Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIFE CARE

END STAGE COPD

Nama Kelompok :

1. Wita Yulianti Barges (241911009)

2. Yulia Puspita Sari ( 2419110010)

3. Zela Valenza (241911011)

MAYAPADA NURSING ACADEMY

TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan nama Tuhan YME Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang,
penulis panjatkan syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnta atas rahmat, nikmat,
kebahagiaan serta seluruh anugrah yang telah dilimpahkan kepada seluruh hamba-
Nya. Dengan segala rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Makalah Keperawatan Paliative And Stage COPD” ini dengan baik.

Dengan selesainya makalah ini penulis ingin mengucapkan trimakasih kepada


pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Dengan
kesempatan ini penulis menyampaikan trimakasih kepada :

1. Tuhan TME yang telah melancarkan pembuatan makalah ini.


2. Ibu Ns Veronica Papo Bage M, Kep selaku dosen mata kuliah Paliative
Care.
3. Orang tua yang telah memberi semangat, nasehat dan dukungan baik
berupa moral maupun materi.
4. Teman-teman Angkatan 24.

Penulis sebagai manusia biasa, menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan


makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis senantiasa mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk dapat lebih baik lagi kedepan nya.
Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 1 Oktober 2021

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai oleh adanya hambatan
aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible. Penyakit tersebut
biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru
terhadap partikel berbahaya atau gas beracun. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti
faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya
jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di
dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas
dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas,
meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan
menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan COPD ?
2. Bagaimana etiologi dari COPD ?
3. Bagaimana patofisiologi Kondisi Terminal?
4. Bagaimana tanda dan gejala COPD ?
5. Bagaimana diagnosa COPD ?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari COPD ?
7. Perawatan Paliative yang sesuai?

3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari COPD ?
2. Mengetahui etiologi dari COPD ?
3. Mengetahui patofisiologi Kondisi Terminal COPD ?
4. Mengetahui tanda dan gejala COPD ?
5. Mengetahui diagnosa COPD ?
6. Mengetahui penatalaksanaan dari COPD?
7. Perawatan Paliative yang sesuai?

1.4 Manfaat Penulisan


1. Penulisan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan
wawasan tentang definisi dari anestesi dan jenis-jenisnya seperti anestesi
umum dan lokal serta bagaimana mekanisme kerja obat dari anestesi umum
dan lokal.
2. Untuk menambah kajian ilmu pengetahuan tentang anestesi dan jenis-jenisnya
khususnya anestesi umum dan anestesi lokal.

4
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (PDPI,
2003)

Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease),


PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek
ekstrapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan
penderita. Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara tersebut
biasanya bersifat progressif dan berhubungan dengan respon inflamasi pulmonal
terhadap partikel atau gas berbahaya (GOLD, 2011)

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan sekumpulan penyakit


paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaraan patofisiologi utamanya. Bronkitis kronis,
emfisema paru, dan asma bronkial membentuk satu kesatuan yang disebut
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) (Sylvia Anderson Price, 2005).

Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik


yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara
emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol
yang permanen dan abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus
serta tanpa fibrosis yang jelas (Kamangar, 2010).

5
Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah kelainan dengan klasifikasi yang luas,
termasuk bronkitis, brokiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan kondisi
yang tidak dapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas fisik dan
mengurangi aliran udara (Suzanne C. Smeltzer, 2001)

2.2 Etiologi

Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting. Selain itu,


terdapat faktor-faktor resiko yang lain seperti riwayat terpajan polusi udara di
lingkungan dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran nafas
berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1.
Di Indonesia defisiensi antitripsin alfa-1 sangat jarang terjadi (Elizabeth, 2007).
Dalam pencatatan perlu diperhatikan riwayat merokok. Termasuk perokok
aktif, perokok pasif, dan bekas perokok. Derajat berat merokok dengan Indeks
Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari
dikalikan lama merokok dalam tahun. Kategori ringan 0-200, sedang 200-600,
dan berat >600 (Elizabeth, 2007).

a) Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis
kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu
satu detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan
mendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok.
Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok ini berkaitan
dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur.
Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab
tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK
dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang
merokok dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

6
PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok,
jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok
memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami
penurunan pada FEV 1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko
menderita PPOK (Kamangar, 2010). Second-hand smoker atau perokok pasif
berisiko untuk terkena infeksi sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal
ini mengakibatkan penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan asap
rokok pada anak dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan
pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok juga
dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa
gestasi.

b) Hiperesponsif saluran pernafasan


Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah
variasi penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan
lingkungan. Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan
PPOK merupakan dua kondisi yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi
sedangkan PPOK adalah proses inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat
merokok.
Penelitian yang menilai hubungan tingkat respon saluran pernafasan
dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa peningkatan respon
saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan bagi penurunan
fungsi paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang merokok masih
belum jelas. Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa menjurus kepada
remodeling salur nafas yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi
pada penderita PPOK (Kamangar, 2010).

c) Infeksi saluran pernafasan

7
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa
infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor
predisposisi perkembangan PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah
penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran
nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa
dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

d) Pemaparan akibat pekerjaan


Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas
juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja.
Pekerjaan seperti melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil
daripada kapas berisiko untuk mengalami obstruksi saluran nafas. Pada
pekerja yang terpapar dengan kadmium pula, FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO
menurun secara signifikan (FVC, force vital capacity; DLCO, carbon
monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi seiring dengan
peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema.
Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas yang
berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang
jika dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008)

e) Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran
pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang
berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun
demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa
dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil pembakaran biomass
dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK pada kaum
wanita di beberapa negara.

8
Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting
berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

f) Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi α1-
antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-antitrips
in merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja
menginhibisi neutrophil elastasedi paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat
menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan
40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).

2.3 Patofisiologi Kondisi Terminal

Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan, bronkiolus dan


parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi
dan makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh
antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif
yang disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan
oleh fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis
sel yang terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai
peran dalam patogenesis PPOK (Kamangar, 2010).
a) Bronkitis kronik
Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan
termasuk atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot
lurik, proses inflamasi, dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda
bronkitis kronik. Neutrofilia terjadi di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi
neutrofil berkumpul di submukosa. Di bronkiolus, terjadi proses inflamasi

9
mononuklear, oklusi lumen oleh mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot
lurik, dan distorsi akibat fibrosis. Semua perubahan ini dikombinasikan
bersama kehilangan supporting alveolar attachments menyebabkan pernafasan
yang terbatas akibat penyempitan lumen saluran pernafasan dan deformitas
dinding saluran pernafasan (Kamangar, 2010).
b) Emfisema
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal
dan disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut
morfologinya:
1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan
meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering
terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal
dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah.
Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien
dengan defisiensi α1-antitripsin.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

10
(dikutip dari buku pedoman PDPI tahun 2011)

11
2.4 Gejala dan Tanda PPOK
2.4.1 Gejala PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan


gejala eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari
kondisi sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai
dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang semakin memburuk,
batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau
dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan
dan gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat
dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala
respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan
volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang
dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien
(Riyanto, Hisyam, 2006).

2.4.2 Tanda Dan Gejala PPOK

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)


2006, PPOK
dibagi atas 4 derajat:
1. PPOK Ringan: biasanya tanpa gejala, faal paru VEP1/KVP < 70%
2. PPOK Sedang: VEP1/KVP < 70%, atau 50% =< VEP1 < 80% prediksi
3. PPOK Berat: VEP1/KVP < 70%, atau 30%=<VEP1<50% prediksi
4. PPOK Sangat Berat: VEP1/KVP < 70% atau VEP1<30% atau VEP1<50%
disertai gagal napas kronis.

12
2.5 Diagnosa

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis

13
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed
- Lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i
leher dan edema tungkai
-Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
- Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed - lips breathing
-Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer

14
- Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas
kronik.

B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
•Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
-Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : %VEP1 (VEP 1/VEP1pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
-VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
•Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
-Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

15
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus,
pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4.Uji coba kortikosteroid

16
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
-Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
B. Diagnosis Banding
• Asma
• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)

17
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Asma Di Indonesia 7
•Pneumotoraks
•Gagal jantung kronik
•Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan
karena terapi dan prognosisnya berbeda.

2.6 Penatalaksanaan PPOK

2.6.1 Penatalaksanaan PPOK umum

Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

18
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup

A. Algoritme PPOK

Algoritme berdasarkan tingkat keparahan PPOK

B. Terapi non farmakologi

Pasien dengan PPOK harus menerima edukasi tentang penyakit mereka,


rencana pengobatan, dan strategi untuk memperlambat perkembangan dan

19
mencegah komplikasi. Saran dan konseling tentang penghentian merokok sangat
penting, jika berlaku. karena perjalanan alami penyakit menyebabkan kegagalan
pernapasan, dokter harus menangani akhir-hidup keputusan dan arahan lanjutan
prospektif dengan pasien dan keluarga.

1. Berhenti merokok
Sebuah komponen utama dari manajemen COPD adalah menghindari
atau mengurangi paparan faktor risiko. paparan asap tembakau toenviromental
merupakan faktor risiko utama, dan berhenti merokok merupakan strategi
yang paling efektif untuk mengurangi risiko pengembangan COPD dan untuk
memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit. efektivitas biaya
intervensi berhenti merokok baik dibandingkan dengan intervensi yang dibuat
untuk penyakit kronis utama lainnya. pentingnya berhenti merokok tidak bisa
terlalu ditekankan. berhenti merokok menyebabkan penurunan
sympatomology dan memperlambat laju penurunan fungsi paru bahkan
setelah kelainan signifikan dalam tes fungsi paru telah terdeteksi (FEV1 /
FVC <60%).
(Di piro, )
2. Rehabilitasi paru

Latihan olahraga bermanfaat dalam penyembuhan PPOK untuk


memperbaiki toleransi latihan dan mengurangi gejala dari dyspnea (sulit
bernafas) dan kelelahan. Program rehabilitasi paru merupakan komponen
yang lengkap pada manajemen dari PPOK dan harus meliputi latihan olahraga
di antara pemberhentian merokok, latihan bernafas, perawatan medis yang
optimal, dukungan psikososial dan edukasi kesehatan. Pelatihan intensitas
tinggi (70% beban kerja maksimal) adalah mungkin bahkan pada pasien
PPOK canggih, dan tingkat intensitas meningkatkan otot perifer fungsi
andventilatory. Penelitian telah menunjukkan bahwa rehabilitasi paru dengan

20
latihan 3-7 kali per minggu dapat menghasilkan perbaikan jangka panjang
dalam aktivitas sehari-hari, kualitas hidup, dan toleransi olahraga pada pasien
dengan moderat untuk PPOK berat. Program menggunakan intensif regimen
latihan kurang (dua kali per minggu) belum terbukti bermanfaat.

3. Imunisasi

Vaksin dapat dianggap sebagai agen farmakologi; namun, peran


mereka yang dijelaskan di sini ialah dalam mengurangi faktor risiko
eksaserbasi PPOK. Karena influenza adalah komplikasi umum pada PPOK
yang dapat menyebabkan eksaserbasi dan kegagalan pernapasan, vaksinasi
tahunan dengan vaksin influenza intramuskular tidak aktif dianjurkan.
Imunisasi terhadap influenza dapat mengurangi keparahan penyakit dan
kematian sebesar 50% pada pasien PPOK. Vaksin influenza harus diberikan
pada musim gugur setiap tahun (Oktober dan November) selama kunjungan
medis rutin atau di klinik vaksinasi. Ada beberapa kontraindikasi terhadap
vaksin influenza kecuali untuk pasien dengan serius allerfy untuk telur, agen
anti-influenza oral (misalnya, amantadine, rimantadine, oseltamivir) dapat
dipertimbangkan untuk pasien dengan PPOK selama wabah bagi pasien WHI
belum diimunisasi; Namun, terapi ini kurang efektif dan menimbulkan efek
samping.

Vaksin pneumokokus polivalen, diberikan satu kali, secara luas


direkomendasikan untuk orang 2-64 tahun yang memiliki penyakit paru-paru
kronis dan untuk semua orang plder dari 65 tahun. sehingga pasien PPOK
pada usia berapa pun adalah kandidat untuk vaksinasi. meskipun evidencefor
manfaat dari vaksin pneumokokus pada PPOK tidak kuat, argumen untuk

21
terus menggunakan adalah bahwa vaksin saat ini menyediakan cakupan untuk
85% dari strain pneumokokus menyebabkan penyakit invasif dan tingkat
peningkatan ketahanan pneumococcus terhadap antibiotik yang dipilih. Saat
ini, pemberian vaksin tetap standar praktek dan dianjurkan oleh pusat untuk
pengendalian penyakit dan pencegahan dan American Lung Association.
Diulang vaksinasi dengan produk 2-valent tidak dianjurkan untuk pasien usia
2 sampai 64 tahun dengan penyakit paru-paru kronis; Namun, vaksinasi ulang
adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien lebih muda dari usia 65
tahun.

4. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang


menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -
organ lainnya.
- Manfaat oksigen
- Mengurangi sesakMemperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Administrasi jangka panjang oksigen (> 15 jam per hari) untuk pasien
dengan gagal napas kronis telah terbukti meningkatkan kelangsungan
hidup pada pasien dengan berat, hipoksemia istirahat. Terapi oksigen
jangka panjang diindikasikan untuk pasien yang memiliki:

22
 PaO 2 pada atau di bawah 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 pada atau di
bawah 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia dikonfirmasi dua kali selama
tiga minggu; atau
 PaO 2 antara 7,3 kPa (55 mmHg) dan 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2 dari
88%, jika ada bukti hipertensi paru, perifer edema menunjukkan gagal
jantung kongestif, atau polisitemia (hematokrit> 55%).

Macam terapi oksigen :


- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi
oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1- 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulseoksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi
oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen:

23
-Nasal kanul
-Sungkup venturi
-Sungkup rebreathing
-Sungkup nonrebreathing
-Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.
5. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal


napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah
sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
 Ventilasi mekanik dengan intubasi.
 Ventilasi mekanik tanpa intubasi. Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan
pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif
Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
-Volume control
-Pressure control
-Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
-Continous positive airway pressure (CPAP)
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus
(LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang
signifikan pada :
-Analisis gas darah
-Kualiti dan kuantiti tidur
-Kualiti hidup

24
-Analisis gas darah
Indikasi penggunaan NIPPV :
-Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal
paradoksal
-Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
-Frekuensi napas > 25 kali per menit

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas


atas, disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di
rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut :
-Gagal napas yang pertama kali
-Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat
diperbaiki, misalnya pneumonia
-Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :
-Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan
pergerakan
abdominal paradoksal :
-Frekuensi napas > 35 permenit
-Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2< 40 mmHg)
-Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2< 60 mmHg)
-Henti napas
-Samnolen, gangguan kesadaran
-Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
-Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif)

25
-Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan
kondisi sebagai berikut :
-PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
-Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
-Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik :
-VAP (ventilator acquired pneumonia)
-Barotrauma
-Kesukaran weaning
6. Terapi tambahan

Selain oksigen tambahan, terapi tambahan untuk mempertimbangkan sebagai


bagian dari program rehabilitasi paru adalah perawatan psychoeducational dan
dukungan nutrisi. Perawatan psychoeducational (seperti relaksasi) telah
dikaitkan dengan peningkatan fungsi dan kesejahteraan orang dewasa dengan
COPD. peran dukungan nutrisi pada pasien dengan PPOK adalah
kontroversial. beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara
kekurangan gizi, indeks massa tubuh rendah (BMI), dan status paru terganggu
antara pasien dengan COPD. Namun, dalam meta-analisis ini, efek dari
dukungan nutrisi pada hasil pada PPOK adalah kecil dan tidak berhubungan
dengan peningkatan pengukuran antropometri, fungsi paru-paru, atau
kapasitas latihan fungsional.

C. Terapi farmakologi

Saat ini tidak ada obat yang tersedia untuk pengobatan COPD yang telah
ditunjukkan untuk memodifikasi penurunan progresif fungsi paru-paru atau
memperpanjang kelangsungan hidup. Sehingga tujuan utama dari farmakoterapi
adalah untuk mengontrol gejala pasien dan mengurangi komplikasi, termasuk

26
frekuensi dan keparahan eksaserbasi dan meningkatkan keseluruhan status
kesehatan dan latihan toleransi pasien

1. Bronkodilator

Kelas bronkodilator tersedia untuk pengobatan COPD termasuk B2-


agonis, antikolinergik, dan methylxanthines. Tidak ada manfaat yang jelas
untuk satu agen atau kelas atas orang lain, walaupun terapi inhalasi umumnya
lebih disukai. Secara umum, dapat lebih sulit bagi pasien dengan COPD
menggunakan perangkat inhalasi efektif dibandingkan dengan populasi lain
usia lanjut dan adanya lainnya comorbidities. Para klinik harus menasihati,
dengan nasihat dan mengamati teknik pasien dengan perangkat sering dan
konsisten.

Bronkodilator umumnya bekerja dengan mengurangi irama otot polos


saluran napas, sehingga meminimalkan keterbatasan aliran udara. Pada pasien
dengan PPOK, manfaat klinis bronkodilator meliputi peningkatan kapasitas
latihan, penurunan menjebak udara di paru-paru, dan menghilangkan gejala
seperti dyspnea. Namun, penggunaan bronkodilator mungkin tidak terkait
dengan perbaikan signifikan dalam pengukuran fungsi paru seperti FEV.
Secara umum, efek samping dari obat-obat bronkodilator terkait dengan efek
farmakologis mereka dan tergantung dosis. Karena pasien PPOK lebih tua dan
lebih cenderung memiliki kondisi komorbiditas, resiko efek samping dan
interaksi obat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan asma.

2. Simpatomimetik

Sejumlah agen simpatomimetik yang tersedia di Amerika Serikat mereka


berbeda dalam selektivitas, rute pemberian dan durasi tindakan. Dalam
manajemen COPD, agen simpatomimetik dengan B2-selektif atau agonis-B2,
harus digunakan sebagai bronkodilator dengan merangsang enzim adenilat

27
untuk meningkatkan pembentukan adenosine siklik mono fosfat (CAMP) .
CAMP bertanggung jawab untuk menengahi relaksasi otot polos bronkial,
menyebabkan bronkodilatasi. Di samping itu, dapat meningkatkan
pembersihan mukosiliar. Meskipun aksinya lebih pendek dan kurangselektif,
beta-agonis masih digunakan secara luas (contoh: metaproterenol, isoetharine,
isoprotereenol dan epinefrin), mereka tidak persediaan digunakan karena
durasi pendek dari tindakan dan peningkatan efek stimulasi kardiak. Agonis
beta2 selektif seperti albuterol, levalbuterol, bitolterol, formoterol, pirbuterol,
salmeterol, dan terbutalin lebih disukai untuk terapi

Simpatomimetik tersedia dalam inhalasi, oral, dan parenteral bentuk sediaan.


rute disukai administrasi adalah jika terhirup. Penggunaan oral dan parenteral
beta-agonis di PPOK tidak dianjurkan karena mereka tidak lebih efektif daripada
digunakan dengan benar inhaler meteran dosis (MDI) atau inhaler serbuk kering
(dpi) dan kejadian efek samping sistemik seperti takikardia dan tangan tremor
lebih besar. Administrasi beta 2-agonis di rawat jalan dan gawat darurat
pengaturan melalui inhaler (MDI atau dpi) setidaknya sama efektif sebagai terapi
nebulisasi dan biasanya disukai karena alasan biaya dan kenyamanan.

Albuterol adalah beta-2-agonis yang paling sering digunakan. Itu tersedia


sebagai persiapan oral dan inhalasi. Albuterol adalah rasemat campuran-albuterol
yang bertanggung jawab untuk efek bronkodilator dan ered oleh beberapa dokter
untuk menjadi inert, sedangkan yang lain percaya bahwa hal itu mungkin respon
terhadap (r) -albuterol.

3. Antikolinergik

Ketika diberikan jika terhirup, antikolinergik seperti ipratropium atau atropin


menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat kompetitif kolinergik reseptor
di otot polos bronkus. Kegiatan ini memblok asetilkolin, dengan efek bersih
menjadi pengurangan guanosin siklik monofosfat (cGMP), yang biasanya

28
bertindak menciutkan otot polos bronkial. Reseptor muskarinik pada otot polos
saluran napas termasuk M1, M2, M3 dan subtipe. Aktivasi M1 dan M3 reseptor
oleh hasil asetilkolin di bronkokonstriksi. Namun, aktivasi reseptor M2
menghambat pelepasan asetilkolin lanjut. Sampai saat ini, ipratropium telah
menjadi satu-satunya antikolinergik yang tersedia agen untuk PPOK. Atropin
memiliki struktur tersier dan diserap mudah di seluruh mukosa mulut dan saluran
pernapasan, sedangkan ipratropium memiliki struktur kuartener yang diserap
buruk.

Kurangnya penyerapan sistemik ipratropium sangat mengurangi


antikolinergik yang efek sampingmya seperti penglihatan kabur, retensi urin,
mual, dan takikardia terkait dengan atropin. Bromide ipratropium tersedia sebagai
MDI dan solusi untuk inhalasi. Ini menyediakan efek puncaknya pada 1,5 sampai
2 jam dan memiliki durasi efek 4 untuk 6 jam. Ipratropium memiliki onset lebih
lambat dari tindakan dan lebih lama efek bronkodilator dibandingkan dengan
standar β2-agonis. Karena onset lebih lambat dari efek (15 sampai 20 menit
dibandingkan dengan 5 menit untuk albuterol), mungkin kurang cocok untuk
sebagai dibutuhkan menggunakan; Namun, sering diresepkan dengan cara itu.
Dokter berbeda tentang preferensi dalam memilih awal short-acting bronkodilator
Terapi untuk pasien dengan COPD. Baik β2-agonis short-acting dan ipratropium
merupakan pilihan yang masuk akal untuk terapi awal.

Peran antikolinergik inhalasi pada PPOK baik established.48-52 Namun, hasil


dari Lung Health Study menunjukkan bahwa pengobatan dengan ipratropium
tidak mempengaruhi progresif penurunan fungsi paru-paru 22 Studi
membandingkan ipratropium dengan terhirup β2-agonis umumnya melaporkan
perbaikan serupa di fungsi paru. Lainnya melaporkan manfaat sederhana dengan
ipratropium,termasuk insiden lebih rendah dari efek samping seperti
tachycardia.49-51 Meskipun dosis yang dianjurkan ipratropium adalah 2 puff
empat kali sehari, ada bukti untuk dosis-respons, sehingga dosis dapat dititrasi ke

29
atas sering sampai 24 puff sehari. Ipratropium telah ditunjukkan untuk
meningkatkan kinerja latihan maksimal pada pasien PPOK stabil dengan dosis 8-
12 puff sebelum latihan tapi tidak dengan dosis 4 tiupan atau less.52-53 Selama
tidur, ipratropium juga telah meningkatkan shownto saturasi oksigen arteri dan
quality.54 tidur Ipratropium baik ditoleransi. Keluhan pasien paling sering adalah
mulut kering, mual,dan rasa logam sesekali.Tiotropium bromida, yang dirilis di
Amerika Serikat pada 2004, adalah agen antikolinergik long-acting kuarterner.
Agen ini blok efek asetilkolin dengan mengikat reseptor muscarinic di saluran
napas halus otot dan kelenjar lendir, memblokir kolinergik yang efek
bronkokonstriksi dan sekresi lendir. Berdisosiasi tiotropium perlahan reseptor
fromM1 andM3, memungkinkan bronkodilatasi berkepanjangan.Disosiasi
fromM2 reseptor yang jauh lebih cepat, memungkinkan penghambatan pelepasan
asetilkolin. Studi mengikat tiotropium dalam acara paru-paru manusia bahwa itu
adalah sekitar 10 kali lipat lebih kuat dari ipratropium dan melindungi terhadap
bronkokonstriksi kolinergikuntuk lebih besar dari 24 hours.

Ketika dihirup, tiotropium adalah minimal diserap ke dalam sistemik sirkulasi


dan hasil dalam bronkodilatasi dalam waktu 30 menit,dengan efek puncak dalam
3 jam. Bronkodilatasi berlangsung selama setidaknya 24 jam. Di Amerika Serikat,
itu disampaikan melalui HandiHaler, sebuah single-beban, kering-bubuk,
perangkat napas-actuated. Karena bertindak secara lokal,tiotropium ditoleransi
dengan baik, dengan keluhan yang paling umum menjadi mulut kering. Efek
samping antikolinergik lain yang dilaporkan termasuk sembelit, retensi urin,
takikardia, penglihatan kabur,dan curah hujan dari sudut sempit gejala
glaukoma.Sebagai terapi baru untuk COPD, tiotropium dievaluasi sebagai
tambahan untuk obat COPD standar dalam tahun 1, plasebo-terkontrol, studi
double-blind melibatkan lebih dari 900 subjek. Tiotropium 18 mcg / hari
meningkatkan FEV1 respon rata-rata 12% (palung) ke 22% (puncak) ketika
ditambahkan ke therapy.56 standar Efikasi dan keamanan dari tiotropium

30
diberikan melalui DPI dibandingkan dengan ipratropium diberikan empat kali
sehari oleh MDI dalam, studi double-blind multicenter yang diikuti pasien untuk

1 Pasien 57 tahun yang diterima tiotropium sekali sehari menunjukkan


perbaikan secara signifikan lebih besar dalam fungsi paru-paru dan dipilih
kualitas-hidup skor, penurunan dyspnea, dan eksaserbasi lebih sedikit
dibandingkan dengan pasien yang menerima ipratropium. Tidak ada perbedaan
efek samping antara kedua agen.

4. Methylxantines
Methylxanthines, termasuk teofilin dan aminophilline, telah tersedia
untuk pengobatan COPD untuk setidaknya lima dekade dan pada satu waktu
dianggap terapi lini pertama. Namun, dalam 20 tahun terakhir, dengan
munculnya long-acting beta inhalasi 2 agonis dan antikolinergik inhalasi,
mereka tidak lagi dianggap terapi lini pertama. Terapi bronkodilator inhalasi
Preffered untuk COPD. karena risiko interaksi obat dan intrapatient dan
interpatient variabilitas yang signifikan dalam persyaratan dosis, terapi teofilin
umumnya dipertimbangkan pada pasien yang tidak toleran atau tidak mampu
menggunakan bronkodilator inhalasi.
yang methylxanthines dapat menghasilkan bronkodilatasi melalui berbagai
mekanisme, termasuk (1) penghambatan phospodiesterase sehingga
meningkatkan kadar cAMP, (2) penghambatan masuknya ion kalsium ke
dalam otot polos, (3) prostaglandin antagonisme, (4) stimulasi katekolamin
endogen. (5) adenosin reseptor antagonisme, dan (6) penghambatan pelepasan
mediator dari sel mast dan leukosit.

Secara subyektif, teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea,


meningkatkan toleransi latihan, dan meningkatkan pernafasan pada pasien

31
PPOK. Efek nonpulmonary lainnya teofilin yang dapat berkontribusi untuk
meningkatkan fungsi jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.

Meskipun teofilin tersedia dalam berbagai bentuk sediaan oral,


berkelanjutan-release persiapan yang paling tepat untuk pengelolaan jangka
panjang COPD. produk ini memiliki keuntungan dari meningkatkan pasien
kepatuhan dan mencapai konsentrasi serum lebih konsisten lebih cepat-release
teofilin dan aminofilin persiapan. Namun, hati-hati harus digunakan dalam
beralih dari satu sediaan-release yang lain karena ada variasi yang cukup besar
dalam karakteristik berkelanjutan-release. Selain aminofilin intavenous, tidak
perlu menggunakan salah satu dari berbagai bentuk garam teofilin.

Biasa menggunakan methylxantines belum terbukti memiliki baik


menguntungkan atau efek yang merugikan pada perkembangan COPD.
Namun, methyxantines dapat ditambahkan ke rencana pengobatan pasien
yang belum mencapai tanggapan ti klinis ipratropium optimal dan beta2
agonis inhalasi. studi menunjukkan bahwa menambahkan teofilin untuk
kombinasi albuterol dan ipratropium memberikan manfaat tambahan bagi
pasien PPOK stabil, mendukung hipotesis bahwa ada efek bronkodilator
sinergis. kemanjuran terapi kombinasi dengan salmeterol dan teofilin untuk
pasien COPD dilaporkan untuk meningkatkan fungsi paru dan mengurangi
dyspnea lebih baik daripada pengobatan sendiri. pengobatan kombinasi juga
dikaitkan dengan berkurangnya jumlah eksaserbasi hanya ketika dibandingkan
dengan kelompok thophylline, menunjukkan bahwa komponen salmeterol
bertanggung jawab untuk efek menguntungkan ini.

Seperti halnya dengan terapi bronkodilator lainnya, parameter selain


pengukuran objektif, seperti FEV, harus dipantau untuk menilai afficacy
teofilin pada PPOK. Parameter subjektif, seperti perbaikan dirasakan dalam
gejala dyspnea, dan toleransi latihan, menjadi semakin penting dalam menilai

32
akseptabilitas methylxantines untuk pasien PPOK. Meskipun perbaikan
Tujuan mungkin minimal, pasien mungkin mengalami perbaikan gejala klinis,
dan dengan demikian mendapatkan keuntungan bagi individu mungkin
bermakna.

Peran teofilin pada PPOK adalah sebagai terapi pemeliharaan pada


pasien non-akut sakit. Terapi dapat intiated pada 200 mgtwice harian dan
dititrasi atas setiap 3 sampai 5 hari dengan dosis sasaran. Kebanyakan pasien
diperlukan dosis harian 400-900 mg. Penyesuaian dosis umumnya harus
dibuat berdasarkan hasil konsentrasi serum. Secara tradisional, berbagai terapi
teofilin diidentifikasi sebagai 10 sampai 20 mcg / ml; Namun, karena
frekuensi efek samping yang berhubungan dengan dosis dan manfaat relatif
kecil dari konsentrasi yang lebih tinggi, berdering terapi yang lebih
konservatif dari 8 sampai 15 mcg / ml, sering ditargetkan. Hal ini terutama
lebih pada orang tua. Ketika konsentrasi diukur, pengukuran palung yang
paling tepat.

Setelah dosis didirikan, serum concantraion harus dipantau sekali atau


dua kali setahun kecuali penyakit pasien memburuk, obat yang mengganggu
metabolisme teofilin ditambahkan ke terapi, atau toksisitas diduga. Efek
samping yang paling umum og terapi teofilin yang berkaitan dengan sistem
pencernaan, sistem kardiovaskular, dan sistem saraf pusat. Efek samping yang
berhubungan dengan dosis; Namun, ada tumpang tindih dalam efek samping
antara rentang terapeutik dan beracun. Efek samping ringan termasuk
dispepsia, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, dan takikardia. Toksisitas
yang lebih serius, terutama pada konsentrasi beracun, termasuk aritmia dan
kejang.

Faktor-faktor yang menurunkan teofilin clearance dan menyebabkan


berkurangnya syarat-syarat pemeliharaan dosis meliputi usia, bakteri atau

33
virus pneumonia maju, kiri atau kanan gagal ventrikel, disfungsi hati,
hipoksemia dari dekompensasi akut, dan penggunaan obat seperti cimetidine,
makrolida, dan antibiotik fluorokuinolon. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan teofilin clearance dan hasilnya dalam kebutuhan yang lebih
tinggi pemeliharaan dosess meliputi tembakau dan merokok ganja,
hipertiroidisme, dan penggunaan obat-obatan seperti fenitoin, fenobarbital dan
rifampisin.

5. Kortikosteroid

Terapi kortikosteroid ha diteliti dan diperdebatkan dalam terapi PPOK


selama setengah abad; Namun, karena rasio risiko-manfaat miskin, terapi
kortikosteroid sistemik kronis harus dihindari jika mungkin. Karena peran
potensial peradangan dalam patogenesis penyakit, dokter berharap
cortocisteroids akan menjadi agen menjanjikan di COPDmanagement.
Namun, penggunaannya terus diperdebatkan, terutama dalam pengelolaan
PPOK stabil.

Mekanisme anti-inflamasi dimana kortikosteroid mengerahkan efek


menguntungkan mereka dalam COPD meliputi (1) penurunan permeabilitas
kapiler menurun lendir. (2) penghambatan pelepasan enzim proteolitik dari
leukosit dan (3) penghambatan prostaglandin. Sayangnya, manfaat klinis
terapi kortikosteroid sistemik dalam pengelolaan kronis COPD sering tidak
jelas, dan risiko toksisitas luas dan jauh jangkauannya. Saat ini, situasi yang
tepat untuk mempertimbangkan kortikosteroid pada PPOK meliputi (1) jangka
pendek penggunaan sistemik untuk eksaserbasi akut dan (2) terapi inhalasi
untuk COPD stabil kronis.

Peran penggunaan steroid oral pada pasien PPOK stabil kronis dievaluasi
dalam meta-analisis lebih dari satu dekade yang lalu. Peneliti menyimpulkan
bahwa hanya sebagian kecil (10%) dari pasien COPD diobati dengan steroid

34
showd perbaikan klinis yang signifikan dalam FEV1 dasar (meningkat 20%)
dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan plasebo. Sementara
sejumlah kecil pasien PPOK dianggap responden untuk steroid oral, banyak
dari pasien ini sebenarnya mungkin memiliki asma, atau reversibel, komponen
untuk penyakit mereka.

Prediktor terbaik untuk menanggapi steeroids lisan adalah adanya eosinophyll


pada dahak. Pemeriksaan (≥3%) dan respon yang signifikan dan tes fungsi
paru untuk simpatomimetik. Bothe kehadiran eosinophyls di dahak dan
tanggap terhadap simpatomimetik menyarankan komponen asma untuk proses
penyakit dan dengan demikian dapat menjelaskan manfaat klinis melihat
dengan steroid.

Efek merugikan jangka-panjang terkait dengan terapi kortikosteroid sistemik


termasuk osteoporosis, atrofi otot, penipisan kulit, pengembangan katarak,
dan penekanan adrenal dan insufisiensi. Risiko yang terkait dengan terapi
steroid jangka panjang yang jauh lebih besar daripada manfaat klinis. Jika
keputusan untuk mengobati dengan kortikosteroid sistemik jangka ling dibuat,
mungkin dosis efektif terendah harus diberikan satu kali per hari di pagi hari
untuk meminimalkan risiko supresi adrenal. Jika terapi dengan obat oral
diperlukan, jadwal alternatif-hari harus digunakan.

Sebelumnya, praktek klinis yang umum adalah untuk mengelola


kursus singkat (2 minggu) kortikosteroid oral sebagai percobaan untuk
memprediksi pasien mana yang akan mendapat manfaat dari kortikosteroid
inhalasi lisan lisan kronis. Sekarang ada bukti yang cukup yang menunjukkan
bahwa praktek ini tidak efektif dalam memprediksi respon jangka panjang
untuk menghirup kortikosteroid dan tidak direkomendasikan.

Penggunaan kortikosteroid inhalasi kronis terapi telah menarik fot


dekade terakhir. Kortikosteroid inhalasi memiliki rasio risiko-manfaat

35
ditingkatkan dibandingkan dengan terapi kortikosteroid sistemik.
Menggunakan asma Model foor, diharapkan bahwa menghirup kortikosteroid
ampuh akan menghasilkan keberhasilan lokal yang tinggi dan paparan
sistemik terbatas dan toksisitas.

Di masa lalu kemudian tahun 1990-an, beberapa uji coba internasional


yang besar telah dimulai untuk mengevaluasi efek pada kortikosteroid inhalasi
di COPD. Sayangnya, hasil uji klinis utama gagal menunjukkan ane manfaat
dari perawatan kronis dengan kortikosteroid inhalasi memodifikasi penurunan
jangka panjang pada fungsi paru-paru yang karakteristik PPOK. Oleh karena
itu, peran kortikosteroid inhalasi pada PPOK terus diperdebatkan dalam
literatur, seperti asma, di mana penggunaannya jelas menganjurkan. Banyak
perdebatan berpusat pada ukuran hasil yang tepat pada populasi pasien ini.

Selama dekade terakhir, beberapa penelitian kortikosteroid inhalasi di


COPD dirancang untuk mendeteksi manfaat pada memperlambat hilangnya
progresif fungsi paru-paru, bt hasilnya mengecewakan. Tak satu pun dari
percobaan nasional atau internasional yang besar mampu menunjukkan
manfaat dari dosis tinggi kortikosteroid inhalasi pada terapi hasil utama ini.
Namun, kortikosteroid inhalasi telah dikaitkan dengan manfaat penting lain
pada beberapa pasien, termasuk penurunan frekuensi eksaserbasi dan
perbaikan status kesehatan secara keseluruhan. Dokter terus memperdebatkan
ukuran hasil yang paling tepat dan relevan untuk mengevaluasi dalam studi
COPD. Berdasarkan hasil uji klinis, pedoman konsensus menunjukkan bahwa
terapi inhalasi sonticosteroid harus dipertimbangkan untuk pasien
sympatomatic dengan stadium III atau IV penyakit (FEV1 <50%) yang
mengalami berulang eksaserbasi. Ini adalah pasien yang menunjukkan
manfaat dalam uji klinis dan di antaranya uji coba terapi kortikosteroid
inhalasi dibenarkan. Ada juga data dari epidemiologi dipelajari yang
menyarankan bahwa pengobatan kronis dengan kortikosteroid inhalasi

36
dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah dari rehospitalization untuk
kelompok yang lebih luas dari pasien dengan COPD. Jadi perdebatan tentang
peran yang tepat forthis terapi anti-inflammatry terus.

Meskipun hubungan dosis-respons untuk kortikosteroid inhalasi belum


ditunjukkan dalam COPD, uji klinis utama dipekerjakan moderat dosis tinggi
untuk pengobatan. Efek samping dari kortikosteroid inhalasi relatif ringan
dibandingkan dengan toksisitas dari terapi sistemik. Suara serak, sakit
tenggorokan, kandidiasis oral, dan memar kulit telah dilaporkan dalam uji
klinis. Efek samping yang parah, seperti penekanan adrenal, osteoporosis, dan
pembentukan katarak, telah dilaporkan lebih jarang daripada dengan
kortikosteroid sistemik, tetapi dokter harus memantau pasien yang menerima
terapi kronis dosis tinggi.

6. Terapi kombinasi : Bronkodilator dan inhalasi kortikosteroid

Dalam berbagai penelitian, terapi kombinasi dengan salmeterol


ditambah flutikason atau formoterol ditambah budesonide dikaitkan dengan
perbaikan besar dalam hasil klinis seperti FEV, status kesehatan, dan
frekuensi eksaserbasi dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi atau
bronkodilator long-acting saja. ketersediaan inhaler kombinasi (misalnya,
salmeterol ditambah flutikason) membuat administrasi baik corticosterois
inhalasi dan long-acting bronkodilator lebih nyaman bagi pasien dan
penurunan jumlah total penarikan yang dibutuhkan sehari-hari. Namun, terapi
kombinasi yang diresepkan semakin dalam praktek klinis, dan produk
tambahan yang menggabungkan dua kelas ini terapi yang diantisipasi. (Di
Piro, 2005)

37
2.6.2 Penatalaksanaan PPOK stabil

Kriteria PPOK stabil adalah :


-Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

38
-Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
-Dahak jernih tidak berwarna
-Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
-Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
-Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
-Mempertahankan fungsi paru
-Meningkatkan kualiti hidup
-Mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di
poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan
PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
a) Penatalaksanaan di rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang
stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh
pasien sendiri maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan
juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau
ventilasi mekanik.
b) Tujuan penatalaksanaan di rumah :
c) Menjaga PPOK tetap stabil
d) Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
e) Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
f) Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
g) Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualiti hidup
Penatalaksanaan di rumah meliputi :
1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat. Obat-obatan sesuai klasifikasi
(table

39
2. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena
penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan
kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang
efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus.
Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi,
penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
3. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat
sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan
pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di
rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada
waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter
4. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita
PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah (lihat hal 25)
5. Rehabilitasi
- Penyesuaian aktiviti
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
- "Pursed-lips breathing"
- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
c) Terapi Farmakologis untuk PPOK stabil
Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi
keparahan eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan
harus spesifik terhadap setiap pasien, karena gejala dan keparahan dari
keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi
keparahan eksaserbasi, adanya gagal
nafas dan status kesehatan secara umum.
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu
disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada Gambar , disajikan panduan umum
terapi PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.

40
41
1. Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK,
terapi inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator diresepkan sebagai pencegahan/
mengurangi gejala yang akan timbul dari PPOK. Bronkodilator inhalasi kerja
lama lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat.
2. Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat
diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun
pemakaian pada PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis
β-2 kerja lama, durasi kerja sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang tersedia
adalah formoterol dan salmeterol. Obat ini dipakai sebagai ganti agonis β-2
kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan dosis tinggi atau dipakai
dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki FEV1 dan volume
paru, mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan

42
kejadian eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan
besar penurunan faal paru. Agonis β-2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat
yang ada adalah indacaterol.
3. Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1<60%,
pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala,
meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan menurunkan frekuensi
eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan dengan peningkatan
pneumonia. Penghentian tiba-tiba terapi dengan kortikosteroid inhalasi bisa
menyebabkan eksaserbasi di beberapa pasien. Terapi monoterm jangka
panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak direkomendasikan.
4. Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta 2 agonist kerja lama lebih
efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam
peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan
PPOK sedang sampaisangat berat. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
5. Phosphodiesterase-4 inhibitors, pada GOLD 3 dan GOLD 4 pasien dengan
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis, phosphodiesterase-4 inhibitor
roflumilastini mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan
kortikosteroid oral.

Pengobatan Farmakologis yang lain


1. Vaksin Influenza bisa mengurangi penyakit serius dan kematian pada PPOK,
virus inaktif pada vaksin di rekomendasikan dan sebaiknya di berikan sekali
setahun.
2. Vaksin pneumococcal polusaccharide direkomendasikan untuk pasien diatas
65 tahun.
3. Penggunaan antibiotik tidak direkomendasikan kecuali untuk pengobatan
eksaserbasi infeksius dan infeksi bakteri lainnya.

43
2.6.3 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan


dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya
komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
-Sesak bertambah
-Produksi sputum meningkat
-Perubahan warna sputum

44
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi >
20% baseline Penyebab eksaserbasi akut
Primer :
-Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
-Pneumonia
-Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
-Emboli paru
-Pneumotoraks spontan
-Penggunaan oksigen yang tidak tepat
-Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
-Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
-Nutrisi buruk
-Lingkunagn memburuk/polusi udara
-Aspirasi berulang
-Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan
berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita
yang telah diedukasi dengan cara :
-Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk
nebuliser

45
-Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
-Menambahkan mukolitik
-Menambahkan ekspektoran
Edukasi
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah
menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal
yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
-Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
-Kesadaran
-Tanda vital
-Analisis gas darah
-Pneumonia
-Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi
adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan
Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil
ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
2. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut:
a.Antibiotik
-Peningkatan jumlah sputum
-Sputum berubah menjadi purulen
-Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan

46
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah
sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila
eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat
diberikan tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara
yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-
hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai
kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap
dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-sama
dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara
intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat
terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
c.Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping. (Gold, 20011)
2.7 Contoh Kasus

Seorang pria berusia 54 tahun dengan riwayat medis masa lalu hipertensi datang
ke klinik dengan keluhan sesak napas yang mulai sekitar 4 sampai 5 tahun yang
lalu. Terjadinya tanda-tanda telah secara bertahap memburuk sejak saat itu. Dia
sekarang tidak mampu berjalan 100 yard tanpa berhenti dan beristirahat. Ia juga
mengalami batuk sehari-hari yang biasanya produktif sputum kekuningan. Ia
merokok sekitar 1 ½ bungkus rokok sehari dan telah melakukannya selama 30

47
tahun terakhir. Ia tidak memiliki pajanan di tempat kerja yang signifikan terhadap
debu, gas, atau asap.

1. Subjektif
a) Nama Pasien : Tn. X
b) Usia : 54 tahun
c) Riwayat penyakit: pasien menderita hipertensi di masa lalu.
d) Riwayat sosial: merokok sekitar 1 ½ bungkus rokok sehari dan telah
melakukannya selama 30 tahun terakhir.
e) Keluhan :
 Pasien mengalami sesak napas yang dimulai sejak 4 sampai 5tahun
yang lalu
 Pasien tidak mampu berjalan 100 yard tanpa berhenti dan beristirahat
 Pasien mengalami batuk sehari-hari yang biasanya memproduksi
sputum kekuningan

2. Objektif
-
3. Assesment
 Pasien menderita hipertensi
 Pasien menderita PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)

4. Plan
a) Penetapan tujuan terapi

b) Pemilihan Terapi farmakologi berdasar farmakoterapi rasional (4T1W)

1. Terapi non farmakologi


COPD:
- Berhenti merokok

48
- Menjagakebersihan lingkungan dan sanitasi

Hipertensi:

- Menurunkan berat badan


- Mengurangi asupan garam
- Membatasi kadar kolesterol tubuh
- Berhenti merokok
- Tidak mengkonsumsi alcohol dan kafein
- Cukup istirahat dan tidur
- Olahraga ringan

2. Terapi farmakologi
Hipertensi:
- Jangan memberikan obat beta blocker non selektif, karena beta
blocker non selektif juga akan memblok reseptor beta yang ada di
bronkioulus sehingga akan memperparah COPD.
- Berikan obatgolongan diuretic thiazid. Contoh: hidroklorhiazid dengan
dosis awal 12,5 mg per hari.

COPD:

- Gunakan obat golongan antikolinergik : Digunakan pada derajat


ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir maksimal 4 x per hari. Contoh: Ipratropium
bromide 20 µg (2-4 x semprot → 3-4 x/ hari) (PDPI, 2003)
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2 : Kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi. Karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Di samping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita. Contoh : Ipratropium bromide 20 µg + Salbutamol 100 µg
(2 -4 x semprot → 3-4 x / hari) (PDPI, 2003)

3. Monitoring
COPD: Pemeriksaan faal paru

49
Hipertensi: Pemeriksaan tekanan darah

4. KIE
- Edukasi pasien tentang penyakit
- Pastikan pasien taat menggunakan obat
- Pastikan pasien selalu memonitoring penyakit
- Berikan informasi tentang pola hidup yang boleh dan tidak boleh
dilakukan

50
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya.
Merokok adalah faktor risiko yang dapat dimodifikasi utama untuk
pengembangan COPD, namun penyakit ini dapat dikaitkan dengan kombinasi
dari faktor-faktor risiko yang terkait dengan faktor pengembangan, dan
umumnya, interaksi antara risiko ini menyebabkan ekpession penyakit, faktor
tuan rumah , seperti predisposisi genetik, mungkin tidak dimodifikasi tetapi
penting untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi mengembangkan
penyakit. faktor lingkungan, seperti asap tembakau dan debu kerja dan bahan
kimia, merupakan dua faktor itu, jika dihindari, dapat mengurangi risiko
pengembangan penyakit.

51
DAFTAR PUSTAKA

GOLD, 2010. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available from:
http://www.goldcopd.org/uploads/users/files/GOLD_Pocket_May2512.pdf
[Accessed 18 October 2011]

Anderson, Elisabeth T, (2001). Buku ajar keperawatan komunitas:teori dan praktek.


Jakarta:EGC.

Kamangar, N., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com.


Available from:http://www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview
[Accessed 18 October 2010]

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma Bronkial di Indonesia. Jakarta: Indonesia.

Price,Sylvia Anderson.2005.patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.edisi


6. Volume1. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C.2001.buku ajar keperawatan medical bedah brunner &
suddarth. Jakarta :EGC
Reilly Jr., John J., Silverman, Edwin K., Shapiro, Steven D. 2005. Harrison's
principles of internal medicine 16th edition. New York: McGraw-Hill

Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006

52

Anda mungkin juga menyukai