X-ray toraks

Teraupetik

 Atur interval pemantauan respirasi


sesuai kondisi
 Dokumentasikan hasil pematauan

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur


pemantauan.
 Informasikan hasil pematauan
2. Intolerasi aktivitas Luaran Utama: Toleransi Intervensi Utama: Manajemen Energi
b.d aktivitas (L.05047) Tindakan:
Ketidakseimbangan Kriteria Hasil : Observasi (I.05178)
antara suplai dan  Kemudahan dalam  ldentifikasi gangguan fungsi tubuh
kebutuhan oksigen melakukan aktivitas sehari yang mengakibatkan kelelahan
dan kelemahan d.d hari meningkat  Monitor kelelahan fisik dan mental
mengeluh lelah,  Keluhan lelah menurun  Monitor pola dan jam tidur
merasa lemah, sesak  Dipsnea saat aktivitas  Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
setelah beraktivitas, menurun selama melakukan aktivitas
dan merasa tidak  Perasaan lemah menurun Terapeutik
nyaman setelah  Frekuensi Nafas membaik  Sediakan lingkungan nyaman dan
beraktivitas.(D.0056) rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
kunjungan)
 Lakukan latihan rentang gerak pasif
dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang

24
menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur,
jika tidak dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.

25
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Manusia lanjut usia adalah sesorang yang karena usianya lanjut mengalami
perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan social. Perubahan ini akan memberikan
pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya.
PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh
terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-
paru. Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema,
atau gabungan keduanya.Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan
emfisema bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda
Secara umum resiko terjadinya PPOK terkait dengan jumlah partikel gas yang
dihirup oleh seorang individu selama hidupnya serta berbagai faktor dalam individu
itu sendiri.
4.2. Saran
Kami menyarankan kepada pembaca agar makalah ini dapat dimengerti dan
dipahami dengan baik, sehingga kita dapat mengetahui tentang Asuhan Keperawatan
pada lansia dengan gangguan system Pernafasan : PPOK. Agar dapat menjadi
pedoman buat kita sebagai perawat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Lozano R, Naghavi M, Foreman K, dkk. Global and regional mortality from 235 causes of
death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2010. Lancet 2012; 380(9859): 2095-128.
GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for
Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease Inc.; 2017.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Tim Kelompok Kerja PPOK; 2004.
Putra TR, Suega K, Artana B. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam.
Denpasar: SMF Penyakit Dalam FK Unud; 2013.
Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease. In: Longo D,
Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. pp. 2151–2159.
Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis penerapan pendekatan praktis kesehatan paru di
Indonesia. Jakarta: Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan;
2015

27

Anda mungkin juga menyukai