Nama Kelompok :
1
KATA PENGANTAR
Dengan nama Tuhan YME Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang,
penulis panjatkan syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnta atas rahmat, nikmat,
kebahagiaan serta seluruh anugrah yang telah dilimpahkan kepada seluruh hamba-
Nya. Dengan segala rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Makalah Keperawatan Paliative And Stage COPD” ini dengan baik.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai oleh adanya hambatan
aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible. Penyakit tersebut
biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru
terhadap partikel berbahaya atau gas beracun. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti
faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya
jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di
dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas
dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas,
meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan
menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.
3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari COPD ?
2. Mengetahui etiologi dari COPD ?
3. Mengetahui patofisiologi Kondisi Terminal COPD ?
4. Mengetahui tanda dan gejala COPD ?
5. Mengetahui diagnosa COPD ?
6. Mengetahui penatalaksanaan dari COPD?
7. Perawatan Paliative yang sesuai?
4
BAB II
KAJIAN TEORI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (PDPI,
2003)
5
Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah kelainan dengan klasifikasi yang luas,
termasuk bronkitis, brokiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan kondisi
yang tidak dapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas fisik dan
mengurangi aliran udara (Suzanne C. Smeltzer, 2001)
2.2 Etiologi
a) Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis
kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu
satu detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan
mendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok.
Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok ini berkaitan
dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur.
Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab
tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK
dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang
merokok dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
6
PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok,
jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok
memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami
penurunan pada FEV 1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko
menderita PPOK (Kamangar, 2010). Second-hand smoker atau perokok pasif
berisiko untuk terkena infeksi sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal
ini mengakibatkan penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan asap
rokok pada anak dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan
pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok juga
dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa
gestasi.
7
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa
infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor
predisposisi perkembangan PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah
penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran
nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa
dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
e) Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran
pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang
berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun
demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa
dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil pembakaran biomass
dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK pada kaum
wanita di beberapa negara.
8
Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting
berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
f) Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi α1-
antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-antitrips
in merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja
menginhibisi neutrophil elastasedi paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat
menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan
40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).
9
mononuklear, oklusi lumen oleh mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot
lurik, dan distorsi akibat fibrosis. Semua perubahan ini dikombinasikan
bersama kehilangan supporting alveolar attachments menyebabkan pernafasan
yang terbatas akibat penyempitan lumen saluran pernafasan dan deformitas
dinding saluran pernafasan (Kamangar, 2010).
b) Emfisema
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal
dan disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut
morfologinya:
1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan
meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering
terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal
dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah.
Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien
dengan defisiensi α1-antitripsin.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
10
(dikutip dari buku pedoman PDPI tahun 2011)
11
2.4 Gejala dan Tanda PPOK
2.4.1 Gejala PPOK
12
2.5 Diagnosa
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
13
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed
- Lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i
leher dan edema tungkai
-Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
- Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed - lips breathing
-Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer
14
- Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas
kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
•Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
-Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : %VEP1 (VEP 1/VEP1pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
-VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
•Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
-Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
15
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus,
pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4.Uji coba kortikosteroid
16
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
-Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
B. Diagnosis Banding
• Asma
• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
17
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Asma Di Indonesia 7
•Pneumotoraks
•Gagal jantung kronik
•Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan
karena terapi dan prognosisnya berbeda.
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
18
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
A. Algoritme PPOK
19
mencegah komplikasi. Saran dan konseling tentang penghentian merokok sangat
penting, jika berlaku. karena perjalanan alami penyakit menyebabkan kegagalan
pernapasan, dokter harus menangani akhir-hidup keputusan dan arahan lanjutan
prospektif dengan pasien dan keluarga.
1. Berhenti merokok
Sebuah komponen utama dari manajemen COPD adalah menghindari
atau mengurangi paparan faktor risiko. paparan asap tembakau toenviromental
merupakan faktor risiko utama, dan berhenti merokok merupakan strategi
yang paling efektif untuk mengurangi risiko pengembangan COPD dan untuk
memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit. efektivitas biaya
intervensi berhenti merokok baik dibandingkan dengan intervensi yang dibuat
untuk penyakit kronis utama lainnya. pentingnya berhenti merokok tidak bisa
terlalu ditekankan. berhenti merokok menyebabkan penurunan
sympatomology dan memperlambat laju penurunan fungsi paru bahkan
setelah kelainan signifikan dalam tes fungsi paru telah terdeteksi (FEV1 /
FVC <60%).
(Di piro, )
2. Rehabilitasi paru
20
latihan 3-7 kali per minggu dapat menghasilkan perbaikan jangka panjang
dalam aktivitas sehari-hari, kualitas hidup, dan toleransi olahraga pada pasien
dengan moderat untuk PPOK berat. Program menggunakan intensif regimen
latihan kurang (dua kali per minggu) belum terbukti bermanfaat.
3. Imunisasi
21
terus menggunakan adalah bahwa vaksin saat ini menyediakan cakupan untuk
85% dari strain pneumokokus menyebabkan penyakit invasif dan tingkat
peningkatan ketahanan pneumococcus terhadap antibiotik yang dipilih. Saat
ini, pemberian vaksin tetap standar praktek dan dianjurkan oleh pusat untuk
pengendalian penyakit dan pencegahan dan American Lung Association.
Diulang vaksinasi dengan produk 2-valent tidak dianjurkan untuk pasien usia
2 sampai 64 tahun dengan penyakit paru-paru kronis; Namun, vaksinasi ulang
adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien lebih muda dari usia 65
tahun.
4. Terapi Oksigen
22
PaO 2 pada atau di bawah 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 pada atau di
bawah 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia dikonfirmasi dua kali selama
tiga minggu; atau
PaO 2 antara 7,3 kPa (55 mmHg) dan 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2 dari
88%, jika ada bukti hipertensi paru, perifer edema menunjukkan gagal
jantung kongestif, atau polisitemia (hematokrit> 55%).
23
-Nasal kanul
-Sungkup venturi
-Sungkup rebreathing
-Sungkup nonrebreathing
-Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.
5. Ventilasi Mekanik
24
-Analisis gas darah
Indikasi penggunaan NIPPV :
-Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal
paradoksal
-Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
-Frekuensi napas > 25 kali per menit
25
-Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan
kondisi sebagai berikut :
-PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
-Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
-Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik :
-VAP (ventilator acquired pneumonia)
-Barotrauma
-Kesukaran weaning
6. Terapi tambahan
C. Terapi farmakologi
Saat ini tidak ada obat yang tersedia untuk pengobatan COPD yang telah
ditunjukkan untuk memodifikasi penurunan progresif fungsi paru-paru atau
memperpanjang kelangsungan hidup. Sehingga tujuan utama dari farmakoterapi
adalah untuk mengontrol gejala pasien dan mengurangi komplikasi, termasuk
26
frekuensi dan keparahan eksaserbasi dan meningkatkan keseluruhan status
kesehatan dan latihan toleransi pasien
1. Bronkodilator
2. Simpatomimetik
27
untuk meningkatkan pembentukan adenosine siklik mono fosfat (CAMP) .
CAMP bertanggung jawab untuk menengahi relaksasi otot polos bronkial,
menyebabkan bronkodilatasi. Di samping itu, dapat meningkatkan
pembersihan mukosiliar. Meskipun aksinya lebih pendek dan kurangselektif,
beta-agonis masih digunakan secara luas (contoh: metaproterenol, isoetharine,
isoprotereenol dan epinefrin), mereka tidak persediaan digunakan karena
durasi pendek dari tindakan dan peningkatan efek stimulasi kardiak. Agonis
beta2 selektif seperti albuterol, levalbuterol, bitolterol, formoterol, pirbuterol,
salmeterol, dan terbutalin lebih disukai untuk terapi
3. Antikolinergik
28
bertindak menciutkan otot polos bronkial. Reseptor muskarinik pada otot polos
saluran napas termasuk M1, M2, M3 dan subtipe. Aktivasi M1 dan M3 reseptor
oleh hasil asetilkolin di bronkokonstriksi. Namun, aktivasi reseptor M2
menghambat pelepasan asetilkolin lanjut. Sampai saat ini, ipratropium telah
menjadi satu-satunya antikolinergik yang tersedia agen untuk PPOK. Atropin
memiliki struktur tersier dan diserap mudah di seluruh mukosa mulut dan saluran
pernapasan, sedangkan ipratropium memiliki struktur kuartener yang diserap
buruk.
29
atas sering sampai 24 puff sehari. Ipratropium telah ditunjukkan untuk
meningkatkan kinerja latihan maksimal pada pasien PPOK stabil dengan dosis 8-
12 puff sebelum latihan tapi tidak dengan dosis 4 tiupan atau less.52-53 Selama
tidur, ipratropium juga telah meningkatkan shownto saturasi oksigen arteri dan
quality.54 tidur Ipratropium baik ditoleransi. Keluhan pasien paling sering adalah
mulut kering, mual,dan rasa logam sesekali.Tiotropium bromida, yang dirilis di
Amerika Serikat pada 2004, adalah agen antikolinergik long-acting kuarterner.
Agen ini blok efek asetilkolin dengan mengikat reseptor muscarinic di saluran
napas halus otot dan kelenjar lendir, memblokir kolinergik yang efek
bronkokonstriksi dan sekresi lendir. Berdisosiasi tiotropium perlahan reseptor
fromM1 andM3, memungkinkan bronkodilatasi berkepanjangan.Disosiasi
fromM2 reseptor yang jauh lebih cepat, memungkinkan penghambatan pelepasan
asetilkolin. Studi mengikat tiotropium dalam acara paru-paru manusia bahwa itu
adalah sekitar 10 kali lipat lebih kuat dari ipratropium dan melindungi terhadap
bronkokonstriksi kolinergikuntuk lebih besar dari 24 hours.
30
diberikan melalui DPI dibandingkan dengan ipratropium diberikan empat kali
sehari oleh MDI dalam, studi double-blind multicenter yang diikuti pasien untuk
4. Methylxantines
Methylxanthines, termasuk teofilin dan aminophilline, telah tersedia
untuk pengobatan COPD untuk setidaknya lima dekade dan pada satu waktu
dianggap terapi lini pertama. Namun, dalam 20 tahun terakhir, dengan
munculnya long-acting beta inhalasi 2 agonis dan antikolinergik inhalasi,
mereka tidak lagi dianggap terapi lini pertama. Terapi bronkodilator inhalasi
Preffered untuk COPD. karena risiko interaksi obat dan intrapatient dan
interpatient variabilitas yang signifikan dalam persyaratan dosis, terapi teofilin
umumnya dipertimbangkan pada pasien yang tidak toleran atau tidak mampu
menggunakan bronkodilator inhalasi.
yang methylxanthines dapat menghasilkan bronkodilatasi melalui berbagai
mekanisme, termasuk (1) penghambatan phospodiesterase sehingga
meningkatkan kadar cAMP, (2) penghambatan masuknya ion kalsium ke
dalam otot polos, (3) prostaglandin antagonisme, (4) stimulasi katekolamin
endogen. (5) adenosin reseptor antagonisme, dan (6) penghambatan pelepasan
mediator dari sel mast dan leukosit.
31
PPOK. Efek nonpulmonary lainnya teofilin yang dapat berkontribusi untuk
meningkatkan fungsi jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.
32
akseptabilitas methylxantines untuk pasien PPOK. Meskipun perbaikan
Tujuan mungkin minimal, pasien mungkin mengalami perbaikan gejala klinis,
dan dengan demikian mendapatkan keuntungan bagi individu mungkin
bermakna.
33
virus pneumonia maju, kiri atau kanan gagal ventrikel, disfungsi hati,
hipoksemia dari dekompensasi akut, dan penggunaan obat seperti cimetidine,
makrolida, dan antibiotik fluorokuinolon. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan teofilin clearance dan hasilnya dalam kebutuhan yang lebih
tinggi pemeliharaan dosess meliputi tembakau dan merokok ganja,
hipertiroidisme, dan penggunaan obat-obatan seperti fenitoin, fenobarbital dan
rifampisin.
5. Kortikosteroid
Peran penggunaan steroid oral pada pasien PPOK stabil kronis dievaluasi
dalam meta-analisis lebih dari satu dekade yang lalu. Peneliti menyimpulkan
bahwa hanya sebagian kecil (10%) dari pasien COPD diobati dengan steroid
34
showd perbaikan klinis yang signifikan dalam FEV1 dasar (meningkat 20%)
dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan plasebo. Sementara
sejumlah kecil pasien PPOK dianggap responden untuk steroid oral, banyak
dari pasien ini sebenarnya mungkin memiliki asma, atau reversibel, komponen
untuk penyakit mereka.
35
ditingkatkan dibandingkan dengan terapi kortikosteroid sistemik.
Menggunakan asma Model foor, diharapkan bahwa menghirup kortikosteroid
ampuh akan menghasilkan keberhasilan lokal yang tinggi dan paparan
sistemik terbatas dan toksisitas.
36
dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah dari rehospitalization untuk
kelompok yang lebih luas dari pasien dengan COPD. Jadi perdebatan tentang
peran yang tepat forthis terapi anti-inflammatry terus.
37
2.6.2 Penatalaksanaan PPOK stabil
38
-Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
-Dahak jernih tidak berwarna
-Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
-Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
-Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
-Mempertahankan fungsi paru
-Meningkatkan kualiti hidup
-Mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di
poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan
PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
a) Penatalaksanaan di rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang
stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh
pasien sendiri maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan
juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau
ventilasi mekanik.
b) Tujuan penatalaksanaan di rumah :
c) Menjaga PPOK tetap stabil
d) Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
e) Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
f) Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
g) Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualiti hidup
Penatalaksanaan di rumah meliputi :
1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat. Obat-obatan sesuai klasifikasi
(table
39
2. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena
penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan
kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang
efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus.
Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi,
penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
3. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat
sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan
pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di
rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada
waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter
4. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita
PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah (lihat hal 25)
5. Rehabilitasi
- Penyesuaian aktiviti
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
- "Pursed-lips breathing"
- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
c) Terapi Farmakologis untuk PPOK stabil
Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi
keparahan eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan
harus spesifik terhadap setiap pasien, karena gejala dan keparahan dari
keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi
keparahan eksaserbasi, adanya gagal
nafas dan status kesehatan secara umum.
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu
disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada Gambar , disajikan panduan umum
terapi PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.
40
41
1. Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK,
terapi inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator diresepkan sebagai pencegahan/
mengurangi gejala yang akan timbul dari PPOK. Bronkodilator inhalasi kerja
lama lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat.
2. Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat
diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun
pemakaian pada PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis
β-2 kerja lama, durasi kerja sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang tersedia
adalah formoterol dan salmeterol. Obat ini dipakai sebagai ganti agonis β-2
kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan dosis tinggi atau dipakai
dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki FEV1 dan volume
paru, mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan
42
kejadian eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan
besar penurunan faal paru. Agonis β-2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat
yang ada adalah indacaterol.
3. Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1<60%,
pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala,
meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan menurunkan frekuensi
eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan dengan peningkatan
pneumonia. Penghentian tiba-tiba terapi dengan kortikosteroid inhalasi bisa
menyebabkan eksaserbasi di beberapa pasien. Terapi monoterm jangka
panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak direkomendasikan.
4. Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta 2 agonist kerja lama lebih
efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam
peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan
PPOK sedang sampaisangat berat. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
5. Phosphodiesterase-4 inhibitors, pada GOLD 3 dan GOLD 4 pasien dengan
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis, phosphodiesterase-4 inhibitor
roflumilastini mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan
kortikosteroid oral.
43
2.6.3 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
44
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi >
20% baseline Penyebab eksaserbasi akut
Primer :
-Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
-Pneumonia
-Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
-Emboli paru
-Pneumotoraks spontan
-Penggunaan oksigen yang tidak tepat
-Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
-Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
-Nutrisi buruk
-Lingkunagn memburuk/polusi udara
-Aspirasi berulang
-Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan
berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita
yang telah diedukasi dengan cara :
-Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk
nebuliser
45
-Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
-Menambahkan mukolitik
-Menambahkan ekspektoran
Edukasi
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah
menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal
yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
-Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
-Kesadaran
-Tanda vital
-Analisis gas darah
-Pneumonia
-Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi
adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan
Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil
ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
2. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut:
a.Antibiotik
-Peningkatan jumlah sputum
-Sputum berubah menjadi purulen
-Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
46
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah
sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila
eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat
diberikan tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara
yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-
hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai
kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap
dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-sama
dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara
intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat
terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
c.Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping. (Gold, 20011)
2.7 Contoh Kasus
Seorang pria berusia 54 tahun dengan riwayat medis masa lalu hipertensi datang
ke klinik dengan keluhan sesak napas yang mulai sekitar 4 sampai 5 tahun yang
lalu. Terjadinya tanda-tanda telah secara bertahap memburuk sejak saat itu. Dia
sekarang tidak mampu berjalan 100 yard tanpa berhenti dan beristirahat. Ia juga
mengalami batuk sehari-hari yang biasanya produktif sputum kekuningan. Ia
merokok sekitar 1 ½ bungkus rokok sehari dan telah melakukannya selama 30
47
tahun terakhir. Ia tidak memiliki pajanan di tempat kerja yang signifikan terhadap
debu, gas, atau asap.
1. Subjektif
a) Nama Pasien : Tn. X
b) Usia : 54 tahun
c) Riwayat penyakit: pasien menderita hipertensi di masa lalu.
d) Riwayat sosial: merokok sekitar 1 ½ bungkus rokok sehari dan telah
melakukannya selama 30 tahun terakhir.
e) Keluhan :
Pasien mengalami sesak napas yang dimulai sejak 4 sampai 5tahun
yang lalu
Pasien tidak mampu berjalan 100 yard tanpa berhenti dan beristirahat
Pasien mengalami batuk sehari-hari yang biasanya memproduksi
sputum kekuningan
2. Objektif
-
3. Assesment
Pasien menderita hipertensi
Pasien menderita PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)
4. Plan
a) Penetapan tujuan terapi
48
- Menjagakebersihan lingkungan dan sanitasi
Hipertensi:
2. Terapi farmakologi
Hipertensi:
- Jangan memberikan obat beta blocker non selektif, karena beta
blocker non selektif juga akan memblok reseptor beta yang ada di
bronkioulus sehingga akan memperparah COPD.
- Berikan obatgolongan diuretic thiazid. Contoh: hidroklorhiazid dengan
dosis awal 12,5 mg per hari.
COPD:
3. Monitoring
COPD: Pemeriksaan faal paru
49
Hipertensi: Pemeriksaan tekanan darah
4. KIE
- Edukasi pasien tentang penyakit
- Pastikan pasien taat menggunakan obat
- Pastikan pasien selalu memonitoring penyakit
- Berikan informasi tentang pola hidup yang boleh dan tidak boleh
dilakukan
50
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya.
Merokok adalah faktor risiko yang dapat dimodifikasi utama untuk
pengembangan COPD, namun penyakit ini dapat dikaitkan dengan kombinasi
dari faktor-faktor risiko yang terkait dengan faktor pengembangan, dan
umumnya, interaksi antara risiko ini menyebabkan ekpession penyakit, faktor
tuan rumah , seperti predisposisi genetik, mungkin tidak dimodifikasi tetapi
penting untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi mengembangkan
penyakit. faktor lingkungan, seperti asap tembakau dan debu kerja dan bahan
kimia, merupakan dua faktor itu, jika dihindari, dapat mengurangi risiko
pengembangan penyakit.
51
DAFTAR PUSTAKA
GOLD, 2010. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available from:
http://www.goldcopd.org/uploads/users/files/GOLD_Pocket_May2512.pdf
[Accessed 18 October 2011]
Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006
52