Anda di halaman 1dari 27

LOGBOOK TUTORIAL I

BLOK RESPIRASI

“NAPAS BERBUNYI”

NAMA: FITRI RAHMA YANI

NPM: 61117102

MAHASISWA KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM
SKENARIO 1
NAPAS BERBUNYI
Tn. Budi, berusia 50 tahun, seorang pegawai kantoran, dibawa ke rumah sakit dengan
keluhan menderita sesak disertai bunyi mengi. Kondisi ini sebenarnya sudah seringkali
dialami, namun makin memberat 2 hari terakhir. Penderita juga mengeluhkan batuk berdahak
yang sulit dikeluarkan. Sebelumnya ada keluhan demam, namun membaik setelah diberikan
penurun panas serta antibiotik selama 3 hari dokter puskesmas.
Pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 120kali/menit,
pernapasan 28 kali/menit, suhu 37,8 oC. Pemeriksaan toraks didapatkan inspeksi dan palpasi
simetris, perkusi sonor kedua paru, auskultasi didapatkan bunyi napas bronkovesikuler dan
bunyi wheezing pada kedua lapangan paru.

TERMINOLOGI ASING
1. Wheezing : Jenis bunyi kontinu seperti bersiul (Dorland ed 29 hal 851)
2. Bronkovaskuler : Campuran dari bunyi bronkial dan bunyi vesikuler. Panjang
ekspirasi dan isnpirasinya sama panjang. (Dorland ed. 28 hal )
3. Sonor : Nada suara yang dihasilkan oleh perkusi pada paru yang normal
(Ilmuwan kedokteran ).

RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa pada pemeriksaan fisis auskultasi pada Tn. Budi terdengar suara tambahan
wheezing?
2. Bagaimana peran penurun napas serta antibiotik pada penyakit Tn.Budi?
3. Mengapa pada pasien bisa terjadi batuk berdahak yang sulit dikeluarkan?
4. Apakah pernapasan Tn. Budi termasuk pernapasan normal?

HIPOTESIS
1. Tn. Budi mengalami penyempitan saluran napas yang disebabkan oleh :
 Sekret yang berlebihan
 Kontriksi otot polos
 Edema mukosa
 Tumor maupun benda asing
 Inflamasi saluran napas
2. Obat penurun panas berfungsi untuk menurunkan panas, sedangkan antibiotik
digunakan untuk bakteri anaerob.
3. Karena adanya pembengkakan mukosa pada bronkus dan hipersekresi lendir.
4. Tidak normal, karena pernapasan Tn. Budi diatas pernapasan normal.
Pernapasan Tn. Budi : 28 kali/menit (Takipneu)
Pernapasan normal : 16-20 kali/menit
Takipneu pada Tn. Budi terjadi karena penyempitan pada saluran napas yang
mengakibatkan otak kekurangan suplai O2 sehingga tubuh merespon untuk
mendapatkan suplai O2 dengan cepat.

SKEMA

Etiologi
Jenis Epidemiologi Patofiosologi

PPO
Kasus Rujukan
Diagnosis

Komplikasi Dan Prognosis


pelataksanaan
LEARNING OBJECTIVE
1. Jenis penyakit PPO (Penyakit Paru Obstruksi)
2. Epidemiologi PPO dewasa
3. Etiologi
4. Patofisiologi
5. Cara diagnosa
6. Penatalaksanaan
7. Komplikasi dan prognosis
8. Kondisi PPO yang memerlukan rujukan

PEMBAHASAN
1. Jenis Penyakit PPO
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu
kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah asma bronchial, bronchitis kronik dan
emphysema paru-paru. Sering juga penyakit-penyakit ini disebut dengan Chronic
Obstructive Lung Disease (COLD).
PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis,
bronkiektasis, emfisema dan asma. PPOK merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan
dengan dispneu saat beraktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar pau-paru.
Menurut Smeltzer & Bare (2002), penyakit yang termasuk dalam kelompok
penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut :
a. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling
sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
b. Emfisema Paru
Emfisema paru adalah distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan
kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami
kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Merokok merupakan penyebab utama
emfisema. Pada sedikit klien terdapat predisposisi familial terhadap emfisema yang
berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitrypsin α-1, yang
merupakan suatu enzim inhibitor. Tampa enzim inhibitor, enzim tertentu akan
menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara genetik sensitif terhadap faktor-
faktor lingkungan (merokok, polusi udara, alergen), pada waktunya mengalamin gejala-
gejala obstruktif kronis.
c. Asma
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronkiolus merespon dalam secara hiper aktif terhadap stimulus tertentu. Asma
dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk
dan mengi. Asma dapat terjadi pada sembarang orang, sekitar setengah dari kasus terjadi
pada anak-anak dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
d. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan
oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing,
muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas dan tekanan akibat tumor,
pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.

2. Epidemiologi PPO Dewasa


PPOK merupakan penyebab ke-4 kesakitan dan kematian di Amerika Serikat dan
diperkirakan urutan kelima beban penyakit di seluruh dunia tahun 2020, setelah penyakit
jantung iskemik, depresi, kecelakaan dan penyakit serebrovaskuler.
Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian
emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab
tersering kematian di Indonesia. Pada tahun 1997 penderita PPOK yang dirawat inap di
RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau
18,95%. Di RSUD dr. Moewardi Surakarta ditemukan penderita PPOK rawat inap
sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).
PPOK merupakan gangguan heterogen ditandai dengan disfungsi pada saluran
napas kecil dan besar dan dengan kerusakan parenkim dan pembuluh darah, dalam
kombinasi yang sangat bervariasi. 7 Hipoksemia dapat terjadi saat latihan pada pasien
PPOK. Hal ini disebabkan oleh hipoventilasi alveolar, keterbatasan difusi, shunt,
ketidakcocokan ventilasi-perfusi, tekanan parsial oksigen darah vena yang rendah dan
cardiac output yang rendah.
Hipoksemia yang diinduksi oleh latihan akan meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis saat beraktifitas dan dapat berkontribusi pada penurunan toleransi latihan
pada beberapa pasien. Latihan fisik pada PPOK dibatasi oleh berbagai faktor yaitu
ventilasi alveolar, kelemahan otot inspirasi, sesak napas, deconditioning, asidosis
respiratorik, gagal jantung dan disfungsi otot.
Pasien PPOK berat lebih rentan terhadap hipoksemia selama kegiatan olahraga
dan rutin. Hipoksemia yang terjadi saat latihan dapat mengurangi toleransi latihan
sehingga mengurangi manfaat rehabilitasi. Pasien PPOK mengalami penurunan toleransi
terhadap latihan. Pengukuran pertukaran gas selama latihan digunakan terhadap pasien
dengan gangguan pernapasan. Perubahan oksigen dalam darah selama latihan dapat
digunakan untuk mendeteksi penyakit paru, menilai derajat beratnya penyakit dan respon
terhadap terapi. Beberapa cara dilakukan untuk menilai saturasi oksigen. Selain pulse
oksimetri yang dalam hal ini merupakan tindakan yang non invasif juga dapat dilakukan
secara invasif yaitu pengambilan darah secara langsung dari arteri. Pengambilan darah
ini tidak selamanya berhasil terutama pada pasien dengan arteri radial yang kecil.
Pulseoksimetri digunakan pada pasien PPOK stabil derajat berat (VEP1 < 50%
prediksi), pasien dengan eksaserbasi juga pemeriksaan pasien di rumah untuk menilai
penanganan yang telah diberikan oleh dokter.
Penelitian Razi dkk.( tahun 2003) di Iran bertujuan mencari hubungan antara
pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oksimetri dan analisa gas darah pada pasien
yang hipoksemik dan non hipoksemik. Hasilnya dari 152 pasien penyakit paru baik yang
hipoksemik atau yang non hipoksemik, didapati bahwa pulse oksimetri memiliki akurasi
yang tinggi dalam menilai saturasi oksigen pada SpO2 ≥ 80% dan dapat menggantikan
analisa gas darah.
Schenkel dkk. (tahun 1996) dalam penelitiannya ingin membandingkan saturasi
oksigen pasien PPOK derajat sedang sampai berat dalam aktifitas sehari-hari. Dengan
mengikutsertakan 30 pasien PPOK yang sedang menjalani rehabilitasi paru maka
dijumpai penurunan saturasi paling tinggi saat berjalan diikuti dengan saat mencuci,
makan dan saat istirahat. Penting untuk diketahui bahwa pulse oksimetri merupakan
pelengkap dalam penilaian pasien PPOK. Spirometri tetap menjadi baku emas dalam
diagnosis dan penderajatan PPOK.
3. Etiologi
Penyebab terbanyak munculnya penyakit ini adalah merokok. Oleh karena itu,
PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah. Namun kenyataannya, stadium awal dari
penyakit ini jarang menimbulkan gejala sehingga seringkali pasien terdiagnosis pada
stadium yang sudah lanjut. Akan tetapi pada pasien yang sudah memiliki gejala obstruksi
jalan napas pada masa dini, penanganan dapat dilakukan dengan lebih cepat serta
memberikan hasil yang lebih baik (Porth, 2007).
Selain merokok, faktor paparan lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah
polusi udara dari hasil rumah tangga seperti asap dapur, terutama pada dapur dengan
ventilasi buruk dan yang terkena terutama ialah wanita. Debu dan iritan lain seperti asap
juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini dengan paparan yang lama dan sering.
Asap kendaraan bermotor juga diduga dapat menjadi penyebab karena partikel-
partikelnya dapat mengganggu dan meningkatkan beban kerja paru, meskipun dalam
jumlah yang relatif kecil (GOLD, 2014).
Prevalensi kejadian PPOK lebih banyak pada laki-laki karena pada umumnya
perokok lebih banyak ialah laki-laki serta lebih sering terpapar pada polutan udara
lainnya dibanding perempuan, meskipun tingkat perokok perempuan juga meningkat dan
kerentanan paru perempuan juga lebih tinggi (Chapman, et al., 2014). Faktor penjamu
(host) lain meliputi usia, gen (defisiensi α1-antitripsin/ATT), hiperaktivitas bronkus, dan
gangguan tumbuh kembang paru seperti riwayat infeksi dan sosial ekonomi (Reilly, et
al., 2012).
a. Bronkitis Kronik
 Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama terjadi bronkitis
kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu
detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak
dalam volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok. Merokok
secara histologi dapat menyebabkan inflamasi saluran napas, hipertrofi kalenjar
sekresi mukosa dan hiperplasia sel goblet dimana secara langsung faktor ini
memicu untuk terjadi bronkitis kronik. Prevalensi merokok yang tinggi di
kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi bronkitis kronik
dikalangan pria. Sementara prevalensi bronkitis kronik dikalangan wanita
semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun
ke tahun (Peter K, 2007).
 Hiperesponsif saluran pernapasan
Inflamasi di saluran pernapasan penderita bronkitis menyebabkan modifikasi
saluran pernapasan. Ini adalah respon saluran pernapasan terhadap iritasi kronik
seperti asap rokok. Inflamasi ini akan menyebabkan peningkatan sel inflamasi di
sirkulasi (faktor kemotatik) dan secara tidak langsung ia akan meningkatkan
proses inflamasi (sitokin proinflamasi). Mekanisme ini akan menyebabkan
hiperesponsif saluran pernapasan dan hiperesponsif ini akan memicu perubahan
struktur saluran pernapasan (GOLD, 2011).
 Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresifitas bronkitis kronik pada orang dewasa. Dipercaya
bahwa infeksi saluran napas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor
predisposisi perkembangan bronkitis kronik. Meskipun infeksi saluran napas
adalah penyebab penting terjadinya eksaserbasi bronkitis kronik, hubungan
infeksi saluran napas dewasa dengan perkembangan bronkitis kronik masih
belum bisa dibuktikan (Vestbo J,2004).
 Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan dan obstruksi saluran napas
juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu, debu, wap kimia selama bekerja.
Di negara yang kurang maju, pemaparan akibat pekerjaan dikatakan tinggi
berbanding negara yang maju karena undangundang sektor pekerjaan yang
kurang ketat. Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas
berisiko untuk mendapat bronkitis kronik, efek yang muncul adalah kurang jika
dibandingkan dengan efek akibat merokok (David Mannino, 2007).
 Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan
pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan
polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi
udara dengan terjadinya bronkitis kronik masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan
terus-menerus dengan asap hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor
risiko yang signifikan terjadinya bronkitis kronik pada kaum wanita di beberapa
negara.
b. Emfisema Paru
Penyebab utama terjadinya emfisema adalah paparan zat di udara yang mengiritasi
paru-paru dalam jangka waktu panjang. Zat yang mengakibatkan iritasi tersebut dapat
berupa:
 Asap rokok. Emfisema banyak dialami perokok, baik aktif maupun pasif, yang
terpapar asap rokok dalam waktu lama.
 Polusi udara.
 Asap atau debu bahan kimia.
Selain paparan zat yang mengakibatkan iritasi, emfisema juga dapat terjadi karena
kelainan genetik. Contohnya adalah defisiensi alpha-1-antitrypsin, di mana terjadi
kekurangan suatu protein yang berfungsi melindungi struktur elastis pada paru-paru dalam
tubuh. Namun demikian, kondisi ini jarang terjadi.

c. Asma
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara host dan faktor lingkungan.
Faktor host tersebut adalah:
- predisposisi genetik asma
- alergi
- hipereaktifitas bronkus
- jenis kelamin
- ras/etnik
Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma
b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma
menetap.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma adalah :
- alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen binatang,
alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga
- sensitisasi (bahan) lingkungan kerja
- asap rokok
- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- infeksi pernapasan (virus)
- diet
- status sosioekonomi
- besarnya keluarga
- obesitas
Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau
menyebabkan gejala asma menetap adalah :
- alergen di dalam maupun di luar ruangan
- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- infeksi pernapasan
- olah raga dan hiperventilasi
- perubahan cuaca
- makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
- obat-obatan, seperti asetil salisilat
- ekspresi emosi yang berlebihan
- asap rokok
- iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang

d. Bronkiektasis
Ada banyak faktor yang telah digambarkan sebagai penyebab untuk
Bronkiektasis. Masalah yang menetapkan faktor-faktor ini sebagai penyebab adalah bahwa
subjek biasanya memiliki penyakit paru-paru dalam waktu yang lama (lebih dari 10 tahun)
dan dapat bergantung pada jangka panjang retrospektif. Mungkin hal ini lebih tepat sebagai
faktor penyebab definitif. Faktor etiologi yang telah dijelaskan secara umum semuanya
memiliki beberpa peran dalam merusak pertahanan host terhadap infeksi (Paul, 2009).
Kelemahan dinding bronkus pada bronkiekstasis dapat konginetal ataupun
didapat (acquired) yang disebabkan karena adanya kerusakan jaringan. Bronkiektasis
konginetal sering berkaitan dengan adanya dekstrokardia dan sinusitis, jika ketiga keadaan
ini (bronkiektasis, dekstrokardia dan sinusitis) hadir bersamaan, keadaan ini disebut sebagai
sindom kartagener. Jika disertai pula dengan dilatasi trakea dan bronkus utama maka
kelainan ini disebut trakeobronkomegali.
Bronkiektasis yang didapat sering berkaitan dengan obtruksi bronkus. Dilatasi
bronkus mungkin disebabkan karena kerusakan dinding bronkus akibat peradangan seperti
pada penyakit endobronkial tuberkolosis. Bronkiektasis non-tuberkolosis cenderung terjadi
pada bagian paru bergantung (dependent part) yang menyebabkan aliran drainase discharge
terhambat. Gaya berat menyebabkan akumulasi sputum sehingga infeksi dan supurasi lebih
mudah terjadi.
Berdasarkan lokasinya, bronkiektasis dibagi menjadi :
a. Setempat (localized), yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan atau lingula, biasanya
sebagai komplikasi dari pneumonia yang berat, dapat juga karena penyumbatan oleh
benda asing (misalnya kacang), tumor atau penekan dari luar (kompresi oleh
tuberkulosis kelenjar limfa). Bronkiektasis dilobus atas biasanya disebabkan oleh
tuberkolosis atau aspergilosis bronkopulmonal.
b. Menyeluruh (generalized), biasanya karena infeksi sistem pernapasan yang berulang
disertai kelainan imunitas ataupun kelainan mucocilary clearance. Penyebab lainnya
adalah vaskulitis defisiensi α-1- antitripsin, AIDS, sindrom marfan, SLE, sindrom
Syogren, dan sarkoidosis.

4. Patofisiologi
a. Bronkitis Kronik
Perubahan struktur pada saluran pernapasan menimbulkan perubahan fisiologik yang
merupakan gejala bronkitis kronik seperti batuk kronik, produksi sputum, obstruksi jalan
napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dank atau pulmonale. Akibat perubahan
bronkial terjadi gangguan pertukaran gas yang menimbulkan dua masalah serius yaitu:
1. Aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli tidak sesuai dimana berlaku mismatched.
Sebagian tempat alveoli terdapat aliran darah yang adekuat tetapi sangat sikit aliran udara dan
sebagian tempat lain sebaliknya.
2. Prestasi yang menurun dari pompa respirasi terutama otot-otot respirasi sehingga terjadi
overinflasi dan penyempitan jalan napas, menimbulkan hipoventalasi dan tidak cukupnya
udara ke aveoli menyebabkan karbon dioksida darah meningkat dan oksigen dalam darah
berkurang.
Mekanisme patofisiologi yang bertanggung jawab pada bronkitis kronik sangat
kompleks, berawal dari rangsang iritasi pada jalan napas menimbulkan 4 hal besar seperti
inflamasi jalan napas, hipersekresi mukus, disfungsi silia dan rangsangan reflex vagal saling
mempengaruhi dan berinteraksi menimbulkan suatu proses yang sangat kompleks (Sanjay
Sethi, 1999).
b. Emfisema Paru
Patofisiologi emfisema dapat diawali dengan paparan zat yang memicu respon
inflamasi, ataupun defisiensi antitripsin alfa 1.
Paparan Zat Berbahaya
Paparan zat berbahaya atau asap rokok dalam jangka panjang akan memicu respon
inflamasi oleh sel-sel imun inflamatorik seperti sel polimorfonuklear, eosinofil, makrofag,
limfosit CD4+ dan limfosit CD8+.
Makrofag akan teraktivasi dan melepaskan faktor kemotaktik neutrofil seperti
leukotrien B4 dan IL-8 (Interleukin 8). Pada saat neutrofil-neutrofil direkrut, maka secara
bersama-sama dengan makrofag akan menghasilkan enzim proteolitik
seperti metalloproteinases matrix (MMPs), protease-protease lainnya, dan hidrogen peroksida
yang berperan dalam penghancuran lapisan epitel paru dan menyebabkan hipersekresi mukus.
Derivat neutrofil protease (elastase dan protease) bertindak melawan elastin dan merusak
jaringan ikat pada parenkim paru. Padahal, elastin merupakan suatu komponen penting pada
matriks ekstraseluler yang digunakan untuk mempertahankan integritas parenkim paru dan
saluran napas. Ketidakseimbangan elastase akan merusak paru dan menyebabkan pelebaran
dari alveoli. Hal ini mengakibatkan pertukaran gas di alveoli terganggu.
Defisiensi Antitripsin Alfa-1
Pada pasien dengan defisiensi antitripsin alfa-1, patofisiologi emfisema sedikit
berbeda. Antitripsin alfa-1 adalah sebuah glikoprotein yang masuk ke dalam kelompok
inhibitor serin protease yang disintesis di dalam hati dan disekresi ke dalam peredaran darah.
Diduga Antitripsin alfa-1 juga dihasilkan di parenkim paru. Fungsi dari antitripsin alfa-1
adalah untuk menetralisir elastase neutrofil di dalam jaringan interstisial paru dan
menginhibisi tripsinisasi untuk melindungi parenkim paru dari proses elastolitik. Sehingga
pada penderita dengan defisiensi antitripsin alfa-1, elastase neutrofil akan merusak jaringan
ikat paru yang pada akhirnya menyebabkan emfisema.
Akibat Rusaknya Parenkim Paru
Kerusakan parenkim paru yang ditandai dengan menghilangnya elastisitas alveoli
menyebabkan udara terperangkap di dalam paru dan sulit untuk dikeluarkan. Hal ini
menyebabkan paru-paru tidak dapat melakukan ekspirasi dengan efektif, dan menampung
udara lebih banyak sehingga terjadi hiperinflasi paru.
Emfisema Berdasarkan Lokasi Kerusakan
Emfisema paru dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan lokasi kerusakan
yang terjadi.
 Asinar proksimal (sentrilobuler) : merupakan jenis yang paling sering terjadi dan
berhubungan erat dengan riwayat merokok atau inhalasi zat berbahaya. Sesuai dengan
namanya, kerusakan yang terjadi umumnya meliputi bagian proksimal dari bronkiolus
dengan destruksi fokal dan sering ditemukan pada bagian atas paru.
 Panasinar : merupakan jenis yang paling sering terjadi pada penderita dengan
defisiensi antitripsin alfa-1. Kerusakan terjadi pada hampir seluruh bagian alveoli.
 Asinar distal (paraseptal) : jenis ini dapat muncul sendiri atau berhubungan dengan 2
kondisi lainnya (asinar proksimal dan panasinar). Apabila muncul sendiri umumnya
berhubungan dengan pneumotoraks spontan (akibat pecahnya bullae) pada dewasa
muda. Lokasi kerusakan terbatas pada septa dari paru-paru atau pleura.

c. Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan proses yang
sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu hiperresponsif dari bronkial,
inflamasi dan remodeling saluran pernafasan
 Penyempitan Saluran Napas
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran
napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus.
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting
pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural
atau disebut juga ”remodelling”. Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau
rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan
jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian
akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling.
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling ini
yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini
kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses remodeling
ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini dikarakteristikan
oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan sekitar otot halus
bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel
atau hiperplasia.
 Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti
tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan
hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas.
Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat
memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.

d. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal bronkus proksimal dan menengah (>2mm)
yang disebabkan oleh melemahnya atau perusakan komponen otot dan elastis dinding
bronkus. Daerah yang terkena bisa menunjukkan berbagai perubahan, termasuk
peradangan transmural, edema, jaringan parut, dan ulserasi, di antara temuan lainnya.
Parenkim paru distal juga mungkin rusak sekunder terhadap infeksi mikroba persisten dan
pneumonia postobstructive sering. Bronkiektasis dapat bawaan tetapi paling sering
diperoleh (Emmons,dkk. 2008).
Bronkiektasis kongenital biasanya mempengaruhi bayi dan anakanak. Kasus-kasus
penangkapan hasil dari perkembangan pohon bronkial. Bentuk Acquired terjadi pada
orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan memerlukan suatu penghinaan menular,
gangguan drainase, obstruksi jalan napas, dan / atau cacat dalam pertahanan tuan rumah.
Jaringan juga rusak sebagian oleh respon host protease neutrophilic, sitokin inflamasi,
oksida nitrat, dan radikal oksigen. Hal ini menyebabkan kerusakan pada komponen otot
dan elastis dinding bronkus. Selain itu, jaringan alveolar peribronchial mungkin rusak,
sehingga fibrosis difus peribronchial.
bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek
perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang
menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila Hasilnya adalah dilatasi bronkus
abnormal dengan kerusakan dinding bronkus dan peradangan transmural. Temuan
paling penting fungsional anatomi saluran napas berubah adalah sangat terganggu
clearance sekresi dari pohon bronkial. Gangguan bersihan sekresi menyebabkan
kolonisasi dan infeksi dengan organisme patogen, berkontribusi terhadap dahak
purulen umumnya diamati pada pasien dengan bronkiektasis. Hasilnya adalah
kerusakan lebih lanjut bronkial dan kerusakan pada lingkaran bronkus, pelebaran
bronkus, gangguan sekresi, infeksi berulang, dan kerusakan yang berlebih pada
bronkial.

5. Cara Diagnosa
a. Bronkitis Kronik
Selama beberapa hari pertama sakit, mungkin sulit untuk membedakan tanda dan ciri-
ciri terkena bronkitis dari gejala pilek biasa. Selama pemeriksaan fisik, dokter Anda akan
menggunakan stetoskop untuk mendengarkan dengan cermat paru-paru saat Anda
bernapas.
Dalam beberapa kasus, dokter mungkin menyarankan tes berikut:
1. Rontgen dada
X-ray dada dapat membantu menentukan apakah Anda menderita pneumonia atau
kondisi lain yang dapat menjelaskan batuk Anda. Ini sangat penting jika Anda pernah
atau sedang merokok.
2. Tes dahak
Dahak adalah lendir batuk dari paru-paru. Ini dapat diuji untuk melihat apakah Anda
memiliki penyakit yang dapat diatasi dengan antibiotik. Dahak juga bisa diuji untuk
mengetahui ciri-ciri alergi.
3. Tes fungsi paru
Selama tes fungsi paru, Anda meniup ke alat yang disebut spirometer, yang mengukur
seberapa banyak udara yang bisa ditahan paru-paru dan seberapa cepat bisa mengeluarkan
udara dari paru-paru Anda. Tes ini memeriksa ciri-ciri asma atau emfisema.

b. Emfisema Paru
Pemeriksaan akan dimulai dokter dengan menanyakan riwayat dan kebiasaan pasien,
terutama kebiasaan merokok dan kondisi lingkungan rumah atau pekerjan pasien.
Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, khususnya kondisi paru-paru pasien.
Guna memastikan diagnosis, dokter dapat melakukan pemeriksaan penunjang yang
mencakup:
 Tes pencitraan. Contohnya adalah foto Rontgen dada untuk mengidentifikasi adanya
perubahan pada paru-paru yang menandakan emfisema. Foto Rontgen biasanya akan
dipadukan dengan CT scan guna menghasilkan gambar yang lebih detail untuk
memastikan emfisema.
 Tes darah. Tes ini berfungsi untuk melihat memeriksa jumlah oksigen dan
karbondioksida dalam aliran darah atau dinamakan analisia gas darah.
 Tes fungsi paru. Dalam tes fungsi paru atau yang disebut juga spirometri, pasien
akan diminta mengembuskan udara ke alat khusus untuk mengukur jumlah udara
yang keluar.
 Elektrokardiografi, untuk melihat fungsi jantung dalam rangka meneliti penyebab
dari gejala yang ditimbulkan.
c. Asma
Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya
dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada
(pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah
untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat
diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter.

d. Bronkiektasis
Pada pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, biasanya di paru-paru bagian
bawah akan terdengar suara ronki.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
1. Rontgen dada
2. CT scan dada
3. Biakan dahak
4. Hitung jenis darah
5. Pemeriksaan keringat atau pemeriksaan fibrosis kistik lainnya
6. Analisis serum immunoglobulin
7. Serum presipitin (pemeriksaan untuk antibodi jamur, aspergillus)
8. Tes PPD untuk infeksi TBC.

6. Penatalaksanaan
a. Bronkitis Kronik
Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap bronkitis kronik, seorang dokter
harus dapat membedakan keadaan pasien sama ada apakah pasien tersebut mengalami
serangan (eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan dari
kedua jenis ini berbeda. Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk
mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala
atau dirumah untuk mempertahankan bronkitis kronik yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
(PDPI, 2003)
Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil meliputi pemberian obat-obatan, edukasi,
nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru rumah sakit. Dalam penatalaksanaan
bronkitis kronik yang stabil termasuk adalah melanjutkan pengobatan pemeliharaan dari
rumah sakit atau dokter spesialis paru, baik setelah mengalami serangan berat atau evaluasi
spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah. Obat-obatan
diberikan dengan tujuan untuk mengurangi laju beratnya penyakit dan mempertahankan
keadaan stabil yang telah tercapai dengan mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan
inflamasi. Tujuan utama pengobatan adalah untuk meredakan gejala, mencegah progresifitas
penyakit, meningkatkan toleransi pada aktiviti seharian, memperbaiki status kesehatan,
mengobati komplikasi, dan mencegah eksaserbasi berikut. Obat-obatan yang digunakan
adalah:
1. Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan golongan
antikolinergik. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuatkan efek
bronkodilatasi karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Masing-masing
dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis
pemeliharaan. Contohnya aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi dengan salbutamol
1 mg atau terbutalin 1 mg.
2. Kortikosteroid (Antiinflamasi)
Diberikan golongan metilprednisolon atau prednison, dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, setiap hari atau selang sehari dengan dosis minimal 250mg.
3. Antibiotik
Diberikan untuk mencegah dan mengobati eksaserbasi serta infeksi. Antibiotik juga
diberikan sekiranya ada peningkatan jumlah sputum, sputum berubah menjadi purulen
dan peningkatan sesak. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat.
Jenis antibiotik yang bisa diberikan adalah makrolid, sefalosporin generasi II, generasi
III, kuinolon dan flurokuinolon.
4. Ekspektoran
Diberikan obat batuk hitam (OBH)
5. Mukolitik
Diberikan pada eksaserbasi kerana akan mempercepatkan perbaikan eksaserbasi dengan
mengencerkan dahak. Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
6. Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu. Manfaatkan obat
antitusif yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis yang terjadi pada keluhan
klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk menghindari efek samping obat.
7. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, diberikan N-
asetilsistein.
Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena keterbatasan
obatobatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti keterbatasan tingkat
pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan ekonomi dan sarana kesehatan, edukasi
di puskesmas ditujukan untuk mencegah bertambah beratnya penyakit dengan cara
menggunakan obat yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta
mencegah eksaserbasi. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus
dijaga. Asupan nutrisi diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat
menyebabkan meningkatnya derajat sesak semasa beraktiviti. Pemberian karbohidrat yang
tinggi pula menghasilkan karbon diosikda yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap
rehabilitasi dimana pasien harus diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips, latihan
ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekstremitas (PDPI, 2003).

b. Emfisema Paru
Sebelum menjalani pengobatan, dokter akan menyarankan semua penderita emfisema
yang merokok untuk menghentikan kebiasaan buruk tersebut.
Penyakit emfisema tidak dapat disembuhkan. Penanganan yang dilakukan bertujuan untuk
meringankan gejala yang dirasakan penderita, serta memperlambat perkembangan penyakit.
Pilihan penanganan emfisema dapat berupa:
 Obat-obatan. Dokter paru dapat memberikan obat pelega napas, seperti terbutaline,
untuk meredakan gejala. Di samping itu, obat kortikosteroid dalam bentuk obat hirup
juga bisa digunakan untuk mengurangi peradangan dan meredakan gejala. Untuk
penderita emfisema yang mengalami infeksi bakteri, dokter akan menyertakan
antibiotik.
 Terapi pendukung. Contohnya adalah fisioterapi dada atau yang juga dinamakan
program rehabilitasi paru, pemberian oksigen tambahan, dan konsultasi gizi.
 Operasi. Prosedur ini dilakukan untuk penderita emfisema berat, antara lain
berupa operasi pengangkatan paru yang rusak, agar jaringan paru yang tersisa dapat
mengembang dan bekerja lebih efektif. Sedangkan jika kerusakan paru sudah sangat
berat, bisa dilakukan transplantasi paru.
Di samping ketiga bentuk penanganan tersebut, pasien juga harus melakukan upaya untuk
menghambat pekembangan emfisema dan mencegah komplikasi. Misalnya dengan
menghentikan kebiasaan merokok, menghindari asap atau polusi udara, berolahraga secara
teratur, serta melakukan vaksinasi yang dianjurkan dokter untuk mencegah infeksi paru.

c. Asma
Berikut ini beberapa obat yang digunakan pada penyakit asma :
1. Simpatomimetik
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
a) Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi,
dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
b) Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan irama
jantung.
c) Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama
penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang umum. Obat
simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling
efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung
melalui inhalasi akan meningkatkan diberikan secara sistemik.
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan,
bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang
timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah
bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis β2 kerja singkat (seperti
albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan
gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
2. Xantin
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan merelaksasi
secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP,
menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan
sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan
stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas
diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta
memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan
kronik.
3. Antikolinergik
• Ipratropium Bromida
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang akan
menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi
yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan
lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung.
• Tiotropium Bromida
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan sebagai
antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi
dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi.
Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi
tertentu.
4. Kromolin Sodium dan Nedokromil
• Kromolin Natrium
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas intrinsik
bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini
menghambat pelepasan mediator, histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance
Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat
obat diberikan.
• Nedokromil Natrium
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini akan
menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel
berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan
platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan
maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
5. Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan
efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan
aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan
memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot
polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara
efektif dengan efek sistemik minimal. Obat kortikosteroid seperti deksametason,
metilprednisolon, prednison, triamsinolon, dan beklometason.
6. Antagonis reseptor leukotrien
• Zafirlukast
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan kompetitif,
komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slowreacting substances of anaphylaxis).
Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema saluran
pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan
dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
• Montelukast
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada penggunaan
oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk
metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi
leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan,
konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses
inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.

d. Bronkiektasis
Tujuan dari pengobatan adalah mengendalikan infeksi dan pembentukan
dahak,membebaskan penyumbatan saluran pernapasan serta mencegah komplikasi.
Drainase postural yang dilakukan secara teratur setiap hari, merupakan bagian dari
pengobatan untuk membuang dahak. Seorang terapis pernapasan bisa mengajarkan cara
melakukan drainase postural dan batuk yang efektif.
Untuk mengatasi infeksi seringkali diberikan antibiotik, bronkodilator dan ekspektoran.
Pengangkatan paru melalui pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak memberikan
respon terhadap pemberian obat atau pada penderita yang mengalami perdarahan hebat.
7. Komplikasi dan Prognosis
a. Bronkitis Kronik
 Komplikasi
Menurut Bahar (2001),komplikasi bronkhitis pada anak terutama pada anak
dengan malnutrisi atau dengan kondisi kesehatan yang jelek antara lain :

a. Otitis media akut


Otitis media akut yaitu keadaan terdapatnya cairan di dalam telinga tengah dengan tanda
dan gejala infeksi dan dapat disebabkan berbagai patogen termasuk Sterptokokus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Mikroorganisme patogen penyebab bronkhtis
menyebar dan masuk ke dalam saluran telinga tengah dan menimbulkan peradangan
sehingga terjadi infeksi.
b. Sinusitis maksilaris
Sinusitis maksilaris yaitu radang sinus yang ada di sekitar hidung yang disebabkan oleh
komplikasi peradangan jalan napas bagian atas dibantu oleh adanya faktor predisposisi.
Infeksi pada sinus dapat 23 menyebabkan bronkhospasme, oedema dan hipersekresi
sehingga mengakibatkan bronkhitis.
c. Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing. Jika bronkhitis tidak ditangani dengan baik secara
tuntas atau jika daya tahan tubuh anak jelek, maka proses peradangan akan terus
berlanjut sebut bronkhopneumonia. Gejala yang muncul umumnya berupa napas yang
memburu atau cepat dan sesak napas karena paru-paru mengalami peradangan. Pada bayi
usia 2 bulan sampai 6 tahun pneumonia berat ditandai adanya batuk atau kesukaran
bernapas, sesak napas ataupun penarik dinding dada sebelah bawah ke dalam
d. Bronkhitis kronis
e. Pleuritis.
f. Efusi pleura atau empisema
 Prognosis
Prognosis adalah pengetahuan akan kejadian mendatang atau perkiraan keadaan
akhir yang mungkin terjadi dari serangan penyakit (Dorland, 2002).
Prognosis ini dapat meliputi beberapa aspek, yaitu :
a. Quo ad vitam
Quo ad vitam merupakan ramalan mengenai hidup matinya penderita. Pada kasus
bronkhitis yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan lebih
dari 5-10 tahun. Kematian pasien karena pneumonia, empisema, gagal jantung kanan,
haemaptoe dan lainnya.
b. Quo ad sanam Quo ad sanam merupakan ramalan mengenai kesembuhan pasien. Pada
pasien bronkhitis tergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien
berobat pertama kali. Bila tidak ada komplikasi, prognosis brokhitis akut pada anak
umumnya baik. Pada bronkhitis akut yang berulang. Bila anak merokok (aktif dan pasif)
maka dapat terjadi kecenderungan untuk menjadi bronkhitis kronik kelak pada usia
dewasa (Ngastiyah, 2005).
c. Quo ad fungsionam
Quo ad fungsionam merupakan ramalan yang ditinjau dari segi fungsionalnya. Pada
kasus bronkhitis ini, prognosis quo ad fungsionamnya baik, dapat pulih seperti
sebelumnya.
d. Quo ad cosmeticam
Quo ad cosmeticam merupakan ramalan yang ditinjau dari segi kosmetik. Pada kasus
bronkhitis ini, prognosis quo ad cosmeticannya baik.

b. Emfisema Paru
 Komplikasi
Emfisema dapat memengaruhi bagian tubuh lainnya serta menyebabkan kondisi paru yang
serius. Komplikasi emfisema dapat meliputi:
 Pneumonia, yaitu infeksi bakteri pada paru-paru. Orang dengan emfisema cenderung
mengalami pneumonia
 Kolaps paru. Beberapa orang yang memiliki penyakit ini memiliki penggembungan
kantung udara dalam paru-paru yang disebut dengan bullae. Kantung ini bisa membesar
hingga berukuran setengah paru-paru. Apabila kantung ini pecah akan menyebabkan
fungsi paru kolaps. Kondisi ini disebut juga dengan pneumotoraks
 Masalah jantung. Penyakit ini menyebabkan terjadinya kerusakan alveoli pada paru-
paru. Hal ini akan mengurangi jumlah pembuluh kapiler dan menurunkan kadar oksigen
dalam darah. Artinya, jantung memiliki beban lebih besar untuk memompa darah agar
dapat memasok oksigen ke seluruh sel-sel tubuh. Lama-kelamaan, hal ini akan
menyebabkan pembengkakan jantung karena tekanan arteri yang besar

 Prognosis
Mirip dengan banyak penyakit kronis, prognosis penyakit ini akan dipengaruhi oleh
banyak variabel. Tidak ada obat, tetapi ada metode penanganan yang efektif untuk
memperlambat perkembangan penyakit dan memungkinkan untuk hidup normal.
Pada akhirnya, diagnosis emfisema bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya,
penyakit ini adalah suatu kondisi medis yang meminta Anda berperan aktif dalam mengelola
penyakit Anda sendiri. Berhenti merokok adalah langkah pertama yang terbaik. Setelah itu,
kunjungan rutin ke dokter dan mengonsumsi obat yang diresepkan juga sangat penting.
c. Asma
Komplikasi
 Pneumotoraks.
 Pneumomediastinum.
 Gagalnapas.
 Asma resistenterhadap steroid

Prognosis
Prognosis asthma umumnya baik apabila terkontrol. Apabila asthma tidak terkontrol,
maka dapat timbul komplikasi seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

d. Bronkiektasis
 Komplikasi
Komplikasi akibat bronkiektasisi yang paling berbahaya adalah batuk mengeluarkan
darah yang sangat hebat (hemoptisis). Kondisi ini terjadi akibat salah satu bagian pembuluh
darah yang menyediakan darah bagi paru-paru terbuka dan mengalami perdarahan. Gejala
hemoptisis antara lain adalah:
 Batuk berdarah lebih dari 100 ml selama 24 jam.
 Sulit bernapas yang disebabkan oleh darah menghalangi aliran udara di paru-paru.
 Kepala berkunang-kunang.
 Pusing.
 Kedinginan dan kulit terasa basah dan dingin akibat kehilangan darah dalam jumlah
banyak.
Hemoptisis masif yang terjadi pada penderita bronkiektasis merupakan keadaan darurat
medis yang harus segera ditangani. Untuk mengatasi hemoptisis, dokter akan melakukan
embolisasi arteri bronki (BAE) dengan cara menyumbat sumber perdarahan di paru-paru
yang dipandu dengan pemindaian sinar-X.
 Prognosis
o Tidak mengejutkan apabila prognosis sangat bervariasi pada kelompok yang
berbeda. Meskipun demikian, sekitar 10% orang dewasa dengan bronkiektasis
non Cystic Fibrosis akan meninggal dalam 5 – 8 tahun setelah didiagnosis pada
lebih dari separuh kasus. Faktor yang berhubungan dengan prognosis buruk
adalah merokok, organisme gram negatif (terutama E.coli dan P. Aeruginosa) dan
aspergillus pada kultur sputum, dan nilai FEV1 dan FVC yang lebih buruk
(Maguire, 2012)
o Bronkiektasis secara independen berhubungan dengan peningkatan kematian
pada pasien dengan PPOK sedang-berat berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Spanyol  (Dunford, 2013).
o Menurut penelitian yang dilakukan oleh Keistinen et all, penyakit penyebab
merupakan penyebab kematian utama pada pasien dengan bronkiektasis dan
PPOK. Penyakit jantung merupakan penyebab kematian utama pada pasien
bronkiektasis dengan asma (Barker, 2002).

8. Kondisi PPO yang Memerlukan Rujukan


Rujukan ke spesialis paru dapat berasal dari spesialis bidang lain atau dari
pelayanan kesehatan primer, yaitu pelayanan kesehatan oleh dokter umum (termasuk juga
puskesmas) PPOK yang memerlukan pelayanan bidang spesialisai adalah :
- PPOK derajat klasifikasi berat
- Timbul pada usia muda
- Sering mengalami eksaserbasi
- Memerlukan terapi oksigen
- Memerlukan terapi bedah paru
- Sebagai persiapan terapi pembedahan
Rujukan dari puskesmas mempunyai kriteria yang agak lain karena faktor
sosiokultural di daerah perifer berbeda dengan di daerah lain perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA
Kamus saku kedokteran Dorland ed 25,29

Barker, Alan F. 2002. Bronchiectasis. Medical Progress. N Engl J Med, Vol. 346, No. 18
hal 1383 – 1393 [Online] Diakses 10 Mei 2013. Dari: http:// www.nejm.org

Dunford, Nathaniel. 2013. Bronchiectasis increases mortality risk in moderate-tosevere


COPD. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. [Online]
Diakses 10 Mei 2013. Dari: http://www.thoracic.org

Maguire, Graeme . 2012. Bronchiectasis – a guide for primary care. Reprinted from
Australian Family Physician Vol. 41, No. 11, november 2012. Hal 842-850. [Online]
Diakses 10 Mei 2013. Dari: http://racgp.org.au

O’Donnel, Anne. 2008. Bronchiectasis. Chest Journal. Chest. 2008; 134(4):815-823. do


i:10.1378/chest.08-0776. October 2008, Vo l 134, No . 4 [Online] Diakses 10 Mei
2013. Dari http://journal.publications.chestnet.org/

Rahmatullah, Pasiyan. 2009. Bronkiektasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai