2023
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
DEFINISI
penyakit paru obstruktif kronis atau sering disingkat dengan ppok adalah istilah yang
digunakan untuk sejumlah penyakit yang menyerang paru-paru untuk jangka panjang. penyakit
ini menghalangi aliran udara dari dalam paru-paru sehingga pengidap akan mengalami akan
mengalami kesulitan dalam bernapas. ppok uumnya merupakan kombinasi dari dua penyakit
yaitu bronkitis dan emfisema.
Bronkitis adalah infeksi pada saluran udara menuju paru-paru yang menyebabkan
pembengkakan dinding bronkus dan produksi cairan di saluran udara berlebihan.
Emfisema adalah kondisi rusaknya kantung udara pada paru-paru yang terjadi secara
betahap.
ETIOLOGI
Etiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah inflamasi kronik pada saluran
napas. Inflamasi ini dapat terjadi akibat paparan asap rokok, polusi udara, ataupun defisiensi
alfa-1 antitripsin.
1. Paparan Asap Rokok
Paparan asap rokok yang menyebabkan PPOK dapat terjadi pada perokok aktif ataupun pasif.
Paparan asap rokok berkontribusi hingga 90% sebagai penyebab PPOK.
2. Paparan Asap Polusi Udara
PPOK juga dapat terjadi pada pasien yang tidak pernah terpapar asap rokok sama sekali
seumur hidupnya. Kerusakan struktur paru yang menyebabkan PPOK pada kelompok pasien
tersebut biasanya disebabkan oleh paparan asap polusi dari aktivitas memasak tanpa
memperhatikan ventilasi udara yang baik atau pada kelompok pasien yang sehari-harinya telah
terbiasa terpapar polusi udara yang ditimbulkan dari asap kendaraan bermotor.
3. Defisiensi Alfa-1 Antitripsin
Beberapa literatur juga melaporkan bahwa defisiensi alpha-1 antitrypsin meningkatkan risiko
PPOK. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh kecenderungan genetik yang mengatur produksi alpha-
1 antitrypsin (SERPINA1) sehingga dapat timbul PPOK secara prematur mulai usia 40 tahun.
4. Pengguna Narkotika
Emfisema sebagai salah satu jenis PPOK dapat terjadi pada pengguna obat-obat terlarang,
seperti methadone, cocaine, atau heroin. Hal ini disebabkan karena adanya zat dalam obat-obatan
tersebut seperti talc, cottonfibers, cornstarch, atau selulosa yang merusak struktur vaskular pada
paru dan menimbulkan emfisema.[2]
5. AIDS (AcquiredImmunodeficiencySyndrome)
Infeksi HIV telah dilaporkan sebagai faktor risiko independen terjadinya PPOK tanpa
dipengaruhi variabel lain seperti usia, paparan asap rokok, atau penggunaan obat-obatan
terlarang.
6. Autoimun
Penelitian pada model hewan coba menunjukkan adanya autoantibodi yang terlibat pada
perkembangan patogenesis PPOK.
7. Faktor Risiko
Seperti telah disebutkan di atas, paparan asap tembakau merupakan faktor risiko paling
signifikan dari PPOK. Semakin lama seseorang terpapar dan semakin banyak paparannya,
semakin tinggi pula risiko PPOK.
PPOK juga lebih rentan timbul pada orang dengan penyakit saluran napas kronis, seperti asthma.
PPOK juga lebih berisiko timbul pada pekerja yang mengalami paparan debu atau bahan kimia
di tempat kerja, paparan asap dari pembakaran bahan bakar untuk memasak, ataupun paparan
polutan.
Jenis kelamin pria juga dilaporkan lebih cenderung mengalami PPOK. Hal ini terutama
karena lebih banyak pria yang merokok dibandingkan wanita secara statistik. Penelitian oleh
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 2016, disimpulkan bahwa setelah
menyesuaikan variabel jumlah rokok yang dikonsumsi, jenis kelamin wanita sebenarnya lebih
rentan menderita PPOK dibandingkan jenis kelamin pria.
Selain itu, pasien dengan usia 50-59 tahun didapati 2 kali lebih mungkin menderita
PPOK, sementara usia 60-69 tahun didapati 5 kali lebih mungkin menderita PPOK.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah seperti susah bernapas,
kelemahan badan, batuk kronik, nafas berbunyi, mengi atau wheezing dan terbentuknya sputum
dalam saluran nafas dalam waktu yang lama. Salah satu gejala yang paling umum dari Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak nafas atau dyosnea. Pada tahap lanjutan dari
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dypsnea dapat memburuk bahkan dapat dirasakan
ketika penderita sedang istirahat atau tidur.
Manifestasi klinis utama yang pasti dapat diamati dari penyakit ini adalah sesak nafas
yang berlangsung terus menerus. Menurut Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Internasional (2012), pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mengalami
perubahan bentuk dada. Perubahan bentuk yang terjadi yaitu diameter bentuk dada antero-
posterior dan transversal sebanding atau sering disebut barrel chest. Kesulitan bernafas juga
terjadi pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yaitu bernafas dengan
menggunakan otot bantu pernafasan dalam jangka waktu yang lama, maka akan terjadi hipertropi
otot dan pelebaran di sela-sela iga atau daerah intercostalis. Bila telah mengalami gagal jantung
kanan, tekanan vena jugularis meninggi dan akan terjadi edema pada ekstremitas bagian bawah.
Hal ini menandakan bahwa terlah terjadi penumpukan cairan pada tubuh akibat dari gagalnya
jantung memompa darah dan sirkulasi cairan ke seluruh tubuh. Palpasi tektil fremitus tada
emfisema akan teraba lemah, perkusi terdengar suara hipersonor, batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, dan hepar terdorong ke bawah. Bunyi nafas vesikuler normal atau melemah,
ronkhi pada waktu nafas biasa atau ekspirasi paksa. Ekspirasi akan terdengar lebih panjang dari
pada inspirasi dan bunyi jangtung juga terdengar menjauh.
PATWAY
KOMPLIKASI
a. pemberian oksigen.
b. bronkodilator, seperti pemberian nebulizer.
c. kortikosteroid: pemberian ini akan mempercepat waktu pemulihan, meningkatkan fungsi
paru dan hipoksemia arteri, menurut resiko relaps,kegagalan terapi dan durasi rawat inap.
d. antibiotik: pemilihan regimen antibiotik bergantung dari data prevalensi bakteri setmpat.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan harus mencakup dari manifestasi klinis dari penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK). Pengkajian mengenai riwayat penyakit terdahulu dapat membantu
menentukan apakah pasien memiliki kelainan lain seperti penyakit jantung yang dapat
mempengaruhi terapi. Tanyakan apakah pasien merokok, kaji masalah psikososial dan stressor
yang mungkin menjadi penyebab ekserbasi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Catat derajat
dypsnea, adanya ortopnea, penurunan suara nafas, dan gejala klinis gagal jantung. Catat
oksimetri awal sebagai dasar dan jumlah oksigen yang dihirup. Catat adanya batuk yang
produktif, nyeri saat batuk, demam, serta warna dan konsistensi sputum (Black, 2014).
a. Anamnesis
Menurut Muttaqin (2018) :
Dipsnea adalah keluhan utama penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Pasien biasanya
mempunyai riwayat merokok dan riwayat batuk kronik, bertempat tinggal atau bekerja di area
dengan polusi udara berat, adanya riwayat alergi, adanya riwayat asma pada masa kanak-kanak.
Perawat perlu mengkaji riwayat atau faktor pencetus ekserbasi yang meliputi allergen, stress
emosional, peningkatan aktivitas fisik yang berlebihan, terpapar dengan polusi udara, serta
infeksi saluran pernafasan. Perawat juga perlu mengkaji obat-obat yang biasa diminum pasien,
memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali.
Pengkajian pada tahap lanjut penyakit, didapatkan kadar oksigen dalam darah rendah
(hipoksemia) dan kadar karbon dioksida dalam darah yang tinggi (hiperkapnea). Pasien rentan
terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat penumpukan sekret. Setelah infeksi terjadi, gejala
yang timbul adalah adanya suara tambahan yaitu wheezing atau mengi yang terdengar saat
pasien ekspirasi.
Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan adalah hal yang umum terjadi. Vena
jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Pada bagian jari sering didapatkan
adanya jari tabuh (clubbing finger) sebagai dampak dari hipoksemia yang berkepanjangan.
Sebagai pengkajian untuk menentukan predesposisi/faktor pencetus penyakit yang mendasari,
perawat perlu merujuk kembali pada penyakit yang mendasari, yaitu asma bronkhial, bronchitis
kronis, dan emfisema.
Gejala penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) terutama berkaitan dengan respirasi.
Keluhan-keluhan yang sering muncul pada masalah pernafasan ini harus dikaji dengan teliti
karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan, menurut
Depkes (2013) :
1) Batuk kronik Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan.
2) Berdahak kronik Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terusmenerus tanpa
disertai batuk.
3) Sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas Seringkali pasien yang sudah beradaptasi
dengan sesak nafas yang bersifat progresif, sehingga sesak nafas tidak dikeluhkan
Menurut Putra TR (2013), dari anamnesis pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala yang khas. Poin
penting yang dapat ditemukan pada anamnesis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
diantaranya adalah :
1) Batuk yang berlangsung sudah lama dan berulang, dapat disertai dengan produksi sputum
yang awal mula sedikit dan berwarna putih hingga kemudian menjadi banyak dan berubah warna
menjadi kuning keruh.
2) Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok atau menjadi perokok pasif,
paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak.
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor pencetus pada masa kecil misalnya
berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan yang berulang, lingkungan dengan
asap rokok dan atau polusi.
4) Sesak nafas semakin lama semakin memburuk terutama saat sedang melakukan aktivitas
berat hingga terengah-engah, sesak berlangsung lama, hingga gejala sesak nafas yang tidak
hilang sama sekali, bahkan ketika penderita sedang beristirahat, disertai dengan mengi ataupun
tidak disertai mengi.
b. Pemeriksaan Fisik Fokus Menurut Muttaqin (2014) :
1) Inspeksi Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), terlihat adanya
peningkatan dari usaha nafas dan frekuensi pernafasan, serta pernafasan disertai dengan
penggunaan otot bantu nafas (sternocleidomastoid). Pada saat inspeksi, biasanya terlihat bentuk
dada pasien seperti tong atau biasa disebut barrel chest akibat udara yang terperangkap di ruang
paru-paru dan tidak bisa dikeluarkan, penipisan masa otot, bernafas dengan bibir yang
dirapatkan, dan pernafasan abnormal yang tidak efektif. Pada tahap lanjut, dypsnea terjadi pada
saat beraktifitas sehari-hari seperti berjalan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dikaji dengan
melihat sputum purulent disertai dengan demam yang mengindikasikan adanya gejala terjadinya
infeksi pernafasan.
2) Palpasi Pada palpasi, ekspansi dada pasien meningkat dan pada pemeriksaan traktil
fremitus biasanya mengalami penurunan.
3) Perkusi Saat dilakukan perkusi dada sering didapatkan suara dada normal hingga
terdengar suara hipersonor, sedangkan diafragma mendatar/menurun.
4) Auskultasi Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai dengan
tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus
c. Pengkajian Diagnostik
1) Chest X-ray : dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskuler/bullae (emfisema), peningkatan
bentuk bronkovaskuler (bronchitis), dan normal ditemukan saa periode remisi (asma)
(Soemantri, 2012).
2)TLC (total lung capacity) : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asma,
menurun pada penderita emfisema (Soemantri, 2008).
3)Kapasitas inspirasi : menurun pada penderita emfisema (Soemantri, 2008).
4) FEV1/FVC : untuk mengetahui rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap
tekanan kapasitas vital (FVC), rasio menjadi menurun pada bronchitis dan asma (Soemantri,
2008).
5) ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun dan PCO2
normal meningkat (pada bronchitis kronis dan emfisema). Sering kali menurun pada asma
dengan pH normal atau asidosis, alkaiosis respiratori ringan sekunder akibat terjadinya
hiperventilasi (emfisema sedang dan asma) (Soemantri, 2008).
6) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronkus saat inspirasi, kolaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
(Muttaqin, 2014).
7) Pemeriksaan darah lengkap : dapat menggambarkan adanya peningkatan hemoglobin
(emfisema berat) dan peningkatan eosinofil (asma) (Muttaqin, 2014).
8) Kimia darah : menganalisis keadaan alpha 1-antitypsin yang kemungkinannya
berkurang pada emfisema primer (Muttaqin, 2014).
9) Sputum kultur : untuk menentukan apakah terjadi infeksi, mengidentifikasi pathogen,
dan pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau adanya alergi (Muttaqin,
2014).
2. Diagnosis Keperawatan
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, diagnosa yang
mungkin mulcul pada pasien dengan diagnosa penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas dan
sekresi yang tertahan,
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
c. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan tubuh primer (statis
cairan tubuh).
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen dan dyspnea.
3. Rencana keperawatan
Ratih Oemiati*
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI; Jl. Percetakan Negara No. 29, Jakarta, Indonesia
*Korespondensi penulis: ratihpp@yahoo.co.id
Abstrak
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sangat kurang dikenal di masyarakat. Di Amerika Serikat pada tahun 1991
diperkirakan terdapat 14 juta orang menderita PPOK, meningkat 41,5% dibandingkan tahun 1982, sedangkan mortalitas
menduduki peringkat IV penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini
meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai 1991. WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian keempat
didunia yaitu akan menyebabkan kematian pada 2,75 juta orang atau setara dengan 4,8%. Selain itu WHO juga
menyebutkan bahwa sekitar 80 juta orang akan menderita PPOK dan 3 juta meninggal karena PPOK pada tahun 2005.
Kajian ini bertujuan untuk mengukur prevalensi PPOK, tingkat keparahan, serta untuk mengidentifikasi tipe PPOK, faktor
risiko, morbiditas dan mortalitas, dampak PPOK dan biaya pengobatan. Penelitian ini merupakan review PPOK
berdasarkan data kepustakaan dan jurnal dengan fokus penulisan PPOK, yang meliputi; gejala, klasifikasi, prevalensi,
faktor risiko, morbiditas dan mortalitas, dampak PPOK, pengobatan dan biaya pengobatan PPOK. Berdasarkan kajian tipe
PPOK ada dua yaitu bronchitis kronik dan emphysema. Di Asia Tenggara diperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3%
dengan prevalensi tertinggi ada di negara Vietnam (6,7%)dan RRC (6,5%). Faktor risiko antara lain merokok; polusi indoor,
outdoor, dan polusi di tempat kerja; genetik; riwayat infeksi saluran napas berulang. Ada 4 indikator tingkat keparahan
berdasarkan ATS (American Thoracic Society). Keterbatasan aktivitas pada pasien PPOK, penurunan berat badan,
peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi merupakan akibat PPOK.Dibutuhkan sekitar $
18 miliar biaya langsung dan biaya tidak langsung sekitar $14.1 miliar dalam penanggulangan PPOK di Eropa.
Abstract
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) was unknown diseases. It SUHGLFWHG PLOOLRQ&23'¶VSDWLHQWLQ in US
hand it raised to 41.5% compare with in 1982.Mortality rate have raised up 32.9% from 1979 to 1991.
World Health Organization (WHO) assumed that COPD was in fourth ranks of cause of death in the world, would have 2.75
million mortality or equivalence with 4.8%. Otherwise WHO predicted 80 million people had COPD that 3 million among of
them would be death in 2005. The aim of this study to measure COPD prevalenced, degree of severity, COPD
types, risk factors, morbidity and mortality, impact of COPD and cost of health care in COPD. The data wasexplored of
review COPD based on literature and journal that focused on type of COPD, risk factors, prevalence, morbidity and
mortality, severe ranks, impact of COPD, medication and cost of PPOK medication.There were two types of COPD, i.e
chronic bronchitis and emphysema. It was 6.3 % prevalence of COPD in South East Asian where maximum prevalences
were in Vietnam (6.7%) and China (6.5%). The risk factors of COPD were smoking, indoor, outdoor and workplace
pollution, genetic (ATT); repeated of infectious respiratory disease history.It was four indicators severe based on ATS
(American Thoracic Society) standards. There were many impacts of COPD i.e; disability, decending of weight body,
rising up of risk of cardiovascular disesase, osteoporosis and depression. It needed $ 18 billion to cover direct cost and
$14.1 billion covered indirect cost, according to cope of COPDin Europe
82
Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
83
Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
Pendahuluan
Menurut Global Initiative for Chronic Metode
Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK adalah Kajian ini merupakan tinjauan pustaka
penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran tentang PPOK yang diambil dari berbagai sumber
napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keter- antara lain jurnal penelitian baik dalam negeri
batasan saluran napas tersebut biasanya progresif maupun luar negeri, buku pedoman diagnosis dan
dan berhubungan dengan respons inflamasi di- penatalaksanaan PPOK yang dikeluarkan oleh
karenakan bahan yang merugikan atau gas1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jurnal yang
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan diakses berupa perangkat keras (hard copy) dan
penyakit sistemik yang mempunyai hubungan lunak (soft copy) yang diunduh dari internet.
antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan Beberapa hasil yang diambil ada yang artikel
molekuler genetik. Keterbatasan aktivitas merupa- kan lengkap (full paper) dan ada pula yang hanya
keluhan utama penderita PPOK yang sangat berbentuk abstrak penelitian.
mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot Tujuan penulisan ini adalah untuk memapar-
rangka merupakan hal utama yang berperan dalam kan masalah PPOK secara epidemiologis dari
keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi gejala, klasifikasi, prevalensi, faktor risiko, morbid-
sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko ditas, mortalitas, dampak PPOK, pengobatan dan
penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi biaya pengobatan PPOK.
merupakan manifestasi sistemik PPOK2. Metode analisis yang digunakan analisis
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak deskriptif secara komprehensif berdasarkan pada
menular utama, yang agak jarang terekpose karena pokok-pokok masalah yang ada pada tujuan
kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika penulisan.
Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa pre-
valensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki- laki
sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% Prevalensi
(SE 5,8)3. Sedangkan mortalitas menduduki Estimasi dengan pemodelan di 12 negara
peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per Asia Tenggara diperkirakan prevalensi PPOK
100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka sebesar 6,3% dengan prevalensi maksimum ada di
kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 negaraVietnam (6,7%) dan RRC (6,5%)7. Hasil
sampai 19914. Sedangkan prevalensi PPOK di Penelitian lain dari Bold Study pada 12 negara di dunia
negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan jumlah sampel total sebesar 9425
dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam responden yang telah dilakukan pemeriksaan spiro-
(6,7%) dan China (6,5%)5. metri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala
PPOK akan berdampak negatif dengan respirasi, status kesehatan dan faktor risiko pajanan
kualitas hidup penderita, termasuk pasien yang PPOK, menunjukkan hasil 5 besar PPOK menurut
berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas jenis kelamin sebagai berikut3:
penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelom-
pok usia produktif namun tidak dapat bekerja Tabel 1. Prevalensi PPOK Menurut Jenis Kelamin
maksimal karena sesak napas yang kronik. Co dan Negara
morbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit
kardiovaskuler, kanker bronchial, infeksi paru-paru, Negara Laki- Negara Perempuan
laki
trombo embolik disorder, keberadaan asma, hiper- Cape Town - 22,2% Cape Town- Afrika 16,7%
tensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety6. Afrika Selatan Selatan Lexington-
Manila - Philipina 18,8% USA Sydney- 15,6%
Indonesia sebagai negara dengan jumlah Adana - Turki 15,4% Australia Salzburg- 12,2%
perokok yang banyak dipastikan memiliki prevalen- si Krakow ± 13,3% Austria 11,0%
PPOK yang tinggi. Namun sangat disayangkan data Polandia Lexington
- USA 12,7% Reykjavik- 9,3%
prevalensi PPOK tidak dimiliki oleh Indonesia, oleh Islandia
sebab itu perlu dilakukan kajian PPOK secara
komprehensip agar pencegahan PPOK dapat dilaku-
kan dengan baik. Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa secara
umum prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki-
dibandingkan perempuan, dan kota Cape Town di
84
Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
Dari tabel 2 terlihat jika dicermati ternyata negara ber- kembang.PPOK merupakan masalah
PPOK merupakan ancaman kematian yang kesehatan masyarakat utama di dunia, dan salah
yang tinggi baik di negara maju maupun satu dari
penyebab kasus mortalitas dan morbiditas di Keterbatasan aktivitas pada pasien PPOK
negara-negara dengan income tinggi dan income merupakan keluhan utamanya yang akan mempe-
rendah. ngaruhi kualitas hidupnya. Selain itu inflamasi
Mortalitas
WHO memperkirakan sekitar 80 juta orang akan
menderita PPOK dan 3 juta meninggal karena PPOK
pada tahun 2005, dengan merujuk 5% dari seluruh
kematian secara global. Total kematian akibat PPOK
diproyeksikan akan meningkat > 30% pada 10 tahun
mendatang. Peningkatan secara drastis pada dua
dekade diharapkan di negara- negara Asia dan
Afrika karena peningkatan pemakaian tembakau15.
WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab
kematian keempat didunia. Diperkirakan
menyebabkan kematian pada 2,75 juta orang atau setara
dengan 4,8%16. Di wilayah Eropa angka kematian
PPOK sekitar < 20/100.000 penduduk (Yunani,
Swedia, Islandia, Norwegia) samapi > 80/100.000
penduduk (Ukraina, dan Romania).Sedangkan di
Perancis angka kematian PPOK sebesar 40/100.000
penduduk.Di negara- negara berkembang kematian
akibat PPOK juga meningkat, hal ini dihubungkan
dengan peningkat- an jumlah masyarakat yang
mengkonsumsi rokok. Di Cina merokok
menyebabkan kematian sebesar 12% dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 30% pada
tahun 203015.
Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan
akan meningkat pada kelompok umur > 45 tahun.
Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi
respirasi pada umur 30-40 tahun29. Penelitian di
Amerika menyebutkan bahwa PPOK dikaitkan dengan
risiko kematian yang didefinisi- kan sebagai Hazard
Rasio (HR), dari penelitian kohort diperoleh hasil
Satdium I, HR 1,4 dengan 95% CI 1,31 ± 1,70 dan
stadium II, HR 2,04 dengan 95% CI 1,34 ± 3,11, dan
PPOK yang akut: HR 2,7 dengan 95% CI 2,1-3,530.
Laju kematian selama perawatan di rumah
sakit dengan exacerbasi diperkirakan antara 2,5 ± 10%.
Kematian setelah perawatan di rumah sakit
diperkirakan antara 16 ± 19% pada 3 bulan setelah
perawatan di rumah sakit; 23 ± 43% setelah satu tahun
perawatan di rumah sakit dan 55 ± 60% setelah 5
tahun keluar dari rumah sakit31.
Dampak Ppok
87
Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko pembuluh darah intrapulmoner. Hipertensi pulmoner
penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi pada PPOK biasanya disertai curah jantung normal
merupakan manifestasi sistemik pasien PPOK. Sesak dan insidens hipertensi pulmoner diperkirakan 2 ± 6
napas dan pola sesak napas yang tidak selaras akan per 1.000 kasus.
menyebabkan pasien PPOK sering menjadi panik, Osteoposrosis yang terjadi pada pasien PPOK
cemas dan akhirnya frustasi. Gejala ini me- rupakan disebabkan faktor seperti malnutrisi yang menetap,
penyebab utama pasien PPOK mengurangi aktivitas merokok, penggunaan steroid dan inflamasi
fisiknya untuk menghindari sesak napasnya. sistemik35.
Penurunan massa sel tubuh mencapai >40% dari
metabolisme jaringan lunak (tissue) secara aktif
Biaya Pengobatan PPOK
merupakan manifestasi sistemik yang penting pada
PPOK. Massa lemak bebas yang hilang akan Di Amerika pada tahun 2002, sebagai contoh
mempengaruhi proses pernafasan, fungsi otot perifer biaya langsung untuk pengobatan PPOK sekitar $ 18
dan ststus kesehatan. Penurunan berat badan miliar dan biaya tidak langsung sekitar $14.1
memberikan efek negatif pada prognosis pasien miliar36. Di negara Uni Eropa biaya total untuk
PPOK32. penyakit pernafasan diperkirakan sekitar 6% dari
total biaya pelayanan kesehatan, dengan biaya
PPOK merupakan salah satu faktor risiko
PPOK sekitar 56% dari total. (38.6 miliar Euro)37.
penyakit kardiovaskuler yang diakibatkan oleh
proses inflamasi sistemik dan jantung merupakan Sementara di Perancis biaya tahunan rata-rata
salah satu organ yang sangat dipengaruhi oleh yang langsung setiap pasien diperkirakan sebesar
progresitas PPOK33. PPOK merupakan penyebab 4.366 Euro, dimana 41% digunakan untuk biaya
utama hipertensi pulmoner dan korpulmonal yang pengobatan dan rawat jalan pasien, 25% untuk
memberikan kontribusi 80 ± 90% dari seluruh kasus biaya exacerbasi dan 34% untuk membiayai akibat
penyakit paru.34Hipertensi pulmoner pada PPOK sakitnya (disabilitas). Secara umum 33%
terjadi akibat efek langsung asap rokok terhadap dialokasikan untuk perawatan di rumah sakit dan
88
Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
Gulsvik A, Nizankowska-Mogilnicka E; BOLD 22. Telez-Rojo MM, Romieu I, Ruiz Velasco S, Lezana
Collaborative Research Group,International variation MA< Hernadez Avila MM, Daily Respiratory
in the prevalence of COPD (the BOLD Study): a Mortality and PM10 pollution in Mexico, Eur
population-based prevalence study. Lancet. 2007 Sep respire J 2000:16;p.391-396
1;370(9589):741-50. 23. Ko FW, Tan W, Wong TW, et al, Temporal
4. American Thoracic Society.Standards for Diagnosis Relatioship between airpollutants and hospital
and care of patient with COPD. Am J Respir Crit Care admissions for COPD in Hongkong, Thorax,
Med 1995;152:S77-120 2007:62;779-784
24. Cazzola M, Donner CF, Hanania N, The Hundred
5. Chan-Yeung M, Ait Khaled N, White N, Ip MS, and
Years of COPD, Respir Med 2007:101;p.1049-
Tan WC, The Burden and Impact of COPD in Asia and
1065
Africa, Int J Tuberc Lung Dis, 2004; 8; p.2-14
25. Di Pede C, Chronic Obstructive Lung Disease and
6. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J,
Occupational Exposure, Curr Op in Allergy Clin
Busquet X, Systemic Effect of COPD, Eur Respir J
Immuno 2002:2;p.115-121
2003; 21; p.347-360
26. Romieu, Trenga C, Diet and Obstructive Lung
7. Wan C Tan and Tze P Ng, COPD in Asia, Where East
Disease, Epidemiol Dev 2001:23;p.268-287
meets West, Chest, February, 2008(133), Number 2;
27. Rojas R, Romieu I, Perez Padilla R, Mendoza L,
p.517-527
Fortoul T, Olaiz G, Lung Fuctions Growth in
8. Ario Patrianto Partodimulyo dan Faisal Yunus,
Children with longterm exposure to air pollutants in
Kualiti Hidup penderita PPOK, J Respir Indo vol 25,
Mexico city, Epidemiology 2006:17(Suppl): p.S266-
no 2, April, 2006
S267
9. Barnes PJ. COPD, N England J Med 2000;343:269- 28. Murray CJC, Lopez AD, Mortality by cause for
78 eight regions of the world global burden disease
10. Shapiro SD. The Macropage in COPD. Am J Respir study. The Lancet 1997: 349;p.1269-1276
Crit Care Med 1999:160;p.29-32 29. Mannino DM , COPD, Epidemiology, prevalence,
11. Mangunegoro H, PPOK Pedoman diagnosis dan morbidity and mortality and disease heterogienety,
penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, 2001 Chest 2002: 121(Suppl);p.121 S-125S
12. Yong Il Hwang, Ki Suck Jung, Sughoon Park, et al,
Clinical Characteristic of COPD patients According to
BMI, Am J Respir, 2011 (183); A.2975
13. Katleen H Reilly, Dong Feng Gu, Xiu Fang Duan,
Xiugui Wu, Chung Shiwan Chen et al, Risk Factors for
COPD mortality in Chinese adult, Am Journal of
Epidemiol vol 167 issue 8, p.998-1004
14. P Yin, CQ Jiang, KK Cheng, et al. Passive
smoking exposure and risk of COPD among adults in
China. The Lancet 2007:370; p.751-757
15. Dennis RS, Maldonado D, Norman S, Baena E,
Martinez G, Woodsmoke Exposure and Risk for
Obstructive air ways disease among women, Chest
1996:109; p.115-119
16. WHO, World Health Statistics 2008, Geneva
17. Y Liu, K Lee, R Perez Padilla, NL Hudson, DM
Mannino, Outdoor and in door air pollution and
COPD related disease in high and low income
countries, Int J Tuberc Lung Dis, 2008, 12(2);
p.115-127
18. Perez Padilla R, Regalado J, Vedal S, et al,
Exposure to biomass smoke and chronic airway
disease, a case control study inMexican women , Am J
Respir Crit Care Med 1996:154;701-706
19. MN Bustan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, PT
Rineka Cipta, Jakarta 2007
20. Mc Connell R, Bechame K, Yao L, et al, Traffic,
Susceptibility and Childhoodism, Envirron Health
Perspect 2006:114;766-772
89
Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
90