Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FARMAKOTERAPI

SISTEM PERNAPASAN, PENCERNAAN DAN ENDOKRIN


STUDI KASUS: PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
(PPOK)

Kelompok 10
Anggota:
Arum Dwi Kusumarani (2020210221)
Elsa Aprilianti (2020210223)
Najmi Fawwaz ‘Arifah (2020210224)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit pernafasan
yang bersifat kronis progresif. PPOK merupakan permasalahan global yang terjadi di
masyarakat hingga sekarang yang disebabkan oleh karena angka kejadian serta angka
kematian yang terus meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia.1 PPOK saat ini berada
di urutan ke empat penyebab kematian terbanyak di dunia setelah penyakit jantung, kanker,
serta penyakit serebrovaskular, dan memiliki potensi untuk naik ke urutan ketiga terbanyak
pada tahun 2020 pada pria maupun wanita.2 Pada tahun 2012 angka kematian yang
disebabkan PPOK mencapai 3 juta jiwa atau secara proporsi sekitar 6% dari angka seluruh
kematian dunia.3 Selama tahun 2000, insiden PPOK di instalasi gawat darurat seluruh
rumah sakit di Amerika mencapai 1,5 juta kasus, 726.000 kasus diantaranya memerlukan
perawatan di rumah sakit dan 119.000 diantaranya meninggal. Total estimasi biaya untuk
pengobatan penyakit PPOK sendiri diperkirakan mencapai $ 24 miliar per tahunnya. Di
Indonesia, data mengenai insiden dan prevalensi PPOK secara akurat belum dapat
ditentukan, hal ini dikarenakan masih banyak penderita yang tidak tercatat maupun tidak
terdiagnosa dikarenakan kurangnya fasilitas. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) Depkes. RI tahun 2004 angka kejadian PPOK sebesar 13 dari 1000 orang
penduduk, dimana angka ini menempati urutan ke-5 terbesar sebagai penyebab kesakitan
dari 10 penyebab kesakitan terbanyak (Depkes RI, 2005). Menurut Riset Kesehatan Dasar
2007, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke enam sebagai penyakit
penyebab tersering kematian di Indonesia.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah proses inflamasi kronis yang heterogen,
saluran udara mengalami kerusakan alveoli dan pembuluh darah. Pada kasus ini didapatkan
seorang laki-laki berumur 63 tahun datang ke IGD RSUD dr.Sayidiman. Pasien Tn.S
datang ke IGD RSUD dr.Sayidiman Magetan pada tanggal 01 Desember 2019 diantar oleh
keluarganya dengan keluhan sesak napas (+) yang semakin meningkat sejak 1 hari yang
lalu, sesak mengi dan dirasakan terus menerus, sesak semakin meningkat saat beraktivitas,
berkurang dengan posisi duduk, riwayat sesak napas sejak ± 5 tahun yang lalu. Pada
pemeriksaan perkusi thorax didapatkan hipersonor di seluruh lapang paru kanan dan kiri
sedangkan, pada pemeriksaan auskultasi thorax didapatkan suara wheezing pada lapang
paru kanan dan kiri dengan hasil pemeriksaan foto thorax PA yaitu penyakit paru obstruktif
kronik.
Data WHO, menyatakan bahwa PPOK telah mengakibatkan lebih dari 3 juta orang
meninggal dunia pada tahun 2012 atau sebesar 6% dari total kematian di dunia pada tahun
tersebut. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah suatu keadaan kegawatdaruratan
yang dapat menyebabkan kematian pada penderita dimana kematian dengan penyebab
tersebut menempati urutan nomor tiga di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.

B. Rumusan Masalah
1. Apa patofisiologi dari penyakit paru obstruktif kronik?
2. Bagaimana farmakoterapi pada penyakit paru obstruktif kronik?

C. Tujuan
1. Mengetahui patofisiologi penyakit paru obstruktif kronik
2. Mengetahui farmakoterapi pada penyakit paru obstruktif kronik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernapasan yang disebabkan
oleh emfisema dan bronkitis kronis. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
sekolompok penyakit paru menahun yang berlangsung lama dan disertai dengan
peningkatan resistensi terhadap aliran udara, Selompok penyakit paru tersebut adalah
bronkitis kronis, emfisema paru-paru dan asma bronkial.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah
dan dapat ditangani yang memiliki karakteristik gejala pernafasan yang menetap dan
keterbatasan aliran udara. Hal ini dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus
yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya.

B. Patofisiologi
Penyakit paru obstruktif kronik ditandai dengan perubahan inflamasi kronis yang
menyebabkan perubahan jaringan destruktif dan perkembangan keterbatasan aliran udara
kronis. Proses inflamasi tersebar luas dan melibatkan saluran udara, pembuluh darah paru,
dan parenkim paru. Paparan gas berbahaya dan partikel mengaktifkan sel inflamasi untuk
melepaskan berbagai mediator kimia. Sementara asma dan PPOK dihasilkan dari respons
inflamasi, akan sangat membantu untuk membedakan jenis sel inflamasi dan mediator yang
terlibat karena respons terhadap terapi antiinflamasi berbeda antara kedua penyakit.
Peradangan yang terlihat pada PPOK sering disebut sebagai neutrofilik, tetapi makrofag
dan limfosit CD8+ juga memainkan peran utama. Pada sebagian kecil pasien dengan
PPOK, mungkin ada peradangan yang umum terjadi pada PPOK dan asma dan pasien
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai "sindrom tumpang tindih asma-PPOK”.
Proses lain yaitu peningkatan stres oksidatif dan ketidakseimbangan antara sistem
pertahanan destruktif dan protektif di paru-paru (protease dan antiprotease). Interaksi yang
berubah antara oksidan saluran napas dan antioksidan bertanggung jawab atas peningkatan
stres oksidatif yang ada pada PPOK. Peningkatan penanda oksidan (misalnya, hidrogen
peroksida dan oksida nitrat) terlihat pada cairan lapisan epitel dan dihasilkan oleh asap
rokok atau partikel berbahaya. Oksidan bereaksi dengan dan merusak berbagai protein dan
lipid, menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Oksidan juga memicu peradangan secara
langsung dan memperburuk ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan menghambat
aktivitas antiprotease. Proses-proses ini mungkin merupakan hasil dari peradangan yang
sedang berlangsung atau terjadi sebagai akibat dari tekanan dan paparan lingkungan.
Perubahan patologis PPOK tersebar luas, mempengaruhi saluran udara besar dan kecil,
parenkim paru, dan pembuluh darah paru. Eksudat inflamasi sering hadir yang
menyebabkan peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar lendir. Sekresi mukus
meningkat, dan motilitas silia terganggu. Ada juga penebalan otot polos dan jaringan ikat
di saluran udara. Peradangan hadir di saluran udara pusat dan perifer. Peradangan kronis
menghasilkan cedera berulang dan proses perbaikan yang mengarah ke jaringan paru dan
fibrosis. Penyempitan jalan napas difus terjadi dan lebih menonjol pada saluran napas
perifer yang lebih kecil. Obstruksi aliran udara dikaitkan dengan peradangan saluran napas,
sedangkan kelainan gas darah hasil dari gangguan transfer gas karena kerusakan parenkim
dan hilangnya jaringan alveolar-kapiler.

C. Studi Kasus
Pasien Tn.S datang ke IGD RSUD dr.Sayidiman Magetan pada tanggal 01 Desember
2019 diantar oleh keluarganya dengan keluhan sesak napas (+) yang semakin meningkat
sejak 1 hari yang lalu, sesak mengi dan dirasakan terus menerus, sesak semakin
meningkat saat beraktivitas, berkurang dengan posisi duduk, sesak tidak dipengaruhi oleh
emosi, cuaca, maupun makanan. Riwayat sesak napas sejak ± 5 tahun yang lalu, sesak
berkurang setelah minum obat salbutamol. Namun 1 hari yang lalu sesak tidak berkurang
dengan minum obat. Keluhan penyerta berupa batuk berdahak dengan dahak berwarna
putih kental sejak ± 3 hari yang lalu. Tidak terdapat riwayat batuk darah dan nyeri dada.
Riwayat penyakit dahulu seperti penyakit ginjal, alergi, asma dan opname disangkal.
Riwayat penyakit keluarga seperti penyakit serupa, asma, diabetes mellitus, hipertensi dan
jantung disangkal. Riwayat kebiasaan merokok diakui oleh pasien. Pasien seorang petani.
Pasien merokok sejak umur 18 tahun dan berhenti merokok saat umur 50 tahun, pasien
merokok ± 1 bungkus/hari. Indeks Brinkman: 32 tahun x 20 batang/ hari.

D. Farmakoterapi Umum
Terapi farmakologi ditujukan untuk mengurangi gejala, menurunkan frekuensi dan
tingkat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap latihan fisik dan status
kesehatan.
Hingga saat ini, belum ada bukti uji klinik yang menyimpulkan bahwa obat-obat yang
tersedia untuk PPOK dapat memodifikasi penurunan fungsi paru jangka panjang.
Pemilihan obat dalam setiap golongan obat tergantung ketersediaan dan biaya, respons
klinis, dan efek samping. Setiap terapi memerlukan regimen individual terkait keparahan,
limitasi aliran udara, dan tingkat keparahan eksaserbasi.
Golongan obat farmakologi pada terapi PPOK:
a. Bronkodilator
 Agonis β2
Kerja utama agonis β2 adalah merelaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor adrenergik beta-2, yang meningkatkan cAMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi. Efek samping
berupa sinus takikardia saat istirahat dan berpotensi mencetuskan gangguan irama
jantung, dan tremor somatik. Golongan obat ini terdiri dari:
 Short acting beta2-agonist (SABA): Salbutamol, fenoterol
 Long acting beta2-agonist (LABA): Formoterol, salmeterol, indacaterol,
oladaterol, vilanterol (inhalasi)
 Antikolinergik/ Antagonis muskarinik
Bekerja memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor muskarinik
M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan napas. Antikolinergik inhalasi hampir
tidak diabsorpsi sehingga efek samping sistemiknya lebih rendah dibanding
atropine. Antikolinergik terdiri dari:
 Short-acting muscarinic antagonist (SAMA): Ipratropium, oxitropium
 Long-acting muscarinic antagonist (LAMA): Tiotropium, aclidinium,
umeclidinium, glycopyrronium bromide
 Derivat Xanthine
Efek pasti obat golongan ini masih kontroversi, bisa bekerja sebagai penghambat
phosphodiesterase nonselektif, tetapi juga dilaporkan mempunyai efek
bronkodilator. Rasio terapeutik derivat xanthine kecil dan sebagian besar
manfaatnya terjadi hanya saat diberikan pada dosis yang hamper toksik.
Contoh: Theophylline dan doxofylline yang diberikan per oral.
b. Antiinflamasi
 Corticosteroid inhalation (ICS)
Corticosteroid yang diberikan regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru,
kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 diprediksi < 60%.
Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa terapi reguler dengan
corticosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1 atau mortalitas jangka
panjang pada pasien PPOK.
Contoh: Fluticasone, Budesonide
 Glucocorticoid oral
Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut pada pasien
dirawat di rumah sakit, atau selama di unit gawat darurat, menurunkan tingkat
kegagalan terapi, tingkat relaps, dan memperbaiki fungsi paru dan sesak napas,
namun penggunaannya pada terapi harian jangka panjang pada PPOK tidak
dianjurkan karena komplikasi sistemik yang tinggi.
 Phosphodiesterase-4 inhibitor
Kerja utama PDE4 inhibitor adalah mengurangi inflamasi dengan menghambat
pemecahan C-AMP intraseluler. Contoh obat golongan ini adalah Roflumilast yang
diberikan sekali sehari secara oral. Efek samping pada penggunaan PDE4 inh
seperti mual, menurunkan nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur, dan sakit
kepala.
c. Terapi kombinasi
 Kombinasi bronkodilator
Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme dan lama kerja berbeda dapat
meningkatkan derajat bronkodilatasi dengan risiko efek samping lebih rendah
dibanding meningkatkan dosis bronkodilator tunggal. Kombinasi SABA dan
SAMA lebih unggul dibanding obat tunggal dalam memperbaiki FEV1 dan gejala
PPOK. Terapi dengan formoterol dan tiotropium dalam inhaler terpisah
memberikan dampak yang lebih besar dibanding obat tunggal.
Kombinasi LABA/LAMA dengan dosis yang lebih rendah yang diberikan dua
kali sehari menunjukkan perbaikan gejala dan status kesehatan pada pasien PPOK.
Salah satu studi pada pasien dengan Riwayat eksaserbasi mengkonfirmasi
bahwa kombinasi LABA/LAMA menurunkan eksaserbasi lebih besar dibanding
kombinasi LABA/ICS.
 Kombinasi LABA/ICS
Pada pasien dengan PPOK sedang hingga sangat berat dan eksaserbasi, kombinasi
LABA/ICS lebih efektif dibanding obat tunggal dalam memperbaiki fungsi paru,
status kesehatan, dan menurunkan eksaserbasi. Namun studi klinis, gagal
menunjukkan efek bermakna dari terapi kombinasi pada kelangsungan hidup.
 Terapi inhalasi 3 obat
Penambahan LAMA pada kombinasi LABA/ICS dapat memperbaiki fungsi paru,
khususnya pada risiko eksaserbasi.
d. Obat lain
 Antibiotik
Beberapa antibiotik dapat menurunkan tingkat eksaserbasi PPOK. Azithromycin
(250 mg/hari atau 500 mg 3 kali seminggu) atau erythromycin (500 mg 2 kali sehari)
selama 1 tahun pada pasien yang rentan eksaserbasi, dapat menurunkan risiko
eksaserbasi dibanding perawatan biasa. Namun penggunaan azithromycin dalam
jangka panjang dapat meningkatkan resistensi baktri dan gangguan pendengaran.
 Mukolitik
Pada pasien PPOK yang tidak mendapat ICS, terapi reguler dengan mukolitik
seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat menurunkan eksaserbasi dan
sedikit memperbaiki status kesehatan.
 Alpha-1 antitrypsin augmentation therapy
Obat ini diberikan secara intravena untuk meminimalisasi perkembangan dan
progresivitas penyakit paru serta menjaga fungsi dan struktur paru pada pasien
dengan defisiensi alpha-1 antitrypsin (AATD). Obat ini direkomendasikan pada
pasien dengan AATD dan FEV1 diprediksi <65%. Namun studi baru-baru ini
merekomendasikan bahwa semua pasien dengan bukti penyakit paru progresif
sebaiknya dipertimbangkan untuk penyakit paru terkait AATD, dan FEV1 >65%.
 Vasodilator
 Antitusif

Pemilihan terapi golongan obat berdasarkan kelompok pasien PPOK:


a. Kelompok A
(lebih sedikit gejala dengan sedikit risiko)
 Semua pasien diberi terapi bronkodilator (bronkodilator kerja singkat atau kerja
panjang)
 Terapi dapat dilanjutkan jika ditemukan manfaat simtomatik.
b. Kelompok B
(lebih banyak gejala dengan sedikit risiko)
 Terapi awal bronkodilator kerja panjang karena lebih unggul dibanding
bronkodilator kerja singkat
 Untuk sesak napas berat, dapat direkomendasikan terapi awal menggunakan dua
bronkodialtor
 Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, terapi dapat
dikembalikan ke bronkodilator tunggal, pada kelompok ini sebaiknya diperiksa
kemungkinan komorbiditas yang dapat menambah gejala dan mempengaruhi
prognosis.
c. Kelompok C
(lebih sedikit gejala dengan lebih banyak risiko)
 Terapi awal bronkodilator kerja panjang tunggal. LAMA (long acting muscarinic
antagonist) lebih unggul disbanding LABA (long acting beta-2 agonist) dalam
mencegah eksaserbasi, sehingga LAMA lebih direkomendasikan untuk terapi awal
kelompok ini
 Penambahan bronkodilator kerja panjang kedua (LABA/LAMA) atau kombinasi
LABA dengan corticosteroid inhalasi (ICS) dapat bermanfaat pada pasien dengan
eksaserbasi menetap. Mengingat ICS dapat meningkatkan risiko pneumonia,
pilihan utama adalah kombinasi LABA//LAMA.
d. Kelompok D
(lebih banyak gejala dengan lebih banyak risiko)
 Direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi LABA/LAMA karena:
- LABA/LAMA lebih unggul dibanding obat tunggal. LAMA lebih dipilih untuk
mencegah eksaserbasi dibandingkan dengan LABA
- Kombinasi LABA/LAMA lebih tunggul dibanding kombinasi LABA/ICS
dalam mencegah eksaserbasi.
 Pasien kelompok D mempunyai risiko pneumonia lebih tinggi jika mendapat terapi
ICS
 Beberapa pasien, pilihan pertama untuk terapi awal adalah kombinasi LABA/ICS,
seperti pada riwayat dan/ atau penemuan yang menunjukkan tumpang tindih antara
asma dengan PPOK. Tingginya eosinofil darah juga dipertimbangkan sebagai
parameter yang mendukung penggunaan ICS, meskipun masih diperdebatkan.
E. Farmakoterapi Terkait Kasus
Tata laksana pasien PPOK pada kasus ini yaitu:
Obat Bahan aktif Rute Dosis Frekuensi
Bronkodilator
Combivent Ipratropium bromide dan Inhalasi 1 UDV* tiap 8 jam
salbutamol sulfat 3 x sehari
Aminofilin inj Aminofilin Intravena 240 mg
(Drip) 20 tpm
Antibiotik
Ceftriaxone inj Ceftriaxone Intravena 1g tiap 12 jam
2 x sehari
Kortikosteroid
Dexamethasone Dexamethasone Intravena 5 mg/mL tiap 8 jam
inj 3 x sehari
Mukolitik
Solvinex inj Bromhexine HCl Intravena 1 ampul tiap 8 jam
2 x sehari
Lainnya
Infus RL* Larutan Ringer laktat Intravena Individual
*UDV= unit dose vial; infus RL= larutan ringer laktat.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
PPOK adalah penyakit respirasi kronik dengan adanya hambatan aliran udara progresif,
yang berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas. Masalah
yang menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan
(bronkitis kronik) maupun pada parenkim paru (emfisema). Suatu kasus obstruksi aliran
udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK jika obstruksi aliran udara ekspirasi
tersebut cenderung progresif. Pada fase awal, kedua penyakit ini belum dapat digolongkan
ke dalam PPOK.
Penyebab PPOK yaitu merokok, lapangan kerja berdebu, polusi udara, defisiensi α-1-
antitrypsin. Penyebab obstruksi saluran napas adalah radang mukosa saluran napas,
bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mukus, dan hilangnya elastisitas recoil.
Tujuan terapi PPOK adalah untuk mengurangi gejala, menurunkan eksaserbasi,
memperbaiki kualitas hidup pasien dan kemungkinan menurunkan mortalitas. Obat
farmakologi utama utama untuk PPOK adalah bronkodilator seperti agonis β2 dan
antikolinergik (antagonis muskarinik).
Edukasi ditujukan untuk mencegah penyakit bertambah berat dengan cara
menggunakan obat obatan yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktivitas
serta mencegah eksaserbasi, pengurangan pajanan faktor risiko, berhenti merokok,
keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat, dapat diberikan dalam porsi
kecil tetapi sering, rehabilitasi, terapi oksigen jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dipiro J T, Talbert R I, Yee G C, Matzke G R, Wells B G dan Posey L M. Pharmacotherapy: A


Pathophysiologic Approach. 11 Edition. New York: Mc Graw Hill, Medical Publishing Division;
2008, p. 1214-1216, 1239-1242.
2. Sari M A, Nurromdhoni I, Penyakit Paru Obstruksi Kronis: Laporan Kasus. Jurnal Kedokteran. H
449-460.
3. Kristiningrum E. Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Jurnal Cermin Dunia
Kedokteran (CDK). Jakarta: PT Kalbe Farma Tbk; 2019. 46 (4), h. 264-270.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai