Anda di halaman 1dari 61

SISTEM KEDOKTERAN KOMUNITAS

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


FAKULTAS KEDOKTERAN Makassar, 15 Juni 2019

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN


PENYAKIT DALAM KELUARGA
PUSKESMAS LAYANG

Pembimbing :
Kelompok 4
Eka Dewi Mulyani 11020160003
Nur Aisyah 11020160028
Muhammad Syarifullah Hidayat 11020160042
Mustika 11020160060
Mutmainnah 11020160076
Muhammad Syawal Rahis 11020160079
Dinda Permatasari 11020160094
Nabila Said Amri 11020160097
Ninadiyah Nurul Azizah 11020160118
Nur Ainun Pateda 11020160135
Nadya Marchyanti Yanis 11020160153
Nur Akhsan Diana 11020160160
Nur Ashianty Khadijah 11020160165
Novyanti Dwiyani Tawainella 11020160169

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadiran Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya serta kemudahan yang telah diberikan sehingga kami dapat dapat
menyelesaikan laporan ini dengan judul “Penyakit Dalam Keluarga”. Dan taklupa
kami kirimkan salam dan shalawat kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari alam penuh kebodohan ke alam yang penuh
kepintaran.
Mengingat bahwa dalam pembuatan laporan ini tidak lepas dari berbagai
pihak yang membantu dalam penyusunan laporan ini, baik langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang
telah membantu kami.
Kami menyadari bahwa dalam menulis laporan ini mungkin masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
kami harapkan demi perbaikan laporan-laporan kami selanjutnya. Kami mohon
maaf jika ada kesalahan dalam penulisan kata karena kebenaran hanya milik-Nya
semata.
Demikian harapan kami, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya.

Makassar, 15 Juni 2019

Kelompok 4

PROFIL PUSKESMAS LAYANG


A. Keadaan Geografis
Puskesmas Layang terletak di Kelurahan Layang, Kecamatan Bontoala
Kota Makassar dengan luas wilayah 0,21 Km2. Kelurahan Layang berbatasan
dengan :
1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Tallo
2. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Maradekaya
3. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Wajo
4. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Ujung Tanah
5. Wilayah kerja Puskesmas Layang Meliputi:
No Wilayah Kerja Jumlah
. Puskesmas RW
1 Layang 6
2 Bunga Ejaya 4
3 Parang Layang 4
4 Bontoala 2
5 Bontoala Tua 5
6 Gaddong 5
7 Bontoala Parang 4

B. Keadaan Demografis
Jumlah penduduk Puskesmas Layang sesuai hasil pendataan BPS tahun
2010 dalam wilayah kerja Puskesmas Layang sebanyak 36.776 jiwa. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut :
No Kelurahan Jumlah
. Penduduk
1 Layang 9088
2 Bunga Ejaya 5849
3 Parang Layang 4830
4 Bontoala 2433
5 Bontoala Tua 5060
6 Gaddong 4831
7 Bontoala Parang 4685

C. Sarana dan Prasarana


Puskesmas Layang terdapat beberapa fasilitas kesehatan yaitu:
1. Puskesmas Pembantu yang terdiri dari 3 : Pustu 1 di Kelurahan Layang,
Pustu 2 di Kelurahan Bunga Ejaya dan Pustu 3 di Kelurahan Gaddong
2. 1 Unit Mobil Ambulance
3. 4 Unit Sepeda Motor

D. Tenaga Kesehatan
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di Puskesmas perlu didukung
oleh tenaga kesehatan yang cukup. Ada pun tenaga kesehatan yang ada di
Puskesmas Layang adalah sebagai berikut :
No Fasilitas Kesehatan Jumla
. h
1 Dokter Umum 3
2 Dokter Gigi 2
3 Sarjana Kesehatan 9
Masyarakat
4 Sarjana Keperawatan 2
5 Bidan 6
6 Perawat Kesehatan (SPK) 1
7 Perawat Gigi 1
8 Tenaga Laboratorium (SMAK) 1
9 Tenaga Farmasi 1
10 Apoteker 1

LAPORAN KASUS PENYAKIT TIDAK MENULAR


DIABETES MELLITUS

I. Data pasien yang di ambil saat di PKM


A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. A
2. Umur : 65 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Berdagang
6. Alamat : Jl. Kapoposang lr.130
7. Status : Menikah
8. Tanggal Pemeriksaan : 12 Juni 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Luka pada
kaki
2. Anamnesis Terpimpin :
- Pasien mengalami luka dibagian kaki, dialami sejak 12 hari yang
lalu. Luka terasa nyeri dan berbau
- Pasien juga mengeluhkan batuk dan beringus
3. Riwayat Penyakit sebelumnya :
- TB (-)
- HIV (-)
- Demam Thypoid (-)
- Malaria (-)

C. PEMERIKSAAN FISIS
1. Tinggi badan : 170 cm
2. Berat badan : 63 kg
3. Tanda Vital :
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 90x/menit
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 36,5 oC

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. -
2. -

E. DIAGNOSIS :
- Diabetes. Mellitus

F. PENATALAKSANAAN
 Pengobatan Farmakologi :
- Metformin
- Amlodipine
- Diamicron
- Antihistamin
 Pengobatan Non Farmakologi : -

II. Data hasil Kunjungan Rumah Pasien


- Keluhan : luka yang nyeri dan berbau akibat digigit hewan sejak 12
hari yang lalu
- Pemeriksaan Tanda Vital :
 TD : 120/80 mmHg
 Nadi : 90 x/menit
 Pernapasan : 21x/menit
 Suhu : 36,5 oC

Analisa Kasus :
A. Karakteristik Demografi Keluarga

N Penderita
Nama Kedudukan L/p Umur Pendidikan Pekerjaan Ket
o Klinik
Kepala
1 Bpk. A L 65 SLTP/SEDERAJAT Berdagang -
Keluarga
TAMAT
2 Ny. H Istri P - Berdagang -
SD/SEDERAJAT
3 Tn. S Anak L - S1/SEDERAJAT Sudah Kerja -
4 Nn. M Anak P - S1/SEDERAJAT Sudah Kerja -
5 Tn. F Anak L - S1/SEDERAJAT Sudah Kerja -
6 Tn. F Anak L - S1/SEDERAJAT Sudah Kerja -

B. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. A
2. Umur : 65 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Berdagang
6. Alamat : Jl. Kapoposang Lr.130
7. Status : Menikah
8. Tanggal kunjungan : 12 Juni 2019

C. Penetapan Masalah Pasien :


1. Riwayat medis :-
2. Riwayat penyakit keluarga : Tn. A : Asam urat (+)
Istri : Asma (+)
3. Riwayat kebiasaan : Berdagang
4. Riwayat social ekonomi : Kebutuhan hari – hari tercukupi
5. Riwayat gizi :-
6. Diagnostik Holistik :
1. Aspek Personal
a) Alasan kedatangan : Luka pada kaki

b) Kekhawatiran : Terjadi infeksi dan luka sulit sembuh akibat


diabetes

c) Persepsi : Nyeri dan berbau

d) Harapan : Luka dapat sembuh sendiri tanpa diobati

2. Aspek Klinik : Diabetes Mellitus

3. Aspek Risiko Internal : Pengetahuan yang kurang pengetahuan


tentang perawatan luka sehingga pasien ke puskesmas untuk berobat
4. Aspek Risiko Eksternal
a) Lingkungan tempat tinggal : Baik
b) Sosial ekonomi : Biaya hidup pasien diperoleh dari
hasil berdagang dan cukup untuk kebutuhan seharu-hari

D. Fungsi Keluarga
No Fungsi Isian
1. Biologis A. Anggota Keluarga
1 Tn. A ( Kepala Keluarga)
2 Ny. H (Istri)
3 Tn. S (Anak)
4 Nn. M (Anak)
5 Tn. F (Anak)
6 Tn. F (Anak)
Jadi, Bentuk keluarga pasien ini adalah Nuclear family
(Keluarga Inti)
B. Riwayat Melahirkan
 Melahirkan dengan dibantu :-
 Pernah keguguran:-
 Riwayat penyakit lain :-
C. Penyakit yang pernah diderita
 Penyakit Menular: -
 Penyakit kronis : -
D. Penyakit yang diderita saat ini :Diabetes Mellitus
Riwayat pemakaian KB :-
2. Sosial A. Kedudukan sosial dalam masyarakat : Masyarakat biasa
B. Keaktifan dalam kegiatan masyarakat : Sikap keluarga di
tengah masyarakat cukup baik. Dimana pasien dengan
tetangganya saling mengenal dan sering berbaur dengan
tetangganya.
3. Psikologis A. Penderita tinggal serumah dengan :hanya berdua dengan
istri
B. Hubungan antar anggota keluarga :Harmonis
C. Penyelesaian masalah dalam keluarga : Keluarga sangat
perhatian dan saling memberi support agar pasien ke
puskesmas berobat
4. Ekonomi A. Penghasilan utama keluarga dari :Hasil berdagang
dan B. Pekerjaan Penderita : Berdagang
Pemenuhan C. Pekerjaan anggota keluarga lain : -
Kebutuhan D. Sehari – hari makan dengan :Nasi, ikan, sayur, tempe
E. Biaya berobat: Gratis (Bpjs)
5. Penguasaa A. Keputusan penting keluarga dipegang oleh : Kepala
n Masalah Keluarga
dan B. Cara menyelesaikan masalah dengan keluarga : Berdiskusi
Kemampua dengan istri dan anak-anaknya.
n C. Hubungan dengan masyarakat sekitarnya : Pasien dengan
eradaptasi tetangganya saling mengenal, dan pasien sering berinteraksi
dengan tetangganya.

Fungsi Fisiologis (Skor APGAR – Adaptation, Partnership, Growth, Affection,


Resolve)
Untuk menilai fungsi fisiologis digunakan APGAR score. APGAR score
adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut
pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota keluarga
yang lain. APGAR score meliputi :
1. Adaptation
Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota keluarga
yang lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari anggota keluarga yang
lain.
2. Partnership
Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara anggota
keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga tersebut.
3. Growth
Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal – hal baru yang dilakukan
anggota keluarga tersebut.
4. Affection
Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota
keluarga.
5. Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan waktu yang
dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain. Di mana jika jarang/tidak sama
sekali diberi nilai 0, kadang–kadang bernilai 1 dan sering/selalu diberi nilai 2.
Terdapat interpretasi penilaian yaitu:
- < 3 menandakan disfungsi keluarga yang sangat tinggi
- 4-6 menandakan disfungsi keluarga sedang
- 7-10 menandakan tidak ada disfungsi keluarga

Fisiologis (APGAR Tn. A Terhadap Keluarga)


Nama Anggota Keluarga : Tn. A Sering Kadang Jaran
Posisi dalam Keluarga : Kepala Keluarga 2 1 g0
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga
A √
saya bila saya menghadapi masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya membahas
P √
dan membagi masalah dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya menerima
G dan mendukung keinginan saya untuk melakukan √
kegiatan baru atau arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
A mengekspresikan kasih sayang dan merespon √
emosi saya seperti kemarahan, perhatian , dll
Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya
R √
membagi waktu bersama- sama

Adaptation : Dalam menghadapi masalah hidup, Tn. A sering memecahkan


masalah bersama Istrinya. (Score :2)
Partnership : Tn. A selalu meminta pendapat anggota keluarga yang lain
terutama istrinya jika menghadapi sebuah masalah. (Score :2)
Growth : Tn. A sering berdiskusi bersama istrinya untuk menentukan
keputusan. (Score :2)
Affection : Antar anggota keluarga saling mendukung, memperhatikan, dan
menunjukkan kasih sayang antara satu dengan lainnya. (Score : 2)
Resolve : Tn. A sering menghabiskan waktunya dengan keluarga di rumah
dan di lingkungan sekitar (Score : 2).

Total APGAR score Tn. A = 10 (fungsi keluarga dalam keadaan baik menandakan
tidak adanya disfungsi keluarga).

Fungsi Patologis (SCREEM- Social, Cultural, Religion, Education, Economic,


Medical)
SUMBER PATOLOGIS KET
Social Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungannya Baik
Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik, dapat
Culture dilihat dari sikap pasien dan keluarga yang menghargai Baik
adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.
Religious Pemahaman terhadap ajaran agama baik Baik
Ekonomi keluarga cukup untuk memenuhi kebutuhan
Economic Baik
sehari-hari (sandang, pangan, papan)
Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga ini cukup
Educational Baik
baik.
Keluarga ini menganggap pemeriksaan rutin kesehatan
Medical Baik
sebagai kebutuhan dan kepentingan.

Kesimpulan :
Dalam keluarga pasien (Tn. A) tidak terdapat fungsi patologis. Pasien dengan
tetangga saling mengenal dan pasien juga berpartisipasi dengan kegiatan di
lingkungannya.
F. Struktur Keluarga (Genogram)

Tn. A Ny. H

Anak 1 Anak 2 Anak 3 Anak 4

Keterangan :

: Laki-Laki

: Perempuan

: Hubungan orangtua dan anak

: Hubungan suami istri


POLA INTERAKSI KELUARGA

Informasi pada pola interaksi keluarga

Tn.A Ny. H

Anak 4 Anak 1

Anak 3 Anak 2

Keterangan:
: Hubungan baik
KEADAAN RUMAH DAN LINGKUNGAN (FOTO)

Rumah tampak depan Tangga rumah

Ruang tamu Tempat cuci baju

Kamar tidur
DENAH RUMAH
Lantai 1 Lantai 2
Lantai 3
DAFTAR MASALAH
- Masalah medis
Penderita adalah seorang laki-laki berusia 65 tahun. Keluhan saat ini ialah
pasien mengalami luka dikakinya sejak 12 hari yang lalu. Luka terasa nyeri
dan berbau. Namun hal ini diabaikan oleh pasien karena, pasien beranggapan
bahwa luka tersebut dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien juga adalah
penderita diabetes mellitus yang sudah dideritanya sejak tahun 2011 lalu.
Pasien saat ini rajin control ke puskesmas untuk menangani diabetes
mellitusnya.
- Masalah non medis
Tidak didapatkan masalah non medis.

Edukasi :
- Kami mengedukasi kepada pasien agar tetap menjaga pola makan, olahraga,
rajin control ke puskesmas dan rajin membersihkan lukanya agar tidak terjadi
infeksi yang berkepanjangan
TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Mellitus
A. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kinerja insulin atau kedua-duanya.
Berdasarkan Perkeni tahun 2011 Diabetes Mellitus adalah penyakit gangguan
metabolisme yang bersifat kronis dengan karakteristikhiperglikemia. Berbagai
komplikasi dapat timbul akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol, misalnya
neuropati, hipertensi, jantung koroner, retinopati, nefropati, dan gangren.

B. Epidemiologi
Diabetes Mellitus telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat di
dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh diabetes.
Terdapat 1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal akibat
penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Penderita DM di Indonesia sebanyak 4,5
juta pada tahun 1995, terbanyak ketujuh di dunia. Sekarang angka ini meningkat
menjadi 8,4 juta dan diperkirakan akan menjadi 12,4 juta pada tahun 2025 atau
urutan kelima di dunia.

C. Klasifikasi
Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus menurut American Diabetes
Association, 2010 adalah sebagai berikut:
a. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut): 1) Autoimun. 2) Idiopatik. Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin
Dependent), lebih sering ternyata pada usia remaja. Lebih dari 90% dari sel
pankreas yang memproduksi insulin mengalami kerusakan secara permanen.
Oleh karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau tidak langsung dapat
diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes melitus
menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun.
Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus atau
faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran sel penghasil insulin di
pankreas.
b. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin
disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin). Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent)
ini tidak ada kerusakan pada pankreasnya dan dapat terus menghasilkan
insulin, bahkan kadang-kadang insulin pada tingkat tinggi dari normal. Akan
tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga tidak ada
insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini
sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi
lebih umum dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama
pada diabetes tipe 2. Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe
2 mengalami obesitas. Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas insulin
menurun, maka dari itu orang obesitas memerlukan insulin yang berjumlah
sangat besar untuk mengawali kadar gula darah normal.
c. Diabetes tipe lain. 1) Defek genetik fungsi sel beta : 2) DNA mitokondria. 3)
Defek genetik kerja insulin. 4) Penyakit eksokrin pankreas : a) Pankreatitis. b)
Tumor/ pankreatektomi. c) Pankreatopati fibrokalkulus. 5) Endokrinopati. a)
Akromegali. b) Sindroma Cushing. c) Feokromositoma. d) Hipertiroidisme.
6) Karena obat/ zat kimia. 7) Pentamidin, asam nikotinat. 8) Glukokortikoid,
hormon tiroid. d. Diabetes mellitus Gestasional Cara diagnosis diabetes
melitus dapat dilihat dari peningkatkan kadar glukosa darahnya. Terdapat
beberapa kriteria diagnosis Diabetes Melitus berdasarkan nilai kadar gula
darah, berikut iniadalah kriteria diagnosis berdasarkan American Diabetes
Association tahun 2010. Kriteria Diagnostik Diabetes melitus menurut
American Diabetes Association 2010 :
1. Gejala klasik DM dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1
mmol/L). Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Gejala
klasik adalah: poliuria, polidipsia dan berat badan turun tanpa sebab.
2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L).Puasa adalah
pasien tak mendapat kalori sedikitnya 8 jam.
3. Kadar glukosa darah 2 jam PP ≥ 200 mg/ dl (11,1 mmol/L). Tes Toleransi
Glukosa Oral dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal
atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa
Terganggu (TTGO) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)
tergantung dari hasil yang dipeoleh : TGT : glukosa darah plasma 2 jam
setelah beban antara 140- 199 mg/dl (7,8-11,0 mmol/L) GDPT : glukosa
darah puasa antara 100 – 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/L)

D. Patofisiologi
Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak di belakang
lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pula dalam
peta, sehingga disebut dengan pulau-pulau Langerhans pankreas. Pulau-pulau ini
berisi sel alpha yang menghasilkan hormon glukagon dan sel beta yang
menghasilkan hormon insulin. Kedua hormon ini bekerja secara berlawanan,
glukagon meningkatkan glukosa darah sedangkan insulin bekerja menurunkan
kadar glukosa darah . Insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas dapat
diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke
dalam sel. Dengan bantuan GLUT 4 yang ada pada membran sel maka insulin
dapat menghantarkan glukosa masuk ke dalam sel. Kemudian di dalam sel
tersebut glukosa di metabolisasikan menjadi ATP atau tenaga. Jika insulin tidak
ada atau berjumlah sedikit, maka glukosa tidak akan masuk ke dalam sel dan akan
terus berada di aliran darah yang akan mengakibatkan keadaan hiperglikemia.
Pada DM tipe 2 jumlah insulin berkurang atau dapat normal, namun reseptor di
permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan lubang kunci
masuk pintu ke dalam sel. Meskipun anak kuncinya (insulin) cukup banyak,
namun karena jumlah lubangnya (reseptornya) berkurang maka jumlah glukosa
yang masuk ke dalam sel akan berkurang juga (resistensi insulin). Sementara
produksi glukosa oleh hati terus meningkat, kondisi ini menyebabkan kadar
glukosa meningkat.

E. Gejala Diabetes Mellitus


Beberapa pasien diabetes melitus mungkin mengalami gejala-gejala berikut
dalam tahap awal penyakit ini:
 sering merasa haus
 sering buang air kecil
 sering merasa lapar
 penurunan berat badan
 kelelahan
 penglihatan yang kabur
 tingkat penyembuhan luka yang lambat
 rasa gatal pada kulit, wanita mungkin merasa gatal di daerah vitalnya
Beberapa pasien mungkin tidak mengalami gejala-gejala di atas sama sekali,
sehingga pemeriksaan kesehatan secara rutin dianjurkan untuk menghindari
penundaan tindakan medis yang diperlukan.

F. Terapi
Non Farmakologi
a) Diet Terapi pengobatan nutrisi adalah direkomendasikan untuk semua
pasien diabetes mellitus, terpenting dari keseluruhan terapi nutrisi adalah
hasil yang dicapai untuk hasil metabolik optimal dan pemecahan serta
terapi dalam komplikasi. Individu dengan diabetes mellitus tipe 1 fokus
dalam pengaturan administrasi insulin dengan diet seimbang. Diabetes
membutuhkan porsi makan dengan karbohidrat yang sedang dan rendah
lemak, dengan fokus pada keseimbangan makanan. Pasien dengan
diabetes mellitus tipe 2 sering memerlukan pembatasan kalori untuk
penurunan berat badan.
b) Aktivitas Latihan aerobik meningkatkan resistensi insulin dan kontrol
gula pada mayoritas individu dan mengurangi resiko kardiovaskuler
kontribusi untuk turunnya berat badan atau pemeliharaan.
Farmakologi
Terapi farmakologi ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan terapi non farmakologi.
a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan :
1. Sulfonilurea
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat
pilihan (drug of choice) untuk penderita diabetes dewasa baru
dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya
tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid.
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik,
sehingga dapat diberikan per oral. Senyawa sulfonilurea dibagi
menjadi dua golongan atau generasi senyawa. Golongan pertama
senyawa sulfonilurea mencakup tolbutamida, asetoheksamida,
tolazamida, dan klorpropamida. Sedangkan generasi kedua meliputi
glibenklamida (gliburida), glipizida, glikazida,dan glimepirida. Obat-
obat generasi kedua lebih kuat dibandingkan senyawa sebelumnya.
2. Biguanid
Satu-satunya senyawa biguanid yang masih dipakai sebagai obat
hipoglikemik oral saat ini adalah metformin. Obat ini mempunyai
efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama
dipakai pada penderita diabetes gemuk. Metformin dikontra-
indikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung).
3. Glinid
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: repaglinid dan
nateglinid. Umumnya dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-
obat antidiabetik lainnya.
4. Tiazolidindion
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
tidak digunakan sebagai obat tunggal.
5. Penghambat Alfa Glukosidase (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemia.

Indikasi pemakaian Obat Hipoglikemik Oral :


 Diabetes sesudah umur 40 tahun.
 Diabetes kurang dari 5 tahun.
 Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit sehari.
 Diabetes mellitus tipe 2, berat normal atau lebih.

b) Terapi Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes mellitus
tipe 1. Pada diabetes mellitus tipe 1, sel-sel β langerhans kelenjar
pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin.
Sebagai penggantinya, maka penderita diabetes mellitus tipe 1 harus
mendapatkan insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme
karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun
sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe 2 tidak memerlukan
insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan insulin disamping
terapi hipoglikemik oral. Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetik
4) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, Stroke)
8) Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan terapi gizi medis
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.

c) Terapi Kombinasi
Pemberian Obat Hipoglikemik Oral (OHO) maupun insulin selalu
dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap
sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi dengan OHO
kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, dapat diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang
berbeda, atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.

LAPORAN KASUS PENYAKIT INFEKSI


TUBERCULOSIS

1. Data pasien yang di ambil saat di PKM


A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. J
2. Umur : 72 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
6. Alamat : Jl.Tinumbu
7. Status : Janda
8. Tanggal Pemeriksaan : 23 Maret 2019
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Batuk lama
2. Keluhan Penyerta : Sesak
3. Anamnesis Terpimpin :

- Mengalami batuk – batuk disertai sesak, dimana diketahui


saudara perempuan pasien yang mengidap TB sering
berkunjung di Rumah pasien.
3.Riwayat Penyakit sebelumnya :
- TB (-)
- HIV (-)
- Demam Thypoid (-)
- Malaria (-)

C. PEMERIKSAAN FISIS
1. Tinggi badan : 150 cm
2. Berat badan : 33 kg

3. Tanda Vital :
- TD : 100/80 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- Pernapasan : 24x/menit
- Suhu : 36 oC

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Sputum (+) Nanah lendir sewaktu/pagi (+)

E. DIAGNOSIS :
- TB PARU

F. PENATALAKSANAAN
 Pengobatan Farmakologi :
- Obat Anti Tuberculosis (OAT)
 Pengobatan Non Farmakologi
- Istirahat yang cukup

2 Data hasil Kunjungan Rumah Pasien


- Keluhan : Urin pasien berwarna merah dan pada feses pasien
terdapat darah
- Pemeriksaan Tanda Vital :
 TD : 110/80 mmHg
 Nadi : 90x/menit
 Pernapasan : 21x/menit
 Suhu : 36 oC

Analisa Kasus :

A. Karakteristik Demografi Keluarga

Keduduka Penderita
No Nama L/p Umur Pendidikan Pekerjaan Ket
n Klinik
Mengurus
Tamat
1 Ny. J Istri P 72 Rumah TB Paru
SD/SEDERAJAT
Tangga
Tidak
2 Nn. R Anak P 44 SLTA/SEDERAJAT Kolesterol
bekerja
DIPLOMA
3 Tn. A Anak L 35 Berdagang Asam Urat
IV/STRATA I
4 Ny. F Menantu P 30 SMP/SEDERAJAT Berdagang -
5 Tn. I Cucu L 11 SD/SEDERAJAT Pelajar -
Belum
6 Nn. A Cucu P 2 Tidak/belum sekolah -
sekolah

B. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. J
2. Umur : 72 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
6. Alamat : Jl. Tinumbu
7. Status : Sudah Menikah
8. Tanggal Kunjungan : 12 Juni 2019

C. Penetapan Masalah Pasien :


1. Riwayat medis :
Pasien di diagnosis TB Paru
2. Riwayat penyakit keluarga :
Anak perempuan Kolesterol (+)
Anak laki-laki Asam Urat (+)
Saudara perempuan pasien TB Paru (+)
3. Riwayat kebiasaan :
Mengurus rumah
4. Riwayat social ekonomi :
Kebutuhan hari – hari tercukupi
5. Riwayat gizi :
Terjadi penurunan berat badan sejak awal terkena penyakit
tetapi berat badan sudah kembali meningkat

6. Diagnostik Holistik :
1. Aspek Personal
a) Alasan kedatangan :

Pasien mengeluh batuk disertai sesak napas

b) Kekhawatiran :

Batuk yang diderita tidak dapat disembuhkan, serta


dapat menularkan kepada orang - orang disekitar

c) Persepsi :

Batuk pasien sulit disembuhkan

d) Harapan :

Batuk pasien dapat segera disembuhkan disembuhkan

2. AspekKlinik :
Kasus baru TB paru
3. Aspek Risiko Internal :
Pengetahuan yang kurang tentang pencegahan penularan
TB paru dari saudara perempuan pasien yang sering
berkunjung ke rumah pasien.
4. Aspek Risiko Eksternal
a) Lingkungan tempat tinggal :
Keadaan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang
cukup dan jendela dikamar pasien selalu terbuka
semenjak pasien sakit.

b) Sosial ekonomi :

Biaya hidup pasien ditanggung oleh anaknya dan cukup


untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.
D. Fungsi Keluarga

No Fungsi Isian
Biologis
1. A. Anggota Keluarga
T
1 Ny.J ( Kepala Keluarga)

2 Nn.R (Anak)

3 Tn. A (Anak)

4 Ny. F (Menantu)

5 Tn.A (Cucu)

6 Nn. N (Cucu)

Jadi, Bentuk keluarga pasien ini adalah Nuclear family


(Keluarga Inti)

B. Riwayat Melahirkan

 Melahirkan dengan dibantu : Dukun

 Pernah keguguran : Anak ke-sembilan


 Riwayat penyakit lain : DM

C. Penyakit yang pernah diderita

 Penyakit Menular : -

 Penyakit kronis :-

D. Penyakit yang diderita saat ini : TB Paru

E. Riwayat pemakaian KB : Pernah Pakai AKDR dan setelah itu


tubectomy

Sosial
2. A. Kedudukan sosial dalam masyarakat : Masyarakat biasa

B. Keaktifan dalam kegiatan masyarakat :Sikap keluarga di tengah


masyarakat cukup baik. Dimana pasien dengan tetangganya
saling mengenal dengan baik.

Psikologis
3. A. Penderita tinggal serumah dengan :

2 orang anak, 1 menantu dan 2 cucu

B. Hubungan antar anggota keluarga :

Harmonis

C. Penyelesaian masalah dalam keluarga :

Pasien selalu berkomunikasi tentang masalah kesehatan pasien


kepada anak-anaknya dan anak pasien selalu memberi solusi
dan semangat untuk kesembuhan pasien serta mengantar pasien
untuk berobat.
Ekonomi
4. A. Penghasilan utama keluarga dari : Anak
dan
Pemenuhan
B. Pekerjaan Penderita : Ibu rumah tangga
Kebutuhan
C. Pekerjaan anggota keluarga lain : Anak sebagai pedagang

D. Sehari – hari makan dengan : Nasi, ikan, sayur, tempe

E. Biaya berobat : Gratis (BPJS)

Penguasaan
5. A. Keputusan penting keluarga dipegang oleh :
Masalah dan
Kemampuan
Pasien
Beradaptasi
B. Cara menyelesaikan masalah dengan keluarga :

Pasien selalu berdiskusi dengan anak-anaknya untuk


menyelesaikan masalah bersama-sama

C. Hubungan dengan masyarakat sekitarnya :

Pasien dengan tetangganya saling mengenal dengan baik.

E. Fungsi Fisiologis (Skor APGAR – Adaptation, Partnership, Growth,


Affection, Resolve)

Untuk menilai fungsi fisiologis digunakan APGAR score. APGAR score


adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut
pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota
keluarga yang lain. APGAR score meliputi:

1. Adaptation
Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota
keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari anggota
keluarga yang lain.

2. Partnership

Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara


anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut.

3. Growth

Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal – hal baru yang


dilakukan anggota keluarga tersebut.

4. Affection

Menggambarkan hubungan kasih saying dan interaksi antar anggota


keluarga.

5. Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan
waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain. Di mana jika
jarang/tidak sama sekali diberi nilai 0, kadang – kadang bernilai 1dan
sering/selalu diberi nilai 2
Terdapat interpretasi penilaian yaitu:

- < 3 menandakan disfungsi keluarga yang sangat tinggi

- 4-6 menandakan disfungsi keluarga sedang

- 7-10 menandakan tidak ada disfungsi keluarga

Fisiologis (APGAR Ny. R Terhadap Keluarga)


Nama Anggota Keluarga :Ny. P Serin Kadan Jaran
Posisi dalam Keluarga :IstridanIbudarianak- g g1 g
anaknya 2 0
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga 
saya bila saya menghadapi masalah
P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas 
dan membagi masalah dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima 
dan mendukung keinginan saya untuk melakukan
kegiatan baru atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya 
mengekspresikan kasih sayang dan merespon
emosi saya seperti kemarahan, perhatian , dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya 
membagi waktu bersama- sama

Untuk Ny. J APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut :


Adaptation : Dalam menghadapi masalah hidup, Ny. J sering memecahkan
masalah bersama anak-anaknya. (Score :2)
Partnership : Ny.J selalu meminta pendapat anggota keluarga yang lain
terutama anaknya jika menghadapi sebuah masalah. (Score :2)
Growth : Ny.J sering berdiskusi bersama anaknya untuk menentukan
keputusan. (Score :2)
Affection : Antar anggota keluarga saling mendukung, memperhatikan, dan
menunjukkan kasih sayang antara satu dengan lainnya. (Score :
2)
Resolve : Ny. J sering menghabiskan waktunya dengan keluarga di rumah.
(Score : 2)

Total APGAR score Ny. J = 10 (fungsi keluarga dalam keadaan baik


menandakan tidak adanya disfungsi keluarga).

F. Fungsi Patologis (SCREEM- Social, Cultural, Religion, Education,


Economic, Medical)
Fungsi patologis dari keluarga Ny. J dinilai dengan menggunakan alat
S.C.R.E.E.M sebagai berikut :

SUMBER PATOLOGIS KET

Tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan di


Baik
Social lingkungannya

Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik, dapat


Culture dilihat dari sikap pasien dan keluarga yang menghargai Baik
adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.

Religious Pemahaman terhadap ajaran agama baik Baik

Ekonomi keluarga hanya cukup untuk memenuhi


Economic Baik
kebutuhan makan sehari-hari

Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga ini cukup


Educational Baik
baik.

Keluarga ini menganggap pemeriksaan rutin kesehatan


Medical Baik
sebagai kebutuhan,.

Kesimpulan:

Dalam keluarga pasien (Ny. J) tidak terdapat fungsi patologis. Pasien dengan
tetangga saling mengenal dan pasien juga berpartisipasi dengan kegiatan di
lingkungannya.

G. Struktur Keluarga

X
X
Keterangan :
Laki-Laki
Perempuan
Saudara Perempuan (+)TB Paru
Ny. J (+) TB Paru

X
X

H. Pola Interaksi Keluarga

Informasi pada pola interaksi keluarga

Ny.J Anak ke-6

Anak ke- Cucu 2


10

Menantu Cucu 1
Keterangan:
: Hubungan baik

I. Kondisi Rumah dan Lingkungan Rumah

Rumah tampak depan

Ruang tamu Dapur


Kamar tidur Kamar mandi

Denah Rumah
Lantai 1 Lantai 2
Pintu
Kamar WC

Dapur

Ruang Tamu Ruang Keluarga


Tangga

Tangga
Kamar

Pintu
WC Kamar Kamar

J. Daftar Masalah

- Masalah Medis
Penderita adalah seorang ibu rumah tangga berusia 72 tahun. Awalnya
pasien pergi berobat ke Puskesmas untuk mengobati keluhan batuknya.
Oleh pihak Puskesmas pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan
dahak dan akhirnya pasien mendatangi Balai Besar Kesehatan Paru dan
hasil sputum pasien positif. Hasilnya pasien dinyatakan menderita
tuberkulosis. Pasien memiliki riwayat kontak dengan penderita TB yaitu
saudara perempuan yang sering berkunjung ke rumah pasien. Ny. J
(pasien) merupakan seorang ibu yang tinggal bersama dua orang anak,
seorang menantu dan dua orang cucu yang masih kecil sehingga sangat
beresiko tertular penyakit yang diderita Ny.J dikarenakan sistem imunnya
yang belum terbentuk sempurna.

- Masalah Non Medis


Tidak ditemukan maslaah non medis pada pasien.
K. Edukasi
Kami mengedukasi pasien untuk istirahat yang cukup serta minum obat
secara teratur sampai 6 bulan dan untuk sementara waktu menjaga jarak
dengan cucunya yang masih kecil untuk mengindari penularan penyakit.

TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis Paru
A. Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi
kuman mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu
pneumonia, yaitu pneumonia yang disebaban oleh M. tuberculosis. Tuberkulosis
paru mencangkup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis,
sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar. Diperkirakan
bahwa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M.tuberculosis.1,2,3

B. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB telah
dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995.4
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta
kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5
juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB
tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang
(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO)
dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta
kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.4
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)
dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan
63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka
Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan
sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV
diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan
sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan
ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.4
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:4
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena
masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan,
dan pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.

2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum


menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan
ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat
yang tidak baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan
pencatatan dan pelaporan yang baku.

3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam


penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.

4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di


Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko
tinggi seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi
permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan
lapas/rutan.

5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam


penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan,
pencatatan dan pelaporan.

6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko


terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,
merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan
tubuh.

7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan


meningkatkan pembiayaan program TB.

8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat


pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang
dan pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko
masyarakat terjangkit TB.
Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan
tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per
100.000 penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari
semua indikator MDG’s untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan
angka insidens yang sudah tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan
terintegrasi supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang
akan datang.4

C. Etiologi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.4,5
Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai
berikut:4,5
 Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.

 Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,


berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.

 Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,


Ogawa.

 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.

 Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.
Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C
akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.

 Kuman dapat bersifat dormant (“tidur/tidak berkembang”)

D. Patogenesis

1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 2,3
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya atau tertelan

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan


dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan


terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau

 Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis


primer.

2. Tuberkulosis Post Primer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah


tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.
Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan
masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu
sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan
sebagai berikut : 2,3
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran
dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi
aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti
bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
 Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
di atas
 Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
 Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

E. Klasifikasi Tuberkulosis
A). Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura. 4,5
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
 Sekurang-kurangnya 1 dari 2 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif 4

 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan


kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan


biakan positif

b. Tuberkulosis paru BTA (-)


 Hasil pemeriksaan dahak 2 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan dahak 2 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
(5)
M. tuberculosis
2. Berdasarkan tipe pasien4
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu: (5)
a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai
lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan
beberapa kemungkinan :
 Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan
dll)
 TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang telah menjalani
pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. (5)

d. Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.

(5)
e. Kasus Bekas TB:

 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT adekuat akan lebih mendukung

 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat


pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada
perubahan gambaran radiologi

3. Tuberkulosis Ekstraparu
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,
saluran kencing dan lain-lain. 4,5
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi
dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan
spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB
ekstraparu aktif.4,5

F. Diagnosa

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,


pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya. 4,5
1) Gejala klinik

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) 4,5

1. Gejala respiratorik 1-5

 Batuk > 2 minggu

 Batuk darah dapat terjadi akibat banyak hal yaitu: tuberculosis,


brokkiektasis, abses paru, Ca paru, dan bronchitis kronik. Namun diantara
banyak penyebab, yang paling sering adalah tuberculosis. Adanya infeksi
pada paru dapat menyebabkan nekrosis pada parenkim paru yang akan
menimbulkan proses perkejuan. Apabila dibatukkan, bahan cair dari
perkejuan tersebut akan keluar dan meninggalkan lubang yang disebut
kavitas. Kavitas ini lama-lama akan menebal karena infiltrasi jaringan
fibroblas dalam jumlah besar dan terjadilah sklerotik. Jika terjadi
peradangan arteri di dinding kavarne akan mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah. Jika pembuluh darah pecah maka darah akan dibatukkan
keluar dan terjadilah hemoptisis. 2,3

 Sesak napas

 Nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama
terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar. 2,3
2. Gejala sistemik
 Demam merupakan salah satu tanda inflamasi. Demam pada penyakit
tuberculosis biasanya hilang timbul, biasanya muncul pada sore hari.
Mekanisme demam sendiri yaitu mikroorganisme yang masuk ke dalam
jaringan atau darah akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag, dan
sel mast. Setelah memfagositosis, sel ini akan mengeluarkan IL-1 ke
dalam cairan tubuh disebut sebagai pirogen endogen. IL-1 menginduksi
pembentukan prostaglandin akan menstimulus hipotalamus sebagai pusat
termoregulator untuk meningkatkan temperatur tubuh dan terjadi demam
atau panas. 2,3
 gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun2,3
o Keringat malam ini kemungkinan disebabkan oleh karena kuman yang
menginfeksi penderita, misalnya kuman Mycobacterium Tuberculosis,
mengadakan metabolisme seperti pembelahan didalam tubuh penderita
sehingga terjadilah manifestasi keringat. Sebenarnya, keringat yang
disebut disini tidak hanya terjadi pada malam hari saja tetapi juga
terjadi setiap saat. Namun, pada pagi dan siang hari umumnya penderita
melakukan aktivitas fisik jadi keringat akibat metabolisme kuman
tersebut menjadi samar.2,3

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu


Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala
sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat
cairan. 2,3
2) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior,
serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan dapat ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Bila adanya infiltrat yang meluas
maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi yang suara nafas yang
bronkial, dan juga suara nafas tambahan ronki basah kasar dan nyaring. Tetapi bila
infiltrat disertai dengan penebalan dinding pleura maka akan terdengar suara nafas
yang melemah. Bila terjadi kavitas yang cukup besar, pada perkusi akan
didapatkan hipersonor. 1,2,3

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari


banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,


tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”. 1,2,3

3) Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan Bakteriologi

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung


Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung dapat dilakukan dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen. Pemeriksaan dahak selain berfungsi
untuk menegakkan diagnosis, juga menentukan potensi penularan
dan menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh
uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP)

 S (Sewaktu) : dahak yang ditampung di fasyankes

 P (Pagi) : dahak yang timpung pada pagi segera setelah


bangun tidur. Dapat dilakukan di rumah atau di bangsal
rawat inap bilamana pasien menjalani rawat inap.4,5

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala


IUATLD (rekomendasi WHO).1
Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) :

o Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut


negatif

o Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah


kuman yang ditemukan

o Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +


(1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

o Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++


(3+)

b. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB


Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF,
TCM merupakan sarana tercepat untuk penegakan diagnosis,
namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
4,5

c. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat


(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobaterium Growth
Indicator Tube) untuk mengidentifikasi M.tb. pemeriksaan biakan
untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:

 Pasien TB ekstra paru

 Pasien TB anak

 Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis


langsung BTA negatif.

Pemeriksaan ini dilakukan di sarana laboratorium yang terpantau


mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan
menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk
memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat
tersebut. 4,5

4) Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
2,3

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

o Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas


paru dan segmen superior lobus bawah.

o Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular. Bayangan bercak milier.

o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:


o Fibrotik

o Kalsifikasi

o Schwarte atau penebalan pleura

Luluh Paru (destroyed Lung ) :

Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang


berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya perlu dilakukan pemeriksaan
bakteriologi untuk memastikan proses penyakit.2,3
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

o Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kaviti

o Lesi luas: Bila proses lebih luas dari lesi minimal.


Gambar 1. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
G. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 5 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan
obat utama dan tambahan.4,5

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Obat yang dipakai: 4,5


1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 INH
 Rifampisin
 Pirazinamid
 Streptomisin

 Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) 4

 Grup A : Golongan Florokuinolon (Levofloksasin, Moksifloksasin,


Gatifloksasin)

 Grup B : OAT Suntik lini kedua (Kanamisin, Amikasin, Kapreomisin,


Streptomisin)

 Grup C : OAT oral lini kedua (Thioamides (ethionamide dan


prothionamide, sikloserin, clofazimin, linezolid)

 Grup D

o D1 : OAT lini pertama (Pirazinamid, Etambutol, Isoniazid dosis


tinggi)

o D2 : OAT baru (Bedaquline, Delamanid, Pretonamid)

o D3 : OAT tambahan (asam paraaminosalisilat, imipenem salisilat,


meropenem, amoksisilin clavulanat, Thioasetazon
B. PANDUAN DAN DOSIS OBAT

Paduan yang digunakan adalah ; 4


1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/


(HRZE)/5(HR)E.

3. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.

4. Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2
yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan
obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

Tabel 1. Dosis OAT4,5

JENIS OAT SIFAT DOSIS (MG/KG) DOSIS (MG/KG)


HARIAN 3 X SEMINGGU
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Max : 300 Max : 900
Rifampisin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Max : 600 Max : 600
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Steptomycin (S) Bakterisid 15 -
(12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting


untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB
merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun
1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: 5

a. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

b. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan


pengobatan yang tidak disengaja

c. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar


dan standar

d. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

e. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan


penggunaan monoterapi

Tabel 2. Dosis obat anti-tuberkulosis kombinasi dosis tetap kategori 14,5

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

FASE INTENSIF FASE LANJUTAN

2 BULAN 4 BULAN
BB HARIAN HARIAN HARIAN 3X/MINGGU

RHZE RHZ RH RH

150/75/400/275 150/75/400 150/75 150/150

30-37 2 2 2 2

38-54 3 3 3 3

55-70 4 4 4 4

>71 5 5 5 5

Tabel 3. Dosis obat anti-tuberkulosis kombinasi dosis tetap kategori 24,5

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)


TAHAP INTENSIF FASE LANJUTAN
3 BULAN 5 BULAN
HARIAN HARIAN HARIAN 3x
(Selama 2 bulan (1 bulan SEMINGGU
BB pertama) selanjutnya)
HRZE + HRZE HRE HR + E
Streptomisin (150/75/275) (150/150) +
400
2 + 500mg S 2 2 2 + 2 tab E
30-27

3 + 750 mg S 3 3 3 + 3 tab E
38-54

44-70 4 + 1000 mg S 4 4 4 + 4 tab E


>70 5 + 1000 mg S 5 5 5 + 5 tab E

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya. 4,5

Tabel 4. Efek samping OAT4,5

Efek samping Penyebab Penatalaksanaan


Tidak ada nafsu makan Rifampisin Semua OAT diminum
malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin
Kesemutan INH Beri vitamin B6
(piridoxin) 100 mg per
hari
Warna kemerahan pada Rifampisin Tidak perlu diberikan
urine apa-apa, tapi berikan
penjelasan pada pasien
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petunjuk
pada kulit penatalaksanaan
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan
ganti dengan etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
lain sampai ikterus
menghilang
Mual dan muntah Hampir semua OAT Hentikan semua OAT,
segera lakukan tes fungsi
hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan rifampisin
(syok)

H. Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut1,2,3

Komplikasi dini : pleuritis , efusi pleura, empiema, laringitis,


Komplikasi lanjut :
 Obstruksi jalan napas/ SOPT (Sindrom Obstruktif Pasca Tuberculosis)
 Kerusakan parenkim berat (fibrosis paru, kor pulmonal. Amioloidosis,
karsinoma paru, sindrom gagal nafas (ARDS), TB milier dan kavitas TB

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff H. Mukty HA, Infeksi tuberculosis paru dalam: Dasar-dasar ilmu


penyakit paru, Surabaya: Airlangga University Press, 2006: 73-109.
2. Price SA. Standridge MP, Tuberkulosis Paru dalam: Patofisiologi Edisi VI,
Jakarta : EGC, 2006: 852-62.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016
Tentang Penanggulangan Tuberkulosis
5. Kementrian Kesehatan RI, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai