Anda di halaman 1dari 16

LOGBOOK

BLOK RESPIRASI

SEMESTER IV

NAMA : Juspen Fredo Sibarani


NPM : 61117064

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM


2019
Skenario 1
“Napas Berbunyi”
Tuan Budi, berusia 50 tahun, seorang pegawai kantoran dibawa ke rumah
sakit dengan keluhan menderita sesak nafas disertai bunyi mengi. Kondisi ini
sebenarnya sudah seringkali dialami, namun makin memberat 2 hari terakhir.
Penderita juga mengeluhkan batuk berdahak yang sulit dikeluarkan. Sebelumnya
ada keluham demam, namun membaik setelah diberikan penurun panas serta
antibiotik selama 3 hari dari dokter puskesmas. Pemeriksaan fisis didapatkan
tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 120 kali/menit, pernapasan 28 kali/menit, suhu
37,8 C. pemeriksaan toraks didapatkan inspeksi & palpasi simetris, perkusi sonor
kedua paru, auskultasi didapatkan bunyi napas bronkovesikuler dan bunyi
wheezing pada kedua lapangan paru.

Terminologi Asing
1. Wheezing : Jenis bunyi kontinu seperti bersiul (Dorland ed 29 hal
851)
2. Bronkovesikuler : Berkenaan dengan bronchus dan alveoli (Dorland ed 29
hal 113)
3. Sonor : Suara yang nyaring (KBBI)

Rumusan Masalah
1. Mengapa pada pemeriksaan fisik auskultasi pada Tn. Budi terdengar suara
tambahan wheezing ?
2. Bagaimana peran penurun panas serta antibiotik pada penyakit Tn. Budi ?
3. Mengapa pada pasien bisa terjadi batuk berdahak yang sulit dikeluarkan ?
4. Apakah pernafasan Tn. Budi termasuk pernafasan normal ?

Hipotesis
1. Tn. Budi mengalami penyempitan saluran nafas yang disebabkan oleh :
 Sekret yang berlebihan
 Kontriksi otot polos
 Edema mukosa
 Tumor maupun benda asing
 Inflamasi saluran nafas

2. Obat penurun panas berfungsi untuk menurunkan panas Tn. Budi yang
diakibatkan oleh keluhan demam yang dialaminya sedangkan antibiotik
digunakan untuk membunuh bakteri anaerob.

3. Karena adanya pembengkakan mukosa pada bronkus dan hipersekresi lendir.

4. Pernafasan Tn. Budi termasuk tidak normal karena pernafasan Tn. Budi
diatas pernafasan normal. Pernafasan Tn. Budi 28 kali per menit (takipnea)
sedangkan pernafasan normal pada umumnya 16-20 kali per menit.
Takipnea terjadi karena sedikitnya oksigen yang masuk. Pernafasan cepat
yang dialami Tn. Budi disebabkan karena terjadi penyempitan pada saluran
nafas yang mengakibatkan otak kekurangan oksigen sehingga merespon
tubuh untuk mendapatkan oksigen dengan cepat (takipnea).
Skema

Epidemiologi Etiologi
Patofiosologi
Jenis

PPO
Kasus Rujukan
Diagnosis

pelataksanaan Komplikasi Dan Prognosis


Learning Objective
1. Mahasiswa mampu mempelajari, memahami dan menjelaskan Jenis-jenis
penyakit paru obstruksi.
2. Mahasiswa mampu mempelajari, memahami dan menjelaskan epidemiologi
penyakit paru obstruksi dewasa.
3. Mahasiswa mampu mempelajari, memahami dan menjelaskan etiologi
penyakit paru obstruksi.
4. Mahasiswa mampu mempelajari, memahami dan menjelaskan patofisiologi
penyakit paru obstruksi.
5. Mahasiswa mampu mempelajari, memahami dan menjelaskan cara diagnosa
penyakit paru obstruksi.
6. Mahasiswa mampu mempelajari, memahami dan menjelaskan penatalaksaan
penyakit paru obstruksi.
7. Mahasiswa mampu mempelajari, memahami dan menjelaskan komplikasi
dan prognosis penyakit paru obstruksi.
8. Mahasiswa mampu mempelajari, memahami dan menjelaskan kondisi
penyakit paru obstruksi yang memerlukan rujukan.

Pembahasan
1. Jenis-jenis penyakit paru obstruksi yaitu :
 Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran pernafasan
yang menyebabkan hiperresponsif, obstruksi, dan aliran udara yang
terbatas disebabkan oleh bronkokonstriksi, penumpukan mucus, dan
proses inflamasi.
 Bronkitis Kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai
dengan batuk kronik minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya.
 Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli.
Pada umumnya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma
persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh,
dan memenuhi kriteria PPOK.

2. Di Amerika kunjungan pasien asma pada pasien berjenis kelamin perempuan


di bagian gawat darurat dan akhirnya memerlukan perawatan di rumah sakit
dua kali lebih banyak dari pada pasien pria. Data penelitian menunjukkan
bahwa 40% dari pasien yang dirawat tadi terjadi selama fase premenstruasi.
Di Australia, Kanada dan Spanyol dilaporkan bahwa kunjungan pasien
dengan asma akut bagian gawat darurat berkisar antara 1-2%. Rata-rata
biaya tahunan yang dikeluarkan pasien yang mengalami serangan adalah
$600 , sedangkan yang tidak mengalami serangan biaya berkisar $ 700.
Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang sering terjadi pada sekitar
300 juta jiwa. Prevalensi asma meningkat di negara yang makmur sejak 30
tahun yang lalu tetapi nampaknya sekarang stabil sekitar 10-12% dewasa
dan 15% anak-anak.

3. Etiologi dan faktor resiko terkena gejala asma yaitu :


 Paparan allergen (kutu debu rumah, serbuk sari, kotoran hewan)
 Iritasi pekerjaan
 Asap tembakau
 Infeksi respirasi (virus)
 Aktivitas fisik
 Ekspresi emosi
 Iritasi kimia
 Obat (aspirin dan penyekat beta) .
Faktor resiko yang terlibat dalam asma dibagi menjadi faktor endogen dan
lingkungan.
Faktor endogen :
 Predisposisi genetic
 Atopi
 Hiperespon saluran pernapasan
 Jenis kelamin dan etnis
Faktor Lingkungan :
 Allergen dalam ruangan
 Allergen luar ruangan
 Perokok pasif
 Infeksi saluran pernapasan
 Sensitizer pekerjaan dan kegemukan
4. Pemicu yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbi asma oleh karena
inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu
yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu
dengan individu yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain. Beberapa
hal di antaranya adalah allergen, polusi udara, infeksi saluran napas,
kelelahan, perubahan cuaca , makanan, obat atau ekspresi emosi yang
berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi
ini adalah rhinitis, sinusitis bacterial, polyposis, menstruasi, refluks gastro
esophageal dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara bersifat
akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu
terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan ig-E dependent dari mast
sel saluran pernapasan dari mediator, termasuk diantaranya histamine,
prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.
Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi
oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiper responsive
terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut
mekanisme yang menyebabkan bronkho-kontriksi terdiri dari kombinasi
antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat local
atau reflex saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh
karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa
kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran
mikrovaskuler berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi
luar otot polos saluran pernapasan. Penyempitan saluran pernapasan yang
bersifat progresif yang disebabkan oleh inflamasi saluran dana tau
peningkatan tonus otot polos bronkhioler merupakan gejala serangan asma
akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi
pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Apabila tidak
dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi
gagal napas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja
pernapasan, inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan.
Interaksi kardiopulmonal dan sistem kerja paru sehubungan dengan
obstruksi saluran napas. Obstruksi aliran udara merupakan gangguan
fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran
udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru
yang sederhana seperti peak expiratory flow rate. Ketika terjadi obstruksi
aliran udara pada saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan
aliran pertukaran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan
alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik.
Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas
cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat
pada foto toraks yang memperlihatkan gambaran volume paru yang
membesar dan diafragma yang mendatar.

5. Asma merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera didiagnosis


dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Eksaserbi asma (serangan
asma) merupakan episode peningkatan progresifitas dari napas yang pendek,
batuk,wheezing, atau dada sesak atau kombinasi dari gejala tersebut.

 Riwayat Penyakit
Tujuannya untuk menentukkan waktu saat timbulnya serangan
dan beratnya gejala, terutama untuk membandingkan dengan
eksaserbi sebelumnya, semua obat yang digunakan selama ini,
riwayat RS sebelumnya, kunjungan ke gawat darurat, riwayat
episode gagal napas sebelumnya (intubasi, penggunaan
ventilator) dan gangguan psikiatrik atau psikologis. Tidak
adanya riwayat asma sebelumnya terutama pada pasien dewasa,
harus dipikirkan diagnosis banding lainnya seperti gagal
jantung kongestif, PPOK, dan lainnya.
Manajemen kegawatan asma membutuhkan penyedia layanan
kesehatan dengan performa riwayat singkat dan pemeriksaan
fisik. Kunci dari riwayat termasuk rincian dari eksaserbi yang
berjalan (misalnya waktu, Onset, dan penyebab potensial),
keparahan gejala, (khususnya dibandingkan dengan eksaserbasi
sebelumnya) dan respon dari semua terapi yang telah diberikan
sebelum ini, semua pengobatan sekarang dan waktu pengobatan
terakhir (khususnya obat asma), riwayat asma sebelumnya
(jumlah kontrol yang tidak terjadwal, kunjungan IGD,
perawatan RS karena asma terutama dalam tahun terakhir,
riwayat intubasi karena asma terutama dalam tahun terakhir,
riwayat intubasi karena asma, dan kondisi komorbid lainnya
(misalnya penyakit paru jantung atau penyakit yang dapat
diperburuk dengan terapi kortikosteroid sistemik).

 Pemeriksaan Fisik
Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien.
Pasien dengan kondisi sangat berat akan duduk tegak.
Penggunaan otot-otot tambahan untuk membantu bernapas juga
harus menjadi perhatian, sebagai indicator adanya obstruksi
yang berat. Adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan
supra sternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi paru.
Frekwensi pernapasan Respiratory Rate (RR) > 30X / menit,
takikardi >120X / menit atau pulsus paradoksus >12 mmHg
merupakan tanda vital adanya serangan asma akut berat. Lebih
dari 50% pasien dengan asma akut berat, frekwensi jantungnya
berkisar antara 90-120X / menit umumnya keberhasilan
pengobatan terhadap obstruksi saluran pernapasan dihubungkan
dengan penurunan frekwensi denyut jantung, meskipun
beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek
bronkotropik dari bronkodilator.
 Pulse Oximetry. Pengukuran saturasi oksigen
dengan pulse oximetry (SpO2) perlu dilakukan
pada seluruh pasien dengan asma akut untuk
mengeksklusi hipoksemia. Pengukuran spO2
diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke
dalam gagal napas dan kemudian memerlukan
penatalaksanaan yang lebih intensif. Target
pengobatan ditentukan agar SpO2 > 92% tetap
terjaga.
 Analisa gas darah. Keputusan untuk dilakukan
pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal
penatalaksanaan. Karena ketepatan dan kegunaan
pulse oximetry, hanya pasien dengan terapi
oksigen yang SpO2 tak membnaik sampai > 90%
perlu dilakukan pemeriksaan AGD. Meskipun
sudah diberikan terapi oksigen tetapi oksigenasi
tetap tidak adekuat perlu dipikirkan kondisi lain
yang memperbesar seperti adanya pneumoni. Jika
pemeriksaan laboratorium dilakukan hal tersebut
tidak harus menunda terapi inisiasi asma. Tujuan
terpenting dari pemeriksaan laboratorium seperti
AGD adalah untuk mendeteksi gagal napas
impending atau actual.
 Foto Toraks. Foto toraks dilakukan hanya pada
pasien dengan tanda dan gejala adanya
pneumothoraks (nyeri dada pleuritic, emfisema sub
kutis, instabilitas kardiovaskuler atau suara napas
yang asimetris). Pada pasien yang secara klinis
dicurigai adanya pneumonia atau pasien asma yang
setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara
intensif tetapi tidak respons terhadap terapi.
 Monitor irama jantung. Elektro kardiografi tidak
diperlukan secara rutin, tetapi monitor secara terus
menerus sangat tepat dilakukan pada pasien lansia
dan pada pasien yang selain menderita asma juga
menderita penyakit jantung. Irama jantung yang
biasanya ditemukan adalah sinus takikardi dan
supra ventricular takikardi. Jika gangguan irama
jantung ini hanya disebabkan oleh penyakit
asmanya saja, diharapkan gangguan irama tadi
akan segera kembali ke irama normal dalam
hitungan jam setelah ada respon terapi terhadap
penyakit asmanya.
 Respon terhadap terapi. Pengukuran terhadap
perubahan PEFR atau FEV1 yang dilakukan setiap
saat mungkin merupakan salah satu cara terbaik
untuk menilai pasien asma akut dan untuk
memperkirakan apakah pasien perlu dirawat atau
tidak. Respon terhadap terapi awal IGD
merupakan predictor terbaik tentang perlu tidaknya
pasien dirawat, bila respon awal terhadap
pengobatan (PEVR FEV1 pada 30 pertama),
merupakan predictor terpenting terhadap hasil
terapi. Variasi nilai PEFR di atas 50 L/menit dan
PEF >40 % normal yang diukur 30 menit setelah
dimulainya pengobatan, merupakan predictor
terpenting yang baik bagi hasil akhir pengobatan
yang baik pula. Evaluasi gejala dan bila mungkin
aliran puncak. Di RS juga menilai saturasi oksigen,
pertimbangkan pengukuran analisa gas darah pada
pasien dengan curiga hipoventilasi, kelelahan,
distress berat atau aliran puncak 30-50% prediksi.
 Follow up. Setelah eksaserbasi tertangani, faktor
yang mencetuskan eksaserbasi harus diidentifikasi
dan strategi untuk implementasi menghindari hal
tersebut kedepan serta peninjauan rencana terapi.

6. Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, diantaranya adalah menjaga


saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan
obstruksi saluran pernapasan dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja
cepat (Beta 2 agonis dan anti kolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran
napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid yang
lebih awal.
 Oksigen
Karena kondisi hipoksemia dihasilkan oleh ketidakseimbangan V/Q,
hal ini biasanya dapat terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3
L/menit dengan kanul nasal atau masker. Meskipun demikian,
penggunanaan oksigen dengan aliran cepat tidak membahayakan dan
direkomendasikan pada semua pasien dengan asma akut. Oksigen
diberikan di pusat kesehatan atau rumah sakit jika pasien hipoksemia
dengan target saturasi 95%.
 Beta 2 agonis
Inhalasi beta 2 agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk
pengobatan asma akut. Onset aksi obat tadi cepat dan efek
sampingnya bisa ditoleransi. Salbutamol merupakan obat yang banyak
dipakai di instalasi gawat darurat. Onset aksi obat ini sekitar 5 menit
dengan lama aksi sekitar 6 jam. Obat lain yang juga sering digunakan
adalah metaproterenol, terbutaline dan fenoterol. Obat dengan aksi
kerja panjang tidak direkomendasikan, untuk pengobatan
kegawatdaruratan. Levabuterol mempunyai efikasi yang lebih baik
dan efek toksik yang minimal bila dibandingkan dengan albuterol
racemic. Pemberian ephineprin sub kutan jarang dilakukan oleh
karena memicu timbulnya efek samping pada jantung. Obat ini hanya
berfungsi sebagai cadangan saat pasien tidak mendapatkan
keuntungan dengan pemakaian obat secara inhalasi. Ephineprin atau
adrenalin mungkin diindikasikan untuk terapi akut anafilaksis dan
angioedema tetapi tidak diindikasikan untuk serangan asma.
Pemakaian secara inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dengan
efek samping yang lebih sedikit serta lebih efektif bila dibandingkan
pemakaian secara sistemik. Penggunaan beta 2 agonis secara
intravena pada pasien asma akut diberikan hanya jika respons
terhadap obat per-inhalasi sangat kurang atau jika pasien batuk
berlebihan dan hampir meninggal. Adekuasi inhalasi beta 2 agonis
aksi cepat merupakan hal penting, dimulai dengan dosis 2-4 puff
setiap 20 menit pada 1 jam pertama. Pada saat eksaserbasi ringan
mungkin membutuhkan 2-4 puff setiap 3-4 jam dan eksaserbasi
moderate 6-10 puff setiap 1-2 jam. Pemberian obat perinhalasi secara
terus menerus diperkirakan lebih menguntungkan bila dibandingkan
dengan pemberian secara berkala. Meskipun penelitian metaanalisis
yang dilakukan secara acak pada pasien asma akut, tidak memberikan
perbedaan yang bermakna tetapi pemberian nebulizer secara
berkesinambungan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Efek
samping dan ketergantungan dosis dapat terjadi pada semua cara
pemberian, tetapi umumnya ditemukan pada pemakaian secara oral
atau intravena. Efek samping pemakaian selektif beta 2 agonis
diperantarai melalui reseptor pada otot polos vascular (takikardi dan
takiaritmia), otot rangka (tremor, hipokalemi oleh Karena masuknya
kalium ke dalam sel otot) dan keterlibatan sel dalam metabolisme
lipid dan karbohidrat (peningkatan kadar asam lemak besar dalam
darah, insulin, glukosa, dan piruvat). Stimulasi beta 2- adenoreseptor
juga berperan terhadap pathogenesis asidosis laktat selama serangan
asma akut berat, terutama pada pasien yang mendapatkan beta 2
agonis.
 Antikolinergik
Penggunaan antikolinergik berdasarkan asumsi terdapatnya
peningkatan tonus vagal saluran pernapasan pada pasien asma akut,
tetapi efeknya tidak sebaik beta 2 agonis. Penggunaan ipratropium
bromide (IB) secara inhalasi digunakan sebagai bronchodilator awal
pada pasien asma akut. Kombinasi pemberian IB dan beta 2 agonis
diindikasikan sebagai terapi pertama pada pasien dewasa dengan
eksaserbasi asma berat. Dosis 4 X semprot (80mg) tiap 10 menit
dengan MDI atau 500 mg setiap 20 menit dengan nebulizer akan lebih
efektif. Terapi kombinasi beta 2 agonis / antikolinergik berhubungan
dengan tingkat hospitalisasi yang rendah dan peningkatan perbaikan
dalam PEV dan FEV1.
 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid secara sistemik harus diberikan pada
penatalaksaan kecuali kalua derajat eksaserbasinya ringan. Agen ini
tidak bersifat bronkodilator tetapi secara ekstrem sangat efektif dalam
menurunkan inflamasi pada saluran napas. Pemberian hidrokortison
800 mg atau 160 mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi setiap
harinya, umumnya sudah memberikan efek adekuat pada kebanyakan
pasien. Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid
per inhalasi akan menurunkan lama perawatan di rumah sakit pada
pasien asma akut, bila dibandingkan dengan plasebo. Penelitian lain
menemukan bahwa pemberian kortikosteroid oral yang setara dengan
dosis 40-60 mg prednisone atau prednisone atau prednisolone per hari
selama 7-14 hari, lebih efektif, murah dan aman. Bagaimanapun juga
dari beberapa penelitian, pemberian kortikosteroid tunggal dosis
tinggi perinhalasi, lebih efektif dari pada kortikosteroid oral untuk
mengatasi serangan asma ringan pada pasien yang berkunjung ke
IGD. Glukokortikosteroid oral (0,5-1 mg prednisolone /kg atau
ekuivalen selama periode 24 jam yang diberikan dini pada serangan
moderate atau severe membantu perbaikan inflamasi dan kecepatan
recovery.
 Teofilin
Penggunaan teofilin sebagai obat monoterapi, efektivitasnya tidak
sebaik obat golongan beta 2 agonis. Pemberian aminophilin
dikombinasi dengan beta 2 agonis perinhalasi, tidak memberikan
manfaat yang bermakna. Pemberian obat ini malah akan
meningkatkan efek samping seperti tremor, mual, cemas, dan
takiaritmia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian akhirnya dibuat
kesepakatan dan keputusan untuk tidak merekomendasikan pemberian
teofilin secara rutin untuk pengobatan asma akut. Obat ini boleh
digunakan hanya jika pasien tidak respon dengan terapi standar. Pada
kasus ini pemberian loading dosis 6 mg/kg dan diberikan dalam waktu
> 30 menit dilanjutkan secara per infus dengan dosis 0,5 mg/kg
BB/jam. Kadar teofilin dalam darah yang direkomendasikan berkisar
antara 8-12 mg/ml. metilxantin tidak direkomendasikan jika
digunakan tambahan pada dosis tinggi inhalasi beta 2 agonis.
Bagaimanapun teofilin dapat digunakan jika inhalasi beta 2 agonis
tidak tersedia. Jika pasien sehari-hari mendapatkan teofilin maka
konsentrasi serum harus diukur sebelum penambahan teofilin aksi
pendek.
 Magnesium sulfat
Penggunaan obat ini untuk asma akut pertama kali dilaporkan oleh
dokter di negara Uruguay pada tahun 1936. Mekanisme obat ini
kemungkinan melalui hambatan kontraksi otot polos akibat kanal
kalsium terblokir oleh magnesium. Obat ini murah dan aman. Dosis
diberikan 1,2-2 g intravena, diberikan dalam waktu >20 menit. Dari
hasil penelitian secara meta analisis, pemberian obat ini pada pasien
asma akut tidak dianjurkan untuk diberikan secara rutin. Pemberian
obat ini secara perinhalasi tidak memberikan efek yang bermakna.
Penelitian akhir melaporkan bahwa pemberian magnesium sulfat
secara intavena hanya akan memperbaiki fungsi paru jika diberikan
sebagai obat tambahan pada obat yang telah ditentukan sebagai
standar terapi (nebulizer beta 2 agonis dan kortikosteroid intravena)
pada pasien dengan FEV1 <20% prediksi. Pasien asma dengan
eksaserbasi severe yang tidak rspons bronkodilator dan
glukokortikosteroid sistemik, 2 gram magnesium sulfat iv telah
menunjukkan penurunan kebutuhan hospitalisasi.
 Heliox
Serangan asma akut dapat menyebabkan turbulensi aliran udara.
Turbulensi aliran udara ini dapat dikurangi pemberian gas yang
mempunyai densitas lebih rendah serta mempunyai viskositas yang
lebih tinggi dari udara. Heliox (helium dan oksigen) merupakan
campuran gas yang dapat diberikan pada pasien asma akut untuk
mengurangi turbulensi aliran udara. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa pemberian gas heliox sebagai terapi tambahan pada terapi
standar untuk kasus asma akut tidak lebih efektif dalam hal perbaikan
fungsi paru bila dibandingkan dengan oksigen dan udara.
Mempertimbangkan heliox pada pasien dengan eksaserbasi
mengancam jiwa dimana eksaserbasi yang menetap pada kategori
berat. Setelah 1 jam terapi konvensional yang intensif.
 Antagonis Leukotrien
Ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji efektivitas
penggunaan obat ini. Pada satu penelitian pemberian dua macam obat
zafirlukast secara oral (20 mg dan 160 mg) pada pasien asma akut
yang dating ke IGD, memperlihatkan adanya perbaikan fungsi paru
dan skor sesak napasnya menjadi berkurang. Pada pasien asma akut
refrakter yang sudah mendapatkan terapi beta 2 agonis, pemberian
montelukast intra vena akan meningkatkan FEV1 secara cepat,
meskipun perubahannya hanya sedikit bila dibandingkan dengan
plasebo. Antileukotrin kebanyakan efektif untuk pasien dengan asma
persisten ringan.
7. Komplikasi pada penyakit paru obstruktif yaitu :
 Pneumothoraks merupakan akumulasi udara dalam rongga pleura
yang berarti udara diantara paru dan dinding dada.
 Pneumediastinum merupakan terkumpulnya udara di dalam
mediastinum.
 Emfisema subkutis merupakan kondisi terdapatnya udara bebas di
bawah jaringan kulit sub kutis.
 Atelectasis merupakan kondisi alveoli paru baik sebagian atau
seluruhnya tidak terisi oleh udara akibat adanya hambatan aliran udara
yang melewati bronkus dan percabangan bronkus.
 Aspergilosis bronkopulmoner alergik merupakan suatu reaksi alergi
terhadap jamur apergilus yang menyebabkan peradangan pada saluran
pernafasan dan kantong udara di paru-paru.
 Gagal napas merupakan keadaan yang disebabkan oleh pertukaran gas
antara paru dan darah yang tidak adekuat sehingga tidak dapat
mempertahankan PH,pO2, dan pCO2 darah arteri dalam batas normal
dan menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai hiperkapnia.
 Bronchitis merupakan infeksi saluran pernapasan bawah yang
melibatkan saluran napas besar (bronkus) tanpa bukti pneumonia yang
terjadi tanpa adanya penyakit paru obstruksi kronik.
 Fraktur iga merupakan kondisi patahnya tulang iga.

Prognosis asma
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko
yang berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka kematian cenderung
meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. Informasi
mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang
penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang
menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari
26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase
anak yang menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19
persen). Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis
kronik, asma tidak progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang
mengalami perubahan fungsi paru yang irreversible, pasien ini seringkali
memiliki tangsangan komorbid seperti perokok sigaret yang tidak dapat
dimasukkan salam penemuan ini. Bahkan bila tidak diobati, pasien asma
tidak terus menerus berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit
yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang menderita
penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan membaik
dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang sewaktu pasien
menjadi tua.

8. Pasien penyakit paru obstruksi harus segera dirujuk bila :


 Pasien dengan risiko tinggi untuk kematian karena asma.
 Serangan asma berat APE < 60 % nilai prediksi.
 Respons bronkodilator tidak segera, dan bila ada respons hanya
bertahan kurang dari 3 jam.
 Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid.
 Gejala asma semakin memburuk.

Daftar Pustaka
1. Ilmu penyakit dalam jilid I
2. Ilmu penyakit dalam jilid II
3. Kapita selekta kedokteran edisi II
4. Kamus saku kedokteran Dorland edisi 29
5. repository.usu.ac.id

Anda mungkin juga menyukai