Oleh:
Melvy Roza
1310070100 079
Pembimbing
dr. Sari Nikmawati, Sp. P
Pertama sekali penulis ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat dan rahmat-Nya yang berlimpah kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan Case Report Session tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).
Dengan selesainya penulisan Case Report Session ini, perkenankanlah penulis
untuk mengucapkan terima kasih kepada dr. Sari Nikmawati, Sp.P selaku
pembimbing yang telah memberikan petunjuk dan serta bimbingan dalam penulisan
Case Report Session sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Case Report
Session.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam pembuatan Case Report Session ini dan berbagai sumber yang telah
digunakan sebagai data pada Case Report Session ini.
Penulis menyadari tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat
sempurna, begitu pula dengan Case Report Session ini.
Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan.Semoga Case Report Session
ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Karakteristik hambatan aliran udara
pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada
setiap individu.
PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam
waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna
sebagai petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya.
Dampak ppok pada setiap individu tergantung derajat keluhan (khususnya
sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala komorbid
lainnya.Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran
udara.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:
Emfisema merupakan diagnosis patologik
Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam
saluran napas.
2.2 Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit
tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya
pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan
kejadian PPOK; semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok
2
usia muda; serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan
di tempat kerja.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, dan tahun
2002 menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO,
2002). Di negara Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 18 miliar US$ setahun
untuk penatalaksanaan PPOK dan biaya tak langsung sebesar 14 miliar US$,
dengan jumlah pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang
meninggal.
The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan, jumlah
penderita PPOK sedang hingga berat dinegara-negara Asia pasifik tahun 2006
mencapai 56,6 Juta penderita dengan prevalensi 6,3 %. Angka prevalensi berkisar
3,5 6,7%, seperti : China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang
(5,014 juta jiwa) dan Vietnam (2,068 juta jiwa) sementara di Indonesia
diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90 % penderita
PPOK adalah perokok atau mantan perokok.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK.Pada
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari
10 penyebab kesakitan utama.SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronchitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6
dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di
5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK
menempati urutan pertama penyumbang angka kesakaitan (35%), diikuti asma
bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun
2001, sebanyak 54,5 % penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan
perokok, 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah
ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar
3
anggota rumah tangga merupakan perokok pasif (BPS, 2001). Jumlah perokok
yang berisiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20-25%.
Hubungan antara rokok dengan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih
banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok
tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.
Resiko PPOK
1. Asap rokok
2. Polusi udara
Dalam ruangan
Diluar ruangan
3. Stres oksidatif
4. Gen
5. Tumbuh kembang paru
6. Sosial ekonomi
4
1) Asap rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.Asap rokok mempunyai
prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi
paru.Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan
VEP1.
Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang bermakna
dibandingkan dengan bukan perokok.Perokok dengan pipa dan cerutu
mempunyai morbiditi dan mortaliti lebih tinggi dibandingkan bukan perokok,
tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan perokok sigaret. Tipe lain
dari jenis rokok yang populer di berbagai negara tidak dilaporkan.
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia
mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks
Brinkman)Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis,
karena dipengaruhi oleh faktor risiko genetik setiap individu. Perokok pasif
(atau dikenal sebagai environmental tobacco smoke- ETS) dapat juga
memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan
terjadinya peningkatan jumlah inhalasi pertikel dan gas.Merokok selama
kehamilan dapat berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang
paru di uterus dan dapat menurunkan sistem imun awal.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat :> 600
Asap rokok merupakan penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor
5
penyebab lainnya.Identifikasi merokok sebagai faktor risiko yang paling
biasa ditemui untuk PPOK telah menyebabkan penggabungan program
berhenti merokok sebagai elemen kunci dari pencegahan PPOK, serta
intervensi penting bagi pasien yang sudah memiliki penyakit.
2) Polusi udara
Berbagai macam partike dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi
a) Polusi di dalam ruangan
Asap rokok
Asap kompor
b) Polusi di luar ruangan
Gas buang kendaraan bermotor
Debu jalanan
c) Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
Polusi di dalam ruangan.
Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan
bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Kejadian
polusi di dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan dengan
ventilasi kurang baik merupakan faktor risiko terpenting timbulnya PPOK,
terutama pada perempuan di negara berkembang (Case control studies).
Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai biomass dan batubara sebagai
sumber utama energi untuk memasak, pemanas ruangan, dan keperluan
rumah tangga lainnya, sehingga populasi yang berisiko menjadi sangat
banyak.
Polusi di dalam ruangan memberikan risiko lebih besar terjadinya PPOK
dibandingkan dengan polusi sulfat atau gas buang kendaraan. Bahan bakar
biomass yang digunakan oleh perempuan untuk memasak sehingga
meningkatkan prevalensi PPOK pada perempuan bukan perokok di Asia dan
Afrika. Polusi di dalam ruangan diperkirakan akan membunuh 2 juta
perempuan dan anak-anak setiap tahunnya (GOLD, 2010)
6
Polusi di luar ruangan
Tingginya polusi udara dapat menyebabkan gangguan jantung dan paru.
Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam waktu
lama sebagai penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil prevalensinya
jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok. Efek relatif jangka pendek,
puncak pajanan tertinggi dalam waktu lama dan pajanan tingkat rendah
adalah pertanyaan yang harus dicari solusinya.
3) Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen
timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari
polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti derivat
elektron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme seluler signaling
pathway. Sel paru dilindungi oleh oxydative chalenge yang berkembag secara
sistem enzimatik atau non enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan
dan antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses oksidan dan atau deplesi
antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya
menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas
molekuler sebagai awal inflamasi paru. Jadi, ketidakseimbangan antara
oksidan dan anti oksidan memegang peranan penting pada patogenesi PPOK.
7
dengan kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan
obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.
5) Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan
yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhibungan dengan status
sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini.
Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri penyebab berkembangnya
PPOK belum jelas.Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan
kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan
kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status anabolik/katabolik berkembang
menjadi empisema pada percobaan binatang. CT scan paru perempuan
dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa menunjukkan seperti
empisema.
7) Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan The Tucson Epidemiological Study
didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena
PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain
20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya
obstruksi jalan napas ireversibel.
8
8) Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan.Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah
kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin.Sifat
resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan
penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok
dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu
dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.
Meskipun kekurangan -1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari
populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan
pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK.Gambaran di atas menjelaskan
bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK.
Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti
pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat.Hasil penelitian
menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan
timbulnya PPOK.Telah diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam
patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1dan TNF.
Gen-gen di atas banyak yang belum pasti kecuali kekurangan -1 antitrypsin.
Faktor risiko PPOK mungkin juga dihubungkan dengan cara yang lebih
kompleks, karena harapan hidup manusia yang menjadi lebih lama,
memungkinkan terjadinya paparan seumur hidup yang lebih besar terhadap
berbagai faktor resiko.
2.4 Patogenesis
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecildengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar salurannafas
9
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas.Lumen saluran nafas kecil
berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang
meningkat sesuai beratsakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang.Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebasmempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkanterjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4, tumuor necrosis
factor (TNF), monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 dan reactive oxygen
species(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan
protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul
kerusakan dinding alveolar danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan
menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,selanjutnya terjadi kerusakan seperti
proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapatkeseimbangan antara oksidan dan
antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofagdan neutrofil akan
mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksidadengan
bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik
akandiubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero,
ion fero denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan
struktur berupa destruksi alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi
radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusidan asap rokok.
10
2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat.Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci
diterangkan pada tabel 5 berikut:
11
Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai
Perlu usaha untuk bernapas, Berat,
sukar bernapas, terengah-engah
Batuk Kronik Hilang timbul dan mungkin tidak
berdahak
Batuk Kronik berdahak: Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan factor resiko, Asap rokok.
terutama Debu dan bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur
Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indikator ini ada
pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnostik
pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan
diagnosis PPOK.Spirometri diperlukan untuk memastikan diagnosis PPOK.
Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut:
Gambaran Klinis
a. Anamnesis
1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaana Fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1. Inspeksi
12
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
4. Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed-lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronkhi basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang.Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yangterjadi pada gagal napas kronik.
13
Pemeriksaan rutin
1. Faal Paru
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
14
Tabel: Pemeriksaan Spirometri
Persiapan
a. Spirometer perlu di kalibrasi secara teratur.
b. Spirometer harus menghasilkan hard copy /rekaman secara otomatis
untuk mendeteksi kesalahan teknis atau untuk mengidentifikasi apakah uji
sudah memenuhi syarat.
c. Petugas yang melakukan uji spirometri perlu pelatihan untuk mendapatkan
hasil yang efektif .
d. Usaha maksimal dari pasien diperlukan dalam melaksanakan uji ini guna
menghindari kesalahan diagnosis maupun manajemen.
Kinerja
a. Spirometri harus dilakukan menggunakan teknik yang memenuhi standar
b. Volume ekspirasi dilakukan dengan benar
c. Rekaman harus dilakukan cukup waktu untuk mencatat suatu kurva
volume/waktu yang dicapai, mungkin memerlukan waktu lebih dari 15
detik pada penyakit berat.
d. Baik KVP maupun VEP1 harus merupakan nilai terbesar yang diperoleh
dari salah satu 3 kurva dengan teknis yang benar, nilai KVP dan nilai
VEP1 dalam tiga kurva harus bervariasi dengan perbedaan tidak lebih dari
5% atau 100 ml
e. Rasio VEP1/KVP harus diambil dari kurva yang secara teknis dapat
diterima dengan nilai terbesar dari KVP maupun VEP1.
Evaluasi
a. Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil
pengukuran terhadap nilai acuan yang tepat berdasarkan usia, tinggi
badan, jenis kelamin dan ras
b. Nilai VEP1 pasca bronkodilator < 80% prediksi serta nilai VEP1/KVP
<0,70 memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel
15
b. Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE <20% nilai awal dan <200 ml
16
2. Laboratorium darah
Hb, Ht, Tr, Lekosit
Analisis Gas Darah
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
17
4. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
a. Gagal napas kronik stabil
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
5. Radiologi
a. CT-Scan resolusi tinggi
b. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
c. Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
6. Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan
7. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
8. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia
9. Kadar -1 antitripsin
Kadar antitripsin -1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin -1 jarang ditemukan di Indonesia.
18
ireversibel.
19
menunjukkan daerah hypodense
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) adalah penyakit obstruksi
saluran napas yang ditemukan pada penderia pascatuberkulosis dengan lesi
paru yang minimal
Pneumotoraks
Gagal Jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung
2.7 Klasifikasi
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderia, oleh sebab itu
perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi
dengan VEP1.
20
Tabel. Klasifikasi PPOK
Derajat Klinis Faal Paru
Gejala klinis (batuk, Normal
produksi sputum)
Derajat I: PPOK Ringan Gejala batuk kronik dan VEP1 / KVP < 70 %.
produksi sputum ada VEP1 80% prediksi
tetapi tidak sering. Pada
derajat ini pasien sering
tidak menyadari bahwa
fungsi paru mulai
menurun
Derajat II: PPOK Sedang Gejala sesak mulai VEP1 /KVP < 70 %
dirasakan saat aktivitas 50%<VEP1<80%
dan kadang ditemukan prediksi
gejala batuk dan produksi
sputum. Pada derajat ini
biasanya pasien mulai
memeriksakan
kesehatannya
Derajat III: PPOK Berat Gejala sesak lebih berat, VEP1 /KVP < 70 %
penurunan aktivitas, rasa 30%<VEP1<50%
lelah dan serangan prediksi
eksaserbasi semakin
sering dan berdampak
pada kualitas hidup
pasien
Derajat IV: PPOK Gejala di atas ditambah VEP1/ KVP < 70 %
Sangat Berat tanda- tanda gagal napas VEP1< 30% prediksi atau
atau gagal jantung kanan VEP1 < 50% prediksi
dan ketergantungan
disertai gagal napas
oksigen. Pada derajat ini
kronik
kulitas hidup pasien
21
memburuk dan jika
eksaserbasi dapat
mengancam jiwa
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:
a. Mengurangi gejala
b. Mencegah progresifitas penyakit
c. Meningkatkan toleransi latihan
d. Meningkatkan status kesehatan
e. Mencegah dan menangani komplikasi
f. Mencegah dan menangani eksaserbasi
g. Menurunkan kematian
22
Tabel. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK
DERAJAT I DERAJAT II DERAJAT III DERAJAT IV
VEP1 /KVP <70% VEP1/KVP < 70% VEP1/KVP 70% VEP1 / KVP
VEP180 % 50 % < VEP1< 80 30 % VEP150 < 70% VEP1 < 30
prediksi % prediksi % prediksi % prediksi
23
f. Ventilasi mekanik
g. Nutrisi
a. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil.Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru.Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma.
24
4) Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5) Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
a. Batuk atau dan sesak bertambah
b. Sputum bertambah
c. Sputum berubah warna
6) Mendeteksi dan menghinddari pencetus eksaserbasi
7) Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
b. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif
dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas
penyakit .
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:
1) Ask (Tanyakan) : Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
2) Advise (Nasihati) : Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti
merokok.
3) Assess (Nilai) : Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30
hari ke depan).
4) Assist (Bimbing) : Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan
farmakoterapi.
5) Arrange (Atur) : Buat jadwal kontak lebih lanjut.
c. Obat-Obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.Pemilihan bentuk
obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting).
25
Macam-macam bronkodilator :
1) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari).
2) Golongan agonis -2
Bentuk inhaler digunakan unttuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
3) Kombinasi antikolinergik dan agonis -2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita
4) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa
atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
26
Tabel. Derajat dan rekomendasi pengobatan PPOK
DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI
Semua derajat Edukasi (hindari faktor
pencetus)
Bronkodilator kerja singkat
(SABA, Antikolinergik kerja
cepat, Xantin) bila perlu
Vaksinasi influenza
Derajat I : VEP1 /KVP < 70% Bronkodilator kerja singkat (SABA,
PPOK Ringan VEP1 80 % prediksi Antikolinergik kerja cepat, Xantin)
bila perlu
Dengan atau tanpa gejala
Derajat II : VEP1/KVP < 70% 50 % 1. Pengobatan reguler dengan
PPOK Sedang < VEP1< 80 % prediksi bronkodilator:
27
memberikan respons klinis
atau eksaserbasi berulang
PDE-4 inhibitor
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi respirasi)
Derajat IV: VEP1 /KVP < 70% 1. Pengobatan reguler dengan 1 atau
PPOK Sangat VEP1 < 30 % prediksi lebih bronkodilator:
Berat atau gagal napas atau Agonis -2 kerja panjang
28
Tabel. Obat-obatan PPOK berdasarkan gejala
Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis
Tanpa Gejala - Tanpa Obat
Gejala intermiten Agonis 2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu
(Pada waktu
aktivitas)
Gejala terus Antikolinergik Ipratropium bromida 2 4 semprot 3 4 x
menerus kerja singkat 20 gr / hari
29
timbul gejala
pada waktu Salmeterol 1-2 semprot
malam atau pagi 25 gr/ semprot 2 x/ hari
hari tidak melebihi
2x/hari
30
Tabel. Obat-obatan PPOK
Formulations and Typical Doses of COPD Medications
Beta2-agonists
Short-acting
0.05%
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 4-6
(Syrup)
5 mg (Pill),
Salbutamol 100, 200 (MDI &
5 0.024%(Syru 0.1, 0.5 4-6
(albuterol) DPI)
p)
2.5, 5 mg
Terbutaline 400, 500 (DPI) 4-6
(Pill)
Long-acting
Arformoterol 0.0075 12
Olodaterol 5 (SMI) 24
31
2 mg
Tulobuterol 24
(transdermal)
Anticholinergics
Short-acting
Ipratropium
20, 40 (MDI) 0.25-0.5 6-8
bromide
Oxitropium
100 (MDI) 1.5 7-9
bromide
Long-acting
Aclidinium
322 (DPI) 12
bromide
Glycopyrronium
44 (DPI) 24
bromide
Fenoterol +
200/80 (MDI) 1.25/0.5 6-8
Ipratropium
Salbutamol +
100/20 (SMI) 6-8
Ipratropium
12/340 (DPI) 12
Formoterol +
32
aclidinium
Indacaterol +
85/43 (DPI) 24
glycopyrronium
Olodaterol +
5/5 (SMI) 24
tiotropium
Vilanterol +
25/62.5 (DPI) 24
umeclidinium
Methylxanthines
200-600 mg Variable, up
Aminophylline 240
(Pill) to 24
100-600 mg Variable, up
Theophylline (SR)
(Pill) to 24
Inhaled corticosteroids
Formoterol +
6/100 (MDI & DPI)
beclometasone
33
budesonide 9/320 (DPI)
Vilanterol +
Fluticasone 25/100 (DPI)
furoate
Systemic corticosteroids
Methyl- 4, 8, 16 mg
prednisolone (Pill)
Phosphodiesterase-4 inhibitors
500 mcg
Roflumilast 24
(Pill)
Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
34
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous (misalnya ambroksol, erdostein). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.
Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phosphodiesterase-4 inhibitor,
roflumilast dapat mengurangi eksaserbasi, diberikan secara oral dengan
glukokortikosteroid. Roflumilast juga dapat mengurangi eksaserbasi jika
dikombinasikan dengan LABA. Sejauh ini belum ada penelitian yang
membandingkan Roflumilast dengan glukortikosteroid inhalasi.
35
d. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.Pemberian terapi oksigen merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat oksigen:
1) Mengurangi sesak
2) Memperbaiki aktivitas
3) Mengurangi hipertensi pulmonal
4) Mengurangi vasokonstriksi
5) Mengurangi hematokrit
6) Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
7) Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi:
1) PaO2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90 %
2) PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Korpulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht > 55 % dan tanda- tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain
e. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan gagal napas kronik.Ventilasi mekanik dapat digunakan di
rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
36
Ventilasi mekanik tanpa intubasi:
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal
napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.Bentuk ventilasi mekanik
tanpa intubasi adalah noninvasive intermitten positif pressure (NIPPV) atau
Negative pressure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
1) Volume control
2) Pressure control
3) Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
4) Continous positive airway pressure (CPAP)
37
2) Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan
dapat diperbaiki, misalnya pneumonia
3) Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi
sebagai berikut :
1) PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
2) Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
3) Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
38
4) Dibantu dengan NIPPV
f. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Gizi penting sebagai penentu gejala, cacat dan prognosis dalam PPOK, baik
kelebihan berat badan dan kurus bisa menjadi masalah.Khusus rekomendasi gizi
untuk pasien dengan PPOK didasarkan pada pendapat ahli. Kira-kira 25% dari
pasien dengan PPOK derajat II sampai derajat IV menunjukkan penurunan baik
indeks massa tubuh dan massa lemak bebas. Pengurangan indeks massa tubuh
merupakan faktor risiko independen untuk mortalitas PPOK.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan
ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
1) Hipophospatemi
2) Hiperkalemi
3) Hipokalsemi
4) Hipomagnasemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma.Dianjurkan pemberian nutrisi
dengan komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih
sering.
39
g. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOKPenderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan
optimal yang disertai :
1) Simptom pernapasan berat
2) Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
3) Kualiti hidup yang menurun
40
Penatalaksaan rawat jalan di poliklinik meliputi :
1) Mengatasi eksaserbasi ringan sampai sedang
2) Menjaga tidak terjadi gagal napas akut pada gagal napas kronik
3) Mengatasi komplikasi ringan
Penatalaksanaan di rumah:
Penatalaksanaan di rumash ditujukan untuk mempertahankan PPOK stabil.
Mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal harus diperhatikan selama di
rumah, baik oleh pasien sendiri maupun keluarganya. Penatalaksanaan di rumah
ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau
ventilasi mekanik.
2) Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK
derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya
41
digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada
PPOK derajat berat yang menggunakan terapi oksigen di rumah pada
waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu
tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter
3) Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya
Beberapa penderita PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di
rumah.
4) Rehabilitasi
a) Menyesuaikan aktiviti
b) Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough) pursed-
lips breathing- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5) Evaluasi & monitor
a) Tanda eksaserbasi
b) Efek samping obat
c) Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen
Gejala eksaserbasi :
1) Sesak bertambah
2) Produksi sputum meningkat
3) Perubahan warna sputum
42
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat
jalan atau rawat inap dan dilakukan di :
43
1) Poliklinik rawat jalan
2) Unit gawat darurat
3) Ruang rawat
4) Ruang ICU
44
Penanganan di gawat darurat
1) Tentukan masalah yang menonjol, misalnya
a) Infeksi saluran napas
b) Gangguan keseimbangan asam basa
c) Gawat napas
2) Triase untuk ke ruang rawat atau ICU
45
1) Diagnosis beratnya eksaerbasi
a) Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
b) Kesadaran
c) Tanda vital
d) Analisis gas darah
e) Pneumonia
2) Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa.dapat dilakukan di ruang gawat darurat,
ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau
Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia.gunakan sungkup dengan kadar
yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar Paco2
dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi
adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik.Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation
(NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
3) Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a) Antibiotik
Peningkatan jumlah sputum
Sputum berubah menjadi purulen
Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir.Pemberian
antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena,
sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya
kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.
b) Bronkodilator
Bila rawat jalan -2 agonist dan antikolinergik harus diberikan
dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila
46
digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar
bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser
yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan
oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan
retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator
diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih
sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai
efek samping bronkodilator.
c) Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi.Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari
selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena.
Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang
lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
4) Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5) Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan
mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom.
Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan
ventilasi mekanik dengan intubasi
6) Kondisi lain yang berkiatan
Monitor balans cairan elektrolit
Pengeluaran sputum
Gagal jantung atau aritmia
7) Evaluasi ketat progesivitas penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera
dapat mencegah dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan
ventilasi mekanik.
47
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :
Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
Kesadaran menurun
Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg
Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
1) Memperbaiki fungsi paru
2) Memperbaiki mekanik paru
3) Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
4) Memperbaiki kualiti hidup
48
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
1) Bulektomi
2) Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey
(LVRS)
3) Transplantasi paru
2.9 Komplikasi
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif
dan tidak sepenuhnya reversibel seperti:
1) Gagal napas
Gagal napas kronik
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2) Infeksi berulang
3) Kor pulmonal
Infeksi berulang :
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
49
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada
kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limposit darah.
Kor pulmonal:
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal jantung kanan
50
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. AA
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 79 tahun
Pekerjaan : Pensiunan
No. MR : 002871
II. Anamnesis
Keluhan utama:
Sesak napas yang bertambah berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
51
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat mengkonsumsi OAT (+) tahun 1970, tuntas 6 bulan
Riwayat penyakit jantung (+) hipertrofi atrium kanan sejak 5 tahun
yang lalu
Riwayat hipertensi (+) sejak 5 tahun yang lalu
Riwayat DM (-) disangkal
Kepala: Normochepal
52
Mata
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Leher
JVP : 5-2 cmH20
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Thorax
Paru
Inspeksi : Normochest, sela iga tidak melebar,
gerakan pernafasan simetris kiri dan kanan dalam keadaan
statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi: Vesikuler diseluruh lapang paru,
wheezing (+/+), rhonki (-/-), ekspirasi memanjang
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari lateral line midclavicula sinistra
di RIC V
Perkusi :
-Batas kanan jantung : RIC 4 linea parasternalis dextra
-Batas atas jantung : RIC 2 linea sternalis sinistra
-Batas kiri jantung : RIC 5, 1 jari lateral line midclavicula sinistra
Auskultasi: bunyi jantung S1 S2 reguller, bising (-) murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : normal, tidak ada sikatrik dan kelainan kulit
Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : timpani
53
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Ekstemitas
Akral hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-)
Diagnosis Kerja :
Suspect PPOK eksaserbasi akut + bekas TB
Diagnosa Banding :
Suspect Asma persisten sedang dalam serangan akut ringan + TB relaps
Terapi :
Non Farmakologi :
- Bedrest
- Batasi aktivitas
- Jaga asupan makanan nutrisi
- Minum obat secara teratur
- Pemasangan O2 kanul binasal 3L/menit
Farmakologi :
IVFD RL 500cc + drip Aminophilin 9,2 cc / 12 jam
Nebulisasi Ipratropium bromida 20gr + salbutamol 100gr 3x1
Amoxicillin 3 x 500 mg
Ambroxol 3 x 20 mg
Metil prednisolon 2 x 8 mg
54
N Acetylcystein 2 x 300 mg
Curcuma 3 x 20 mg
Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan faal paru spirometri
Cek BTA sputum SPS
55
FOLLOW UP
Rabu, 25 Oktober 2017
Anamnesis
Sesak nafas : Ada, sudah minimal
Demam : Tidak ada, suhu 36,6C
Batuk/Batuk darah : Ada, sudah minimal, dahak berwarna putih
Nyeri dada : Ada, sudah minimal
Nafsu makan : Baik
Pemeriksaan Fisik
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis Cooperatif
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 75x / menit, reguler
Nafas : 23x/menit
Paru
Inspeksi : Normochest, sela iga tidak melebar,
gerakan pernafasan simetris kiri dan kanan dalam keadaan
statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi: Vesikuler diseluruh lapang paru,
wheezing (+/+), rhonki (-/-), ekspirasi memanjang
56
Farmakologi :
IVFD RL 500cc + drip Aminophilin 9,2 cc per 12 jam/kolf
Nebulisasi Ipratropium bromida 20gr + salbutamol 100gr 3x1
Amoxicillin 3 x 500 mg
Ambroxol 3 x 20 mg
Metil prednisolon 2 x 8 mg
N Acetylcystein 2 x 300 mg
Curcuma 3 x 20 mg
57
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada laporan kasus ini, Tn. A (79 tahun) di diagnosa dengan Suspect PPOK
eksasebasi akut + bekas TB, diagnosa ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, sesak
nafas meningkat sejak 1 hari SMRS, menciut, dan dirasakan sejak 2 hari yang lalu
SMRS, meningkat bila beraktivitas, tidak dipengaruhi cuaca, emosi, dan makanan,
bertambah berat ketika pasien batuk, terjadi > 1 kali dalam seminggu, hilang timbul.
Batuk berdahak meningkat sejak 2 hari SMRS, dahak berwarna kuning kental, sudah
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu SMRS, hilang timbul. Nyeri dada sejak 1 hari
SMRS, tidak menjalar ke lengan atas, hilang timbul hanya dirasakan saat batuk saja.
Demam (-), batuk berdarah (-), keringat malam (-), nafsu makan menurun (-),
penurunan berat badan (-) disangkal.
Dari Riwayat penyakit sebelumnya Tn. A, memliki riwayat minum OAT (+)
tahun 1970 tuntas selama 6 bulan minum OAT teratur setiap hari. Riwayat penyakit
jantung (+) hipertrofi atrium kanan sejak 5 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi (+)
sejak 5 tahun yang lalu. Riwayat DM (-) disangkal
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan, tekanan Darah 130/80 mmHg, Nadi
80x/menit, Nafas 25x/menit. Pada mata tidak ditemukan sklera ikterik dan
konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan fisik paru pada inspeksi normochest, sela iga
tidak melebar, gerakan pernafasan simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan
dinamis, pada palpasi fremitus sama kiri dan kanan, perkusi sonor pada seluruh
lapang paru, auskultasi vesikuler diseluruh lapang paru, wheezing (+/+), rhonki (-/-),
ekspirasi memanjang
Diberikan terapi oksigen kanul binasal 3 liter / menit, IVFD RL 500cc + drip
aminofilin 9,2cc 12 jam/kolf, nebulisasi Ipratropium bromida 20gr + salbutamol
100gr 3x1, Amoxicillin 3 x 500 mg, Ambroxol 3 x 20 mg, Metil prednisolon 2 x 8
mg, N Acetylcystein 2 x 300 mg, Curcuma 3 x 20 mg
58
DAFTAR PUSTAKA
Global Initiative for Cronic Obstructive Lung Disease. 2016. Global Strategy
for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Available from: http://www.goldcopd.com
Global Initiative for Cronic Obstructive Lung Disease. 2015. Global Strategy
for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Available from: http://www.goldcopd.com
Global Initiative for Cronic Obstructive Lung Disease. 2010. Global Strategy
for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Available from: http://www.goldcopd.com
59